Anda di halaman 1dari 10

Bedah Buku

Subbagian Laring Faring






Trauma Tembus Leher

Michael G. Stewart




Presentan : dr. Histawara Subroto, dr. Adrian Erindra,
dr. Irwandanon
Hari/Tanggal : Selasa, 22 Juli 2014
Waktu : 08.30 WIB
Tempat : Ruang Konferensi Poliklinik THT-KL
Universitas Andalas /RSUP Dr.M.Djamil,
Padang
Pembimbing : dr. Novialdi, Sp.THT-KL (K)
dr. Fachzi Fitri, Sp.THT-KL, MARS
dr. Ade Asyari, Sp. THT-KL


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG
2014

Trauma Tembus Leher

Michael G. Stewar

Trauma Tembus Leher
Pada anatomi leher, trauma tembus memerlukan penilaian hati-hati,baik dari jalur misil
dan tempat masuk misil peluru. Leher dapat dibagi menjadi dua segitiga menggunakan patokan
otot sternokleidomastoid (Gambar 72.7). Segitiga anterior berisi sebagian besar struktur anatomi
utama leher: laring, trakea, faring, kerongkongan dan struktur pembuluh darah utama. Struktur
utama dari segitiga posterior adalah otot, saraf aksesorius dan tulang belakang. Otot platisma
terletak pada bagian dalam kulit leher pada segitiga anterior. Luka yang menembus platisma
memiliki potensi cedera serius; luka yang tidak menembus platisma adalah superfisial dan tidak
memerlukan evaluasi lebih lanjut.
Leher dibagi menjadi tiga zona entri (Gambar 72.8). Zona I terdiri dari leher bagian
bawah dari batas inferior kartilago krikoid. Zona II leher dengan batas antara sudut mandibula
dan inferior kartilago krikoid, dan Zona III leher dengan batas sudut mandibula sampai ke dasar
tengkorak. Zona II adalah zona terbesar dan lokasi yang paling sering trauma tembus leher
(12,13). McConnell dan Trunkey menjelaskan bahwa struktur yang paling sering terluka di leher
yaitu laring dan trakea (dianggap sebagai kelompok: 10% dari pasien) dan faring serta esofagus
(dianggap sebagai kelompok: 10% pasien). Struktur vaskular yang paling sering cedera adalah
vena jugularis internal (9%), arteri karotis internal dan carotis utama (7%), arteri subklavia (2%)
dan arteri karotis eksternal (2%). Cedera arteri vertebralis hanya 1%.
Keseluruhan angka kematian untuk trauma tembus leher pada sebagian besar pusat kesehatan
adalah 3%-6% (12). Penyebab utama kematian pasien dengan trauma leher adalah perdarahan
dari cedera vaskular. Penyebab lainnya adalah cedera tulang belakang, iskemia otak, obstruksi
jalan napas, emboli udara dan emboli paru. Kebanyakan laporan kasus setidaknya ada beberapa
kematian pada trauma esofagus, yang biasanya bermanifestasi sebagai sepsis.

Figure 72.7 Anatomic triangles of the neck: the neck is divided into anterior and posterior
triangles by the sternocleidomastoid muscle.


Figure 72.8 Horizontal entry zones of the neck for penetrating injuries to the neck. (Modified
from Jurkovich GJ. In: Moore EE, ed. The neck. Toronto: Becker, 1990:126, with permission.)


Pemeriksaan klinis yang cermat dapat memprediksi secara akurat mengenai derajat
cedera yang dialami. Tanda dan gejala cedera leher yang signifikan tercantum dalam Tabel 72,2.
Pasien dengan syok, perdarahan yang tidak terkendali atau adanya defisit neurologis harus
dilakukan eksplorasi leher secara langsung (Tabel 72,3). Dokter bedah harus siap untuk
mengontrol dan memperbaiki luka pada arteri karotis atau vena jugularis. Pasien yang secara
klinis stabil tetapi memiliki tanda atau gejala adanya cedera leher harus segera dilakukan
evaluasi dan segera dilakukan perbaikan pada struktur luka. Manajemen pasien trauma leher
dengan gejala asimtomatik masih kontroversial, namun. Secara tradisional, semua pasien dengan
luka tembus leher yang menembus platisma apakah asimptomatik atau tidak memerlukan
eksplorasi leher. Alasannya, bahwa sensitivitas eksplorasi leher tinggi dan morbiditas dari
operasi itu sendiri rendah, sedangkan morbiditas terhadap cedera leher cukup tinggi. Saat
eksplorasi leher dilakukan, tingkat eksplorasi dengan hasil negatif sekitar 30%-50%. Teknologi
saat ini telah maju, dimana ahli bedah trauma mulai menggunakan angiogram sebagai alat
diagnostik pada cedera leher. Oleh karena berkembangnya teknik radiologi intervensi, beberapa
luka vaskular dapat dilakukan pengobatan endovascular secara definitif oleh ahli radiologi
intervensi. Selain itu, adanya bukti yang mengarahkan pemeriksaan dengan observasi dan
pemeriksaan serial mungkin sama efektifnya dengan eksplorasi pada pasien (14,15); masalah ini
akan dibahas lebih lanjut nanti. Sebuah protokol untuk trauma tembus leher digambarkan pada
Gambar 72,9 .
TABLE 72.2 DIAGNOSIS PENETRATING NECK TRAUMA

Diagnosis Signs and Symptoms Tests
Vascular injury Shock
Hematoma
Hemorrhage
Pulse deficit
Neurologic deficit
Bruit or thrill in neck
Angiogram
Neck exploration
Laryngotracheal injury Subcutaneous emphysema
Airway obstruction
Sucking wound
Hemoptysis
Stridor
Hoarseness or dysphonia
Laryngotracheoscopy
Neck exploration
CT scan
Pharynx/esofagus injury Subcutaneous emphysema
Hematemesis
Dysphagia or odynophagia
Contrast esophagogram
Esophagoscopy
Neck exploration
CT, computed tomography



TABLE 72.3 EMERGENCIES PENETRATING FACE AND NECK INJURIES

Diagnosis Emergency
Vascular injury
Neurologic deterioration
Airway compression
Hemorrhage
Larynx or tracheal injury
Pneumomediastinum
Pneumothorax
Airway obstruction


Seperti pada luka tembus wajah, informasi mengenai mekanisme cedera sangat penting bagi
dokter dalam hal penatalaksanaan lebih lanjut. Meskipun kedalaman penetrasi luka tusuk
mungkin sulit untuk dinilai, luka tusuk cenderung melukai hanya jaringan langsung yang
ditembusnya. Luka tembak juga dapat menyebabkan kehilangan jaringan yang signifikan serta
kerusakan struktur yang berdekatan akibat adanya kavitas dan energi tinggi dari proyektil.

Trauma Zona I
Luka tembus pada Zona I leher berpotensi mematikan karena potensi cedera pada
pembuluh darah besar leher dan mediastinum, esofagus serviks dan toraks. Sebagian besar
sentral pengobatan trauma menganjurkan pemeriksaan angiografi arkus aorta dan pembuluh
darah besar, bersamaan dengan evaluasi esofagus walaupun pasien tidak menunjukkan gejala,
karena hingga sepertiga pasien dengan trauma Zona I secara klinis tidak menunjukkan gejala.
Evaluasi esofagus dianjurkan karena adanya potensi tidak terlihatnya cedera esofagus pada Zona
I dimana berbeda dari cedera Zona II. Cedera esofagus atau faring di Zona II biasanya akan
menimbulkan tanda-tanda atau gejala-gejala (seperti emfisema subkutan) dalam beberapa jam
dan morbiditas serta mortalitas secara keseluruhan tidak akan terpengaruh. Tidak terlihatnya
cedera esophageal di Zona I, secara klinis tidak muncul hingga timbul mediastinitis dan sepsis.

Figure 72.9 Algorithm for the initial management of patients with penetrating injuries to the
neck. (Modified from Mansour MA, Moore EE, Moore FA, et al. Validating the selective
management of penetrating neck wounds. Am J Surg 1991;162:517-521, with permission.)

Tes diagnostik yang ideal untuk esofagus dan faring berbeda, termasuk endoskopi,
esofagram kostras menggunakan barium, gastrografin atau CT scan. Jika esofagram kontras
digunakan, harus diketahui tentang kontras yang digunakan. Pada kontras barium lebih tebal, dan
jika ada cedera, barium lebih menunjukkan adanya cedera. Namun, jika terjadi kebocoran barium
ke dalam jaringan leher, risiko terjadinya infeksi. Gastrografin (meglumine diatrizoate) adalah
bahan kontras tipis dan kurang menimbulkan infeksi jika terjadi kebocoran, tapi banyak yang
menjelaskan itu bahwa kontras tersebut kurang mengidentifikasi adanya cedera yang kecil
sehingga kadang tidak terdeteksi.
Penelitian mengenai sensitivitas dan spesifisitas tes radiologis untuk mendeteksi faring
atau cedera esofagus menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Namun, sensitivitas dan
spesifisitas dilaporkan hingga 90%-100% (16). Demikian pula dengan penggunaan esofagoskopi
fleksibel atau kaku yang memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi. Telah dilaporkan ada
beberapa kasus cedera tembus, setidaknya satu tes diagnostik esofagoskopi kaku atau fleksibel
atau penggunaan barium swallow dapat menunjukkan adanya cedera (16). Oleh karena itu
kombinasi dari tes tersebut tidak boleh melewatkan adanya cedera esofagus.
Pilihan lain untuk evaluasi adalah penggunaan CT scan (17,18). CT scan sangat
membantu dalam menentukan jalur proyektil (dengan menggunakan saluran gelembung udara,
jaringan yang rusak, atau adanya partikel proyektil) yang dapat membantu untuk mengambil
keputusan mengenai evaluasi dan perawatan selanjutnya. Bahkan, dalam sebuah penelitian,
tambahan pencitraan radiologis dan operasi dihindari pada beberapa pasien (18). Akhirnya,
pemeriksaan leher x-ray lateral dapat menunjukkan adanya udara retropharyngeal pada cedera
faring.
Trauma Zona II
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasien dengan luka tembus Zona II yang
simtomatik harus menjalani eksplorasi leher. Pasien tanpa gejala dengan luka tembus Zona II
dapat diobati dengan eksplorasi, evaluasi langsung dan pemeriksaan secara serial. Sebelumnya
pada penelitian prospektif menunjukkan bahwa observasi terhadap gejala cedera Zona II
merupakan protokol yang efektif. Sebagai bagian dari protokol itu, dilakukan evaluasi tambahan,
seperti angiografi atau endoskopi fleksibel, tapi eksplorasi bedah tidak lagi wajib dilakukan. Jika
pada pasien terdapat perburukan, seperti adanya emfisema subkutan, maka langsung dilakukan
eksplorasi bedah. Penelitian menunjukkan, bahwa pasien pada sebuah kelompok yang dilakukan
observasi hasilnya sangat baik, dengan tidak ada luka yang terlewati, morbiditas, mortalitas dan
rata-rata lama rawatan pendek dibandingkan pasien yang menjalani eksplorasi.
Penelitian prospektif dilakukan pada 120 pasien dengan luka tembus Zona II (19). Semua
pasien tidak stabil dilakukan eksplorasi leher langsung. Pasien lainnya (baik simtomatik atau
tidak) menjalani penilaian klinis, arteriografi, laryngotrakeoskopi, esophagoskopi fleksibel dan
barium swallow, kemudian semua pasien dilakukan eksplorasi leher. Penulis mengevaluasi
sensitivitas protokol tes diagnostik ini. Penulis melaporkan pada 5 pasien memiliki enam luka
yang terlewati dengan menggunakan evaluasi diagnostik dan mereka menyimpulkan bahwa
penilaian klinis secara menyeluruh tidak dapat juga mendeteksi cedera pada struktur vital dan
direkomendasikan untuk dilakukan eksplorasi leher wajib bagi semua cedera Zona II.
Namun, penelitian mencatat bahwa ada beberapa cedera yang terlewati (2 trauma vena jugularis
interna, 2 luka arteri karotid eksternal) mungkin secara klinis tidak signifikan dan yang lainnya
(2 cedera esofagus) akan terdeteksi dalam beberapa jam dengan menggunakan pemeriksaan
serial. Oleh karena itu, banyak ahli bedah trauma menggunakan data ini untuk mendukung
adanya evaluasi dengan pemeriksaan serial untuk pasien-pasien yang asimtomatik dengan trauma
leher zona II, yang merupakan kesimpulan yang berlawanan dari peneliti lain. Data serial ini juga
memungkinkan perhitungan nilai prediktif positif dan negatif dari tes diagnostik yang digunakan.
Eksplorasi leher merupakan standar emas untuk mengidentifikasi adanya cedera, penilaian klinis
saja memiliki nilai prediktif positif (PPV) hanya 47 % dan nilai prediktif negatif (NPV) dari
86%. Esofagoskopi fleksibel memiliki PPV 88% dan NPV 94%; barium swallow memiliki nilai
yang sama dengan PPV 83% dan NPV 95%. Pada penelitian lain, pemeriksaan fisik dengan
menggunakan kriteria yang ditetapkan untuk pemeriksaan positif terbukti memiliki sensitivitas
yang tinggi (93%) dan NPV (97%) bila digunakan untuk menilai cedera vaskular (20).
Kesimpulannya, pasien tanpa gejala dengan luka tembus Zona II dapat diobati dengan baik
dengan eksplorasi leher, evaluasi dan pemeriksaan serial. Namun, protokol pengobatan
menggunakan observasi dengan pemeriksaan serial membutuhkan tenaga dokter yang memadai
serta fasilitas 24 jam untuk kegawat daruratan dan operasi setiap saat dibutuhkan. Eksplorasi
leher dini dengan cepat untuk eksplorasi dengan hasil negatif merupakan metode yang efisien
untuk luka tembus Zona II, mungkin lebih hemat biaya daripada menggunakan beberapa
pemeriksaan dan observasi.

Trauma Zona III
Trauma tembus Zona III berpotensi menimbulkan cedera pada pembuluh darah besar dan
saraf kranial pada dasar tengkorak. Beberapa pasien dengan cedera arteri mungkin dengan
asimtomatik dan tindakan bedah dalam mengontrol perdarahan di lokasi ini cukup sulit. Selain
itu, beberapa cedera vaskular mungkin tidak dapat diatasi dengan pengobatan definitif oleh
seorang ahli radiologi intervensi. Oleh karena itu, cedera dapat diobati seperti penggunaan
angiogram diagnostik. Meskipun cedera arteri vertebral relatif jarang, maka digunakan
angiografi pada empat pembuluh darah secara serial. Oleh karena itu, manfaat dari penggunaan
rutin angiografi pada empat pembuluh darah tidak jelas. Namun, jika jalur peluru dekat dengan
kolumna vertebralis maka arteri vertebralis harus dicitrakan.

Manajemen Cedera Spesifik

Trauma Vaskular
Seperti disebutkan sebelumnya, pembuluh darah sering terkena pada trauma tembus
leher. Perbaikan arteri yang disertai defisit neurologis fokal atau keadaan koma masih
kontroversial, tetapi ahli bedah vaskular cenderung melakukan revaskularisasi dalam kasus-kasus
cedera vaskular traumatis (13). Dalam kondisi apapun, tindakan dari seorang ahli bedah vaskular
berpengalaman sangat membantu dalam kasus ini

Trauma Laringotrakeal
Manajemen luka tembus laring telah dijelaskan baik oleh Schaefer et al.(21) dan
dijelaskan secara rinci dalam bab lain dalam buku ini. Jika tiroid atau tulang rawan krikoid telah
rusak, dianjurkan untuk dilakukan reduksi terbuka dengan fiksasi internal. Jika tulang rawan
mengalami kalsifikasi, dapat digunakan plate tulang ukuran -1.0 atau 1.3-mm dan sekrup; jika
tulang rawan tidak sepenuhnya mengalami kalsifikasi, dapat digunakan kawat dan bolster seperti
yang dijelaskan oleh Austin et al.(22). Jika mukosa endolaringeal sudah rusak, maka dilakukan
trakeostomi dengan tirotomi midline dan perbaikan cedera mukosa dengan benang kecil yang
diserap. Stent Endolaringeal jarang digunakan pada trauma tembus karena kerangka struktural
laring biasanya utuh (tidak seperti pada trauma tumpul), meskipun stent dapat digunakan jika
komisura anterior terkena. Cedera trakea diperbaiki dengan trakeotomi atau penutupan luka
secara langsung. Luka tusukan biasanya dapat ditutup pada dua lapisan: lapisan dalam dijahit
dengan benang yang diserap dengan menggabungkan mukosa (dengan simpul di luar lumen) dan
lapisan luar dijahit permanen untuk melindungi cincin tulang rawan ke cincin tulang rawan di
lapisan submukosa. Biasanya pasien diintubasi selama 2-3 hari, kemudian diekstubasi dalam
keadaan terkontrol. Luka tembak trakea dapat menyebabkan kehilangan jaringan, yang dapat
mengganggu penutupan primer akibat regangan minimal pada garis jahitan, dimana itu
merupakan komponen untuk menilai keberhasilan perbaikan trakea. Setelah tepi luka
dibersihkan, teknik selanjutnya yaitu release trakea superior atau inferior dilakukan untuk
mencapai regangan penutupan.

Trauma Faring dan Esofagus
Trauma faring dan esofagus sering terlewatkan sehingga menjadi sumber morbiditas dan
mortalitas pada trauma tembus leher. Semua pasien dengan tanda-tanda atau gejala dari trauma
faring atau esofagus (misalnya, emfisema subkutan, hematemesis, hipopharingeal hematoma)
secara klinis harus dilakukan eksplorasi leher. Esofagoskopi intraoperatif dapat membantu dalam
mengidentifikasi lokasi penetrasi faring atau esofagus, terutama pada luka tusuk. Selain itu,
identiifkasi dengan larutan saline, metilen biru, atau udara ke faring dan esofagus dapat
membantu mengetahui lokasi luka. Namun, hingga 50% pasien dengan trauma faring dan
esofagus muncul tanpa gejala klinis. Pada pasien yang asimtomatik, jika dicurigai adanya luka
lintasan peluru, kombinasi tindakan esofagoskopi dan esofagografi kontras merupakan
pemeriksaan yang paling sensitif dalam mendeteksi adanya luka. Luka esofagus harus segera
ditutup secara langsung; jika tidak , kebocoran air liur adalah penyebab morbiditas dan
mortalitas. Bahkan, pada banyak penelitian menyebutkan bahwa keterlambatan dalam eksplorasi
dan perbaikan melewati 24 jam setelah trauma dikaitkan dengan hasil yang buruk. Dalam
literatur sebelumnya, esofagus servikal dan hipofaring telah dikelompokkan menjadi satu dan
dianggap sebagai satu unit. Namun, ada bukti bahwa trauma hipopharingeal tidak selalu
memerlukan penutupan langsung;(23) ini sama halnya dengan cedera orofaring. Luka tembus
hipofaring pada superior kartilago aritenoid ditatalaksana agak berbeda dari luka hipopharingeal
bagian inferior aritenoid (23). Penutupan primer tidak selalu diperlukan dalam luka tembus
hipofaring superior; pasien dapat diobati dengan antibiotik parenteral dan tanpa asupan oral
selama 5-7 hari. Luka hipofaring pada inferior kartilago aritenoid (misalnya, di bagian bebas dari
hipofaring dimana air liur dan sekresi cenderung tergenang) harus ditangani dengan eksplorasi
dan penutupan primer menggunakan jahitan diserap dengan drainase pada ruang leher. Pasien
harus dijaga nil per os (NPO) sampai terjadi penyembuhan yang biasanya 5-7 hari. Luka pada
esofagus servikal harus diperlakukan sama dengan pada hipofaring inferior, dengan penutupan
lansung dan drainase. Drainase eksternal dan prosedur bypass (misalnya, pharingostomi servikal)
harus dihindari, meskipun dengan luka yang berat dan adanya jaringan yang hilang).



Komplikasi
Komplikasi luka tembus leher tercantum dalam Tabel 72.1. Kebanyakan komplikasi yang
terjadi berkaitan secara langsung dengan cedera itu sendiri, namun ada juga yang berpotensi
dicegah. Luka-luka yang berpotensi dapat dicegah (seperti abses leher, fistula pharingokutan, dll)
biasanya karena terjadi karena luka terlewatkan atau diagnosa yang terlambat, sehingga cara
terbaik untuk menghindari komplikasi ini adalah dengan pemeriksaan yang teliti dalam evaluasi
awal dan follow-up setelah pengobatan. Meskipun kurang dari 50 tahun yang lalu, mortalitas
trauma tembus leher tetap 3%-6 %

Highlight
- Pasien dengan trauma tembus wajah dan leher harus menjalani evaluasi yang sistematis dengan
menggunakan Advanced Trauma Life Support (ATLS) dengan protokol (ABCDE).
Mempertahankan jalan nafas adalah prioritas pertama, terutama pada luka tembak di zona
mandibula dan midface
- Klasifikasi luka tembus leher menjadi Zona I, II dan III membantu dalam penatalaksanaan
langsung trauma. Luka tembus platisma dapat merusak struktur leher. Sebagian besar struktur
vital leher berada di leher anterior.
- Perdarahan, hematoma luas, shock dan adanya defisit neurologis menunjukkan adanya cedera
vaskular.
- Emfisema subkutan, dyspnea, obstruksi jalan napas, suara serak, stridor menunjukkan adanya
cedera laringotrakeal.
- Emfisema subkutan dan disfagia menunjukkan cedera pharingoesofageal, tetapi sampai 50%
pasien tidak menunjukkan adanya tanda-tanda klinis trauma.
- Pasien dengan gejala cedera struktur leher harus menjalani eksplorasi leher, kecuali pasien
stabil Zona I dan III; angiography praoperasi dan evaluasi esofagus dapat membantu
mengarahkan pendekatan bedah yang akan dilakukan dan dapat mengidentifikasi adanya lesi
vaskular yang tidak dapat diatasi dengan intervensi radiologi oleh ahli radiologi.

Referensi
1. Bartlett CS, Helfet DL, Hausman MR, et al. Ballistics and gunshot wounds: effects on
musculoskeletal tissues. J Am Acad Orthop Surg 2000;8:21-36.
2. Swan KG, Swan RC. Principles of ballistics applicable to the treatment of gunshot wounds.
Surg Clin North Am 1991;71: 221-239.
3. Fackler ML. Civilian gunshot wounds and ballistics: dispelling the myths. Emerg Med Clin
North Am 1998;16:17-28.
4. Davidson JSD, Birdsell DC. Cervical spine injury in patients with facial skeletal trauma. J
Trauma 1989;29:1276-1278.
5. Gant TD, Epstein LI. Low-velocity gunshot wounds to the maxillofacial complex. J Trauma
1979;19:674-677.
6. Gussack GS, Jurkovich GJ. Penetrating facial trauma: a management plan. South Med J
1988;81:297-302.
7. Dolin J, Scalea T, Mannor L, et al. The management of gunshot wounds to the face. J Trauma
1992;33:508-515.
8. Cole RD, Browne JD, Phipps CD. Gunshot wounds to the mandible and midface: evaluation,
treatment and avoidance of complications. Otolaryngol Head Neck Surg 1994;111:739-745.
9. Chen AY, Stewart MG, Raup G. Penetrating injuries of the face. Otolaryngol Head Neck Surg
1996;115:464-470.
10. Sherman RT, Parrish RA. Management of shotgun injuries: a review of 152 cases. J Trauma
1963;3:76-86.
11. Coker NJ. Management of traumatic injuries to the facial nerve. Otolaryngol Clin North Am
1991;24:215-227. (72classic article)
12. McConnell DB, Trunkey DD. Management of penetrating trauma to the neck. Adv Surg
1994;27:99-119. (72classic article)
13. Thompson BC, Porter JM, Fernandex LG. Penetrating neck trauma: an overview of
management. J Otol Maxillofac Surg 2002; 60:918-923.
14. Mansour MA, Moore EE, Moore FA, et al. Validating the selective management of
penetrating neck wounds. Am J Surg 1991;162: 517-521.
15. Golueke PJ, Goldstein AS, Sclafani SJA, et al. Routine versus selective exploration of
penetrating neck injuries: a randomized prospective study. J Trauma 1984;24:1010-1014.
16. Weigelt JA, Thal ER, Snyder WH, et al. Diagnosis of penetrating cervical esophageal
injuries. Am J Surg 1987;154:619-622.
17. Vassiliu P, Baker J, Henderson S, et al. Aerodigestive injuries of the neck. Am Surg
2001;67:75-79.
18. Gracias VH, Reilly PM, Philpott J, et al. Computed tomography in the evaluation of
penetrating neck trauma. Arch Surg 2001;136: 1231-1235.
19. Meyer JP, Barett JA, Schuler JJ, et al. Mandatory vs. selective exploration for penetrating
neck trauma: a prospective assessment. Arch Surg 1987;122:592-597.
20. Azuaje RE, Jacobson LE, Glover J, et al. Reliability of physical examination as a predictor of
vascular injury after penetrating neck trauma. Am Surg 2003;69:804-807.
21. Schaefer SD. The acute management of external laryngeal trauma. A 27-year experience.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1992;118: 598-604. (72classic article)
22. Austin JR, Stanley RB, Cooper DS. Stable internal fixation of fractures of the partially
mineralized thyroid cartilage. Ann Otol Rhinol Laryngol 1992;101:76-80.
23. Fetterman BL, Shindo ML, Stanley RB, et al. Management of traumatic hypopharyngeal
injuries. Laryngoscope 1995;105:8-13.

Anda mungkin juga menyukai