KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan kasih karunia-Nya, makalah mata kuliah kima medisinal mengenai obatobat adrenergik & kolinergik dari sudut pandang kimia medisinal ini dapat
diselesaikan dengan baik. Banyak tantangan yang dihadapi dalam membuat
makalah ini dimulai dari pencarian jurnal terkait materi dan pembuatan isi
makalah, semua hal ini dilakukan dalam jangka waktu yang cukup pendek, namun
pada akhirnya laporan akhir ini dapat diselesaikan.
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Hanggara Arifian selaku dosen
mata kuliah Kimia Medisinal atas saran serta bimbingan yang diberikan dan juga
kepada teman-teman yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Melalui makalah ini diharapkan pembaca dapat menjadikan data-data yang
tersedia di dalam makalah ini sebagai referensi dan juga sebagai ilmu tambahan
dalam bidang farmasi. Kami sebagai penulis menyadari bahwa laporan ini masih
jauh dari kesempurnaan, dengan demikian kritik dan saran diharapkan dapat
disampaikan untuk memperbaiki kekurangan yang ada. Akhir kata, kami sebagai
penulis mengucapkan terima kasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
(0)
(i)
(ii)
1.2.
1.3.
Tujuan ...................................................................................................
BAB II ISI
2.1. Adrenergik .............................................................................................
11
35
36
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Gambar
2.1.
Judul Gambar
Halaman
2.2.
10
2.3.
12
2.4.
13
2.5.
14
2.6.
16
2.7.
17
2.8.
17
2.9.
Asetilkolin .............................................................................
19
2.10.
19
2.11.
21
2.12.
21
2.13.
22
2.14.
22
2.15.
23
2.16.
25
2.17.
Carbachol ...............................................................................
25
2.18.
26
2.19.
Bethanechol ...........................................................................
27
2.20
27
2.21.
Decamethonium .....................................................................
30
2.22
Suxamethonium .....................................................................
31
2.23.
32
2.24.
34
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kimia medisinal merupakan perpaduan dari beberapa cabang ilmu yang
meliputi ilmu kimia, farmasi, dan biologi. Pada awal perkembangannya, kimia
medisinal dikenal dengan nama kimia farmasi (Pharmaceutical Chemistry) atau
kimia terapi (Therapeutical Chemistry), yang menggambarkan pada sekitar abad
ke-19, para ahli kimia dan farmasi bekerja sama di dalam laboratorium untuk
mempelajari dan memurnikan obat dari bahan alam. Beberapa tugas dari ahli
kimia medisinal dewasa ini dimasukkan dalam bidang ilmu biokimia dan farmasi.
Pada tahun 1876, seorang ahli farmakologi asal Belanda, Buchheim, menulis
bahwa misi dari farmakologi adalah untuk menetapkan zat aktif (alami) dalam
obat, dan menemukan sifat-sifat kimia yang bertanggung jawab terhadap
aktivitasnya serta membuat senyawa sintetik yang lebih efektif. Untuk
mempelajari perubahan obat yang berada dalam organisme, para ahli kimia dan
farmasi melakukan serangkaian isolasi dan identifikasi kandungan kimia tanaman
nabati dengan latar belakang pengobatan tradisional. Mereka juga mulai
melakukan sintesis dari senyawa yang mempunyai kemiripan rumus struktur dari
beberapa prototipe senyawa yang mempunyai aktivitas terapeutik yang potensial.
Secara bertahap hal ini membuka jalan untuk penelitian baru dengan memilih
senyawa organik sintesis, yang mempunyai atau tidak mempunyai hubungan
khasiat dengan obat yang didapat dari alam. Semakin banyak senyawa obat yang
mempunyai aktivitas biologi diketahui, didapatkan bahwa senyawa sintesis sering
lebih berguna secara medis bila dibandingkan dengan senyawa bahan alam,
mungkin karena metabolit dari tanaman pada umumnya tidak dimaksudkan secara
alami sebagai senyawa yang bernilai terapeutik, dalam sistem kehidupan binatang
dan manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat, didapatkan bahwa
struktur kimia obat ternyata dapat menjelaskan sifat-sifat obat dan terlihat bahwa
unit-unit struktur atau gugus-gugus molekul obat berkaitan dengan aktivitas
biologisnya. Untuk mencari hubungan antara struktur kimia dan aktivitas biologis
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
1.3.
Tujuan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
BAB II
ISI
2.1.
Adrenergik
2.1.1. Pengertian
Senyawa adrenergik disebut juga dengan adrenomimetik adalah senyawa
yang dapat menghasilkan efek serupa dengan respon akibat rangsangan pada
sistem saraf adrenergik. Sistem saraf adrenergik adalah cabang sistem saraf
otonom dan mempunyai neurotransmitter yaitu norepinefrin. Obat adrenergik
beraksi pada sel efektor melalui adrenoreseptor yang normalnya diaktifkan oleh
norepinefrin atau beraksi pada neuron yang melepaskan neurotransmitter (Lemke,
2008).
Reseptor adrenergik dibagi menjadi:
a.
1)
-1 adrenergik
Menyebabkan
vasokonstriksi
pada
pembuluh
darah,
saluran
-2 adrenergik
Fungsi dari reseptor ini dapat menginhibisi pelepasan insulin, induksi
pelepasan glukagon, kontraksi spincher pada gastrointestinal
b.
1)
2)
Gambar 2.1. Sisi biokimia yang berbeda untuk aksi obat dalam sistem saraf
adrenergik
(Lemke, 2008)
CH
CH
NH
R
(Ruffly, 2009)
Struktur yang diperlukan untuk memberikan aktivitas agonis pada reseptor
adrenergik adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
Atom N paling sedikit mempunyai satu atom hidrogen (R=H atau gugus
alkil)
b.
c.
d.
e.
Adanya substitusi gugus alkil yang besar pada atom N akan meningkatkan
aktivitas afinitas senyawa terhadap reseptor dan menurunkan
aktivitasnya pada -reseptor.
f.
obat ini membentuk kompleks reseptor khas. Contoh senyawanya yaitu feniletilamin
derivative
(epinefrin,
norepinefrin,
isoproterenol,
dan
10
Optimum jembatan unit (X) biasanya merupakan suatu amino tunggal atau
gugus metilen
2.
3.
Gugus lipofilik menyerang cincin fenil pada posisi meta atau para
memberikan selektivitas terhadap 1-reseptor dengan mengurangi afinitas
pada 2-reseptor.
b.
CH
CH3
NH
(Ruffly, 2009)
11
2.
Tidak mempunyai gugus hidroksi fenolat pada posisi 3 dan 4. Hal ini dapat
meningkatkan absorpsi obat pada pemberial secara oral dan meningkatkan
penetrasi obat dalam sistem saraf pusat.
3.
Gugus hidroksi benzyl atau -hidroksi alkohol, mungkin ada atau tidak.
Obat yang tidak mengandung gugus hidroksi alkohol bersifat kurang polar
sehingga lebih mudah menembus sawar darah otak dan menunjukkan efek
rangsangan saraf pusat yang lebih besar.
4.
5.
Gugus nitrogen amino kemungkinan amin primer atau sekunder atau dapat
pula merupakan suatu bagian dari cincin heterosiklik
c.
2.2.
Kolinergik
12
disintesis
di
akhir
saraf
saraf
pre-sinaptik
dari
c.
d.
e.
f.
Kolin berikatan dengan reseptor kolin pada saraf presinaptik dan terangkat
ke sel oleh sistem transportasi yang efisien untuk melanjutkan siklus.
13
Hal yang paling penting untuk dicatat tentang proses ini adalah bahwa ada
beberapa tahap di mana dimungkinkan untuk menggunakan obat-obatan
untuk mendorong atau menghambat proses keseluruhan. Itu keberhasilan
terbesar sejauh ini dengan obat yang ditargetkan pada tahap 4 dan 5 (yaitu
reseptor kolinergik dan enzim asetilkolinesterase).
Reseptor Muskarinik
Asetikolin yang dilepaskan pada terminal saraf serabut parasimpatis
pascaganglion bekerja pada reseptor muskarinik dan dapat diblok secara selektif
oleh atropin. Terdapat lima subtype reseptor muskarinik, tiga diantaranya sudah
diketahui dengan jelas, yaitu M1, M2, dan M3. Reseptor M1 terdapat pada otak dan
sel parietal lambung, reseptor M2 terdapat pada jantung, dan reseptor M3 terdapat
pada otot polos dan kelenjar (Neal, 2006).
Reseptor muskarinik belum diteliti sedetail seperti nicotinik reseptor,
karena lebih sulit untuk mengisolasi. Namun, sekarang diketahui bahwa ada
perbedaan tipis antara reseptor muscarinik diberbagai bagian dari tubuh. Reseptor
muscarinik oleh karenanya dibagi menjadi tiga subkelompok Ml, M2, dan M3.
Namun diduga terdapat subkelompok yang lebih banyak.
Reseptor M2 terletak di otot jantung dan bagian dari otak. Berbeda dengan
reseptor nicotinik, yang muncul untuk bertindak dengan mengontrol sintesis
enzim dari secondary messenger dan bukan secara langsung mengendalikan
saluran ion (Patrick, 1995)
14
b.
Reseptor Nikotinik
Reseptor Nikotinik terdapat pada ganglion otonom dan medulla adrenal,
dimana efek asetikolin (atau nikotin) dapat diblok secara selektif oleh
heksametonium (Neal, 2006). Terdapat perbedaan antara reseptor nikotinik di
ganglion otonom dan yang terdapat pada sambungan saraf otot. Misalnya reseptor
nikotinik di ganglion dihambat secara selektif oleh heksametonium, sedangkan
reseptor nikotinik pada sambungan saraf otot dihambat secara spesifik oleh
tubokurarin. (Munaf, 2008).
Reseptor nikotin telah berhasil diisolasi dari sinar electrik (Torpedo
marmorata) ditemukan di Samudera Atlantic dan lautan Mediterania, menjadikan
reseptor menjadi hal yang harus dipelajari baik-baik. Sebagai hasilnya,
persetujuan hebat dapat diketahui tentang strukturnya dan operasinya.
15
Urutan asam amino untuk tiap subunit telah terbuat dan diketahui bahwa
ada struktur luas kedua. Binding site untuk asetilkolin disesuikan pada subunit
alpa dan untuk itu ada 2 binding site per protein reseptor. Hal ini biasanya
ditemukan bahwa reseptor nikotin terjadi dalam pasangan terhubung bersama
dengan sebuah jembatan disulfida antara subunit delta (Patrick, 1995).
2.2.3. Obat-obat kolinergik
Obat-obat kolinergik (agonis kolinergik) ialah obat yang bekerja secara
langsung atau tidak langsung meningkatkan fungsi neurotransmitter asetikolin.
Kolinergik juga disebut parasimpatomimetik karena menghasilkan efek yang
mirip dengan perangsangan sistem saraf parasimpatik.
Obat-obat kolinergik memiliki tiga indikasi utama yaitu menurunkan
tekanan intraokular pada pasien glaukoma atau operasi mata, mengobati atoni
saluran cerna atau vesika urinaria dan untuk mendiagnosis dan pengobatan
miastenia gravis. Beberapa obat kolinergik merupakan antidotum penting untuk
obat-obat blokade neuromuskular, antidepresan trisklik, dan alkaloid beladona.
Obat-obat kolinergik merangsang reseptor kolinergik. Karena itu kerjanya mirip
dengan asetikolin endogen. Obat-obat golongan ini dapat dikelopokkan
berdasarkan:
a.
Spektrum efeknya:
1.
Muskarinik
2.
Nikotinik
b.
Mekanisme kerjanya:
1.
2.
16
Asetilkolin mudah dihidrolisis dalam perut dengan katalis asam dan tidak
bisa diberikan secara oral.
b.
Asetilkolin mudah dihidrolisis dalam darah, baik secara kimiawi dan oleh
enzim (esterase dan asetilkolinesterase).
c.
Tidak ada selektivitas aksi kerja. Asetilkolin akan beralih pada semua
reseptor asetilkolin dalam tubuh.
Oleh karena itu, kita perlu analog asetilkolin yang lebih stabil terhadap
hidrolisis dan yang lebih selektif terhadap aksi kerjanya dalam tubuh. Kita akan
melihat pada selektivitas pertama.
Ada dua cara di mana selektivitas dapat dicapai. Pertama, beberapa obat
mungkin didistribusikan lebih efisien pada satu bagian tubuh dari yang lain.
Kedua, reseptor kolinergik di berbagai bagian tubuh mungkin berbeda. Perbedaan
ini harus cukup halus, dimana tidak cukup untuk mempengaruhi interaksi dengan
neurotransmitter asetilkolin alami, tapi cukup untuk membedakan antara dua
analog sintetis yang berbeda.
Kita bisa, misalnya, membayangkan tempat pengikatan pada reseptor
kolinergik adalah berongga yang mana molekul asetilkolin bisa muat (Gambar
2.7.). Kami kemudian membayangkan bahwa beberapa reseptor kolinergik dalam
tubuh memiliki 'dinding' pembatas ini berongga, sedangkan reseptor kolinergik
lain tidak.
Dengan demikian, suatu sintesis analog asetilkolin yang sedikit lebih besar
dari asetilkolin sendiri akan berikatan dengan reseptor yang terakhir, tetapi tidak
akan dapat berikatan dengan reseptor sebelumnya karena adanya dinding.
Teori ini mungkin tampak seperti khayalan, tetapi sekarang ditetapkan
bahwa reseptor kolinergik di berbagai bagian tubuh memang agak berbeda.
17
18
Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa ada satu jenis reseptor asetilkolin
pada otot rangka dan pada saraf sinapsis (reseptor nikotinik), dan jenis yang
berbeda di reseptor asetilkolin pada otot polos dan otot jantung (reseptor
muskarinik).
Oleh karena itu, muskarin dan nikotin adalah senyawa pertama yang
menunjukkan selektivitas reseptor. Sayangnya, kedua senyawa ini tidak cocok
sebagai obat karena memiliki efek samping yang tidak diinginkan.
Namun, prinsip selektivitas yang terbukti digunakan untuk merancang obat
baru yang memiliki selektivitas nikotin atau muskarin, tetapi tidak memiliki efek
samping.
Tahap pertama dalam pengembangan obat adalah untuk mempelajari
senyawa induk dan mencari bagian mana dari molekul yang penting bagi aktivitas
sehingga mereka dapat dipertahankan dalam analog masa depan (hubungan antara
struktur dan aktivitas (SAR). Hasil ini juga memberikan informasi tentang tampak
seperti apa situs pengikatan reseptor kolinergik dan membantu dalam menentukan
perubahan apa yang bernilai dalam membuat analog baru. Dalam hal ini, senyawa
induk adalah asetilkolin sendiri. Hasil yang dijelaskan di bawah ini berlaku untuk
kedua reseptor nikotin dan reseptor muskarinik dan diperoleh berdasarkan sintesis
berbagai macam analog (Patrick, 1995).
2.2.5. Asetilkolin-struktur, SAR (structure-activity relationships), dan
pengikatan reseptor
a.
b.
c.
d.
e.
Jembatan etilen antara ester dan atom nitrogen tidak dapat diperluas
f.
Harus terdapat dua gugus metil pada nitrogen. Gugus alkil yang ketiga
masih dapat ditoleransi, tetapi lebih dari satu gugus alkil menyebabkan
hilangnya aktivitas
19
g.
20
21
tepat sisi reseptor berdasarkan asetilkolin itu sendiri. Di masa lalu, telah
diasumsikan bahwa neurotransmitter fleksibel seperti asetilkolin akan berinteraksi
dengan reseptornya dalam kebanyakan bentuknya yang stabil. Dalam kasus
asetilkolin, yang akan menjadi konformasi diwakili oleh kuda-kuda dan proyeksi
Newman ditunjukkan pada Gambar 2.11.
22
23
Sterik hidrance
Prinsip dasar yang terlibat dapat ditunjukkan dengan metakolin
24
25
Baik
mengikat
reseptor
muscarinik
dapat
dijelaskan
jika
kita
Elektronik Efek
Contoh terbaik dari pendekatan ini yaitu carbachol (Gambar 2.17.), agen
26
ditekankan
bahwa
bioisostere
adalah
gugus
yang
dapat
27
Agonis muskarinik:
1.
Terapi glaukoma
2.
3.
b.
Agonis nikotinik:
Pengobatan myasthenia gravis, penyakit autoimun dimana tubuh telah
28
Aplikasi nikotinik
Reseptor antagonis nikotinik reseptor ini ada di dalam syaraf sinapsis di
Nikotinik antagonis
Curare yang pertama ditemukan ketika tentara Spanyol di Amerika Selatan
menemukan diri mereka terkena racun yang berada pada anak panah. Ia
menemukan bahwa orang-orang India telah menempatkan racun pada ujungpanah mereka. Racun ini adalah minyak mentah, ekstrak dari tumbuhan kering
bernama Chondrodendron tomentosum dan menyebabkan kelumpuhan serta
menghentikan kerja hati. Sekarang kita telah mengetahui bahwa curare adalah
campuran dari berbagai senyawa. Prinsip yang aktif, bagaimanapun, adalah
antagonis asetilkolin yang blok transmisi saraf dari syaraf ke otot.
Ia mungkin tampak aneh seperti untuk mempertimbangkan gabungan
untuk menggunakan obat, tetapi di sebelah kanan dan di bawah tingkat dosis
kontrol tepat, ada sangat berguna untuk aplikasi tindakan semacam ini. Aplikasi
utama adalah di dalam pengistirahatan otot perut dalam persiapan untuk
pembedahan. Hal ini memungkinkan ahli bedah untuk menggunakan tingkat
bawah umum ubat bius dari jika tidak, mereka akan menjadi diperlukan dan
sehingga akan meningkatkan keselamatan untuk operasi margin. Curare, seperti
yang disebutkan di atas, sebenarnya adalah campuran dari senyawa, dan ianya
tidak sampai tahun 1935 yang aktif prinsip (Tubocurarine) adalah terisolasi.
29
Penentuan struktur mengambil lebih lama dan itu tidak didirikan sampai tahun
1970.
Struktur tubocurarine menimbulkan masalah untuk teori kita dari reseptor
mengikat, sejak, walaupun ia memiliki beberapa diisi nitrogen pusat, tidak ada
ester hadir untuk berinteraksi dengan acetyl situs mengikat. Studi pada senyawa
dibincangkan sejauh ini menunjukkan bahwa bermuatan positif nitrogen sendiri
tidak cukup baik untuk mengikat, jadi mengapa harus tubocurarine mengikat dan
menghalangi kolinergik reseptor?
Jawabannya terletak pada kenyataan bahwa molekul yang bermuatan
positif dua atom nitrogen (salah satu perguruan tinggi yang protonated, dan salah
satu kuartenari). Asalnya, ia percaya bahwa jarak antara dua pusat (A$1,4 nm)
mungkin sama dengan jarak antara dua terpisah kolinergik reseptor yang besar
dan molekul tubocurarine dapat bertindak sebagai sebuah jembatan antara dua
reseptor situs, maka penyebaran selimut sepanjang dua reseptor dan memblokir
akses ke asetilkolin. Namun menyenangkan teori yang mungkin, ukuran-ukuran
nikotinik reseptor ini tidak mungkin. Reseptor, seperti yang akan kita lihat nanti,
adalah suatu protein dimer terdiri dari dua sama protein kompleks dipisahkan oleh
9-10 nm-terlalu besar untuk tubocurarine molekul untuk menjembatani (Pohon
Ara. 11.36 (A).
menjembatani dua asetilkolin mengikat situs dalam satu protein rumit. Sejak ada
dua situs tersebut di dalam kompleks, ini muncul alternatif teori yang menarik.
Namun begitu, dua tempat yang lebih lanjut selain dari 1.4 nm dan maka ini
terlalu tampaknya tak mungkin. Ia kini telah mengusulkan bahwa salah satu
bermuatan positif nitrogens pada tubocurarine mengikat ke anionic mengikat situs
asetilkolin reseptor di dalam protein rumit, sementara yang lainnya nitrogen
mengikat ke dekat cysteine tertinggal 0.9-1.2 nm.
Meskipun
ketidakpastian
seputar
bonding
interaksi
tubocurarine,
kelihatannya sangat mungkin bahwa dua ionic bonding situs yang terlibat. Seperti
interaksi yang sangat kuat dan akan lebih dari membuat untuk kurangnya yang
mengikat interaksi ester.
30
Ia juga jelas bahawa jarak antara dua bermuatan positif atom nitrogen
sangat penting untuk kegiatan. Oleh karena itu, analogues jarak yang
mempertahankan ini juga harus baik antagonis. Bukti yang kuat bahwa ini adalah
agar datang dari fakta bahwa molekul sederhana decamethonium adalah antagonis
yang baik.
ketika
mencoba
menstabilkan molekul,
untuk
merancang
sekarang kami
agonis
asetilkolin.
Alih-alih
kelompok
ester
dalam
rantai
sementara
dan
tetap
31
32
sub unit protein enzim masing-masing memiliki situs aktif. Sehubungan Dengan
Itu, setiap pohon enzim memiliki dua belas situs aktif. Pohon-pohon berakar
berada di sebelah reseptor asetilkolin sehingga mereka akan efisien menangkap
molekul asetilkolin karena mereka dari reseptor tersebut. Bahkan, enzim
asetilkolinesterase adalah salah satu daari kebanyakan enzim efisien yang dikenal.
a.
a)
b)
2.
Residu histidin dan serin pada situs katalitik terlibat dalam meanisme
hidrolisis.
3.
33
b.
Mekanisme hidrolisis:
Residu histidin bertindak sebagai katalis asam atau basa pada seluruh
mekanisme, sementara serin memainkan bagian dari nukleofil. Hal ini bukan
peran yang baik untuk serin karena alkohol alifatik adalah nukleofil yang buruk.
Bahkan, serin dengan sendirinya tidak dapat menghidrolisis ester. Namun,
faktanya bahwa histidin bersedia sebgai katalis asam atau basa untuk mengatasi
kelemahan itu. Ada beberapa tahap mekanisme:
Tahap 1: pendekatan asetilkolin dan terikat pada enzim asetilkolinesterase.
Residu histidin bertindak sebagai dasar untuk menghilangkan proton dari gugus
hidroksil pada serin., sehingga membuatnya menjadi lebih nukleofilik.
Penambaan nukleofilik ke ester tersebut berlangsung dn membuka gugus karbonil.
Tahap 2: reformasi gugus karbonil dan mengusir bagian alkohol dari ester
(yaitu kilon). Proses ini dibantu oleh histamine yang kini bertindak sebagai katalis
asam dengan menyumbangkan proton ke alkohol yang pergi.
Tahap 3: bagian asil asetilkolin sekarang terikat secara kovalen pada
reseptor. Kolin meninggalkan situs aktif dan digantikan oleh air.
Tahap 4: air adalah nukleofil yang buruk, tetapi histidin bertindak sebgaia
katalis dasar dan penambahan nukleofilik pun berlangsung, membuka lagi gugus
karbonil.
Tahap 5: gugus karbonil tersebut direformasi dan residu serin dilepaskan
dengan bantuan katalis asam dari histidin.
Tahap 6: asam etanoat meninggalkan situs aktif dan siklus tersebut dapat
diulang.
34
35
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Obat yang bekerja pada sistem saraf otonom (SSO) dapat digolongkan
menurut tipe neuron yang dipengaruhinya, yaitu obat-obat kolinergik yang bekerja
terhadap reseptor yang diaktifkan oleh asetikolin dan obat-obat adrenergik yang
bekerja terhadap reseptor yang dipacu oleh norepinefrin dan epinefrin. Obat-obat
kolinergik dan adrenergik bekerja dengan memacu atau menyekat atau
menghambat aktivitas neuron dalam SSO.
36
DAFTAR PUSTAKA
Lemke, Thomas L., David A. W, Victoria F Roche, dan S. William Zito. 2008.
Foyes Principle of Medicinal Chemistry 6th Edition. Philladelpia:
Lippincott William & Wilkins, a Wolters Kluwer Business.
Munaf, Sjamsuir. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. EGC: Jakarta
Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Erlangga: Jakarta.
Nicholls, Antony et al., 2010. Molecular Shape and Medicinal Chemistry: a
perspective. J. Med Chem 53. 3862-3886.
Patrick, Graham L. 1995. An Introduction to Medicinal Chemistry. Oxford
University Press: United States.
Ruffly. 2009. Conceptual Medicinal Chemistry Adrenergic and Anti-Adrenergic
Drugs. Serial online. (cited 2011 November 7). Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21978/5/Chapter%20I.pdf