Anda di halaman 1dari 22

1.

Pengertian Tajdid
Tajdid secara etimologi adalah menjadikan sesuat yang lama/qadim menjadi

baru/jadid. Maksudnya adalah keadaan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh sesuatu hal
yang lain, kemudian diupayakan agar kembali pada keadaannya semula. Upaya
mengembalikan pada keadaannya yang semula inilah yang dinamakan tajdid. Jika demikian
tajdid adalah mengembalikan pada keadaan sesuatu sebelum berubah
Adapun tajdid secara terminologi adalah (1) Menghidupkan/ihya dan membangkitkan
kembali ajaran-ajaran agama Islam yang telah luntur atau terlupakan. (2) Beramal sesuai
dengan al-Quran dan as-Sunnah. (3) Membumikan al-Quran dan as-Sunnah dalam
kehidupan sehari-hari
Menghidupkan kembali di sini memiliki arti mengembalikan ajaran-ajaran Islam yang
telah banyak luntur agar kembali hidup sebagaimana yang telah dipraktikkan semasa Nabi
Muhammad saw. Adapun maksud dari membumikan al-Quran dan as-Sunnah adalah
melakukan ijtihad agar keduanya dapat dipraktikan ditengah-tengah umat. Itjithad seperti ini
pernah dilakukan oleh Sahabat Nabi, Muadz ibn Jabal ketika Rasulullah bermaksud
mengutusnya ke Yaman beliau bertanya
Apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?,
Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Quran. Nabi bertanya lagi:, Jika
kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Quran?, Muadz menjawab:,Saya akan
memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya
tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Quran?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad
dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau,
seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan
Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.(HR.Abu Dawud)
2. metode tajdid
3. tema tema tajdid
.Tema-Tema Tajdid dalam Islam Isu atau tema pembaharuan dalam Islam yang
disuarakan oleh para pembaru adalah 1).Kembali kepada AL-Qur'an dan Sunnah
Seruan para pembaharu Islam kepada Ummatnya untuk Kembali kepada al-Qur'an dan
Sunnah dimaksudkan agar mereka kembali kepada Islam sejati dan meninggalkan segala
bentuk praktek keagamaan yang menyimpang dari tuntunan al-Qur'an dan As-Sunnah.
2).Membuka kembali pintu ijtihad

Jika AL-Qur'an dan As-Sunnah merupakan sumber hakiki dan sempurna sebagai
pedoman, maka sumber-sumber selain kedua sumber tersebut tidak wajib diikuti secara
mutlak.Proses Ijtihad adalah menggunakan segenap kemampuan intelektualnya melalui
kedalaman ilmu untuk menggali hikmah yang terkandung dalam ajaran Al-Qur'an dan
As-Sunnah.
4. dasar hokum
KETENTUAN

DASAR

TAJDID

(PEMBAHARUAN

AGAMA)

YANG

BENAR

Tajdduddin (pembaharuan agama) dalam koridor pengertiannya yang benar


adalah amal islami. Sehingga tidak semua yang mengaku melakukan tajdd
lantas disebut mujaddid, karena harus memenuhi berbagai syarat. Demikian
juga usaha tajdd hanya akan diakui dan diperhitungkan bila sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dasar yang telah digariskan para ulama. Diantara
ketentuan-ketentuan

itu

1. Seorang mujaddid berasal dari kalangan ahlussunnah wal Jamah yang


bebas dari kebidahan dan berjalan diatas manhaj Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Oleh karena itu, ahlul bidah dan
tokoh sekte sesat tidak bisa ditetapkan sebagai mujaddid walaupun
dipandang memiliki ilmu yang tinggi. Seorang ulama besar India bernama
syaikh Syamsul Haq al-Azhm bd rahimahullah (wafat tahun 1858 M)
menyatakan, Sungguh sangat mengherankan apa yang dilakukan penulis
kitab Jmiul Ushl yang memasukkan Abu Jafar al-Immi asy-Syi dan alMurtadh sebagai Mujaddid. Lalu beliau lanjutkan, Jelas, menganggap dua
orang ini sebagai mujaddid adalah kesalahan fatal dan nyata. Karena ulama
syiah walaupun (dianggap) telah mencapai martabat mujtahid, sangat
menguasai berbagai cabang ilmu dan namanya sudah sangat tersohor,
namun mereka tidak pantas diberi gelar mujaddid. Bagaimana pantas,
bagaimana mereka melakukan pembaharuan (tajdd) ? Mereka sendiri
merusak agama ini; Mereka mematikan sunnah, bagaimana bisa disebut
menghidupkan sunnah ? Mereka menebar kebidahan, bagaimana mungkin
disebut pemberangus bidah ? Mereka ini sebenarnya kelompok orang-orang
yang

menghancurkan

agama

dan

orang-orang

yang

tidak

mengerti.

Mayoritas karya mereka adalah tahrif, penyimpangan dan tawil, bukan


tajdid dalam agama dan tidak juga menghidupkan pengamalan al-Qur`n

dan

sunnah

yang

telah

hilang

(dari

tengah

masyarakat).[1]

2. Memiliki sumber pengambilan ilmu dan manhaj istidlal (metodologi


pengambilan dalil) yang benar. Maksudnya, metodologinya dalam belajar
dan pengambilan dalil dibangun diatas metode al-Qur`n , sunnah Raslullh
Shallallahu alaihi wa sallam , ijm , qiys yang shahih (benar) dan tinjauan
maslahat

yang

tidak

bertentangan

dengan

nash

syariat.

3. Memiliki ilmu syari yang benar. Karena diantara aktifitas tajdid adalah
mengajarkan agama kepada masyarakat, menebarkan ilmu syari dan
membela

sunnah

dan

ahlinya

serta

menghancurkan

kebidahan.

Seorang mujaddid harus seorang alim yang pakar dalam agama, dai cerdas
yang mampu menjelaskan al-Qur`n dan sunnah Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam yang shahih kepada manusia, menjauhkan masyarakat dari
kebidahan dan memperingatkan manusia dari perkara yang diada-adakan
dalam Islam serta menyadarkan mereka dari penyimpangan kepada jalan
yang lurus yaitu kepada al-Qur`n dan sunnah Raslullh Shallallahu alaihi
wa

sallam

.[2]

4. Jeli dan mampu menempatkan dengan pas dan tepat nash-nash syariat
pada

realita

dan

peristiwa

yang

terjadi.

5. Memiliki manhaj (metodologi) dan kaedah yang jelas. Seorang mujaddid


dalam aktifitas tajddnya harus disertai manhaj dan kaedah yang jelas dalam
segala keadaan. Sebab Mujaddid menisbatkan dirinya kepada Islam, itu
artinya sebuah penisbatan yang berdasarkan ilmu dan ittiba, bukan sekedar
pengakuan dan klaim. Berarti, kebenaran penisbatan diri ini tersebut harus
terbangun diatas kaedah pemahaman terhadap Islam berlandaskan manhaj
yang
a.
b.
c.
d.

benar.

Inti

metodologi

Ushul

ini

ada

lughah
Ushul

pada

empat

bidang

Arabiyah
at-tafsir

Ushul
Ushul

as-sunnah
al-Fiqh

Sehingga tidak mungkin disebut mujaddid orang yang tahu segala sesuatu
tapi tidak mengenal Islam atau yang mengetahui Islam tapi tidak melalui
manhaj

ini.

6. Disamping memiliki ilmu syari yang benar dan kejelasan manhaj juga
harus berakhlak mulia serta memiliki cinta dan kasih sayang kepada
manusia,

berusaha

untuk

merealisaikan

kemaslahatan

dan

memiliki

antusiasme tinggi untuk memberikan solusi terhadap semua permasalahan


masyarakat, zuhud terhadap dunia dan qanaah (merasa cukup) dengan yang
ada.
7. Mengamalkan ilmunya, komitmen terhadap perintah dan larangan syariat,
menjaga semua kewajiban dan perkara sunnah serta menjadi suri tauladan
yang baik buat orang lain. Ini semua termasuk sifat para ulama ahlu sunnah
wal jamaah. Tidak syak lagi, bahwa seorang mujaddid itu mesti termasuk
ahlussunnah
Raslullh

wal

jamaah,

Shallallahu

thaifah

alaihi

manshurah

wa

sallam

yang

disebutkan

dalam

oleh

sabdanya


Senantiasa ada kaum dari umatku yang muncul atas manusia hingga datang
kepada mereka hari kiamat dan mereka dalam keadaan menang. [HR alBukhari]
8. Sangat antusias dalam menjaga ushuluddin dan cabangnya dan tidak
meremehkan

satu

perkara

agamapun

9. Seorang mujaddid memiliki keinginan adanya perubahan nyata pada


umat, sehingga ia menggerakkan umat ini dari realita yang buruk dan
menyimpang menuju jalan perbaikan dan kesuksesan dunia dan akherat.
10. Menjadi imama dalam agama dan memiliki sifat sabar dan yakin
sebagaimana

dijelaskan

dalam

firman

Allah

Subhanahu

wa

Taala

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami
isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan
Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. [al-Furqaan/25:74]
Dan

firman

Allah

Subhanahu

wa

Taala



Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka
meyakini

ayat-ayat

kami.

[as-Sajdah/32:24]

11. Membedakan antara perkara tsawaabit (yang tidak berubah) dengan almutaghayyiraat

(yang

bisa

berubah).

Ushul aqidah, rukun-rukun islam dan nash-nash syariat semuanya adalah


tsawaabit tidak mungkin berubah atau hukumnya berganti. Yang dimaksud
tajdid disini adalah menghiduopkan kembali pemahaman yang benar dan
menghilangkan semua syubhat dan kerancuan seputar itu yang ada dalam
akal manusia serta mengembalikan hal ini untuk menjadi hukum bagi
manusia.
Sedangkan peristiwa yang baru maka ia tunduk kepada nash-nash syariat
untuk

dihukumi

pengagum

dan

tidak

sebaliknya

pembaharuan

sebagaimana
islam

pengakuan
yang

para
ada.

Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan bahwa apabila ada nash dalam alQur`n atau sunnah yang shahih tentang satu perkara atas satu hukum
tertentu maka ia adalah benar tidak ada pengaruhnyaperubahan waktu dan
tempat serta keadaan. Semua yang telah ditetapkan maka ia akan tetap
berlaku selamanya dalam segala zaman, tempat dan keadaan hingga datang
nash syariat yang memalingkannya dari hukum tersebut di waktu, tempat
atau keadaan lainnya.[3] Demikianlah hal ini karena hukum-hukum syariat
ada

dua

jenis:

a. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh nash-nash asli yang gamblang. Jenis


ini

akan

diberlakukan

sepanjang

zaman

disemua

tempat

dan

tidak

mengalami

perubahan.

b. Hukum-hukum yang ditetapkan melalui ijtihad yang bersumber kepada


qiyaas atau adat atau maslahat yang tidak ada nash-syariatnya atau juga
adat

yang

hukum

syariat

tidak

dibangun

diatasnya.

Inilah yang dijelaskan imam asy-Syathibi rahimahullah dalam ungkapan


beliau:
Norma-noerma

yang

berlaku

ada

dua:

a. Norma-norma agama (al-Awaa`id asy-syariyah) ditetapkan dalil syari


atau di tolak dalam pengertian syariat memeritahkan hal tersebut secara
wajib

atau

sunnah,

mengizinkannya

melarangnya
untuk

secara

makruh

diwujudkan

dan

atau

haram

atau

ditinggalkan.

b. Hukum-hukum yang berlaku diantara manusia yang tidak ada dalil syri
yang

menolak

dan

menetapkannya.

Yang pertama ini diberlakukan selamanya...sedangkan kedua, norma-norma


tersebut kadang diberlakukan secara tetap dan kadang berubah.[4]
12. Mujaddid munculnya setiap permulaan abad. Kemunculan ini tidak dilihat
kepada kelahiran atau kematiannya, namun melihat kepada keahlian dan
munculnya

ia

menjadi

ulama.

Imam al-Munaawi rahimahullah menyatakan: ada satu hal yang penting yang
harus diperhatikan, yaitu semua yang berbicara tentang hadits: (
) hanya menetapkan berdasarkan pengertian

diutus setiap awal abad dengan kematiannya di awal abad tersebut. Padahal
anda pasti tahu yang dapat dicerna langsung dari hadits ini adalah al-batsu
(pengutusan) dan irsaal (kemunculan) ada diawal abad... pengertian
kemunculan seorang alim adalah kemampuannya untuk maju kedepan
memberikan kemanfaat kepada orang dan majunya ia dalam menyebarkan
hukum-hukum syariat. Kematian seorang alim diawal abad adalah diambil
bukan diutus

5.

tokoh tokohg pembaharuan

Dalam istilah Arab, pembaharuan dikenal dengan nama Tajdid. Adapun secara istilah,
Tajdid diartikan sebagai upaya dan aktivitas untuk mengubah kehidupan umat islam dari
keadaan yang sedang berlangsung kepada keadaan yang hendak diwujudkan demi upaya
kesejahteraan (kemaslahatan hidup), baik di dunia maupun di akherat yang dikehandaki oleh
Islam.
Kata pembaruan islam mempunyai makna modernisasi, yaitu ajaran islam yang
bersifat relatif dan terbuka untuk pembaharuan serta perubahan.
Tajdid secara harfiah berarti pembaharuan, pelakunya disebut Mujaddin.sedangkan
menurut istilah berarti pembaruan dalam keberagaman, baik berbentuk pemikiran maupun
gerakan sebagai reaksi terhadap tantangan-tantangan internal/eksternal yang menyangkut
keyakinan dan urusan sosial umat. Namun, istilah itu baru tersiar dan populer setalah timbul
pemikiran dan gerakan dalam islam sebagai hasil kontak yang terjadi antara Islam dan Barat.
Adapun tokoh-tokoh yang mempelopori gerakan pembaruan antara lain : Muhammad Bin
Abdul Wahhab ,Syah Waliyulloh, Sultan Mahmud II, Muhammad Ali Pasha, At-Tahtawi,
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Ahmad Khan,
dan Muhammad Iqbal.
Muhammad Bin Abdul Wahhab (1703-1778 M)
Lahir di Uyainah, Nejd, Arab Saudi tanhun 1703 M, berasal dari keluarga yang saleh.
Beliau memiliki ide pembaharuan yang dikenal dengan Gerakan Wahhabi. Timbulnya
gerakan ini tidak lepas dari kondisi umat Islam saat itu, yakni:
1. Secara politik, Islam mengalami kemunduran.
2. Adanya penurunan semangat dalam pemahaman Al Quran.
3. Tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. dirusak oleh perbuatan syirik.
4. Kota Makkah dan Madinah menjadi tempat yang penuh dengan penyimpangan akidah.
Gerakan Wahhabi berhasil berkat bantuan Muhammad Ibnu Saud yang kemudian mendirikan
kerajaan. Ide-ide pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab antara lain:
1. Al Quran dan Al Hadits adalah sumber asli ajaran Islam, sedangkan pendapat ulama bukan
sumber ajaran Islam.
2. Taklid pada ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu ijtihad tetap terbuka.
Syah Waliyullah (1703-1762 M)
Beliau lahir di New Delhi, 21 Februari 1703 M. Beliau memiliki sililah sampai kepada Umar
bin Khathab ra., sehingga dibelakang namanya sering ditambah al-Umari atau al-Faruqi.
Karya-karyanya antara lain:
1. Hujjatul Balighah
2. Fuyud al-Haramain
3. Al-Fauzul Kabir fi Uslulit Tafsir
4. Menerjemahkan Al Quran dalam bahasa Persia
Beliau berpendapat bahwa kemunduran umat Islam, di India khususnya dan di dunia pada
umumnya, disebabkan:
1. Perubahan sistem pemerintahan Islam dari kekhalifahan menjadi kerajaan.
2. Sistem demokrasi dalam kekhalifahan diganti dengan sistem monarki absolut.
3. Perpecahan umat Islam karena pertentangan aliran dalam Islam
4. Adat-istiadat dan ajaran Islam masuk dalam keyakinan umat Islam.
Sultan Mahmud II (1785-1839 M)
Beliau lahir pada tahun 1785 M, diangkat menjadi khalifah tahun 1807 M. Ide
pembaharuannya antara lain:

1.
2.
3.
4.

Menerapkan demokrasi dalam pemerintahannya.


Menghapuskan pengkultusan sultan yang dianggap suci.
Memasukkan kurikulum umum kedalam lembaga-lembaga pendidikan madrasah.
Mendirikan sekolah kedokteran, militer, dan teknik.

Muhammad Ali Pasha (1765-1849 M)


Beliau lahir di Kawala, tahun 1765 M. Beliau berusaha untuk memperbaharui kondisi umat
Islam yang tertinggal dari negeri Barat. Upaya yang dilakukan adalah:
1. Dalam bidang militer, beliau mengundang perwira tinggi Perancis untuk melatih tentara
Mesir.
2. Dalam bidang pendidikan, beliau mendirikan sekolah di berbagai bidang ilmu pengetahuan
dan mengirimkan pelajar ke Perancis untuk belajar sains dan teknologi.
3. Dalam bidang ekonomi, mengambil alih kepemilikan tanah oleh negara dan hasilnya untuk
kepentingan rakyat dan juga membangun sistem irigasi.
At-Tahtawi (1801-1873 M)
Nama lengkapnya Rifaah Badawi Rafi at-Tahtawi. Beliau lahir di Tahta tahun 1801 M, dan
meninggal di Mesir tahun 1873 M. Atas dorngan gurunya (al-Attar) dan kesempatan yang
diberikan oleh Muhammad Ali Pasha, beliau belajar di Perancis dan menjadi imam para
pelajar Mesir di Perancis. Beliau dipercaya mendirikan sekolah penerjemah tahun 1836 dan
aktif menulis di koran al-Waqal al-Midhriyah. Ide pemikiran tentang pembaharuannya antara
lain:
1. Ajaran Islam tidak hanya mementingkan soal akhirat, melainkan juga soal hidup di dunia.
2. Kekuasaan raja yang absolut harus dibatasi oleh syariat dan raja harus bermusyawarah
dengan para ulama dan kaum intelektual.
3. Para ulama harus belajar filsafat dan ilmu pengetahuan modern agar syariat dapat
menyesuaikan.
4. Pendidikan harus bersifat universal.
5. Umat Islam harus dinamis dan meninggalkan sifat statis.
Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M)
Beliau lahir di Asadabad tahun 1839 dan wafat di Istanbul, Turki tahun 1897. Beliau
bergelar sayyid karena keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib ra.. Beliau menerangkan
tentang pentingnya agama Islam yang dibutuhkan manusia, karena mengandung
keistimewaan yang tidak dimiliki agama lain, yaitu:
1. Membersihkan akal dengan tauhid dari segala keraguan.
2. Menghapuskan paham yang mengultuskan seseorang.
3. Akidah Islam didasarkan pada fitrah, bukan hanya taklid.
4. Mengajak umatnya untuk selalu kembali pada kebenaran dan mencegah dari kemungkaran.
Ide pemikiran al-Afghani adalah:
1. Kemunduran umat Islam karena umat Islam meninggalkan ajaran Islam dan akhlak, serta
melupakan ilmu pengetahuan. Umat Islam terpengaruh oleh sifat statis, berpegang pada
taklid, bersifat fatalis, dan kesatuan umat Islam terpecah.
2. Untuk mengembalikan kejayaan umat Islam dan menghadapi dunia modern, umat Islam
harus kembail pada ajaran Islam yang murni dan Islam harus dipahami dengan akal dan
kebebasan.
3. Corak pemerintahan otokrasi dan absolut harus diganti dengan pemerintahan demokratis.
Muhammad Abduh (1849-1905 M)

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Beliau lahir di Mesir tahun 1849. Beliau seorang pemikir, teolog, dan mujaddin di Mesir.
Silsilah keturunannya bersambung dengan Umar bin Khathab ra.. Beliau berpendapat bahwa
kemunduran umat Islam karena umat Islam menganut paham jumud, keadaan statis, tidak ada
perubahan, dan berpegang pada tradisi. Ide pembaharuannya adalah:
Pembukaan pintu ijtihad adalah dasar dalam menafsirkan kembali ajaran Islam.
Perlawanan terhadap taklid dan madzab, serta pembebasan umat Islam dengan teologi kaum
Jabariyah.
Penghargaan terhadap akal, Islam adalah agama rasional, yang sejalan dengan akal sebab
dengan akal, ilmu pengetahuan akan maju.
Perlawanan terhadap buku-buku tendensius untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan
pemikiran rasional.
Modernisasi sistem pendidikan Al-Azhar yang merupakan jantung umat Islam.
Kekuatan negara harus dibatasi oleh konstitusi yang telah dibuat negara

Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M)


Beliau lahir di Qalamun, 23 September 1835. Beliau dibesarkan di lingkungan keluarga
terhormat dan taat beragama, serta silsilahnya bersambung kepada Nabi Muhammad SAW.
melalui garis keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib ra.. Beliau mengikuti perkembangan
Islam melalui surat kabar Al-Urwatul Wusqa pimpinan Jamaluddin al-Afghani dan
Muhammad Abduh. Muahmmad Rasyid Ridha memandang perlu adanya tafsir Al-Quran
modern, yaitu penafsiran yang sesuai dengan ide dan cetusan gurunya. Karya tafsir
Muhammad Abduh dikumpulkannya dan setelah Muhammad Abduh meninggal,
penafsirannya dilanjutkan oleh Muhammad Rasyid Ridha yang kemudian dikenal dengan
Tafsir Al-Manar. Tafsir ini menekankan pada aspek-aspek sastra budaya dan sosial yang
dikategorikan sebagai tafsir tematik sistematis dalam menafsirkan ayat-ayat. Tujuannya
adalah menginterpretasikan ayat-ayat Al-Quran dengan sunatullah dan aturan hidup
masyarakat untuk memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat manusia
umumnya. Corak penafsirannya adalah:
1. Setiap surat merupakan kesatuan integral yang ayat-ayatnya memiliki hubungan yang serasi.
2. Menggunakan daya fikir dan nalar, serta metode ilmiah dalam pemahaman Al-Quran.
3. Tidak menjelaskan masalah yang mubham (yang tidak jelas hakikatnya dalam Al-Quran).
Ide pembaharuannya antara lain:
1. Kemunduran umat Islam karena adanya tahayul, bidah, dan khurafat yang masuk dalam
ajaran Islam.
2. Sikap aktif dan dinamis harus ditumbuhkan dan untuk maju, umat Islam harus menguasai
sains dan teknologi.
3. Umat Islam harus meninggalkan pemikiran kaum Jabariyah.
4. Akal dapat digunakan untuk menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits.
5. Sistem pemerintahan khalifah perlu dihidupkan kembali, yaitu penguasa yang mengurusi
bidang agama dan politik di dunia Islam.
Sayyid Ahmad Khan
Beliau lahir di New Delhi, 17 Oktober 1817. Karena menyelamatkan orang-orang Inggris
dalam pemberontakan tahun 1857, Beliau mendapat gelar Sir. Beliau meyakinkan
pemerintahan Inggris bahwa dalam pemberontakan itu, umat Islam tidak terlibat. Gerakan
pembaharuannya adalah lanjutan dari gerakan yang dipimpin oleh Syah Waliyullah dan
mewujudkan ide-idenya dengan menerbitkan majalah Tahdibul Akhlaq yang terbit pertama
kali pada tanggal 24 Desember 1870. Dengan majalah tersebut, beliau mengampanyekan
untuk meningkatkan moral dan tingkah laku umat Islam di India dan mengkritik semua adat

1.
2.
3.
4.
5.

kebiasaan yang menghambat kemajuan rakyat dan menyadarkan umat Islam India dari
kemunduran serta kehancuran moral dan intelektualnya. Ide pembaharuannya antara lain:
Kemunduran umat Islam disebabkan tidak mengikuti perkembangan jaman dan kurang
menguasai sains dan teknologi.
Akal mempunyai peranan penting, namun kekuatannya terbatas. Beliau menganut paham
qadariyah (free will and free act), manusia diberi daya fikir dan daya fisik untuk
mewujudkan kehendaknya.
Sumber ajaran Islam hanyalah Alquran dan Hadits
Beliau menentang taklid dan perlu adanya ijtihad sehingga umat Islam dapat berkembang.
Untuk mengubah pola pikir umat Islam dari keterbelakangan adalah dengan pendidikan.

Muhammad Iqbal (1876-1938 M)


Beliau lahir di Sialkat, Punjab, India, tanggal 22 Februari 1873. Beliau seorang penyair,
filsuf, dan mujaddin. Pada tahun 1908, beliau membuka praktik sebagai pengacara dan
sebagai dosen filsafat dan pernah menjadi Presiden Liga Muslim pada tahun 1938. Ide
pembaharuannya antara lain:
1. Ijtihad memiliki kedudukan penting dalam pembaharuan Islam, dan pintu ijtihad tetap
terbuka.
2. Umat Islam perlu mengembangkan sikap dinamisme.
3. Kemunduran umat Islam disebabkan kejumudan (kebekuan) dalam berfikir.
4. Hukum Islam tidak bersifat statis , tetapi berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
5. Umat Islam harus menguasai sains dan teknologi yang dimiliki Barat.
Nilai Positif Gerakan Pembaharuan Islam
Nilai positif gerakan pembaharuan Islam yaitu:
1) Nilai Persatuan
2) Nilai Solidaritas
3) Nilai Pembaruan
4) Nilai Jihad
5) Nilai Kemerdekaan
Pembaharuan dalam Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang
dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran Kerajaan Usmani sebagai pemangku
khilafah Islam setelah abad ke 17 M, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga
Arab. Yang terpenting ialah gerakan Wahhabi, sebuah gerakan reformis puritanis. Gerakan ini
merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan Islam ke abad 20 yang
lebih bersifat intelektual. Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberi pengaruh
besar pada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Berawal dari pembaharuan pemikiran
dan pendidikan Islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaru pemikiran yang dilakukan
oleh masyarakat Arab di Indonesia. Kebangkitan Islam di Indonesia makin berkembang
dengan terbentuknya organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti SDI di Solo (1911),
Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persis di Bandung (1923), dan NU di Surabaya
(1926). Selanjutnya muncul partai-partai politik. Sementara itu, pendidikan yang didirikan
Belanda, membuka mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan
mereka akan kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan masyarakat Indonesia, mendorong
lahirnya organisasi-organisasi sosial seperti Budi Utomo dan Taman Siswa. Organisasiorganisasi sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi kaum terpelajar diatas,
menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern.
Secara umum, cita-cita gerakan pembaruan Islam di Indonesia antara lain sebagai berikut:
1) Bidang akidah
2) Bidang politik
3) Bidang pendidikan

4) Bidang ekonom
E. Tokoh Pembaharu pada Periode Klasik sampai Modern
1. Ibnu Taimiyah (1263-1328)
Nama lengkapnya Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad, lahir di Harran, Turki
pada 22 Januari 1263, dan meninggal pada 27 September 1328. Ia berasal dari
keluarga cendekiawan. Ayahnya bernama Shihabuddin Abdul Halim seorang ahli
hadits dan ulama terkenal di Damascus; demikian juga kakeknya, Syekh
Majuddin Abdul Salam, adalah ulama terkemuka. Mereka semua adalah pemuka
dalam mazhab Hambali. Ibnu Taimiyah belajar Al-Quran dan hadits dari
ayahnya, kemudian sekolah di Damascus. Pada usia 10 tahun ia telah
mempelajari kitab-kitab hadits utama, hafal Al-Quran, belajar ilmu hitung dan
sebagainya. Kemudian ia tertarik mendalami ilmu kalam dan filsafat yang
menjadi keahliannya. Karena penguasaannya di bidang kalam, filsafat, hadits, AlQuran, tafsir dan fikih, pada usia 30 tahun ia sudah menjadi ulama besar pada
zamannya. Ibnu Taimiyah kuat memegang ajaran kaum salaf. Ia juga seorang
penulis yang tekun dan produktif. Karyanya berjumlah 500 jilid.
Corak pemikiran Ibnu Taimiyah bersifat empiris sekaligus rasionalis.
Empiris dalam arti bahwa ia mengakui kebenaran itu hanya ada dalam
kenyataan, bukan dalam pemikiran (al-haqqah fi al-ayn la fi al-adhhn), dan
rasionalis dalam arti ia tidak mempertentangkan antara akal dengan naql (AlQuran dan hadits) yang sahih. Ia menolak logika sebagai metode berpikir
deduktif yang tidak dapat digunakan untuk mengkaji materi keislaman secara
hakiki. Materi keislaman empiris hanya dapat diketahui melalui eksperimen dan
pengamatan langsung (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 169). Adapun
beberapa upaya pembaharuannya antara lain sebagai berikut.
Pertama, sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk memurnikan
paham tauhid. la menentang segala bentuk bidah, takhayul dan khurafat.
Menurutnya, aqidah tauhid yang benar adalah aqidah salaf, aqidah yang
bersumber dari teks Al-Quran dan hadits, bukan diambil dari dalil-dalil rasional
dan filosofis. Dalam menjelaskan sifat-sifat Allah, ia mengemukakan bahwa sifatsifat Allah secara jelas termaktub dalam Al-Quran dan hadits. Pendapat yang
membatasi sifat Allah pada sifat dua puluh dan pendapat yang menafikan sifatsifat Allah, bertentangan dengan aqidah salaf. Walaupun ia menetapkan adanya
sifat-sifat Allah, ia menolak mempersamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat
makhluk. Ibnu Taimiyah menetapkan sifat-sifat Allah tanpa tamtsl (menyamakan
sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan tanzih (menafikan sifat-sifat
Tuhan). Ia juga gigih menentang penggunaan tawl dalam menjelaskan sifat-sifat
Allah. Tawl kata yad (tangan) dengan kekuasaan tidak dapat diterimanya. Ia
tetap mempertahankan arti yad dengan tangan. Demikian pula dengan ayatayat mutasybiht lainnya. Inilah yang ia sebut al-aqdah al-wsithiyah.
Kedua, ia menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali

ajaran-ajaran Al-Quran dan hadits, serta mendorong mereka melakukan ijtihad


dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama. Menurutnya, metode penafsiran AlQuran yang terbaik adalah tafsir Al-Quran dengan Al-Quran. Jika tidak didapati
dalam al-Quran, baru dicari dalam hadits. Jika penjelasan ayat tidak dijumpai
dalam hadits, dicari dari perkataan shahabat. Kalau juga tidak didapati, maka
dicari dalam perkataan tabin. Ayat Al-Quran harus ditafsirkan menurut bahasa
Al-Quran dan hadits. Di sini tampak bahwa Ibnu Taimiyah adalah pembaharu
yang mempergunakan metode berpikir kaum salaf.
Ketiga, karena untuk kembali pada Al-Quran dan hadits diperlukan ijtihad,
maka ia menentang taklid. la menolak sikap umat Islam yang mengekor pada
para mujtahid yang telah mendahului mereka, sementara pokok persoalan sudah
berubah. Taqld adalah sikap yang membuat umat Islam mundur, sebab taqld
berarti menutup pintu ijtihad, membuat otak menjadi beku. Pahadal sudah
sangat lama umat Islam berada dalam kegelapan akibat pintu ijtihad dinyatakan
tertutup. Menurutnya, ijtihad terbuka sepanjang masa, karena kondisi manusia
selalu berubah. Perubahan itu harus selalu diikuti oleh perubahan hukum yang
sumbernya dari wahyu. Di sinilah fungsi ulama membimbing perubahan
masyarakatnya sesuai dengan petunjuk wahyu.
Keempat, di dalam berijitihad tidak terikat pada madzhab atau imam.
Menurut Ibnu Taimiyah, pendapat siapa saja yang lebih tepat dan kuat
argumennya, itulah yang diambil. Pengambilan pendapat dan argumen itu bukan
didasarkan atas kemauan nafsu. Semua pendapat harus mempunyai alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Kelima, dalam bidang hukum Islam, Ibnu Taimiyah menawarkan suatu
metode baru. Ia tidak mendasarkan keputusan hukum berdasarkan pada illat,
tetapi berdasarkan hikmah. Penerapan hukum Islam hendaknya
mempertimbangkan aspek-aspek hikmah dalam keputusan hukum tersebut. Di
sinilah sesungguhnya letak relevansi sekaligus keluwesan Ibnu Taimiyah dalam
merumuskan ushul fiqh yang menjadi ijtihadnya.

2. Muhammad Ibn Abdul Wahhab (1730-1791)


Nama lengkapnya Muhammad Ibn Abdul Wahhab Ibn Sulayman Ibn Ali Ibn
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rashid al-Tamimi. Ia lahir di Uyaynah pada 1730
M/l115 H. Ayah dan kakeknya adalah ulama terkenal di Najd. Dari ayahnya ia
memperoleh pendidikan di bidang keagamaan dan mengembangkan minatnya di
bidang tafsir, hadits, dan hukum madzhab Hanbaliyah. Untuk meningkatkan
pengetahuannya ia banyak melakukan perjalanan mencari ilmu. Ia juga
membaca karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, sehingga ia
benar-benar menjadi seorang ulama, ahli hukum dan pembaharu ternama.
Proses pembaharuannya dimulai dengan banyak menyampaikan ceramah
dan khutbah dengan berani dan antusiasme. Oleh karena itu, ia cepat
memperoleh banyak pendukung. Pada permulaan ini pula ia melahirkan karya

terkenal berjudul Kitb al-Tauhd. Setelah kematian ayahnya pada 1740,


Muhammad Ibn Abdul Wahhab semakin populer dan gerakannya mendapat
dukungan dari pemerintah Kerajaan Ibn Saud.
Inti gerakan pembaharuannya adalah; pertama, pembaharuan Islam yang
paling utama disandarkan pada persoalan tauhid. Dalam hal ini, Muhammad Ibn
Abdul Wahhab dan para pengikutnya membedakan tauhid menjadi tiga macam;
tauhd rubbiyah, tauhd ulhiyah dan tauhd al-asm wa al-sift (C.M.Helm,
1981: 88-89). Menurut Abdul Wahhab, Allah adalah Tuhan alam semesta yang
maha kuasa, dan melarang penyifatan kekuasaan Tuhan pada siapapun kecuali
Dia. Dialah yang menciptakan manusia dan alam dari tiada. Eksistensi Allah
dapat dirasakan melalui tanda-tanda dan ciptaan-Nya yang tersebar di seluruh
alam, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, gunung-gunung dan sungaisungai, dan seterusnya. Allah adalah Tuhan yang berhak disembah. Segala
urusan manusia sehari-hari harus didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Tuhan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan apapun (QS. Asy-Syr/42:
11). Baik dan buruk berasal dari Allah dan manusia tidak bebas berkehendak.
Wahhab tidak mempercayai superioritas ras; superioritas atau inferioritas
tergantung pada ketaqwaan pada Allah. Tauhd ulhiyyah dipandang sebagai
tauhd amal. Tauhid ini didasarkan atas rukun Islam dan rukun Iman. Yang
termasuk dalam tauhid ini adalah semua bentuk ibadah harian, keyakinan dan
tindakan iman serta perjuangan dengan penuh kecintaan, ketaqwaan, harapan
dan kepercayaan pada Allah.
Wahhab percaya pada makna harfiah Al-Quran termasuk ungkapanungkapan antropomorfisme tentang Allah; tetapi bukan berarti ini mengharuskan
antropomorfisme bagi Allah. Ia berpendapat bahwa orang beriman akan melihat
Allah di surga, tetapi bentuk dan rupa Allah melampaui akal manusia (Saedullah,
1973: 138).
Kedua, Wahhab sangat tidak setuju dengan para pendukung tawashshul.
Menurutnya, ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan. Usaha
mencari perlindungan kepada batu, pohon dan sejenisnya merupakan perbuatan
syirik. Demikian juga bertawassul kepada orang yang sudah mati atau kuburan
orang suci sangat dilarang dalam Islam dan Allah tidak akan memberikan
ampunan bagi mereka yang melakukan perbuatan demikian. Ini bukan berarti
ziyarah kubur tidak diperkenankan, namun perbuatan-perbuatan bidah,
takhayul dan khurafat yang mengiringi ziyarah semestinya dihindarkan agar
iman tetap suci dan terpelihara (Ayman al-Yassini, 1995: 307-308).
Ketiga, sumber-sumber syariah Islam adalah Al-Quran dan Sunnah.
Menurutnya, Al-Quran adalah firman Allah yang tak tercipta, yang diwahyukan
pada Muhammad melalui malaikat Jibril; ia merupakan sumber paling penting
bagi syariah. Ia hanya mengambil keputusan berdasarkan ayat-ayat muhkamt
dan tidak berani mempergunakan akal dalam menafsirkan ayat-ayat
mutasybiht. Maka, ia menyarankan agar kaum Muslim mengikuti penafsiran
Al-Quran generasi al-salaf al-shlih. Sementara itu, Sunnah Nabi adalah sumber
terpenting kedua. Sedangkan ijma adalah sumber ketiga bagi syariah dalam

pengertian terbatas; ia hanya mempercayai kesucian ijma yang berasal dari tiga
abad pertama Islam, karena hadits yang memuat Sunnah Nabi sebagai jawaban
atas setiap masalah, dikembangkan Muslim selama 3 abad pertama (D.S.
Margouliouth, t.th.: 661). Ia menolak ijma dari generasi belakangan. Oleb karena
itu, menurutnya semua komunitas Muslim dapat melakukan kesalahan dalam
menyusun hukum-hukum secara independen melalui proses ijma.
Wahhab juga akan tetap memilih mengikuti hadits yang otentik daripada
pendapat para ulama yang menjadi idolanya, sekalipun seperti Ahmad Ibn
Hanbal, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Jadi, ia percaya bahwa hukum Islam dan
dinamika kehidupan Muslim akan tetap hidup dengan menekankan pentingnya
ijtihad terhadap Al-Quran dan Sunnah. Namun demikian, ia tidak keberatan bagi
siapapun untuk mengikuti salah satu dari empat madzhab Imam asalkan sesuai
dengan Al-Quran dan Sunnah.
Keempat, serupa dengan Ibn Taimiyah, Wahhab menyatakan pentingnya
negara dalam memberlakukan secara paksa syariah dalam masyarakat yang
otoritas tertinggi ada di tangan khalifah atau imam yang harus bertindak atas
dasar saran ulama dan komunitasnya. Jika seseorang menjadi khalifah dengan
konsensus komunitas Muslim, maka ia harus ditaati. Ia juga memandang sah
upaya penggulingan khalifah yang tidak kompeten oleh Imam yang kompeten
melalui kekerasan dan paksaan. Namun demikian, khalifah yang tidak kompeten
tetap harus dipatuhi sepanjang ia melaksanakan syariah dan tidak menentang
ajaran-ajaran Al-Quran dan sunnah. Wahhab juga memuji pentingnya jihad
untuk melaksanakan syariah sekaligus menyebarkan syiar Allah ke seluruh
penjuru dunia (R.B.Winder, 1965: 12).
Pembaharuan Muhammad Ibn Abdul Wahhab memurnikan Islam dari
segala bidah, takhayul dan khurafat, tampaknya menjadi inspirasi bagi gerakangerakan pembaharuan yang terjadi di dunia Muslim dari waktu ke waktu. Di
negara Arab sendiri ajaran-ajaran Wahhab kemudian menjadi Wahhabi karena
dukungan Ibn Saud dan putranya Abdul Aziz.

3. Jamaluddin al-Afghani (1838/1839-1897)


Jamaluddin al-Afghani lahir di Asadabad, Afghanistan pada 1838/1839.
Meskipun lahir di Afghanistan, ia berasal dari keluarga Syiah Iran. Namun, tidak
ada bukti yang menguatkan bahwa ia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang
Syiah. Pendidikan dasarnya diperoleh di tanah kelahirannya, yakni Asadabad.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan di kota-kota suci kaum Syiah pada 1805. Di
sinilah ia banyak dipengaruhi para filosof rasionalis Islam seperti Ibnu Sina dan
Nasir al-Din al-Tusi.
Perjalanan hidup Jamaluddin sebenarnya lebih mirip seorang politik dari
pada pembaharu Islam (L. Stoddard, 1921: 21). Hal ini terbukti dari aktivitas
yang ia lakukan. Pada umur 22 tahun ia menjadi pembantu Pangeran Dost
Muhammad Khan di Afghanistan. Pada 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali Khan.

Beberapa tahun kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad


Azam Khan.
Jamaluddin pernah tinggal di India meskipun tidak lama. Setelah itu
menetap di Mesir dari 1871 hingga l879 dengan bantuan dana Riyad Pasha. Di
kota ini, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar dan memperkenalkan
penafsiran filsafat Islam. Ketika Mesir berada dalam krisis politik dan keuangan
pada akhir 1870, tokoh ini mendorong para pengikutnya untuk menerbitkan
surat kabar politik. Ia banyak memberikan ceramah dan melakukan aktivitas
politik sebagai pemimpin gerakan bawah tanah. Para pengikutnya antara lain
Muhammad Abduh, Abdullah Nadim, Saad Zaghlul, dan Yakub Sannu. Pada
1889 ia membentuk partai Hizbul Wathani dan berhasil menggulingkan Raja
Mesir Khedewi Ismail, meskipun kemudian ia diusir oleh penguasa baru Tawfik
(Harun Nasution, 1975: 54-55).
Kemudian, Jamaluddin pergi ke Paris dan bersama-sama muridnya yang
bernama Muhammad Abduh, menerbitkan majalah al-Urwah al Wutsqa. Pada
tahun 1884 pergi ke Inggris untuk berunding dengan Sir Henry Drummond Wolff
tentang masalah Mesir. Dua tahun kemudian, pergi ke Iran untuk membantu
penyelesaian sengketa Rusia dan Iran. Akhirnya diusir keluar Iran oleh penguasa
Syah Nasir al-Din karena perbedaan faham.
Sultan Ottoman Abdul Hamid II mengundang Jamaluddin ke Istambul untuk
membantu pelaksanaan politik Islam yang direncanakan Istambul. Pengaruh
Jamaluddin yang cukup besar, membuat Abdul Hamid khawatir jika posisinya
akan terongrong. Selanjutnya Abdul Hamid mengeluarkan kebijakan untuk
membatasi aktivitas politik Jamaluddin. Di kota inilah Jamaluddin tinggal hingga
akhir hayatnya, meninggal pada 1897 karena penyakit kanker.
Meskipun karirnya lebih menggambarkan sebagai tokoh politik, Jamaluddin
al-Afghani telah berjasa memberikan kontribusi bagi pembaharuan Islam
modern. Pengalamannya berkelana ke Negara-negara Barat, membawa pada
suatu kesimpulan bahwa dunia Islam dalam keadaan mundur, sementara Barat
mengalami kemajuan. Ini mendorongnya untuk melahirkan pemikiran-pemikiran
baru. Pemikiran pembaharuannya didasarkan pada keyakinan bahwa Islam
adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Jika ada
pertentangan, perlu dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi
baru terhadap ajaran Islam. Kemunduran umat Islam, menurutnya, disebabkan
karena mereka statis, taqld dan fatalis. Umat Islam telah meninggalkan ajaran
Islam yang sebenarnya, al-Islm mahjbun bi al-Muslim. Umat Islam juga
terbelakang dari segi pendidikan dan kurang pengetahuan mengenai dasar-dasar
ajarannya, serta lemah rasa persaudaraan akibat perpecahan internal.
Untuk mengatasi keterbelakangan dan kemunduran tersebut, Jamaluddin
mengemukakan dan memperjuangkan gagasan pembaharuannya meliputi:
pertama, dari sudut pandang Islam tradisional, Jamaluddin mengemukakan
pentingnya kepercayaan pada akal dan hukum alam, yang tidak bertentangan
dengan kepercayaan pada Tuhan. Jamaluddin mengajarkan hal yang dibela oleh
para filosof, mendakwahkan agama dan rasionalisme kepada massa, serta

hukum alam pada para elite Muslim. Ia berusaha mengelaborasi interpretasi


Islam modernis dan pragmatis (Nikki R. Keddie, 1995: 25-27).
Kedua, Jamaluddin berhasil mendukung kebangkitan nasionalisme di Mesir
dan India. Lebih luas dari itu, juga menawarkan gagasan dan gerakan Pan-Islam
sebagai anti-imperialisme dan mempertahankan kemerdekaan Negara-negara
Muslim. Pan-Islam dalam pengertian kesatuan politik atau lebih umum kesatuan
Negara-negara Gerakan Muslim tersebut, semakin menguat dan mampu
menggalang solidaritas Muslim untuk menentang Kristen dan penjajah Barat.
Dikombinasikan dengan aktivitas anti-Inggris inilah yang membuat Jamaluddin
semakin populer di dunia Islam saat itu. Maka jasanya adalah memberikan
kontribusi pemikiran Islam modern khususnya berkenaan dengan politik (Nikki R.
Keddie, 1995: 25-27).
Ketiga, Jamaluddin menyatakan ide tentang persamaan antara pria dan
wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama kedudukannya, keduanya
mempunyai akal untuk berpikir. Tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di
luar rumah, jika situasi menuntut semacam itu. Dengan demikian, Jamaluddin
menginginkan agar wanita juga meraih kemajuan dan bekerjasama dengan pria
untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis ( Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, 1993: 300).

4. Muhammad Abduh (1848-1905)


Muhammad Abduh lahir pada 1848 M di sebuah desa di Propinsi
Gharbiyyah, Mesir. Ayahnya bernama Abduh Ibn Hasan Khair Allah, dan nama
lengkapnya adalah Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Abduh berasal dari
keluarga petani yang sederhana, taat dan cinta ilmu. Ia belajar membaca dan
menulis dari orang tuanya. Dalam waktu dua tahun telah mampu menghafal
seluruh isi Al-Quran (Muhammad Abduh, t.th.: 28). Pendidikan selanjutnya di
Thanta. Namun tidak puas karena metode pengajaran di Thanta diutamakan
hafalan tanpa pengertian, sama halnya dengan metode pengajaran yang umum
diterapkan di dunia Islam ketika itu, kemudian kembali ke kampungnya. Orang
tuanya memerintahkan Abduh agar kembali ke Masjid Ahmadi di Thanta, dan
berguru kepada Syekh Darwisy. Bimbingan dari Syekh yang dengan tekun untuk
menumbuhkan kembali sikap cintanya pada ilmu dan mengarahkannya pada
kehidupan sufi. Kemudian melanjutkan studi di al-Azhar, namun hanya
mendapatkan pelajaran agama saja. Di Universitas ini ditemukan metode
pengajaran yang sama dengan di Thanta. Pada 1871, Abduh bertemu dengan
Jamaluddin al-Afghani dan memperoleh pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan
ilmu pasti (Albert Hourani, 1962: 108). Pertemuannya dengan Jamaluddin
membuatnya semakin kecewa terhadap metode pengajaran al-Azhar, dengan
mengungkapkan pernyataannya yang penuh dengan rasa kekecewaan, bahwa
metode pengajaran yang verbalis itu merusak akal dan daya nalar. Rasa kecewa
itulah yang menyebabkannya menekuni berbagai masalah agama, sosial, politik,
dan kebudayaan. Abduh juga terlibat dalam kegiatan politik praktis yang
berujung pada pengasingannya ke luar negeri dengan tuduhan terlibat dalam

pemberontakan yang dimotori oleh Urabi Pasya pada tahun 1882 (Charles J.
Adams, 1933: 52). Ia tambah bersemangat melancarkan kegiatan politik dan
dakwah, di tempat pengasingannya di Paris, bukan hanya ditujukan kepada
rakyat Mesir, tetapi juga kepada penganut Islam di seluruh dunia. Bersama
Jamaluddin menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut dengan
al-Urwah al-Wutsqa. Ide gerakan ini membangkitkan semangat umat Islam
untuk bangkit melawan kekuasaan Barat (Lothrop Stoddard, 1966: 46-80). Umur
majalah tersebut tidak lama karena pemerintah kolonial melarang peredarannya
di daerah-daerah yang mereka kuasai. Setelah penerbitannya dihentikan, ia
mengunjungi Tunis dan beberapa negara Islam lainnya, sebelum akhirnya
kembali ke Beirut pada tahun 1884.
Abduh lebih banyak menulis dan menerjemahkan kitab-kitab ke dalam
bahasa Arab di Beirut. Di kota inilah ia menyelesaikan Rislah al-Tauhd.
Pada tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah masa pengasingannya
berakhir. Karir Abduh memasuki babakan baru. Kesan keterlibatan Muhammad
Abduh dalam Pemberontakan Urabi Pasya tampaknya belum terhapus di hati
Khedewi Tawfik penguasa Mesir saat itu. Permohonan Abduh agar ia diizinkan
mengajar di Dar al-Ulum ditolaknya. Sebaliknya ia menawarkan kepada Abduh
jabatan hakim di kota Benha dan di luar kota Kairo. Abduh sebenarnya tidak
menyenangi jabatan tersebut. Ia melihat tidak ada jalan lain yang lebih baik,
maka menerima tawaran tersebut. Jabatan itu diterima dan dimanfaatkan untuk
merealisasi cita-cita pembaharuannya. Ia juga menjabat sebagai penasehat pada
Mahkamah Tinggi di Kairo.
Ada tiga pranata yang menjadi sasaran pembaharuannya, yaitu
pendidikan, hukum, dan wakaf. Pertama, pembaharuan di bidang pendidikan
dipusatkan di al-Azhar. Ia beralasan bahwa al-Azhar adalah pusat pendidikan
Mesir dan dunia Islam. Memperbaharui perangkat pendidikan berarti
memperbaharui lembaga pendidikan Islam keseluruhan. Sebaliknya,
membiarkannya dalam keadaan demikian, berarti membiarkan Islam menemui
kehancuran. Cita-cita yang demikian mungkin dilaksanakan karena
kedudukannya sebagai wakil pemerintah Mesir dalam Dewan Pimpinan al-Azhar
yang dibentuk atas usulnya.
Pembaharuan yang dilakukannya menyangkut sistem pengajaran, seperti
metode, kurikulum, administrasi dan kesejahteraan para guru, bahkan juga
mencakup sarana fisik, seperti asrama mahasiswa, perpustakaan, dan
peningkatan pelayanan kesehatan bagi mahasiswa (Harun Nasution, 1987: 2021). Dampak positif dari pembaharuannya antara lain tampak pada jumlah murid
yang diuji setiap tahun. Kalau sebelumnya murid yang bersedia diuji setiap
tahun hanya lebih kurang enam orang, maka setelah pembaharuan jumlah
tersebut meningkat menjadi sembilan puluh lima orang dan sepertiganya
berhasil lulus.
Kedua, pembaharuan di bidang hukum. Sebagai mufti di tahun 1899,
menggantikan Syekh Hasunah al-Nadawi, memberi peluang baginya untuk
mengadakan pembaharuan di bidang tersebut. Usahanya yang pertama adalah

memperbaiki kesalahan pandangan masyarakat, bahkan pandangan para mufti


sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim. Para mufti berpandangan
bahwa sebagai mufti yang ditunjuk negara tugas mereka hanya sebagai
penasihat hukum bagi kepentingan negara. Mereka melepaskan diri dari orang
yang mencari kepastian hukum. Di luar itu seakan tidak menjadi urusannya.
Pandangan ini diluruskan oleh Abduh dengan jalan memberi kesempatan kepada
siapa pun yang memerlukan jasanya. Mufti baginya bukan hanya berkhidmat
untuk negara, tetapi juga untuk masyarakat luas. Agaknya ada makna positif
dari usaha Abduh terutama bagi masyarakat, yaitu agar kehadiran mereka tidak
hanya dibutuhkan oleh negara, tetapi juga oleh masyarakat (Arbiyah Lubis,
1993: 118).
Ketiga, wakaf juga merupakan institusi yang menjadi perhatiannya. Wakaf
merupakan sumber dana yang sangat berarti pada masa itu, sedangkan dalam
pengelolaan administrasi sangat tidak efektif. Untuk itu ia membentuk Majelis
Administrasi Wakaf dan duduk sebagai anggota. Abduh berhasil memasukkan
perbaikan masjid sebagai salah satu sasaran rutin penggunaan dana wakaf,
maka mulailah memperbaiki perangkat masjid, pegawai masjid sampai kepada
para imam dan khatib. Perhatian Abduh terhadap perbaikan masjid ini
dilatarbelakangi oleh situasi masjid-masjid di Mesir. Misalnya dalam
penyampaian khutbah yang tidak bersifat mendidik, tetapi lebih menjurus
kepada penyuguhan masalah-masalah hukum yang kurang beralasan dan tidak
dapat dipegangi (Al-Manar, Vol. VIII: 491). Itulah sebabnya ia menetapkan
beberapa persyaratan bagi para khatib, antara lain mengharuskan mereka yang
dari al-Azhar, agar salah paham terhadap ajaran agama dapat dikurangi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa periode yang paling
penting dalam perjalanan hidup Muhammad Abduh adalah periode setelah
kembali dari pengasingan. J. Adams (1933: 18) melukiskannya sebagai periode
berada di puncak karir, karena pada masa itu dapat merealisasi cita-cita
pembaharuan, mengemukakan ide, dan pemikirannya tentang Islam, yang
mengangkat namanya ke permukaan dan dikenal ke hampir seluruh penjuru
dunia Islam.
Namun demikian, tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan yang
dibawanya dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang utama
yang dihadapi adalah para ulama yang berpikiran statis beserta orang awam
yang dapat mereka pengaruhi. Khedewi sendiri pun akhirnya tidak menyetujui
pembaharuan fisik yang dibawanya, terutama tentang institusi wakaf, yang
menyangkut dengan masalah keuangan. Mungkin karena melihat sukarnya
penghalang yang harus dilalui, maka pada tahun 1905 bersama-sama dengan
Abd al-Karim Salman dan Syekh Sayyid al-Hambali mengundurkan diri dari
Dewan Pimpinan al-Azhar. Dengan mengundurkan diri tersebut beberapa
rencana yang telah disusunnya tidak dapat lagi dilaksanakan. Beberapa bulan
kemudian jatuh sakit pada suatu malam ketika berangkat ke Eropa. Seminggu
kemudian wafat, tepat pada 11 Juli 1905.

5. Muhammad Rasyid Ridha


Muhammad Rasyid Ridha lahir di Suriah pada tahun 1865 dan wafat tahun
1935. Seorang pemikir dan ulama pembaru dalam Islam di Mesir pada awal abad
ke-20. la dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga terhormat dan taat
beragama. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Muhammad Rasyid Ridha berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW melalui garis keturunan Husein bin Ali
bin Abi Talib. Itulah sebabnya ia memakai gelar sayyid.
Pendidikannya diawali dengan membaca Al-Quran, menulis dan
berhitung di kampungnya, Qalamun, Suriah. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Muhammad Rasyid Ridha lebih senang menghabiskan waktunya
untuk belajar dan membaca buku dari pada bermain. Sejak kecil ia telah
memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah lancar membaca dan menulis, Muhammad Rasyid Ridha masuk
ke Madrasah ar-Rasyidiyah, yaitu sekolah milik pemerintah di kota Tripoli. Di
sekolah itu ia belajar ilmu bumi; ilmu berhitung; ilmu bahasa, seperti nahwu
dan saraf (ilmu tata bahasa Arab); dan ilmu-ilmu agama, seperti akidah dan
ibadah. Hanya setahun ia belajar di sini, karena ternyata sekolah itu khusus
diperuntukkan bagi mereka yang ingin menjadi pegawai pemerintah, sedangkan ia
tidak berminat mengabdi untuk pemerintah.
Ketika berumur 18 tahun, Ridha kembali melanjutkan studinya dan sekolah
yang dipilihnya adalah Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyyah yang didirikan
Syekh Husain al-Jisr. Dibandingkan dengan Madrasah ar-Rasyidiyah, madrasah ini
jauh lebih maju, baik dalam sistem pengajaran maupun materi yang diajarkan. Di
sini belajar mantiq, matematika, dan filsafat, di samping juga ilmu-ilmu agama.
Gurunya, Syekh Husain al-Jisr, dikenal sebagai seorang yang banyak berjasa
dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid
Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran-pikiran gurunya yang sangat
mempengaruhi ide pembaruan Rasyid Ridha adalah bahwa satu-satunya jalan
yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan
pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode Eropa.
Syekh Husain al-Jisr berpendapat demikian karena sekolah-sekolah yang didirikan
bangsa Eropa dan Amerika di Suriah saat itu banyak diminati anak-anak pribumi.
Keadaan ini justru mengkhawatirkan al-Jisr karena di sekolah-sekolah itu tidak
disajikan materi pelajaran agama.
Selain menekuni pelajarannya di Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyyah,
Rasyid Ridha juga tekun mengikuti berita perkembangan dunia Islam melalui surat
kabar al-`Urwah al-Wutsqa (Ikatan Yang Kuat; surat kabar berbahasa Arab yang
dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, diterbitkan di
pengasingan mereka di Paris). Melalui surat kabar ini Rasyid Ridha mengenal
gagasan dua tokoh pembaharu yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin alAfghani dan Muhammad Abduh. Ide-ide pembaruan yang dikumandangkan oleh
kedua tokoh itu melalui surat kabar al-`Urwah al-Wutsqa sangat berkesan dalam
diri Rasyid Ridha dan menimbulkan keinginan yang kuat di hatinya untuk
bergabung dan berguru pada keduanya.

Keinginan Rasyid Ridha untuk bertemu al-Afghani tidak tercapai karena ia


lebih dahulu meninggal sebelum Rasyid Ridha sempat menjumpainya. Sebaliknya,
Muhammad Abduh sempat dijumpainya ketika yang disebut terakhir ini berada
dalam pembuangannya, di Beirut. Pertemuan dan dialog-dialog antara Ridha dan
Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan
umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya. Rasyid Ridha
banyak menyerap pikiran-pikiran dan pandangan-pandangan Muhammad Abduh
dalam usaha memajukan umat Islam.
Setelah Muhammad Abduh diizinkan kembali ke Mesir, ia kemudian
mengikutinya pada tahun 1898. Setibanya di Mesir, ia mengusulkan kepada
gurunya, Muhammad Abduh, agar menerbitkan sebuah majalah yang akan
menyiarkan ide-ide dan pikirannya. Atas dasar ini terbitlah sebuah majalah yang
diberi nama al-Manar, nama yang diusulkan Rasyid Ridha dan disetujui
Muhammad Abduh. Dalam terbitan perdananya dijelaskan bahwa tujuan al-Manar
sama dengan al-`Urwah al-Wutsqa, yaitu untuk memajukan umat Islam dan
menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang.
Setahun setelah al-Manar terbit, ia mengajukan saran kepada gurunya agar
menafsirkan Al-Quran dengan tafsiran yang relevan dengan tuntutan zaman.
Ketika itu Muhammad Abduh aktif mengajar tafsir Al-Quran di al-Azhar. Sebagai
murid, Rasyid Ridha mencatat kuliah-kuliah gurunya, lalu catatannya itu
diserahkan kepada gurunya untuk dikoreksi Selesai diperiksa, catatan itu
diterbitkan dalam majalah al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang
termuat dalam majalah al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir
al-Manar. Sampai wafatnya, Muhammad Abduh hanya sempat menafsirkan hingga
surah an-Nisa' ayat 125. Penafsiran ayat-ayat selanjutnya dilakukan oleh Rasyid
Ridha sendiri.
Rasyid Ridha juga seorang pengikut tarekat, yaitu Thareqat
Naqsyabandiyah. Berdasarkan pengalamannya di dunia tarekat, ia menyimpulkan
bahwa ajaran-ajaran tarekat yang berlebihan dalam cara beribadat dan
pengkultusan seorang guru membuat seseorang mempunyai sikap statis dan
pasif. Sikap-sikap seperti itu jelas merugikan umat Islam.
Ide-ide pembaharuan penting yang dibawa Rasyid Ridha adalah dalam
bidang agama, bidang pendidikan, dan bidang politik. Dalam bidang agama ia
berpendapat bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan
ajaran-ajaran agama Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa
Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran yang sudah
banyak bercampur dengan bidah dan khurafat. Selanjutnya ia menegaskan,
jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada AlQur'an dan sunnah Rasulullah SAW dan tidak terikat dengan pendapatpendapat ulama terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup
modern. Mengenai ajaran Islam, Rasyid Ridha membedakan antara masalah
peribadatan (yang berhubungan dengan Tuhan) dan masalah muamalah (yang
berhubungan dengan manusia). Yang pertama telah tertuang dalam teks AlQur'an yang qath`i (tunjukannya jelas, pasti) dan hadits mutawatir.

Menurutnya, untuk hal yang kedua ini akal dapat digunakan sepanjang tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Rasyid Ridha kemudian
menyoroti paham fatalisme yang menyelimuti umat Islam waktu itu. Menurut
Rasyid Ridha, ajaran Islam sebenarnya mengandung paham dinamika, bukan
fatalisme. Paham dinamika inilah yang membuat dunia Barat maju. Rasyid
Ridha menjelaskan paham dinamika dalam Islam dengan mengambil bentuk
jihad, yaitu kerja keras dan rela berkorban demi mencapai keridaan Allah
SWT. Etos jihad inilah yang mengantarkan umat Islam ke puncak kejayaannya
pada zaman klasik. Idenya yang lain adalah toleransi bermadzhab. Rasyid
Ridha melihat fanatisme madzhab yang tumbuh di kalangan umat Islam
mengakibatkan perpecahan dan kekacauan. Oleh karena itu, perlu dihidupkan
toleransi bermadzhab, bahkan dalam bidang hukum perlu diupayakan
penyatuan madzhab, walaupun ia sendiri pengikut setia Madzhab Hanbali.
Dalam bidang pendidikan Rasyid Ridha mengikuti gurunya, Muhammad
Abduh. Ridha sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan. Umat Islam
hanya dapat maju apabila menguasai bidang pendidikan. Oleh karena itu, ia
selalu menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan
kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Menurut
Rasyid Rida, membangun lembaga pendidikan lebih bermanfaat dari pada
membangun masjid. Apa artinya masjid jika pengunjungnya hanyalah orangorang bodoh. Sebaliknya, lembaga pendidikan akan dapat menghapuskan
kebodohan dan pada gilirannya membuat umat menjadi maju dan makmur.
Usaha yang dilakukannya di bidang pendidikan adalah membangun sekolah
misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader-kader mubaligh yang
tangguh sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris Kristen. Sekolah
tersebut didirikan pada tahun 1912 di Cairo dengan nama Madrasah adDa'wah wa al-Irsyad. Di sekolah tersebut diajarkan ilmu agama, seperti alQuran, tafsir, akhlak dan Hikmah at-tasyr` (hikmah ditetapkannya syariat),
bahasa Eropa, dan ilmu kesehatan. Setelah itu, Rasyid Ridha mendapat
undangan dari pemuka Islam India untuk mendirikan lembaga yang sama di
sana.
Selain aktif di bidang pendidikan, ia juga aktif berkiprah di dunia politik.
Kegiatannya antara lain menjadi Presiden Kongres Suriah pada tahun 1920,
sebagai delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921, sebagai anggota
Komite Politik di Cairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah
tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931. Ide-idenya yang penting di bidang
politik adalah tentang ukhuwwah Islmiyah (persaudaraan Islam). Ia melihat
salah satu penyebab kemunduran umat Islam ialah perpecahan yang terjadi di
kalangan mereka. Untuk itu, ia menyeru umat Islam agar bersatu kembali di
bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk
kepada satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara.
Akan tetapi, negara yang diinginkan Rasyid Ridha bukan seperti di Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa alKhulaf' ar-Rsyidn (empat khalifah besar). Khalifah haruslah seorang
mujtahid (ahli ijtihad) dan dalam menjalankan roda pemerintahannya, ia
dibantu oleh para ulama. Hanya dengan sistem khilafah, ukhuwwah Islmiyah

dapat diwujudkan. Dalam bukunya al-Khilfah, Rasyid Ridha menjelaskan


secara panjang lebar mengenai khilfah, antara lain disebutkan bahwa fungsi
khalifah adalah menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan, memelihara
agama, dan bermusyawarah mengenai masalah-masalah yang tidak
dijelaskan dalam nash. Khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya
di bawah pengawasan alil al-hall wa al-`aqd yang anggota-anggotanya terdiri
atas para ulama dan pemuka-pemuka masyarakat. Tugas ahl al-hall wa al`aqd, selain mengawasi jalannya roda pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah. Lembaga ini berhak menindak khalifah
yang berbuat dhalim dan sewenang-wenang.
Pengaruh pemikiran pembaharuan Rasyid Ridha dan gurunya,
Muhammad Abduh, terasa sampai ke Indonesia. Ide-idenya yang terkandung
dalam majalah al-Manar, khususnya mengenai pemberantasan bidah dan
khurafat, banyak mengilhami timbulnya gerakan pembaharuan di Indonesia.
Bukti-bukti yang dapat dikemukakan sebagai adanya pengaruh ide-ide Rasyid
Ridha di Indonesia, antara lain, terbitnya majalah al-Munir di Padang yang dikelola
oleh ulama-ulama yang pernah belajar di Mekah. Majalah ini mengulas beritaberita yang dimuat dalam majalah al-Manar. Ulama-ulama Indonesia banyak yang
tertarik untuk membaca al-Manar, baik semasa berada di Mekah maupun setelah
kembali ke Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya pertanyaan ulama
Indonesia terhadap Rasyid Ridha melalui al-Manar mengenai nasionalisme,
patriotisme, dan semangat ukhuwwah Islmiyah (Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Jilid 3, 1993: 255-257)

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PEMBAHARUAN ISLAM


1.Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh generasi baru muslim.
2.Gagalnya system social yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme
3.Gaya hidup elit sekuler di negara-negara Islam.
4.Hasrat untuk memperoleh kekuasaan diantara segmen kelas menengah yang semakin
berkembang yang tidak dapat diakomodasi secara politik.
5.pencarian keamanan psikologis diantara kaum pendatang baru di daerah perkotaan.
6.Lingkungan kota
7.Ketahanan ekonomi negara-negara Islam tertentu akibat melonjaknya harga minyak.
8.Rasa percaya diri akan masa depan akibat kemenangan Mesir atas Israel tahun 1973,
Revolusi Iran 1979, dan fajar kemunculan kembali peradaban Islam abad ke 15 Hijriah
( Mazaffar, Chandra ;1988 )

Anda mungkin juga menyukai