Anda di halaman 1dari 18

Jayapura News

Meski Papua memiliki kontribusi yang signifikan terhadap keanekaragaman hayati di


Indonesia, namun kekayaan keanekaragaman hayati di Papua sedang dalam ancaman.
Demikian antara lain yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup, Prof. DR. Ir. Gusti
Muhammad Hatta melalui telekonference dari Jakarta saat membuka Konferensi
Keanekaragaman Hayati Papua I yang berlangsung di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua,
Rabu (11/11).
Menurut menteri, pertemuan ini sangat penting untuk meningkatkan komitmen semua
pemangku kepentingan guna melakukan konservasi keanekaragaman hayati. "Kita harus
sadar konservasi keanekaragaman hayati tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tapi
merupakan tanggungjawab semua pemangku kepentingan," tuturnya.
Dikatakan, keanekaragaman hayati memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan
manusia antara lain menyediakan sumber barang dan jasa, mulai dari materi genetik yang
dimanfaatkan berbagai kebutuhan seperti obat-obatan, pangan dan pakan serta untuk
kepentingan wisata, kemudian jasa lingkungan lainnya. "Bahkan Indonesia dikenal sebagai
salah satu pusat keanekaragaman hayati flora dan fauna,"ungkapnya.
Lebih jauh dikatakannya, Papua diketahui sebagai salah satu tempat yang penting terkait
dengan keanekaragaman hayati dan Papua secara signifikan telah memberikan kontribusi
kepada status Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati
yang tinggi.
Dijelaskan, Papua memiliki potensi keanekaragaman hayati sekitar 50 persen dari seluruh
keanekaragaman hayati Indonesia, bahkan sebagian besar potensi tersebut adalah endemic
Papua. Namun demikian, kekayaan keanekaragaman hayati tersebut saat ini sedang
menghadapi ancaman besar karena ahli fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Sementara itu, Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH mengungkapkan, konferensi
keanekaragaman hayati yang pertama di Tanah Papua merupakan momen bersejarah.
"Sehingga melalui konferensi ini, bangsa kita mendeklarasikan bahwa sangat mungkin untuk
melakukan pembangunan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara bijaksana,"
paparnya.
Diungkapkannya, semuanya sependapat bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar
terhadap eksistensi umat manusia, termasuk berdampak
pada keanekaragaman hayati. "Hal tersebut di Papua sudah mulai dirasakan dalam bentuk
kekeringan dan kelaparan di daerah pegunungan tengah akibat perubahan iklim. Kenaikan
suhu bumi akan mengakibatkan kekeringan dan kelaparan menjadi lebih sering, sehingga
upaya-upaya yang sementara dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan
kualitas kesejahteraan hidup rakyat akan sangat dipengaruhi olehnya," terang gubernur.
Gubernur menegaskan, kekayaan hutan dan keanekaragaman hayati Papua mempunyai peran
begitu besar, baik secara internasional maupun sebagai pelindung bagi penduduk Papua
terhadap akibat kerusakan lingkungan dunia dan ketidakstabilan iklim. "Hutan dan
keanekaragaman hayati Papua adalah penjamin masa depan dan peradaban Papua, karena
menyediakan air, energi, makanan, obat-obatan dan sumber indentitas kebudayaan
Papua,"imbuhnya.
Ditempat yang sama, Wakil Gubernur Papua Barat, Rahimin Katjong mengungkapkan, tanah
Papua ditandai sebagai daerah nilai konservasi yang tinggi dan lampu sorot solusi iklim
global bahkan Papua dan Papua Barat mempunyai tantangan implementasi pengambilan
prakarsa inisiatif pelestarian, ketersediaan maupun SDM di Papua.
Lebih jauh dikatakan, keanekaragaman hayati dan hutan yang tinggi juga merupakan
ancaman dari illegal loging dengan pembukaan pembersihan hutan untuk agrobisnis bagi
peningkatan daerah-daerah pemekaran di wilayah kabupaten baru yang membutuhkan akses
melalui hutan alami yang merupakan bagian dari warisan pusaka alami untuk kepentingan
pembangunan infrastruktur baru.
"Hal ini merupakan ancaman serius bagi perkembangan kehidupan keanekaragaman hayati
Papua, sebab kegagalan pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati yang telah terjadi di
daerah Kalimantan dan Sumatera tidak terulang di Papua. Begitu juga perkebunan kelapa
sawit yang akhir-akhir ini kita lihat di tanah Papua banyak mengalami kemunduran. Bahkan
tidak menguntungkan bagi masyarakat yang ada di tanah Papua," tandasnya.
Acara yang akan berlangsung hingga Sabtu (14/11) ini dihadiri oleh perwakilan negara-
negara sahabat, lembaga donor, Muspida di lingkungan Pemprov Papua dan Papua Barat
serta tamu undangan lainnya.
http://wendanak.multiply.com/journal/item/1?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem





Yance de Fretes, Betsy Yaap, Andy Mack, Gerald Allen
Jakarta : CI Indonesia, 1999
8 halaman
Irian Jaya yang telah berganti nama menjadi Papua merupakan provinsi dengan keanekaragaman hayati
tertinggi di Indonesia.
Kekayaan alam daratan dan Lautan pulau Papua terdiri dari banyak spesies endemik dan beragam ekosistem.
Menurut perkiraan terbaru ada sekitar 25.000 spesies tumbuhan berkayu, 164 spesies mamalia, 329 spesies
amfibia dan reptilia, 650 spesies burung, dan 1200 spesies ikan laut. Dengan kata lain, Papua hampir memiliki
separuh dari kekayaan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Antara lain Kantung Semar(Nepenthes
sp.), Damar (Agathis sp.), Kumbang Biru (Eulophis geoffroyi), ikan Pelangi (Chilatherina alleni), katak spesies
baru dari generaNyctimysties sp., Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius casuarius) dan beraneka ragam hewan
lainnya.


Pada Februari 2008 PTFI membantu pemulangan lebih dari 10.000 labi-labi moncong babi
ke sungai Mawati dan Otakwa di dalam lokasi Warisan Dunia (World Heritage Site) Lorentz
di Papua. Labi-labi tersebut yang merupakan satwa asli Papua disita dalam razia terhadap
pedagang ilegal di Pulau Jawa. Pelepasan tersebut yang dikoordinasikan bersama berbagai
dinas pemerintahan dan kelompok penyelamatan satwa merupakan program ketiga pelepasan
labi-labi yang didukung perusahaan sejak tahun 2006. Perusahaan pun telah membantu
program-program serupa guna menyelamatkan kanguru.
Wilayah proyek PTFI mencakup lahan seluas 292.000 hektar di Provinsi Papua, Indonesia.
Sekitar 26.000 hektar (9% dari seluruh wilayah kontrak) digunakan untuk kegiatan produksi
dan ekstraksi mineral. Seluruh kawasan selatan Papua menunjukkan tingkat endemis tinggi
dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tenggara.
Kami telah memfasilitasi dan mendukung berbagai kajian ekologi dan keanekaragaman
hayati untuk pengelolaan keanekaragaman hayati yang efektif. Kajian keanekaragaman hayati
tersebut dilakukan bersama para pakar Indonesia maupun internasional, termasuk survei
terhadap tumbuh-tumbuhan, etnobotani, tanaman obat, satwa mamalia, burung, kupu-kupu,
amfibia, reptil, ikan, fauna tanah, dan serangga perairan maupun darat. Informasi yang
tersedia menunjukkan kemungkinan terdapatnya 50 spesies wilayah yang masuk Daftar
Merah Spesies Terancam dari International Union for Conservation of Nature (Badan
Konservasi Alam Dunia), yang sebagian besar disebabkan langkanya data karena masih
banyak yang harus dikerjakan di kawasan ini.



Program keanekaragaman hayati PTFI telah memberi sumbangan yang signifikan bagi
khazanah ilmu pengetahuan alam di Papua melalui berbagai penemuan spesies baru,
koleksi karya acuan, dan penerbitan makalah, buku dan poster.
Sebagian besar karya kami di bidang keanekaragaman hayati dapat langsung diterapkan
dan tersedia bagi para peneliti yang ditugaskan untuk mengembangkan rencana
pengelolaan Taman Nasional Lorentz, yakni lahan seluas 2,5 juta hektar yang pada
tahun 1999 ditetapkan sebagai lokasi Warisan Dunia (World Heritage Site) oleh Badan
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya PBB (UNESCO). Menyerupai wilayah proyek
PTFI (yang lokasinya berdekatan), taman tersebut mencakup suatu transek utuh
berkesinambungan mulai dari pegunungan yang tinggi hingga kawasan laut tropis,
termasuk lahan basah yang sangat luas di sekitar dan sepanjang garis pantai. PTFI tidak
melakukan kegiatan operasi di dalam Taman Nasional Lorentz.
http://www.ptfi.com/environment/hayati_taman_nasional.asp









KEANEKARAGAMAN hayati meliputi keanekaragaman genetik, spesies,
ekosistem dan keragaman budaya manusia. Semakin beraneka ragam gen, spesies,
dan ekosistem, maka semakin kokoh daya dukung lingkungan. Semakin kokoh daya
dukung lingkungan maka semakin stabil ia mendukung atau menyangga
perikehidupan manusia.
Tanah Papua memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baik flora
maupun fauna. Kita mempunyai flora maupun fauna endemik yang merupakan ciri
khas Papua. Misalnya kekayaan yang ada dalam hutan tropis kita. Hutan tropis di
Papua sangat kaya akan keanekaragaman hayatinya karena dipengaruhi oleh faktor
kedekatan dengan Benua Australia, Papua mempunyai aneka tamanan anggrek
yang masuk dalam famili Orchidaceae yang tumbuhnya tersebar dari pantai(hutan
payau), rawa sampai daerah pegunungan dan umumnya hidup sebagai epiphite
menempel pada batang pohon maupun diatas batu-batuan dan hidup diatas tanah
humus di bawah hutan primair. Sudah sejak jaman Belanda tanaman anggrek mulai
mendapat perhatian dan banyak ahli botani dan biologi dimana mereka telah banyak
mengadakan ekpedisi guna mengumpulkan jenis-jenis anggrek di Papua. Selain itu,
kita mempunyai aneka jenis kayu-kayuan yang terbagi dalam berbagai tipe dan
golongan.
Tidak hanya itu saja, Papua yang merupakan daerah peralihan antara benua
Asia dan Australia, mempunyai kekayaan alam berupa fauna yang khas serta elok
dan jarang di jumpai di daerah lain. Seperti Burung Cenderawasih (Paradisedae),
Kangguru Pohon (Borcopsis mulleri), Kasuari (Casuarius asuarius), Soa-
soa (Hydrosaurus amboinensis), Burung Maleo(Megachephalon maleo), dan aneka
fauna lainnya yang sangat beragam.
Menyimak perkembangan yang terjadi di Papua akhir-akhir ini, penyusutan
dan punahnya keanekaragaman hayati melaju terus akibat negatif dari
pembangunan dan pemekaran wilayah yang tentunya menuntut pembukaan areal
hutan guna kepentingan pembangunan infrastruktur serta kegiatan investasi baik
perkebunan maupun pertambangan yang telah memasuki area-areal yang
dilindungi.
Bukan hanya itu saja, masih banyak aktivitas yang dilakukan oleh orang-
orang yang tidak bertanggungjawab yang merusak habitat, mengeksploitasi dan
mengubah kekayaan hayati secara berlebihan dan juga tambah diperparah dengan
lemahnya aturan dan penegakan hukum di Papua mengenai perlindungan
keanekaragaman hayati, lihat saja kura-kura moncong babi (Carettochelys
insculpta) baru-baru ini disita oleh aparat berwenang di Merauke karena akan
diselundupkan ke Jakarta.
Melihat hal diatas, maka sangat penting untuk dilakukan usaha-usaha
perlindungan maupun konservasi baik secara in situ maupun ex situ. Misalnya
secara in situ, kita mempunyai Taman Nasional Lorentz yang telah ditetapkan
menjadi situs warisan dunia. Dimana kelestrarian taman ini perlu kita jaga, sebap
kawasan TNL memiliki keanekaragam hayati yang sangat tinggi, disini terdapat tiga
puluh empat jenis tumbuhan yang meliputi seluruh lingkungan utama yang diakui di
Papua. Kekayaan dan keanekaragaman hayatinya tak tertandingi. Kawasan Lorentz
yang dinilai oleh pakar mamalogi sebagai daerah yang memiliki keanekaragaman
mamalia terbesar di Melanesia.
Selain itu, kita mempunyai Kawasan Taman Nasional Wasur maupun
keanekaragaman hayati yang terdapat di kawasan Pegunungan Foja Mamberamo
yang mempunyai kawasan hutan yang masih lestari dan 'perawan' serta memiliki ciri
khas tersendiri karena memiliki berbagai macam flora dan fauna yang beberapa
diantaranya merupakan endemik Papua.
Untuk itu ada beberapa hal prioritas yang harus dilakukan antara lain :
1. Meningkatkan efektivitas pengelolaan daerah konservasi in situ dan ex situ
2. Melestarikan keanekaragaman hayati di kawasan agro-ekosistem dan diluar
kawasan lindung
3. Meningkatkan apresiasi pengetahuan dan pemberdayaan masayarakat adat Papua
yang berada di sekitar hutan, agar ikut bersama-sama menjaga kelestarian hutan
serta keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya
4. Meningkatkan efisiensi dan kelestarian penggunaan keanekaragaman hayati
5. Membuat jaringan kerjasama, memantau dan mengevaluasi pengeloaan
keanekaragaman hayati yang ada di Papua.
Jadi seperti itu kira-kira pembahasan kita kali ini mengenai pentingnya
konservasi keanekaragaman hayati, semoga bermanfaat bagi Anda para pembaca
serta dapat membuka wawasan Anda akan pentingnya usaha konservasi
keanekaragaman hayati.
http://lorenskambuaya.blogspot.com/2012/03/pentingnya-konservasi-keanekaragaman.html
A. Kondisi Hutan Indonesia
Hutan Indonesia merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam hayati dan
menjadi negara ketiga pemilik hutan tropis terbesar di dunia setelah hutan Amazone di
Brazil dan Congo Bazin di RDC dan Kamerun. Hutan Indonesia terkenal sebagai pusat
keanekaragaman flora dan fauna dunia, dengan tercatat sebagai urutan pertama untuk
mamalia (436 spesies, 51 %), kupu-kupu (121 spesies, 44 %), dan palem (477 spesies, 47
%); urutan keempat untuk reptilia (512 spesies, 29 % endemik); urutan kelima untuk
burung (1.519 spesies, 28 %); urutan keenam untuk amfibia (270 spesies, 37 %
endemik); dan urutan ketujuh untuk tumbuhan berbunga (29.375 spesies, 59 %
endemik).

Kawasan hutan yang demikian luas ini mewakili berbagai macam tipe ekosistem dan
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sebagian besar kawasan hutan Indonesia
tersebut meliputi hutan lindung dan hutan konservasi yang difungsikan untuk
perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, memelihara kesuburan tanah,
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Data Departemen Kehutanan Republik Indonseia, luas hutan di Indonesia berdasarkan
pemanfaatannya pada tahun 1950 adalah 162 juta hektare. Pada 1985 atau 35 tahun
berikutnya, luas hutan Indonesia berkurang menjadi 119 juta hektar. Dalam kurun
waktu 12 tahun, luas hutan di Indonesia menjadi 98 juta hektare atau hilang 21 juta
hektare. Sementara pada tahun 2005, luas hutan yang tersebar di enam pulau besar
yakni Papua, Maluku, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi itu tinggal 85 juta
hektare. Berarti selama kurun waktu 55 tahun dari 1950 hingga 2005, hutan kita telah
hilang 77 juta hektare atau 47,5%.
Kawasan hutan Indonesia berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan
mengalami tekanan yang cukup serius. Tekanan tersebut puncaknya terjadi selama masa
euforia reformasi, baik tekanan terhadap luasan kawasan hutan maupun sumber daya
alam hayatinya. Maraknya illegal logging dan illegal trade sumber daya alam serta
kebakaran hutan menjadi penyebab utama kerusakan hutan yang merugikan negara
trilyunan rupiah. Pada masa reformasi tersebut (tahun 1997-2003) kerusakan hutan
diperkirakan 2,83 juta hektar.

B. Profil Hutan Tropis Papua
Hutan terakhir di Asia Tenggara berada di Papua. Hutan Tropis di Tanah Papua dengan
luas 416.000 km2 yakni sekitar 40.5 juta Ha atau 33,74 % dari total luas Hutan Tropis
Indonesia (120,35 juta Ha) merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki
kekayaan flora dan fauna yang sangat beragam dengan nilai keunikannya yang khas.
Sekitar 81,14 % luas lahan di Tanah Papua berupa tutupan hutan yang mengandung
kekayaan keanekaragaman hayati begitu tinggi. Papua menjadi penyumbang utama
keanekaragaman hayati Indonesia baik dalam tingkat keragamanannya maupun
keendemikanya. Diperkirakan 602 jenis burung (52 % jenis endemik), 223 jenis
mamalia (58 % jenis endemik), 223 jenis reptil (35 % jenis endemik) dan 1030 jenis
tumbuhan (55 % jenis endemik) hidup dibelantara Papua.

Propinsi Papua dan Papua Barat, merupakan Eden Jardin (taman firdaus) yang masih
ada dan terlengkap diplanet bumi. Keduanya merupakan bagian dari daratan tertua di
gugusan nusantara Indonesia yang terbentuk sejak 195 juta tahun silam. Kedua wilayah
di Propinsi
ini memiliki keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang luar biasa dan dikategorik
an sebagai ekoregion Papua.
Ekoregion merupakan istilah yang oleh World Wild Fund
(WWF) didefinisikan sebagai unit air dan tanah yang menyimpan sejumlah species,
komunitas alam, dan kondisi lingkungan yang signifikan secara geografis. Hingga kini
sekitar 80% permukaan ekoregion Papua (Selanjutnya disebut Papua) masih ditutupi
hutan hujan tropis dan dijuluki raksasa rainforest karena luasnya yang mencapai 42 juta
ha, menjadi rumah bagi 50% biodiversitas Indo-Malaya.

Saat ini Papua menjadi pulau equator terbesar ketiga di dunia yang didiami oleh ribuan
satwa endemik, penciri koneksitas species-species Melanesia dengan paparan Sulu-
Sulawesi. Pada bagian barat Papua, di kabupaten Raja Ampat, terhampar 610
pulau tepat di jantung segitiga karang dunia. Di tempat ini di temukan 450 jenis karang
yang mencakup 75% jenis terumbu karang. Selain itu ditemukan 700 jenis moluska dan
283 jenis ikan dalam 90 menit waktu penyelaman. Total biomassa yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan kawasan di
'coral triangle' MileBay (PNG), Seascape Carribien, Bunaken dan Banggai, maupun
corridor Calamianes di Philipina. Di Papua Barat, tepatnya di Bintuni, terhampar
gugusan ekosistem mangrove seluas 77,1 % dari total mangrove Indonesia dengan
nilai ekonomis sebesar U$.46,5 juta/tahun.

Hutan bagi masyarakat asli Papua adalah gudang makanan, sebab di dalam terdapat
sumber obat obatan, makanan dan berbagai sumber kehidupan sehari-hari bagi
kelangsungan hidup mereka dari generasi ke generasi. 80% dari populasi masyarakat
Papua masih tergantung sepenuhnya dari hutan dan sebagian masyarakat masih hidup
sebagai pemburu dan peramu.

C. Degradasi dan Deforestasi Melanda Hutan Papua
Hutan terakhir di Asia Tenggara berada di Papua. Namun keadaannya sangat terancam
oleh penggundulan hutan, pertambangan dan perkebunan. Sementara 80% dari
populasi masyarakat Papua masih tergantung sepenuhnya dari hutan dan sebagian
masyarakat masih hidup sebagai pemburu dan peramu. Dalam beberapa tahun terakhir,
mereka banyak kehilangan tanah tradisionalnya. Hilangnya hutan punya dampak yang
kuat pada masyarakat, karena hilangnya hutan menghancurkan mata pencaharian
mereka. Lahan berburu hilang, sungai yang mengering, sehingga mereka hampir tidak
mendapatkan ikan, dan dengan demikian masyarakat semakin miskin.

Sejak tahun 2001, Papua dibagi ke dalam beberapa kabupaten dalam rangka otonomi
khusus. Segera setelah pembagian tersebut banyak perusahaan kayu memasuki Papua.
Tahun 2001, Departemen Kehutanan mensahkan konsesi penebangan (HPH, Hak
Pengusahaan Hutan) kepada 54 perusahaan baru. Perusahaan-perusahaan tersebut
membagi-bagi Papua dibawah sepengetahuan mereka sendiri. Mereka bersama-sama
menguasai sepertiga dari luas total wilayah Papua. Menurut data pemerintah, HPH lebih
dari 14 juta hektar dialokasikan kepada perusahaan kayu: diantarnya di daerah Kepala
Burung, di wilayah sekitar Teluk Bintuni, di wilayah Utara, dan di wilayah Selatan di
kabupaten Boven Digul dan Mappi. Pengecualian berlaku hanya di daerah daratan
tinggi. Hampir satu juta hektar berada di tangan industri kertas, dan lebih dari setengah
juta hektar milik perusahaan perkebunan. Ditambah lagi ada beberapa konsesi untuk
pertambangan. Izin konsesi lahan menunjukan bahwa untuk Industri kayu (HPH),
14.410.351 ha; Industri kertas (HTI), 916.397 ha; dan Perkebunan (HGU), 570.497 ha.
Hal ini menunjukkan bahwa tanah dan hutan Papua dibagi-bagi seperti 'kue, atas nama
pembangunan.


Saat ini hutan Papua terancam oleh deforestasi dan degradasi dengan adanya ekspor
kayu log. Meski ada aturan di tingkat lokal maupun nasional tentang larangan kayu log
keluar dari Papua. Penyusutan hutan di Papua diperkirakan sebesar 600 ribu m3 per
bulan dan diduga terjadi laju deforestasi yang mencapai 2,8 juta ha pertahun. Hilangnya
areal hutan tersebut karena pengelolaan yang tidak bijaksana, pembalakan liar dari
perusahaan-perusahaan HPH melalui ijin pengelolaan hutan (IPKMA dan Kopermas)
yang disalahgunakan.

Ancaman ini semakin besar dengan adanya kebijakan masyarakat internasional seperti
Reduction Emition from Deforestation and Degradation (REDD). Otoritas atas wilayah
adat sebagai lahan sumber kehidupan akan terganggu jika skema REDD tidak bisa
diimplementasikan dengan baik. Kompensasi yang diberikan oleh negara-negara maju
bisa jadi akan menjadi lahan praktek baru KKN di Papua dan tidak akan pernah
mensejahterakan masyarakat adat Papua sebagai pemilik. Bahkan Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) Hutan Adat yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah Pusat
meniadakan hutan adat karena semua hutan akan dikuasai oleh negara. Hutan adat dan
masyarakat adat hanya akan diakui melalui regulasi lokal (Peraturan Daerah) sekalipun
masyarakat adat sudah beratus-ratus tahun hidup di kawasan tersebut.

Dalam skala yang lebih luas, dengan tingkat keuntungan yang lebih menggiurkan,
menyebabkan kerusakan alam
yang lebih dahsyat. Sejak 40 tahun yang lalu, pemerintah
Indonesia telah memutuskan untuk memberikan izin kepada perusahaan lokal dan
asing untuk membuka pertambangan seperti di Timika dan Kep. Raja Ampat.
Pertambangan ini memang memberikan sejumlah
keuntungan bagi Indonesia, namun tidak sebanding dengan
resiko kerusakan alamnya dimana terjadi kerusakan ekosistem terestrial akibat aktifitas
tambang tersebut belum lagi munculnya konflik horisontal di masyarakat. Seperti terjadi
di kawasan Kep. Raja Ampat tepatnya di kampung Kapadiri Pulau Waigeo bagian Utara
dimana terjadi konflik diantara sesama warga masyarakat selama ini menggantungkan
hidupnya menjadi tenaga kerja di perusahaan tambang ketika 2 (dua) perusahaan
berbeda melakukan eksploitasi di areal yang sama sehingga terjadi tumpang tindih
konsesi. Ada sekelompok warga mendukung perusahaan yang satu disisi lain
mendukung perusahaan yang lain. Di Kep. Raja Ampat sendiri terdapat 15 Konsesi
Pertambangan dimana 9 (sembilan) diantara berada di kawasan Cagar Alam yang sesuai
undang-undang tidak diperkenankan melakukan aktivitas di dalamnya. Beberapa kasus
juga telah menunjukkan timbulnya efek negatif unsur-unsur logam yang telah
mencemari lingkungan ketika sumber air masyarakat tercermar limbah industri
tambang serta musnahnya berbagai biota laut ketika air laut tercemar juga oleh limbah
industri pertambangan.

Di Papua terdapat 74
perusahaan logging yang aktivitasnya menebang hutan seluas 20 kali lapangan sep
ak bola/hari selama 23 tahun terakhir yang mengakibatkan beberapa satwa dari
berbagai taksa harus bermigrasi. Kondisi ini semakin diperparah pada tahun 2004,
saat pemerintah melakukan penebangan legal besar-besaran dengan dalih memenuhi
permintaan pemerintah China atas kayu merbau Papua. Keuntungannya menggiurkan,
yaitu senilai US$ 1 milyar. Akan tetapi untuk hal ini pemerintah harus menggundulkan
hutan seluas 800.000 m3.

Saat ini kontroversi konversi hutan menjadi lahan sawit dalam rangka memenuhi
permintaan bahan bakar biofuel menjadi hangat. Maksimum sembilan juta hektar
hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat telah diidentifikasi oleh
Departemen Kehutanan untuk dikonversi. Salah satu proyek perkebunan kelapa sawit
yang menjadi salah satu ancaman bagi hutan Papua adalah sebuah perusahaan
perkebunan minyak kelapa sawit yang bernama PT Medco Papua Hijau Selaras telah
mencapai sebuah kesepakatan dengan keluarga-keluarga masyarakat adat di Manokwari
untuk penyewaan suatu areal tanah yang sebagian besarnya masih hutan sebesar 5.930
hektar bagi perkebunan kelapa sawit. Perusahaan itu telah mulai membayar Rp.
450.000 atau sekitar 36 dolar per hektar sekali bayar untuk selama 35 tahun. Ini sama
dengan Rp. 45 per meter persegi. Sekilas memang bisnis ini terkesan menggiurkan.
Indonesia memiliki alam yang
sangat cocok untuk penananaman kelapa sawit. Selain keuntungan ekonomis, imm
age biofuel yang diproduksi di Indonesia seakan menjadi kampanye lingkungan yang
baik bagi pemerintah Indonesia. Padahal, biofuel didiga kuat justru dapat
menghasilkan emisi lebih besar dari bahan bakar fosil.

Permasalahan utama terletak pada konsekwensi konversi hutan
menjadi perkebunan sawit menghasilkan CO2 yang sangat besar. Selain itu, seperti
disoroti Paul J. Crutzen, pemenang Nobel Kimia 2007, penggunaan pupuk tanaman
bagi kelapa sawit juga memberikan efek negatif terhadap pemanasan global,
yang bisa jadi lebih buruk daripada menggunakan bahan bakar fosil biasa. Konversi
hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit juga telah menimbulkan dampak sosial
dan lingkungan hidup yang serius . Hal ini memicu konflik penguasaan tanah, konflik
perburuhan,
pencemaran dan peracunan akibat penggunaan pestisida, dan juga lenyapnya
potensi sumber perekonomian hasil hutan non kayu.
Sejak serbuan industri perkebunan di tanah Papua dimulai dengan tujuan produksi
tanaman yang akan digunakan untuk energi dan transportasi itu, masyarakat adat Papua
sangat terdesak oleh perkembangan yang pesat sekarang ini. Mereka kehilangan akses
mengunakan tanah mereka selama-lamanya. Masalah terbesar dalam sengketa atas
tanah adalah hak atas tanah yang tidak dijamin oleh negara.

Burung Cendrawasih yang dikenal sebagai burung titisan Tuhan dari surga ini di Sorong
dijual dengan harga
Rp.300.000/ekor. Hal ini sudah berlangsung sejak dekade lalu, dan
mengakibatkan populasi burung semakin
menurun. Para ornitologist memperkirakan kepadatan populasi burung cendrawasih
hanya tinggal 3 ekor/100 ha.
Hilangnya hutan punya dampak yang kuat pada masyarakat, karena hilangnya hutan
menghancurkan mata pencaharian mereka. Lahan berburu hilang, sungai yang
mengering, sehingga mereka hampir tidak mendapatkan ikan, dan dengan demikian
masyarakat semakin miskin. Dalam beberapa tahun terakhir ini penebangan hutan telah
merubah kehidupan masyarakat adat dalam waktu sangat singkat. Masyarakat
kehilangan Hutan, sekaligus kehilangan akses pemanfaatan sumber-sumber daya, yaitu
sagu, akar-akaran, binatang buruan, dan tanaman serat.

D. Upaya penyelamatan hutan
Sangat disayangkan, kekayaan alam yang luar biasa ini belum dikelola dengan
bijak sehingga belum dapat
membawa keuntungan bagi masyarakat Papua dan sebaliknya
bencana. Papua merupakan propinsi dengan
penduduk miskin tinggi di Indonesia dan
pernah dilanda bencana kelaparan. Banyak perusahaan asing didirikan di
Papua namun
penduduk lokalnya tidak mendapatkan royalti atas kepemilikan sumberdaya alam.
Perusahaan asing yang mengeruk banyak keuntungan tidak
menjaga alam Papua setelah mengeksploitasinya habis-habisan.

Pemerintah pusat telah mengeluarkan sebuah undang-undang yang sangat-sangat
akomodatif dan memberikan kapada masayarakat lokal papua kewenangan yang seluas-
luasnya untuk mengurus dirinya sendiri sehingga dapat maju dan sejajar dengan
daerah-daerah lain di indonesia tercinta ini. UU tersebut adalah UU no 21 tahun 2001
tentang otonomi khusus bagi provinsi papua yang merupakan salah satu tonggak sejarah
baru bagi perjalanan masyarakat papua yang telah berintegrasi dengan Negara Kesatuan
RI selama lebih dari 40 tahun. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa selama kurun waktu
tersebut, semua sumber daya alam papua telah dikeruk dan dibawah keluar dari papua
dengan slogan untuk pembangunan bangsa ini, sedangkan masyarakat lokal papua
hanya menerima sebagian terkecil yang tidak sebanding dengan apa yang telah
disumbangkannya bagi bangsa dan negara tercinta ini.

Secara khusus UU Kehutanan no 41/99 telah mengatur pengelolaan hutan dari sabang
sampai merauke yang berasaskan kelestarian dan keadilan. UU ini telah selaras dengan
UU 32/2004 dan UU 33/2004 tentang pemerintahan daerah dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah, namun sangat bertolak belakang dengan sebuah UU RI
yang lain yaitu UU 21/2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi papua, yang mana UU
otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat di provinsi papua
ini memberikan keleluasan kepada masyarakat papua untuk dapat mengelola sumber
daya alam hutannya untuk kesejahteraannya.


Pemerintah Indonesia sudah seharusnya mendukung kebijakan larangan ekspor kayu
log (kayu bulat atau gelondongan) dari Tanah Papua meski ada sejumlah tekanan dari
kalangan industri kayu untuk memberikan kelonggaran atas pemberlakuan kebijakan
tersebut. Sebagaimana inisiatif Gubernur Papua dan Papua Barat tentang larangan
ekspor kayu yang ditetapkan sejak tanggal 19 Desember 2008. "Seharusnya Pemerintah
Pusat mendukung kebijakan ini agar hutan Papua dapat terus bernafas sebagai salah
satu paru-paru dunia. Penggundulan hutan di Tanah Papua harus dikurangi secara
terencana hingga mencapai titik nol dengan tetap memperhatikan kesejahteraan
masyarakat Papua, (Bustar Maitar, juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara di
Jayapura, Kamis (27/3).

Pemerintah Pusat seharusnya mendukung komitmen penyelamatan hutan Indonesia
sesuai dengan pembahasan Konferensi Perubahan Iklim di Bali. Terlebih lagi, laju
penggundulan hutan tropis telah berkontribusi pada kenaikan emisi gas rumah kaca
sekitar 20%.

Masyarakat adat Papua, yang secara tatanan sosial lebih dihormati dari
pemerintah Papua sendiri, memegang
peranan penting dalam memberikan pendidikan lingkungan. Baik pemerintah, LSM
maupun pihak swasta harus mendukung peran penting masyarakat adat dalam
meningkatkan sadar lingkungan demi keberlangsungan ekosistem.
Filosofi masyarakat adat Papua baik yang hidup di pesisir, lembah hingga pegunungan
menganggap kehidupan manusia bersumber dari alam. Seperti juga masyarakat modern
yang memandang tanah sebagai satu bagian ekosistem yang didalamnya terdapat
interelasi antara tanah, air, hutan dan berbagai satwa, termasuk juga sumberdaya alam
dalam
perut bumi, masyarakat adat Papua memiliki pemahaman yang sama mengenai konsep
ekosistem tersebut dalam konteks yang berbeda. Tanah dideskripsikan sebagai manusia
yang memiliki banyak sistem dalam tubuhnya. Jika hutan sebagai salah satu sistem
dalam ekosistem dirusak, maka kehidupan manusia juga akan rusak.




E. Harapan di Pundak Hutan Tropis Papua
Hutan Papua adalah permata terakhir hutan Indonesia, setelah hutan di kawasan
Sumatera dan Kalimantan mengalami penghancuran besar-besaran karena pembabatan
hutan dan konversi hutan secara luas untuk perkebunan kelapa sawit. Membiarkan
peningkatan penggundulan hutan Papua pada tingkatan yang sama dengan kawasan lain
tersebut, tidak hanya merupakan sebuah kejahatan lingkungan, namun juga kejahatan
atas masyarakat Papua yang menggantungkan hidupnya pada hutan alam itu.

Kita tidak dapat hanya berteriak ,stop pembabatan hutan Papua, stop
pengkonversiannya menjadi perkebunan sawit dan perluasan konsesi pertambangan.
Kita harus bergerak keluar dari istilah-istilah klasik ini. Kita tahu bahwa masyarakat
adat Papua membutuhkan perbaikan dalam kondisi hidup mereka.
Sekaranglah saatnya untuk melakukan aksi nyata. Perluasan areal pembabatan hutan di
hutan-hutan alam asli yang tersisa harus dihentikan. Hutan Papua harus diselamatkan
dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat harus terus didorong.

Kita patut memberikan apresiasi terhadap beberapa kelompok di Papua yang telah
mulai memanfaatkan kekayaan hutan Papua dengan memanen Buah Merah, Sarang
Semut dan Kulit Masoi bagi produk obat. Beberapa agen perjalanan wisata di dalam dan
luar negeri seperti di Eropa yang juga telah berusaha berbuat yang terbaik dengan
menjual paket tour bagi wisatawan yang ingin menyaksikan burung Cendrawasih yang
eksotis berdansa dengan pasangan-pasangannya menyambut pagi merekah, atau
mengamati anggrek-angrek liar. Kita membutuhkan skema yang sustainable dalam
mendukung masyarakat adat.

Meskipun hutan Papua adalah paru-paru yang menyerap jutaan ton emisi CO2 selama
ratusan tahun, dunia belum berbuat banyak guna melindunginya. Kita membutuhkan
aksi-aksi segera sebagai alternatif bagi konservasi puluhan ribu hektar hutan tropis
Papua yang merupakan benteng terakhir hutan tropis di Indonseia bahkan di dunia,
atau kita akan melihat kehancuran hutan kita seperti terjadi di Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi dan jawa serta di berbagai belahan dunia.
http://dhony-syach.blogspot.com/2010/12/papua-benteng-terakhir-hutan-tropis.html



Perairan Raja Ampat, Papua Barat, memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di
dunia karena teridentifikasi paling banyak memiliki spesies biota laut dibanding
wilayah lain di dunia.

Pakar Taksonomi Kelautan Mark V Erdmann Ph.D pada Workshop "Taksonomi
Kelautan Indonesia" di Bali, beberapa waktu lalu, mengatakan, untuk ikan karang
saja terdapat sekitar 1.352 spesies.

Selain itu, terdapat sejumlah habitat berbagai jenis biota di wilayah
tersebut. Misalnya, lanjut senior advisor Conservation International (CI)
Indonesia itu, habitat terumbu karang di dasar laut yang curam, habitat di dasar
landai, habitat di pesisir dengan ombak deras, habitat laut teduh, dan lain-lain.

Jumlah habitat yang cukup banyak tersebut, lanjut dia, mampu menghimpun
berbagai jenis ikan dalam jumlah besar. "Setidaknya 1terdapat .352 spesies ikan
karang dengan 10 spesies endemik ada satu lokasi," ujarnya.

Selain Raja Ampat sebagai kawasan perairan dengan keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia, Teluk Cendrawasih di Papua Barat juga merupakan kawasan
perairan dengan tingkat endemik (khas daerah setempat) tertinggi di dunia.

Di Teluk Cendrawasih ditemukan seitar 20 jenis ikan karang yang khas (endemik)
dari sekitar 900 spesies yang ada di wilayah tersebut. "Jumlah spesiesnya paling
tinggi di dunia," ujarnya.

Teluk Cendrawasih, urai Erdmann, juga memiliki karakter geologi yang sangat
unik, dengan sejarah geologi yang labil dan keterisolasian wilayah hingga dua juta
tahun yang membuat biota laut di sana sangat lama tidak berhubungan dengan
biota laut lainnya. "Spesienya menjadi sangat khas," ujarnya.

Ia mencontohkan, ikan karang chrysiptera oxycephalus yang di laut Jawa
warnanya putih pucat di Teluk Cendrawasih berwarna kuning terang, demikian
pula ikan karang lainnya, di Teluk Cendrawasih lebih gelap warnanya.

Kawasan lain yang terisolasi dan memiliki tingkat endemisitas tinggi, menurut dia,
adalah perairan Hawaii dengan 15 spesies endemik ikan karang dan perairan Fiji
dengan lima jenis endemik.

"Karena itu perairan Raja Ampat dan Teluk Cendrawasih menjadi kawasan yang
menjadi prioritas dunia untuk dilakukan konservasi, "kata
Erdmann.[WJ/technologyindonesia.com]
http://www.pc3news.com/index.php?cat=news&id=227&sub=1&view=news

Matoa kasuari
Anggrek cendrawasih
Pinang taung - taung
Buah merah kuskus
Keris papua soa - soa
Ubi ubian kanguru, tanah, mantel pohon emas
Sagu Tupai berkantong
Cemara mambruk
Enau maleo
ulat sagu

Anda mungkin juga menyukai