1
a. memberikan pedoman umum kepada setiap unit/lembaga/otoritas yang terkait dengan
pengelolaan utang agar proses pengambilan keputusan merefleksikan keselarasan antar kebijakan
pengelolaan utang, fiskal, moneter dan pengembangan pasar keuangan;
b. memberikan keyakinan kepada semua pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan
keuangan negara bahwa utang Pemerintah akan dikelola secara baik dan bertanggung jawab
melalui suatu proses pengelolaan utang yang transparan dan akuntabel;
c. memfasilitasi penyusunan indikator kinerja utama (KPI/Key Performance Indicator) unit
pengelola utang;
d. menerapkan praktek pengelolaan utang yang lazim di seluruh dunia untuk mencapai pengelolaan
utang yang baik(sound debt management).
4
[4] SBSN istisna’, yaitu SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad istisna’ (akad jual beli
untuk pembiayaan suatu proyek dimana cara ,jangka waktu penyerahan barang dan
harga barang ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
[5] SBSN berdasarkan akad lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
[6] SBSN yang diterbitkan berdasarkan kombinasi dari dua atau lebih jenis akad.
2) Pinjaman dari Kreditur Bilateral, yaitu pinjaman yang berasal daripemerintah negara asing
atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah negara asing atau lembaga yang bertindak untuk
pemerintah negara asing yang memberikan pinjaman kepada Pemerintah.
3) Pinjaman dari Kreditor Swasta Asing ,yaitu pinjaman yang berasal dari lembaga keuangan
asing, lembaga keuangan nasional, atau lembaga non keuangan asing yang berdomisili dan
melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan
pinjaman kepada pemerintah berdasarkan perjanjian pinjaman tanpa jaminan dari lembaga
penjamin kredit ekspor.
4) Pinjaman dari Lembaga Penjamin Kredit Ekspor adalah lembaga yang ditunjuk negara asing
untuk memberikan jaminan, asuransi, pinjaman langsung, subsidi bunga, dan bantuan
keuangan untuk meningkatkan ekspor negara yang bersangkutan atau bagian terbesar dari
dana tersebut dipergunakan untuk membeli barang/jasa dari negara bersangkutan yang
berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik Indonesia.
Pinjaman luar negeri dapat digolongkan juga menjadi dua macam, yaitu:
6
1) Pinjaman Program
Untuk budget support dan pencairannya dikaitkan dengan pemenuhan Policy Matrix di bidang
kegiatan untuk mencapai MDGs (pengentasan kemiskinan, pendidikan, pemberantasan
korupsi), pemberdayaan masyarakat, policy terkait dengan climate change dan infrastruktur.
2) Pinjaman proyek
Untuk pembiayaan proyek infrastruktur di berbagai sektor (perhubungan, energi, dll); proyek-
proyek dalam rangka pengentasan kemiskinan (PNPM).
Pinjaman Luar Negeri merupakan bagian dari Nilai Bersih Pinjaman yang disetujui DPR. Nilai
Bersih Pinjaman adalah selisih lebih atau selisih kurang pinjaman dalam pos pembiayaan APBN
tahun berjalan. Selisih lebih Nilai Bersih Pinjaman terjadi jika pinjaman yang diterbitkan atau
ditarik lebih besar dibandingkan dengan pinjaman yang dilunasi. Sedangkan selisih kurang Nilai
Bersih Pinjaman terjadi jika pinjaman yang diterbitkan atau ditarik lebih kecil dibandingkan
dengan pinjaman yang dilunasi (Penjelasan PP No. 10 tahun 2011). Perubahan pinjaman yang
tidak menambah selisih lebih dari NBP, tidak memerlukan persetujuan DPR. Persetujuan DPR
yang dimaskud merupakan bagian dari persetujuan APBN.
Menteri menyusun rencana batas maksimal Pinjaman Luar Negeri yang ditinjau setiap tahun.
Rencana batas maksimum PLN sebagaimana dimaksud disusun dengan mempertimbangkan:
1) kebutuhan riil pembiayaan;
2) kemampuan membayar kembali;
3) batas maksimum kumulatif pinjaman;
4) kapasitas sumber Pinjaman Luar Negeri; dan
5) risiko utang.
Rencana batas maksimal Pinjaman Luar Negeri merupakan alat pengendali Pinjaman Luar
Negeri. Apabila dipandang perlu, dalam rangka pengadaan PDN, Menteri dapat berkonsultasi
dengan Gubernur Bank Indonesia.
7
bahwa Pemerintah dapat melakukan perubahan instrumen utang dalam hal terdapat sumber utang
yang lebih menguntungkan.
2. Pedoman Khusus meliputi:
a. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara yang antara lain mengatur
tentang tujuan penerbitan Surat Utang Negara (SUN), yaitu untuk membiayai defisit APBN,
menutup kekurangan kas jangka pendek, dan mengelola portofolio utang negara.
b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, yang antara lain
mengatur tentang tujuan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), yaitu untuk
membiayai APBN.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan Dan Penerusan
Pinjaman Dalam Negeri Oleh Pemerintah, yang antara lain mengatur tentang penggunaan
pinjaman dalam negeri.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
dan Penerimaan Hibah.
e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.08/2012 tentang Tata Cara Pengadaan Pembiayaan
Yang Bersumber Dari Kreditor Swasta Asing.
f. Keputusan Menteri Keuangan Nomor No. 37/KMK.08/2013 tentang Strategi Pengelolaan Utang
Negara tahun 2013-2016.
g. Dan peraturan-peraturan lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia yang meliputi peraturan
indonesia atau PBI dan surat edaran bank indonesia (SEBI). Terkait dengan peran Bank
Indonesia sebagai agen lelang, registrasi, kliring, setelmen SUN dan central register.
Pembiayaan anggaran
Pembiayaan Dalam Negeri Rp196,258,036,783,000
Pembiayaan Luar Negeri Neto Rp(20,903,536,509,000)
Total Rp175,354,500,274,000
PDB Rp10,376,005,933,000
Defisit anggaran terhadap PDB 1,69%
Rasio utang terhadap PDB *) 23%
Total utang pemerintah Rp2,393,719,000,000
sumber: APBN 2014 dan Profil Utang Pemerintah dari DJPU, diolah
*) diperkirakan oleh pemerintah
8
Jumlah anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 2014 lebih kecil daripada jumlah anggaran
Belanja Negara sehingga dalam Tahun Anggaran 2014 terdapat defisit anggaran sebesar Rp.
175.354.500.274.000 yang akan dibiayai dari Pembiayaan Anggaran. Pembiayaan Anggaran tahun 2014
diperoleh dari sumber-sumber: Pembiayaan Dalam Negeri sebesar Rp. 196.258.036.783.000 dan
Pembiayaan Luar Negeri Neto sebesar negatif Rp. 20.903.536.509.000. Pembiayaan luar negeri neto
negatif ini maksudnya pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang kita lakukan, lebih besar
daripada jumlah utang luar negeri baru dengan tujuan untuk mengurangi porsi utang luar negeri.
Dalam UU APBN 2014 juga disepakati defisit anggaran sebesar 1,69 persen terhadap produk domestik
bruto, dimana PDB ini adalah sebesar Rp. 10.376.005.933.372.780. Posisi utang pemerintah per 30
November 2013 sesuai data dari DJPU pada profil utang pemerintah pusat edisi Desember 2013 adalah
Rp. 2.354,54 Trilliun dan saat ini telah mencapai Rp. 2.393,719 Trilliun
9
BAB II
WEWENANG DAN TATA CARA PENGADAAN UTANG NEGARA DAN
PENERIMAAN HIBAH SERTA PENERUSAN UTANG ATAU HIBAH LUAR NEGERI
10
5) pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.
12
3. Tata Cara Penarikan Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri
Adapun Prinsip Dasar Penarikan Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri adalah:
a) Penarikan pinjaman dan/atau hibah luar negeri dilaksanakan melalui mekanisme APBN.
b) Realisasi penarikan jumlah atau bagian dari jumlah pinjaman dan/atau hibah luar negeri
dilakukan sesuai dengan alokasi anggaran sebagaimana ditetapkan dalam DIPA
c) Dalam hal diperlukan penarikan jumlah atau bagian dari jumlah pinjaman dan/atau hibah luar
negeri yang melebihi alokasi anggaran dalam DIPA, maka PA/KPA mengajukan usulan revisi
DIPA sesuai ketentuan yang berlaku.
Tata Cara Penarikan Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri dijabarkan sebagai berikut.
a) Pembukaan Letter of Credit (L/C)
Letter of Credit, selanjutnya disingkat L/C, adalah janji tertulis dari bank penerbit L/C (issuing
bank) untuk membayar kepada eksportir (beneficiary) sepanjang memenuhi persyaratan L/C.
13
5a. PPHLN menerbitkan Special of Commitment/Letter of Commitment dan kemudian
disampaikan kepada Bank Koresponden.
6. Atas dasar permintaan pembukaan L/C dari rekanan/importir disertai master list. BI atau bank
lain yang ditunjuk melaksanakan pembukaan L/C.
6a. BI atau bank lain yang ditunjuk menyampaikan tembusan dokumen pembukaan L/C kepada
KPPN Khusus.
b) Pembayaran Langsung (Direct Payment)
Pembayaran Langsung, selanjutnya disingkat PL, adalah penarikan dana yang dilakukan oleh
KPPN yang ditunjuk atas permintaan PA/KPA dengan cara mengajukan aplikasi penarikan dana
(withdrawal application) kepada PPHLN untuk mernbayar langsung kepada rekanan/pihak yang
dituju.
14
c) Rekening Khusus (Special Account)
Rekening Khusus, selanjutnya disingkat Reksus, adalah rekening yang dibuka oleh Menteri
Keuangan pada Bank Indonesia atau Bank untuk menampung sementara dana pinjaman dan/atau
hibah Luar negeri tertentu berupa initial deposit untuk kebutuhan pembiayaan kegiatan selama
periode tertentu dan setelah digunakan diisi kembali dengan mengajukan penggantian
(replenishment) kepada PPHLN.
15
Keterangan Skema Penggantian Pembiayaan Pendahuluan:
1. Penerima Penerusan Pinjaman (PPP) mengajukan bukti-bukti pengeluaran pembiayaan
pendahuluan dan rincian rencana penggunaan uang kepada KPPN.
2. KPPN mengajukan Aplikasi Penarikan Dana (APD) kepada PPHLN dilampiri SP2D-
(Pembiayaan Pendahuluan) dan dokumen pendukung lainnya yang dipersyaratkan oleh
PPHLN.
3. Atas dasar APD, PPHLN melakukan penggantian (reimbursement) untuk Rekening PPP.
4. Atas dasar APD, DJPU menerima NOD (Notice of Disbursment) dari lender.
5. Berdasarkan NOD yang diterima, KPPN menerbitkan SP3. Surat Perintah
Pembukuan/Pengesahan (SP3).
16
kembali sebelum jatuh tempo (buyback), dan pertukaran (bond swap) sebagian Surat Utang
Negara yang beredar.
b) Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
c) Persetujuan diberikan atas nilai bersih maksimal Surat Utang Negara yang akan diterbitkan dalam
satu tahun anggaran.
Nilai bersih adalah tambahan atas jumlah Surat Utang Negara yang beredar. Jumlah ini
merupakan selisih antara jumlah Surat Utang Negara yang diterbitkan dengan yang ditarik
kembali sebelum jatuh tempo dan dilunasi selama satu tahun anggaran.
d) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara. Persetujuan tersebut didahului dengan mengajukan rencana penerbitan dan
pelunasan dan/atau pembelian kembali yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian Nota
Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
e) Dalam hal-hal tertentu, Menteri Keuangan dapat menerbitkan Surat Utang Negara melebihi nilai
bersih maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat setelah mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat dan dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu adalah mencakup hal-hal sebagai berikut:
penerbitan Surat Perbendaharaan Negara dalam rangka menutup kekurangan kas jangka
pendek menjelang akhir tahun anggaran yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya sehingga
jumlah nilai bersih maksimal yang telah disetujui terlampaui.
penerbitan Obligasi Negara dalam rangka pengelolaan portofolio Surat Negara adakalanya
dilakukan menjelang akhir tahun anggaran karena pertimbangan kondisi dan perkembangan
pasar surat utang, sedangkan realisasi pembelian kembali (buyback) baru dilakukan pada
tahun berikutnya (carry over) sehingga jumlah nilai bersih maksimal yang disetujui
terlampaui.
f) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat mengenai penerbitan Surat Utang Negara meliputi
pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan Surat
Utang Negara dimaksud.
g) Pemerintah wajib membayar bunga dan pokok setiap Surat Utang Negara pada saat jatuh tempo.
h) Dana untuk membayar bunga dan pokok disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
i) Dalam hal pembayaran kewajiban bunga dan pokok dimaksud melebihi perkiraan dana, Menteri
Keuangan melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
18
2. Tata cara penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement/SLA)
a) Menteri menetapkan pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang akan
diteruspinjamkan atau diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah dan diteruspinjamkan atau
dijadikan penyertaan modal kepada BUMN. Penetapan dilaksanakan sebelum dilakukan
negosiasi dengan PPLN/PHLN.
b) Dalam menentukan penerusan pinjaman kepada Daerah dalam bentuk pinjaman atau hibah,
Menteri memperhatikan kemampuan membayar kembali daerah dan kapasitas fiskal daerah serta
pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Ukuran kemampuan membayar Daerah, antara lain
Debt Service Coverage Ratio (DSCR), posisi outstanding pinjaman, dan tunggakan pembayaran
kewajiban pinjaman. Menteri menetapkan peta kapasitas fiskal daerah.
c) Menteri menetapkan persyaratan penerusan pinjaman dan/atau penerusan hibah.
d) Pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang diteruspinjamkan dituangkan dalam NPPP.
Pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah
dituangkan dalam NPH. NPPP dan NPH sekurang-kurangnya memuat jumlah, peruntukan, dan
persyaratan pinjaman dan/atau hibah.
e) NPPP dan NPH ditandatangani oleh Menteri atau pejabat yang diberi kuasa oleh Menteri dengan
Kepala Daerah/Pimpinan BUMN. NPPP dan NPH ditandatangani selambat-lambatnya 2 (dua)
bulan setelah NPPLN/NPHLN ditandatangani.
f) Salinan NPPP dan NPH disampaikan oleh Departemen Keuangan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan dan instansi terkait lainnya. Yang dimaksud dengan Instansi terkait adalah Kementrian
Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Daerah/BUMN yang bersangkutan,
Bank Indonesia, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
g) Pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang dijadikan penyertaan modal negara pada
BUMN dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
h) Jumlah atau bagian dari jumlah pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang dimuat dalam NPPP
dan NPH dituangkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran Pemerintah Daerah atau BUMN.
i) Pemerintah Daerah atau BUMN wajib melakukan pembayaran kembali atas penerusan pinjaman
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam NPPP. Ketentuan lebih lanjut mengenai penerusan
pinjaman dan/atau hibah luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri.
19
BAB III
KONDISI DAN STRATEGI UTANG PEMERINTAH INDONESIA
2. Posisi Pinjaman
20
21
3. Penyebab Besarnya Utang Pemerintah Indonesia
Utang pemerintah per akhir Juni 2013 tercatat sebanyak Rp 2.036,14 triliun, meningkat dari jumlah
utang pada akhir 2012 yang hanya sebesar Rp 1.977,71 triliun. Ibaratnya, tiap bayi yang baru lahir di
Indonesia terbebani utang negara sebesar 8 juta rupiah. Berikut merupakan sebab membengkaknya
jumlah utang pemerintah.
a. Akumulasi utang di masa lalu yang memerlukan refinancing dan membebani APBN cukup besar;
b. Dampak krisis tahun 1997 yang mengakibatkan depresiasi Rupiah, kasus BLBI, dan Rekapitulasi
Perbankan;
c. Strategi defisit anggaran : strategi defisit anggaran tanpa diimbangi dengan kontrol akan sangat
berbahaya. Selama ini Indonesia selalu menerapkan strategi ini, dengan harapan, jika utang
kepada luar negeri, maka hasil dari utang tersebut digunakan untuk pembiayaan pembangunan,
sehingga sektor riil berkembang dan harapannya pendapatan nasional dapat meningkat signifikan.
Namun hasil dari pendapatan nasional ini tidak sepenuhnya digunakan untuk membayar utang
luar negeri.
d. Tidak menyadari secara penuh biaya yang harus ditanggung di masa depan.
e. Pemikiran irasional banyak mendominasi penentu kebijakan di negara sedang berkembang dalam
melakukan utang (Alesina dan Tabellini)
f. Adanya faktor sosial politik dari penentu kebijakan.
g. Faktor sosial dan politik lebih dominan dibanding faktor ekonomi dalam melakukan utang
(Sebastian Edwards)
23
Jenis fee ini diberlakukan oleh World Bank dan ADB serta kreditor lain bilateral dan fasilitas
kredit ekspor sebagai suatu bentuk biaya terhadap pinjaman yang belum dicairkan
(undisbursed loan). World Bank mengenakan commitment fee sebesar 0,75% atas total
undisbursed loan. ADB mengenakan fee ini sebesar 0,75% atas selisih antara target
disbursement dengan realisasi penarikan.
4) Insurance premium
Premi asuransi ini hanya dikenakan atas pengadaan barang melalui fasilitas kredit ekspor.
Besarnya premi tergantung pada dua hal yaitu tariff yang ditetapkan kreditor dan country risk.
Semakin besar indeks country risk, semakin besar pula premi dikenakan. Kedepannya, kredit
ekspor ini akan ditekan sehinggan premi asuransi semakin sedikit. Organisastion For
Economic Co-operation and Development (OECD) menurunkan level country risk
classification (CRC) untuk Indonesia pada April 2010. Indonesia yang sebelumnya berada
dalam rentang 5, naik peringkat menjadi 4 dari rentang 0-7 (berisiko tinggi).
5) Depresiasi
Depresiasi terhadap pinjaman luar negeri sangat terasa saat krisis moneter era 1997/1998.
Pada waktu itu rupiah naik hampir tujuh kali lipat terhadap dolar amerika. Dengan
memperhitungkan laju depresiasi rupiah terhadap mata uang lainnya, dapat dibandingkan
biaya utang luar negeri dengan pinjaman domestik. Resiko nilai tukar barangkali merupakan
komponen biaya yang selalu luput dari perhitungan biaya pinjaman luar negeri . Padahal,
depresiasi merupakan komponen biaya yang terbesar. Tingkat depresiasi rupiah sangat
tergantung pada jenis valuta yang dijadikan denominasi. Pinjaman Pemerintah tidak hanya
berdenominasi rupiah, tapi juga dalam bentuk euro, yen, dan poundsterling.
d) Keharusan Rupiah Murni Pendamping untuk Pinjaman Luar Negeri dan Hibah
Dalam penyaluran hibah, ternyata juga ada persyaratan harus menyediakan rupiah pendamping.
Kementerian/Lembaga harus menyisihkan ‘sebagian’ dananya dulu untuk proyek-proyek yang
didanai dari hibah tersebut. Akibatnya akan ada pengurangan bagi program/kegiatan lain. Ini
adalah trade off antara kegiatan dari hibah atau kegiatan yang benar-benar sudah direncakan jauh-
jauh hari sebelumnya. Hibah bagi Indonesia sekarang ini tidak lagi dalam bentuk rupiah
murni/tunai, tapi dalam bentuk proyek atau bantuan teknis. Baik pinjaman dan hibah ada yang
memerlukan rupiah murni pendamping. Meski tujuannya untuk menjamin terlaksananya
kegiatan, tapi sedikit banyak menyulitkan APBN.
e) Penyerapan Pinjaman Luar Negeri Tidak Optimal
Dalam pengadaan pinjaman. Pinjaman luar negeri sampai yang telah dibentuk komitmennya
tidak seluruhnya terserap. Hal ini memberatkan pemerintah dalam membayar komitmen fee.
Penyebab kurang terserapnya pinjaman ini antara lain karena Utang yang tidak terserap pada
umumnya terhambat oleh kebijakan di dalam negeri, baik dari sisi peraturan perundang-undangan
maupun kebijakan lainnya. Selain itu penyebab lainnya adalah setiap proyek ada tahapan-
tahapan, dan setiap proses ini harus dimintakan izin dari lender. Nanti lender mengeluarkan NOL
(No Objection Note/Nota Tidak Menolak), baru proyek bisa berjalan. Kurangnya penyerapan
pinjaman ini juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Meski demikian, tetap saja pemerintah
melakukan komitmen kepada kreditur dalam jumlah yang cukup besar.
f) Akuntabitas Subsidiary Loan Agreement (SLA) Kurang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa
utang/pinjaman pemerintah dapat bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Utang/pinjaman
tersebut oleh pemerintah dapat digunakan untuk membiayai keperluan pemerintah pusat dan/atau
diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah/BUMN yang dimuat dalam Undang-Undang
APBN. Berdasarkan laporan BPK sejak 2007-2009, BPK selalu memberikan opini disclaimer
(tidak memberikan pendapat) untuk BA. 999.04 (penerusan pinjaman/subsidiary loan agreement).
24
Alasan BPK memberikan opini tersebut adalah Temuan itu lebih pada kelemahan sistem
pengendalian internal. Pencatatan realisasi Penerusan Pinjaman yang dilaporkan dalam laporan
Realisasi Anggaran BA.999.04 tahun 2009 tidak berdasarkan dokumen sumber yang valid.Pada
pertengahan Mei 2009, KPK menemukan pinjaman dari SLA yang macet sebesar 15 triliun
rupiah.
Debitur dari penerusan pinjaman itu adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
diantaranya PT PLN dan BUMN bidang perkapalan, yaitu PT Pal Indonesia, PT Industri Kapal
Indonesia (IKI), dan PT Pelni. Utang tersebut terdiri dari tersebut terdiri dari mata uang lokal Rp
7,37 triliun serta mata uang asing sebesar 715,09 juta dolar AS, 48,60 juta DEM, dan 16,31 juta
euro.
27
[a] menjamin pemenuhan pembiayaan APBN tanpa menimbulkan crowding out di pasar
domestik
[b] menurunkan tingkat biaya portofolio utang pada tingkat risiko yang terkendali
[c] memberikan benchmark yield bagi sektor korporasi/swasta
[d] mengutamakan penerbitan dalam mata uang USD. Penerbitan dalam mata uang valas
selain USD dapat dilakukan sepanjang terdapat lindung nilai (hedging) dengan terlebih
dahulu mempertimbangkan biaya yang diperlukan
2) Mempertimbangkan pengelolaan risiko utang dalam kerangka ALM negara
3) Mengembangkan metode penerbitan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi perubahan
target pembiayaan dan ketidakpastian kondisi pasar keuangan serta efisiensi waktu penerbitan
dan biaya utang
4) Melanjutkan metode GMTN dengan kualitas eksekusi dan penjatahan yang lebih baik antara
lain menekankan pada real money account
5) Mengkaji penerbitan dengan format SEC Registered
29
BAB III
OVERVIEW KESINAMBUNGAN FISKAL (FISCAL SUSTAINABILITY)
30
kesinambungan keuangan publik, adalah kemampuan dari suatu pemerintah untuk menopang
belanja lancar, pajak, dan kebijakan lainnya dalam jangka panjang tanpa mengancam solvabilitas
pemerintah atau mengalami gagal bayar atas beberapa kewajibannya atau belanja dengan
perjanjian.)
– Wikipedia
Kesinambungan fiskal adalah suatu kondisi dimana struktur APBN secara dinamis mampu
menjalankan fungsi sebagai stabilisator perekonomian serta mampu memenuhi berbagai beban
pengeluaran atau kewajiban, baik eksplisit maupun implisit untuk saat ini dan yang akan datang
secara aman.
– Rahmat Waluyanto
31
1. Pendekatan kendala anggaran antar waktu (intertemporal budget constraint, IBC) atau dikenal juga
sebagai pendekatan kendala nilai sekarang (present value constraint, PVC), dimana pendekatan ini
lebih melihat fenomena kesinambungan fiskal berdasarkan situasi historis dari posisi kebijakan
fiskal tersebut sendiri. Pendekatan present value constraint approach menyatakan bahwa fiscal
sustainability tercapai apabila jumlah utang pemerintah pada tahun anggaran tertentu sama dengan
present value dari surplus primary balance di masa mendatang;
2. Pendekatan akuntansi (accounting) yang dalam analisisnya menggunakan indikator-indikator
ekonomi sebagai persentase dari PDB untuk menilai kesinambungan fiskal. Fokus dari pendekatan
ini diletakkan pada target rasio utang tertentu, biasanya rasio utang-PDB, yang dikaitkan dengan
target-terget ekonomi makro seperti inflasi, laju pertumbuhan ekonomi (g) dan tingkat suku bunga
(r). Defisit atau surplus pada keseimbangan primer dianggap sustainable apabila keseimbangan
primer tersebut menghasilkan rasio utang terhadap PDB yang konstan; dan
3. Pendekatan indikator kesinambungan dimana dibentuknya indikator-indikator fiskal untuk menilai
kesinambungan kebijakan fiskal suatu negara. Indikator-indikator tersebut pada dasarnya dapat
diturunkan dari persamaan kendala anggaran pemerintah antar waktu dan dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan dari negara yang bersangkutan.
84308,5
41537,5
29962,6
5163,2 8862,4
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
-72319,9
-96000
Catatan: Defisit keseimbangan primer tahun 2013 merupakan pernyataan dari Menteri Keuangan pada
tanggal 3 Januari 2013 (Metrotvnews.com)
Terlihat bahwa dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami defisit pada keseimbangan
primernya. Defisit keseimbangan primer APBN berisiko mengganggu kesinambungan
fiskal karena beban bunga utang harus ditutup dengan penarikan pokok utang baru.
Akibatnya, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto berisiko membengkak.
Dengan menggunakan salah satu pendekatan untuk menilai kesinambungan fiskal, melihat kondisi
keseimbangan primer APBN yang bernilai negatif, kesinambungan fiskal Indonesia akan terganggu.
Ke depan, perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk menjaga kesinambungan fiskal.
Dua faktor dominan yang menyebabkan terjadinya defisit keseimbangan primer adalah:
a) Tidak tercapainya target penerimaan perpajakan
Belanja negara yang diestimasikan berdasarkan target atau rencana penerimaan pajak yang
ternyata tidak tercapai pada akhir tahun menjadi salah satu faktor timbulnya defisit keseimbangan
primer.
b) Meningkatnya belanja pemerintah
Terkait dengan faktor pertama, belanja pemerintah yang tidak diiringi dengan penerimaan pajak
yang diharapkan membuat keseimbangan primer terganggu.
33
Terkait dengan utang pemerintah ini, dapat dibuat perbandingan antara tambahan utang baru
(netto) dan tambahan penerimaan perpajakan setiap tahunnya, dengan meng ambil data tahun
2009-2012.
Dari perhitungan tersebut, utang baru kita setiap tahunnya rata-rata bertambah lebih dari Rp100
triliun. Rincian penambahannya adalah Rp91 triliun (2010), Rp127 triliun
(2011), Rp166 triliun, dan diperkirakan Rp162 triliun (2013).
Sementara itu, tambahan penerimaan perpajakan setiap tahunnya rata-rata juga di atas Rp100
triliun, yaitu Rp103 triliun (2010), Rp151 triliun (2011), Rp106 triliun (2012), dan diperkirakan
Rp159 triliun (2013).
Data tersebut memperlihatkan bahwa semakin ke sini, selisih (delta) antara tambahan utang baru
dengan tambahan penerimaan perpajakan justru semakin negatif. Dengan kata lain, kemampuan
utang kita dalam menghasilkan pendapatan (revenue) untuk dipergunakan pemerintah membayar
kembali utangnya kini semakin menurun. Tentunya ini perlu pendalaman, mengapa PDB kita
yang tinggi, namun pajak yang dapat ditarik masih rendah.
b) Pembayaran utang luar negeri
Kita juga menghadapi tekanan akibat tingginya pembayaran utang luar negeri (ULN). Rasio
pembayaran ULN Indonesia terhadap penerimaan transaksi berjalan (debt service ratio/DSR)
mengalami kenaikan tajam. DSR kita telah mencapai 34,7% pada kuartal I/2013, menurun sedikit
dibandingkan dengan posisi pada 2012 sebesar 34,9%. Namun, angka DSR ini tergolong tinggi
karena batas amannya seharusnya dijaga tidak lebih dari 20%. Penyebab tingginya DSR ini
adalah karena menurunnya kemampuan ekspor kita. Tentunya, tingginya pembayaran ULN ini
membawa implikasi bagi perekonomian. Tingginya pembayaran ULN telah menyebabkan neraca
pembayaran Indonesia (NPI) defisit, menekan posisi cadangan devisa dan nilai tukar Rupiah
melemah.
34