Anda di halaman 1dari 36

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan kasih karunia-Nya, makalah mata kuliah kima medisinal mengenai obatobat adrenergik & kolinergik dari sudut pandang kimia medisinal ini dapat
diselesaikan dengan baik. Banyak tantangan yang dihadapi dalam membuat
makalah ini dimulai dari pencarian jurnal terkait materi dan pembuatan isi
makalah, semua hal ini dilakukan dalam jangka waktu yang cukup pendek, namun
pada akhirnya laporan akhir ini dapat diselesaikan.
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Hanggara Arifian selaku dosen
mata kuliah Kimia Medisinal atas saran serta bimbingan yang diberikan dan juga
kepada teman-teman yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Melalui makalah ini diharapkan pembaca dapat menjadikan data-data yang
tersedia di dalam makalah ini sebagai referensi dan juga sebagai ilmu tambahan
dalam bidang farmasi. Kami sebagai penulis menyadari bahwa laporan ini masih
jauh dari kesempurnaan, dengan demikian kritik dan saran diharapkan dapat
disampaikan untuk memperbaiki kekurangan yang ada. Akhir kata, kami sebagai
penulis mengucapkan terima kasih.

Samarinda, Januari 2015

Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................

(0)

KATA PENGANTAR ....................................................................................

(i)

DAFTAR ISI ...................................................................................................

(ii)

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... (iii)


BAB I PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang ......................................................................................

1.2.

Rumusan Masalah .................................................................................

1.3.

Tujuan ...................................................................................................

BAB II ISI
2.1. Adrenergik .............................................................................................

2.2. Kolinergik ..............................................................................................

11

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan ............................................................................................

35

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

36

DAFTAR GAMBAR

Nomor
Gambar
2.1.

Judul Gambar

Halaman

Sisi biokimia yang berbeda untuk aksi obat dalam sistem


saraf adrenergik .....................................................................

2.2.

Struktur umum imidazolin .....................................................

10

2.3.

Sinaps dengan asetilkolin sebagai neurotransmitter ..............

12

2.4.

Biosintesis asetilkolin ............................................................

13

2.5.

Reseptor nikotinik .................................................................

14

2.6.

Sintesis asetilkolin .................................................................

16

2.7.

Tempat pengikatan dua reseptor kolinergik ..........................

17

2.8.

Senyawa nikotin dan muskarinik ...........................................

17

2.9.

Asetilkolin .............................................................................

19

2.10.

Tempat reseptor muskarinik ..................................................

19

2.11.

Kuda-kuda dan proyeksi Newman dari asetilkolin ................

21

2.12.

Konformasi gauche atau staggered ........................................

21

2.13.

Muskarin dan analog .............................................................

22

2.14.

Konformasi terkendali analago dari asetilkolin .....................

22

2.15.

Partisipasi kelompok disekitarnya .........................................

23

2.16.

Metakolin dan enantiomer R dan S ........................................

25

2.17.

Carbachol ...............................................................................

25

2.18.

Struktur resonansi carbachol .................................................

26

2.19.

Bethanechol ...........................................................................

27

2.20

Agonis selektif nikotinik .......................................................

27

2.21.

Decamethonium .....................................................................

30

2.22

Suxamethonium .....................................................................

31

2.23.

Interaksi pengikatan pada sisi aktif .......................................

32

2.24.

Mekanisme hidrolisis .............................................................

34

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Kimia medisinal merupakan perpaduan dari beberapa cabang ilmu yang

meliputi ilmu kimia, farmasi, dan biologi. Pada awal perkembangannya, kimia
medisinal dikenal dengan nama kimia farmasi (Pharmaceutical Chemistry) atau
kimia terapi (Therapeutical Chemistry), yang menggambarkan pada sekitar abad
ke-19, para ahli kimia dan farmasi bekerja sama di dalam laboratorium untuk
mempelajari dan memurnikan obat dari bahan alam. Beberapa tugas dari ahli
kimia medisinal dewasa ini dimasukkan dalam bidang ilmu biokimia dan farmasi.
Pada tahun 1876, seorang ahli farmakologi asal Belanda, Buchheim, menulis
bahwa misi dari farmakologi adalah untuk menetapkan zat aktif (alami) dalam
obat, dan menemukan sifat-sifat kimia yang bertanggung jawab terhadap
aktivitasnya serta membuat senyawa sintetik yang lebih efektif. Untuk
mempelajari perubahan obat yang berada dalam organisme, para ahli kimia dan
farmasi melakukan serangkaian isolasi dan identifikasi kandungan kimia tanaman
nabati dengan latar belakang pengobatan tradisional. Mereka juga mulai
melakukan sintesis dari senyawa yang mempunyai kemiripan rumus struktur dari
beberapa prototipe senyawa yang mempunyai aktivitas terapeutik yang potensial.
Secara bertahap hal ini membuka jalan untuk penelitian baru dengan memilih
senyawa organik sintesis, yang mempunyai atau tidak mempunyai hubungan
khasiat dengan obat yang didapat dari alam. Semakin banyak senyawa obat yang
mempunyai aktivitas biologi diketahui, didapatkan bahwa senyawa sintesis sering
lebih berguna secara medis bila dibandingkan dengan senyawa bahan alam,
mungkin karena metabolit dari tanaman pada umumnya tidak dimaksudkan secara
alami sebagai senyawa yang bernilai terapeutik, dalam sistem kehidupan binatang
dan manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat, didapatkan bahwa
struktur kimia obat ternyata dapat menjelaskan sifat-sifat obat dan terlihat bahwa
unit-unit struktur atau gugus-gugus molekul obat berkaitan dengan aktivitas
biologisnya. Untuk mencari hubungan antara struktur kimia dan aktivitas biologis

dapat dilakukan terutama dengan menghubungkan gugus fungsional tertentu


dengan respons biologis. Hal ini kadang-kadang mengalami kegagalan karena
terbukti bahwa senyawa dengan unit struktur kimia sama belum tentu
menunjukkan aktivitas biologis sama, sebaliknya aktivitas biologis sama sering
diperlihatkan oleh senyawa-senyawa dengan struktur kimia yang berbeda.
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat diambil rumusan masalah

sebagai berikut:
a.

Apa yang dimaksud dengan senyawa adrenergik?

b.

Bagaimana hubungan struktur dan aktivitas adrenergik?

c.

Apa yang dimaksud dengan senyawa kolinergik?

d.

Apa saja reseptor senyawa kolinergik?

e.

Apa saja obat-obat kolinergik?

f.

Bagaimana agonis pada reseptor kolinergik?

g.

Bagaimana struktur asetilkolin, SAR (structure-activity relationships), dan


pengikatan reseptor?

h.

Bagaimana ketidakstabilan asetilkolin?

i.

Bagaimana desain analog asetilkolin?

j.

Bagaimana penggunaan klinis untuk agonis kolinergik?

k.

Bagaimana antagonis reseptor kolinergik nikotinik?

l.

Apa kolinergik antagonis lainnya?

m.

Apa yang dimaksud antikolinesterases dan asetilkolinesterase?

1.3.

Tujuan

a.

Mengetahui pengertian dari senyawa adrenergik

b.

Mengetahui hubungan struktur dan aktivitas adrenergik

c.

Mengetahui pengertian dari senyawa kolinergik

d.

Mengetahui reseptor senyawa kolinergik

e.

Mengetahui obat-obat kolinergik

f.

Mengetahui agonis pada reseptor kolinergik

g.

Mengetahui struktur asetilkolin, SAR (structure-activity relationships), dan


pengikatan reseptor

h.

Mengetahui ketidakstabilan asetilkolin

i.

Mengetahui desain analog asetilkolin

j.

Mengetahui penggunaan klinis untuk agonis kolinergik

k.

Mengetahui antagonis reseptor kolinergik nikotinik

l.

Mengetahui kolinergik antagonis lainnya

m.

Mengetahui pengertian dari antikolinesterases dan asetilkolinesterase

BAB II
ISI
2.1.

Adrenergik

2.1.1. Pengertian
Senyawa adrenergik disebut juga dengan adrenomimetik adalah senyawa
yang dapat menghasilkan efek serupa dengan respon akibat rangsangan pada
sistem saraf adrenergik. Sistem saraf adrenergik adalah cabang sistem saraf
otonom dan mempunyai neurotransmitter yaitu norepinefrin. Obat adrenergik
beraksi pada sel efektor melalui adrenoreseptor yang normalnya diaktifkan oleh
norepinefrin atau beraksi pada neuron yang melepaskan neurotransmitter (Lemke,
2008).
Reseptor adrenergik dibagi menjadi:
a.

Reseptor adrenergik, dibagi menjadi 2 :

1)

-1 adrenergik
Menyebabkan

vasokonstriksi

pada

pembuluh

darah,

saluran

gastrointestinal, vasodilatasi otot bronkus (efeknya lebih kecil dibanding


beta-2)
2)

-2 adrenergik
Fungsi dari reseptor ini dapat menginhibisi pelepasan insulin, induksi
pelepasan glukagon, kontraksi spincher pada gastrointestinal

b.

Reseptor adrenergik, dibagi menjadi 2:

1)

-1 : terdapat di jantungmenaikkan heart rate (jumlah denyut jantung per


unit waktu), menaikkan kontraksi jantung -1-adrenoreseptor postsinaptik
terdapat pada otot polosvaskuler, otot miokardial, sel hepatosit, dan sel
adiposit.

2)

-2 : terdapat di pembuluh darah, otot polos skeletal, otot polos bronkus


relaksasi otot polos di gastro intestinal dan bronkus, dilatasi arteri,
glukoneogenesis. -2-adrenoreseptor prasinaptik terdapat pada semua
organ yang sarafnya dikontrol oleh sistem saraf simpatetik. -2adrenoreseptor postsinaptik terdapat pada otot polos vascular, pankreas,
platelet, adiposit, ginjal, melanosit, dan otot polos mata

Gambar 2.1. Sisi biokimia yang berbeda untuk aksi obat dalam sistem saraf
adrenergik
(Lemke, 2008)

2.1.2. Hubungan struktur dan aktivitasnya


HO
HO

CH

CH

NH

R
(Ruffly, 2009)
Struktur yang diperlukan untuk memberikan aktivitas agonis pada reseptor
adrenergik adalah sebagai berikut:
a.

Struktur induk fenietilamin

b.

Substituen 3-hidroksi fenolat pada cincinatau yang lebih baik adalah


substituen 3,4 dihidroksifenolat pada cincin

c.

Atom N paling sedikit mempunyai satu atom hidrogen (R=H atau gugus
alkil)

Tiap-tiap gugus mempunyai afinitas terhadap reseptor dan berhubungan


dengan aktivitas adrenergik. Reseptor yang terlibat disini adalah reseptor adrenergik dan -adrenergik.
a.

Gugus hidroksi fenolat membantu interaksi obat dengan sisi reseptor


melalui ikatan hidrogen atau elektrostatik.

b.

Gugus hidroksi alkohol dalam bentuk isomer, dapat mengikat reseptor


secara serasi melaui ikatan hidrogen atau elektrostatik.

c.

Adanya gugus amino, dalam bentuk kationik dapat berinteraksi dengan


gugus fosfat reseptor yang bersifat anionik.

d.

Penggantian gugus amino dengan OCH3 akan menghilangkan aktivitas


adrenergik.

e.

Adanya substitusi gugus alkil yang besar pada atom N akan meningkatkan
aktivitas afinitas senyawa terhadap reseptor dan menurunkan
aktivitasnya pada -reseptor.

f.

Pada -agonis dan -antagonis mempunyai struktur mirip. Sedangkan pada


-agonis dan -antagonis kemungkinan mirip kecil karena mereka
mengikat pada sisi reseptor yang berbeda.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, senyawa adrenergik terbagi menjadi

tiga kelompok, yaitu adrenomimetik yang bekerja langsung. Adrenomimetik yang


bekerja tidak langsung, dan adrenomimetik yang bekerja campuran.
a.

Adrenomimetik bekerja langsung


Adrenomimetik yang bekerja secara langsung mekanisme aksinya yaitu

obat ini membentuk kompleks reseptor khas. Contoh senyawanya yaitu feniletilamin

derivative

(epinefrin,

norepinefrin,

isoproterenol,

dan

metaproterenol) dan imidazolin derivatif -agonis (klonidin, naphazolin,


oximetazolin). Pada makalah ini akan dibahas HKSA dari imidazolin derivatif agonis. Imidazolin mungkin tidak selektif atau mungkin selektif baik pada 1 atau
2-adrenoreseptor. Secara struktur imidazolin sebagian besar strukturnya
memiliki inti imidazolin heterosiklik yang berhubungan dengan substitusi gugus
aromatik melalui beberapa jenis unit jembatan (Nicholls, 2010).

10

Gambar 2.2. Struktur umum imidazolin


(Ruffly, 2009)
Hubungan sruktur aktivitas imidazolin derivatif -agonis adalah sebagai
berikut:
1.

Optimum jembatan unit (X) biasanya merupakan suatu amino tunggal atau
gugus metilen

2.

Aktivitas agonis pada 1 dan 2 reseptor ditingkatkan ketika cincin


aromatik disubstitusi dengan atom halogen seperti klorida atau gugus alkil
lipofilik seperti metil khususnya ketika gugus ini diposisikan pada 2 posisi
orto

3.

Gugus lipofilik menyerang cincin fenil pada posisi meta atau para
memberikan selektivitas terhadap 1-reseptor dengan mengurangi afinitas
pada 2-reseptor.

b.

Adrenomimetik bekerja tidak langsung


Mekanisme kerja adrenomimetik tidak langsung yaitu bekerja dengan

melepaskan katekolamin terutama norepinefrin dari granul-granul penyimpanan di


ujung saraf simpatetik atau menghambat pemasukan norepinefrin pada membran
saraf.
Struktur umum :
R
CH

CH

CH3

NH

(Ruffly, 2009)

11

Hubungan struktur aktivitas adrenomimetik bekerja tidak langsung adalah


sebagai berikut :
1.

Memiliki gugus fenil, yang memungkinkan dapat diganti dengan gugus


aromatik lain atau gugus alkil dan sikloalkil.

2.

Tidak mempunyai gugus hidroksi fenolat pada posisi 3 dan 4. Hal ini dapat
meningkatkan absorpsi obat pada pemberial secara oral dan meningkatkan
penetrasi obat dalam sistem saraf pusat.

3.

Gugus hidroksi benzyl atau -hidroksi alkohol, mungkin ada atau tidak.
Obat yang tidak mengandung gugus hidroksi alkohol bersifat kurang polar
sehingga lebih mudah menembus sawar darah otak dan menunjukkan efek
rangsangan saraf pusat yang lebih besar.

4.

Kemungkinan mengandung gugus metil pada posisi C, yang dapat


meningkatkan aktivitas pada pemberian secara oral karena menimbulkan
efek halangan ruang terhadap gugus amin dari proses oksidasi oleh enzim
monoamine oksidase.

5.

Gugus nitrogen amino kemungkinan amin primer atau sekunder atau dapat
pula merupakan suatu bagian dari cincin heterosiklik

c.

Adrenomimetik bekerja campuran


Adrenomimetik ini dapat menimbulkan efek melalui pengaktifan

adrenoreseptor dan melepaskan katekolamin dari tempat penyimpanan atau


menghambat pemasukan katekolamin. Contoh senyawanya adalah efedrin,
fenilpropanolamin, dan oktopamin (Ruffly, 2009).

2.2.

Kolinergik

2.2.1. Tinjauan umum


Obat yang bekerja pada sistem saraf otonom (SSO) dapat digolongkan
menurut tipe neuron yang dipengaruhinya, yaitu obat-obat kolinergik yang bekerja
terhadap reseptor yang diaktifkan oleh asetikolin dan obat-obat adrenergik yang
bekerja terhadap reseptor yang dipacu oleh norepinefrin dan epinefrin. Obat-obat
kolinergik dan adrenergik bekerja dengan memacu atau menyekat/menghambat
aktivitas neuron dalam SSO (Munaf, 2008).

12

Gambar 2.3. Sinaps dengan asetilkolin sebagai neurotransmitter


a.

Biosintesis asetilkolin (Gambar 2.4.)


Asetilkolin

disintesis

di

akhir

saraf

saraf

pre-sinaptik

dari

kolin dan asetil koenzim A. Reaksi dikatalisis oleh enzim kolin


asetiltransferase.
b.

Asetilkolin dimasukkan ke dalam vesikel membran-terikat.

c.

Kedatangan sinyal saraf menyebabkan pelepasan asetilkolin. mekanisme


proses ini kurang dipahami. Umumnya, diperkirakan bahwa vesikel
mengandung neurotransmitter bergabung dengan membran sel dan dalam
melakukannya melepaskan pemancar ke dalam celah sinaptik. Namun
demikian, mekanisme lain telah diusulkan

d.

Asetilkolin melintasi celah sinaptik dan berikatan dengan reseptor


kolinergik menyebabkan stimulasi saraf kedua.

e.

Asetilkolin bergerak ke enzim yang disebut asetilkolinesterase yang


terletak di saraf postsinaps dan yang mengkatalisis hidrolisis asetilkolin
menghasilkan kolin dan asam etanoat.

f.

Kolin berikatan dengan reseptor kolin pada saraf presinaptik dan terangkat
ke sel oleh sistem transportasi yang efisien untuk melanjutkan siklus.

13

Hal yang paling penting untuk dicatat tentang proses ini adalah bahwa ada
beberapa tahap di mana dimungkinkan untuk menggunakan obat-obatan
untuk mendorong atau menghambat proses keseluruhan. Itu keberhasilan
terbesar sejauh ini dengan obat yang ditargetkan pada tahap 4 dan 5 (yaitu
reseptor kolinergik dan enzim asetilkolinesterase).

Gambar 2.4. Biosintesis asetilkolin


(Patrick, 1995)
2.2.2. Reseptor kolinergik
Menurut sifat kerjanya reseptor kolinergik (kolinoseptor) dapat dibedakan
menjadi reseptor muskarinik dan reseptor nikotinik berdasarkan afinitas terhadap
zat yang bersifat sebagai kolinomimetik (Munaf, 2008).
a.

Reseptor Muskarinik
Asetikolin yang dilepaskan pada terminal saraf serabut parasimpatis

pascaganglion bekerja pada reseptor muskarinik dan dapat diblok secara selektif
oleh atropin. Terdapat lima subtype reseptor muskarinik, tiga diantaranya sudah
diketahui dengan jelas, yaitu M1, M2, dan M3. Reseptor M1 terdapat pada otak dan
sel parietal lambung, reseptor M2 terdapat pada jantung, dan reseptor M3 terdapat
pada otot polos dan kelenjar (Neal, 2006).
Reseptor muskarinik belum diteliti sedetail seperti nicotinik reseptor,
karena lebih sulit untuk mengisolasi. Namun, sekarang diketahui bahwa ada
perbedaan tipis antara reseptor muscarinik diberbagai bagian dari tubuh. Reseptor
muscarinik oleh karenanya dibagi menjadi tiga subkelompok Ml, M2, dan M3.
Namun diduga terdapat subkelompok yang lebih banyak.
Reseptor M2 terletak di otot jantung dan bagian dari otak. Berbeda dengan
reseptor nicotinik, yang muncul untuk bertindak dengan mengontrol sintesis
enzim dari secondary messenger dan bukan secara langsung mengendalikan
saluran ion (Patrick, 1995)

14

b.

Reseptor Nikotinik
Reseptor Nikotinik terdapat pada ganglion otonom dan medulla adrenal,

dimana efek asetikolin (atau nikotin) dapat diblok secara selektif oleh
heksametonium (Neal, 2006). Terdapat perbedaan antara reseptor nikotinik di
ganglion otonom dan yang terdapat pada sambungan saraf otot. Misalnya reseptor
nikotinik di ganglion dihambat secara selektif oleh heksametonium, sedangkan
reseptor nikotinik pada sambungan saraf otot dihambat secara spesifik oleh
tubokurarin. (Munaf, 2008).
Reseptor nikotin telah berhasil diisolasi dari sinar electrik (Torpedo
marmorata) ditemukan di Samudera Atlantic dan lautan Mediterania, menjadikan
reseptor menjadi hal yang harus dipelajari baik-baik. Sebagai hasilnya,
persetujuan hebat dapat diketahui tentang strukturnya dan operasinya.

Gambar 2.5. Reseptor nikotinik


Ini adalah sebuah protein kompleks terbentuk dari 5 subunit, 2 dari yang
sama. 5 subunit (2 alpa, 1 beta, gamma, dan delta) membentuk sebuah silinder
atau bentuk tong dengan garis melintang sel mebran ditunjukkan pada Gambar
2.5. Tengah dari silinder dapat bertindak sebagai sebuah kanal ion untuk sodium.
Sebuah system gerbang atau kunci dikontrol oleh interaksi dari reseptor dengan
asetilkolin. Ketika asetlkolin tidak terikat gerbang maka tertutup. Ketika
asetilkolin terikat gerbang maka terbuka.

15

Urutan asam amino untuk tiap subunit telah terbuat dan diketahui bahwa
ada struktur luas kedua. Binding site untuk asetilkolin disesuikan pada subunit
alpa dan untuk itu ada 2 binding site per protein reseptor. Hal ini biasanya
ditemukan bahwa reseptor nikotin terjadi dalam pasangan terhubung bersama
dengan sebuah jembatan disulfida antara subunit delta (Patrick, 1995).
2.2.3. Obat-obat kolinergik
Obat-obat kolinergik (agonis kolinergik) ialah obat yang bekerja secara
langsung atau tidak langsung meningkatkan fungsi neurotransmitter asetikolin.
Kolinergik juga disebut parasimpatomimetik karena menghasilkan efek yang
mirip dengan perangsangan sistem saraf parasimpatik.
Obat-obat kolinergik memiliki tiga indikasi utama yaitu menurunkan
tekanan intraokular pada pasien glaukoma atau operasi mata, mengobati atoni
saluran cerna atau vesika urinaria dan untuk mendiagnosis dan pengobatan
miastenia gravis. Beberapa obat kolinergik merupakan antidotum penting untuk
obat-obat blokade neuromuskular, antidepresan trisklik, dan alkaloid beladona.
Obat-obat kolinergik merangsang reseptor kolinergik. Karena itu kerjanya mirip
dengan asetikolin endogen. Obat-obat golongan ini dapat dikelopokkan
berdasarkan:
a.

Spektrum efeknya:

1.

Muskarinik

2.

Nikotinik

b.

Mekanisme kerjanya:

1.

Bekerja langsung pada reseptor asetikolin

2.

Secara tidak langsung melalui penghambatan asetikolinesterase


(Munaf, 2008)

2.2.4. Agonis pada reseptor kolinergik


Jika ada kekurangan aksi kerja asetilkolin pada bagian tubuh tertentu dari
tubuh, mengapa kita tidak memberikan pasien asetilkolin lebih. Setelah semua, itu
cukup mudah untuk membuatnya di laboratorium (Gambar. 2.6.)

16

Gambar 2.6. Sintesis asetilkolin


Ada tiga alasan mengapa hal ini tidak layak:
a.

Asetilkolin mudah dihidrolisis dalam perut dengan katalis asam dan tidak
bisa diberikan secara oral.

b.

Asetilkolin mudah dihidrolisis dalam darah, baik secara kimiawi dan oleh
enzim (esterase dan asetilkolinesterase).

c.

Tidak ada selektivitas aksi kerja. Asetilkolin akan beralih pada semua
reseptor asetilkolin dalam tubuh.
Oleh karena itu, kita perlu analog asetilkolin yang lebih stabil terhadap

hidrolisis dan yang lebih selektif terhadap aksi kerjanya dalam tubuh. Kita akan
melihat pada selektivitas pertama.
Ada dua cara di mana selektivitas dapat dicapai. Pertama, beberapa obat
mungkin didistribusikan lebih efisien pada satu bagian tubuh dari yang lain.
Kedua, reseptor kolinergik di berbagai bagian tubuh mungkin berbeda. Perbedaan
ini harus cukup halus, dimana tidak cukup untuk mempengaruhi interaksi dengan
neurotransmitter asetilkolin alami, tapi cukup untuk membedakan antara dua
analog sintetis yang berbeda.
Kita bisa, misalnya, membayangkan tempat pengikatan pada reseptor
kolinergik adalah berongga yang mana molekul asetilkolin bisa muat (Gambar
2.7.). Kami kemudian membayangkan bahwa beberapa reseptor kolinergik dalam
tubuh memiliki 'dinding' pembatas ini berongga, sedangkan reseptor kolinergik
lain tidak.
Dengan demikian, suatu sintesis analog asetilkolin yang sedikit lebih besar
dari asetilkolin sendiri akan berikatan dengan reseptor yang terakhir, tetapi tidak
akan dapat berikatan dengan reseptor sebelumnya karena adanya dinding.
Teori ini mungkin tampak seperti khayalan, tetapi sekarang ditetapkan
bahwa reseptor kolinergik di berbagai bagian tubuh memang agak berbeda.

17

Gambar 2.7. Tempat pengikatan dua reseptor kolinergik


Ini bukan sekedar kekhasan reseptor asetilkolin. Perbedaan halus yang
dimiliki telah diamati dengan jenis lainnya seperti reseptor untuk dopamin,
noradrenalin, dan serotonin.
Untuk kembali ke reseptor asetilkolin, bagaimana kita tahu jika ada
subtipe yang berbeda. Seperti yang sering terjadi, petunjuk pertama berasal dari
aksi alami senyawa. Hal ini ditemukan bahwa senyawa nikotin dan muskarinik
(Gambar 2.8.), merupakan agonis asetilkolin, tetapi memiliki efek fisiologis yang
berbeda.

Gambar 2.8. Senyawa nikotin dan muskarinik


Nikotin ditemukan aktif pada sinapsis diantara dua saraf yang berbeda dan
pada sinapsis antara saraf dan otot rangka, tetapi memiliki aktivitas yang buruk di
tempat lain.
Muskarin aktif pada saraf sinapsis di otot polos dan otot jantung, namun
menunjukkan aktivitas yang buruk di lokasi di mana nikotin aktif.

18

Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa ada satu jenis reseptor asetilkolin
pada otot rangka dan pada saraf sinapsis (reseptor nikotinik), dan jenis yang
berbeda di reseptor asetilkolin pada otot polos dan otot jantung (reseptor
muskarinik).
Oleh karena itu, muskarin dan nikotin adalah senyawa pertama yang
menunjukkan selektivitas reseptor. Sayangnya, kedua senyawa ini tidak cocok
sebagai obat karena memiliki efek samping yang tidak diinginkan.
Namun, prinsip selektivitas yang terbukti digunakan untuk merancang obat
baru yang memiliki selektivitas nikotin atau muskarin, tetapi tidak memiliki efek
samping.
Tahap pertama dalam pengembangan obat adalah untuk mempelajari
senyawa induk dan mencari bagian mana dari molekul yang penting bagi aktivitas
sehingga mereka dapat dipertahankan dalam analog masa depan (hubungan antara
struktur dan aktivitas (SAR). Hasil ini juga memberikan informasi tentang tampak
seperti apa situs pengikatan reseptor kolinergik dan membantu dalam menentukan
perubahan apa yang bernilai dalam membuat analog baru. Dalam hal ini, senyawa
induk adalah asetilkolin sendiri. Hasil yang dijelaskan di bawah ini berlaku untuk
kedua reseptor nikotin dan reseptor muskarinik dan diperoleh berdasarkan sintesis
berbagai macam analog (Patrick, 1995).
2.2.5. Asetilkolin-struktur, SAR (structure-activity relationships), dan
pengikatan reseptor
a.

Atom nitrogen bermuatan positif sangat penting untuk aktivitas.


Menggantinya dengan atom karbon netral yang menghilangkan aktivitas.

b.

Jarak dari nitrogen ke gugus ester penting

c.

Gugus fungsi ester penting

d.

Secara keseluruhan ukuran molekul tidak dapat diubah. Molekul yang


lebih besar memiliki aktivitas yang lebih lemah

e.

Jembatan etilen antara ester dan atom nitrogen tidak dapat diperluas

f.

Harus terdapat dua gugus metil pada nitrogen. Gugus alkil yang ketiga
masih dapat ditoleransi, tetapi lebih dari satu gugus alkil menyebabkan
hilangnya aktivitas

19

g.

Gugus ester yang lebih besar menyebabkan hilangnya aktivitas


Kesimpulan: jelasnya, terdapat kesesuaian antara asetilkolin dan tempat
ikatannya yang meninggalkan sedikit ruang untuk variasi. Hal di atas
cocok dengan bagiam reseptor seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.9.

Gambar 2.9. Asetilkolin


Ini sesuai untuk interaksi dengan tipe lain reseptor, seperti reseptor untuk
dopamine atau noradrenalin. Dalam pencarian untuk obat yang baik, itu penting
untuk memperoleh dua tipe selektivitas---selektivitas untuk satu tipe reseptor dari
pada reseptor yang lain (contoh reseptor asetilkolin dalam preferensi untuk
reseptor adrenalin), dan selektifitas unutk subtipe reseptor (contoh respetor
muskarinik dalam prefernesi untuk reseptor nikotinik).
Pencarian untuk meningkatkan obat yang selektif telah mangacu pada
penemuan bahwa ada subtipe reseptor dalam subtipe. Dengan kata lain, tidak
semua reseptor muskarinik sama melewati tubuh. Kini, tiga subtype reseptor
muskarinik telah ditemukan dan telah ditandai M1, M2, dan M3. Banyak yang
masih dalam pencarian.

Gambar 2.10. Tempat reseptor muskarinik

20

Hal tersebut diajukan bahwa pentingnya interaksi hydrogen bonding ada


antara gugus ester molekul asetilkolin dan residu histidin. Hal itu juga
menimbulkan pemikiran bahwa daerah hidrofobik yang kecil ada yang dapat
berakomodasi gugus metal dari ester, tapi tidak lebih besar. Interaksi ini lebih
penting dalam reseptor muskarinik dari pada reseptor nikotinik.
Sekarang mari lihat pada gugus N e3 . Bukti menunjukkan dua daerah
hidrofobik kecil dalam reseptor, yang cukup besar untuk menampung dua dari tiga
substituen metil pada kelompok N e3 . Metil substituen ketiga nitrogen tidak
terikat dan dapat diganti dengan kelompok lain. Sebuah interaksi ionik yang kuat
telah diusulkan antara atom nitrogen bermuatan dan sisi-gugus anionik baik asam
glutamat atau residu asam aspartat. Adanya interaksi ionik ini merupakan
tampilan klasik reseptor kolinergik, tetapi pendapat baru-baru ini pindah dari
posisi ini.
Pertama-tama, muatan positif pada kelompok N e3 tidak terlokalisasi
pada atom nitrogen. Hal ini juga tersebar di tiga kelompok metil. Seperti difusi
muatan mungkin kurang terlibat dalam interaksi ionik. Kedua, aspartat yang
cocok atau residu glutamat belum teridentifikasi. Bahkan, ada bukti gugus N e3
terikat dengan daerah hidrofobik dari reseptor. Ketiga, model studi telah
menunjukkan bahwa gugus N e3 dapat distabilkan dengan mengikat cincin
aromatik. Ini mungkin tampak aneh bahwa kelompok hidrofobik seperti cincin
aromatik harus mampu menstabilkan kelompok bermuatan positif. Namun, harus
diingat bahwa cincin aromatik kaya elektron, seperti yang ditunjukkan oleh fakta
bahwa mereka dapat mengalami reaksi dengan elektrofil. Diperkirakan bahwa
muatan positif difusi pada gugus N e3 mampu mendistorsi awan elektron pi dari
cincin aromatik untuk menginduksi momen dipol. Interaksi dipol antara gugus
N e3 dan residu aromatik seperti tirosin kemudian terikat.
Sebuah model 3D dari receptor binding site telah bekerja dengan bantaun
analog restrained asetilkoline yang terkonformasi. Asetilkolin tidak memiliki
pembatasan konformasi. Molekul rantai lurus tersebut dalam ikan berputar
sepnajnag panjang cincinnya menuju sejumlah konformasi yang mungkin (atau
bentuk). Sehingga, hal tersbut tidak mingkin untuk mengetahui bentuk 3D secara

21

tepat sisi reseptor berdasarkan asetilkolin itu sendiri. Di masa lalu, telah
diasumsikan bahwa neurotransmitter fleksibel seperti asetilkolin akan berinteraksi
dengan reseptornya dalam kebanyakan bentuknya yang stabil. Dalam kasus
asetilkolin, yang akan menjadi konformasi diwakili oleh kuda-kuda dan proyeksi
Newman ditunjukkan pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11. Kuda-kuda dan proyeksi Newman dari asetilkolin


Asumsi ini tidak valid karena tidak ada energi perbedaan besar antara
konformasi alternatif seperti konformasi gauche atau straggered (Gambar 2.12.)
Dalam rangka membangun konformasi 'aktif' neurotransmitter yang
fleksibel (yang konformasi diambil oleh neurotransmitter setelah terikat dengan
reseptor), diperlukan untuk mempelajari struktur yang berisi 'kunci' konformasi
asetilkolin dalam struktur mereka. Muscarine dan analog ditunjukkan pada
Gambar. 11.14 diketahui berikatan dengan reseptor kolinergik. Molekul-molekul
ini berisi kerangka asetilkolin, tapi karena mereka adalah struktur cincin, bagian
kiri molekul asetilkolin kini terbatas pada satu konformasi. Perputaran ini
memberikan gambaran 3D yang akurat dari situs pengikatan reseptor yang
berinteraksi dengan bagian molekul.

Gambar 2.12. Konformasi gauche atau staggered

22

Gambar 2.13. Muskarin dan analog


Pada kedua molekul menunjukkan, perputaran masih memungkinkan
terjadi sepanjang ikatan cincin CH2NMe3 , yang berarti bahwa posisi relatif atom
nitrogen sehubungan dengan ester masih belum jelas. Namun, penyesuaian ketiga
molekul terkendali (struktur I pada Gambar. 2.14.) ketiga diketahui berikatan
dengan reseptor muscarinic (tapi tidak reseptor nicotinik). Dalam molekul ini,
bagian kanan molekul terkunci dalam satu konformasi-diwakili oleh proyeksi
Newman ditunjukkan pada Gambar. 2.14. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan
kelompok ester dan amonia satu sama lain masih membingunkan.

Gambar 2.14. Konformasi terkendali analog dari asetilkolin


Karena struktur 1 (Gambar 2.14.) ditemukan berikatan secara efisien
dengan reseptor muskarinik asetilkolin, hal ini menunjukkan bahwa konformasi
aktif asetilkolin merupakan konformasi gauche pada proyeksi Newman (1)
(Gambar 2.14.)

daripada konformasi anti atau terhalang (2) dan (3). Bukti

selanjutnya ditunjukkan oleh struktur siklik II (Gambar 2.14.) yang memiliki


kelompok ester dan amonia satu sama lain menyebabkan dan karena terhalang
sepenuhnya.
Hal ini menunjukkan hampir tidak ada aktivitas dan konformasi asetilkolin
yang terhalang (3) (Gambar 2.14.) bukan merupakan konformasi aktif.

23

Berdasarkan pertimbangan tersebut, jarak antar kelompok eter dan


nitrogen quartener adalah 5-7 A.
Berdasarkan hasil percobaan dapat digunakan bentuk 3D secara
keseluruhan untuk situs reseptor serta menunjukkan konformasi aktif dari
asetilkolin. Tentunya situs pengikatan reseptor dengan bentuk 3D ini membuat
bentuk agen kolinergik menjadi lebih sederhana. Dimana agen ini mampu
mengadopsi konformasi ikatan kelompok penting yang diposisikan pada studi
yang layak. Dengan pengetahuan ini, analog asetilkolin dapat dirancang dengan
peningkatan stabilitas (Patrick, 1995).
2.2.6. Ketidakstabilan asetilkolin
Alasan ketidakstabilan asetilkolin dapat dijelaskan dengan pertimbangkan
mengapdosian salah satu konformasi molekul (Gambar 2.15.)

Gambar 2.15. Partisipasi kelompok disekitarnya


Dalam konformasi ini, nitrogen bermuatan positif berinteraksi dengan
oksigen karbonil yang memiliki efek penarik elektron. Untuk mengatasi hal ini,
atom oksigen menarik elektron ke arah atom tersebut ke atom karbon tetangga dan
sebagai hasilnya atom karbon kekurangan elektron dan rentan terhadap serangan
nukleofilik (Patrick, 1995).
2.2.7. Desain analog asetilkolin
Dalam rangka untuk mengatasi instabilitas dari asetilkolin, dua pendekatan
yang mungkin yaitu sterik hindrance dan stabilisasi elektronik
a.

Sterik hidrance
Prinsip dasar yang terlibat dapat ditunjukkan dengan metakolin

24

Analog asetilkolin ini mengandung gugus metil tambahan di ikatan etilena.


Alasan untuk menempatkan di sana ada dua. Pertama, adalah untuk mencoba dan
membangun pelindung untuk gugus karbonil. Kebanyakan kelompok metil harus
menghalangi pendekatan setiap nukleofil potensial dan memperlambat laju
hidrolisis. Hal ini juga harus menghambat ikatan enzim esterase, sehingga
memperlambat hidrolisis enzimatik.
Hasilnya menggembirakan, dengan metakolin membuktikan tiga kali lebih
stabil terhadap hidrolisis dari asetilkolin. Pertanyaannya sekarang adalah,
Mengapa tidak menempatkan gugus alkil yang lebih besar seperti etil atau
kelompok propil? Atau, mengapa tidak menempatkan kelompok besar pada
setengah molekul asil, karena ini akan menjadi lebih dekat dengan pusat karbonil
dan memiliki efek pelindung yang lebih besar? Bahkan, pendekatan ini telah
dicoba, tapi gagal. Kita harus sudah tahu mengapa - kesesuaian antara asetilkolin
dan reseptor yang begitu ketat bahwa ada sedikit ruang untuk memperbesar
molekul. Substituen yang lebih besar tentu mengurangi bahan kimia dan hidrolisis
enzimatik, tetapi juga mencegah molekul mengikat reseptor kolinergik.
Kesimpulannya, upaya untuk meningkatkan sterik pelindung gugus metil
luar tentu meningkatkan stabilitas molekul, tetapi menurunkan aktivitasnya karena
tidak bisa sesuai dengan reseptor kolinergik.
Salah satu hasil yang sangat berguna lainnya diperoleh dari metakolin. Hal
ini ditemukan bahwa pengenalan kelompok metil menyebabkan aktivitas
muskarinik signifikan dan aktivitas nikotinat sangat sedikit. Oleh karena itu,
metakolin menunjukkan aksi selektif baik untuk reseptor muscarinic. Hasil ini
mungkin lebih penting daripada keuntungan dalam stabilitas.

25

Baik

mengikat

reseptor

muscarinik

dapat

dijelaskan

jika

kita

membandingkan konformasi aktif metakolin dengan muskarin (Gambar 2.16.).


Kelompok metil metakolin dapat menempati posisi yang sama sebagai kelompok
metilen di muskarin.
Catatan, bagaimanapun, metakolin yang dapat eksis sebagai dua
enantiomer (R dan S) dan hanya S-enansiomer sesuai dengan struktur muscarine.
Kedua enantiomer dari metakolin telah diisolasi dan S-enansiomer adalah
enantiomer lebih aktif, seperti yang diharapkan. Hal ini tidak digunakan secara
terapi.

Gambar 2.16. Metakolin dan enantiomer R dan S


b.

Elektronik Efek
Contoh terbaik dari pendekatan ini yaitu carbachol (Gambar 2.17.), agen

kolinergik panjang yang tahan terhadap hidrolisis. Dalam carbachol, kelompok


metil asil telah digantikan oleh sebuah gugus NH2 yang ukurannya sebanding dan
oleh karena itu dapat menyesuaikan diri dengan reseptor.

Gambar 2.17. Carbachol


Resistensi terhadap hidrolisis karena efek elektronik dari gugus karbamat.
Struktur resonansi ditunjukkan pada Gambar 2.18. menunjukkan bagaimana
pasangan elektron bebas dari atom nitrogen dimasukkan ke dalam gugus karbonil
sehingga karakter gugus elektrofilik dihilangkan. Akibatnya, karbonil tidak lagi
rentan terhadap serangan nukleofilik.

26

Gambar 2.18. Struktur resonansi carbachol


Carbachol tentu stabil terhadap hidrolisis dan merupakan ukuran yang
tepat agar sesuai dengan reseptor kolinergik, tetapi tidak berarti bahwa hal itu
akan aktif. Setelah semua, sebuah gugus metil hidrofobik telah diganti dengan
kelompok NH2 polar dan ini berarti bahwa kelompok polar harus masuk ke dalam
tempat hidrofobik dalam reseptor.
Untungnya, carbachol tidak fit dan dia aktif. Karena gugus metil
asetilkolin telah diganti dengan gugus amino tanpa mempengaruhi aktivitas
biologis, kita dapat menamai gugus amino suatu 'bioisostere' dari kelompok metil.
Perlu

ditekankan

bahwa

bioisostere

adalah

gugus

yang

dapat

menggantikan gugus lain tanpa mempengaruhi aktivitas farmakologi yang


menarik. Dengan demikian, gugus amino adalah bioisostere dari gugus metil
sejauh reseptor kolinergik yang bersangkutan, tapi tidak sejauh enzim esterase
yang bersangkutan.
Oleh karena itu, masuknya gugus pemberi elektron seperti gugus amino
telah sangat meningkatkan sifat kimia dan stabilitas enzimatik agonis kolinergik.
Sayangnya, ditemukan bahwa carbachol menunjukkan sedikit selektivitas antara
situs muscarinik dan nikotinat.
Carbachol digunakan secara klinis untuk pengobatan glaukoma-masalah
mata. Obat diterapkan secara lokal dan selektivitas bukan masalah besar.
c.

Kombinasi sterik dan elektronik efek


Kita telah melihat bahwa gugus -metil sedikit meningkatkan stabilitas

analog asetilkolin melalui efek sterik dan juga memiliki keuntungan


memperlihatkan beberapa selektivitas.
Jelas, itu akan menarik untuk menambahkan gugus -metil ke carbachol.
Senyawa yang diperoleh adalah bethanechol (Gambar 2.19.) yang, seperti yang
diharapkan, keduanya stabil terhadap hidrolisis dan selektif dalam aksinya. Hal ini

27

digunakan terapi dalam merangsang saluran pencernaan dan kandung kemih


setelah operasi. (Kedua organ ini 'ditutup' dengan obat-obatan selama operasi)

Gambar 2.19. Bethanechol


(Patrick, 1995)
2.2.8. Penggunaan klinis untuk agonis kolinergik
a.

Agonis muskarinik:

1.

Terapi glaukoma

2.

pengaktifan pada GIT dan saluran kemih setelah operasi

3.

Terapi kelainan jantung tertentu dengan mengurangi aktivitas otot jantung


dan denyut jantung

b.

Agonis nikotinik:
Pengobatan myasthenia gravis, penyakit autoimun dimana tubuh telah

menghasilkan antibodi melawan reseptor asetikolin sendiri. Hal ini menyebabkan


penurunan jumlah reseptor yang tersedia. Hal ini pada dasarnya menyebabkan
kelemahan otot yang parah. Sehingga pemberian agonis kemungkinan
meningkatkan pengaktifan beberapa reseptor. Contoh dari agonis selektif
nikotinik:

Gambar 2.20. Agonis selektif nikotinik


(Patrick, 1995)

28

2.2.9. Antagonis reseptor kolinergik nikotinik


a.

Aplikasi nikotinik
Reseptor antagonis nikotinik reseptor ini ada di dalam syaraf sinapsis di

ganglia, serta pada neuromuskular sinapsis. Namun, obat dapat menunjukkan


tingkat selektivitas diantara dua situs ini, terutama karena khas rute yang harus
diambil mencapai mereka.
Antagonis reseptor ganglionik nikotinik situs tidak berfungsi terapetik
karena mereka tidak dapat membedakan antara yang ganglia sistem syaraf simpati
dan ganglia dari sistem saraf parasimpatis (keduanya menggunakan nikotinik
reseptor). Akibatnya, mereka memiliki banyak efek samping.
Namun, antagonis neuromuscular junction adalah berfungsi terapetik dan
dikenali sebagai agen pemblokiran neuromuskular.
b.

Nikotinik antagonis
Curare yang pertama ditemukan ketika tentara Spanyol di Amerika Selatan

menemukan diri mereka terkena racun yang berada pada anak panah. Ia
menemukan bahwa orang-orang India telah menempatkan racun pada ujungpanah mereka. Racun ini adalah minyak mentah, ekstrak dari tumbuhan kering
bernama Chondrodendron tomentosum dan menyebabkan kelumpuhan serta
menghentikan kerja hati. Sekarang kita telah mengetahui bahwa curare adalah
campuran dari berbagai senyawa. Prinsip yang aktif, bagaimanapun, adalah
antagonis asetilkolin yang blok transmisi saraf dari syaraf ke otot.
Ia mungkin tampak aneh seperti untuk mempertimbangkan gabungan
untuk menggunakan obat, tetapi di sebelah kanan dan di bawah tingkat dosis
kontrol tepat, ada sangat berguna untuk aplikasi tindakan semacam ini. Aplikasi
utama adalah di dalam pengistirahatan otot perut dalam persiapan untuk
pembedahan. Hal ini memungkinkan ahli bedah untuk menggunakan tingkat
bawah umum ubat bius dari jika tidak, mereka akan menjadi diperlukan dan
sehingga akan meningkatkan keselamatan untuk operasi margin. Curare, seperti
yang disebutkan di atas, sebenarnya adalah campuran dari senyawa, dan ianya
tidak sampai tahun 1935 yang aktif prinsip (Tubocurarine) adalah terisolasi.

29

Penentuan struktur mengambil lebih lama dan itu tidak didirikan sampai tahun
1970.
Struktur tubocurarine menimbulkan masalah untuk teori kita dari reseptor
mengikat, sejak, walaupun ia memiliki beberapa diisi nitrogen pusat, tidak ada
ester hadir untuk berinteraksi dengan acetyl situs mengikat. Studi pada senyawa
dibincangkan sejauh ini menunjukkan bahwa bermuatan positif nitrogen sendiri
tidak cukup baik untuk mengikat, jadi mengapa harus tubocurarine mengikat dan
menghalangi kolinergik reseptor?
Jawabannya terletak pada kenyataan bahwa molekul yang bermuatan
positif dua atom nitrogen (salah satu perguruan tinggi yang protonated, dan salah
satu kuartenari). Asalnya, ia percaya bahwa jarak antara dua pusat (A$1,4 nm)
mungkin sama dengan jarak antara dua terpisah kolinergik reseptor yang besar
dan molekul tubocurarine dapat bertindak sebagai sebuah jembatan antara dua
reseptor situs, maka penyebaran selimut sepanjang dua reseptor dan memblokir
akses ke asetilkolin. Namun menyenangkan teori yang mungkin, ukuran-ukuran
nikotinik reseptor ini tidak mungkin. Reseptor, seperti yang akan kita lihat nanti,
adalah suatu protein dimer terdiri dari dua sama protein kompleks dipisahkan oleh
9-10 nm-terlalu besar untuk tubocurarine molekul untuk menjembatani (Pohon
Ara. 11.36 (A).

Kemungkinan lain adalah bahwa molekul tubocurarine

menjembatani dua asetilkolin mengikat situs dalam satu protein rumit. Sejak ada
dua situs tersebut di dalam kompleks, ini muncul alternatif teori yang menarik.
Namun begitu, dua tempat yang lebih lanjut selain dari 1.4 nm dan maka ini
terlalu tampaknya tak mungkin. Ia kini telah mengusulkan bahwa salah satu
bermuatan positif nitrogens pada tubocurarine mengikat ke anionic mengikat situs
asetilkolin reseptor di dalam protein rumit, sementara yang lainnya nitrogen
mengikat ke dekat cysteine tertinggal 0.9-1.2 nm.
Meskipun

ketidakpastian

seputar

bonding

interaksi

tubocurarine,

kelihatannya sangat mungkin bahwa dua ionic bonding situs yang terlibat. Seperti
interaksi yang sangat kuat dan akan lebih dari membuat untuk kurangnya yang
mengikat interaksi ester.

30

Ia juga jelas bahawa jarak antara dua bermuatan positif atom nitrogen
sangat penting untuk kegiatan. Oleh karena itu, analogues jarak yang
mempertahankan ini juga harus baik antagonis. Bukti yang kuat bahwa ini adalah
agar datang dari fakta bahwa molekul sederhana decamethonium adalah antagonis
yang baik.

Gambar 2.21. Decamethonium


Decamethonium adalah analog sederhana dari tubokurarin. Ini adalah
molekul rantai lurus dan mempunyai konformasi yang besar. Obat ini mengikat
reseptor kolinergik dan telah terbukti sebagai agen klinis yang berguna. Namun,
mengalami beberapa kelemahan. Misalnya, ketika berikatan yang awalnya untuk
reseptor acetylcholine, ia bertindak sebagai agonis bukan antagonis. Dengan kata
lain, beralih pada reseptor dan ini menyebabkan kontraksi singkat otot. Setelah
efek ini telah berlalu, obat tetap terikat pada reseptor-blocking akses ke
asetilkolin-dan dengan demikian bertindak sebagai antagonis. Sayangnya,
ikatannya terlalu kuat dan sebagai hasilnya pasien membutuhkan waktu lama
untuk pulih dari dampaknya. Hal ini juga tidak sepenuhnya selektif untuk
neuromuscular junction dan memiliki efek pada reseptor asetilkolin pada jantung.
Hal ini menyebabkan peningkatan denyut jantung dan penurunan tekanan darah.
Masalah yang sekarang dihadapi dalam merancang obat yang lebih baik
adalah

ketika

mencoba

menstabilkan molekul,

untuk

merancang

sekarang kami

agonis

asetilkolin.

Alih-alih

ingin memperkenalkan semacam

ketidakstabilan atau semacam kontrol waktu dimana molekul dapat dimatikan


dengan cepat dan menjadi tidak aktif. Sukses pertama diraih dengan
memperkenalkan

kelompok

ester

dalam

rantai

sementara

dan

tetap

mempertahankan jarak antara kedua nitrogen yang dibebankan untuk memberikan


suxamethonium (Gambar 2.22)

31

Gambar 2.22 Suxamethonium


Kelompok-kelompok ester yang rentan terhadap hidrolisis kimia dan
enzimatik. Setelah hidrolisis terjadi, molekul tidak dapat lagi menjembatani kedua
reseptor dan menjadi tidak aktif. Suksametonium memiliki durasi aksi lima menit,
namun memiliki efek samping lainnya. Selain itu, sekitar satu dari dua ribu orang
tidak memiliki enzim yang menghidrolisis suxamethonium (Patrick, 1995).
2.2.10. Kolinergik antagonis lainnya
Anastetik lokal dan barbiturat tampak menghalangi perubahan dalam
permeabilitas ion yang akan menormalkan hasil dari interaksi pada asetil kolin
dengan reseptornya. Tetapi tidak mengikat pada binding site asetilkolin.
Dipercaya bahwa daripada mengikat ke bagian reseptor yang bagian dalam dari
membran sel, mungkin mengikat ke channel ionnya dan menghambatnya.
Racun ular khusus dapat ditemukan pada ikatan ireversibel ke reseptor
asetilkolin, sehingga menghambat transmisi kolinergik. racun ini termasuk
sebagai alpa bungarotoxin dari cobra indian. Racun adalah polipeptida yang
mengandung 70 asam amino yang memiliki cross link alpa dan beta subunit dari
reseptor kolinergik (Patrick, 1995).
2.2.11. Antikolinesterase dan asetilkolinesterase
Antikolinesterase merupakan antagonis dari enzim asetilkolinesterase
enzim yang menghidrolisis asetilkolin. Jika asetilkolin tidak hancur, ia dapat
kembali mengaktifkan reseptor kolinergik lagi dan jadi, efek dari antikolinesterase
adalah untuk meningkatkan kadar asetilkolin dan meningkatkan efek kolinergik.
Oleh karena itu, antagonis di enzim asetilkolinesterase akan memiliki efek
biologis yang sama sebagai agonis pada reseptor kolinergik.
Enzim asetilkolinesterase memiliki struktur seperti pohon yang menarik.
Batang pohon adalah molekul kolagen yang berlabuh ke membran sel. Ada tiga
cabang (jembatan disulfida) terkemuka dari bagasi, yang masing-masing enzim
acetylcholinesterase di atas permukaan membran. Enzim sendiri terdiri dari empat

32

sub unit protein enzim masing-masing memiliki situs aktif. Sehubungan Dengan
Itu, setiap pohon enzim memiliki dua belas situs aktif. Pohon-pohon berakar
berada di sebelah reseptor asetilkolin sehingga mereka akan efisien menangkap
molekul asetilkolin karena mereka dari reseptor tersebut. Bahkan, enzim
asetilkolinesterase adalah salah satu daari kebanyakan enzim efisien yang dikenal.
a.

Interaksi pengikatan pada sisi aktif asetilkolinesterase


Ada dua daerah penting yang harus dipertimbangkan-binding site anionic

dan binding site ester (Gambar 2.23).


Catatan :
1.

Asetilkolin berikatan dengan enzim kolinesterase oleh

a)

Ikatan ionik dengan residu Asp dan Glu

b)

Ikatan hidrogen dengan residu tirosin

2.

Residu histidin dan serin pada situs katalitik terlibat dalam meanisme
hidrolisis.

3.

Binding site anionik dalam asetilkolinesterase sangat mirip dengan binding


site anionik pada reseptor kolinergik dan mungkin identik. Ada
diperkirakan dua kantong hidrofobik cukup besar untuk menampung
residu metal tetapi tidak besar. Muatan positif nitrogen diperkiraan terikat
pada residu aspartat dan glutamat bermuatan negatif, namun beberapa
penelitian meragukan asumsi ini.

Gambar 2.23. Interaksi pengikatan pada sisi aktif

33

b.

Mekanisme hidrolisis:
Residu histidin bertindak sebagai katalis asam atau basa pada seluruh

mekanisme, sementara serin memainkan bagian dari nukleofil. Hal ini bukan
peran yang baik untuk serin karena alkohol alifatik adalah nukleofil yang buruk.
Bahkan, serin dengan sendirinya tidak dapat menghidrolisis ester. Namun,
faktanya bahwa histidin bersedia sebgai katalis asam atau basa untuk mengatasi
kelemahan itu. Ada beberapa tahap mekanisme:
Tahap 1: pendekatan asetilkolin dan terikat pada enzim asetilkolinesterase.
Residu histidin bertindak sebagai dasar untuk menghilangkan proton dari gugus
hidroksil pada serin., sehingga membuatnya menjadi lebih nukleofilik.
Penambaan nukleofilik ke ester tersebut berlangsung dn membuka gugus karbonil.
Tahap 2: reformasi gugus karbonil dan mengusir bagian alkohol dari ester
(yaitu kilon). Proses ini dibantu oleh histamine yang kini bertindak sebagai katalis
asam dengan menyumbangkan proton ke alkohol yang pergi.
Tahap 3: bagian asil asetilkolin sekarang terikat secara kovalen pada
reseptor. Kolin meninggalkan situs aktif dan digantikan oleh air.
Tahap 4: air adalah nukleofil yang buruk, tetapi histidin bertindak sebgaia
katalis dasar dan penambahan nukleofilik pun berlangsung, membuka lagi gugus
karbonil.
Tahap 5: gugus karbonil tersebut direformasi dan residu serin dilepaskan
dengan bantuan katalis asam dari histidin.
Tahap 6: asam etanoat meninggalkan situs aktif dan siklus tersebut dapat
diulang.

34

Gambar 2.24. Mekanisme hidrolisis


Proses enzimatik ini sangat efisien disebabkan terletak denkat dari
nukleofil serin dan katalis asam/basa histidin. Akibatnya, proses hidrolisis dengan
cholinesterase ini seratus juta kali lebih cepat daripada hidrolisis kimia. Proses ini
sangat efisien sehingga esetilkolin dihidrolisis dalam seratus mikrodetik untuk
mencapai enzim (Patrick, 1995).

35

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan
Obat yang bekerja pada sistem saraf otonom (SSO) dapat digolongkan

menurut tipe neuron yang dipengaruhinya, yaitu obat-obat kolinergik yang bekerja
terhadap reseptor yang diaktifkan oleh asetikolin dan obat-obat adrenergik yang
bekerja terhadap reseptor yang dipacu oleh norepinefrin dan epinefrin. Obat-obat
kolinergik dan adrenergik bekerja dengan memacu atau menyekat atau
menghambat aktivitas neuron dalam SSO.

36

DAFTAR PUSTAKA
Lemke, Thomas L., David A. W, Victoria F Roche, dan S. William Zito. 2008.
Foyes Principle of Medicinal Chemistry 6th Edition. Philladelpia:
Lippincott William & Wilkins, a Wolters Kluwer Business.
Munaf, Sjamsuir. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. EGC: Jakarta
Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Erlangga: Jakarta.
Nicholls, Antony et al., 2010. Molecular Shape and Medicinal Chemistry: a
perspective. J. Med Chem 53. 3862-3886.
Patrick, Graham L. 1995. An Introduction to Medicinal Chemistry. Oxford
University Press: United States.
Ruffly. 2009. Conceptual Medicinal Chemistry Adrenergic and Anti-Adrenergic
Drugs. Serial online. (cited 2011 November 7). Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21978/5/Chapter%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai