Anda di halaman 1dari 44

NOTA KEBERATAN

(EKSEPSI)

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI


Nomor Register Perkara: REG. PERKARA: 05/RP.12/TPK/8/2010

A.n Terdakwa
Vince May Struggle, S.P., M. Agr.

JAKARTA, 14 DESEMBER 2010

Perihal : Eksepsi

Kepada Yth,
Ketua Majelis Hakim
Dalam Perkara No. Register : REG. PERKARA: 05/RP.12/TPK/8/2010

Di
Pengadilan Negeri Jakarta Utara

Majelis Hakin yang kami Muliakan,


Saudara Penuntut Umum yang kami hormati, dan
Pengunjung Sidang yang kami banggakan,

Perkenankanlah kami Inez Siburian, S.H dan Verdinan, S.H masing -masing
Advokat pada Verdinand S.H and Partners Law Firm and Legal Consultant
beralamat di Jalan Sholihin Gp, No. 1 Jakarta Utara, Berdasarkan Surat
kuasa Khusus Nomor : 218/SK/L-145/V/2009 tertanggal 20 Januari 2009,
oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama:

Nama Lengkap

VINCE MAY STRUGGLE, S.P., M. Agr.

Tempat lahir

Jakarta

Umur/Tanggal Lahir

45 tahun / 1 Januari 1963

Jenis Kelamin

Perempuan

Kebangsaan

Indonesia

Tempat Tinggal

Jalan Soekarno Hatta, No. 13, Perumahan


Damri Raya, Jakarta Pusat

Agama

Budha

Pekerjaan

Pegawai Swasta

Pendidikan

Strata 2 Pertanian

Telephon/HP

021-322974

Sebelum memasuki uraian mengenai Surat Dakwaan Penuntut Umum dan


dasar

hukum

pengajuan

serta

materi

keberatan

kami

selaku

Advokat/Penasihat Hukum Terdakwa terhadap Surat Dakwaan Penuntut


Umum, perkenankanlah kepada kami untuk menyampaikan terima kasih
kepada majelis hakim atas kesempatan yang diberikan untuk mengajukan
eksepsi ini.

I.

PENDAHULUAN

Adanya kesempatan bagi terdakwa atau advokatnya untuk mengajukan


eksepsi setelah Penuntut Umum mengajukan Suatu Surat Dakwaan menjadi
bukti nyata bahwa KUHAP sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran
dan keadilan, dengan memberikan keadilan, dengan cara memberikan
kesempatan kedua belah pihak untuk mengemukakan pandangannya
masing-masing. Memang untuk memperoleh konstruksi tentang kebenaran
dari suatu kasus seperti halnya kasus yang terdakwa alami tidak ada cara
lain kecuali memberi kesempatan yang selayaknya kepada kedua belah
pihak, penuntut umum dan terdakwa, untuk mengemukakan pandangannya
masing-masing (Du Choc Des Opinions Jaillit La Verite)

Oleh karena itu dalam Negara Hukum seperti halnya Negara Republik
Indonesia, pengajuan keberatan terhadap surat dakwaan penuntut umum
sama sekali tidak dimaksudkan untuk mencari-cari kesalahan atau
memokokkan posisi penyidik atau penuntut umum yang dalam menjalankan
tugas dan kewajibannya telah bekerja dengan tekun dan gigih serta dengan
hati nurani yang bersih. Bukan pula semata-mata memenuhi ketentuan Pro
Forma hanya karena itu telah diatur dalam undang-undang atau sekedar

menjalani acara ritual yang sudah lazimnya dilakukan oleh seorang advokat
hanya karena advokat itu telah menerima sejumlah honor dari kliennya.
Pengajuan keberatan itu semata-mata demi memperoleh Konstruksi tentang
kebenaran itu dimaksudkan dari kasus yang sedang terdakwa hadapi.
Apabila misalnya ternyata dalam surat dakwaan penuntut umum atau dari
hasil penyidikan yang menjadi dasar dakwaan penuntut umum terdapat
cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara ( Error In Procedure ).

Maka

diharapkan

majelis

hakim

yang

memeriksa

perkara

dapat

mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum yang


selanjutnya menyerahkan kepada penyidik untuk disidik kembali oleh
karena kebenaran yang ingin dicapai oleh KUHAP tidak akan terwujud
dengan surat dakwaan atau hasil penyidikan yang mengandung cacat formal
atau mengandung kekeliruan beracara ( Eror In Procedure ). Mustahil pula
suatu kebenaran yang diharapkan akan dapat diperoleh melalui persidangan
ini apabila terdakwa dihadapkan pada surat dakwaan penuntut umum yang
tidak dirumuskan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana
yang didakwakan, oleh karena dalam hal demikian sudah pasti terdakwa
termasuk advokatnya tidak akan dapat menyusun pembelaan terdakwa lagi
dengan sebaik-baiknya.

Oleh karena itu melalui kesempatan ini Terdakwa dan Advokatnya


memohon kepada majelis hakim yang memeriksa perkara ini untuk dapat
memberikan tempat yang selayaknya bagi keberatan ini dalam putusan yang
akan diambil oleh majelis hakim setelah penuntut umum menyatakan
pendapat.

II.

Surat Dakwaan Penuntut Umum

Bahwa pada tanggal 14 Desember 2009 Saudara Jaksa Penunut Umum pada
Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, telah membacakan Surat Dakwaan

NOMOR: REG. PERKARA: 05/RP.12/TPK/8/2008 untuk selanjutnya


disebut juga: SURAT DAKWAAN;

Bahwa dalam Surat Dakwaan tersebut Penuntut Umum telah mendakwa


Terdakwa dengan Dakwaan yang berbentuk Kombinasi, yaitu:

Primair : Pasal 2 ayat (1) Undang -undang Nomor 31 T ahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan atas Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Subsidair : Pasal 3 Undang -undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan atas Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Lebih Subsider : Pasal 5 ayat (2) Undang -undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55
KUHP

Bahwa oleh karena ketentuan-ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang -undang


Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana

Korupsi

akan

dibahas

oleh

Advokat

terdakwa

dalam

Eksepsi/Keberatan ini maka isi selengkapnya dari ketentuan-ketentuan


tersebut akan dikutip sehingga terbaca sebagai berikut:
-

Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan
Undang-undang No. Tahun No. 20 Tahun 2001:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00

(dua

ratus

juta

rupiah)

dan

paling banyak

Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang
No. Tahun No. 20 Tahun 2001:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

- Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-undnag Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebagaimana telah dirubah
dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara


negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;

III.

Dasar Hukum Mengenai Keberatan

Bahwa dasar hukum mengenai keberatan terdakwa atau advokat terhadap


Surat Dakwaan penuntut umum diatur dalam Pasal 156 Ayat (1) KUHAP
yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa atau advokatnya dapat
mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili
perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
dibatalkan;

Bahwa oleh karena Terdakwa tidak bermaksud mengajukan keberatan


mengenai pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, maka yang
akan mendapat pembahasan di sini adalah keberatan mengenai dakwaan
tidak dapat diterima dan mengenai surat dakwaan harus dibatalkan;

Bahwa yang dimaksud dengan keberatan mengenai dakwaan tidak dapat


diterima adalah keberatan yang diajukan apabila surat dakwaan yang
diajukan mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara
(error in procedure);
Disini, kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa VINCE MAY
STRUGGLE, berkeyakinan, Majelis Hakim Yang Mulia akan menilai
positif dan akan memperhatikan secara serius serta bijak dan obyektif
eksepsi yang kami ajukan ini. Hal ini tidak lain dan tidak bukan, karena
kami berprinsip suatu Peradilan yang baik, jujur dan adil haruslah
ditunjang dengan upaya yang optimal dari seluruh unsur penegak hukum
di dalamnya. Adapun di dalam KUHAP sendiri, sebagaimana tertuang

pada Pasal 156 ayat (1), telah memberikan peluang dan/atau kesempatan
kepada Terdakwa dan/atau Penasihat Hukumnya untuk mengajukan
keberatan.

Majelis Hakim Yang kami Muliakan,


Oleh karena, seperti dikemukakan di atas, Terdakwa akan mengemukakan
keberatan yang akan diuraikan dibawah ini, yang meliputi :
KEBERATAN KEWENANGAN MENGADILI (EXCEPTION
OF INCOMPETENCY)

KEBERATAN MENGENAI DAKWAAN TIDAK DAPAT


DITERIMA

KEBERATAN MENGENAI SURAT DAKWAAN HARUS


DIBATALKAN

BARANG BUKTI

KESIMPULAN dan PERMOHONAN

1. KEBERATAN KEWENANGAN MENGADILI


(EXCEPTION OF INCOMPETENCY)

Bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970,


Negara kita mengenai empat lingkungan peradilan, yakni : Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masingmasing lingkungan peradilan mempunyai wewenang tertentu, khusus untuk
mengadili hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang bagi setiap
lingkungan peradilan. Apa yang menjadi wewenang mengadili bagi satu
lingkungan peradilan, dengan sendirinya menjadi kekuasaan mutlak bagi
lingkungan peradilan yang bersangkutan, lingkungan peradilan lain tidak
berwenang memeriksa dan mengadilinya.

Keberatan tentang wewenang mengadili adalah berkenaan dengan kompetensi


daripengadilan yaitu Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif. Kompetensi
Absolut adalah berhubungan dengan kekuasaan mengadili dari suatu pengadilan,
bahwa tidak setiap pengadilan mempunyai kekuasaan mengadili satu kasus
perkara. Pengadilan Negeri Umum tidak memiliki kekuasaan mengadili jenis
perkara Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama tidak memiliki kekuasaan
mengadili jenis perkara Pidana. Kompetensi Relatif adalah bahwa tiap pengadilan
itu mempunyai daerah hukum. Apabila suatu tindak pidana dilakukan seseorang
di daerah hukum suatu daerah maka yang memiliki kekuasaan/kewenangan
mengadili adalah Pengadilan Negeri daerah tersebut.
Bahwa kami berpendapat bahwa terdapat kekeliruan mengenai kompetensi relatif,
yang dalam praktek hukum biasa disebut distributie van rechtsmacht atau
kekuasaan relatif. Bahwa keberatan yang diuraikan menyangkut pengadilan tidak
berwenang mengadili secara relatif, dimana hal ini lebih menitik beratkan pada
pembagian wilayah hukum (yuridiksi) pengadilan sejenis dalam satu lingkungan
peradilan sebagaimana ditentukan dalam bagian kedua Bab X KUHAP.Yang
terdiri dari pasal 84, 85 dan pasal 86 KUHAP. Alasan menyangkut pengadilan
tidak berwenang mengadili secara relatif, dimana hal ini lebih menitik beratkan
pada pembagian wilayah hukum (yuridiksi) pengadilan sejenis dalam satu
lingkungan peradilan sebagaimana ditentukan dalam bagian kedua Bab X
KUHAP Yang terdiri dari pasal 84, 85 dan pasal 86 KUHAP. Berdasarkan dari
ketentuan ketiga pasal tersebut ada beberapa kriteria yang bisa dipergunakan oleh
Terdakwa atau Penasehat Hukum sebagai dasar untuk mengukur atau menguji
kewenangan mengadili dari pengadilan negeri. Bahwa berdasarkan ketentuan
pasal 84 KUHAP yang menyebutkan Pengadilan Negeri berwenang mengadili

segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
Asas yang dipergunakan dalam pasal ini adalah berdasarkan :

Tempat Tindak Pidana Dilakukan (locus delicti).


Terdapat suatu prinsip atau asas tentang menentukan kewenangan relatif bagi
Pengadilan

Negeri untuk

mengadili

suatu

perkara

pidana berdasarkan

padaTempat terjadinya tindak pidana dilakukan (locus delicti) Pengadilan


Negeri

tersebutlah

yang

berwenang

mengadilinya,

sebagaimana

dalam

ketentuan pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi Pengadilan Negeri


berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan di
daerah hukumnya. Untuk memahami lebih jelas tentang locus delicti dapat
ditentukan berdasarkan teori perbuatan materil (mengenai tempat dimana
perbuatan dilakukan), teori instrumen (mengenai peralatan yang dipakai untuk
tindak pidana), dan teori akibat (mengenai dimana akibat perbuatan pidana
terjadi).2 Beberapa ajaran tersebut yakni :
De leer van delicha melijke daad atau teori corporeal action (ajaran mengenai
tempat dimana perbuatan dilakukan in persona atau teori perbuatan materiil).
Menurut ajaran ini yang menjadi patokan menentukan locus delicti atau yang
harus dianggap sebagai tempat dilakukan tindak pidana adalah jika terdapat unsur
: Tempat di daerah hukum mana perbuatan pidana dilakukan serta akibat yang
ditimbulkannya juga terjadi pada daerah hukum yang sama. Jika perbuatan dan
akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam satu lingkungan daerah hukum
Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Negeri tersebutlah yang berwenang
mengadilinya. Dalam hal ini antara perbuatan dengan akibat tidak terpecah
dalam dua lingkungan wilayah hukum yang berlainan. Akan tetapi berada pada
satu wilayah hukum pengadilan saja.

De leer van het instrument (ajaran mengenai peralatan yang dipakai untuk tindak
pidana atau teori instrument).
Ajaran ini menentukan locus delicti berdasarkan unsur alat yang digunakan dan
dengan alat itu, tindak pidana diselesaikan dari suatu tempat. Antara tempat
perbuatan dan penyelesaian perbuatan tindak pidana seolah-olah terpisah atau
berlainan tempat atau dapat dikatakan lebih dari satu daerah hukum pengadilan.
Maka menurut teori ini pada hakikatnya penyelesaian perbuatan sudah dianggap
sempurna di tempat dari mana alat itu dipergunakan atau tempat dimana peralatan
yang dipakai harus dianggap sebagai tempat dimana tindak pidana dilakukan
menimbulkan suatu akibat, Pengadilan tersebutlah yang berwenang mengadilinya.

De leer van het gevolg (ajaran mengenai akibat atau teori akibat).
Adakalanya suatu perbuatan dilakukan pada suatu tempat tanpa mempergunakan
alat, tapi akibat perbuatan terjadi pada tempat lain. Menurut ajaran ini locus delicti
ditentukan berdasarkan akibat perbuatan tindak pidana. Yang harus dianggap
sebagai tempat tindak pidana dilakukan adalah tempat dimana perbuatan itu
menimbulkan akibat.
Berdasarkan pada tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar
saksi yang akan dipanggil.
Asas locus delicti sebagaimana disebutkan dalam pasal 84 ayat (1) KUHAP
ternyata tidak mutlak dapat dipertahankan, hal ini dapat kita lihat sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan pasal 84 ayat (2) KUHAP bahwa :
Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,
berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang
mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar

saksi yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan negeri itu dari pada tempat
kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya tindak pidana itu
dilakukan.
Pasal 84 ayat (2) KUHAP ini memberi gambaran telah mengesampingkan asas
pasal 84 ayat (1) tersebut mengenai locus delicti. Asas ini menentukan
kewenangan relatif berdasarkan tempat tinggal sebagian besar saksi yang akan
dipanggil untuk didengar keterangannya dalam persidangan. Jika sebagian saksi
bertempat tinggal atau lebih dekat dengan suatu Pengadilan Negeri, maka
pengadilan negeri tersebutlah yang berwenang mengadilinya. Penerapan asas
tempat kediaman sebagian besar saksi bertempat tinggal dapat dilihat dari
beberapa hal yaitu :
Terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri dimana sebagaian
besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal.
Jika terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri sebagian
besar saksi yang akan dipanggil maka kewenangan relatif mengadili terdakwa,
beralih dari Pengadilan Negeri tempat dimana peristiwa itu terjadi ke Pengadilan
Negeri tempat dimana terdakwa bertempat tinggal dengan sebagian besar saksi
yang akan dipanggil tersebut.

Tempat kediaman terakhir terdakwa dan sebagian besar saksi yang akan dipanggil
bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri tersebut.
Jika terdakwa melakukan tindak pidana di suatu daerah Pengadilan Negeri, akan
tetapi saksi-saksi yang akan dipanggil bertempat tinggal atau lebih dekat dengan
daerah hukum Pengadilan Negeri dimana terdakwa berkediaman terakhir maka
asas locus delicti dapat dikesampingkan, dan yang berwenang mengadili adalah
Pengadilan Negeri tempat kediaman terakhir terdakwa.

Di tempat terdakwa diketemukan dan saksi-saksi yang akan dipanggil sebagian


besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan kediaman terdakwa.
Asas locus delicti dapat dikesampingkan dan yang berwenang mengadili adalah
Pengadilan Negeri tempat terdakwa diketemukan.
Di tempat terdakwa ditahan. Berdasarkan alasan tempat terdakwa ditahan dan
saksi-saksi yang hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih
dekat dengan pengadilan negeri dimana tempat terdakwa ditahan.
Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa pengadilan yang berwenang memeriksa
dan mengadili terdakwa adalah Pengadilan Negeri di mana tempat terdakwa
tersebut ditahan. Dari beberapa alasan yang terdapat dalam pasal 84 ayat (2)
KUHAP ini dapat ditafsirkan bahwa ketentuan ini lebih menitik beratkan kepada
kepentingan kepraktisan pemeriksaan persidangan dengan jalan memberi
pedoman dimana para saksi lebih mudah memenuhi panggilan pemeriksaan
sidang.
Sehubungan dengan beberapa tindak pidana yang dilakukan terdakwa dalam
daerah hukum pelbagai pengadilan negeri.
Dalam hal beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dalam daerah
hukum pelbagai pengadilan negeri, dimana tiap-tiap tindak pidana tersebut
dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri. Sifat tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa benar-benar murni, artinya tidak ada sangkut pautnya
atau terpisah dengan tindak pidana yang lain yang dilakukan dalam daerah hukum
Pengadila Negeri yang lain.
Maka jika mengacu pada ketentuan pasal 84 ayat (3) KUHAP, dan jika terdakwa
terbukti bersalah melakukan beberapa tindak pidana tersebut, maka masingmasing Pengadilan Negeri tersebut akan men-jatuhkan hukuman pidana. Dalam
arti terdakwa akan dijatuhi lebih dari lebih dari satu hukuman pidana. Akan tetapi

bila tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut pada pelbagai
pengadilan ada sangkut pautnya atau secara teoritis perbuatan pidana yang
dilakukan oleh terdakwa dipelbagai pengadilan negeri tersebut terdapat unsurunsur Perbarengan atau Concursus baik Concursus Idealis sebagaimana
yang diatur dan diancam pidana dalam ketentuan pasal 63 ayat (1) KUHP,
maupun unsur Concursus Realis sebagaimana yang diatur berdasarkan pasal
65,66, dan yang terdapat dala pasal 70 KUHP atau dalam beberapa tindak pidana
itu terdapat unsur perbarengan antara lex spesialis dengan lex generalis
sebagimana dirumuskan dalam pasal 63 ayat (2) KUHP., atau di dalam tindak
pidana yang dilakukan dipelbagai pengadilan negeri itu terdapat unsur Perbuatan
Berlanjut atau vootgezette handeling.
Terhadap hal yang disebutkan di atas terbuka kemungkinan bagi terdakwa atau
penasehat hukum untuk mengajukan eksepsi demi terjaminnya perlindungan
terhadap hak asasi terdakwa agar terhindar dari penjatuhan lebih dari satu pidana
terhadap terdakwa. Karena berdasarkan pada ketentuan pasal 84 ayat (4) KUHAP,
menunjukkan bahwa terhadap beberapa perkara pidana yang dilakukan oleh
terdakwa dalam pelbagai pengadilan sedang dalam perbuatan itu terdapat unsurunsur sebagaimana yang disebut di dalam pasal 63,65,66, dan pasal 70 KUHP,
dapat dibuka kemungkinan untuk menggabungkan perkara.
Landasan dasar untuk menentukan kewenangan mengadili setiap Pengadilan
Negeri atas suatu tindak pidana yang terjadi, selain merujuk pada ketentuan pasal
84 KUHAP dapat juga dijadikan landasan berdasarkan ketentuan sebagaimana
yang diatur dalam pasal 85 KUHAP tentang Kewenangan atas penunjukkan
Menteri Kehakiman dan berdasarkan pasal 86 KUHAP tentang Kewenangan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan undang-undang atas tindak pidana
yang dilakukan di luar negeri. Perlu diingat bahwa eksepsi kewenangan relatif

pada prinsipnya diajukan pada peradilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri.
Namun tidak mengurangi hak terdakwa atau penasehat hukum mengajukan suatu
eksepsi kepada Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding, idealnya eksepsi
demikian ini diajukan bersamaan dalam memori banding. Oleh karena
kewenangan mengadili merupakan ketentuan yang bersifat aturan public (public
order), Pengadilan Tinggi secara ex officio (karena jabatannya) berwenang
memeriksa dan menilai apakah Pengadilan Negeri melanggar prinsip kompetensi
relatif dalam mengadili suatu perkara yang bersangkutan, meskipun hal itu tidak
diajukan sebagai sebagi eksepsi dalam peradilan tingkat pertama. Penerapan yang
demikian tidak semata-mata hanya didasarkan atas alasan public order, tapi juga
berdasarkan kehendak yang terkandung dalam pasal 156 ayat (7) KUHAP, yang
memberi fungsi ex officio bagi hakim memeriksa dan memutus mengenai
kompetensi meskipun hal itu tidak diajukan sebagai eksepsi.

Bahwa berdasarkan uraian diatas kami ingin menegaskan bahwa Jaksa


Penuntut Umum tidak memahami atau setidak-tidaknya telah mengabaikan
identitas dari terdakwa. KUHAP yang menjadi pedoman dalam menjalankan
hukum dengan sebaik-baiknya sehingga terciptanya kepastian hukum bagi para
pencari keadilan tidak dapat dikesampingkan baik sedikit ataupun banyak bagi
kepentingan siapapun dan untuk apapun.
Bahwa Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum bertentangan dengan
kewenangan relatif pengadilan berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP yang
berbunyi:
Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa
bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau
ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut,
apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih

dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan


pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu
dilakukan.
Bahwa berdasarkan kartu tanda penduduk milik terdakwa, terdakwa
bertempat Jalan Soekarno Hatta, No. 13, Perumahan Damri Raya, Jakarta
Pusat. Dengan begitu merujuk dalam pasal 84 ayat (2) KUHAP maka
pengadilan negeri yang berwenang mengadili bukan Pengadilan Negeri
Jakarta Utara melainkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Serta dalam hal tempat tingal sebagian besar saksi yang turut dihadirkan
dalam persidangan berada pula pada wilayah Jakarta Pusat, sehingga untuk
mempermudah jalannya persidangan dalam pemeriksaan saksi-saksi. Sudah
barang tentu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini.
Oleh karena itu, penasihat hukum terdakwa berpendapat Bahwa dalam hal
kewenangan relative, Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara ini bukanlah Pengadilan Negeri Jakarta
Utara, melainkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena mengingat dalam
hal terdakwa bertempat tinggal, di tangkap/ ditahan, kediaman sebagian
besar dari saksi yang turut dihadirkan dalam perkara ini antara lain, adalah
berada di Jakarta Pusat atau berada wilayah hukum Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak berwenang
memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini, dan merupakan
kewenangan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa,

mengadili dan memutus perkara ini, sebagaimana disebutkan dalam pasal 84


ayat (2) KUHAP.

2. KEBERATAN MENGENAI DAKWAAN TIDAK DAPAT


DITERIMA

Keberatan dengan alasan surat dakwaan tidak dapat diterima pada umumnya
didasarkan atas kewenangan menuntut dari Penuntut Umum, Bahwa
ketentuan Pasal 140 Ayat (1) KUHAP dengan tegas telah menentukan
bahwa dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan
dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat
dakwaan;

Bahwa ketentuan ini mengisyaratkan bahwa penuntut umum baru boleh


membuat surat dakwaan apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari
hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan dan ini berarti apabila dari
hasil penyidikan tidak dapat dilakukan penuntutan, ia belum atau tidak
boleh

membuat

surat

dakwaan;

Bahwa ketentuan ini pun mengisyaratkan bahwa hasil penyidikan yang


dilakukan oleh penyidik merupakan dasar dalam pembuatan surat dakwaan.
Surat Dakwaan adalah sebuah akte yang dibuat oleh penuntut umum berisi
perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan
kesimpulan

dari

hasil

penyidikan.

Bahwa oleh karena surat dakwaan itu dibuat berdasarkan disusun


berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan, maka dengan sendirinya
apabila hasil penyidikan itu mengandung cacat formal atau mengandung
kekeliruan beracara (error in procedure), maka surat dakwaan itu pun
menjadi cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in

procedure);

Bahwa oleh karena itu untuk mengukur sejauh mana hak-hak asasi
tersangka telah dirugikan oleh penyidik dalam penyidikan atau untuk
mengukur sejauh mana Surat Dakwaan Penuntut Umum telah mengalami
cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure), maka hal itu
tergantung selain pada sejauh mana penuntut umum dalam membuat surat
dakwaannya, juga pada sejauh mana penyidik dalam melakukan penyidikan
telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam KUHAP;

Bahwa oleh karena semua atau sebagian besar hasil penyidikan penyidik
telah tertuang dalam Berkas Perkara yang dibuat oleh penyidik.
Bahwa oleh karena keterbatasan waktu yang tersedia, maka dalam
penyusunan KEBERATAN ini Terdakwa atau advokatnya tidak dapat
menganalisis seluruh bagian dari Berkas Perkara yang dibuat oleh penyidik
tersebut dan karena itu Terdakwa atau advokatnya hanya akan
mengemukakan beberapa cacat formal atau kekeliruan beracara (error in
procedure)

seperti

diuraikan

di

bawah

ini;

Bahwa akan tetapi Terdakwa atau advokatnya yakin bahwa oleh karena
cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure) yang terjadi baik
dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum maupun selama dalam tahap
penyidikan itu cukup mengganggu fondamen penegakan hukum, khususnya
bagi penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang telah diamanatkan
oleh pembentuk undang-undang melalui KUHAP, maka sangatlah
diharapkan Majelis Hakim mau memberi tempat yang selayaknya bagi
KEBERATAN yang Terdakwa atau advokatnya ajukan berdasarkan alasanalasan

A.

sebagai

berikut:

Penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tanpa

didampingi advokat, tanpa menunjuk advokat bagi tersangka, dan


tanpa menjelaskan kepada tersangka bahwa dalam perkara itu ia wajib

didampingi oleh advokat, sehingga ketentuan Pasal 56 Ayat (1)


KUHAP

telah

dilanggar,

Bahwa ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP telah menyatakan:

Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan


tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima
belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam
dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat
hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

Bahwa ketentuan ini tidak lain dimaksudkan untuk melindungi hak-hak


asasi manusia seorang tersangka atau terdakwa yang dipersangkakan atau
didakwa melakukan suatu tindak pidana, oleh karena seandainya orang itu
benar telah melakukan perbuatan seperti yang dipersangkakan atau
didakwakan, perbuatan itu belum tentu merupakan suatu tindak pidana, dan
seandainya perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana, belum tentu ia
bersalah melakukan tindak pidana itu karena berbagai keadaan yang
dibenarkan

oleh

hukum;

Bahwa oleh karena itu peran seorang advokat dalam mendampingi


tersangka yang sedang didengar keterangannya oleh penyidik menjadi
sangat penting dalam mengawal amanat undang-undang dalam menegakkan
dasar utama negara hukum, dengan pendampingan advokat diharapkan
dapat dijaga misalnya:

a. agar keterangan tersangka diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau
dalam bentuk apa pun sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 117
Ayat

(1)

KUHAP

yang

berbunyi:

Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa


tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun.

b. Agar dapat dipastikan bahwa penyidik mencatat keterangan tersangka


dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh
tersangka sendiri, bukan kata yang dikehendaki oleh penyidik atau yang sesuai
dengan keterangan saksi pelapor, sesuai dengan ketentuan Pasal 117 Ayat (2)
KUHAP

yang

berbunyi:

Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah
lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya,
penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang
dipergunakan

oleh

tersangka

sendiri.

Bahwa peran pendampingan seorang advokat bagi tersangka dalam pemeriksaan


penyidik sangat inhaerent dengan perlindungan hak-hak asasi manusia khususnya
bagi mereka yang tengah menjadi pesakitan di hadapan penyidik atau penuntut
umum. Dalam praktek peradilan khususnya untuk perkara Tindak Pidana Korupsi
maka ketentuan Pasal 56 KUHAP sifatnya imperative dalam artian bahwa
tersangka pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan tegas harus didampingi penasihat
hukum pada semua tingkat pemeriksaan. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai
implementasi dijunjung tingginya hak asasi manusia/terdakwa sebagaimana dasar
dikeluarkannya KUHAP, sehingga tidak diharapkan adanya kesewenangwenangan

dalam

pemeriksaan

tersangka/terdakwa.

Bahwa oleh karena sedemikian seriusnya ketentuan sejenis Miranda Rule dalam
KUHAP yang mewajibkan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk menunjuk
penasihat hukum bagi mereka untuk tindak pidana yang ancamannya disebutkan
dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP, maka atas adanya pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut tidak mengherankan Mahkamah Agung Republik Indonesia
dalam berbagai putusannya menyatakan dakwaan Penuntut Umum tidak dapat
diterima;

Bahwa berbagai putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di antaranya

adalah putusan No. 367 K/Pid./1998 tanggal 29 Mei 1998 dan putusann No.
1565K/Pid/1991

tanggal

16

September

1993;

Bahwa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 367 K/Pid./1998


tanggal

29

Mei

1998

amarnya

berbunyi:

1. Menyatakan Penuntutan Jaksa Penuntut Umum/Jaksa pada Kejaksaan Negeri


Sengkang

tidak

dapat

diterima;

2. Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan Rutan (Rumah


Tahanan

Negara);

3. Memerintahkan Pengadilan Negeri Sengkang untuk mengembalikan berkas


perkara, yaitu Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan Berita Acara Pemeriksaan
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sengkang yang selanjutnya menyerahkan
kepada

Penyidik

Polri;

4. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat kepada Negara;

Bahwa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut didasarkan atas


pertimbangan

sebagai

berikut:

Bahwa terlepas dari alasan-alasan tersebut di atas, ditemukan fakta bahwa


terdakwa diperiksa dalam tingkat penyidikan masing-masing pada tanggal 31
Desember 19996, tanggal 3 Januari 1997 dan tanggal 6 Januari 1997 dan dalam
tingkat penuntutan tanggal 1 Maret 1997, tidak ditunjuk penasihat hukum untuk
mendampingi Nya, sehingga bertentangan dengan pasal 56 KUHAP, sehingga
Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan Penuntut Umum batal demi hukum dan
oleh karena itu penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima, walaupun
pemeriksaan di sidang Pengadilan, terdakwa didampingi Penasehat Hukum.

Bahwa sedangkan putusan Mahkamah Agung No. 1565K/Pid/1991 tanggal 16


September

1993

berbunyi

sebagai

berikut:

Apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak


menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan
penuntut

umum

dinyatakan

tidak

dapat

diterima.

Bahwa oleh karena adanya ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP dan adanya
kedua putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut di atas, maka
menjadi sangat relevan untuk menjawab pertanyaan: apakah penyidik selama
dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan terhadap Terdakwa telah bertindak
sesuai dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP dan kaidah hukum yang
ditetapkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam kedua putusan
tersebut

di

atas;

Bahwa apabila berpegang pada Berita Acara Pendapat (Resume) tanggal ........
yang dibuat oleh penyidik Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, untuk selanjutnya juga
disebut: Berita Acara Pendapat PENYIDIK, maka segera dapat diketahui apakah
dalam melakukan pemeriksaan terhadap Tersangka, penyidik telah melakukannya
sesuai

dengan

ketentuan

KUHAP

tersebut;

Bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapatlah terlebih dahulu membaca


BERITA

ACARA

PENDAPAT

PENYIDIK

yang

berbunyi:

Dalam pemeriksaan ia dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, dan ketika ia akan
dimintai keterangannya ia tidak menggunakan Penasehat Hukum atau Pengacara,
akan tetapi meskipun ia tidak didampingi oleh Penasihat hukum ia bersedia untuk
dimintai keterangan dan akan memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya.

Bahwa menilik keterangan sebagaimana tertera dalam Berita Acara Pendapat


tersebut, jelaslah pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai
Tersangka dalam tahap penyidikan telah dilakukan oleh penyidik secara

bertentangan dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP dan kaidah hukum
yang termaut dalam konstante jurisprudentie tersebut di atas. Bahwa berdasrkan
hasil dari acara pemeriksaan yang dilakukan terhadap terdakwa, tindak pidana
yang dipersangkakan kepada Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka
adalah tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana menurut
ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi jo. Undang-undang No. 20/2001 tentang Perubahan Undang-undang No.
31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3 Undang-undang No. 31/1999
tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang No. 20/2001 tentang
Perubahan Undang-undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan
Pasal

Ayat

(1)

huruf

a;

Bahwa ancaman pidana menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No.
31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang No. 20/2001 tentang
Perubahan Undang-undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi adalah
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan
paling lama 20 tahun dan seterusnya, ancaman pidana menurut ketentuan Pasal 3
Undang-undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang
No. 20/2001 tentang Perubahan Undang-undang No. 31/1999 tentang Tindak
Pidana

Korupsi

adalah

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan
paling lama 20 tahun dan seterusnya, dan ancaman pidana menurut ketentuan
Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi jo. Undang-undang No. 20/2001 tentang Perubahan Undang-undang No.
31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara paling singkat 1
tahun

dan

paling

lama

tahun

dan

seterusnya;

Bahwa oleh karena ancaman pidana atas tindak pidana yang dipersangkakan
terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka adalah lebih dari lima
belas, dan lagi pula Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka tidak
mempunyai advokat sendiri, maka jelas penyidik yang melakukan pemeriksaan
terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka seharusnya menunjuk

advokat

bagi

Terdakwa

yang

pada

waktu

itu

sebagai

Tersangka;

Bahwa oleh karena Berita Acara Pendapat tersebut sebagaimana ternyata dari
bagian penutupnya telah dibuat dengan sebenar-benarnya berdasarkan kekuatan
sumpah jabatan kemudian ditutup dan ditandatangani oleh yang membuatnya
pada hari, tanggal, bulan dan tahun yang disebutkan pada bagian awal Berita
Acara tersebut, maka jelas Berita Acara tersebut merupakan bukti sempurna yang
menunjukkan bahwa pemeriksaan pada tingkat penyidikan terhadap Terdakwa
yang pada waktu itu sebagai Tersangka telah dilakukan tanpa adanya
pendampingan seorang advokat bagi Terdakwa yang pada waktu itu sebagai
Tersangka, dan penyidik sebelum memulai pemeriksaan tidak telah melaksanakan
kewajibannya untuk menunjuk advokat bagi Terdakwa yang pada waktu itu
sebagai

Tersangka;

Bahwa oleh karena hal-hal sebagaimana dikemukakan di atas, maka jelas


pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penyidik terhadap Terdakwa yang pada
waktu itu sebagai Tersangka telah melanggar ketentuan Pasal 56 Ayat (1)
KUHAP dan konstante jurisprudentie, dan karena itu dengan sendirinya Dakwaan
yang dibuat oleh Penuntut Umum berdasarkan hasil penyidikan tersebut harus
dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena mengandung cacat formal atau
mengandung

kekeliruan

beracara

(error

in

procedure);

Bahwa kendati Berita Acara Pendapat tersebut sudah merupakan bukti yang
sempurna menunjukkan adanya pelanggaran ketentuan KUHAP yang dilakukan
oleh penyidik dalam pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai
Tersangka, untuk memberi rasa keadilan tidak ada salahnya kita menguji
kebenaran Berita Acara Pendapat tersebut dengan menelusuri Berita Acara
Pemeriksaan yang telah dibuat pada waktu penyidik melakukan pemeriksaan
terhadap

diri

Terdakwa

yang

pada

waktu

itu

sebagai

Tersangka;

Bahwa dari Berkas Perkara dapat diketahui bahwa Terdakwa yang pada waktu itu
sebagai Tersangka selama pada tahap penyidikan telah menjalani pemeriksaan

sebagai tersangka. Bahwa oleh karena Terdakwa telah menjalani pemeriksaan,


maka akan ditinjau beberapa Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada saat
pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu berstatus sebagai Tersangka;

a. Berita

Acara

Pemeriksaan

tanggal

14

Juni

2009

Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada 14 Juni


2009 ternyata pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu
sebagai Tersangka sama sekali tidak didampingi oleh seorang advokat, dan
juga dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan seperti tertulis dalam
Berita

Acara

itu

ternyata

penyidik

selain

sama

sekali

tidak

memberitahukan kepada yang diperiksa bahwa ia dalam perkara itu wajib


didampingi oleh seorang advokat, juga sama sekali tidak menunjuk
seorang advokat untuk mendampingi Terdakwa yang pada waktu itu
sebagai

Tersangka

dalam

pemeriksaan

tersebut;

Bahwa mengenai adanya keterangan dalam Berita Acara yang berbunyi


Sebelum pemeriksaan (pemeriksaan lanjutan) ini dimulai kepada
Tersangka terlebih

dahulu

dibacakan hak-haknya terutama

yang

menyangkut dengan bantuan hukum tidak akan ditanggapi di sini,


melainkan akan dibahas pada bagian lain yang juga menjadi materi
KEBERATAN ini;

b. Berita

Acara

Pemeriksaan

tanggal

21

Juni

2009

Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada tanggal


21 Juni 2009 ternyata Terdakwa yang pada waktu sebagai Tersangka
dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik baru kali pertama ini
didampingi oleh dua orang advokat, yaitu Verdinan, S.H dan Inez Siburian
S.H;

Bahwa namun pemeriksaan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan


Pasal 56 Ayat (1) KUHAP ini pada akhir pemeriksaan yang berlangsung
pada tanggal 22 Agustus 2007 ini sama sekali tidak bersifat

menghilangkan cacat formal dan kekeliruan beracara (error in procedure)


yang terkandung dalam Berita-berita acara sebelumnya, oleh karena
Mahkamah Agung dalam putusannya No. 367 K/Pid./1998 tanggal 29 Mei
1998 dan No. 1565K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993, dengan tegas
telah mengingatkan bahwa pendampingan advokat bagi tersangka yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 56
Ayat (1) KUHAP seperti halnya yang dipersangkakan pada Terdakwa
yang waktu itu sebagai Tersangka haruslah dimulai dari sejak awal
penyidikan dan dalam setiap pemeriksaan tanpa ada satu pun yang
dikecualikan, tidak cukup hanya dalam pemeriksaan yang terakhir atau
yang

pertamanya

saja;

B. Pembacaan mengenai hak-hak tersangka yang menyangkut


bantuan hukum tidak dituangkan oleh penyidik dalam Berita Acara
sesuai

dengan

ketentuan

Pasal

75

Ayat

(1)

KUHAP

Bahwa selama tahap penyidikan Terdakwa yang pada waktu itu sebagai
Tersangka telah menjalani pemeriksaan di hadapan penyidik berturut-turut
pada tanggal-tanggal 14, 21, 28 Juni dan21 Agustus 2009, dan untuk setiap
pemeriksaan itu telah dibuat suatu berita acara namun didalam acara
pemeriksaan maupun Berita acara Pemeriksaan tersebut sama sekali tidak
tertuang pembacaan hak hak tersangka sebagaimana mestinya harus
diketahui

C.

Penahanan

ketentuan

terdakwa

saat

menjadi

tersangka;

yang dilakuka leh penyidik bertentangan dengan


Pasal

21

ayat

(1)

KUHAP

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan


bergerak seseorang yang merupakan HAK ASASI MANUSIA yang harus
dihormati disatu pihak, dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak,
yang harus dipertahankan untuk masyarakat, dari perbuatan jahat si-

tersangka [Cest l eternel conflit entre la liberte et lautorite,


sebagaimana dikatakan oleh Larnaude dalam rede-nya tahun 1901].

Bahwa menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 ( K ITAB


UNDANG - UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ), Pasal 1 ayat (
21 ) memberikan pengertian penahanan , sebagai berikut :

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat


tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini.

Bahwa seperti yang diketahui, Pasal 7 ayat (1) butir dan Pasal 20 ayat (1)
Undang - Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) memberi kewenangan kepada penyidik untuk menahan
tersangka yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, penahanan dapat dilakukan
terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan
yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana. Oleh karena itu, baik penangkapan maupun
penahanan harus dilakukan dengan surat perintah penangkapan atau surat
perintah penahanan, sehingga surat perintah yang baru diberikan 1 (satu)
hari setelah penangkapan dan penahanan tersebut dilakukan bertentangan
dengan ketentuan undang-undang.
Bahwa berdasarkan resume berkas berita acara, ditemukan bukti bukti
yang tidak lengkap yang digunakan sebagai dasar penahanan terdakwa
saat menjadi tersangka, bukti bukti tersebut tidaklah cukup kuat untuk

menahan tersangka. Penyidik terkesan melakukan tindakan asal tahan


terhadap terdakwa saat menjadi tersangka.
Penyidik seolah olah berpendapat bahwa setiap orang yang disangkakan
melakukan kejahatan baik itu kasus korupsi atau dalam kasus apapun asal
ada bukti cukup kuat bisa ditahan. Akan tetapi menurut kami tidak ada
keharusan penahanan, sebab tidak ada satupun ketentuan hukum yang
mengatur tentang adanya keharusan penahanan.

3. KEBERATAN MENGENAI SURAT DAKWAAN HARUS


DIBATALKAN
Bahwa seperti telah dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan keberatan
mengenai surat dakwaan harus dibatalkan adalah keberatan yang diajukan
karena surat dakwaan telah dibuat dengan tidak memenuhi ketentuan Pasal
143

Ayat

(2)

Huruf

KUHAP

yang

berbunyi:

Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan


ditandatangani serta berisi: b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap
mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan
tempat

tindak

pidana

itu

dilakukan.

Bahwa dalam buku Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan (Penerbit


Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1885, halaman 14 - halaman 16)
yang

disebut:

a. Cermat, adalah ketelitian penuntut umum dalam mempersiapkan surat


dakwaan yang didasarkan kepada Undang-undang yang berlaku bagi
terdakwa, tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat
mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat
dibuktikan;
b. Jelas, adalah kemampuan merumuskan unsur-unsur delik yang

didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materil (fakta)


yang

dilakukan

oleh

terdakwa

dalam

surat

dakwaan;

c. Lengkap, adalah uraian yang mencakup semua unsur yang ditentukan


Undang-undang

secara

lengkap.

Bahwa apakah Surat Dakwaan Penuntut Umum sudah memenuhi ketentuan


Pasal 143 Ayat (2) Huruf b KUHAP, pertanyaan ini akan dijawab dengan
mengikuti Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan yang diterbitkan oleh
Kejaksaan

A.

Agung

Republik

Indonesia

tersebut

di

atas;

Kecermatan Surat Dakwaan

Bahwa yang dimaksud dengan cermat adalah ketelitian penuntut umum dalam
mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan kepada Undang-undang yang
berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang
dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat
dibuktikan;

Bahwa dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk kriteria


kecermatan

dapat

dipandang

dari

beberapa

sudut,

yaitu:

1. apakah surat dakwaan itu sudah didasarkan kepada Undang-undang yang


berlaku

bagi

terdakwa,

2. apakah dalam surat dakwaan tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan
yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat
dibuktikan;

Bahwa pertanyaan apakah surat dakwaan itu sudah didasarkan kepada


Undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, dapat dijawab berdasarkan
uraian-uraian yang telah dikemukakan dalam bagian lain dari keberatan ini,
yaitu pada bagian keberatan yang berjudul penuntutan atau dakwaan yang
diajukan oleh Penuntut Umum dalam perkara ini telah bertentangan dengan

asas nullum delictum, nulla puna sine praevia lege punali sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

Bahwa seperti telah dikemukakan di atas bahwa Penuntut Umum dalam


dakwaannya telah menerapkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap perbuatan-perbuatan yang
terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut, maka jelaslah penuntutan atau
dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dalam perkara ini selain
bertentangan dengan asas nullum delictum, nulla puna sine praevia lege
punali sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, juga telah tidak memenuhi kriteria cermat sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b KUHAP;

Bahwa pertanyaan apakah dalam surat dakwaan tidak terdapat kekurangan dan
atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau
dakwaan

tidak

dapat

dibuktikan;

Bahwa sehubungan dengan pertanyaan ini, maka pada halaman 2 Surat


Dakwaan sudah memperlihatkan kekeliruan yang sangat fatal, bahwa penuntut
Umum telah menrapkan berlakunya Undang-Undang tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi
Tahun

2009

sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 46

tentang

Pengadilan

Tindak

Pidana

Korupsi

Bahwa oleh karena ternyata Surat Dakwaan Penuntut Umum itu tidak
didasarkan kepada Undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, dan juga
dalam surat dakwaan terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat
mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat dibuktikan,
maka jelaslah Surat Dakawan itu telah dibuat dengan tidak mengindahkan
syarat

B.

kecermatan

Kejelasan

untuk

suatu

Surat

surat

dakwaan;

Dakwaan

Bahwa syarat kejelasan suatu surat dakwaan adalah bahwa surat dakwaan itu
harus merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan
dengan uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam
surat

dakwaan;

Bahwa untuk menjawab pertanyaan apakah surat dakwaan itu telah


merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan
dengan uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam
surat dakwaan, maka harus dikemukakan terlebih dahulu unsur-unsur delik
yang

didakwakan;

Tiga dakwaan secara kombinasi, maka unsur-unsur delik dakwaan itu akan
diuraikan

sebagai

berikut;

1.Dakwaan Primair

Bahwa oleh karena Dakwaan Pertama adalah sebagaimana diatur dalam


ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undangundang No. 20 Tahun 2001, maka unsur-unsur delik untuk Dakwaan Pertama
ini

akan

dikemukakan

di

bawah

Bahwa unsur-unsur delik untuk Dakwaan Pertama adalah sebagai berikut:

- setiap orang;
- yang secara melawan hukum;
- melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
- yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomiam negara;

ini;

Unsur

delik

setiap

orang

Bahwa mengenai unsur setiap orang perlu dihubungkan dengan ketentuan


Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20
Tahun 2001 yang menyatakan Setiap orang adalah orang perseorangan atau
termasuk

korporasi;

Bahwa sedangkan korporasi dirumuskan dalam ketentuan BAB I, Pasal 1


Angka 1 UU Tipikor yang menyatakan Korporasi adalah kumpulan orang
dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan

badan

hukum;

Bahwa apakah unsur delik setiap orang ini telah dirumuskan dalam Surat
Dakwaan dan sudah memadukan dengan uraian perbuatan materil (fakta) yang
dilakukan

oleh

terdakwa

dalam

surat

dakwaan;

Bahwa untuk menjawab pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu


pertanyaan apakah Terdakwa yang dimaksud dalam surat dakwaan Penuntut
Umum

adalah

orang

perseorangan

atau

termasuk

korporasi;

Bahwa ternyata tidak mudah menjawab pertanyaan ini oleh karena pada
bagian Identitas Terdakwa Surat Dakwaannya Penuntut Umum menyebut
Terdakwa adalah orang perseorangan, yaitu yang bernama lengkap VINCE
MAY

STRUGGLE;

Bahwa akan tetapi pada bagian Dakwaan baik Dakwaan Primair, Subsidair
maupun Dakwaan Lebih Subsidair Surat Dakwaannya Penuntut Umum
menyebut Terdakwa dengan sebutan terdakwa VINCE MAY STRUGGLE
selaku Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik ,

Bahwa dengan penyebutan yang saling bertentangan dalam Surat Dakwaan


Penuntut Umum antara bagian Identitas Terdakwa dan bagian Dakwaan
seperti dikemukakan di atas, maka menjadi tidak jelas apakah Terdakwa
didakwa sebagai orang perorangan atau dalam kedudukannya selaku Direktur
Perum Bolog yang oleh demikian itu bertindak untuk dan atas nama Perum
Bulog;

Bahwa apabila Terdakwa didakwa dalam kedudukannya selaku Direktur


Perum Bulog, maka berarti segala tindakannya itu dilakukan untuk dan atas
nama

Perum

Bulog,

bukan

untuk

dirinya

sendiri;

Bahwa lebih lanjut apabila Terdakwa didakwa dalam kedudukannya selaku


Direktur Perum Bulog, maka berarti unsur delik setiap orang dalam Surat
Dakawan Penuntut Umum adalah korporasi, dan bukan orang perseorangan;

Bahwa oleh karena dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak jelas apakah
Terdakwa didakwa sebagai orang perorangan atau dalam kedudukannya
selaku Direktur Perum Bulog yang oleh demikian itu bertindak untuk dan atas
nama Perum Bulog, maka unsur setiap orang dalam Surat Dakwaan harus
dipandang
Unsur
Bahwa

tidak
delik

mengenai

yang
unsur

delik

secara
yang

terpenuhi;
melawan
secara

melawan

hukum
hukum

Bahwa khusus pengertian melawan hukum secara materil, oleh karena telah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi oleh Mahkamah Konstitusi
dalam putusannya No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006, maka dalam
perkara ini hanya akan ditinjau dari segi perbuatan melawan hukum secara
formil;

Bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum secara formil

adalah perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan


yang

berlaku;

Bahwa sesuai dengan pengertian di atas yang dihubungkan dengan uraian


dalam Surat Dakwaan, maka unsur delik yang secara melawan hukum pun
telah tidak terpenuhi atau setidak-tidaknya menjadi kabur.

Unsur melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain


atau

suatu

korporasi

Bahwa unsur ini pun tidak terpenuhi dalam Surat Dakwaan oleh karena dalam
Surat Dakwaan selain tidak dijelaskan sama sekali mengenai berapa besar
uang yang telah Terdakwa nikmati juga tidak dijelaskan sama sekali mengenai
korporasi/perusahaannya mana yang telah dipercaya oleh perbuatan tersebut
dan

dalam

jumlah

berapa;

Unsur yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian


negara

Bahwa oleh karena seperti diuraikan di atas kedudukan Terdakwa dalam


melakukan perjanjian kerja bersama Vietnam telah sesuai dengan Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor: 12/M-DAG/PER/4/2008 tanggal 15 Januari
2008, dalam kedudukannya sebagai badan hukum privat Perum Bulog
menyediakan beras impor untuk nasional sesuai yang teal disepakaki dengan
Kemendag, maka jelas tidak mungkin keuangan negara atau perekonomian
negara

dapat

dirugikan;

2. Dakwaan Subsidair dan Lebih Subsidair


Bahwa oleh karena dalam Surat Dakwaannya peristiwa yang dirumuskan baik
untuk Dakwaan Primair maupun dakwaan Subsidair dan lebih Subsidair tidak

jauh berbeda, maka segala uraian mengenai Kejelasan Surat Dakwaan


dianggap termasuk dalam bagian ini;
Bahwa dalam dakwaan subsidair saudara terdakwa dijerat pasal 3 dan dalam
dakwaan Lebih subsidair terdakwa didakwa pasal 5 ayat 1 huruf a Undangundang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, bahwa
dalam pasal tersebut terdapat unsur menyalahgunakan kewenangan
perlu ditegaskan bahwa terdakwa tidak pernah berniat sama sekali untuk
menyalahgunakan kewenangannya sehingga mengakibatkan kerugian
negara, melainkan terdakwa berupaya dalam menjalankan kewenangan dan
kewajibannya dalam tanggung jawabnya sebagi Direktur Perum Bulog.

4. BARANG BUKTI

Bahwa barang bukti berupa Beras yang ditemukan di sejumlah pasar induk
di Indonesia keadaannya jelas sudah berbeda dengan keadaan awal Beras
saat diterima di Pelabuhan tanjung Priok. Proses pengangkutan beras yang
telah melalui perjalanan panjang tersebar ke seluruh wilayah Indonesia,
serta melalui kondisi geografis yang juga berbeda-beda menjadikan besar
kemungkinan

mengakibatkan

meningkatnya

kepecahan

Beras

dan

penurunan kualitas beras. Oleh sebab itu tidak relevan beras yang ditemukan
di salah satu pasar induk dijadikan sampel untuk diuji. Beras yang menjadi
sampel jelas tidak dapat mewakili semua beras Impor asal Vietnam yang
didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.
Pengujian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) terasa sangat
menghakimi Terdakwa Vince May Struggel, S.P., M.Agr. sebagai pribadi
manusia, yang penelitian tersebut dilakukan tanpa melakukan penelitian
secara cermat dan teliti.

Dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum tentang tingkat


kepecahan Beras yang mencapai 30% adalah hal yang terlalu dipaksakan.

tingkat kepecahan maksimum untuk beras jenis medium adalah 25% dengan
kondisi beras yang memiliki perbandingan 25% beras yang hancur dan 75%
beras yang masih dalam kondisi utuh atau baik. Kepecahan beras untuk
jenis medium telah diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan nomor:
12/M-DAG/PER/4/2008.
Bahwa dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum tentang beras
impor asal Vietnam yang mengharuskan syarat beras medium memiliki
tingkat kepacahan 5% adalah sebuah kesalahan sebab dalam peraturan
Menteri Perdagangan nomor: 12/M-DAG/PER/4/2008 tingkat kepecahan
pada beras jenis medium adalah berkisar diatas 5% - 25%, sedangkan
tingkat kepecahan 5% tidak termasuk dalam jenis beras medium melainkan
jenis beras premium.
Tidak mungkin dalam keadaan darurat, dimana Indonesia mengalami defisit
cadangan beras akibat gagal panen dan bencana alam, Perum Bulog
memaksakan untuk mengadakan Beras jenis Premium dengan tingkat
kepecahan 5%. Sebagaimana diketahui beras jenis Premium sangat terbatas
jumlahnya dipasaran sekalipun oleh negara-negara penghasil beras di Asia
Tenggara. Beras jenis Premium yang terbatas jumlahnya juga pastinya akan
berbanding lurus dengan harga yang tinggi.

Bahwa dalam proses publikasi ke seluruh negara-negara penghasil beras di


wilayah Asia Tenggara hanya Negara Vietnam yang menyatakan
kesanggupannya untuk memenuhi pengadaan beras ke Negara Indonesia.
Bahwa proses impor beras asal Vietnam telah memenuhi semua prosedur
yang telah ditentukan, dengan kelengkapan dokumen-dokumen impor serta
telah melalui tahapan verifikasi yang ketat oleh pihak independen yang telah
ditetapkan kementerian perdagangan yaitu PT Sucofindo.
Oleh sebab itu majelis hakim yang terhormat, bukti-bukti yang didakwakan
saudara penuntut umum kepada terdakwa terkesan sangat dipaksakan.

5.

KESIMPULAN

DAN

PERMOHONAN

MAKA berdasarkan segala uraian dan fakta hukum seperti dikemukakan di


atas, kami selaku Advokat Terdakwa berkesimpulan bahwa surat dakwaan
yang diajukan oleh Penuntut Umum jelas telah mengandung cacat formal
atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure) di samping tidak
memenuhi ketentuan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b Kitab Undang-Undang
Hukum

Acara

Majelis
Jaksa

Pidana.

Hakim
Penuntut

Yang

Umum

Hadirin

Yang

Kami

Mulia,
Hormati

Yang

dan,

Terhormat.

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kami Penasihat Hukum Terdakwa
akan menjelaskan dan menyampaikan alasan-alasan Keberatan atau Eksepsi
atas

Surat

Dakwaan

Jaksa

Penuntut

Umum,

yang

terdiri

dari:

1. Bahwa didalam Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum


menyatakan Terdakwa VINCE MAY STRUGGLE bertempat tinggal di
Jalan Soekarno Hatta, No. 13, Perumahan Damri Raya, Jakarta Pusat atau
setidak-tidaknya disuatu tempat lain yang masih termasuk kedalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka Pengadilan yang berhak
memeriksa dan mengadili terdakwa adalan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
bukan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

2. Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri


atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan
negara

atau

perekonomian

negara.

Bahwa Surat Dakwaan Tidak memenuhi syarat materil sebagaimana yang


diatur

dalam

pasal

143

ayat

(2)

huruf

KUH.Acara

Pidana;

Menurut pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, Surat Dakwaan harus memuat
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan.
Bahwa yang dimaksud dengan cermat adalah ketelitian Jaksa Penuntut
Umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan pada Undang
Undang yang belaku bagi Terdakwa, serta tidak terdapat kecurangan atau
kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau tidak
dapat dibuktikan. Sedangkan yang dimaksud dengan jelas adalah bahwa
Jaksa Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsur-unsur dari delik
yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian materil (fakta) yang
dilakukan

oleh

Terdakwa

dalam

Surat

Dakwaan.

Adapun yang dimaksud dengan lengkap adalah uraian Surat Dakwaan harus
mencakup semua unsur yang ditentukan dalam Undang-undang secara
lengkap.
Bahwa Surat Dakwaan tidak memenuhi syarat materil, karena tidak cermat,
jelas dan lengkap menguraikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan,
berarti Surat Dakwaan itu obscur libel (kabur) atau rumusannya
mengandung uraian perbuatan yang bertentangan antara pasal satu dengan
pasal

yang

lain.

Memperhatikan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara aquo


ini, maka kami berkesimpulan bahwa Surat Dakwaan tersebut tidak
memenuhi syarat materil sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 143 ayat
(2) huruf b KUHAP. Hal ini dapat kami jelaskan sebagai berikut:

Bahwa Surat Dakwaan disusun secara tidak cermat karena Surat Dakwaan
tersebut

melanggar

azas

legalitas.

Bahwa Surat Dakwaan, tersebut disusun secara tidak cermat dan unsurunsurnya serta keterkaitannya antara dakwaan primair, subsidair dan lebih
subsidair.

Hal ini terbukti bahwa Surat Dakwaan oleh Jaksa Penuntut

Umum

telah

disusun

secara

kombiansi.

3. Bahwa dalam dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum menyatakan


dengan tegas bahwa Terdakwa merupakan pihak yang ditunjuk secara resmi
untuk melakukan Impor Beras Jenis Medium.
-

Bahwa Kementerian Perdagangan Republik Indonesia melalui Peraturan


Menteri Perdagangan Nomor: 12/M-DAG/PER/4/2008 tanggal 15 Januari
2008 resmi menunjuk Perum Bulog untuk melakukan Impor Beras Jenis
Medium dan Terdakwa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
pengimporan beras ke Indonesia.

4. Bahwa terdakwa selaku Direktur Utama Perum Bulog (Perusahaan Umum


Badan Usaha Logistik) sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik (Perum
Bulog) Pasal 23 Ayat (1) Sesuai anggaran Dasar Perum BULOG,
mempunyai tugas dan tanggungjawab adalah sebagai berikut :
a. Memimpin, mengurus dan mengelola perusahaan sesuai dengan tujuan
perusahaan dengan senantiasa berusaha meningkatkan dayaguna dan
hasilguna Perusahaan;
b. Menguasai, memelihara dan mengurus kekayaan perusahaan;
c. Mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan;
d. Menyiapkan rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran
perusahaan;
e. Mengadakan dan memelihara pembukuan dan administrasi perusahaan
sesuai dengan kelaziman yang berlaku bagi suatu perusahaan;
f. Menyiapkan struktur organisasi dan tata kerja perusahaan lengkap
dengan perincian tugasnya: melakukan kerjasama usaha, membentuk
anak perusahaan dan melakukan penyertaan modal dalam badan usaha
lain dengan persetujuan Menteri Keuangan;
g. Menyiapkan laporan tahunan dan laporan berkala.
sehingga tidak terdapat adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh Terdakwa sebagaimana dakwaan Saudara Jaksa penuntut Umum,

mengingat bahwa tindakan melawan hukum (waterrechtelijk) adalah satu


istilah yang ditujukan pada pihak yang tidak berhak atau tidak berwenang,
bukan menjadi haknya dan sebagainya, sementara tindakan Terdakwa
adalah

berdasarkan

ijin

dari

pihak

yang

berkompeten.

Bahwa dalam Dakwaa Jaksa Penuntut Umum tidak menguraikan secara


lengkap dan jelas keadaan-keadaan yang melekat pada tindakan pidana
(Circumstances) dan keadaan-keadaan yang melekat pada tingkat pidana
terutama keadaan khusus (particular circumsances) yang didakwakan
kepada

Terdakwa

VINCE

MAY

STRUGGLE;

Dengan demikian unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan tidak


dijelaskan secara keseluruhan, terdapat kekaburan dalam Surat Dakwaan,
bahkan hakikatnya Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tidak
memuat secara jelas dan lengkap unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan dan dengan sendirinya mengakibatkan tindak pidana yang
didakwakan

kepada

Terdakwa

bukan

merupakan

tindak

pidana.

Bahwa Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum adalah tidak cermat,
tidak jelas dan tidak lengkap menguraikan mengenai tindak pidana yang
didakwakan terhadap terdakwa VINCE MAY STRUGGLE sebagaimana
diatur dalam pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
UU No.20 Tahun 2001. Pasal 143 ayat (2) huruf b KUH.Acara Pidana;

5. Bahwa berdasarkan pasal 143 ayat (2) sub b KUH.Acara pidana kami
menilai bahwa Tindak Pidana yang didakwakan dalam dakwaan Saudara
Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap (obscuur
libel) sehingga Surat Dakwaan tersebut Cacat Hukum. (Vide pasal 143
ayat

(3)

KUH.Acara

Pidana);

Bahwa dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum mendakwakan

Terdakwa dengan Dakwaan Kombinasi yakni terdiri dari dua (2) dakwaan
yang

terdiri

dari

Dakwaan Primair:

Terdakwan didakwa telah melakukan tindakan pidana korupsi. Setiap


orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuntungan negara atau perekonomian negara, dipidana dipenjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp.20.000.000,-

(dua

ratus

juta

rupiah)

dan

paling

banyak

Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sebagaimana yang diatur dalam


pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun
2001.

-. Dakwaan Subsidair:
Terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana dengan sengaja tidak
membayar dan/atau menyetor PSDH sebesar Rp134.145.275,- (seratus tiga
puluh empat juta seratus empat puluh lima ribu dua ratus tujuh puluh lima
rupiah) dan DR sebesar US$40.252,03 (empat puluh ribu dua ratus lima
puluh dua koma nol tiga dollar Amerika) yang merupakan PNBP
(Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebagaimana yang diatur dan diancam
dalam pasal 21 ayat (1) huruf a UU No.20 tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara

Bukan

pajak.

Dengan mencermati dalil-dalil Jaksa Penuntut Umum jelaslah bahwa bahwa


dalil-dalil tersebut sangat bertentangan dengan apa yang dimaksud sebagai
suatu perbuatan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam unsurunsur pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi senagaimana telah diubah dengan


UU Nomor 20 tahun 2001.

Bahwa berdasarkan ketentuan Yurisprudensi sebagaimana dapat dilihat dari


Putusan-putusan

Mahkamah

Agung

Republik

Indonesia

No.531

K/Pid/1984, tertanggal 9 Mei 1985 Jo. No.1289 K/Pid/1984, tertanggal 26


Juni 1987 Jo. No. 618 K/ Pid/1984, tertanggal 17 April 1985 Jo. No.246
K/Pid/1988, tertanggal 30 Mei 1990 Jo. No.350.K/Pid/1990, tertanggal 30
September 1993, semua unsur yang didakwakan harus dirumuskan dengan
jelas

dan

lengkap

dalam

Surat

Dakwaan.

Bahwa berdasarkan yang kami telah sampaikan tersebut diatas jelaslah Surat
Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tersebut tidak cermat, tidak jelas
atau tidak lengkap (kabur), sehingga dakwaan Saudara Jaksa Penuntut
Umum tersebut haruslah ditolak demi hukum karena Surat Dakwaan
tersebut cacat hukum dan oleh karena Surat Dakwaan Saudara Jaksa
Penuntut Umum tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 143 ayat (2) huruf b maka Surat Dakwaan tersebut batal demi
hukum. Vide pasal 143 ayat (3) KUH.Acara Pidana.

6. bukti-bukti yang didakwakan saudara penuntut umum kepada terdakwa


terkesan

sangat

dipaksakan.

Majelis Hakim Yang Mulia,


Jaksa Penuntut Umum Yang Kami Hormati dan,
Hadirin Yang Terhormat.

Oleh karena itu Kami Penasihat Hukum Terdakwa berpendapat bahwa tindak
pidana Terdakwa seperti yang didakwakan Saudara Jaksa Penuntut Umum adalah
tidak cermat, tidak jelas atau tidak lengkap dan kabur sehingga konsekwensinya

Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tersebut batal demi hukum sesuai
dengan

pasal

143

ayat

(3)

KUH.Acara

Pidana;

Akhirnya berdasarkan seluruh uraian tersebut diatas, kiranya sudah cukup alasan
bagi kami Advokat/Penasihat Hukum Terdakwa memohon kepada Majelis Hakim
agar

kiranya

1.

Menerima

berkenan

Eksepsi/keberatan

memutuskan:

kami

tersebut

2. Menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum No.Reg, Perk.:


05/RP.12/TPK/15/2010 tertanggal 6 Desember 2010 tersebut batal demi hukum
atau

setidak-tidaknya

tidak

dapat

diterima

3. Menyatakan membebaskan dan melepaskan Terdakwa dari segala Dakwaan


Hukum

4.

Memerintahkan

terdakwa

segera

dikeluarkan

dari

tahanan.

Atau Bilamana Majelis Hakim berpendapat lain, maka kami mohon agar
diberikan putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono), demi tegaknya
keadilan berdasarkan hukum yang berlaku dan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Demikianlah Eksepsi/keberatan Advokat/Penasihat Hukum Terdakwa ini kami


sampaikan, atas perhatian Majelis Hakim, kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta Utara, 14 Desember 2010


Hormat Kami
Penasihat Hukum Terdakwa,

INEZ SIBURIAN, S.H.

VERDINAN, S.H.

Anda mungkin juga menyukai