ii
KATA PENGANTAR
iii
kabupaten dan kota. Buku ini akan menyajikan berbagai rasio keuangan
aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan daerahnya yang
dapat dilihat baik secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota),
per provinsi, kabupaten dan kota per provinsi maupun berdasarkan wilayah
(Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Maluku Papua).
Kami mengharapkan agar buku Deskripsi dan Analisis APBD 2014 ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan baik di pusat
maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan
yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Jakarta,
Juni 2014
Rukijo
NIP 19670210 199310 1 001
iv
RINGKASAN EKSEKUTIF
Ringkasan Eksekutif
yaitu 42,5% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang
tersisa sangat kecil. Dengan demikian Provinsi Aceh harus memanfaatkan
ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan alokasi transfer
oleh Pemerintah dengan penetapan dalam APBD, secara umum untuk
alokasi Dana Perimbangan yang penyampaian informasinya ke publik
dilakukan segera setelah pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh daerah dalam menyusun APBD. Adapun
untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan lebih lambat dari DAU
dan DAK (sekitar Desember hingga Januari) atau setelah APBD ditetapkan
oleh daerah, nampak terjadi deviasi yang relatif tinggi antara penetapan
alokasi dari Pusat dengan penetapan dalam APBD.
Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja
Pegawai terhadap total Belanja Daerah adalah 42,78%. Rasio ini lebih
rendah dari tahun anggaran sebelumnya yang mencapai rata-rata 44,7%.
Penurunan rasio belanja pegawai secara konsisten dalam beberapa tahun
terakhir, meskipun penurunannya relatif kecil namun menunjukkan upaya
rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah.
Terdapat 5 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai lebih dari 50 %,
yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera
Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsiprovinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk
jenis-jenis belanja selain Belanja Pegawainya. Hal ini akan menyebabkan
keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar Belanja Pegawai yang
bisa didanai, khususnya dalam mendukung pemenuhan layanan publik.
Sulawesi adalah wilayah yang memiliki rasio Belanja Pegawai tertinggi,
yaitu sebesar 48,65% sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio
yang terendah dengan angka sebesar 33,37%. Rasio Belanja Pegawai
3,71%, diikuti oleh DKI Jakarta, Papua. Papua Barat dan Aceh. Hal ini
perlu dicermati mengingat Aceh yang mempunyai Ruang Fiskal terkecil
di Indonesia, rasio Belanja Modal kedua terendah di Indonesia, namun
mempunyai rasio bantuan sosial yang relatif tinggi dibandingkan daerah
lainnya.
Data APBD menunjukkan bahwa adanya kecenderungan daerah untuk
menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Hal ini terlihat dari 491
kabupaten/kota dan 33 provinsi di Indonesia pada Tahun Anggaran
(TA) 2013 sebanyak 457 daerah menganggarkan defisit dalam APBDnya, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 447 daerah yang
menganggarkan defisit. Kecenderungan daerah menganggarkan defisit
tersebut karena adanya SiLPA dalam APBD mereka, artinya sebenarnya
secara umum daerah tidak sedang dalam kondisi defisit secara riil, tetapi
mereka menganggarkan defisit karena untuk menyerap SiLPA tahun
sebelumnya. Hal lain yang juga menarik untuk dicermati adalah bahwa
pada umumnya daerah terbukti mengalami surplus pada saat realisasi.
Rata-rata rasio defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten,
dan kota) adalah 7,5% dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisit
tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi penerimaan pinjaman dan
obligasi daerah 5,9%. Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah
dengan rasio defisit terbesar di mana faktor utama penyebab hal tersebut
adalah untuk mengakomodasi SiLPA tahun sebelumnya yang jumlahnya
cukup besar agar bisa digunakan dalam belanja publik.
Dalam APBD kabupaten, kota dan provinsi terdapat beberapa daerah yang
besaran defisit yang dianggarkan tidak bisa ditutup dengan pembiayaan,
sehingga defisit ditambah pembiayaan masih bernilai minus. Kabupaten
Sarmi merupakan daerah dengan nilai Defisit APBD yang tidak ter-cover
oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar Rp80 miliar. Hal ini harus menjadi
perhatian Pemerintah Pusat sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan pembinaan di bidang pengelolaan keuangan, karena
fenomena di atas menunjukkan bahwa terdapat daerah-daerah yang
8
Ringkasan Eksekutif
Daftar Isi
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
RINGKASAN EKSEKUTIF............................................................................v
Daftar Isi...............................................................................................x
Daftar Tabel.......................................................................................xiii
Daftar Grafik..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang...........................................................................1
B. Gambaran Umum APBD 2014....................................................2
1. Pendapatan Daerah..................................................................5
2. Belanja Daerah.........................................................................7
3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah...................................9
C. Trend APBD (2010 2014).......................................................11
BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH................................................. 21
A. Rasio Pajak (Tax Ratio)..............................................................24
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................25
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi ..........................26
3. Pemerintah Provinsi...............................................................28
4. Per Wilayah............................................................................29
B. Pajak per Kapita (Tax per Capita)..............................................29
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................30
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................31
3. Pemerintah Provinsi................................................................32
4. Per Wilayah............................................................................33
C. Ruang Fiskal (Fiscal Space).......................................................34
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................35
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................36
3. Pemerintah Provinsi................................................................38
x
4. Per Wilayah............................................................................40
D. Rasio Ketergantungan Daerah..................................................41
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................41
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................43
3. Pemerintah Provinsi................................................................44
4. Per Wilayah...........................................................................45
E. Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBD.........................46
1. Dana Bagi Hasil (DBH)............................................................48
2. Dana Alokasi Umum (DAU)....................................................50
3. Dana Alokasi Khusus (DAK)....................................................51
BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH...................................................... 54
A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah .............56
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................57
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................59
3. Pemerintah Provinsi................................................................61
4. Per Wilayah............................................................................62
B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah.................64
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...................................65
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ...........................66
3. Pemerintah Provinsi ...............................................................67
4. Per Wilayah............................................................................68
C. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk......................69
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................70
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................71
3. Pemerintah Provinsi................................................................72
4. Per Wilayah............................................................................73
D. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah.....74
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................75
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ..........................76
3. Pemerintah Provinsi................................................................77
4. Per Wilayah............................................................................78
BAB IV ANALISIS SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH............ 80
Daftar Isi
xi
A. Defisit......................................................................................80
1. Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota...................................81
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................82
3. Pemerintah Provinsi................................................................83
4. Per Wilayah............................................................................84
5. Daerah dengan Defisit yang tidak dapat ditutup oleh
pembiayaan...........................................................................85
B. Pembiayaan Daerah.................................................................88
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran...........................................91
C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman................95
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................96
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................97
3. Pemerintah Provinsi................................................................97
4. Per Wilayah............................................................................98
5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai
Pinjaman...............................................................................99
D. Dana Idle............................................................................... 101
BAB V REALISASI BELANJA DAERAH APBD 2014 SAMPAI DENGAN
BULAN MEI 2014................................................................................. 104
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 110
UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... 111
xii
Daftar Tabel
Tabel 2.2
Tabel 2.5
Tabel 2.6 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK
Tertinggi....................................................................................53
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Daftar Tabel
xiii
Daftar Grafik
xiv
xv
Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan
Kota...........................................................................................70
Grafik 3.13 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota
se-Provinsi .................................................................................72
Grafik 3.14 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi ...................73
Grafik 3.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah ...............................74
Grafik 3.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota.....................................................76
Grafik 3.17 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ...............................77
Grafik 3.18 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Provinsi ..................................................................78
Grafik 3.19 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
per Wilayah ...............................................................................79
Grafik 4.1 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan, Agregat Provinsi,
Kabupaten, dan Kota..................................................................81
Grafik 4.2 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten
dan Kota se-Provinsi ..................................................................82
Grafik 4.3 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi....83
Grafik 4.4 Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah............................84
Grafik 4.5 Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota...........................88
Grafik 4.6 Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan
Pembiayaan................................................................................88
Grafik 4.7 Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota................90
Grafik 4.8 Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan
Pembiayaan................................................................................90
Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan
Kota...........................................................................................92
xvi
Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota seProvinsi......................................................................................93
Grafik 4.11 Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi.............94
Grafik 4.12 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah ...................................95
Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi,
Kabupaten dan Kota...................................................................96
Grafik 4.14 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah
Kabupaten dan Kota se-Provinsi .................................................97
Grafik 4.15 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi...........98
Grafik 4.16 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah ....................................99
Grafik 4.17 Dana Pemda di Perbankan per Bulan (Bulan Desember).............102
Grafik 4.18 Dana Pemda di Perbankan Agregat Kab/kota/Provinsi................103
Grafik 5.1 Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)..............................106
Grafik 5.2 Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota)
Bulan Mei 2014 (triliun rupiah) ................................................107
Grafik 5.3 Realisasi Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten, dan
Kota Per Provinsi Bulan Mei 2014 (%)........................................108
Daftar Grafik
xvii
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka melaksanakan pelayanan publik di daerah, instrumen
utama yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah melalui APBD.
Pelaksanaan APBD dimaksud diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di
berbagai sektor. APBD yang direncanakan setiap tahun dengan mendapatkan
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada dasarnya
menunjukkan sumber-sumber pendapatan daerah, berapa besar alokasi
belanja untuk melaksanakan program/kegiatan, serta pembiayaan yang
muncul apabila terjadi surplus atau defisit. Pendapatan daerah bersumber
dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana transfer dari pemerintah
pusat, serta dari lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Perwujudan pelayanan publik di daerah berkorelasi erat dengan kebijakan
belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan
yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik
di daerah. Dalam pelaksanaan penganggaran dapat terjadi selisih antara
pendapatan dan belanja daerah (surplus/defisit), dan untuk selanjutnya
ditutup dengan kebijakan pembiayaan daerah. Apabila terjadi surplus, daerah
harus menganggarkan untuk pengeluaran pembiayaan tertentu, misalnya
untuk investasi, atau dapat juga dengan mengoptimalisasi dana tersebut guna
mendanai belanja kegiatan yang telah direncanakan. Sebaliknya apabila terjadi
defisit, daerah perlu mencari alternatif pembiayaan berupa pinjaman daerah,
Pendahuluan
Nasional
(Juta Rupiah)
Pendapatan
759.476.113
PAD
180.347.447
Dana Perimbangan
482.221.122
96.907.544
817.674.081
Uraian
Nasional
(Juta Rupiah)
182.522.886
Belanja Modal
213.669.585
Belanja Pegawai
326.736.914
Belanja Lain-lain
Surplus/defisit
94.744.696
(58.197.968)
Pembiayaan Netto
59.197.160
Penerimaan Pembiayaan
74.617.064
SiLPA TA sebelumnya
70.686.810
579.179
65.621
2.192.461
1.092.993
15.419.903
582.866
12.136.858
2.296.522
220.896
15.985
166.777
Dari Tabel 1.1. di atas, komposisi Pendapatan Daerah dalam APBD 2014
terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah. Sementara itu, besarnya jumlah dana dan
persentase dari masing-masing komposisi Pendapatan Daerah terhadap total
dapat dilihat pada Grafik 1.1 di bawah ini. Dari Grafik 1.1 tersebut dapat
dilihat bahwa Dana Perimbangan yang bersumber transfer dari pusat masih
mendominasi sumber Pendapatan Daerah, yaitu mencapai sebesar Rp482,22
triliun (63,49%). Sementara itu PAD dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang
Sah masing-masing hanya mencapai sebesar Rp180,35 triliun (23,75%) dan
sebesar Rp96,91 triliun (12,76%).
Pendahuluan
Grafik 1.1
Komposisi Pendapatan Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
96.907.544
12,76%
180.347.447
23,75%
PAD
Dana Perimbangan
482.221.122
63,49%
Grafik 1.2
Komposisi Belanja Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
131.995.827
15,44%
182.522.886
21,35%
diolah)
213.669.585
24,99%
Belanja Modal
Belanja Pegawai
Belanja Lain-lain
Grafik 1.2
Komposisi Belanja DaerahAPBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
Sumber: APBD 2014 (data diolah)
Pembiayaan
59.197.160
Penerimaan Pembiayaan
74.617.063
Pengeluaran Pembiayaan
(15.419.903)
1. Pendapatan Daerah
Potret rasio Pendapatan Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun
2014 pada kabupaten, kota, dan provinsi di beberapa wilayah secara agregat
menunjukkan fakta sebagai berikut:
Pendahuluan
Grafik 1.3
Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah
80%
70%
60%
Persentase
50%
40%
30%
20%
10%
0%
PAD/Total Pendapatan
Dana Perimbangan/Total
Pendapatan
Sumatera
15,66%
71,43%
12,91%
Jawa-Bali
37,36%
50,19%
12,45%
Kalimantan
18,83%
73,51%
7,66%
Sulawesi
14,14%
74,55%
11,31%
NT-Maluku-Papua
7,08%
73,14%
19,78%
Dari Grafik 1.3 di atas, dapat dilihat bahwa daerah yang mempunyai rasio
PAD dibandingkan dengan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah
daerah-daerah di wilayah Jawa dan Bali, yaitu mencapai 37,36%. Sementara
itu daerah-daerah yang mempunyai rasio terendah berada di wilayah pulau
Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, yaitu hanya 7,08%. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan
Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Dalam kaitannya dengan rasio Dana Perimbangan apabila dibandingkan
dengan total Pendapatan Daerah, dapat dilihat bahwa secara agregat daerahdaerah di wilayah pulau Jawa dan Bali hanya memiliki ketergantungan
terhadap Dana Perimbangan paling rendah, yaitu 50,19%. Adapun wilayah
yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap Dana Perimbangan
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
adalah di wilayah Sulawesi yang mencapai 74,55% persen. Sementara itu
untuk rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang sah terhadap total Pendapatan
Daerah dapat disampaikan bahwa wilayah di pulau Nusa Tenggara, Maluku,
dan Papua masih yang tertinggi hingga mencapai 19,78%, sedangkan
wilayah Sumatera memiliki rasio sebesar 12,91%. Untuk wilayah Kalimantan
memiliki rasio yang paling rendah, yaitu sebesar 7,66%. Salah satu faktor
penyebab dua wilayah yaitu pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua serta
pulau Sumatera memiliki rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah yang
relatif tinggi terutama adanya dana Otonomi Khusus di wilayah tersebut, yaitu
di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh.
2. Belanja Daerah
Potret rasio Belanja Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun
2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara agregat
menunjukkan fakta sebagai berikut:
Grafik 1.4
Rasio Belanja Daerah APBD 2014 Per Wilayah
50%
Persentase
40%
30%
20%
10%
0%
Sumatera
41,06%
26,56%
22,73%
Jawa-Bali
41,10%
23,86%
21,97%
Kalimantan
32,29%
35,19%
22,94%
Sulawesi
47,52%
22,77%
21,39%
NT-Maluku-Papua
35,75%
25,60%
22,40%
Pendahuluan
Dari Grafik 1.4. dapat dilihat bahwa Belanja Pegawai masih menempati
porsi terbesar dalam Belanja Daerah APBD Tahun 2014, yang selanjutnya
diikuti oleh Belanja Modal, serta Belanja Barang dan Jasa.
Di wilayah Sulawesi, Belanja Pegawai mencapai 47,52%, atau terbesar
apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, sedangkan porsi Belanja
Pegawai di wilayah Kalimantan menempati posisi yang terendah, yaitu
32,29%. Sementara itu, apabila dilihat dari rasio jumlah pegawai terhadap
total jumlah penduduk di wilayah Sulawesi dan wilayah Kalimantan
secara berturut-turut adalah 1:83 dan 1:94. Hal ini berarti bahwa 1 (satu)
orang PNSD di wilayah Sulawesi memberikan layanan publik kepada 83
orang penduduk. Sedangkan di wilayah Kalimantan 1 (satu) orang PNSD
memberikan layanan publik kepada 94 orang penduduk.
Sebagai perbandingan, rasio PNSD dan penduduk di wilayah Jawa dan
Bali adalah 1:196. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah PNSD di wilayah
Jawa masih sedikit karena total penduduknya sangat banyak, sehingga
rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja juga besar, yaitu 41,10%.
Berbagai pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam akun Belanja Modal
di wilayah Jawa dan Bali sangat kecil, yaitu hanya 23,86%. Hal ini dapat
memunculkan 2 (dua) pendapat, yaitu kebutuhan infrastruktur di wilayah
Jawa dan Bali relatif rendah sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak
perlu menganggarkan terlalu banyak Belanja Modal, atau atau memang APBD
di semua daerah di wilayah Jawa dan Bali dirasakan cukup berat untuk
diarahkan dalam pemberian pelayanan publik yang dicerminkan dari besarnya
jumlah pegawai dan rasio Belanja Pegawai per Total Belanjanya yang juga
besar.
Untuk daerah-daerah di wilayah Kalimantan menunjukkan perkembangan
pembangunan infrastruktur yang paling signifikan. Hal ini tercermin dari rasio
Belanja Modalnya yang mencapai 35,19%, demikian pula rasio Belanja
Barang dan Jasanya yang juga relatif tinggi yaitu 22,94%.
NT-Maluku-Papua
Sulawesi
Kalimantan
Jawa-Bali
Sumatera
-25%
Pinjaman/Pendapatan
10%
15%
20%
25%
Sulawesi
NT-Maluku-Papua
0,89%
0,43%
SiLPA/Pendapatan
9,02%
8,85%
21,48%
3,78%
4,56%
Defisit/Pendapatan
-8,18%
-5,99%
-20,52%
-3,83%
-3,79%
Besarnya defisit APBD Tahun 2014 yang paling tinggi terjadi di wilayah
Kalimantan, yaitu mencapai 20,52%. Untuk menutup defisit tersebut,
seluruh daerah di wilayah Kalimantan bisa menggunakan SiLPA tahun lalu
dikarenakan persentase SiLPA sudah melampaui defisit tersebut. Namun
demikian, bila dilihat dari rasio pinjaman daerah sekitar 0,16%, maka bisa
ditengarai bahwa tidak seluruh daerah itu mempunyai SiLPA yang besar
untuk menutup defisit anggarannya. Hal ini berarti bahwa bisa juga sebagian
Pendahuluan
10
retribusi daerah di mana pada tahun 2010 hanya sebesar Rp8,03 triliun lalu
mengalami peningkatan terus setiap tahunnya hingga di tahun 2014 menjadi
sebesar Rp13,21 triliun atau meningkat sebesar 64,51%.
Milyar Rupiah
800.000
600.000
400.000
200.000
0
(200.000)
Pendapatan
2010
2011
2012
2013
2014
386.338
459.893
551.946
653.512
759.476
Belanja
426.857
495.274
592.660
707.890
817.674
Surplus/defisit
(40.519)
(35.381)
(40.714)
(54.378)
(58.198)
Pembiayaan Netto
40.791
36.119
41.120
54.814
59.197
Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 20102014, pendapatan daerah setiap tahunnya meningkat rata-rata sebesar
18,42%. Pendapatan Daerah di tahun 2014 menjadi 759,48 triliun, atau
meningkat sebesar Rp105,97 triliun (16,21%) dari tahun sebelumnya
Rp653,51 triliun. Dalam periode yang sama, trend anggaran belanja daerah
Pendahuluan
11
netto
trend defisit
yang dianggarkan
cenderung
fluktuatif.
Apabila
dalam tahun
2010-2011 mengalami
jugaSelanjutnya,
relatif sama
polanya
setiapdaerah
tahun
dengan
trend
defisit.
Sementara
itu
penurunan,
maka
setelah
itu
hingga
tahun
2014
terus
mengalami
peningkatan,
dimana
defisit
anggaran
tahun
2014
meningkat
persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun
7,02%.
Trend peningkatan pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Sementara itu
sebelumnya.
persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.7
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TAGrafik
2010
1.7 2014 (dalam miliar rupiah)
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 2014 (dalam miliar rupiah)
500.000
Milyar Rupiah
400.000
300.000
200.000
100.000
2010
2011
2012
2013
2014
PAD
71.852
90.393
112.745
140.328
180.347
Dana Perimbangan
292.281
327.368
380.984
433.213
482.221
22.205
42.132
58.218
79.971
96.908
Sumber:
Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada Grafik 1.7 diatas. Secara nasional porsi
Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila dibandingkan dengan
12
laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka pada
Pendahuluan
13
Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara
nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21triliun, maka dalam kurun waktu 5 tahun
hingga tahun 2014 terdapat peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah mencapai
Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.8
Grafik 1.8
Rata-rata Pertumbuhan
(2010
Pendapatan
2014) Daerah
Pendapatan Daerah
Rata-rata Pertumbuhan (2010 2014)
per Agregat
Provinsi, Kabupaten
dan Kota
per Agregat
Provinsi,
Kabupaten
dan Kota
30%
PAD
Dana Perimbangan
25%
20%
15%
10%
0%
Bengkulu
Papua
Malut
Sultra
Kalteng
Maluku
Sumbar
Babel
Sumsel
Aceh
Riau
Kep. Riau
Kaltim
Jambi
Papua Barat
Sulsel
NTB
DI Yogyakarta
Sulbar
Jawa Tengah
NTT
Jawa Timur
Gorontalo
Sulteng
Sumut
Bali
Sulut
Kalsel
Lampung
Kalbar
Jawa Barat
DKI Jakarta
Banten
5%
14
dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu
diikuti oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan
Daerah yang terendah adalah di Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%), dan Provinsi
Maluku (11,98%).
Bengkulu
Apabila
dilihatUtara
dari rata-rata
pertumbuhan
PAD 6,83%.
tahun 2010-2014, Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata
Maluku
dengan
capaian
PADnya paling tinggi, yaitu mencapai26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 25,74%, dan Provinsi
Kalimantan Timur.
Grafik 1.9
Trend
miliar rupiah)
350.000
300.000
Milyar Rupiah
250.000
200.000
150.000
100.000
50.000
0
2010
2011
2012
2013
2014
Belanja Pegawai
198.562
229.081
261.358
296.818
326.737
82.007
104.116
122.422
148.171
182.523
Belanja Modal
96.179
113.523
137.525
175.808
213.670
Belanja Lain-lain
50.110
48.554
71.355
87.093
94.745
Sumber:
Data
APBD
Konsolidasi
Sumber: Data
APBD Konsolidasi
2010
- 2014 (Diolah)
Berdasarkan Grafik 1.9 maka dapat dilihat porsi tiap jenis Belanja Daerah
setiap tahun dan trend kenaikan/penurunannya antar tahun. Apabila dicermati
Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara nasional cenderung
Pendahuluan
15
terus meningkat dari tahun 2010 hingga tahun 2014. Total Belanja Pegawai
secara nasional tahun 2010 sebesar Rp198,56 miliar, meningkat menjadi
Rp326,74 miliar di tahun 2014, dengan rata-rata peningkatan Belanja
Pegawai mencapai 13,28%. Namun apabila dilihat dari persentasenya,
terdapat penurunan jumlah belanja pegawai sejak tahun 2011 hingga tahun
2014, secara berturut-turut dari yaitu 15,37%, 14,09%, 13,57%, dan
10,08%.
Sementara itu, besarnya Belanja Barang dan Jasa juga terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Jika pada tahun 2010 total Belanja Barang
dan Jasa secara nasional di kisaran Rp82,01 miliar, maka pada tahun 2014
meningkat menjadi Rp182,52 miliar rupiah. Peningkatan Belanja Barang dan
Jasa secara rata-rata dari tahun 2010 hingga 2014 adalah sebesar 22,19%.
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, maka peningkatan
Belanja Barang dan Jasa secara agregat provinsi, kabupaten/kota cenderung
lebih fluktuatif. Jika pada tahun 2011 meningkat 26,96% dari tahun
sebelumnya, namun pada tahun 2012 menurun 17,58%, dan meningkat
kembali pada tahun 2013 sebesar 21,03%. Pada tahun 2014, persentase
peningkatan porsi Belanja Barang dan Jasa juga meningkat 23,18%, yang
berarti berada di atas rata-rata peningkatan dalam 5 tahun terakhir sebesar
22,19%.
Hal yang sama juga terjadi pada pos Belanja Modal. Dapat kita lihat,
dari trend Belanja Modal tahun 2010 hingga 2014. Jika Belanja Modal
pada pada tahun 2010 mencapai Rp96,18 miliar, maka pada tahun 2014
sudah mencapai Rp213,67 miliar, yang berarti secara rata-rata mengalami
peningkatan 22,14%. Namun demikian, apabila dilihat dari persentasenya,
peningkatan Belanja Modal lebih fluktuatif. Jika total Belanja Modal di tahun
2011 meningkat 18,03%, dan meningkat lagi tahun 2013 sebesar 27,84%,
namun pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 21,54%.
Dalam periode yang sama, Belanja Lain-Lain juga cenderung fluktuatif.
Pada tahun 2010 Belanja Lain-Lain secara total mencapai Rp50,11 miliar, dan
16
Belanja Modal
30%
25%
20%
15%
10%
0%
Kaltim
Kalteng
Babel
Sumbar
Maluku
Bengkulu
Malut
Sultra
Sulut
Aceh
Papua
Kep. Riau
NTT
Gorontalo
NTB
Kalbar
Kalsel
Sulteng
Sulsel
Sumut
Sulbar
Papua Barat
Jambi
Riau
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Bali
Sumsel
Lampung
Banten
DKI Jakarta
5%
komponen utamanya yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2010 2014. Secara
Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi
Bali (23,59%), dan Provinsi Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang
terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara
Pendahuluan
17
(13,42%).
Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu
diikuti oleh Provinsi DI Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Belanja
18
Tabel 1.3
Rata-rata pertumbuhan (2010 2014) SiLPA
Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
No
Se-Provinsi
SiLPA (%)
No
Se-Provinsi
SiLPA (%)
-20,47%
18
5,56%
-20,38%
19
5,68%
Prov. Lampung
-18,65%
20
Prov. Bengkulu
8,20%
-15,74%
21
9,91%
-15,48%
22
10,57%
Prov. Papua
-9,13%
23
10,66%
Prov. Aceh
-9,09%
24
11,68%
-7,34%
25
12,61%
-5,62%
26
13,91%
10
-4,53%
27
Prov. Jambi
14,53%
11
-4,37%
28
Prov. Maluku
15,35%
12
-3,54%
29
Prov. Bali
15,88%
13
-0,13%
30
Prov. Banten
21,00%
14
Prov. DI Yogyakarta
1,80%
31
Prov. Riau
22,78%
15
1,93%
32
28,99%
16
Prov. Gorontalo
3,29%
33
41,73%
17
5,37%
34
n/a
19
20
BAB II
ANALISIS PENDAPATAN DAERAH
21
Pajak Daerah tahun 2014 untuk seluruh pemerintah daerah mencapai sebesar Rp132,9 triliun, atau 73,7% dari total PAD.
Peningkatan PAD ini didorong antara lain oleh adanya kebijakan penguatan kewenangan perpajakan daerah, pertumbuhan
ekonomi, upaya penggalian PAD oleh daerah, dan jumlah daerah.
UU 34/2000
UU 28/2009
131,8
140,3
109,2
2014
2013
2012
2011
2010
67,6
2009
2004
64,7
2008
2003
38,1
52,2
2007
26,7
2006
26
44,7
2005
21,5
2002
5,5
15,2
2001
81,2
7,1
Sumber:
Sumber:
DJPK, DJPK,
(diolah)
180,3
Desentralisasi Fiskal
2000
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
1999/2000
Rp Triliun
Grafik
2.1
Grafik 2.1
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
(diolah)
22
Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan dan sesuai dengan prinsip money follows function,
pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Seiring dengan
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN, jumlah dana yang ditransfer ke daerah selalu meningkat setiap tahunnya,
terakhir pada tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp592,5 triliun. Dana Transfer ke Daerah dalam APBD diklasifikasikan kedalam
Dana Perimbangan untuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Lain-Lain
700
292,4 308,6
344,7
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
98,5 116,9
2006
33,9
2000
82,4
22,9
1999/2000
100
226,2
253,3
130 149,58
2005
200
2004
300
2003
400
478,8
411,3
2002
500
592,5
529,4
2001
Rp triliun
600
Sumber: DJPK,DJPK,
(diolah) (diolah)
Sumber:
Jika dilihat dari proporsi antara besaran PAD dan Transfer ke Daerah, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah
dilihat dari
antarapusat,
besaran
Transfer
ke potensi
Daerah,
maka
relatif Jika
masih tergantung
kepadaproporsi
dana dari pemerintah
kecuali PAD
beberapadan
daerah
yang memiliki
PAD yang
besar
seperti DKIdikatakan
Jakarta. Data APBD
Tahun 2014
menunjukkan rata-rata
secara
agregat komposisi
transfer dalamkepada
pendapatan
dapat
bahwa
pemerintah
daerah
relatif
masih dana
tergantung
daerah mencapai
81,6%. Fenomena ini
perlu dikaji,
karena jika
dilihat berdasarkan
data yang
ada, potensi
ekonomi potensi
yang dimiliki
dana
dari pemerintah
pusat,
kecuali
beberapa
daerah
yang
memiliki
PAD yang besar seperti DKI Jakarta. Data APBD Tahun 2014 menunjukkan
rata-rata secara agregat komposisi dana transfer dalam pendapatan daerah
mencapai 81,6%. Fenomena ini perlu dikaji, karena jika dilihat berdasarkan
data yang ada, potensi ekonomi yang dimiliki daerah untuk mengembangkan
PAD masih cukup besar, namun potensi-potensi tersebut belum dapat
dimanfaatkan dengan baik.
Dalam tulisan ini akan dicoba untuk memberikan gambaran kondisi
pendapatan daerah yang tercermin dalam APBD. Beberapa indikator yang
akan digunakan dalam analisis ini yaitu rasio pajak daerah, rasio pajak per
kapita, rasio ruang fiskal daerah, dan rasio ketergantungan daerah. Setiap
23
24
25
posisi Bali sebagai daerah tujuan wisata, sehingga memiliki basis pajak yang cukup besar terutama yang terkait dengan hotel,
restoran dan sarana hiburan lainnya. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Riau dan
Provinsi Papua Barat, yaitu masing-masing hanya 0,5%.
Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak daerah memang terbatas (closed list). Sumber
berlaku pajak
saatdaerah
ini yang
cenderung
bias
ke daerah
yang
urbanisasinya
tinggi
penerimaan
berlaku saat ini
cenderung
bias ke daerah
yangtingkat
tingkat urbanisasinya
tinggi (urban-biased),
(urban-biased),
seperti
Pajak
Hotel,
Pajak
seperti
Pajak Hotel, Pajak Restoran,
dan Pajak
Kendaraan
Bermotor.
Bermotor.
Grafik
2.3
Grafik 2.3
Rasio Pajak Agregat
Provinsi,Kabupaten,
Kabupaten, dan Kota dan Kota
Rasio Pajak Agregat
Provinsi,
26
Berdasarkan data rasio pajak di seluruh provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara
pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU
nasional adalah1,9%. Provinsi yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional sebanyak 12 provinsi sebagaimana terlihat
28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif kepada penguatan perpajakan
pada grafik diatas.
daerah. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Bali
menunjukkan
angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 3,4%. Sebagai daerah
2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
tujuan wisata, sumber penerimaan pajak daerah di Bali berasal dari sektor
Grafik 2.4 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi.
pariwisata
Pajak
Hotel, kabupaten
Pajak Restoran,
dan sebesar
Pajak0,53%
Hiburan,
Rata-rata
pajak yangseperti
bisa dipungut
oleh pemerintah
dan kota di Indonesia
dari PDRB sehingga
non migasnya.
potensi
penerimaan
pajaknya
menjadi
lebih
tinggi
dibanding
daerah
lain.
Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,37%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perluasan objek
pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU 28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif
Grafik 2.4
Grafik 2.4
Rasio Pajak Pemerintah
Kabupaten dan KotaSe-Provinsi *)
Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan KotaSe-Provinsi *)
Sumber:
APBD 2014
(Diolah),2014
Tidak termasuk
DKI Jakarta,Tidak
*)termasuk
Provinsi Kalimantan
Sumber:
APBD
(Diolah),
termasuk
DKIUtara
Jakarta
27
3. Pemerintah Provinsi
3.
Pemerintah Provinsi
Grafik
Grafik 2.5
2.5
Rasio Pajak Pemerintah Provinsi
Rasio Pajak Pemerintah Provinsi
Grafik 2.5
memperlihatkan
rata-rata Utara
pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi sebesar 1,4% dari PDRB non
*)termasuk
Provinsi
Kalimantan
migas. Untuk seluruh pemerintah provinsi di Indonesia, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu
2.5 memperlihatkan
rata-rata
pajak
yanguntuk
dipungut
oleh pemerintah
sebesar Grafik
3,1%. Tingginya
rasio pajak provinsi Kalimantan
Selatan
ini menarik
dikaji, mengingat
rasio pajak Provinsi
Kalimantan
tahun 2014
mampu melampaui
Provinsi DKI
Jakarta.
provinsiSelatan
sebesar
1,4%
dari PDRB
non
migas.
Per Wilayah
Berdasarkan pembagian 5 wilayah di Indonesia, secara rata-rata rasio pajak per wilayah sebesar 1,97%. Dengan
Grafik 2.6
Rasio Pajak per Wilayah*)
28
4. Per Wilayah
Berdasarkan pembagian 5 wilayah di Indonesia, secara rata-rata rasio
pajak per wilayah sebesar 1,97%. Dengan mengeluarkan Provinsi DKI
Jakarta dalam perhitungan, rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali merupakan
wilayah yang rasio pajaknya paling tinggi dibandingkan 4 wilayah lainnya,
yaitu sebesar 2,6%, sedangkan wilayah dengan rasio pajak terendah sebesar
1,37% terdapat di wilayah Sumatera.
Grafik 2.6
Rasio Pajak per Wilayah*)
(Diolah)
terlihat bias. Untuk tujuan tertentu (misalnya statistik yang lebih baik), pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan.
Pajak per kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita, sehingga diperoleh pajak/PDRB x
PDRB/personal=pajak / personal.
1.
29
Menurut Gregory N. Mankiw, rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang
paling umum digunakan. Namun demikian, semakin tinggi tingkat persentase
pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran
tersebut dapat terlihat bias. Untuk tujuan tertentu (misalnya statistik yang
lebih baik), pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan. Pajak per
kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita,
sehingga diperoleh pajak/PDRB x PDRB/personal=pajak / personal.
30
Bali, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten.
Grafik 2.7
Grafik 2.7
Pajak perAgregat
Kapita Agregat
Provinsi, Kabupaten
dan Kota
Rasio Pajak perRasio
Kapita
Provinsi,
Kabupaten
dan Kota
Sumber:
APBD 2014
(Diolah) 2014
Sumber:
APBD
2.
(Diolah)
2. Rasio
Pemerintah
Kabupaten
dan
Kota
pajak per kapita pemerintah
kabupaten dan
pemerintah
kota se-Provinsi
dalam satu provinsi dapat dilihat pada grafik 2.8.
Rasio tersebut menunjukkan nilai total pajak daerah seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi
Rasio pajak per kapita pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam
satu provinsi dapat dilihat pada grafik 2.8. Rasio tersebut menunjukkan nilai
Rasio pajak per kapita tertinggi terdapat di Provinsi Bali, yaitu sebesar Rp683.557,00. Sementara itu, Provinsi Nusa
total pajak daerah seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam
Tenggara Timur memiliki rasio terendah yaitu sebesar Rp37.548,00. Besaran nilai rasio tergantung pada basis pajak yang
satu provinsi dibagi dengan total seluruh penduduk di provinsi tersebut. Dalam
dimiliki masing-masing daerah, serta jumlah penduduk di daerah tersebut.
perhitungan rasio ini, Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan.
dibagi dengan total seluruh penduduk di provinsi tersebut. Dalam perhitungan rasio ini, Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan.
2.8
Rasio pajak per kapita tertinggiGrafikterdapat
di Provinsi Bali, yaitu sebesar
Rp683.557,00. Sementara itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki rasio
terendah yaitu sebesar Rp37.548,00. Besaran nilai rasio tergantung pada
basis pajak yang dimiliki masing-masing daerah, serta jumlah penduduk di
daerah tersebut.
31
Grafik 2.8
Tax perPemerintah
Kapita Pemerintah Kabupaten
Kabupaten dan kotadan
se-Provinsi
Rasio Tax per Rasio
Kapita
kota*) se-Provinsi *)
Sumber:
APBD 2014APBD
(Diolah),Tidak
termasuk
DKI Jakarta
Sumber:
2014
(Diolah)
3.
Pajak per kapita pada seluruh pemerintah provinsi sebagaimana pada grafik 2.9 menunjukkan bahwa Provinsi DKI
3. merupakan
Pemerintah
Jakarta
daerah yang Provinsi
memiliki pajak per kapita terbesar, sama dengan pajak per kapita pada agregat provinsi,
kabupatenPajak
dan kotaper
yaitu kapita
sebesar Rp3.189.570,00
per kapita.
Sementara ituprovinsi
dua provinsisebagaimana
yang memiliki rasiopada
per kapita
pada seluruh
pemerintah
terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp105.087,00, dan Provinsi Kalimantan Utara yang sampai tahun 2014
belum menganggarkan penerimaan dari pajak daerah, sehingga rasio pajak per kapita masih nol. Kondisi tersebut menunjukkan
32
Grafik 2.9
Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)
Sumber:
APBD
4.
2014 (Diolah)
Per Wilayah
4. Per
Wilayah
Grafik 2.10
memperlihatkan rasio pajak per kapita per wilayah, dengan rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan
yang mencapai
sebesar
Rp616.227
per kapita, dan rasio terendah
di berada wilayah
Nusa Tenggara,
dan Papua
sebesar
Grafik
2.10
memperlihatkan
rasio pajak
per kapita
per Maluku,
wilayah,
dengan
Rp224.888 per kapita. Sementara itu, rata-rata rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp423.495, dan hanya wilayah
33
Grafik 2.10
Rasio Tax per Kapita Per Wilayah*)
Sumber:
APBD 2014(Diolah),
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Sumber:
APBD 2014(Diolah),
C. Ruang
Fiskal
(Fiscal
Space)
dalam
mengalokasikan APBD
untuk membiayai
kegiatan yang
menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki
suatu daerah, maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
(Belanja Pegawai). Memperbesar ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus
Ruang
daerah
dengan
menghitung
total
Pendapatan
perekonomian
daerah.fiskal
Untuk itu,
Pemerintahdiperoleh
Daerah diharapkan
dapat membuat
kebijakan yang
mampu
menciptakan iklim
Daerah yang
dikurangi
dengan
pendapatan
hibah, anggaran
pendapatan
yang
perekonomian
kondusif. Selain
itu, efektifitas
dan efisiensi penggunaan
di daerah juga
dapatsudah
mendukung
ditentukan
penggunaannya
terciptanya
ruang fiskal.
34
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar
anggaran digunakan untuk belanja rutin (Belanja Pegawai). Memperbesar
ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi
stimulus perekonomian daerah. Untuk itu, Pemerintah Daerah diharapkan
dapat membuat kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian
yang kondusif. Selain itu, efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran di
daerah juga dapat mendukung terciptanya ruang fiskal.
35
yaitu 31,24% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil karena pendapatan tersebut telah
dibatasi penggunaannya. Dengan demikian, Provinsi Aceh harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan
Belanja Daerah yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Grafik
2.11
Grafik
2.11
Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Ruang Fiskal
60%
Rata2
50%
40%
30%
20%
0%
Prov. Aceh
Prov. Jawa Tengah
Prov. Sumatera Barat
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Lampung
Prov. Bengkulu
Prov. Gorontalo
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Timur
Prov. Maluku
Prov. Papua
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Bali
Prov. Jawa Barat
Prov. Papua Barat
Prov. Jambi
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Maluku Utara
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Bangka Belitung
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Banten
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Riau
Prov. Kalimantan Utara
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Kalimantan Timur
Prov. DKI Jakarta
10%
Secara agregat, rata-rata ruang fiskal seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebesar 39,31%. Dari rata-rata tersebut,
2.
otonom baru, besarnya ruang fiskal yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan
Utara diikuti dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang mencapai
71% dari total anggaran belanja tahun 2014.
Kabupaten dan Kota yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
dan Provinsi Jawa Tengah memiliki ruang fiskal terendah, yaitu sebesar
21,19%. Ruang fiskal kedua provinsi tersebut rendah karena porsi Belanja
Pegawai kabupaten/kota di kedua provinsi tersebut mencapai lebih dari
55% dari total pendapatan. Sementara itu, komposisi Pendapatan Daerah
pemerintah kabupaten dan kota di kedua provinsi tersebut masih didominasi
oleh transfer dari pemerintah pusat terutama dari DAU yang mencapai lebih
dari 60% dari total Pendapatan Daerah. Persentase PAD terhadap total
Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah hanya sebesar 12,06%, dimana
pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 4,39% dari total
Pendapatan Daerah. Kondisi yang sama juga dialami oleh Provinsi NTB yang
memiliki persentase PAD hanya sebesar 8,74% terhadap total pendapatan,
dimana pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 2,68% terhadap
total pendapatan. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pemerintah
daerah di Provinsi NTB dan Jawa Tengah belum mengoptimalkan pemungutan
pajak dari basis pajak yang dimilikinya.
37
50%
0%
3.
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
60%
Prov. Aceh
Prov. Papua
Prov. Jawa Tengah
Prov. Papua Barat
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Bengkulu
Prov. Maluku
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Gorontalo
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Maluku Utara
Prov. Bangka Belitung
Prov. Sumatera Barat
Prov. Jambi
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Lampung
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Bali
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Timur
Prov. Jawa Barat
Prov. Riau
Prov. DKI Jakarta
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Banten
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Kalimantan Utara
Grafik
2.12
Grafik
2.12
Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
Ruang Fiskal
Rata2
40%
30%
20%
10%
3. Pemerintah Provinsi
Pemerintah Provinsi
Grafik 2.13
Grafik
2.13
Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi
Rata2
provinsi memiliki ruang fiskal sebesar 60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang memiliki ruang
menggambarkan
ruang fiskal
pada2014
masing-masing pemerintah provinsi. Secara rata-rata pemerintah
Deskripsi
dan Analisis
APBD
38Grafik 2.13
fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki ruang fiskal di atas rata-rata nasional.
39
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah.
Sementara itu ,Provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal terendah yaitu sebesar 20,22%. Hal ini disebabkan karena
kontribusi terbesar pada Pendapatan Daerah Provinsi Aceh adalah pendapatan dari dana otonomi khusus yang sudah dibatasi
penggunaannya.
4. Per Wilayah
4.
PerWilayah
2.14
GrafikGrafik
2.14
Ruang Fiskal Per Wilayah*)
Ruang Fiskal Per Wilayah*)
50%
Ruang Fiskal
Rata2
46,49%
40%
35,56%
36,30%
Papua-Maluku-Nusa
Tenggara
Sumatera
30%
20%
27,29%
30,16%
10%
0%
Sulawesi
Jawa-Bali
Kalimantan
Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar daerah di wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan belanja pemerintah dalam
40
41
memiliki ketergantungan daerah yang paling rendah dibandingkan provinsiprovinsi yang lain. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat
ketergantungan yang paling tinggi, baik dari sisi PAD yang dihasilkan maupun
dari sisi dana transfer yang diterima dari pusat.
Grafik 2.15
Ketergantungan
Rasio Rasio
Ketergantungan
AgregatAgregat
Provinsi,Prov/Kab/Kota
Kabupaten dan Kota
120%
PAD/Pdptn
Transfer/Pdptn
Rata2 PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
100%
80%
60%
40%
0%
20%
Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD
42
0%
Prov. Papua
Prov. Maluku
Prov. Papua Barat
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Bengkulu
Prov. Kalimantan Utara
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Aceh
Prov. Jambi
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Maluku Utara
Prov. Lampung
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Sumatera Barat
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Riau
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Gorontalo
Prov. Bangka Belitung
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Tengah
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Jawa Timur
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Jawa Barat
Prov. Banten
Prov. Bali
20%
PAD/Pdptn
Transfer/Pdptn
Rata2 PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
*) Tidak
termasuk
DKI
Jakarta
Sumber:
APBD 2013
(Diolah), *) Tidak
termasuk
DKI Jakarta
Sementara itu, rasio dana transfer terhadap pendapatan yang tertinggi terdapat di pemerintah kabupaten dan
Sementara
dana
terhadap
pendapatan
tertinggi
pemerintah
kota di Provinsiitu,
Papuarasio
dan Provinsi
Papuatransfer
Barat yang mencapai
sebesar
97,4%, sedangkanyang
yang terendah
adalah
terdapat
di pemerintah
dan
pemerintah
kota
pemerintah
kabupaten
dan pemerintah kotakabupaten
di Provinsi Bali yang
mencapai
sebesar 68,4%.
di Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat yang mencapai sebesar 97,4%, sedangkan yang
adalah
3.terendah
Pemerintah
Provinsi pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali
yangUntuk
mencapai
sebesar
68,4%.
tingkat pemerintah
provinsi,
rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio
dana transfer terhadap pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18 pemerintah provinsi yang memiliki
rasio PAD terhadap pendapatan di atas rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana transfer
43
terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat
bergantung bantuan dana dari pihak eksternal.
Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%,
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat pemerintah provinsi, rata-rata rasio PAD terhadap
pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio dana transfer terhadap
pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18
pemerintah provinsi yang memiliki rasio PAD terhadap pendapatan di atas
rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana
transfer terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini
menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat bergantung bantuan
dana dari pihak eksternal.
Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang
paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%, sedangkan Pemerintah Provinsi Papua
Barat memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 3,87%. Sebaliknya, rasio
dana transfer terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di Provinsi
Papua Barat sebesar 96,13%, sedangkan yang terendah terdapat di Provinsi
DKI Jakarta, yaitu sebesar 31,15%.
Grafik 2.17
Ketergantungan
Provinsi
RasioRasio
Ketergantungan
Pemerintah
Provinsi
120%
100%
80%
60%
40%
0%
20%
PAD/Pdptn
Transfer/Pdptn
Rata2 PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
4.
Per Wilayah
44
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
ketergantungan daerah pada 5 kelompok wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama.
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
Transfer/Pdptn
Rata2 PAD/Pdptn
Prov.
Pr
Prov
Prov. N
Pr
Prov.
Prov
Pr
Prov.
Prov.
Pro
Prov. Nu
Prov.
Pro
Pr
Pr
Prov
PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
4. Per Wilayah
4.
Per Wilayah
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan
Per Wilayah*)Per Wilayah
Rasio Ketergantungan
Agregat Prov/Kab/Kota
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Papua-Maluku-Nusa
Tenggara
PAD/Pdptn
Kalimantan
TRANSFER/Pdptn
Sulawesi
Sumatera
RATA2 PAD/Pdptn
Jawa-Bali
RATA2 TRANSFER/Pdptn
45
46
47
belanja yang telah direncanakan, sehingga kegiatan yang didanai dari APBD
dapat mengalami keterlambatan, atau bahkan tidak dapat diselesaikan.
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
(354,938,727,913)
-92.78%
31 Dec 2013
(5,187,440,704)
-91.72%
11 Dec 2013
(8,489,243,739)
-80.07%
24 Dec 2013
Kab. Tambrauw
(26,989,158,311)
-77.34%
27 Dec 2013
Kab. Landak
(28,145,062,644)
-72.69%
30 Dec 2013
48
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kab. Mamuju
28.146.732.024
101,05%
31 Des 2013
27.128.958.019
101,67%
30 Des 2013
19.178.771.472
101,72%
30.187.140.867
109,61%
03 Mar 2014
121.884.664.177
202,16%
27 Des 2013
49
50
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
(50.961.070.569)
-59,41%
20 Mar 2014
(111.548.944.000)
-26,97%
24 Des 2013
(60.442.761.000)
-15,09%
20 Jan 2014
Daerah
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kab. Balangan
(31.589.190.000)
-9,90%
17 Des 2013
(42.832.065.000)
-7,78%
16 Des 2013
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kota Dumai
17.250.322.831
4,79%
17 Apr 2014
96.611.339.010
10,48%
27 Sep 2013
60.579.834.000
17,81%
05 Feb 2014
111.548.944.000
36,93%
04 Feb 2014
140.679.186.419
40,54%
04 Apr 2014
51
DAK ditetapkan lebih awal dibandingkan alokasi DAU yaitu pada tanggal 13
Desember 2013.
Sementara itu, alokasi DAK pada APBD mencapai sebesar Rp33 triliun
dan anggaran DAK pada APBD 539 daerah berjumlah Rp32,83 triliun.
Dibandingkan dengan total DAK yang ditetapkan pemerintah pusat, deviasi
yang terjadi tidak signifikan, yaitu hanya -0,49%. Jika dibandingkan per
daerah, pola yang sama dengan DAU terjadi pada DAK, yaitu 490 daerah
mengalokasikan sama besar dengan DAK yang ditetapkan pemerintah pusat,
32 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi dalam rentang +1%, serta
17 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi diatas rentang +1%.
Dari tabel 2.8 di atas dapat dilihat bahwa masih terdapat daerah yang
tidak menganggarkan DAK pada APBD sehingga mengakibatkan deviasi
daerah tersebut menjadi sebesar 100%. Kab Bekasi menjadi daerah yang
memiliki deviasi dengan nominal terbesar sekaligus persentase terbesar.
Lima daerah yang memiliki persentase deviasi negatif tertinggi sebagaimana
terlihat pada tabel di bawah ini disebabkan karena daerah tersebut tidak
menganggarkan DAK pada APBD-nya. Jika dilihat dari penetapan APBD
kelima daerah tersebut, seharusnya informasi DAK yang mereka peroleh
sudah dapat ditampung dalam APBD.
Tabel 2.5
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK Tertinggi
Daerah
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kab. Bekasi
(111.171.910.000)
-100,00%
24 Jan 2014
Kab. Mappi
(97.101.660.000)
-100,00%
06 Jun 2014
Kota Tarakan
(3.786.510.000)
-100,00%
31 Des 2013
Kab. Bengkalis
(24.753.430.096)
-69,26%
20 Mar 2014
(29.189.940.000)
-53,87%
27 Des 2013
52
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kota Singkawang
19.657.451.132
41,07%
23 Mei 2014
22.186.410.000
51,79%
27 Sep 2013
10.076.807.960
95,22%
22 Mei 2014
2.075.221.402
115,14%
10 Apr 2014
17.963.795.695
923,69%
02 Apr 2014
53
BAB III
ANALISIS BELANJA DAERAH
54
55
56
57
dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut
hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja di luar belanja pegawai.Dengan kata lain, kondisi
tersebut akan menyebabkan semakin terbatasnya sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai program dan
kegiatan yang dapat mendukung pemenuhan layanan publik.
Grafik
Grafik 3.13.1
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Rasio Belanja
Pegawai
terhadap
Total
Agregat Provinsi, Kabupaten dan
Kota Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
60%
51,62%
50%
40,87%
40%
30%
22,79%
20%
0%
DKI Jakarta
Kalimantan Utara
Papua Barat
Kalimantan Timur
Papua
Kepulauan Riau
Riau
Banten
Sumatera Selatan
Kalimantan Tengah
Aceh
Kalimantan Selatan
Maluku Utara
Bangka Belitung
Kalimantan Barat
Jambi
Jawa Barat
Sulawesi Barat
Bali
Maluku
Sulawesi Tenggara
Jawa Timur
Sulawesi Tengah
Lampung
Gorontalo
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Bengkulu
DI Yogyakarta
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Barat
Jawa Tengah
10%
Rasio
Jumlah
Guru
b.b. Rasio
Jumlah
Guru Terhadap
PNSDTerhadap
PNSD
Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih
Secara
agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah
guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih tinggi dibandingkan dengan
rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah
rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi
semakin rasional dalam alokasi belanja pegawainya yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun
sebelumnya, peningkatan rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan
besaran belanja untuk PNS yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat provinsi,
rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah
kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata
semakin
rasional
dalam
alokasi
belanja
yang yang
ditunjukkan
dengan
nasional,
sedangkan
14 provinsi
yang lain
memiliki rasio
di atas pegawainya
rata-rata nasional. Provinsi
memiliki rasio paling
kecil
semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS
yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD
agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan
adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata nasional,
sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional.
Provinsi yang memiliki rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah,
yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang
paling besar adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%.
tinggi dibandingkan dengan rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi sebelumnya, peningkatan
58
adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar
adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%.
Grafik
3.2
Grafik 3.2
Rasio Jumlah
Guru terhadap
Total PNSD
Rasio Jumlah
Guru
terhadap
Total PNSD
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
70%
64,0%
60%
50%
51,0%
43,6%
40%
30%
20%
0%
Kalimantan Tengah
Sulawesi Tenggara
Aceh
Sulawesi Tengah
Bengkulu
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Selatan
Bali
Kalimantan Timur
Papua
Maluku Utara
Kepulauan Riau
Gorontalo
Sulawesi Barat
Riau
Sulawesi Utara
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Selatan
Jawa Timur
Papua Barat
Jambi
Lampung
Jawa Barat
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Banten
Kalimantan Utara
Maluku
DKI Jakarta
10%
Sumber:
DJPK
Sumber:
DJPK (Data
Diolah)(Data
Diolah)
2.2. Pemerintah
Pemerintah Kabupaten Kabupaten
dan Kota se-Provinsi
a.
Grafik 3.3 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap
total belanjanya.
tersebut terlihat bahwa semua
belanja pegawai
pemerintah
kabupaten dan pemerintah
kota
Grafik Dari
3.3grafik
memperlihatkan
rasiorasio
belanja
pegawai
pemerintah
kabupaten
se-provinsi
memiliki rasio di atas
30%, kecuali
Provinsi Kalimantan
Utara (25,94%)
Provinsi Kalimantan Dari
Timur (29,72%).
dan pemerintah
kota
se-provinsi
terhadap
totaldanbelanjanya.
grafik
Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total
59
rendah, dan 19 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar.
Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai terbesar, yaitu sebesar 59,42%,
sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Kalimantan
Utara memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil, yaitu
sebesar 25,94%.
Grafik 3.3
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
35%
30,08%
30%
25%
20%
17,65%
15%
10%
8,21%
0%
Papua Barat
Jawa Barat
Papua
Banten
Kalimantan Timur
Aceh
Kalimantan Utara
Kepulauan Riau
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Riau
Jawa Timur
Kalimantan Tengah
Lampung
Jawa Tengah
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Kalimantan Barat
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Timur
Jambi
Bali
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Barat
DKI Jakarta
Gorontalo
Sulawesi Utara
Maluku
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Bengkulu
5%
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)2014
(Diolah)
Per Wilayah
Rasio
Jumlah
PNSD
Rasio Belanja
PegawaiGuru
terhadapTerhadap
Total Belanja Daerah
Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah. Berdasarkan grafik
Grafik
3.4 memperlihatkan rasio jumlah guru pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota se-provinsi terhadap total PNSD-nya. Dari grafik tersebut
wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total
terlihat bahwa semua rasio jumlah guru terhadap total PNSD kabupaten
belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi
dan kota se-provinsi di atas 45%, dengan rata-rata sebesar 54,7%. Dengan
mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja
demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi
daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai.
mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawai daerahnya untuk
Grafik 3.6
membayar gaji guru daerah.
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 47,52%, sedangkan
60
Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat kabupaten dan kota untuk
setiap provinsi menunjukkan bahwa 19 provinsi rasio jumlah guru terhadap
total PNSD-nya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 14 provinsi
yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki
rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 46,9%,
sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah
Provinsi Maluku yang mencapai sebesar 62,9%.
Grafik 3.4
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
70%
62,9%
54,7%
60%
50%
46,9%
40%
30%
20%
0%
Kalimantan Tengah
Sulawesi Tenggara
Aceh
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tengah
Bali
Kalimantan Selatan
Bengkulu
Papua
Kalimantan Timur
Kepulauan Riau
Maluku Utara
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Sulawesi Utara
Riau
Jawa Timur
Sulawesi Barat
Gorontalo
Jawa Barat
Papua Barat
Kalimantan Utara
Jawa Tengah
Lampung
Jambi
Banten
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Maluku
10%
(Data Diolah)
Pemerintah Provinsi
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
3. Pemerintah Provinsi
Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh Indonesia memiliki persentase rata-rata
sebesar
17,65%, yang
berarti lebih
rendah apabila
dibandingkan
denganBelanja
rasionya di Daerah
tahun 2013, yaitu sebesar 19,33% dan
a. Rasio
Belanja
Pegawai
terhadap
Total
tahun 2012 yang hanya mencapai sebesar 21%. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang
lebih rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki rasio di atas rata-rata. Grafik 3.5
lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi.
61
30,08%
30%
25%
20%
17,65%
15%
10%
8,21%
0%
Papua Barat
Jawa Barat
Papua
Banten
Kalimantan Timur
Aceh
Kalimantan Utara
Kepulauan Riau
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Riau
Jawa Timur
Kalimantan Tengah
Lampung
Jawa Tengah
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Kalimantan Barat
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Timur
Jambi
Bali
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Barat
DKI Jakarta
Gorontalo
Sulawesi Utara
Maluku
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Bengkulu
5%
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)2014
(Diolah)
Per Wilayah
4. Per
Wilayah
4.
a.
a. Rasio
Belanja
Pegawai
terhadap
Total
Daerah
Grafik 3.6
memperlihatkan
rasio belanja
pegawai per
wilayahBelanja
terhadap total
belanja daerah.
Berdasarkan grafik
tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 47,52%, sedangkan
wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total
mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja
daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai.
62
Grafik 3.6
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
50%
41,10%
41,06%
40%
39,54%
32,29%
35,75%
30%
20%
10%
0%
Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber:
APBD 2014
2014 (Diolah)
Sumber:
APBD
(Diolah)
b.
b. Rasio
Rasio
Guru
JumlahJumlah
Guru Terhadap
PNSD Terhadap PNSD
Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD
Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per
wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah di Indonesia
Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi, yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio
memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat
yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja
dilihat bahwa untuk wilayah Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi,
pegawainya untuk membayar belanja pegawai bagi guru daerah.
yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio
Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja
yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan
per wilayah di Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk wilayah
Pegawai tertinggi, namun di sisi yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah
Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di
Indonesia. Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif inilah yang menjadi
sorotan masyarakat karena dinilai terlalu gemuk dan tidak efisien.
Grafik 3.7
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*)
63
50%
48,22%
48%
50,00%
47,66%
46%
44%
Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber: DJPK
(Data Diolah)
Sumber:
DJPK
2014 (Data Diolah)
B.
Alokasi Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk
membiayai Belanja Modal. Belanja Modal ditambah Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja pemerintah daerah yang
64
mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah
tangga, dan luar negeri.
65
Dari keseluruhan agregat provinsi, kabupaten, dan kota tersebut, provinsi yang memiliki rasio terendah adalah
ProvinsiDaerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 15,30%, sedangkan Provinsi DKI Jakartamemiliki rasio tertinggi, yaitu
sebesar 44,75%. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal
dengan proporsi yang kecil, yaitu dibawah 25%.
Grafik
3.8
Grafik 3.8
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Rasio Belanja
Modal
Terhadap
Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
50%
44,75%
40%
25,86%
30%
20%
15,30%
0%
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Bali
Jawa Barat
Jawa Timur
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Timur
Bengkulu
Gorontalo
Maluku
Sulawesi Barat
Sulawesi Utara
Lampung
Sumatera Utara
Bangka Belitung
Aceh
Kalimantan Barat
Kepulauan Riau
Papua
Maluku Utara
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Kalimantan Tengah
Sumatera Selatan
Banten
Jambi
Kalimantan Selatan
Riau
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
DKI Jakarta
10%
Sumber
APBD
Sumber
: APBD :2014
(Diolah) 2014
2.2.
(Diolah)
Pemerintah KabupatenKabupaten
dan Kota se-Provinsidan Kota se-Provinsi
Pemerintah
Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada grafik 3.9 memperlihatkan bahwa secara rata-
66
Grafik 3.9
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
50%
45,82%
40%
30%
26,14%
20% 15,73%
0%
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Bali
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Barat
Jawa Barat
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Sulawesi Utara
Maluku
Lampung
Bengkulu
Sumatera Utara
Bangka Belitung
Aceh
Kepulauan Riau
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Banten
Jambi
Kalimantan Selatan
Papua
Papua Barat
Sumatera Selatan
Riau
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
10%
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah) 2014
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
(Diolah)
3.
Pemerintah Provinsi
67
44,75%
40%
30%
19,56%
20%
0%
6,56%
Jawa Barat
Jawa Timur
Bali
Jawa Tengah
Sulawesi Tengah
DI Yogyakarta
Sulawesi Selatan
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Bengkulu
Sumatera Utara
Nusa Tenggara Barat
Maluku
Lampung
Kalimantan Utara
Papua
Sulawesi Utara
Riau
Gorontalo
Sulawesi Barat
Aceh
Bangka Belitung
Sumatera Barat
Banten
Kepulauan Riau
Kalimantan Tengah
Papua Barat
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Jambi
Maluku Utara
Sulawesi Tenggara
DKI Jakarta
10%
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah) 2014
(Diolah)
4.4. Per
Per Wilayah
Wilayah
Grafik 3.11 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah yaitu Sumatera, Jawa dan
Grafik Sulawesi,
3.11 serta
menunjukkan
belanja
modal
totalrata-rata
belanja
Bali, Kalimantan,
dan Nusa Tenggara,rasio
Maluku, dan
Papua. Grafik
tersebutterhadap
menunjukkanbahwa
rasio
daerah
5 wilayah
Sumatera,
Jawaadalah
dansebesar
Bali,26,80%,
Kalimantan,
Sulawesi,
belanja
modaldi
terhadap
total belanjayaitu
daerahdi5
wilayah di Indonesia
yang berarti lebih
tinggi jika
serta dan
Nusa
Tenggara,
Maluku,
dan25,85%.
Papua.
Grafik
tersebut
dibandingkan
dengan
rata-rata
rasio pada tahun
2013 sebesar
Dari grafik
tersebut
juga dapatmenunjukkan
dilihat bahwa rasio
belanja
modal rata-rata
terhadap total belanja
di 4 wilayah
yaitu Jawa
dan Bali, Sumatera,
serta daerah
dan Nusa Tenggara,
bahwa
rasiodaerah
belanja
modal
terhadap
total Sulawesi,
belanja
di 5
Maluku,
dan
Papuamemiliki
rasio
lebih
rendah
dibandingkan
dengan
rata-rata
rasio
secara
nasional.
Sementara
itu,
wilayah di Indonesia adalah sebesar 26,80%, yang berarti lebih tinggi untuk
jika
wilayah
Kalimantan
memiliki
rasio
lebih
besar
darirata-rata
rasionya
secara
nasional.
Adapun
Belanja
Modal
yang
tertinggi
dibandingkan dengan rata-rata rasio pada tahun 2013 sebesar 25,85%.
terdapat di wilayah Kalimantan, yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu sebesar 22,77%.
Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa rasio belanja modal terhadap
total belanja daerah di 4 wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Sulawesi,
serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua memiliki rasio lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, untuk
wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar dari rata-rata rasionya secara
nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi terdapat di wilayah Kalimantan,
Grafik 3.11
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)
68
yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu
sebesar 22,77%.
Grafik 3.11
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)
40%
35,19%
30%
26,56%
26,80%
22,77%
20%
25,60%
23,86%
10%
0%
Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)
Sumber:
APBD
2014
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak
termasuk DKI Jakarta
C.
dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki
rasio belanja modal perkapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24 provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal
perkapita lebih rendah dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita
Analisaadalah
Belanja
Daerah
69
tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah
Provinsi
Jawa Barat sebesar
Rp0,302 juta.
9.000.000
7.836.252
8.000.000
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
1.586.001
2.000.000
-
302.451
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Barat
Banten
Lampung
Bali
Sumatera Utara
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Barat
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Gorontalo
Bengkulu
Sumatera Selatan
Sulawesi Utara
Maluku
Jambi
Bangka Belitung
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
Kepulauan Riau
Aceh
Riau
Kalimantan Tengah
Maluku Utara
DKI Jakarta
Papua
Kalimantan Timur
Papua Barat
Kalimantan Utara
1.000.000
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)2014
2.
(Diolah)
dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap provinsi. Dari data APBD dapat
dilihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata nasional
adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah
dandariAnalisis
APBD
2014 Khusus.
70 besar dariDeskripsi
yang
pusat terutama
DBH SDA dan
Dana Otonomi
Grafik 3.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapitapemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi.
Secara nasional, rata-rata rasio belanja modalper kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah Rp1,248 juta, atau
71
Grafik 3.13
Rasio Belanja Modal per Kapita
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
8.000.000
7.216.717
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
-
1.248.389
271.755
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Nusa Tenggara Barat
Lampung
Bali
Sumatera Utara
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Barat
Sumatera Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Kalimantan Barat
Bengkulu
Bangka Belitung
Sulawesi Utara
Sumatera Selatan
Jambi
Maluku
Aceh
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
Kepulauan Riau
Riau
Maluku Utara
Kalimantan Tengah
Papua
Papua Barat
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
1.000.000
Sumber:
2014 (Diolah)
Sumber: APBD APBD
2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Pemerintah Provinsi
3. Pemerintah
Provinsi
Grafik 3.14 menunjukkan
rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal
per kapita pemerintah provinsi tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata
72
Grafik 3.14
Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi
3.200.000
2.916.738
2.800.000
2.400.000
2.000.000
1.600.000
1.200.000
800.000
-
374.329
30.696
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Bali
Sumatera Utara
Nusa Tenggara Barat
Lampung
DI Yogyakarta
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Banten
Sumatera Barat
Bengkulu
Maluku
Sulawesi Utara
Sulawesi Barat
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Jambi
Riau
Kalimantan Tengah
Bangka Belitung
Kalimantan Selatan
Maluku Utara
Kepulauan Riau
Aceh
Kalimantan Utara
Papua
Kalimantan Timur
Papua Barat
DKI Jakarta
400.000
4. Per Wilayah
4.
Per Wilayah
Rasio belanja modal per kapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik
belanja modal perkapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik 3.15 memperlihatkan bahwa rasio rata-rata
3.15Rasio
memperlihatkan
bahwa rasio rata-rata belanja modal per kapita adalah
belanja modal perkapita adalah sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal perkapita tertinggi berada di wilayah Kalimantan,
sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal per kapita tertinggi berada di
yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di
wilayah Kalimantan, yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa
wilayah Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu, rasio belanja modal perkapita terendah adalah
anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah
di wilayah Jawa dan Bali, yaitu sebesar Rp0,55 juta.
Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu,
rasio belanja modal per kapita terendah adalah di wilayah Jawa dan Bali,
yaitu sebesar Rp0,55 juta.
Grafik 3.15
Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *)
73
Grafik 3.15
Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *)
3.000.000
2.482.181
2.500.000
2.000.000
1.550.466
1.500.000
1.309.836
1.000.000
1.057.273
913.355
Sumatera
Sulawesi
545.903
500.000
Jawa Bali
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber:
APBD
2014
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
adalah pemberian bantuan yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif dalam bentuk uang/barang kepada masyarakat
atau organisasi profesi yang bertujuan untuk kepentingan umum. Dalam bantuan sosial ini termasuk di dalamnya antara lain
Belanja
Bantuan
Sosial
merupakan
salah
yaitu bantuan
partai politik
sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan.
74
75
34 provinsi di Indonesia, yang memiliki angka rasio dibawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah 26
provinsi, dan sisanya sebanyak8 provinsi memiliki angka rasio yang lebih besar dari angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten
dan kota. Provinsi Sumatera Selatanmemiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah yang terkecil, yaitu
sebesar0,17%, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara
agregat adalah ProvinsiPapua, yaitu sebesar 3,06%. Gambaran ini dapat dilihat pada Grafik 3.16 di bawah ini.
Grafik 3.16
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja
Grafik 3.16
Rasio Belanja
Bantuan Sosial
Terhadap Total Belanja
Agregat
Provinsi,
Kabupaten
dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
3,50%
3,06%
3,00%
2,50%
2,00%
1,50%
1,00%
0,50%
0,92%
0,17%
Sumatera Selatan
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Riau
Lampung
Maluku
Kalimantan Selatan
Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Jawa Barat
Sumatera Utara
Jawa Tengah
Sulawesi Utara
Sumatera Barat
Maluku Utara
Jawa Timur
Gorontalo
Kalimantan Utara
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Tengah
Jambi
Banten
Sulawesi Barat
DI Yogyakarta
Bali
Nusa Tenggara Barat
DKI Jakarta
Aceh
Bengkulu
Kepulauan Riau
Papua Barat
Papua
0,00%
2. Pemerintah
dan
Kota
se-Provinsi
Rata-rata rasio belanjaKabupaten
bantuan sosial terhadap
total belanja
daerah
dalam APBD 2014 pada pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota se-provinsi adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan
Rata-rata rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah dalam
APBD 2014 pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi
belanja bantuan sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari rata-rata.
adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika
Dari Grafik 3.17 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di ProvinsiPapuaBarat memiliki rasio belanja
dibandingkan dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar
bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di ProvinsiSumatera
0,93%.
hal tersebut,
sebanyak
26 provinsi memiliki rasio belanja bantuan
Selatan
memilikiDari
rasio terendah,
yaitu sebesar
0,20%.
sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio
yang lebih besar dari rata-rata. Dari Grafik 3.17 terlihat bahwa pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua Barat memiliki rasio belanja
bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Sumatera Selatan memiliki rasio
terendah, yaitu sebesar 0,20%.
dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar 0,93%. Dari hal tersebut, sebanyak 26 provinsi memiliki rasio
76
Grafik
3.17
Grafik 3.17
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Rasio BelanjaPemerintah
Bantuan
Sosial
Terhadap
Kabupaten dan Kota
se-Provinsi *)Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
4,50%
4,03%
4,00%
3,50%
3,00%
2,50%
2,00%
1,50%
0,87%
1,00%
0,00%
0,20%
Sumatera Selatan
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Riau
Maluku
Lampung
Kalimantan Tengah
Bengkulu
Kalimantan Selatan
Maluku Utara
Bali
Sulawesi Utara
Bangka Belitung
Banten
Jawa Barat
Kalimantan Timur
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Utara
Jawa Tengah
Jambi
Sumatera Barat
Jawa Timur
Sulawesi Barat
Kalimantan Utara
Gorontalo
DI Yogyakarta
Aceh
Nusa Tenggara Barat
Kepulauan Riau
Papua
Papua Barat
0,50%
(Diolah)
Pemerintah Provinsi
Dalam APBD 2014, rasio belanja bantuan sosial terhadap belanja daerah pemerintah provinsi memperlihatkan bahwa
3. Pemerintah Provinsi
secara rata-rata rasio belanja bantuan sosial adalah sebesar 1,05% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika
Dalam
rasio
bantuan
sosial
daerah
dibandingkan
denganAPBD
rasio pada2014,
APBD 2013
sebesarbelanja
1,06%. Berdasarkan
angka
rata-rataterhadap
rasio belanja belanja
bantuan sosial
tersebut,
terdapat
22 provinsi yang
memiliki rasio
lebih kecil dari angka rata-rata,
sedangkan
12 provinsi
lainnya memiliki
yang lebih
pemerintah
provinsi
memperlihatkan
bahwa
secara
rata-rata
rasiorasiobelanja
besar
dari angkasosial
rata-rata.Dari
kondisisebesar
tersebut, terdapat
3 provinsi
tidak menganggarkan
belanja bantuan
dalam
bantuan
adalah
1,05%
dariyangtotal
belanja daerah,
yangsosial
berarti
APBD
2014,rendah
yaitu Provinsi
Barat, Provinsidengan
Sulawesi Selatan,
ProvinsiAPBD
Sulawesi 2013
Tenggara. sebesar
Grafik 3.18
lebih
jikaSumatera
dibandingkan
rasio danpada
menunjukkan
Pemerintah ProvinsiBengkulu
memiliki rasio
belanjabelanja
bantuan social
tertinggi dalam
APBDtersebut,
2014, yaitu
1,06%.bahwa
Berdasarkan
angka rata-rata
rasio
bantuan
sosial
sebesar 7,86% dari total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak menganggarkan belanja bantuan
terdapat 22 provinsi yang memiliki rasio lebih kecil dari angka rata-rata,
sedangkan 12 provinsi lainnya memiliki rasio yang lebih besar dari angka
0,0002% dari total belanja daerah.
rata-rata. Dari kondisi tersebut, terdapat 3 provinsi yang tidak menganggarkan
belanja bantuan sosial dalam APBD
2014, yaitu Provinsi Sumatera Barat,
Grafik 3.18
Rasio Belanja
BantuanProvinsi
Sosial Terhadap
Belanja Daerah Tenggara. Grafik 3.18
Provinsi Sulawesi Selatan,
dan
Sulawesi
Pemerintah Provinsi
menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Bengkulu memiliki rasio belanja
bantuan sosial tertinggi dalam APBD 2014, yaitu sebesar 7,86% dari
total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak
sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Pemerintah ProvinsiKalimantan Selatan yang memiliki rasio sebesar
77
1,05%
0,00%
Sumatera Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Lampung
Kalimantan Timur
Bangka Belitung
Jawa Timur
Jawa Barat
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Riau
Jawa Tengah
Kalimantan Utara
Maluku
DI Yogyakarta
Papua Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Barat
Jambi
Maluku Utara
Banten
Kepulauan Riau
Nusa Tenggara Timur
Papua
DKI Jakarta
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Tengah
Aceh
Bali
Bengkulu
8%
7%
6%
5%
4%
3%
2%
1%
0%
Wilayah
4.4. Per
Per Wilayah
Untuk memetakan
rasio belanjarasio
bantuan belanja
sosial terhadap
total belanja sosial
daerah berdasarkan
clustering
wilayah,
daerah
Untuk
memetakan
bantuan
terhadap
total
belanja
didaerah
Indonesia dibagi
menjadi 5 wilayah.
Grafik 3.19 memperlihatkan
rasio di
belanja
bantuan sosialdibagi
terhadap menjadi
total belanja
berdasarkan
clustering
wilayah, bahwa
daerah
Indonesia
daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa
78
Grafik 3.19
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *)
2,50%
2,02%
2,00%
1,50%
1,00%
0,93%
0,92%
0,82%
0,50%
0,39%
0,52%
0,00%
Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber:
APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD
2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk
DKI
*) Tidak Jakarta
termasuk DKI Jakarta
79
BAB IV
ANALISIS SURPLUS/DEFISIT DAN
PEMBIAYAAN DAERAH
A. Defisit
Sejak pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang
diterapkan tahun 2001, daerah diberikan keleluasaan dalam penyusunan
APBD apakah menerapkan pola anggaran berimbang, surplus, ataupun defisit.
Berdasarkan data APBD TA 2014 diketahui jumlah daerah otonom adalah
sebanyak 505 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Daerah yang menerapkan
anggaran defisit sebanyak 472 daerah, meningkat dari tahun sebelumnya
sebanyak 447 daerah. Sementara itu, daerah yang menerapkan anggaran
surplus sebanyak 51 daerah, lebih sedikit apabila dibandingkan dengan tahun
80
-20%
-40%
-60%
-48,6%
-30,3%
-21,2%
-16,4%
-15,3%
-11,9%
-11,6%
-10,9%
-9,9%
-9,8%
-7,7%
-7,5%
-6,9%
-6,8%
-6,4%
-6,2%
-5,5%
-4,9%
-4,7%
-4,5%
-4,3%
-4,3%
-4,1%
-3,7%
-3,7%
-3,5%
-3,4%
-3,2%
-2,9%
-2,9%
-2,8%
-1,9%
-1,1%
-0,3%
0%
Kaltara
Kaltim
Riau
Kalsel
Kepri
Bali
Banten
Babel
Jambi
Aceh
Jabar
Sumbar
Kalteng
DIY
Jatim
Jateng
Sultra
Bengkulu
Papbar
Sulut
Gorontalo
Kalbar
Papua
Sulsel
Lampung
NTT
Maluku
Sulbar
Malut
NTB
Sumut
Sulteng
Sumsel
Jakarta
Grafik 4.1
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan,
Rasio Surplus/defisit
Pendapatan,
Agregat Provinsi, Kabupaten
dan Kota
Agregat terhadap
Provinsi,
Kabupaten,
dan Kota
-7,7%
Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten, dan kota)
adalah sebesar 7,7%, di mana defisit tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan
pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7% dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan
81
pembiayaan terbesar kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat kecil yaitu hanya sebesar 2,94%
dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar adalah
Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%) dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara ,
Kaltara
Kaltim
Riau
Kalsel
Kepri
Banten
Jambi
Babel
Bali
Sumbar
Jabar
Jatim
Jateng
Kalteng
DIY
Sultra
Kalbar
Bengkulu
Malut
Lampung
Sumsel
Sulut
NTB
NTT
Maluku
Sulsel
Gorontalo
Sumut
Papua
Aceh
Sulbar
Sulteng
Papbar
Grafik 4.2
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
-21,9%
-16,4%
-14,1%
-12,4%
-9,6%
-8,8%
-8,6%
-8,3%
-7,5%
-7,1%
-6,9%
-6,6%
-6,1%
-5,2%
-5,1%
-4,8%
-4,7%
-4,4%
-4,3%
-4,2%
-4,0%
-4,0%
-3,3%
-3,3%
-3,2%
-3,2%
-3,0%
-2,8%
-2,0%
-1,7%
-0,9%
00%
-40%
-55,0%
-33,9%
-20%
-08%
-60%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber:
*)
Tidak termasukAPBD
DKI Jakarta2014
(Diolah)
82
wilayah Riau (21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%). Karena sebagian besar defisit daerah
ditutup dengan menggunakan SiLPA maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula SiLPA daerah yang
bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi
3. Pemerintah Provinsi
Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah provinsi) dapat
dilihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 4.3
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi
8,9%
15%
1,0%
3,2%
10%
5%
-10%
-15%
-20%
-25%
Aceh -19,7%
Kepri -16,5%
Riau -16,1%
-14,8%
Babel
-13,8%
Kaltim
-13,4%
Bali
-12,0%
Kalsel
-11,8%
Kaltara
-11,4%
Papbar
-9,5%
Jambi
-7,6%
Gorontalo
-7,4%
DIY
-6,9%
Banten
-6,8%
Papua
-6,5%
Jabar
-6,4%
Sulbar
-6,3%
Sultra
-5,8%
Kalteng
-5,3%
Sulut
-5,0%
Bengkulu
-4,4%
Sulsel
-3,6%
Maluku
-3,2%
Sumbar
-2,6%
Sulteng
-2,4%
Jatim
-1,9%
Jateng
-0,7%
Kalbar
-0,6%
NTT
-0,5%
Lampung
-0,4%
Sumut
-0,3%
Jakarta
NTB
Malut
Sumsel
0%
-5%
-05%
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar
4,9%. Sementara itu, pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturut-turut dari yang tertinggi adalah
Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi
Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan
Provinsi Papua Barat (11,4%).
4.
Per Wilayah
83
-15%
-20%
-25%
Aceh -19,7%
Kepri -16,5%
Riau -16,1%
Babel
-14,8%
Kaltim
-13,8%
Bali
-13,4%
Kalsel
-12,0%
Kaltara
-11,8%
Papbar
-11,4%
Jambi
-9,5%
Gorontalo
-7,6%
DIY
-7,4%
Banten
-6,9
Papua
-6,8
Jabar
-6,5
Sulbar
-6,4
Sultra
-6,3
Kalteng
-5,8
-5,
Sulut
Bengkulu
-5,
-4
Sulsel
Maluku
Sumbar
Sulteng
Jatim
Jateng
Kalbar
NTT
Lampung
Sumut
Jakarta
NTB
Malut
Sumsel
-10%
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik
dibawah ini.
Per Wilayah
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik
Grafik 4.44.4
Rasio Defisit
terhadap Pendapatan
Per Wilayah*)
Rasio Defisit
terhadap
Pendapatan
Per Wilayah*)
Kalimantan
Sumatera
Jawa_Bali
NT Maluku Papua
Sulawesi
0%
-5%
-3,9%
-7,8%
-10%
-3,7%
-08%
-6,9%
-15%
-20%
-18,8%
84
belanja yang tidak dapat ditutupi oleh Pendapatan Daerah. Dengan demikian,
daerah harus mencari sumber-sumber penerimaan lain sebagai pembiayaan,
antara lain yaitu SiLPA, Pinjaman Daerah, Penerimaan kembali dana yang
dipinjamkan, serta Pencairan Dana Cadangan.
Jika dilihat sumber Penerimaan Pembiayaan terbesar anggaran defisit
adalah berasal dari SiLPA, maka terlihat bahwa wilayah Kalimantan dan
wilayah Sumatera merupakan wilayah dengan SiLPA yang paling besar
dibandingkan dengan tiga wilayah lainnya.
Nama Daerah
Surplus/Defisit
(Juta Rupiah)
Pembiayaan
(Juta Rupiah)
Surplus/Defisit +
Pembiayaan
(Juta Rupiah)
-13.882,9
-5.000,0
-18.882,9
Kab. Yahukimo
-37.258,0
22.615,2
-14.642,9
Kab. Sukamara
-35.117,9
34.740,0
-377,9
85
Nama Daerah
Surplus/ Defisit
Pembiyaan
Daerah
SILPA tahun
Berkenaan
(miliar Rupiah)
(1)
(2)
(3)
(2)+(3)
-417,4
651,3
233,9
Kab. Siak
-585,3
711,3
126,0
Kab. Mamasa
Kab. Lamandau
86
2,0
93,0
94,9
52,5
27,5
80,0
-32,6
110,0
77,3
-111,6
171,1
59,5
-26,8
83,9
57,1
-376,3
430,9
54,6
No
Nama Daerah
Surplus/ Defisit
Pembiyaan
Daerah
SILPA tahun
Berkenaan
(miliar Rupiah)
(1)
(2)
(3)
(2)+(3)
-96,2
132,1
35,9
-36,9
72,2
35,2
21,2
11,5
32,7
-77,6
109,1
31,4
-419,1
445,0
25,9
-1.286,4
1.305,2
18,8
-58,0
70,9
12,9
B. Pembiayaan Daerah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran
diperkirakan defisit, maka daerah harus menetapkan sumber-sumber
pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila
anggaran diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan
surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan bagian terbesar
untuk menutupi defisit APBD 2014 berasal dari SiLPA, sedangkan yang
terkecil berasal dari Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Untuk
87
B.
Pembiayaan Daerah
Grafik 4.5
Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran diperkirakan defisit, maka daerah harus
menetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila anggaran
diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan
penerimaan
maupun
pengeluaran
pembiayaan,
bagianmanampung
terbesar untuk menutupi
defisit APBD pembiayaan
2014 berasal dari SiLPA,
sedangkan
yang terkecil berasal
dari Hasil Penjualan
maka
dalam
APBD terdapat
pos penerimaan
pembiayaan
yangmaupun
bertujuan
untuk
menutup
Kekayaan
Daerah
yang Dipisahkan.
Untuk manampung
pembiayaan
pengeluaran
pembiayaan,
maka dalam
4.5. untuk
danmenutup
grafikdefisit
4.6.
berikut
APBDdefisit
terdapat anggaran.
pos pembiayaan Grafik
yang bertujuan
anggaran.
Grafik menggambarkan
4.5. dan grafik 4.6. berikut
penerimaan
pembiayaan
provinsi
dan kabupaten/kota.
menggambarkan
penerimaan
pembiayaan provinsi
dan kabupaten/kota.
Grafik
4.5
Grafik 4.5
Penerimaan
Pembiayaan Provinsi
dan Kab/Kota
Penerimaan
Pembiayaan
Provinsi
dan Kab/Kota
Grafik 4.6
Provinsi
Kabupat
Grafik
4.6
Grafik 4.6
Persentase
Persentase Penerimaan
Pembiayaanterhadap
terhadap total Penerimaan
Pembiayaan
Penerimaan
Pembiayaan
total Penerimaan
Provinsi
Provinsi
0,33% 2,61% 1,04%
0,00%
SiLPA TA sebelumnya
Pembiayaan
Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
0,97%
0,13%
3,08%
1,65%
Pencairan dana
cadangan
96,02%
Hasil Penjualan
Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan
Penerimaan Pinjaman
Daerah dan Obligasi
Daerah
94,18
%
Penerimaan pembiayaan baik provinsi, kabupaten, maupun kota didominasi oleh SiLPA. Di tingkat provinsi,
penerimaan pembiayaan mencapai 96,02%, sedangkan tingkat kabupaten/ kota mencapai 94,18%, sebagaimana tampak pada
Deskripsi
dan
Analisis
2014
grafik 4.688di atas. Besarnya
porsi
SiLPA
dalam APBD
penerimaan
pembiayaan APBD mengindikasikan adanya penyerapan belanja
pada tahun anggaran sebelumnya kurang optimal, sehingga terdapat sisa anggaran yang terakumulasi dalam SiLPA. Sumber
pembiayaan lainnya untuk menutup defisit adalah Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah, yang mencapai sebesar 2,61% untuk
89
Grafik 4.7
Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)2014
(Diolah)
Grafik
4.8
Grafik 4.8
Grafik 4.8
Persentase Pengeluaran
Pembiayaan
terhadap
Penerimaan
Persentase Pengeluaran
Pembiayaan
terhadap totaltotal
Penerimaan
Pembiayaan Pembiayaan
Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan
Provinsi
Provinsi
Provinsi
0,49%
7,69% 0,49%
7,69%
Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
1,12%
1,12%
Pembentukan
Dana Dana
Pembentukan
Cadangan
Cadangan
Kabupaten/Kota
0,30% 0,30%3,12%
3,20% 3,20%
8,81%
3,12%
8,81%
Penyertaan Modal
Penyertaan Modal
(Investasi) Daerah
(Investasi) Daerah
28,49%
Pemberian Pinjaman
Pemberian Pinjaman
Daerah
90,70%
90,70%
Daerah Kegiatan
Pembayaran
Lanjutan
Pembayaran Kegiatan
56,06%
56,06%
Pengeluaran
LanjutanPerhitungan
Pihak Ketiga
Pengeluaran Perhitungan
Pihak
Ketiga
Sumber:
APBD 2014 (Diolah)
Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kemiripan, namun berbeda
90
91
25%
20%
15%
10%
5%
0%
09%
Malut
Sulteng
Gorontalo
Sumut
NTB
Sulsel
Lampung
NTT
Sultra
Papua
Sulut
Kalbar
Sumsel
Sulbar
Bengkulu
Maluku
Papbar
Jateng
Jatim
DIY
Sumbar
Jabar
Kalteng
Aceh
Jambi
Babel
Jakarta
Bali
Banten
Kepri
Kalsel
Riau
Kaltim
Kaltara
30%
1,9%
2,0%
2,4%
2,6%
2,8%
3,4%
3,5%
4,2%
4,4%
4,8%
4,8%
5,1%
5,1%
5,2%
5,3%
5,3%
5,6%
6,3%
6,7%
7,6%
7,7%
8,1%
9,1%
9,2%
9,7%
10,3%
10,8%
11,3%
11,9%
13,1%
14,4%
17,8%
23,8%
32,5%
Sumber: APBD
2014 (Diolah)
Sumber:
APBD
2014 (Diolah)
Rasio
rata-rata
SiLPAbelanja
terhadap
belanja
daerah
secara
agregat
provinsi,
Rasio rata-rata
SiLPA terhadap
daerah secara
agregat provinsi,
kabupaten
dan kota
adalah sebesar
8,6%,
kabupaten
dan kota
adalah
sebesarsebesar
8,6%,
yang
berarti
naik sebesar
1,2%
dari
yang
berarti naik sebesar
1,2% dari
tahun sebelumnya
7,4%.
Sementara
itu, pemegang
posisi tertinggi
rasio SiLPA
terhadap
belanja
daerah
adalah
Provinsi
Kalimantan
Utara
(32,5%),
dan
diikuti
oleh
Provinsi
Kalimantan
Timur
(23,8%).
tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi
Selanjjutnya
untuk rasioterhadap
terendah (terbaik)
adalah Provinsi
Maluku adalah
Utara (1,9%),Provinsi
yang diikuti oleh
Provinsi Sulawesi Utara
Tengah
rasio SiLPA
belanja
daerah
Kalimantan
(2,0%).
(32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%). Selanjjutnya
untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang
2.diikutiPemerintah
KabupatenSulawesi
dan Kota Se-Provinsi
oleh Provinsi
Tengah (2,0%).
Grafik 4.10
35,8%
25,7%
40%
10%
0%
Gorontalo
Sulteng
Malut
Papbar
Sumut
Aceh
NTB
Papua
Sulsel
Sultra
Lampung
NTT
Sulut
Sulbar
Sumsel
Bengkulu
Maluku
Kalbar
DIY
Jatim
Jateng
Jabar
Sumbar
Bali
Babel
Kalteng
Jambi
Banten
Kepri
Kalsel
Riau
Kaltim
Kaltara
20%
1,6%
1,8%
1,9%
2,1%
3,0%
3,2%
3,4%
3,7%
3,7%
4,2%
4,2%
4,2%
4,4%
4,8%
5,1%
5,2%
5,5%
5,5%
6,7%
6,8%
7,0%
7,6%
7,9%
8,5%
8,8%
9,0%
9,7%
11,4%
12,5%
15,3%
18,4%
30%
92
08%
yang berarti naik sebesar 1,2% dari tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA
terhadap belanja daerah adalah Provinsi Kalimantan Utara (32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%).
Selanjjutnya untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah
(2,0%).
Grafik 4.10
Grafik 4.10
25,7%
40%
10%
0%
08%
Gorontalo
Sulteng
Malut
Papbar
Sumut
Aceh
NTB
Papua
Sulsel
Sultra
Lampung
NTT
Sulut
Sulbar
Sumsel
Bengkulu
Maluku
Kalbar
DIY
Jatim
Jateng
Jabar
Sumbar
Bali
Babel
Kalteng
Jambi
Banten
Kepri
Kalsel
Riau
Kaltim
Kaltara
20%
1,6%
1,8%
1,9%
2,1%
3,0%
3,2%
3,4%
3,7%
3,7%
4,2%
4,2%
4,2%
4,4%
4,8%
5,1%
5,2%
5,5%
5,5%
6,7%
6,8%
7,0%
7,6%
7,9%
8,5%
8,8%
9,0%
9,7%
11,4%
12,5%
15,3%
18,4%
30%
Sumber:
APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
93
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah 8,2%, yang berarti naik 1,4%
dari tahun lalu sebesar 6,8%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota seprovinsi adalah Provinsi Kalimantan Utara (35,8%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (25,7%). Sementara itu, yang
terendah (terbaik) adalah adalah Provinsi Gorontalo (1,6%), dan diikuti olrh Provinsi Sulawesi Tengah (1,8%)
3. Pemerintah Provinsi
3.
Pemerintah Provinsi
Grafik
4.11
Grafik 4.11
16%
12%
8%
4%
0%
08%
NTB
Sumut
Lampung
Sulsel
Malut
Jateng
Kalbar
Sulteng
NTT
Sumsel
Maluku
Jatim
Gorontalo
Sultra
Bengkulu
Sulut
Sulbar
Sumbar
Kalteng
Papua
Jabar
Kalsel
DIY
Jambi
Banten
Jakarta
Papbar
Babel
Kepri
Kaltim
Riau
Kaltara
Aceh
Bali
20%
0,4%
0,4%
0,6%
1,5%
1,9%
2,1%
2,7%
2,8%
3,3%
4,3%
4,6%
4,6%
4,6%
5,1%
5,5%
6,0%
6,2%
6,2%
7,3%
7,4%
7,5%
8,2%
8,4%
8,7%
10,3%
10,8%
11,1%
12,9%
13,0%
13,0%
13,9%
15,8%
16,5%
16,7%
Per Wilayah
rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau naik 0,3% dari sebelumnya sebesar 7,75%.
4. PerRasio
Wilayah
Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera (8,0%). Sementara
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau
naik
0,3%
darirata-rata
sebelumnya
sebesar
posisi
tertinggi rasio
Secara lebih
detil, rasio
SiLPA antar wilayah
tersebut7,75%.
dapat dilihatPemegang
pada grafik dibawah
ini.
ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera
(8,0%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi
(3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%).
Secara lebih detil, rasio rata-rata SiLPA antar wilayah tersebut dapat dilihat
pada grafik dibawah ini.
itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi (3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%).
94
Grafik
Grafik 4.12
4.12
Rasio SiLPA
terhadap
Belanja
per Wilayah *)
Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah *
20%
16,7%
15%
10%
8,1%
5%
3,5%
7,3%
8,0%
Jawa_Bali
Sumatera
4,5%
0%
Sulawesi
NT Maluku Papua
Kalimantan
C.
Pembiayaan, dan
(ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA dan Pinjaman
Grafik 4.13
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
95
3,0%
1,5%
1,0%
0,5%
0,0%
0,3%
Jambi
DIY
Sulut
Banten
Babel
Kepri
Kaltara
Bali
NTT
Jabar
Aceh
Kalsel
Kaltim
Kalteng
Maluku
Jatim
Jateng
Sumut
Papbar
Sulbar
Papua
Sumsel
Sumbar
Riau
Jakarta
Sulteng
Bengkulu
Kalbar
Sulsel
Lampung
NTB
Malut
Sultra
Gorontalo
2,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,2%
0,3%
0,3%
0,3%
0,4%
0,4%
0,4%
0,5%
0,6%
0,6%
0,9%
1,0%
1,3%
1,5%
1,7%
2,5%
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap
pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan kota adalah sebesar 0,3%.
125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah
Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan
yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari
dalam
Nomor
125/PMK.07/2013,
dan
kalau
adalah
grafik
di atasPMK
juga dapat
dilihat terdapat
10 wilayah provinsi dari 33
wilayah
provinsi dirata-ratakan
tidak menganggarkan penerimaan
sebesar
4,31%.
pinjaman
dalam
APBD-nya. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah yang
melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio
2.ini adalah
Pemerintah
KabupatenGorontalo
dan Kota se-Provinsi
Provinsi
(2,5%.) Dari grafik di atas juga dapat dilihat
Grafikwilayah
4.14
terdapat 10 wilayah provinsi dari 33
provinsi tidak menganggarkan
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *
penerimaan pinjaman dalam APBD-nya.
kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor
1,2%
1,3%
1,6%
1,9%
2,1%
2,5%
2,0%
0,5%
0,0%
96
00%
Jambi
DIY
Sulut
Banten
Babel
Kepri
Kaltara
Bali
NTT
Jabar
Aceh
Kalsel
Kaltim
Kalteng
Sulsel
Maluku
Jatim
Jateng
Sumut
Papbar
Sulbar
Sumsel
Papua
Sumbar
Riau
Sulteng
Kalbar
Bengkulu
Lampung
Sultra
NTB
Malut
Gorontalo
1,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,2%
0,2%
0,2%
0,4%
0,4%
0,5%
0,5%
0,5%
0,6%
0,7%
0,7%
1,5%
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan
kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor
125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah
yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari
grafik di atas juga dapat dilihat terdapat 10 wilayah provinsi dari 33 wilayah provinsi tidak menganggarkan penerimaan
2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
pinjaman dalam APBD-nya.
2.
Grafik 4.14
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah
Grafik 4.14
Kabupaten
dan Kota
se-Provinsi
*) *
RasioPemerintah
Pinjaman terhadap Pendapatan
Daerah Pemerintah
Kabupaten
dan Kota se-Provinsi
1,2%
1,3%
1,6%
1,9%
2,1%
2,5%
2,0%
0,5%
0,0%
00%
Jambi
DIY
Sulut
Banten
Babel
Kepri
Kaltara
Bali
NTT
Jabar
Aceh
Kalsel
Kaltim
Kalteng
Sulsel
Maluku
Jatim
Jateng
Sumut
Papbar
Sulbar
Sumsel
Papua
Sumbar
Riau
Sulteng
Kalbar
Bengkulu
Lampung
Sultra
NTB
Malut
Gorontalo
1,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,2%
0,2%
0,2%
0,4%
0,4%
0,5%
0,5%
0,5%
0,6%
0,7%
0,7%
1,5%
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap
pendapatan daerah pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah sebesar
0,3%, Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi
Gorontalo (2,1%), yang diikuti oleh Provinsi Maluku Urata (1,9%).Dalam hal
ini terdapat 13 daerah yang rasio pinjamannya di atas nilai rata-rata.
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan
pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana dapat dilihat dalam grafik 4.15.
Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan
(3,7%), Provinsi Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan
Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka Provinsi
DKI Jakarta (Rp269,4 miliar) merupakan daerah dengan pemegang posisi
nilai terbesar.
97
3.
Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana
dapat dilihat dalam grafik 4.15. Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan (3,7%), Provinsi
Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka
0,0%
0,2%
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Malut
Banten
Babel
Kepri
Papbar
Sulbar
Kaltara
Jakarta
Sultra
Gorontalo
Sulsel
1,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,4%
2,0%
Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang melampaui batas maksimal
per wilayah tertinggi (0,4%), atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan rasio pinjaman terendah
4. Per Wilayah
Secara total, daerah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
mempunyai rasio pinjaman terhadap pendapatan per wilayah tertinggi (0,4%),
atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan
rasio pinjaman terendah adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya,
rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah
ini.
98
adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya, rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah
ini.
Grafik
4.16
Grafik 4.16
Rasio pinjaman/pendapatan
wilayah
*)
Rasio pinjaman/pendapatan per per
wilayah
*
0,50%
0,39%
0,40%
0,30%
0,20%
0,29%
0,32%
0,26%
0,12%
0,15%
0,10%
0,00%
Kalimantan
Sulawesi
Jawa_Bali
Sumatera
NT Maluku Papua
Defisit yang
Dibiayai
Pinjaman
Dalam tahun 2014, pembatasan maksimal defisit yang dapat dibiayai dari pinjaman diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan
5.
Daerah
Melampaui
Batas Melampaui
Maksimal Defisit yang
DibiayaiMaksimal
Pinjaman
5. yang
Daerah
yang
Batas
Nomor 125/PMK.07/2013
tentang Batas
Maksimal
Kumulatif Defisit
APBD, Batas
Maksimal
Defisit
APBD dan
Batas Maksimal
Dalam tahun
2014,
pembatasan
maksimal
defisit
yang
dapat
dibiayai
Kumulatif dari
Pinjaman
Daerah Tahun
Anggaran
2014. Dalam
PMK tersebut
ditetapkan
batas maksimal
kumulatif
defisit APBD
pinjaman
diatur
melalui
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
125/
tentangadalah
Batas
Kumulatif
Defisithalnya,
APBD,
(nasional)PMK.07/2013
yang dibiayai dari pinjaman
sebesarMaksimal
0,3% dari proyeksi
PDB. Demikian
batas Batas
maksimal defisit
Maksimal
dan Batas
Maksimal
Kumulatif
Daerah
Tahunyaitu 6,5%
masing-masing
daerah Defisit
terhadap APBD
pendapatannya
juga tidak
boleh terlampaui
sesuaiPinjaman
kategori kapasitas
fiskalnya
Anggaran
Dalam
tersebut
kumulatif
untuk kategori
kapasitas2014.
fiskal sangat
tinggi;PMK
5,5% untuk
kategoriditetapkan
kapasitas fiskalbatas
tinggi; maksimal
4,5% untuk kategori
kapasitas fiskal
defisit
APBD
(nasional)
yangrendah.
dibiayai
adalah
sebesar
0,3%
sedang; dan
3,5% untuk
kategori
kapasitas fiskal
Apabiladari
APBD pinjaman
melampaui batas
defisit yang
ditentukan,
maka daerah
daridahulu
proyeksi
PDB.persetujuan
Demikian
halnya,defisit
batas
defisit
harus terlebih
mendapatkan
pelampauan
darimaksimal
Menteri Keuangan
c.q. masing-masing
Dirjen Perimbangan Keuangan.
daerah terhadap pendapatannya juga tidak boleh terlampaui sesuai kategori
kapasitas fiskalnya yaitu 6,5% untuk kategori kapasitas fiskal sangat tinggi;
terlampaui.
5,5% untuk kategori kapasitas fiskal tinggi; 4,5% untuk kategori kapasitas
Tabel 4.3
fiskal sedang; dan 3,5% untuk kategori kapasitas fiskal rendah. Apabila
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
APBD melampaui batas defisit yang ditentukan, maka daerah harus terlebih
Dari
tabel dimendapatkan
atas dapat dilihat persetujuan
adanya 19 daerah
yang pinjamannya
melampaui
yang ditentukan.
Untuk posisi
dahulu
pelampauan
defisit
dari batas
Menteri
Keuangan
tertinggi adalah
KabupatenPerimbangan
Buton (11,4%). Apabila
daerah Tabel
yang defisit
akanini
ditutup
dengan pinjaman telah
c.q. Dirjen
Keuangan.
4.3.anggarannya
di bawah
menunjukkan
Tabel 4.3. di bawah ini menunjukkan beberapa pemda yang batas persentase pinjaman untuk menutup defisitnya telah
melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk
99
No Nama Daerah
Batas
Sesuai
Pendapatan
dengan
(miliar
PMK 125
rupiah)
tahun 2013
Pinjaman
Daerah dan
Obligasi
(miliar
rupiah)
%
Pinjaman
Kab. Buton
3,5%
878,8
100,0
11,4%
5,5%
701,
77,8
11,1%
Kab. Boalemo
3,5%
540,4
51,0
9,4%
Kab. Keerom
5,5%
750,5
60,0
8,0%
3,5%
1.133,6
90,0
7,9%
Kab. Mukomuko
3,5%
648,4
47,5
7,3%
3,5%
1.263,4
91,0
7,2%
Kab. Temanggung
3,5%
1.094,3
76,5
7,0%
Kab. Morowali
4,5%
516,6
33,3
6,5%
10 Kota Mataram
3,5%
961,1
60,0
6,2%
11 Kab. Bangkalan
3,5%
1.417,4
87,5
6,2%
4,5%
1.730,3
97,3
5,6%
13 Kab. Puncak
4,5%
1.075,3
60,0
5,6%
14 Kab. Pesawaran
3,5%
902,
50,0
5,5%
15 Kab. Kampar
4,5%
2.157,3
113,0
5,2%
16 Kab. Sambas
3,5%
1.171,7
48,6
4,1%
3,5%
5.593,9
207,5
3,7%
3,5%
822,7
30,0
3,6%
19 Kota Gorontalo
3,5%
789,3
28,5
3,6%
100
Buton (11,4%). Apabila daerah yang defisit anggarannya akan ditutup dengan
pinjaman telah melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut
harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk mendapatkan
persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan. Dari 19 daerah tersebut di atas, baru Kabupaten Bualemo yang
telah mengajukan ijin pelampauan defisit.
D. Dana Idle
Rekening kas umum daerah merupakan rekening daerah untuk
menampung uang masuk maupun uang keluar yang dibuka pada bank umum
dan BPR. Seiring dengan pelaksanaan anggaran, pergerakan arus uang masuk
dan uang keluar milik daerah dapat diketahui melalui bank sentral yaitu
Bank Indonesia. Apabila arus uang masuk lebih besar daripada arus uang
keluar, maka akan terjadi penumpukan dana (idle). Dana idle ini merupakan
akumulasi dari penerimaan berupa pendapatan, transfer dana perimbangan,
penerimaan pembiayaan setelah dikurangi belanja. Dana Idle terjadi antara
lain karena pemerintah daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga
apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara
arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu
besar dan ditahan terlalu lama justru akan menghambat kegiatan pemberian
layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat
dalam grafik 4.17 berikut :
101
daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara
arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu besar dan ditahan terlalu lama justru akan
menghambat kegiatan pemberian layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat dalam grafik 4.17
berikut :
Grafik
Grafik4.17
4.17
Dana Pemda
Perbankan
Bulan
(Bulan
Desember)
DanadiPemda
di Perbankanper
per Bulan
(Bulan
Desember)
120.000
99.240
100.000
94.313
miliar rupiah
80.446
80.000
66.905
62.088
66.881
51.927
60.000
38.743
40.000
28.519
32.336
2011
2012
27.432
23.345
20.000
0
2010
Nasional
Sumber:
Bank (Diolah)
Indonesia
Sumber:
Bank Indonesia
Provinsi
2013
Kota/kabupaten
(Diolah)
Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu
102
mengalami peningkatan. Dana pemda di perbankan secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota per provinsi dapat dilihat pada
grafik 4.18 di bawah ini.
Grafik 4.18
Grafik 4.18
Dana Pemda
di
Perbankan
Kab/kota/Provinsi
Dana Pemda di Perbankan AgregatAgregat
Kab/kota/Provinsi
14.000
Miliar Rupiah
12.000
10.000
8.000
6.000
4.000
GORONTALO
MALUT
SULBAR
MALUKU
NTB
SULTENG
LAMPUNG
BENGKULU
BABEL
KALBAR
SULUT
SULTRA
KEPRI
DIY
SULSEL
JAMBI
SUMSEL
NTT
SUMBAR
KALTENG
SUMUT
Papua Barat
PAPUA
BALI
ACEH
BANTEN
KALSEL
RIAU
JATIM
JABAR
JAKARTA
JATENG
KALTIM
2.000
Daerah yang menduduki posisi tertinggi simpanan pemda di perbankan agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan
DesemberDaerah
2013 adalahyang
Provinsi menduduki
Kalimantan Timur, kemudian
oleh Provinsi
Jawa Tengah,pemda
dan Provinsidi
DKIperbankan
Jakarta.
posisidisusul
tertinggi
simpanan
Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai
agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan Desember 2013 adalah Provinsi
Kalimantan Timur, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi
besaran nilai APBD terhadap besaran nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%.
DKI Jakarta. Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai
APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai APBD suatu
daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank
umum dan BPR. Adapun nilai korelasi besaran nilai APBD terhadap besaran
nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%.
APBD suatu daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank umum dan BPR. Adapun nilai korelasi
Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014
103
BAB V
REALISASI BELANJA DAERAH
APBD 2014 SAMPAI DENGAN
BULAN MEI 2014
104
105
total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
1. Hanya dapat
membuat
belanja
pemerintah
daerah secara
agregat
provinsi,
dan
kota untuk
2013 yaitu
sebesarestimasi
4,1% danrealisasi
tahun 2012
yaitu sebesar
4,9%. Sedangkan
pada akhir
triwulan
I tahun kabupaten,
2014, estimasi
realisasi
Atasbelanja
dasar
metode proxy tersebut di atas, sampai dengan bulan Mei
masing-masing
provinsi.
daerah
adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2014
2013, yaitu sebesar
13,6% dan tahun
2012 yaitu sebesar
13,3%. Realisasi
bulan Mei
2014diperkirakan
sebesar 24,6%,
lebih
dapat
diketahui
bahwa
realisasi
belanja
daerah
adalah
sebesar
24,6%.
Hal
ini
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total, tidak per jenis belanja.
rendah jikadibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
bisa
dilihat
pada
5.1menyajikan
berikut.
3. Masih
terdapat lag
15 - 20Grafik
hari untuk dapat
laporan realisasi bulanan per provinsi.
Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d. Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah
Atas
dasar metode
proxydibandingkan
tersebut didengan
atas,periode
sampai
dengan
bulan Mei sebelumnya.
2014 dapat diketahui bahwa realisasi belanja
diperkirakan
lebih rendah
yang
sama tahun-tahun
daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini bisa dilihat pada GrafikGrafik
5.1 berikut.5.1
Grafik 5.2
2011, 2012, 2013 dan
Grafik 5.1 Perbandingan Realisasi APBD
Realisasi
Belanja
Daerah
(Agregat
Kabupaten
Perbandingan
Realisasi
APBD
2011,
2012,Provinsi,
2013 dan
2014 dan Kota)
(Agregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
Bulan Mei 2014 (triliun
rupiah)
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
100
2014
800.000
700.000
80
Miliar Rupiah
600.000
60
500.000
400.000
40
Anggaran
(Milyar)
300.000
200.661
20
151.986
200.000
100.000
0
2014
2013
2012
2011
Jan 4,0
32.600
Feb
63.235
Mar
95.441
815.907
Apr
Mei
7,8
11,7 Maret
18,6
Januari Februari
24,6
April
Jun
Mei
Jul
Juni
Agt
Juli
Agustus
Sep
Okt
Nov
Des
Septem
Novemb Desemb
Oktober
ber
er
er
Anggaran
708.214
(Milyar)
593.506
815.907
495.274
708.214
593.506
495.274
2011 23.650 41.927 69.545 100.64 132.85 164.16 210.62 269.92 291.52 332.77 377.68 490.44
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Sumber
: Bank
Indonesia
dan Ditjen
Sumber : Bank Indonesia
dan Ditjen
Perimbangan Keuangan
(data diolah)Perimbangan Keuangan (data diolah)
Realisasi penyerapan
belanja secara
persentase
menunjukkan
perbandingan
besaran
realisasi
penyerapan
Grafik 2 menggambarkan
realisasibelanja
daerah
yang menunjukkan
perkiraanantara
penyerapan
belanja
daerah hingga
penyerapan
secara
persentase
menunjukkan
denganRealisasi
anggaran
belanja
persentase,
penyerapan
belanja pada
bulan
Januari
sebesar
4,0% dari
bulan Mei
2014.(konsolidasi).
Secara nominalSecara
realisasi
bulanbelanja
Mei tahun
2014diperkirakan
sebesar
200,66
triliunadalah
(total belanja
daerah
sebesar 815,91 triliun), lebih tinggijika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun
perbandingan
antara besaran realisasi penyerapan dengan anggaran belanja
(konsolidasi). Secara persentase, penyerapan belanja pada bulan Januari
adalah sebesar 4,0% dari total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun),
lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan
pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi belanja daerah adalah
sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada
periode yang sama tahun 2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu
sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014 diperkirakan sebesar 24,6%,
lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu
sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
106
PAD
= Estimasi Penerimaan dari PAD
total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
t
= bulan ke t
2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi
3. Langkah Ketiga
belanja daerah adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut :
2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014diperkirakan sebesar 24,6%, lebih
Pada %Grafik
5.1 belanja
terlihat
bahwa
selama 5 bulan sejak Januari
Belanjadengan
= estimasi
anggaran
belanja
rendah jikadibandingkan
periode yang/sama
tahun
2013APBD
yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
s.d.
Mei 2014,Analisis
estimasi
realisasi
belanja
daerah
diperkirakan
lebih
rendah
ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :
Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d. Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah
1.
Hanya
dapat
membuat
estimasi
realisasi
belanja
daerah
secara
agregat provinsi,
kabupaten, dan kota untuk
dibandingkan
dengan
periode
yang
sama
tahun-tahun
sebelumnya.
diperkirakan lebih rendah dibandingkan
dengan
periode
yang pemerintah
sama
tahun-tahun
sebelumnya.
masing-masing provinsi.
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja
secara total, tidak per jenis belanja.
Grafik
Grafik
5.2 5.2
3.
Masih
terdapat
lag
15
20
hari
untuk
dapat
menyajikan
laporan
Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) realisasi bulanan per provinsi.
800.000
Grafik 5.1
700.000
Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014
500.000
400.000
80
300.000
60
200.661
Miliar Rupiah
600.000
200.000
100.000
2014
2013
2012
2011
151.986
40
32.600
20
63.235
95.441
Septem
Januari
Februari Maret
April
Mei
Juni
Juli Agustus
0
ber
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
32.600
63.235 7,895.44011,7151.9818,6200.66
2014 4,0
24,6
28.838
59.534 8,496.14413,6145.3520,5190.85
2013 4,1
26,9 242.66
34,3 317.30
44,8 358.55
50,6 407.72
57,6
29.024
49.297 8,378.87513,3119.8920,2155.99
2012 4,9
26,3 205.08
34,6 253.98
42,8 301.56
50,8 348.25
58,7
23.650
41.927 8,469.54514,0100.6420,3132.85
2011 4,8
26,8 164.16
33,1 210.62
42,4 269.92
54,4 291.52
58,8
Anggaran
(Milyar)
Oktober
Okt
Novemb Desemb
er
er
Nov
Des
472.02
680.84
66,6 534.68
75,5
96,1
395.34
570.72
66,6 448.10
75,5
96,2
332.77
490.44
67,1 377.68
76,1
98,8
Anggaran
(Milyar)
815.907
708.214
815.907
593.506
708.214
495.274
593.506
495.274
penyerapan
belanja secaradaerah
persentase
antara besaran
realisasi
Grafik 2Realisasi
menggambarkan
realisasibelanja
yang menunjukkan
menunjukkanperbandingan
perkiraan penyerapan
belanja
daerahpenyerapan
hingga
Grafik
2 menggambarkan
realisasi
belanjapadadaerah
yangsebesar
menunjukkan
dengan
Secara
penyerapan belanja
bulan Januari
bulan Mei
2014.anggaran
Secara belanja
nominal(konsolidasi).
realisasi bulan
Meipersentase,
tahun 2014diperkirakan
sebesar 200,66
triliun adalah
(total belanja 4,0%
daerahdari
perkiraan
penyerapan
belanja
daerah
hingga
bulan
Mei
2014.
Secara
sebesar 815,91 triliun), lebih tinggijika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahunnominal
realisasi bulan Mei tahun 2014 diperkirakan sebesar 200,66 triliun (total
belanja daerah sebesar 815,91 triliun), lebih tinggi jika dibandingkan dengan
estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun 2013 yaitu
sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012
yaitu sebesar 155,99 triliun (total belanja daerah sebesar 593,51 triliun).
Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja
daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu lebih tinggi jika dibandingkan
dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali
Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014
107
2013 yaitu sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012 yaitu sebesar 155,99 triliun (total
belanja daerah sebesar 593,51 triliun).
realisasi belanja daerah pada akhir triwulan I tahun 2014 yang diperkirakan
Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu
hanya
sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi
lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali realisasi belanja
belanja
daerah
pada
tahunhanya
sebelumnya.
daerah pada
akhir triwulan
I tahunbeberapa
2014 yang diperkirakan
sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan
realisasi belanja daerah pada beberapa tahun sebelumnya.
Grafik 5.3
Realisasi Belanja
Grafik 5.3Daerah Secara
Realisasi
Belanja
Daerah
Secara
Agregat
Provinsi,
Kabupaten,
danProvinsi
Kota Per Provinsi
Bulan Mei
20142014
(%)
Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Per
Bulan
Mei
(%)
40,0
34,4
35,0
30,0
%
25,0
24,6
20,0
15,0
10,0
5,0
9,6
Kalimantan Utara
Kalimantan Timur
Riau
Aceh
Kalimantan Selatan
Papua
Papua Barat
Kalimantan Barat
Bangka Belitung
Jambi
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Timur
Banten
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Bengkulu
Sumatera Barat
Sulawesi Tenggara
Bali
Sumatera Selatan
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sulawesi Tengah
Sumatera Utara
Kalimantan Tengah
Maluku
Jawa Barat
Nusa Tenggara Barat
Lampung
Sulawesi Selatan
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi Utara
0,0
108
ini dapat dilihat dari Grafik 5.3, di mana penyerapan belanja daerahnya pada
bulan Mei 2014 sebesar 34,4%.
Adapun Provinsi Kalimantan Utara memiliki realisasi belanja daerah yang
paling rendah jika dibandingkan dengan provinsi lainnya, dimana realisasi
penyerapan belanja Pemda di Provinsi Kalimantan Utara hanya sebesar 9,6%,
yang berarti jauh di bawah standar belanja yang ideal.
Daftar Pustaka
109
DAFTAR PUSTAKA
110
111
Santoso, S.E., M.E.; yang telah melakukan pengolahan data dan sekaligus
mendukung penulisan buku, melakukan editing hingga melakukan setting
layout pencetakan buku ini. Terima kasih atas kerja kerasnya.
112
113
114
115