Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hampir semua wanita pernah mengalami gangguan haid selama masa
hidupnya. Gangguan ini dapat berupa kelainan siklus atau perdarahan. Masalah ini
dihadapi oleh wanita usia remaja, reproduksi dan klimakterik. Haid yang tidak
teratur pada masa 3-5 tahun setelah menars dan pramenopause (3-5 tahun
menjelang menopause) merupakan keadaan yang lazim dijumpai. Tetapi pada masa
reproduksi (umur 20-40 tahun), haid yang tidak teratur bukan merupakan keadaan
yang lazim, karena selalu dihubungkan dengan keadaan abnormal.
Di Indonesia belum ada angka yang menyebutkan kekerapan perdarahan
uterus disfungsional ini secara menyeluruh. Kebanyakan penulis memperkirakan
kekerapannya sama dengan diluar negeri, yaitu 10% dari kunjungan ginekologi.
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah perdarahan uterus abnormal
dalam hal jumlah, frekuensi, dan lamanya yang terjadi baik di dalam maupun diluar
siklus haid, merupakan gejala klinis yang semata-mata karena suatu gangguan
fungsional mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovariumendometrium
tanpa adanya kelainan organik alat reproduksi (Ali, 1989).
Perdarahan uterus disfungsional merupakan sebab tersering perdarahan
abnormal per vaginam pada masa reproduksi wanita. Dilaporkan gangguan ini
terjadi pada 5-10% wanita (Dodds, 2004). Lebih dari 50% terjadi pada masa
perimenopause, sekitar 20% pada masa remaja, dan kira-kira 30% pada wanita usia
reproduktif (Chalik, 1998). Ras bukan faktor penting, tetapi insidensi leiomyoma
pada wanita ras Afrika lebih tinggi dan mereka memiliki kadar estrogen yang lebih
banyak, karena itu mereka cenderung untuk lebih seringmengalami episode
perdarahan abnormal pervaginam (Dodds, 2004).
Diagnosis dari PUD baru dapat ditegakkan bila penyebab organik dan
fungsional lain (seperti kehamilan, infeksi maupun tumor) dari perdarahan
abnormal tersebut sudah disingkirkan. Karena itu diagnosis PUD seringkali
membutuhkan waktu yang lama. Terapinya tergantung dari usia penderita, waktu,
dan intensitas perdarahan (Davidson, 1999). Hingga tahun 1980-an, histerektomi
sering digunakan untuk mengatasi perdarahan uterus yang berat, tetapi saat ini cara
1

tersebut bukan merupakan pilihan yang utama, terutama pada wanita yang masih
ingin memiliki anak. Dilatasi dan kuretase juga dapat dilakukan sebagai upaya
pengobatan, namun di Indonesia cara ini tabu dilakukan pada wanita yang belum
menikah, karena himen sangat tinggi nilainya, oleh karena itu usaha pengobatan
secara hormonal menjadi salah satu pilihan walaupun pemberiannya harus diawasi
secara ketat karena memiliki banyak efek samping (Ali, 1989).
Perdarahan uterus disfungsional merupakan salah satu kelainan yang
penting untuk diketahui dan cukup sering terjadi tetapi informasi tentang penyakit
ini masih sulit didapat, dengan demikian peneliti tertarik untuk mengetahui
karakteristik PUD yang membedakannya dengan penyebab perdarahan pervaginam
lainnya pada wanita, terutama dalam hal lama dan banyak perdarahan yang terjadi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah :
1. Apa pengertian dari perdarahan uterus?
2. Bagaimana Siklus Menstruasi Normal?
3. Bagaimana patogenesis dari perdarahan uterus?
4. Bagaimana gejala klinik dari perdarahan uterus?
5. Apa faktor penyebab perdarahan uterus?
6. Bagaimana pendiagnosisan dari perdarahan uterus?
7. Bagaimana cara pengobatan perdarahan uterus?
8. Bagaimana prognosis dari penyakit perdarahan uterus?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
I. Tujuan umum:
Mahasiswa mampu untuk memahami tentang konsep asuhan
keperawatan gangguan premental syndrom terutama pada perdarahan
uterus disfungsional.
II. Tujuan khusus:
a) Mahasiswa mampu memahami definisi dari perdarahan uterus
disfungsional.
b) Mahasiswa mampu memahami bagaimana siklus menstruasi normal.
c) Mahasiswa mampu memahami patogenesis dari perdarahan uterus
disfungsional.
d) Mahasiswa mampu memahami penyebab dan patofisiologi dari
perdarahan uterus disfungsional.
e) Mahasiswa mampu memahami tanda dan gejala dari perdarahan
uterus disfungsional.

f) Mahasiswa

mampu

memahami

pemeriksaan

penunjang

dan

penatalaksanaan dari perdarahan uterus disfungsional.


g) Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan dari perdarahan
uterus disfungsional.
h) Mahasiswa mampu memahami aplikasi konsep dasar asuhan
keperawatan perdarahan uterus disfungsional.
D. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini ditempuh metode-metode tertentu untuk
mengumpulkan beberapa data dan mengolah data tersebut. Untuk pengumpulan
Data dilakukan dengan metode dokumentasi yaitu mengumpulkan berbagai sumber
yang memuat materi yang terkait dengan perdarahan uterus disfungsional. Sumber
tersebut seperti internet dan berbagai buku referensi. Data yang telah diperoleh
kemudian diolah dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu
metode dengan jalan menyusun data atau fakta-fakta yang telah diperoleh secara
sistematis dan menuangkannya dalam suatu simpulan yang disusun atas kalimatkalimat.

BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Dysfunctional uterine bleeding (DUP) atau perdarahan uterus disfungsional
adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun di luar
siklus menstruasi, karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon
(hipotalamushipofisis-ovarium-endometrium), tanpa kelainan organ. Perdarahan ini
juga didefinisikan sebagai menstruasi yang banyak dan / atau tidak teratur tanpa
3

adanya patologi pelvik yang diketahui, kehamilan atau gangguan perdarahan


umum. Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah perdarahan uterus abnormal
yang didalam maupun diluar siklus haid, yang semata-mata disebabkan gangguan
fungsional mekanisme kerja hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium tanpa
kelainan organik alat reproduksi. PUD paling banyak dijumpai pada usia
perimenars dan perimenopause.
2. Epidemiologi
Hampir semua wanita pernah mengalami gangguan haid selama masa
hidupnya. Gangguan ini dapat berupa kelainan siklus atau perdarahan. Masalah ini
dihadapi oleh wanita usia remaja, reproduksi dan klimakterik. Haid yang tidak
teratur pada masa 3-5 tahun setelah menars dan pramenopause (3-5 tahun
menjelang menopause) merupakan keadaan yang lazim dijumpai. Tetapi pada masa
reproduksi (umur 20-40 tahun), haid yang tidak teratur bukan merupakan keadaan
yang lazim, karena selalu dihubungkan dengan keadaan abnormal.
Di Indonesia belum ada angka yang menyebutkan kekerapan perdarahan
uterus disfungsional ini secara menyeluruh. Kebanyakan penulis memperkirakan
kekerapannya sama dengan diluar negeri, yaitu 10% dari kunjungan ginekologi.
3. Siklus Menstruasi Normal
Menstruasi normal terjadi akibat turunnya kadar progesteron dari
endometrium yang kaya esterogen. Siklus menstruasi yang menimbulkan ovulasi
disebabkan interaksi kompleks antara berbagai organ. Disfungsi pada tingkat
manapun dapat mengganggu ovulasi dan siklus menstruasi. Siklus menstruasi
normal terjadi setiap 21-35 hari dan berlangsung sekitar 2-7 hari. Pada saat
menstruasi, jumlah darah yang hilang diperkirakan 35-150 ml, biasanya berjumlah
banyak hingga hari kedua dan selanjutnya berkurang sampai menstruasi berakhir.
4. Patogenesis
Secara garis besar, kondisi di atas dapat terjadi pada siklus ovulasi
(pengeluaran sel telur/ovum dari indung telur), tanpa ovulasi maupun keadaan lain,
misalnya pada wanita premenopause (folikel persisten).
Sekitar 90% perdarahan uterus difungsional (perdarahan rahim) terjadi tanpa
ovulasi (anovulation) dan 10% terjadi dalam siklus ovulasi.
a. Pada siklus ovulasi.

Perdarahan rahim yang bisa terjadi pada pertengahan menstruasi maupun


bersamaan dengan waktu menstruasi. Perdarahan ini terjadi karena rendahnya kadar
hormon estrogen, sementara hormon progesteron tetap terbentuk.
Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional
dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk
menegakkan diagnosis perdarahan ovulatoar, perlu dilakukan kerokan pada masa
mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur siklus haid
tidak dikenali lagi, maka kadang-kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat
menolong. Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe
sekresi tanpa adanya sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai etiologiya :
1. Korpus luteum persistens; dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-kadang
bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus dibedakan dari
kehamilan ektopik karena riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan panggul
sering menunjukkan banyak persamaan antara keduanya. Korpus luteum
persisten dapat pula menyebabkan pelepasan endometrium tidak teratur
(irregular shedding). Diagnosa irregular shedding dibuat dengan kerokan yang
tepat pada waktunya, yakni menurut Mc Lennon pada hari ke-4 mulainya
perdarahan. Pada waktu ini dijumpai endometrium dalam tipe sekresi
disamping tipe nonsekresi.
2. Insufisiensi

korpus

luteum

dapat

menyebabkan premenstrual

spotting,

menoragia atau polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron


disebabkan oleh gangguan LH releasing factor. Diagnosis dibuat, apabila hasil
biopsi endometrial dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran
endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus yang bersangkutan.
3. Apopleksia uteri; pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya
pembuluh darah dalam uterus.
4. Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam
mekanisme pembekuan darah.
b. Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation)
Perdarahan rahim yang sering terjadi pada masa pre-menopause dan masa
reproduksi. Hal ini karena tidak terjadi ovulasi, sehingga kadar hormon estrogen
berlebihan sedangkan hormon progesteron rendah. Akibatnya dinding rahim
(endometrium) mengalami penebalan berlebihan (hiperplasi) tanpa diikuti
5

penyangga (kaya pembuluh darah dan kelenjar) yang memadai. Nah, kondisi inilah
penyebab terjadinya perdarahan rahim karena dinding rahim yang rapuh. Di lain
pihak, perdarahan tidak terjadi bersamaan. Permukaan dinding rahim di satu bagian
baru sembuh lantas diikuti perdarahan di permukaan lainnya. Jadilah perdarahan
rahim berkepanjangan.
Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium. Dengan
menurunnya kadar estrogen dibawah tingkat tertentu, timbul perdarahan yang
kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali.
Fluktuasi kadar estrogen ada sangkut-pautnya dengan jumlah folikel yang
pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan estrogen
sebelum mengalami atresia, dan kemudian diganti oleh folikel-folikel baru.
Endometrium dibawah pengaruh estrogen tumbuh terus, dan dari endometrium
yang mula-mula proliferatif dapat terjadi endometrium bersifat hiperplasia kistik.
Jika gambaran itu dijumpai pada sediaan yang diperoleh dengan kerokan, dapat
diambil kesimpulan bahwa perdarahan bersifat anovulatoar.
Walaupun perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap waktu dalam
kehidupan menstrual seorang wanita, tapi paling sering pada masa pubertas dan
masa premenopause. Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali
dan ada harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid
menjadi ovulatoar, pada seorang wanita dewasa terutama dalam masa
premenopasue dengan perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk
menentukan ada tidaknya tumor ganas.
Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita-penderita dengan
penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang
menahun, tumor-tumor ovarium dan sebagainya. Disamping itu stress dan
pemberian obat penenang juga dapat menyebabkan perdarahan anovulatoar yang
bisanya bersifat sementara.
5. Patofisiologi
Pasien dengan perdarahan uterus disfungsional telah kehilangan siklus
endometrialnya yang disebabkan oleh gangguan pada siklus ovulasinya. Sebagai
hasilnya pasien mendapatkan siklus estrogen yang tidak teratur yang dapat
menstimulasi pertumbuhan endometrium, berproliferasi terus menerus sehingga
perdarahan yang periodik tidak terjadi.
6

Schroder pada tahun 1915, setelah penelitian histopatologik pada uterus dan
ovarium pada waktu yang sama, menarik kesimpulan bahwa gangguan perdarahan
yang dinamakan metropatia hemoragika terjadi karena persistensi folikel yang tidak
pecah sehingga tidak terjadi ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Akibatnya,
terjadilah hiperplasi endometrium karena stimulasi estrogen yang berlebihan dan
terus-menerus.
Penelitian lain menunjukkan pula bahwa perdarahan disfungsional dapat
ditemukan bersamaan dengan berbagai jenis endometrium, yaitu endometrium
atrofik, hiperplastik, proliferatif dan sekretoris, dengan endometrium jenis non
sekresi merupakan bagian terbesar. Pembagian endometrium menjadi endomettrium
sekresi dan non sekresi penting artinya, karena dengan demikian dapat dibedakan
perdarahan ovulatoar dari yang anovulatoar. Klasifikasi ini memiliki nilai klinik
karena kedua jenis perdarahan disfungsional ini memiliki dasar etiologi yang
berlainan dan memerlukan penanganan yang berbeda. Pada perdarahan
disfungsional yang ovulatoar gangguan dianggap berasal dari faktor-faktor
neuromuskular, hematologi dan vasomotorik, yang mekanismenya belum seberapa
dimengerti, sedang perdarahan anovulatoar biasanya dianggap bersumber pada
gangguan endokrin.

6. Gejala Klinik
Perdarahan rahim yang dapat terjadi tiap saat dalam siklus menstruasi.
Jumlah perdarahan bisa sedikit-sedikit dan terus menerus atau banyak dan
berulang. Kejadian tersering pada menarche (atau menarke: masa awal seorang
wanita mengalami menstruasi) atau masa pre-menopause.
a. Pada siklus ovulasi
Karakteristik DUB bervariasi, mulai dari perdarahan banyak tapi jarang,
hingga spotting atau perdarahan yang terus menerus. Perdarahan ini merupakan
kurang lebih

10% dari

perdarahan

disfungsionalndengan

siklus

pendek

(polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk menegakan diagnosis perlu


dilakukan kerokan pada masa mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama
dan tidak teratur sehingga siklus haid tidal lagi dikenali maka kadang-kadang
bentuk kurve suhu badan basal dapat menolong. Jika sudah dipastikan bahwa
perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa ada sebab organik, maka
harus dipikirkan sebagai etiologi :
7

1. Korpus luteum persistens : dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang


kadang bersamaan dengan ovarium membesar. Dapat juga menyebabkan
pelepasan endometrium tidak teratur.
2. Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting,
menoragia

atau

polimenorea.

Dasarnya

ialah

kurangnya

produksi

progesteron disebabkan oleh gangguan LH releasing faktor. Diagnosis


dibuat, apabila hasil biopsi endometrial dalam fase luteal tidak cocok
dengan gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus
yang bersangkutan.
3. Apopleksia uteri: pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya
pembuluh darah dalam uterus
4. Kelainan darah seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan
dalam mekanisme pembekuan darah.
b. Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation)
Perdarahan tidak terjadi bersamaan. Permukaan dinding rahim di satu
bagian baru sembuh lantas diikuti perdarahan di permukaan lainnya. Jadilah
perdarahan rahim berkepanjangan. 2Pada tipe ini berhubungan dengan fluktuasi
kadar estrogen dan jumlah folikel yang pada suatu waktu fungsional aktif. Folikelfolike ini mengeluarkan estrogen sebelum mengalami atresia dan kemudian diganti
oelh folikel-folikel baru . Endometrium dibawah pengaruh estrogen akan tumbuh
terus, dan dari endometrium yang mula-mula proliperatif dapat terjadi endometrium
hiperplastik kistik. Jika gambaran ini diperoleh pada saat kerokan dapat diambil
kesimpulan bahwa perdarahan bersifat anovulatoar. Biasanya

perdarahan

disfungsional ini terjadi pada masa pubertas dan masa pramenopause. Pada masa
pubertas terjadi sesudah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh
gangguan atau terlambatnya proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat
bahwa pembuatan Releasing factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. Pada
wanita dalam masa pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu
berjalan lancar.
7. Faktor Penyebab
Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara
menarche dan menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai pada masa
permulaan dan pada mssa akhir fungsi ovarium. Pada usia perimenars, penyebab
paling mungkin adalah faktor pembekuan darah dan gangguan psikis.
8

Pada masa pubertas sesudah menarche, perdarahan tidak normal


disebabkan oleh gangguan atau terlambat proses maturasi pada hipotalamus,
dengan akibat bahwa pembuatan releasing factor dan hormon gonadotropin tidak
sempurna. Pada wanita dalam masa premenopasuse proses terhentinya proses
ovarium tidak selalu berjalan lancar.
Hingga saat ini penyebab pasti perdarahan rahim disfungsional (DUB)
belum diketahui secara pasti. Beberapa kondisi yang dikaitkan dengan perdarahan
rahim disfungsional, antara lain :
a. Kegemukan (obesitas)
b. Faktor kejiwaan
c. Alat kontrasepsi hormonal
d. Alat kontrasepsi dalam rahim (intra uterine devices)
e. Beberapa penyakit dihubungkan dengan perdarahan rahim (DUB), misalnya:
trombositopenia (kekurangan trombosit atau faktor pembekuan darah),
Kencing Manis (diabetus mellitus), dan lain-lain.
f. Walaupun jarang, perdarahan rahim dapat terjadi karena: tumor organ
reproduksi, kista ovarium (polycystic ovary disease), infeksi vagina, dan lain
lain.
8. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan klinis yang lengkap harus dilakukan dalam
pemeriksaan pasien. Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya
penyakit sistemik, maka penyelidikan lebih jauh mungkin diperlukan. Abnormalitas
pada pemeriksaan pelvis harus diperiksa dengan USG dan laparoskopi jika
diperlukan. Perdarahan siklik (reguler) didahului oleh tanda premenstruasi
(mastalgia, kenaikan berat badan karena meningkatnya cairan tubuh, perubahan
mood, atau kram abdomen ) lebih cenderung bersifat ovulatori. Sedangkan,
perdarahan lama yang terjadi dengan interval tidak teratur setelah mengalami
amenore berbulan bulan, kemungkinan bersifat anovulatori. Peningkatan suhu
basal tubuh ( 0,3 0,6 C ), peningkatan kadar progesteron serum ( > 3 ng/ ml ) dan
atau perubahan sekretorik pada endometrium yang terlihat pada biopsi yang
dilakukan saat onset perdarahan, semuannya merupakan bukti ovulasi. Diagnosis
DUB setelah eksklusi penyakit organik traktus genitalia, terkadang menimbulkan
kesulitan karena tergantung pada apa yang dianggap sebagai penyakit organik, dan
tergantung pada sejauh mana penyelidikan dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit traktus genitalia. Pasien berusia dibawah 40 tahun memiliki resiko yang
sangat rendah mengalami karsinoma endometrium, jadi pemeriksaan patologi
9

endometrium tidaklah merupakan keharusan. Pengobatan medis dapat digunakan


sebagai pengobatan lini pertama dimana penyelidikan secara invasif dilakukan
hanya jika simptom menetap. Resiko karsinoma endometerium pada pasien DUB
perimenopause adalah sekitar 1 persen. Jadi, pengambilan sampel endometrium
penting dilakukan.
Pembuatan anamnesis yang cermat penting untuk diagnosis. Perlu
ditanyakan bagaimana mulainya perdarahan, apakah didahului oleh siklus yang
pendek atau oleh oligomenorea/amenorea, sifat perdarahan (banyak atau sedikitsedikit, sakit atau tidak), lama perdarahan, dan sebagainya. Pada pemeriksaan
umum perlu diperhatikan tanda-tanda yang menunjuk kearah penyakit metabolik,
endokrin, penyakit menahun, dan lai-lain. Kecurigaan terhadap salah satu penyakit
tersebut hendaknya menjadi dorongan untuk melakukan pemeriksaan ginekologik
perlu dilihat apakah tidak ada kelainan-kelainan organik, yang menyebabkan
perdarahan abnormal (polip, ulkus, tumor, kehamilan terganggu).
Pada wanita dalam masa pubertas tidak perlu dilakukan kuretase untuk
penegakkan diagnosis. Pada wanita usia antara 20 dan 40 tahun kemungkinan besar
adalah kehamilan terganggu, polip, mikoma submukosum, dan sebagainya.
Kerokan dilakukan setelah dapat diketahui benar bahwa tindakan tersebut tidak
mengganggu kehamilan yan masih memeberi harapan untuk diselamatkan. Pada
wanita dalam masa premenopause, kerokan perlu dilakukan untuk menastikan ada
tidaknya tumor ganas.
9. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan penunjang:
1. Pemeriksaan darah : Hemoglobin, uji fungsi thiroid , dan kadar HCG,
FSH, LH, Prolaktin dan androgen serum jika ada indikasi atau
skrining gangguan perdarahan jika ada tampilan yang mengarah
2.

kesana.
Deteksi patologi endometrium melalui (a) dilatasi dan kuretase dan
(b) histeroskopi. Wanita tua dengan gangguan menstruasi, wanita
muda dengan perdarahan tidak teratur atau wanita muda ( < 40 tahun )
yang gagal berespon terhadap pengobatan harus menjalani sejumlah
pemeriksaan

endometrium.

Penyakit

organik

traktus

genitalia

mungkin terlewatkan bahkan saat kuretase. Maka penting untuk


melakukan kuretase ulang dan investigasi lain yang sesuai pada
10

seluruh kasus perdarahan uterus abnormal berulang atau berat. Pada


wanita yang memerlukan investigasi, histeroskopi lebih sensitif
dibandingkan dilatasi dan kuretase dalam mendeteksi abnormalitas
endometrium.
Laparoskopi : Laparoskopi bermanfaat pada wanita yang tidak

3.

berhasil dalam uji coba terapeutik.


4. Biopsy endometrium (pada wanita yang sudah menikah)
5. Ultrasonografi (USG)
6. Tera radioimunologik (TRI) atau radio imuno assay.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai kemungkinan adanya sebab
lain

yang

dapat

menimbulk an

PUD.

Perlu

dinilai

adanya

hipo/hipertiroid dan gangguan hemostasis seperti petekie.


c. Pemeriksaan Ginekologik
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan adanya kelainan
organik seperti perlukaan genitalia, erosi/radang atau polip serviks,
mioma uteri, dll.Pada wanita usia pubertas biasanya umumnya tidak
diperlukan kerokan.Pada wanita premenopause perlu dilakukan untuk
memastikan ada tidaknya keganasan.
10. Pengobatan
Setelah menegakkan diagnosa dan setelah menyingkirkan berbagai kemungkinan
kelainan organ, teryata tidak ditemukan penyakit lainnya, maka langkah selanjutnya
adalah melakukan prinsip-prinsip pengobatan sebagai berikut:
a. Menghentikan perdarahan.
b. Mengatur menstruasi agar kembali normal
c. Transfusi jika kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 8 gr%.
Tujuan penanganan perdarahan uterus disfungsional adalah untuk
mengontrol perdarahan yang keluar, mencegah komplikasi, memperbaiki keadaan
umum pasien, memelihara fertilitas dan menginduksi ovulasi bagi pasien yang
menginginkan anak.
Terkadang pengeluaran darah pada perdarahan disfungsional sangat banyak.
Sehingga penderita harus bed rest dan diberi transfusi darah. Pada usia premenars,
pengobatan hormonal perlu bila tidak dijumpai kelainan organik maupun kelainan
darah, gangguan terjadi selama 6 bulan atau 2 tahun setelah menarche belum
dijumpai siklus haid yang berovulasi, perdarahan yang terjadi sampai mebuat
keadaan umum memburuk.

11

Setelah pemeriksaan ginekologik menunjukkan bahwa perdarahan berasal


dari uterus dan tidak ada abortus inkomplitus, perdarahan untuk sementara waktu
dapat dipengaruhi dengan hormon steroid. Dapat diberikan :
a. Estrogen dosis tinggi, supaya kadarnya dalam darah meningkat dan
perdarahan berhenti. Dapat diberikan estradiol dipropionat 2,5mg atau
estradiol benzoat 1,5mg secara intramuskular. Kekurangan terapi ini
adalah setelah suntikan dihentikan, perdarah timbul lagi.
b. Progesteron, dengan pertimbangan bahwa sebagian besar perdarahan
fungsional bersifat anovulatoar, sehingga pemberian progesteron
mengimbangi pengaruh estrogen terhadap endometrium. Dapat diberikan
kaproas hidroksi-progesteron 125mg, secara intamuskular atau dapat
diberikan peroral sehari norethindrone 15mg atau medroksi-progesteron
asetat (provera) 10mg, yang dapat diulangi. Terapi ini berguna pada
wanita masa puberas.
Androgen berefek baik terhadap perdarahan disebabkan oleh hiperplasia
endomentirum. Terapi ini tidak boleh diberikan terlalu lama, karena bahaya
virilisasi. Dapat diberikan testosteron propionat 50 mg intramuskular yang dapat
diulangi 6 jam kemudian. Pemberian metiltestosteron peroral kurang dapat efeknya.
Androgen berguna pada perdarahan disfungsional berulang, dapat diberikan metil
testosteron 5 mg sehari. Erapi oral lebih baik dari pada suntikan, dengan pedoman
pemberian dosis sekecil-kecilnya dan sependek mungkin.
Kecuali pada masa pubertas, terapi paling baik adalah dilatase kuretae.
Tindakan ini penting untuk diagnosis dan terapi, agar perdarahan tidak berulang.
Bila ada penyakit lain maka harus ditangani pula.
Apabila setelah dilakukan kerokan perdarahan disfungsional timbul lagi,
dapat diusahakan terapi hormonal. Pemberian estrogen saja kurang bermanfaat
karena sebagian besar perdarahan disfungsional disebabkan oleh hiperestrenisme.
Pemberian progesteron saja berguna apabila produksi estrogen secara endogen
cukup. Dalam hubungan hal-hal tersebut diatas, pemberian estrogen dan
progesteron dalam kombinasi dapat dianjurkan, untuk keperluan ini pil-pil
kontrasepsi dapat digunakan. Terapi ini dpat dilakukan mulai hari ke-5 perdrahan
terus untuk 21 hari. Dapat pula diberikan progeseteron untuk 7 hari, mulai hari ke
ke-21 siklus haid.

12

Pil kontrasepsi dapat menekan pertumbuhan endometrium, mengontrol sifat


perdarahan, menurunkan perdarahan terus-menerus dan menurunkan resiko anemia
defesiensi besi.
Bila setelah dialakukan kerokan masih timbul perdarahan disfungsional,
dapat diberikan terapi hormonal. Pemberian kombinasi estrogen dan progestron,
seperti pemberian pil kontrasepsi dapat digunakan. Terapi ini dapat dilakukan mulai
hari ke 5 perdarahan sampai 21 hari. Dapat diberikan progesteron untuk 7 hari,
mulai hari ke 21 siklus haid.,
Sebagai tindakan terakhir pada wanita dengan peredarahan disfungsional
terus-menerus (meski telah kuretase) adalah histerektomi.

11. Menghentikan perdarahan.


Langkah-langkah upaya menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut:
Kuret (curettage). Hanya untuk wanita yang sudah menikah. Tidak bagi gadis dan
tidak bagi wanita menikah tapi belum sempat berhubungan intim. Obat
(medikamentosa).
1. Golongan estrogen.
Pada umumnya dipakai estrogen alamiah, misalnya: estradiol valerat
(nama generik) yang relatif menguntungkan karena tidak membebani kinerja
liver dan tidak menimbulkan gangguan pembekuan darah. Jenis lain, misalnya:
etinil estradiol, tapi obat ini dapat menimbulkan gangguan fungsi liver.
Dosis dan cara pemberian:
a) Estrogen konyugasi (estradiol valerat): 2,5 mg diminum selama 7-10 hari.
b) Benzoas estradiol: 20 mg disuntikkan intramuskuler. (melalui bokong)
c) Jika perdarahannya banyak, dianjurkan nginap di RS (opname), dan
diberikan Estrogen konyugasi (estradiol valerat): 25 mg secara intravenus
(suntikan lewat selang infus) perlahan-lahan (10-15 menit), dapat diulang tiap
3-4 jam. Tidak boleh lebih 4 kali sehari. Estrogen intravena dosis tinggi
( estrogen konjugasi 25 mg setiap 4 jam sampai perdarahan berhenti) akan
mengontrol secara akut melalui perbaikan proliferatif endometrium dan melalui
efek langsung terhadap koagulasi, termasuk peningkatan fibrinogen dan
agregasi trombosit.
Terapi estrogen bermanfaat menghentikan perdarahan khususnya pada kasus
endometerium atrofik atau inadekuat. Estrogen juga diindikasikan pada kasus

13

DUB sekunder akibat depot progestogen ( Depo Provera ). Keberatan terapi ini
ialah bahwa setelah suntikan dihentikan, perdarahan timbul lagi.
2. Obat Kombinasi
Terapi siklik merupakan terapi yang paling banyak digunakan dan
paling efektif. Pengobatan medis ditujukan pada pasien dengan perdarahan
yang banyak atau perdarahan yang terjadi setelah beberapa bulan amenore.
Cara terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral ; obat ini dapat dihentikan
setelah 3 6 bulan dan dilakukan observasi untuk melihat apakah telah timbul
pola menstruasi yang normal. Banyak pasien yang mengalami anovulasi kronik
dan pengobatan berkelanjutan diperlukan. Paparan estrogen kronik dapat
menimbulkan endometrium yang berdarah banyak selama penarikan progestin .
Speroff menganjurkan pengobatan dengan menggunakan kombinasi kontrasepsi
oral dengan regimen menurun secara bertahap. Dua hingga empat pil diberikan
setiap hari setiap enam hingga duabelas jam , selama 5 sampai 7 hari untuk
mengontrol perdarahan akut. Formula ini biasanya mengontrol perdarahan akut
dalam 24 hingga 48 jam ; penghentian obat akan menimbulkan perdarahan
berat. Pada hari ke 5 perdarahan ini, mulai diberikan kontrasepsi oral siklik
dosis rendah dan diulangi selama 3 siklus agar terjadi regresi teratur
endometrium yang berproliferasi berlebihan. Cara lain, dosis pil kombinasi
dapat diturunkan bertahap ( 4 kali sehari, kemudian 3 kali sehari, kemudian 2
kali sehari ) selama 3 hingga 6 hari, dan kemudian dilanjutkan sekali setiap
hari. Kombinasi kontrasepsi oral menginduksi atrofi endometrium, karena
paparan estrogen progestin kronik akan menekan gonadotropin pituitari dan
menghambat steroidogenesis endogen. Kombinasi ini berguna untuk tatalaksana
DUB jangka panjang pada pasien tanpa kontraindikasi dengan manfaat
tambahan yaitu mencegah kehamilan. Khususnya untuk pasien perimenarche,
perdarahan berat yang lama dapat mengelupaskan endometrium basal, sehingga
tidak responsif terhadap progestin. Kuretase untuk mengontrol perdarahan
dikontraindikasikan karena tingginya resiko terjadinya sinekia intrauterin
( sindroma Asherman ) jika endometrium basal dikuret. OC aman pada wanita
hingga usia 40 dan diatasnya yang tidak obes, tidak merokok, dan tidak
hipertensi.
3. Golongan progesterone
14

Pertimbangan di sini ialah bahwa sebagian besar perdarahan fungsional bersifat


anovulatoar, sehingga pemberian obat progesterone mengimbangi pengaruh
estrogen terhadap endometrium. Obat untuk jenis ini, antara lain:
a) Medroksi progesteron asetat (MPA): 10-20 mg per hari, diminum selama 7
10 hari.
b) Norethisteron: 31 tablet, diminum selama 7-10 hari.
c) Kaproas hidroksi-progesteron 125 mg secara intramuscular
4.

OAINS
Menorragia dapat dikurangi dengan obat anti inflamasi non steroid.
Fraser dan Shearman membuktikan bahwa OAINS paling efektif jika diberikan
selama 7 hingga 10 hari sebelum onset menstruasi yang diharapkan pada
pasien DUB ovulatori, tetapi umumnya dimulai pada onset menstruasi dan
dilanjutkan selama espisode perdarahan dan berhasil baik. Obat ini mengurangi
kehilangan darah selama menstruasi ( mensturual blood loss / MBL ) dan
manfaatnya paling besar pada DUB ovulatori dimana jumlah pelepasan
prostanoid paling tinggi.
Mengatur menstruasi agar kembali normal
Setelah perdarahan berhenti, langkah selanjutnya adalah pengobatan
untuk mengatur siklus menstruasi, misalnya dengan pemberian: Golongan
progesteron: 21 tablet diminum selama 10 hari. Minum obat dimulai pada
hari ke 14-15 menstruasi.
Transfusi jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%.
Terapi yang ini diharuskan pasiennya untuk menginap di Rumah Sakit
atau klinik. Sekantong darah (250 cc) diperkirakan dapat menaikkan kadar
hemoglobin (Hb) 0,75 gr%. Ini berarti, jika kadar Hb ingin dinaikkan menjadi
10 gr% maka kira-kira perlu sekitar 4 kantong darah.

12. Prognosis
Hasil pengobatan bergantung kepada proses perjalanan penyakit (patofisiologi)
a. Penegakan diagnosa yang tepat dan regulasi hormonal secara dini dapat
memberikan angka kesembuhan hingga 90 %.
b. Pada wanita muda, yang sebagian besar terjadi dalam siklus anovulasi,
dapat diobati dengan hasil baik.

15

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1. Alasan Dirawat
a. Keluhan utama
b. Keluhan saat masuk rumah sakit: mengeluh nyeri pada perut disertai

2.

3.
4.
5.
6.

pendarahan aktif pervagina


c. Keluhan saat pengkajian
Riwayat penyakit
a. Penyakit yang pernah diderita
b. Pernah menderita penyakit malaria,batuk,pilek,demam,dan hepatitisA.
c. Riwayat penyakt keluarga
d. Riwayat menstruasi
e. Siklus menstruasi panjang,banyak terjadi perdarahan.
Status perkawinan
Riwayat kontrasepsi
Data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
Pemeriksaan Fisik:
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai kemungkinan adanya
sebab lain yang dapat menimbulk an PUD. Perlu dinilai adanya
hipo/hipertiroid dan gangguan hemostasis seperti petekie.

b. Analisa Data
1. P : Kekurangan volume cairan
E : Perdarahan banyak dan Intake tidak seimbang dengan output
S : Ps mengeluh haus dan selalu ingin minum
Ps lemas
Proses terjadi :
Pasien yang mengalami pendarahan yang banyak serta intake cairan yang
tidak adekuat sehingga terjadi ketidak seimbangan cairan dalam tubuh
Akibat bila tidak ditanggulangi : Syok hypovolemik

2. P : Ansietas
E : Siklus perdarahan yang banyak dan panjang
S : Ps mengatakan khawatir dengan keadaan yang dialaminya sekarang.
Ps terlihat tegang dan sering bengong
Proses terjadi :
Pasien belum pernah mendapatkan informasi dan belum pernah mempunyai
pengalaman yang sama sehingga menyebabkan dia menjadi cemas.
Akibat bila tidak ditanggulangi :
Menghambat proses penyembuhan
3. P : Resiko infeksi berulang
16

FR: Perdarahan pervagina,


Peningkatan WBC
Akibat bila tidak ditanggulangi : Terjadi inflamasi
4. P : Peningkatan suhu tubuh
E : Proses infeksi
S : Ps mengeluh haus dan selalu ingin minum,Ps mengeluh badanya panas.
T = >37,5, mukosa bibir kering.
Proses terjadi : Karena terjadi proses infeksi yang ditandai dengan
peningkatan WBC yang merupakan konpensasi tubuh terhadap infeksi yang
biasanya diikuti dengan peningakatan suhu tubuh
Akibat bila tidak ditanggulangi : Terjadi dehidrasi
5. P : Gangguan rasa nyaman nyeri
E : vulva lembab
S : Ps mengatakan nyeri pada perutnya dibagian bawah diatas simfisis
Ps tampak meringis
Ps tampak selalu memegang perutnya
Proses terjadi :
Adanya robekan pada uterus,dimana banyak terdapat saraf perifer yang
terputus dan menimbulkan ransangan nyeri yang akan dihantarkan keotak
sehingga pasien akan merasakan nyeri.
Akibat bila tidak ditanggulangi : Kenyamanan dan Istirahat tidur pasien
tergaggu
6. P : Intoleransi Aktivitas
E :Nyeri akibat kontraksi uterus
S : Ps mengatakan gerak aktivitasnya terbatas setiap bergerak
Pemenuhan kebutuhan sehari-hari Ps dibantu perawat/keluarga
Ps dianjurkan u/bedrest.
Tangan kiri Ps terpasang infus RL 28 tts/mnt
Proses terjadi :
Nyeri yang dirasakan pada saat bergerak sangat mempengaruhi aktivitas
dimana yang akan kesulitan untuk beraktivitas secara mandiri sehingga
memerlukan bantuan orang lain.
Akibat bila tidak ditanggulangi : Mobilisasi dini akan terhambat.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kurang Volume cairan b.d perdarahan berlebih
b. Perubahan perfusi jaringan yang berhubungan dengan hipovolemia
c. Peningkatan suhu tubuh b.d proses terjadinya infeksi
d. Nyeri b.d proses peluruhan endometrium
e. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan menyeluruh
f. Resiko infeksi b.d perdarahan, kondisi vulva lembab
g. Ansietas b.d perdarahan saat menstruasi yang banyak
17

3. Intervensi Keperawatan
Dx

Tujuan dan KH

Setelah

Intervensi

diberikan

askep 1.

Rasional
Evaluasi, laporan 1.

selama 3 x24 jam diharapkan

serta

pasien

membantu

kehilangan darah, serta

menbedakan

diagnosis.

kekurangan volume cairan

lakukan

Setiap gram peningkatan

dengan kriteria hasil:

pembalut,

a.

Input

mengalami

dan

output
2.

seimbang
b.

Vital

sign

c.

perhitungan
kemudian

intrusikan

untuk

batas normal

ibu

menghindari

valsalva

Mukosa bibir lembab

sifat

timabang pembalut.
Lakukan
tirah
baring,

dalam

dan

kehilangan

darah

tidak

catat

Perkirakan

manuver

dan

koitus.

berat

pembalut

sama

dengan kehilanagan kira


1ml darah.
2. Perdarahan dapat berhanti
dengan redruksi aktivitas.
Peningkatan

tekanan

abdomen atau orgasme


dapat

3.

Posisikan

ibu

dengan tepat, terlentang


dengan

panggul

ditinggikan atau posisi

merangsang

perdarahan.
3. Menjamin keadekuatan
darah yang tersedia untuk
otak, peninggian panggul
menghinfari

semifowler.

vena

konvresi

kaya.

Posisi

semifowler
memungkinkan
bertinadak

janin
sebagai

tampon.
Catat tanda-tanda

4.

vital

pengisian

kapiler

pada dasar kuku, warna


membran mukosa atau
kulit dan suhu. Ukur
tekanan vena sentra bila
ada.
5.

beratnya

kehilangan

darah, meskipun sianosis


dan

perubahan

pada

tekanan darah dan nadi


adalah tanda-tanda lanjut
dari kehilangan sirkulasi.

Pantau
18

4. Membantu menentukan

aktivitas 5. Membantu menekankan

uterus, dan adanyta nyeri

sifat

tekan pada abdomen

kemungkinan akibat dari

6.

pemeriksaan

daerah

6.

Pantau

masukan

keluaran

Dapatkan

Dapat

meningkatkan

hemoragi

rektal atau vagina

atau

dan

peristiwa hemoragi.

Hindari

7.

hemoragi

cairan.

sampel

urin

7.

Menentukan

kehilangan

luasnysa

cairan

dan

menunjikan perfusi ginjal.

setiap jam, ukur bert


jenis.
8.

8.Bunyi

nafas

adventitus

Auskultasi bunyi menunjukkan


nafas

9.

ketidaktepatan
kelebihan pergantian.

Kolaborasi:
dapatkan

atau

pemeriksaan

darh cepa; HDL jenis dan


pencocokan silang dan
Rh kadar fibrinogen ,
hitung trombossit , APTT,

9.Menetukan jumlah darah


yang

hilang

dan

memberi

dapat

informasi

mengenai penyebab harus di


pertahankan di atas 30 %
untuk mendukung oksigen

dan kadar LCC,

dan nutrian .
10.

Berikan
intravena

larutan
ekspander,

darah lengkap, atau selsel

kemasan

sesuai

10.meningkatkan
darah

volume

sirkulasi

mengatasi

dan

gejala-gejala

syok.

indikasi .

2.

Setelah

dilakukan

1. Kejadian

perdarahan

statusfisiologis,status

potensial

merusak

x24jam diharapkan perfusi

sirkulasi,

kehamilan

jaringan terganggu dengan

darah.

keperawatan

asuhan 1. Perhatikan

selama

KH :

dan

volume

kemungkinan
menyebabkan

19

dan

a.

Denyut

jantung

dalam batas normal.


b.
Perdarahan

hipovolemia
2. Catat kehilangan darah

berkurang.

atau

hipoksia uteroplasma.
2. Kehilangan
darah
secara

karena adanya kontraksi

berlebihan

menurunkan

uterus

perfusi

plasenta.
3. Menghilangkan tekanan
3. Anjurkan

tirah

baring

vena cava interior dan

pada posisi miring.

meningkatkan sirkulasi
plasenta dan pertukaran
oksigen.
4. Bermanfaat

4. Kolaborasi

dalam

pemberian

suplemen

dalammenentukan janin
apakah

keadaan asfisksia.
5. Mempertahan volume

indikasi.
5. Ganti kehilangan darah

sirkulasi yang adekuat


6.

untuk transfor oksigen.


Membedakan darah
ibu

6. Lakukan tes darah untuk


mengevaluasi

serum,

darah Hb.

Setelah

diberikan

selama

3x

24

askep 1.

peningkatann

suhu

tidak

tubuh

dengan

amnion
implikasi

cairan

menunjukkan
terhadap

pemberian oksigen.

1.Dengan

jam Obsevasi TTV tiap 4 jam

diharapkan

dalam

oksigen lakukan sesuai

atau cairan

3.

janin

TTV

dapat

mengobservasi
mengetahui

Keadaan umum pasien

terjadi

dengan kriteria hasil :


c.

Suhu tubuh normal.

2.Dapat menurunkan suhu

(36 -37 C ).
2.
tubuh pasien
Pasien mengatakan
Beri banyak minum
badanya tidak panas lagi.
( +1200-1600 cc/hari).
e.
tidak teraba hangat
dan beri kompres hangat di
d.

20

dahi dan diketiak.

3.Untuk membunuh kuman


dan

3.

menurunkan

suhu

tubuh.

Delegatif

pemberian

obat

antibiotik dan antipiretik


4.

Setelah

dilakukan

asuhan

1. Tentukan sifat , lokasi 1.membantu

dalam

keperawatan selama (...x...)

dan durasi nyeri. Kaji

mendiagnosis

jam diharapkan nyeri pasien

kontraksi

menentukan

berkurng engan kriteria hasil:

hemoragi atau nyeri tekan

a. Sekala nyeri 2 dari 10


sekala yang diberikan.
b. Pasien tidak meringis

uterus

abdomen.
2. Kaji stres fisiologis dan
sifat emosional terhadap
kejadian.

dan
tindakan

yang akan dilakukan.


2.ansietas sebagai respon
terhadap situasi darurat
dapat

memperberat

ketidaknyamanan karena
sindrom

ketegangan

ketakutan , dan nyeri.


3. Beri

lingkungan

tenang

dan

yang

aktivitas

untuk menurunkan rasa


nyeri. Instruksikan klien
untuk
metode

mengunakan
relaksasi

3.dapat membantu dalam


menurunkan

tingkat

ansietas dan karenanya


meridukasi
ketidaknyamanan .

misalnya: nafas dalam,


visualisasi ditraksi dan
jelaskan prosedur.
4. Kolaborasi : berikan
norkotik atau sedatif.

4.meningkatkan
kenyamanan

5.

Stelah

diberikan

selama

x24

diharapkan
beraktivitas

seperti

mengurangi nyeri.
askep 1. Anjurkan pasien untuk 1.
Melatih
pemenuhan
jam melakukan mobilisasi dini

ADLsendiri mungkin

pasien

Informasi yang tepat dapat

biasa

memotivasi u/ bergerak dan

dengan kriteria hasil :

beraktivitas.
21

2.Beri HE tentang peningnya 2.Menurunkan


a. Pasien tidak meringis mobilisasi
saat bergerak.
b. pasien

dini

setelah baketri

perdarahan

jumlah

dalam

tangan

mencegah kontaminasi area

dapat

operasi

memenuhi kebutuhan
ADLnya
6.

Setelah

diberikan

selama

diharapkan

askep 1.

x15

mnt

infeksi

tidak

Diskusikan
pentingnya

yang telah di operasi


2.

infeksi

tidak terjadi
2. tidak

mencuci

tangan sebelum bagian

terjadi dengan kriteria hasil:


1. Tanda-tanda

Beri HE tentang 2.Meningkatkan


penyakitnya

pengetahuan dan membantu


menurunkan kecemasan dan

terjadi

mencegah

perdarahan pada luka.

Kolaborasi dalam 3.Antibiotik


pemberian antibiotik.

Setelah

diberikan

selama

diharapkan
pasien

15

dapat

mencegah infeksi.

askep 1. Beri kesempatan pasien .Rasa cemas pasien akan


mnt

rasa

cemas

berkurang

dengan

kriteria hasil :

untuk

mengungkapkan sedikit berkurang

rasa cemasnya
2. Libatkan keluarga dalam 2.Peran

a. Pesien tidak bertanya


tanya

terjadinya

infeksi.
3.

7.

1.Mencegah infeksi

perawatan pasien

tentang

keluarga

secara

aktif dapat mengurangi rasa


cemas klien.

penyakitnya.
b. Pasien paham tentang
penyakitnya.
c. Pasien tidak
dan kahwatir.

gelisah

3. Beri

HE

penyakitnya

tentang 3.Penjelasan yang memadai


akan
kecemasan.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukn sesuai dengan intervensi.
5. Evaluasi
22

mengurangi

a. Volume cairan klien adekuat.


b. Perfusi jaringan teratasi dan tidak terjadi hipovolemi
c. Suhu tubuh kembali normal (36,50-37,50C)
d. Nyeri berkurang atau hilang dengan rentang skala nyeri (1-3)
e. Intoleransi aktivitas klien terpenuhi
f. Tidak terjadi infeksi
g. Ansietas klien tertangani

23

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dysfunctional uterine bleeding (DUP) atau perdarahan uterus disfungsional
adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun di luar siklus
menstruasi,

karena

gangguan

fungsi

mekanisme

pengaturan

hormon

(hipotalamushipofisis-ovarium-endometrium), tanpa kelainan organ. Gejalanya adalah


Perdarahan rahim yang dapat terjadi tiap saat dalam siklus menstruasi. Jumlah
perdarahan bisa sedikit-sedikit dan terus menerus atau banyak dan berulang. Kejadian
tersering pada menarche (atau menarke: masa awal seorang wanita mengalami
menstruasi) atau masa pre-menopause. Pengobatannya adalah menghentikan
perdarahan, mengatur menstruasi agar kembali normal, transfusi jika kadar
hemoglobin (Hb) kurang dari 8 gr%.

DAFTAR PUSTAKA
Arif,mansjoer,2001.Kapita Selekta Kedokteran.edisi 3 jilid 1.Jakarta:Media
Aesculapius

24

Bobak dkk. 2005 . Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Guyton,artha.C.1990.Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit.alih bahasa.edisi
3.Jakarta:EGC
Sivia,A Price.2005.Patofisiologi.edisi 6.Jakarta:EGC
Manuaba, Ida Bagus Gede. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan dan Keluarga
Berencana untuk Dokter Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Manjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakartka:

Penerbit Buku

Kedokteran EGC
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Ed. 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

25

Anda mungkin juga menyukai