Anda di halaman 1dari 55

I.

Skenario
Mrs. Zainab, a 50-year-old woman, came to Moh. Hoesin Hospital with chief complain
of weakness. She also had palpitation and nausea sometimes. She had history at eight
times spontaneous labor. She had been suffering from hematoschezia frequently since 1
year ago and her doctor said that she had hemorrhoid. She seldom ate vegetables and
fruits.
Physical examination:
Weight: 50 kg, height: 155 cm
General appereance: pale, fatigue
Vital sign: HR: 114x/minute, RR: 30 x/minute, Temp: 36,6 C, BP: 100/70 mmHg
Head: cheilitis positive, tongue: papil atrophy
No lymphadenopathy
Abdomen: no epigastric pain, liver and spleen non palpable
Extremities: koilonychias negative
Laboratory:
Hb 4,8 g/dL, Ht 15 vol%, RBC 2.500.000/mm 3, WBC 7.000/mm3, Trombosit
480.000/mm3, RDW 20%
Blood smear: anisocytosis, hypochrome microcyter, poikilocytosis
Faeces: Hookworms eggs negative
MCV 60 fl, MCH 19,2 pg, MCHC 32%
II.

Klarifikasi Istilah
1. Cheilitis : Peradangan pada bibir.
2. Limfadenopati : Penyakit pada nodus limfe.
3. Palpitasi : Perasaan berdebar-debar atau denyut jantung tidak teratur yang sifatnya
subjektif.
4. Nausea : Sensasi tidak menyenangkan yang mengacu pada epigastrium dan
abdomen dengan kecenderungan ingin muntah
5. Hematoschezia : Feses yang mengandung darah segar.
6. Haemorhoid : Dilatasi varicosus vena dari plexus haemorhoidal inferior atau
superior.
7. Koilonychia : Distrofi kuku jari dimana kuku menjadi tipis dan cekung dengan
pinggiran yang naik.
8. Papil atrophy : Pengecilan ukuran papil lidah.
9. RDW : Penampakan variasi ukuran eritrosit yang berbeda-beda seperti variasi pada
ukuran dan variasi pada bentuk.
10. Ansocytosis : Adanya eritrosit yang menunjukkkan berbagai ukuran dalam darah.
11. Hypochrome microcyter : Eritrosit dengan ukuran di bawah normal dan kandungan
hemoglobin yang di bawah normal.
12. Poikilocytosis : Adanya eritrosit dengan keragaman bentuk yang abnormal dalam
darah.

III.

Identifikasi Masalah
1. Ny. Zainab, 50 tahun, datang ke RSMH dengan keluhan utama berupa merasa
lemas. Dia terkadang juga mengalami palpitasi dan nausea.
2. Ny. Zainab memiliki riwayat 8 kali melahirkan spontan.
3. Sejak 1 tahun yang lalu, Ny. Zainab sering mengalami hematoschezia dan
didiagnosis haemorhoid.
4. Ny. Zainab jaran mengonsumsi sayuran dan buah-buahan.
5. Pemeriksaan fisik
6. Pemeriksaan lab

IV.

Analisis Masalah
1. Ny. Zainab, 50 tahun, datang ke RSMH dengan keluhan utama berupa merasa
lemas. Dia terkadang juga mengalami palpitasi dan nausea.
a. Apa etiologi dan mekanisme lemas?
Etiologi
i.
Metabolik
- Addison's disease
- Hyperparathyroidisme
- Natrium atau kalium yang rendah
- Thyrotoksikosis
ii.

iii.

iv.

v.

Brain/nervous system (neurologik)


-

Sklerosis Amyotropik lateral (ALS)

Bell's palsy

Cerebral palsy

Sindrom Guillain-Barre

Sklerosis multiple

Stroke

Penyakit otot
-

Becker muscular dystrophy

Dermatomiositis

Duchenne muscular dystrophy

Myotonic dystrophy

Keracunan
-

Botulisme

Keracunan insektisida, nerve gas

Keracunan shellfish

Lain-lain
-

Anemia
2

Miastenia gravis

Polio

Mekanisme
Kehilangan darah kronis akan menyebabkan penurunan jumlah sel darah
di dalam tubuh termasuk sel darah merah serta akan menyebabkan pengeluaran
zat besi yang berlebihan. Kehilangan zat besi yang berlebihan akan
menyebabkan ketidakseimbangan zat besi di dalam tubuh sehingga terjadi
defisiensi besi di dalam tubuh. Defisiensi zat besi akan menyebabkan
berkurangnya jumlah hemoglobin di dalam tubuh. Hal ini (berkurangnya
hemoglobin) bersamaan dengan berkurangnya jumlah sel darah merah akan
menyebabkan

rendahnya

oksigenasi

selular.

Keadaan

tersebut

akan

menyebabkan penurunan jumlah energi yang dihasilkan karena dalam proses


pembentukan energi yang cukup, dibutuhkan oksigen yang memadai.
Rendahnya energi ini akan menyebabkan perasaan lemas atau lemah pada
pasein.

b. Apa etiologi dan mekanisme palpitasi?


Etiologi
Palpitasi dapat terjadi disebabkan dari 3 akibat utama, yaitu :
1. Hyperdynamic
circulation
(imkompetensi
katup,

tirotoksikosis,

hypercapnia, pireksia, anemia, kehamilan)


2. Cardiac dysrythmia (kontraksi atrial premature, junctional escape beat,
kontraksi

ventricular

premature,

atrial

fibrilasi,

supreventrikular

tachycardia, ventricular tachycardia, ventricular fibrilasi, blok jantung)


3. Sympathetic overdrive (gangguan panic, hipoglikemi, hipoksia,
antihistamin, anemia, gagal jantung)
Mekanisme
Perdarahan yang terjadi secara kronik menyebabkan anemia defisiensi
besi, dimana jumlah besi menurun untuk terjadinya proses eritropoesis.
Sehingga kadar hemoglobin menurun. Tubuh menjadi kekurangan oksigen.
Tubuh beradaptasi dengan cara meningkatkan kecepatan aliran darah (curah
jantung) untuk meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan. Peningkatan
beban kerja dan curah jantung menyebabkan terjadinya palpitasi.

c. Apa etiologi dan mekanisme nausea?


Etiologi
- Vagal effect, perangsangan dari reseptor mual dari GI karena menurunnya
motilitas gaster, sehingga menimbulkan rasa ingin membuang makanan ke
atas. Penyebabnya : bowel obstruksi, GI pathology
- Vestibular effect, karena motion sickness, dizziness/pusing, dan gangguan
-

seperti tumor otak dan obat


Peningkatan tekanan intracranial
Perasaan cemas dan stress
GI : obstruksi usus halus, intraabdominal emergency, gastroenteritis
Kardiovaskular : infark, congestive, shock
Drug withdrawl : opiate, benzodiazepine, NSAID, digoksin
Lain-lain : kehamilan, pasca operasi
Metabolic : uremia, endokrin imbalance, elektrolit imbalance
(hypercalcemia, hyponatremia)

Mekanisme
Pada kasus aniemia defiziensi zat besi, dapat menyebabkan gangguan
enzim aldehid oksidase sehingga terjadi penumpukan serotonin yang
merupakan pengontrol nafsu makan. Hal ini mengakibatkan reseptor 5 HT
meningkat, di usus halus menyebabkan mual dan muntah. Reseptor serotonin,
atau yang dikenal juga sebagai 5-hydroxytryptamine receptors ( reseptor 5-HT)
adalah grup dari G protein-coupled receptors (GPCRs) DAN ligand-gated ion
channels (LGICs) yang terdapat di system saraf pusat dan perifer. Reseptor
tersebut memediasi baik eksitasi dan inhibisi neurotransmission. Reseptor
serotonin ini diaktivasi oleh neurotransmitter serotoninm yang beraksi sebagai
ligand naturalnya. Serotonin reseptor ini memodulasi pengeluaran dari banyak
neurotransmitter, termasuk glutamate, GABA, dopamine, epinephrine atau
norepinephrine, dan asetilkolin. Sebuah episode emetogenik dapat memulai
pelepasan serotonin (5-HT) dari sel enterochromaffin di saluran pencernaan. 5HT kemudian berikatan dengan reseptor 5-HT3 yang merangsang neuron vagal
yang mengirimkan sinyal ke VC, mengakibatkan mual.
Selain itu, defisiensi besi juga dapat menyebabkan gangguan enzim
monoamino oksidase (enzim yang mengkatalase oksidasi monoamine yaitu
dopamine dan katekolamin yang fungsinya adalah inaktivasi ketiga enzim
tersebut) sehingga terjadi penumpukan katekolamin dalam otak. Salah satu
efek Katekolamin dalam reseptor adrenergic baik alfa (1,2) dan beta (1,2,3)
menurunkan motilitas usus Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya nausea.
4

d. Apa hubungan lemas, palpitasi dan nausea pada kasus ini?


Ketiganya merupakan gejala dari anemia atau kurangnya sel darah merah pada
tubuh seseorang. Anemia adalah rendahnya kadar hemoglobin atau sel-sel
darah merah dalam darah. Sel-sel darah merah ini bertugas untuk membawa O2
yang dibutuhkan tubuh ke seluruh jaringan tubuh, jika jumlah sel darah merah
sebagai "kendaraan" pengangkutnya tidak ada atau kurang, maka O2 yang
diangkutnya pun tidak dapat memenuhi kebutuhan normal. Jika O2 yang
dibutuhkan kurang mencukupi, maka jaringan-jaringan tubuh akan kekurangan
O2. Hal inilah yang menyebabkan tubuh menjadi lemas. Selain itu juga, karena
sel tidak dapat bermetabolisme secara aerob (mengandalkan hanya metabolism
anaeorb), yang menghasilkan lebih sedikit ATP dan banyak asam laktat. Lalu,
palpitasi sebagai akibat dari peningkatan kecepatan aliran darah yang
mencerminkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat untuk
meningkatkan pengiriman O2 ke jaringan oleh sel darah merah. Nausea juga
sebagai salah satu mekanisme kompensasi tubuh untuk beradaptasi dengan cara
memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital. Pada keadaan defisiensi
besi dapat menyebabkan gangguan enzim aldehid oksidase sehingga terjadi
penumpukan serotonin yang merupakan pengontrol nafsu makan. Hal ini
mengakibatkan reseptor 5 HT meningkat, di usus halus menyebabkan mual dan
muntah. Selain itu, defisiensi besi juga dapat menyebabkan gangguan enzim
monoamino oksidase sehingga terjadi penumpukan katekolamin dalam
otak. Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya keadaan mual atau nausea.
e. Apa saja penyakit yang memiliki gejala lemas, palpitasi dan nausea?
- Anemia defisiensi besi
- Thalasemia
- Anemia kronik
- Aritmia
- Penyakit katup jantung
- Gagal jantung
- Kardiomiopati
- Angina
2. Ny. Zainab memiliki riwayat 8 kali melahirkan spontan.
a. Apa dampak melahirkan spontan sebanyak 8 kali?
- Risiko placenta previa dan plasenta akreta meningkat. Placenta previa
adalah kelainan letak plasenta yang seharusnya di atas rahim malah di
bawah, sehingga menutupi jalan lahir.

- Meningkatnya intervensi dalam persalinan seperti pemasangan infus atau


induksi (rangsangan) agar tanda persalinan muncul. Induksi bisa
dilakukan dengan pemberian obat-obatan atau memecahkan kantung
ketuban.
- Usia ibu yang terlalu tua juga menyebabkan risiko kecacatan janin,
komplikasi pada ibu (preeklampsia atau diabetes gestasional).
- Risiko bayi dilahirkan prematur akibat jaringan parut dari kehamilan
sebelumnya bisa menyebabkan masalah pada plasenta bayi.
- Perdarahan saat persalinan. Rahim, organ tempat janin berkembang,
terdiri dari jaringan otot. Kehamilan yang terlalu rapat akan
mengendurkan otot-otot tersebut sehingga setelah persalinan rahim
menjadi sulit berkontraksi untuk kembali ke ukurannya yang semula dan
terjadilah perdarahan.
- Prolaps organ panggul (POP) terjadi tidak seketika pascamelahirkan. POP
akan bertambah jumlahnya menyusul meningkatnya usia harapan hidup
wanita. Mereka mengalaminya akibat sering melahirkan, proses
persalinan lama diatas dua jam, atau terjadi 3 sampai 4 robekan saat
melahirkan.
b. Apa hubungan melahirkan spontan 8 kali dengan gejala pada kasus ini
(haemorhoid)?
Setiap saat kehamilan, uterus akan membesar yang dapat memberikan
tekanan pada vena pelvis dan vena cava inferior. Vena cava inferior merupakan
vena besar di sisi kanan tubuh yang menerima darah dari tubuh bagian bawah.
Tekanan ini dapat memperlambat kembalinya darah dari bagian bawah tubuh,
sehingga meningkatkan tekanan pada vena di bawah rahim dan menyebabkan
vena-vena tersebut menjadi membesar. Selain itu, saat kehamilan terjadi
peningkatan hormon progesteron, yang menyebabkan dinding pembuluh darah
vena lebih relaksasi, yang memungkinkan untuk membengkak lebih mudah.
Progesteron juga berkontribusi untuk konstipasi dengan memperlambat
motilitas saluran pencernaan. Sembelit sering menyebabkan tegang, yang dapat
menyebabkan atau memperburuk Haemorhoid.
Dengan berulangnya peningkatan tekanan dari peningkatan tekanan intra
abdominal dan aliran darah dari arteriola, pembesaran vena (varices) akhirnya
terpisah dari otot halus yang mengelilinginya ini menghasilkan prolap
pembuluh darah hemoroidalis yang disebut sebagai Haemorhoid.
6

3. Sejak 1 tahun yang lalu, Ny. Zainab sering mengalami hematoschezia dan
didiagnosis haemorhoid.
a. Apa etiologi dan mekanisme hematoschezia?
Etiologi pada kasus dewasa
Internal hemoroid
Kelainan Vaskular
Divertikulosis
Infeksi (campylobacter, Shigellosis, amebiasis)
Anal fissures
Colitis ulseratif kronis
Granulomatosis colitis
Adenokarsinoma
Tumor jinak
Kolitis iskemik
Upper saluran lesi (perdarahan masif)
Mekanisme:
Perdarahan pada hemoroid bisa terjadi dari grade 1-4. Perdarahan pada
hemoroid berhubungan denga proses mengejan. Ini menjadi pembeda dengan
perdarahan yang disebabkan oleh hal lain, misalnya tumor. Pada hemoroid,
darah keluar saat pasien mengejan, misalnya saat BAB dan berhenti bila pasien
berhenti mengejan. Sedangkan perdarahan karena sebab lain tidak mengikuti
pola ini. Darah yang keluar adalah darah segar yang tidak bercampur feses
(hematoschezia). Perdarahan kadang menetes tapi dapat juga mengalir deras.
Sebab utama perdarahan adalah trauma feses yang keras. Perdarahan yang
berulang-ulang dapat menimbulkan anemia.
b. Apa etiologi dan mekanisme haemorhoid?
Etiologi
i. Pola makan
Pola makan rendah serat akan menghasilkan feses yang keras, orang harus
mengejan saat buang air besar (BAB). Terjadi peningkatan tekanan yang
menyebabkan pembesaran hemoroid, mungkin juga mengganggu aliran
darah balik.
ii. Kebiasaan
Duduk berlama-lama di toilet (misalnya sambil membaca) diyakini
menyebabkan masalah aliran darah balik di daerah perianal (sutu efek
torniket), menyebabkan pembesaran hemoroid. Penuaan menyebabkan
pelemahan struktur pendukung bisa terjadi di usia 30-an.
7

iii. Mengejan dan konstipasi


Mengejan dan konstipasi telah lama diketahui sebagai penyebab
terbentuknya tonjolan hemoroid memiliki tonus kanal saat istirahat, lebih
tinggi dari normal. Yang menarik, tonus saat istirahat lebih rendah setelah
dilakukan hemoroidektomi, dibanding sebelum dilakukan prosedur
.Perubahan pada saat istirahat adalah mekanisme aksi dilatasi Lord, suatu
prosedur medis untuk keluhan anorektal yang umum dilakukan di Inggris.
iv. Kehamilan
Kehamilan membuat wanita mudah mengalami gejala akibat hemoroid,
meski etiologinya tidak diketahui.Hemoroid pada wanita hamil bisa
disebabkan adanya peningkatan tekanan. Masuk trimester akhir, tekanan di
rongga panggul membesar, sehingga aliran darah balik terganggu, akhirnya
pembuluh darah membesar, kata dr.Toar.
v. Hipertensi Portal
Sering dihubungkan dengan hemoroid. Tetapi, gejala hemoroid tidak terjadi
lebih sering pada pasien dengan hipertensi portal daripada pasien tanpa
hipertensi portal. Pasien-pasien ini jarang mengalami perdarahan,
dianjurkan melakukan ligasi jahitan langsung.
Mekanisme
Dalam keadaan normal sirkulasi darah yang melalui vena hemoroidalis
mengalir dengan lancar sedangkan pada keadaan hemoroid terjadi gangguan
aliran darah balik yang melalui vena hemoroidalis. Gangguan aliran darah ini
antara lain dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan intra abdominal. Vena
porta dan vena sistematik, bila aliran darah vena balik terus terganggu makan
dapat menimbulkan pembesaran vena (varices) yang dimulai pada bagian
struktur normal di regio anal, dengan pembesaran yang melebihi katup vena
dimana sfingter anal membantu pembatasan pembesaran tersebut. Hal ini yang
menyebabkan pasien merasa nyeri dan faeces berdarah pada hemoroid interna
karena varices terjepit oleh sfingter anal.
Peningkatan tekanan intra abdominal menyebabkan peningkatan vena
portal dan vena sistemik dimana tekanan ini disalurkan ke vena anorektal.
Arteriola regio anorektal menyalurkan darah dan peningkatan tekanan
langsung ke pembesaran (varices) vena anorektal. Dengan berulangnya
peningkatan tekanan dari peningkatan tekanan intra abdominal dan aliran
8

darah dari arteriola, pembesaran vena (varices) akhirnya terpisah dari otot
halus yang mengelilinginya ini menghasilkan prolap pembuluh darah
hemoroidalis. Hemoroid interna terjadi pada bagian dalam sfingter anal, dapat
berupa terjepitnya pembuluh darah dan nyeri, ini biasanya sering
menyebabkan pendarahan dalam faeces, jumlah darah yang hilang sedikit
tetapi bila dalam waktu yang lama bisa menyebabkan anemia defisiensi besi.
Hemoroid eksterna terjadi di bagian luar sfingter anal tampak merah kebiruan,
jarang menyebabkan perdarahan dan nyeri kecuali bila vena ruptur. Jika ada
darah beku (trombus) dalam hemoroid eksternal bisa menimbulkan
peradangan dan nyeri hebat.

c. Apa dampak hematoschezia dan haemorrhoid sejak 1 tahun yang lalu?


Hematoschezia sendiri menunjukkan adanya darah berwarna merah segar
di dalam feses yang mengindikasikan bahwa terdapat perdarahan pada saluran
cerna bagian bawah. Pada kasus ini kemungkinan yang menyebabkan
hematoschezia adalah haemorroid Bila kehilangan darah yang terjadi lebih dari
10 ml/hari maka akan menimbulkan dampak yang signifikan dan memberikan
occult blood test positif pada feses dengan reagent Guaiac. Salah satu
dampaknya adalah anemia defisiensi Fe.
Setiap darah yang dikeluarkan dari feses (Hematoschecia) ini juga pasti
akan mengeluarkan hemoglobin yang ada di sel darah merah. Sedangkan dalam
haemoglobin sendiri terdapat 17 mg besi per harinya dan seharusnya 17 mg
besi tersebut akan kembali digunakan untuk pembentukan Hb selanjtnya dalam
iron pool, dan sekitar 1% dari total eritrosit akan mengalami penghancuran atau
destruksi serta penggantian setiap harinya artinya dengan adanya perdarahan ini
maka kebutuhan besi akan sangat meningkat untuk kompensasi fisiologis
pergantian RBC yang 1 % tadi dan pembentukan Hb serta eritrosit baru untuk
mencukupi kebutuhan darah per hari. Namun tubuh hanya bisa mengkompenasi
penyerapan besi 2mg saja per harinya bila asupan dari makanan cukup (pada
kasus ini dari makanan juga kurang), artinya dalam kasus perdarah kronik ini
cadangan besi yang tersimpan akan digunakan terus untuk mengcover
kehilangan besi yang terjadi akibat perdarahan.
Hal ini menjelaskan patogenesis anemia defisiensi besi diawali dengan
adanya perdarahan menahun (pada kasus ini hematoschezia et causa
9

haemorrhoid). Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga


cadangan besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut
iron depleted state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada
bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi atau sering disebut
iron deficient erythropoiesis. Selanjutnya muncul anemia hipokromik
mikrositer yang disebut iron deficiency anemia (Bakta, 2000).
d. Jelaskan klasifikasi haemorrhoid (jenis maupun grade)
Klasifikasi Hemoroid
Hemoroid diklasifikasikan berdasarkan asalnya, dimana dentate line menjadi
batas histologis. Klasifikasi hemoroid yaitu:
i. Hemoroid eksternal, berasal dari dari bagian distal dentate line dan dilapisi
oleh epitel skuamos yang telah termodifikasi serta banyak persarafan
ii.

serabut saraf nyeri somatik


Hemoroid internal, berasal dari bagian proksimal dentate line dan dilapisi

iii.

mukosa.
Hemoroid internal-eksternal dilapisi oleh mukosa di bagian superior dan
kulit pada bagian inferior serta memiliki serabut saraf nyeri (Corman, 2004)

Derajat Hemoroid Internal


Menurut Person (2007), hemoroid internal diklasifikasikan menjadi beberapa
tingkatan yakni:
-

Derajat I, hemoroid mencapai lumen anal canal. Perdarahan waktu buang


air besar, benjolan tidak tampak dari luar.

Derajat II, hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat
pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.
10

Derajat III, hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk
kembali secara manual oleh pasien.

Derajat IV, hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal canal
meski dimasukkan secara manual.

4. Ny. Zainab jarang mengonsumsi sayuran dan buah-buahan.


a. Apa dampak jarang mengonsumsi sayuran dan buah-buahan (umum)?
Mengkonsumsi buah dan sayur dapat mengurangi risiko penyakit
jantung, stroke, mengendalikan tekanan darah, mencegah beberapa tipe kanker,
menghindari berbagai penyakit saluran pencernaan seperti diverculitis, dan
mengurangi risiko tejadinya katarak dan degenerasi makula, oleh karena itu,
kurangnya konsumsi buah dan sayuran dapat menyebabkan peningkatan risikorisiko penyakit tesebut. Selain itu, kurangnya konsumsi buah dan sayur dapat
menyebabkan konstipasi dan defisiensi beberapa nutrien tertentu.
b. Apa hubungan pola konsumsi dengan gejala pada kasus?
Pola konsumsi Ny. Zainab yang jarang mengonsumsi sayuran dan
buah-buahan dapat memperbesar risiko terkena Haemorhoid, karena rendahnya
asupan serat. Serat yang terdapat dalam sayuran dan buah-buahan sebagian
besar mengandung selulosa. Selulosa ini tidak bisa diproses dalam saluran
cerna karena di tubuh manusia tidak terdapat enzim yang dapat mencernanya,
yaitu enzim selulase. Oleh karena itu, serat membantu pencernaan manusia
dalam hal memperlancar jalannya makanan dalam saluran cerna sehingga risiko
terkena Haemorhoid menjadi berkurang.
11

5. Pemeriksaan fisik
a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan fisik?

Parameter Normal Data pada Kasus

Interpretas

Keteranga

IMT
Pale & Fatique

18,5 25 kg/m2
-

20,812 kg/m2
+

Normal
Abnormal

Anemia

HR

60-100 x/minute

114 x/minute

Abnormal

Takikardi

RR

16-24 x/minute

30x/minute

Abnormal

Takipneu

36,5-37.2 0C

36,6 0C

Normal

120/80 mmHg

100/70 mmHg

Abnormal

(-) palpable

(-) palpable

Normal

Lymphadenopathy

Normal

Epigastric pain

Normal

Cheilitis

Abnormal

Koilonichias
Atrofi papil

Normal
Abnormal

Temperature
BP
Liver & spleen

Hipotensi

ADB

ADB

Mekanisme Abnormal
Pucat
Pucat pada kasus ini disebabkan oleh defisiensi hemoglobin dan
eritropoesis berkurang anemia berkurangnya aliran darah ke perifer
pucat.
Lemah
Anemia menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen keseluruh jaringan
tubuh. Akibatnya pembentukan ATP juga terganggu (berkurang) sehingga
tubuh menjadi lemah.
anemiasuplai O2metabolisme anaerobpenimbunan as.laktatlelah
Takikardi dan takipneu
Pada pasien anemia, hemoglobin dengan jumlah yang sedikit harus bekerja
keras untuk dapat mengantarkan oksigen keseluruh jaringan tubuh.
Walaupun usaha ini tidak maksimal, jantung akan memompa darah dengan
frekuensi yang lebih dari biasa agar hemoglobin dapat melaksanakan

12

tugasnya. Paru-paru berkontraksi dengan lebih cepat untuk mencukupi


kebutuhan oksigen di jaringan.
Hipotensi
Penurunan tekanan darah terjadi karena penurunan volume darah secara
keseluruhan, yang terjadi pada kasus-kasus anemia.
Cheilitis dan atrofi papil
Cheilitis atau stomatitis angularis dan atrofi papil merupakan gejala yang
muncul pada keadaan defisiensi zat besi. Mekanismenya masih belum
diketahui secara pasti, namun di duga karena adanya peran penting dari zat
besi dalam proses pembentukkan epitel, pembentukkan berbagai enzim dan
peran penting dari zat besi dalam imunitas.

Atrofi papil lidah

Cheilitis

6. Pemeriksaan lab
a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan lab?
Hasil Pemeriksaan
Hb 4,8 g/dL
Ht 15 vol%
RBC 2.500.000/mm

Nilai Normal
12-16 gr/dL

Interpretasi
Rendah

Keterangan
Perdarahan akibat

37 43 %

Rendah

haemorhoid
Perdarahan akibat

Rendah

haemorhoid
Perdarahan akibat

4,2 5,4 jt/mm3

haemorhoid
13

WBC 7.000/mm3
Trombosit
480.000/mm3
RDW 20%
Blod smear:
- - anisocytosis,
- - hypochrome
microcyter,
- - poikilocytosis

400010.000/mm3
150.000-500.000

Normal
Normal

sel/mm3
10-15%
Tinggi
Normal Bentuk, - Ukuran diameter
Ukuran, dan

eritrosit yang terdapat

Warna

di dalam suatu sediaan

Anisositosis
Defisiensi besi

apus berbeda-beda
(bervariasi)
- Diameter < 7 mikron,
biasa disertai dengan
warna pucat
(hipokromia)
- Bermacam-macam

Faeces: Hookworms

Negative

variasi bentuk eritrosit


Normal

eggs negative
MCV 60 fl
MCH 19,2 pg
MCHC 32%

70-100 fl
27-31 pg
30-35 %

Menurun
Menurun
Normal

Gambar Poikilositosis

14

Gambar Anisositosis

Mekanisme Abnormal
Hb 4,8 g/dL : Perdarahan menahun dapat menyebabkan kehilangan besi
atau kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga
cadangan besi makin menurun, jika cadangan besi menurun, keadaan ini
disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron
depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum,
peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum
15

tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi
menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang
sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara
klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah
peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam
eritrosit. Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron
binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin
dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis
semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun Hemoglobin
adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif

tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang.


Ht 15 vol% :
Hematokrit merupakan ukuran yang menentukan
banyaknya jumlah sel darah merah dalam 100 ml darah yang dinyatakan
dalam persen (%). Kadar hemoglobin berbanding lurus dengan kadar
hematokrit,

sehingga

apabila

terjadi

peningkatan

dan

penurunan

hemoglobin akan berpengaruh pula dengan kadar hematokrit .


RBC 2.500.000/mm3 : Akibat kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga
kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup yang ditandai
dengan gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum
(Serum iron = SI) dan jenuh transferin menurun, Kapasitas ikat besi total
(Total Iron Binding Capacity = TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam
sumsum tulang serta ditempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama
sekali. Selain itu juga kehilangan darah yang banyak akibat perdarahan

dapat menurunkan jumlah RBC di dalam darah.


RDW 20% : RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk
mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak terdeteksi. Kenaikan nilai RDW
merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi,
serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin.
MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda dari
kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin

dianggap menjadi diagnostik.


Blood smear:
- Anisocytosis : Terdapat banyak variasi ukuran eritrosit

16

Hypochromemicrocyter : Mikrositik berarti sel kecil dan hipokromik


berarti pewarnaan

yang berkurang. Karena warna

berasal dari

hemoglobin, sel-sel ini mengandung hemoglobin dalam jumlah yang


kurang dari normal (akibat penurunan MCV, penurunan MCHC).
Keadaan ini umumnya mencerminkan insufisiensi sintesis heme atau

kekurangan zat besi.


- Poikilocytosis : Banyak kelainan bentuk eritrosit
Faeces: Hookworms eggs negative : anemia bukan disebabkan oleh

infeksi parasit.
MCV 60 fl : MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun
apabila kekurangan zat besi semakin parah dan pada saat anemia mulai
berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk
setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung
dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal

70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.


MCH 19,2 pg : MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel
darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel
darah merah.

7. Diagnosis
a. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus ini dan pemeriksaan
penunjang lain apa saja yang diperlukan?
Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat.
Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya
anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Titik pemilah
anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria
klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan
tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.
Feritin serum merupakan indikator yang terbaik untuk menilai interfensi besi
dan deplesi besi.
Tetapi feritin merupakan protein fase akut sehingga nilainya meningkat pada
keadaan inflamasi. Pengukuran protein fase akut yang berbeda dapat membantu
menginterpretasi nilai serum feritin, jika konsentrasi protein fase akut ini
meningkat menandakan dijumpai inflamasi.

17

Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin


yang beredar di sirkulasi tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh.
Menurut WHO, dikatakan anemia bila:
- Laki-laki dewasa hemoglobin < 13 g/dl
- Perempuan dewasa tidak hamil hemoglobin < 12 g/dl
- Perempuan hamil hemoglobin < 11 g/dl
- Anak umur 6-12 tahun hemoglobin < 12 g/dl
- Anak umur 6 bulan-6 tahun hemoglobin < 11 g/dl
Atau, anemia menurut WHO bila :
- Hemoglobin <10 g/dl
- Hematokrit <30 %
- Jumlah eritrosit <2,8 juta/mm3
Pemeriksaan Fisik
Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau multisistem
dan untuk menilai beratnya kondisi penderita.
Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan:
Adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.
Pucat: sensitivitas dan spesifi sitas untuk pucat pada telapak tangan,
kuku, wajah atau konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi

antara 19-70% dan 70-100%.


Ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus
sering sulit dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifi sial. Pada
penelitian 62 tenaga medis, ikterus ditemukan pada 58% penderita
dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada 68% penderita dengan bilirubin

3,1 mg/dL.
Penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk) pada

talasemia.
Lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe.
Limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di sternum);
nyeri tulang dapat disebabkan oleh adanya ekspansi karena penyakit infi
ltratif (seperti pada leukemia mielositik kronik), lesi litik (pada

myeloma multipel atau metastasis kanker).


Petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.
Kuku rapuh, cekung (spoon nail) pada anemia defisiensi Fe.
Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter,

anemia sideroblastik familial).


Infeksi rekuren karena neutropenia atau defisiensi imun.

Pemeriksaan Laboratorium
18

1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran
kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang.
Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan
alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama
kehamilan, yaitu trimester I dan III.
2. Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau
menggunakan rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila
kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai
berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang
spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan.
Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah.
Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah.
Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik >
31 pg.
c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35%
dan hipokrom < 30%.
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan
menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti,
sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan
darah dapat dilihat pada kolom morfology flag.
19

4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)


Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih
relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk
membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah
untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW
merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta
lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV
rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari
kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin
dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.
5. Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan
beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP
naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan
setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya
dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap
variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi
walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
6. Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah
cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi
serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi
serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada
kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi.
Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak
status besi yang spesifik.
7. Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi
serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat
menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal
dan keganasan.

20

8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)


Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,
merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai
besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat
menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada
studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh
transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan
kekurangan zat besi.
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat
secara khusus oleh plasma.
9. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam
praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik
untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi,
sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi.
Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi
tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat
tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range
referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi
serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan
cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada
dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun.
Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat
sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan
penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin
jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada
wanita yang mendapatkan suplemen zat besi.
Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi
kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan
21

mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay


(RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).

Pemeriksaan Sumsum Tulang


Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun
mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang
dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda
karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler.
Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian
pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang
dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga
sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.

b. Apa DD dan WD pada kasus ini?

WD : Anemia Defisiensi Besi


c. Apa saja etiologi pada kasus ini?
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi,
gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun :
22

Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari :


Saluran cerna : akibat dari tukak peptic, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan

infeksi cacing tambang


Saluran genitalia perempuan : menorrhagia, atau metrorhagia
Saluran kemih : hematuria
Saluran napas : hemoptoe
Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat,

rendah vitamin C dan rendah daging)


Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa

pertumbuhan, dan kehamilan


Gangguan absorbsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau colitis kronik.

d. Apa epidemiologi pada kasus ini?


Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang sering dijumpai baik
di klinik maupun masyarakat. ADB merupakan anemia yang sangat sering
dijumpai di Negara berkembang.
Prevalensi Anemia Defisiensi Besi
Afrika
Amerika Latin
Indonesia
Laki-laki Dewasa
6%
3%
16-50%
Wanita tak hamil
20%
17-21%
25-48%
Wanita Hamil
60%
39-46%
46-92%
Belum ada data yan pasti mengenai prevalensi ADB di Indonesia.
Martoatmojo et al memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50% dan 25-984%
pada perempuan tidak hamil. Perempuan hamil merupakan segmen penduduk
yang paling rentan pada ADB. Di Bali didapatkan prevalensi anemia sebesar
50% dengan 75% anemia disebabkan oleh defisiensi besi. Dalam suatu survey
pada 42 desa di Bali yang melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan
prevalensi ADB sebesar 46%, sebagian besar derajat anemia ringan. Faktor
resiko yang dijumpa adalah tingka pendidikan dan kepatuhan meminum pil zat
besi. Di Amerika Serikat, berdasarkan survey gizi (NHANES III) tahun 1988
sampai tahun 1994, defisiensi besi dijumpai kurang dari 1% pada laki-laki
dewasa berumur kurang dari 50 tahun. 2-4% pada laki-laki dewasa berumur
lebih dari 50 tahun, dan 5-7% pada perempuan pascamenopouse.
e. Apa saja faktor risiko pada kasus ini?

23

Kelompok-kelompok berikut memiliki peningkatan resiko kemungkinan


mengalami anemia kekurangan zat besi:
- Wanita. Karena wanita kehilangan darah selama menstruasi. Karena itulah
-

pada umumnya wanita lebih berisiko daripada laki-laki.


Bayi dan anak-anak. Bayi terutama mereka yang lahir dengan berat badan
rendah atau lahir prematur, ang tidak mendapatkan zat besi yang cukup dari
ASI atau susu formula mungkin menghadapi resiko kekurangan zat besi.
Anak-anak memerlukan zat besi ekstra selama growth spurts. Jika anakanak ini tidak mendapat makanan dengan diet yang sehat dan bervariasi,

mereka mungkin berisiko.


Vegitarian. Orang yang tidak makan daging memiliki resiko yang lebih
tinggi sekiranya mereka tidak mengkonsumsi makanan lain yang kaya

dengan sumber zat besi


Sering donor darah. Orang yang rutin melakukan donor darah mungkin
memiliki peningkatan resiko anemia defisiensi besi karena donor darah bisa
menyebabkan deplesi simpanan besi. Kadar hemoglobin yang rendah yang
berkaitan dengan donor darah merupakan masalah sementara dan dapat
diatasi dengan makan makanan yang kaya dengan zat besi.

f. Apa manifestasi klinis pada kasus ini?


Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar
yaitu:
- Gejala umum anemia
Gejala umum anemia yang juga disebut sebagai sindrom anemia (anemic
syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin
turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala berupa badan le,ah, lesu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang, serta telinga berdenging. Pada anemia defisiensi besi
karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan
seringkali sindroma anemia tidak telalu mencolok dibandingkan dengan
anemia lain yang kadar hemoglobinya terjadi lebih cepat, oleh karena
mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat
simtomatik jika hemoglobin telah turun dibawah 7 gr/dl. Pada pemeriksaan
fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan
dibawah kuku.
- Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah:

24

Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-

garis vertical menjadi cekung sehingga mirip sendok


Atropi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena

papil lidah menghilang


Stomatitis angularis (cheilitis): adanya keradangan pada sudut mulut

sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan


Disfagia: kesulitan menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Atropi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim seperti tanah
liat, lem, dan lain-lain

Sindrom plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah
kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atropi
papil lidah dan disfagia.

g. Apa patofisiologi pada kasus ini?


Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan
besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin
menurun (Bakta, 2006).
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi
yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai
oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus,
serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi
berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada
bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut
sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang
dijumpai

adalah

peningkatan

kadar

free

protophorphyrin

atau

zinc

protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat


besi total (total iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan
reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi
maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai
menurun (Tabel 2.2). Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut
sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia). Pada saat ini juga
terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat
menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan
25

Kehilangan darah kronis akan menyebabkan penurunan jumlah sel darah di


dalam tubuh termasuk sel darah merah serta akan menyebabkan pengeluaran
zat besi yang berlebihan. Kehilangan zat besi yang berlebihan akan
menyebabkan ketidakseimbangan zat besi di dalam tubuh sehingga terjadi
defisiensi besi di dalam tubuh. Defisiensi zat besi akan menyebabkan
berkurangnya jumlah hemoglobin di dalam tubuh, dan hemoglobin (terutama
bagian heme yang mengandung zat besi yang berikatan dengan oksigen)
merupakan zat yang menyebabkan darah berwarna kemerahan. Pucat terjadi
karena berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin sehingga ikatan
antara besi dan oksigen (yang menyebabkan warna darah merah) berkurang,
dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer untuk memaksimalkan pengiriman
oksigen ke organ-organ vital.
Berkurangnya jumlah hemoglobin di dalam tubuh bersamaan dengan
berkurangnya

jumlah sel darah merah akan menyebabkan rendahnya

oksigenasi selular. Keadaan tersebut akan menyebabkan penurunan jumlah


energi yang dihasilkan karena dalam proses pembentukan energi yang cukup,
dibutuhkan oksigen yang memadai. Rendahnya energi ini akan menyebabkan
perasaan lemas atau lemah sehingga seseorang menjadi cepat lelah.
Penurunan oksigenasi jaringan juga akan menyebabkan timbulnya suatu
26

reaksi kompensasi. Keadaan hipoksia jaringan ini akan menyebabkan tubuh


menganggap bahwa aliran darah tidak memadai sehingga jantung akan
mempercepat denyutnya untuk meningkatkan curah jantung. Rendahnya atau
sedikitnya jumlah hemoglobin akan menyebabkan rendahnya jumlah oksigen
yang beredar di dalam darah, hal ini akan menyebabkan pusat pernafasan di
medula oblongata merasa bahwa terjadi penurunan oksigen akibat tidak
memadainya pernafasan yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan
kecepatan pernafasan. Sedangkan penurunan tekanan darah terjadi karena
penurunan volume darah secara keseluruhan, penurunan viskositas darah, dan
adanya vasodilatasi perifer yang menyebabkan penurunan resistensi pembuluh
darah yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan tekanan darah.
Cheilitis atau stomatitis angularis dan atrofi papil merupakan gejala yang
muncul pada keadaan defisiensi zat besi. Mekanismenya masih belum
diketahui secara pasti, namun di duga karena adanya peran penting dari zat besi
dalam proses pembentukkan epitel, pembentukkan berbagai enzim dan peran
penting dari zat besi dalam imunitas.
h. Apa tatalaksana pada kasus ini?
Tatalaksana:
1. Terapi kausal: terapi ini diberikan berdasarkan penyebab yang mendasari
terjadinya anemia defisiensi besi. Terapi kausal ini harus dilakukan
segera kalau tidak, anemia ini dengan mudah akan kambuh lagi atau
bahkan pemberian preparat besi tidak akan memberikan hasil yang
diinginkan
Hemoroid
Jika penyebab anemia adalah hemoroid grade III atau IV, maka harus
segera dilakukan pembedahan. Namun sebelum dilakukan operasi, kadar
Hb pasien harus di atas 10 g/dL.
2. Terapi dengan preparat besi:
a. Oral: preparat besi yang diberikan peroral merupakan terapi yang
banyak disukai oleh kebanyakan pasien, hal ini karena lebih
efektif, lebih aman, dan dari segi ekonomi preparat ini lebih murah.
Preparat yang ter sedia berupa:
- Ferro Sulfat : merupakan preparat yang terbaik, dengan dosis 3 x
200 mg, diberikan saat perut kosong [sebelum makan]. Jika hal
ini memberikan efek samping misalkan terjadi mual, nyeri perut,
konstipasi maupun diare maka sebaiknya diberikan setelah
27

makan/ bersamaan dengan makan atau menggantikannya dengan


preparat besi lain.
- Ferro Glukonat: merupakan preparat dengan kandungan besi
lebih rendah daripada ferro sulfat. Harga lebih mahal tetapi
efektifitasnya hampir sama.
- Ferro Fumarat, Ferro Laktat.
Waktu pemberian besi peroral ini harus cukup lama yaitu untuk
memulihkan cadangan besi tubuh kalau tidak, maka anemia sering
kambuh lagi. Berhasilnya terapi besi peroral ini menyebabkan
retikulositosis yang cepat dalam waktu kira-kira satu minggu dan
perbaikan kadar hemoglobin yang berarti dalam waktu 2-4 minggu,
dimana akan terjadi perbaikan anemia yang sempurna dalam waktu
1-3 bulan. Hal ini bukan berarti terapi dihentikan tetapi terapi harus
dilanjutkan sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi tubuh.
Jika pemberian terapi besi peroral ini responnya kurang baik, perlu
dipikirkan kemungkinan kemungkinannya sebelum diganti
dengan preparat besi parenteral.
Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan respon terhadap
pemberian preparat besi peroral antara lain perdarahan yang masih
berkelanjutan (kausanya belum teratasi), ketidak patuhan pasien
dalam minum obat (tidak teratur) dosis yang kurang, malabsorbsi,
salah diagnosis atau anemia multifaktorial.
b. Parenteral
Pemberian preparat besi secara parenteral yaitu pada pasien dengan
malabsorbsi berat, penderita Crohn aktif, penderita yang tidak memberi
respon yang baik dengan terapi besi peroral, penderita yang tidak patuh
dalam minum preparat besi atau memang dianggap untuk memulihkan
besi tubuh secara cepat yaitu pada kehamilan tua, pasien hemodialisis.
Ada beberapa contoh preparat besi parenteral:
-

Besi Sorbitol Sitrat (Jectofer). Pemberian dilakukan secara

intramuscular dalam dan dilakukan berulang.


Ferri hidroksida-sucrosa (Venofer). Pemberian secara intravena
lambat atau infus. (Hoffbrand AV, et Al, 2005, hal 25-34) Harga
preparat besi parenteral ini jelas lebih mahal dibandingkan dengan
preparat besi yang peroral. Selain itu efek samping preparat besi
28

parental lebih berbahaya. Beberapa efek samping yang dapat


ditimbulkan dari pemberian besi parenteral meliputi nyeri setempat
dan warna coklat pada tempat suntikan, flebitis, sakit kepala,
demam, artralgia, nausea, vomitus, nyeri punggung, flushing,
urtikaria, bronkospasme, dan jarang terjadi anafilaksis dan
kematian. Mengingat banyaknya efek samping maka pemberian
parenteral perlu dipertimbangkan benar benar.
Pemberian secara infus harus diberikan secara hati-hati. Terlebih
dulu dilakukan tes hipersensitivitas, dan pasien hendaknya diobservasi
selama pemberian secara infus agar kemungkinan terjadinya
anafilaksis dapat lebih diantisipasi.
Dosis besi parenteral harus diperhitungkan dengan tepat supaya
tidak kurang atau berlebihan, karena jika kelebihan dosis akan
membahayakan si pasien. Menurut Bakta IM, perhitungannya
memakai rumus sebagai berikut: (2007, hal 26-39) Kebutuhan besi
[ng]= (15-Hb sekarang) x BB x 3
3. Terapi lainnya berupa
i. Diet: perbaikan diet sehari-hari yaitu diberikan makanan yang
bergizi dengan tinggi protein dalam hal ini diutamakan protein
ii.

hewani.
Vitamin C: pemberian vitamin C ini sangat diperlukan mengingat
vitamin C ini akan membantu penyerapan besi. Diberikan dengan

iii.

dosis 3 x 100mg.
Transfusi darah: pada anemia defisiensi besi ini jarang memerlukan
transfusi kecuali dengan indikasi tertentu.

i. Apa pencegahan pada kasus ini?


Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat, maka
diperlukan suatu tindakan pencegahan yang padu. Tindakan pencegahan
tersebut dapat berupa:
1. Pendidikan kesehatan:
- Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan
lingkungan kerja, misalnya dengan pemakaian alas kaki sehingga dapat
mencegah penyakit cacing tambang

29

Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu

absorbsi besi
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik
paling sering dijumpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing
tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan antihelmentik
dan perbaikan sanitasi
3. Suplimentasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk
yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada
perempuan hamil dan anak balita memakai pil besi dan folat.
4. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada
bahan makanan. Di negara barat dilakukan dengan mencampur tepung
untuk roti dan bubuk susu dengan besi.
Pencegahan Haemorrhoid
Menurut Nagie (2007) pencegahan haemorrhoid dapat dilakukan dengan cara :
1. Konsumsi serat 25 30gr sehari. Makanan tinggi serat menyebabkan feses
menyerap air di kolon sehingga mengurangi mengedan dant ekaan pada
venous anus
2. Minum air 6-8 gelas sehari
3. Mengubah kebiasaan membuang air besar dengan cara tdak menahan
defekasi agar feses tidak menjadi keras.
j. Apa komplikasi pada kasus ini?
1. Anemia berat dapat menyebabkan hipoksemia dan mempertinggi resiko
insufiseinsi koroner dan iskemik miokard, selain itu dapat memperparah
keadaan pasien dengan penyakit paru kronis.
2. Intoleransi terhadap dingin ditemukan pada beberapa pasien dengan anemia
defisiensi kronis, dan bermanifestasi sebagai gangguan vasomotor, nyeri
neurologis, atau mati rasa bahkan rasa geli.
3. Meskipun jarang, namun pada anemia defisiensi yang berat berhubungan
dengan papilledema, peningkatan tekanan intracranial, dan bisa didapatkan
gambaran klinis pseudotumor cerebri. Manifestasi ini dapat terkoreksi oleh
terapi dengan pemberian preparat besi.
4. Fungsi imun yang melemah, dan pernah dilaporkan pasien dengan anemia
defisiensi besi mudah terjangkit infeksi, meskipun demikian belum
didapatkan fakta yang pasti mengenai keterkaitan antara defisiensi besi
dengan melemahnya imun karena ada beberapa factor lain yang turut
30

berperan. Ada yang berpendapat bahwa defisiensi besi dapat menurunkan


imunitas, dalam hal ini besi dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan
enzim mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas seluler.
5. Anak dengan deficit besi akan mengalami gangguan dalam perilakunya.
Pada infants terjadi gangguan perkembangan neurologis dan pada anak usia
sekolah terjadi penurunan prestasi belajar. IQ dari anak usia sekolah dengan
anemia defisiensi besi dilaporkan lebih rendah jika dibandingkan dengan
anak

sebaya

yang

nonanemic.

Gangguan

dalam

perilaku

dapat

bermanisfestasi sebagai kelainan dalam pemusatan perhatian, sedngakan


pada infants akan terjadi

pertumbuhan yang tidak optimal. Semua

manifestasi ini dikoreksi dengan terapi besi.


6. Defisiensi dihubungkan dengan risiko prematuritas serta morbiditas dan
mortalitas fetomaternal. Ibu hamil yang menderita anemia disertai
peningkatan angka kematian maternal, lebih mudah terkena infeksi dan
mengalami gangguan partus.
k. Bagaimana prognosis pada kasus ini?
- Vitam: Bonam
- Functionam: Bonam
Prognosa baik bila penyebab anemia hanya kekurangan besi dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala
anemia dan manifestasi kliniknya akan membaik dengan pemberian preparat
besi. Pada kasus ini, prognosis baik jika penyebab anemia, yakni perdarahan
kronik akibat hemorrhoid dapat diatasi. Serta pemberian preparat besi dan
faktor nutrisi yang baik.
l. Apa SKDI pada kasus ini?
- Hemoroid grade III, IV : 3A
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter
mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali
-

dari rujukan.
Hemoroid grade I, II dan Anemia Defisiensi Besi : 4A
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.

31

V.

Hipotesis
Ny. Zainab, 50 tahun, datang ke RMSH dengan keluhan utama lemah karena
mengalami anemia defisiensi besi akibat dari perdarahan kronik (haemorrhoid).

VI.

Sintesis
1. Metabolisme Besi
Besi dalam tubuh manusia terbagi dalam 3 bagian yaitu senyawa besi fungsional,
besi cadangan dan besi transport. Besi fungsional yaitu besi yang membentuk senyawa
yang berfungsi dalam tubuh terdiri dari hemoglobin, mioglobin dan berbagai jenis ensim.
Bagian kedua adalah besi transportasi yaitu transferin, besi yang berikatan dengan
protein tertentu untuk mengangkut besi dari satu bagian ke bagian lainya. Bagian
ketiga adalah besi cadangan yaitu feritin dan hemosiderin, senyawa besi ini
dipersiapkan bila masukan besi diet berkurang. Untuk dapat berfungsi bagi tubuh
manusia, besi membutuhkan protein transferin, reseptor transferin dan feritin yang
berperan sebagai penyedia dan penyimpan besi dalam tubuh dan iron regulatory
proteins (IRPs) untuk mengatur suplai besi.
Transferin merupakan protein pembawa yang mengangkut besi plasma dan
cairan ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Hoffman, 2000). Reseptor
transferin adalah suatu glycoprotein yang terletak pada membran sel, berperan
mengikat transferin-besi komplek dan selanjutnya diinternalisasi ke dalam vesikel
untuk melepaskan besi ke intraseluler. Kompleks transferin-reseptor transferin selanjutnya
kembali ke dinding sel, dan apotransferin dibebaskan ke dalam plasma. Feritin sebagai
protein penyimpan besi yang bersifat nontoksik akan dimobilisasi saat dibutuhkan. Iron
regulatory proteins (IRP-1 dan IRP-2 yang dikenal sebagai iron responsive elementbinding proteins

[IRE-BPs], iron regulatory factors [IRFs], ferritin-repressor

proteins [FRPs] dan p90) merupakan messenger ribonucleic acid (mRNA)


yang mengkoordinasikan ekspresi intraseluler dari reseptor transferin, feritin dan
protein penting lainnya yang berperan dalam metabolisme besi, seperti terlihat pada
gambar 1.

32

Gambar 1. Struktur protein transport (Beutler at al, 2000)


Bagian A adalah struktur apotransferin. Secara skematik struktur apotransferin
terdiri atas cincin polipeptid yang terbagi dalam dua lobus, masing-masing berbentuk
elip dan mengandung single iron-binding site yang ditampilkan dengan sebuah tanda titik.
Setiap lobus disusun dengan dua domain yang berbeda, diberi label I dan II. Selain itu
dikenal juga adanya dua lobus yaitu lobus N-terminal dan C-terminal. Bagian B
adalah reseptor transferin. Skema di atas menampilkan reseptor transferin di
atas permukaan sel. Transferin reseptor merupakan dimer glikoprotein transmembran
terdiri atas dua subunit yang identik dihubungkan dengan ikatan disulfide. Transferin
reseptor bersifat ampipatik dengan ekor sitoplasmik hidrofilik yang kecil dan domain
ekstraseluler hidropilik yang luas. Reseptor dapat mengikat dua molekul transferin
(Beutler at al, 2000).
a. Mekanisme Molekuler dari Ambilan Besi Seluler
Ambilan besi sel melalui transferrin-transferrin reseptor terjadi melalui
proses endositosis. Jalur utama peran transferin, reseptor transferin dan feritin
dalam penyimpanan dan penyediaan besi seluler ditunjukkan secara sistematik
pada gambar 2.
Gambar 2 menunjukkan distribusi besi ke sel

secara skematik yang

dimulai dengan terikatnya satu atau dua molekul transferin mono atau diferik
pada reseptor transferin dan proses ini tergantung energi dan suhu serta selesai
dalam waktu 2-3 menit. Pada pH plasma netral, kompleks transferin-besi jauh
33

lebih stabil dengan mengikatkan transferin pada reseptor transferin baik untuk
transferin monoferik maupun diferik. Efisiensi dari distribusi besi ke sel tergantung
pada jumlah transferin plasma mono dan diferik yang ada. Pada keadaan
erytropoesis normal dan saturasi transferin normal yaitu sekitar 33%, afinitas
tertinggi dari reseptor untuk transferin diferik menghasilkan aliran besi yang
banyak ke sel, dengan dilengkapi empat atom besi pada tiap siklusnya. Saat
saturasi tranferin sekitar 19%, besi dalam jumlah sama dihantarkan melalui
transferin mono atau diferik, sementara pada saturasi yang rendah,
kebanyakan besi dihantarkan dari bentuk monoferik (Beutler at al, 2000).

Gambar 2. Suplai besi seluler dan penyimpanan (Beutler at al, 2000)


b. Peranan Reseptor Tranferin dalam MelepaskanBesi dari Transferin di
dalam Endosome
Reseptor transferin memainkan peran penting dalam pelepasan besi dari kedua
transferrin pada saat endosom berada dalam pH asam (Beutler at al, 2000). Pada
saat pH 5,6, besi akan terlepas dari sisi N-terminal transferin. Hal ini berbeda
dengan yang terjadi pada sel eritroid, dimana besi telepas dari kedua sisi transferin
dalam waktu 2-3 menit. Tampaknya interaksi antara reseptor transferin dengan
34

transferin mempengaruhi pelepasan besi. Pada pH 5,6, besi dilepaskan dari


transferrin monoferik dan bentuk N-terminal (FeNTf) 3 kali lebih cepat daripada
C-terminal (FeCTf). Ikatan dengan reseptor transferin sedikit mempengaruhi
pelepasan FeN Tf namun terjadi peningkatan pada sisi C-terminal. Ikatan
reseptor transferin pada pH 5,6 mengubah kedua sisi transferin yang mengikat
besi dimana besi pada lobus N-terminal bersifat stabil, tidak pada sisi C-terminal.
Reseptor transferin yang terikat transferin dalam endosomal mempengaruhi
jumlah besi yang dilepaskan dari transferin dalam sel eritroid, selain itu juga
meminimalkan perbedaan antara sisi C-terminal dan N-terminal (Beutler at al,
2000).
c. Pengaturan, Penyimpanan dan Ambilan Besi Seluler
Di dalam sel, IRP-1 dan IRP-2 tersedia untuk mengatur penyimpanan dan
ambilan besi melalui pengontrolan translasi untuk sintesis reseptor transferin dan
feritin. Sintesis reseptor transferin disesuaikan dengan jumlah citoplasmic transferin
reseptor mRNA. Regio 3 yang tidak ditranslasikan (3 UTR) dari
reseptor transferrin mRNA mengandung 5 IRE. Ikatan IRP dengan IRE pada 3
UTR memperlambat degradasi dan meningkatkan konsentrasi cytoplasmic
transferrin receptor mRNA serta jumlah sintesis reseptor transferin. Dengan
meningkatnya jumlah reseptor sel, ambilan besi meningkat. Sintesis ferritin
dikontrol (tanpa mengubah jumlah ferritin yang ada) dengan menekan translasi
ferritin mRNA. Regio 5 yang tidak ditranslasikan (5 UTR) dari ferritin mRNA
mengandung IRE tunggal. Ikatan antara IRP-IRE menghentikan translasi ferritin
mRNA sehingga sedikit ferritin yang diproduksi dan sekuester besi dikurangi.
Pengaturan besi intrasel dilakukan oleh IRP sehingga menghasilkan efek yang
berlawanan terhadap sintesis reseptor transferin dan ferritin. Penurunan besi
intraseluler menyebabkan

peningkatan

proporsi

tingginya

afinitas

IRP.

Peningkatan IRP-IRE meningkatkan produksi reseptor transferin tapi menurunkan


feritin. Meningkatnya besi intrasel menyebabkan terangkainya 4Fe-4S dengan
kehilangan aktivitas binding IRP-1 dan untuk IRP-2 akan menyebabkan
proteolisis yang spesifik. Sedikit IRP yang terikat IRE akan menurunkan
produksi reseptor transferin dan meningkatkan produksi ferritin. Keseimbangan
dan efek berlawanan ini mengubah ambilan besi dan penyimpanannya oleh IRP
dalam rangka mempertahankan homeostasis besi intraseluler tetap konstan dan
35

dapat berrespon pada oksidatif stres serta inflamasi. IRP juga terikat pada
Functional IRE pada 5 UTR dari mRNA yang ada pada sintesis erytroidspecifik-d-amino levolinic acid (eALAS) dan mitokondrial aconitase serta
menghambat sintesisnya dibawah kondisi kekurangan besi, berkaitan dengan
penggunaan besi dan energi sel untuk mengatur homeostasis besi (Beutler at al,
2000; Hoffman, 2000).
d. Siklus Besi dalam Tubuh
Konsentrasi besi tubuh normal adalah 40-50 mg Fe/Kg BB dimana laki-laki
lebih besar dari perempuan. Kebanyakan besi yang ada berupa senyawa dengan
berikatan pada protein tertentu, bukan dalam bentuk logam bebas. Besi ditransport
dalam bentuk ikatan dengan transferin plasma dan transferin cairan ekstrasel.
Jumlah besi sekitar 5-6 mg Fe/Kg pada wanita, 10-12 mg Fe/Kg pada laki-laki
disimpan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin, dalam hepatosit, makrofag
dihati, sumsum tulang, limpa dan otot sebagai persiapan saat kehilangan darah
(Bakta,2000).
Besi diet yang diserap usus kemudian diikat oleh transferin plasma. Pada
laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg, jumlah besi-transferin dalam plasma
sekitar 3 mg, meskipun besi harian yang ditransport melalui cara ini lebih dari 30
mg. Sebagian besar besi 24 mg/hari berada di prekursor erythroid sumsum
tulang, dan sebagian besar dari jumlah ini yaitu sekitar 17 mg/hari menjadi
hemoglobin di dalam erithrosit disirkulasi yang nantinya akan dikatabollisme oleh
makrofag dalam sumsum tulang, limpa dan hati. Besi kemudian dilepaskan
dari hemoglobin dan kembali ke transferin plasma. Beberapa dari besi dalam
erythroid sumsum tulang sekitar 7 mg Fe/ hari dikatabolisme langsung oleh
makrofag karena fagositosis pada prekursor erythroid yang terganggu atau
perpindahan dari feritin erytrosit menyebabkan makrofag mengembalikan besi ke
transferin plasma 22 mg Fe/hari. Besi dalam erytron yang mengalami
pergantian berasal dari beberapa besi yang baru diabsorpsi dari GI tract dan dari
fraksi minor sekitar 2 mg Fe/hari besi Hb yang masuk ke plasma melalui
enukleasi normoblas atau hemolisis intravaskuler. Selanjutnya akan terikat
dengan haptoglobin/ hemopexin dan dihantarkan ke hepatosit (Andrew,
1999).
e. Keseimbangan Besi dalam Tubuh
36

Keseimbangan besi ditentukan oleh perbedaan antara asupan besi dan


keluaran besi dari tubuh. Jika persediaan besi tubuh menurun maka absorpsinya
meningkat, sebaliknya absorbsi akan meningkat jika persediaan besi tubuh
menurun. Besi yang diserap usus atau dikeluarkan setiap hari berkisar antara 1-2
mg. Besi heme dan nonheme diabsorpsi melalui brush border pada usus kecil
bagian atas. Absorpsi besi yang terkandung dalam diet, ditentukan oleh jumlah
dan bentuk besi, komposisi diet dan faktor gastro intestinal (GI tract). Besi heme
biasanya terkandung sedikit dalam diet namun absorpsinya sekitar 20-30%.
Kebanyakan besi yang terkandung dalam diet berupa besi non heme yaitu
sekitar 90% dan absorpsinya dipengaruhi oleh keseimbangan antara inhibitor
seperti phytate, tanat, fosfat dan ditingkatkan oleh asam amino dan asam askorbat.
Biasanya kurang dari 5% besi non heme yang terabsorpsi. Ketersediaan
besi juga dipengaruhi oleh faktor gastrointestinal seperti sekresi gaster, gerakan
usus dan akibat dari operasi atau penyakit usus.

Gambar 3. Keseimbangan besi tubuh (Andrew, 1999)

37

f. Absorpsi besi diatur oleh sel mukosa usus kecil bagian proksimal.
Regulasi mokusal dari absorpsi besi mungkin terjadi melalui satu atau lebih
langkah berikut ini yaitu: (1) mukosa mengambil besi yang melewati vili dan
membran, (2) retensi besi dalam mukosa, (3) pemindahan besi dari sel mukosa
ke plasma. Secara umum mekanisme absorpsi besi melalui sel mukosa ini
mampu memenuhi kebutuhan cadangan besi dan tingkat eritropoesis dimana
absorpsi meningkat jika cadangan besi menurun dan aktivitas eritropoesis
meningkat. Sekitar 3,5mg Fe/hari diabsorpsi dari diet dengan bioavalaibilitas yang
cukup dan pada fase defisiensi besi Gambar 3. Keseimbangan besi tubuh
(Andrew, 1999) terdapat faktor yang meningkatkan absorpsi besi (Andrew,
1999).
g. Absorbsi Besi
1. Besi diet yang berasal dari makanan diserap dalam usus. Proses absorbsi besi
dalam usus terdiri atas 3 fase yaitu fase luminal, fase mukosal dan fase
sistemik atau korporeal (Bakta, 2000).
2. Pada fase luminal ikatan besi dari bahan makanan dilepaskan atau dirubah
menjadi bentuk terlarut dan terionisasi. Kemudian besi dalam bentuk feri
(Fe3+) direduksi menjadi bentuk fero (Fe2+) sehingga siap diserap usus.
Dalam proses ini getah lambung dan asam lambung memegang peranan
penting. Absorbsi paling baik terjadi pada duodenum dan jejenum
proksimal. Hal ini dihubungkan dengan jumlah reseptor pada permukaan
usus dan pH usus. Di dalam usus, besi akan dibedakan menjadi besi non
haem dan besi haem. Kedua jenis besi ini mempunyai sifat sangat berbeda.
Besi haem diserap secara langsung, tidak dipengaruhi oleh bahan
penghambat atau pemacu dan presentase absorbsinya besar yaitu 4 kali
dari besi non haem. Sedangkan absorbsi besi non haem sangat dipengaruhi
oleh zat pengikat (ligand) yang dapat menghambat ataupun memacu
absorbsi. Senyawa besi haem terdapat dalam daging, ikan dan hati. Besi
haem ini diserap secara utuh dan setelah berada dalam epitel usus (enterosit)
akan dilepaskan dari rantai

porfirin oleh ensim haemoxygenase,

kemudian ditransfer ke dalam plasma atau disimpan dalam ferritin.


Persentase besi yang diserap sangat tinggi yaitu 10-25%. Penyerapan besi
non haem sangat dipengaruhi oleh adanya zat-zat yang mempertahankan
38

besi tetap dalam keadaan terlarut. Bahan ini disebut zat pemacu

atau

promoter atau enhancer. Sedangkan zat penghambat atau inhibitor adalah


zat yang membentuk kompleks yang mengalami presipitasi sehingga besi sulit
diserap. Bahan- bahan yang bekerja sebagai pemacu utama ialah. daging, ikan
dan hati, asam askorbat atau vitamin C.
3. Beberapa bahan yang terdapat dalam daging yang dikenal sebagai meat factor
seperti asam amino, cysteine dan glutathion dapat meningkatkan
absorbsi besi melalui pembentukan soluble chelate yang mencegah
polimerisasi dan presipitasi besi. Asam askorbat merupakan bahan pemacu
absorbsi yang sangat kuat yang berfungsi sebagai reduktor yang dapat
mengubah feri menjadi fero, mempertahankan pH usus tetap rendah sehingga
mencegah presipitasi feri dan bersifat sebagai monomeric chelator yang
membentuk iron-ascorbate chelate yang lebih mudah diserap. Zat
penghambat absorbsi besi sebagian besar terdapat dalam makanan yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan. Penghambat paling kuat ialah senyawa
polifenol seperti tanin dalam teh. Teh dapat menurunkan absorbsi sampai
80 %

sebagai akibat terbentukknya kompleks besi-tanat. Kopi juga

mengandung polipenol tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan


dengan teh. Bahan penghambat lain ialah phytate, bekatul, kalsium, posfat,
oksalat dan serat (fibre) yang dapat membentuk kompleks polemer besar.
4. Fase absorbsi yang ke dua adalah fase mukosal. Pada fase mukosal besi
diserap secara aktif melalui reseptor. Jika dosis terlalu besar besi akan
masuk secara difusi pasif. Dalam sel enterosit besi akan diikat oleh suatu
karier protein spesifik dan ditransfer melalui sel ke kapiler atau disimpan
dalam bentuk feritin dalam enterosit kemudian

dibuang

bersamaan

dengan deskuamasi epitel usus. Susunan karier protein ini belum diketahui
dengan pasti. Ada yang menduga sebagai suatu transferin like protein. Pada
fase sistemik (korporeal) besi yang masuk ke plasma diikat oleh
apotransferin menjadi transferin dan diedarkan ke seluruh tubuh, terutama
ke sel eritroblast dalam sumsum tulang. Semua sel mempunyai reseptor
transferin pada permukaannya. Transferin ditangkap oleh reseptor ini
dan kemudian melalui proses pinositosis (endositosis) masuk dalam
vesikel (endosome) dalam sel. Akibat penurunan pH, besi, transferin dan

39

reseptor akan terlepas dari ikatannya. Besi akan dipakai oleh sel sedangkan
reseptor dan transferin dikeluarkan dan dipakai ulang.
5. Besar kecilnya penyerapan besi oleh usus ditentukan oleh faktor
intraluminal dan faktor regulasi eksternal. Faktor intraluminal ditentukan oleh
jumlah besi dalam makanan, kualitas besi (besi haem atau non haem),
perbandingan jumlah pemacu dan penghambat dalam makanan. Faktor
regulasi luar ditentukan oleh cadangan besi tubuh dan kecepatan eritropoesis.
h.
2. Anemia Defisiensi Besi
a. Definisi dan klasifikasi
i.

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya

cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk
eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang.
j.
Dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh, maka defisiensi
dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
-

Iron depleted state, yaitu cadanagn besi menururn, tetapi penyediaan besi untuk

eritropoesis belum terganggu.


Iron deficient erythropoiesis, yaitu cadangan besi kosong penyediaan besi

untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.


Iron deficiency anemia, yaitu cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi
besi.
k.

b. Epidemiologi
l.

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai

baik di klinik maupun di masyarakat. Belum ada data yang pasti mengenai
prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia. Martoatmojo et al memperkirakan
ADB pada laki-laki 16-50%

dan 25-84% pada perempuan tidak hamil. Pada

pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61%
disebabkan oleh karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di
Bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar 27%.
m.
c. Etiologi dan Faktor Predisposisi
n.

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh :


i.

Kebutuhan besi yang meningkat secara fisiologis, seperti pada prematuritas,


anak dalam masa pertumbuhan,dan kehamilan.

40

ii.

Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal


dari :
- Saluran cerna : tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, infeksi
cacing tambang
- Saluran genitalia wanita : menorrhagia
- Saluran kemih : hematuria
- Saluran napas : hemoptoe
Kurangnya besi yang diserap
- Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat akibat kurangnya

iii.

jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (boavalaibilitas)


besi yang tidak baik.
- Malabsorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Transfusi feto-maternal
o. Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan

iv.

menyebabkan anemia defisiensi besi pada masa fetus dan pada awal masa
neonatus.
p.
d. Patogenesis
q.

Patogenesis anemia defisiensi besi dimulai ketika cadangan besi dalam

tubuh habis yang ditandai dengan menurunnya kadar feritin yang diikuti juga oleh
saturasi transferin dan besi serum. Penurunan saturasi transferin disebabkan tidak
adanya besi di dalam tubuh sehingga apotransferin yang dibentuk hati menurun dan
tidak terjadi pengikatan dengan besi sehingga transferin yang terbentuk juga
sedikit. Sedangkan total iron binding protein (TIBC) atau kapasitas mengikat besi
total yang dilakukan oleh transferin mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya besi di dalam tubuh sehingga transferin berusaha mengikat
besi dari manapun dengan meningkatkan kapasitasnya.
r.
Dalam tubuh manusia, sintesis eritrosit atau eritropoesis terus
berlangsung dengan memerlukan besi yang akan berikatan dengan protoporfirin
untuk membentuk heme. Pada anemia defisiensi besi, besi yang dibutuhkan tidak
tersedia sehingga heme yang terbentuk hanya sedikit dan pada akhirnya jumlah
hemoglobin yang dibentuk juga berkurang. Dengan berkurangnya Hb yang
terbentuk, eritrosit pun mengalami hipokromia (pucat). Hal ini ditandai dengan
menurunnya MCHC (mean corpuscular Hemoglobin Concentration) < 32%.
Sedangkan protoporfirin terus dibentuk eritrosit sehingga pada anemia defisiensi
besi, protoporfirin eritrosit bebas (FEP) meningkat. Hal ini dapat menjadi indikator
dini sensitif adanya defisiensi besi.
41

s.

Di sisi lain, enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase

memerlukan besi untuk menghentikan sintesis heme. Padahal besi pada anemia
defisiensi besi tidak tersedia sehingga pembelahan sel tetap berlanjut selama
beberapa siklus tambahan namun menghasilkan sel yang lebih kecil (mikrositik).
Hal ini ditandai dengan menurunnya MCV (mean corpuscular volume) < 80 fl.
t.
e. Manifestasi Klinis
u. Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar,
yaitu gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala penyakit
dasar.
i.

Gejala umum anemia


v. Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia
(anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu,
cepat lelah, mata berkunang-kunang serta telinga mendenging. Pada anemia
defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara
perlahan-lahan sering kali sindrom anemia tidak terlalu mencolok
dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya
terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat
berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah
menurun di bawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang

ii.

pucat , terutama pada konjunctiva dan jaringan di bawah kuku.


Gejala khas defisiensi besi
w. Gejala yang khas dijumpai pada anemia defisiensi besi tapi tiak pada
anemia jenis lain adalah:
Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjdi rapuh, bergaris

garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.


Atropi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena

papil lidah menghilang.


Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut

sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.


Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah
liat, es, lem dan lain-lain.

42

Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly


adalah kumpulan gejala terdiri dari anemi hipokromik mikrositer, atrofi
papil lidah dan disfagia.

x.
iii.

Gejala penyakit dasar


y. Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia difisiensi tersebut. Misalnya pada anemia akibat
penyakit cacing tambang dapat dijumpai dispepsia, parotis membengkak,
dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia
karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan
kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker
tersebut.
z.

f. Pemeriksaan
aa. Anamnesis
ab.
Dari anamnesis dapat ditanyakan keluhan utama yang menyebabkan
pasien datang ke sarana pelayanan kesehatan. Pada skenario didapatkan pasien
mengeluhkan gejala umum anemia yang sudah dijabarkan sebelumnya.
Selanjutnya tanyakan kapan pasien mulai mengalami keluhan tersebut serta
gangguan lain yang mungkin menyertai keluhan tersebut. Pada pasien anemia
defisiensi besi, kekurangan besi yang dialami pasien dapat disebabkan karena
gangguan absorpsi, kurangnya intake besi sehari-hari atau akibat perdarahan
kronik. Jadi dapat ditanyakan juga apakah ada penyakit lain seperti kolitis kronik
atau riwayat gastrektomi yang menyertai, bagaimana asupan makanan sehari-hari
terkait dengat intake besi, dan apakah ada riwayat perdarahan misalnya BAB
berdarah, BAK berdarah dan lain-lain. Selain itu dapat juga ditanyakan pekerjaan
pasien yang mungkin berkaitan dengan infeksi cacing tambang yang menjadi
salah satu penyebab anemia defisiensi besi.
ac.
ad. Pemeriksaan Fisik
ae.
Pada pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
keadaan umum, vital sign, status gizi apakah gizi baik atau buruk, konjungtiva
apakah anemis atau tidak, sclera ikterik atau tidak , bibir, lidah, gigi dan mulut,
bentuk kepala, kelainan herediter, jantung dan paru, hepar, limpa, ekstremitas.
af.
43

ag. Pemeriksaan Laboratorium


ah.
Kelaianan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat
dijumpai adalah:
i.

Kadar Hemoglobin dan Indeks. Didapatkan anemia hipokromik


mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai
berat. MCV dan MCH menurun dan MCHC menurun pada defisiensi yang
lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal
defisiensi besi ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution widht).
Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka < 80 fl, tetapi pada
penelitian kasus ADB di Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah < 78 fl
memberi spesifisitas paling baik. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami
penurunan sebelum kadar Hb menurun.
ai. Hapusan darah tepi menunjukan anemia hipokromik mikrositer,
anisositosis, dan poikolositosis. Makin berat derajat anemia makin berat
derajat hipokromia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka
sel tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin, atau
memanjang seperti pensil. Kadang-kadang dijumpai sel target.
aj. Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tapi granulositopenia
ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena
cacing tambang dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada

ii.

ADB dengan episode perdarahan akut.


Konsentrasi besi serum menurun pada ADB dan TIBC (total iron binding
capacity) meningkat. TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin
terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi
TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum
menurun < 50 g/dl, TIBC meningkat > 350 g/dl, dan saturasi transferin <
15%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang

iii.

sangat besar, dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi.


Feritin Serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik, kecuali
pada keadaan inflamasi atau keganasan tertentu. Titik pemilah untuk feritin
serum pada ADB dipakai angkan < 12 g/dl, tetapi ada juga yang
menggunakan < 15 g/dl. Untuk daerah tropik di mana angka infeksi dan
inflamasi yang masih tinggi titik pemilah harus sedikit dikoreksi. Pada
penelitian di Bali sensitivitas tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian
feritin serum < 40 g/dl, tanpa mengurangi spesifisitas terlalu banyak
44

(92%). Hecberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin


seru < 20 g/dl sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terjadi infeksi atau
inflamasi yang jelas, maka feritin serum sampai dengan 50-60 g/dl masih
dapat menunjukkan adanya defisiensi besi.
Reseptor tranferin serum (sTfR). Reseptor transferi dilepaskan dari sel ke

iv.

dalam plasma. Kadar sTfR meningkat pada anemia defisiensi besi. Yang
digunakan adalah rasio reseptor transferin dengan log feritin serum. Rasio >
1,5 menunjukkan ADB. Digunakan untuk membedakan ADB dengan
anemia akibat penyakit kronik.
Sumsum Tulang. Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan kecuali pada kasus

v.

dengan komplikasi. Pengecatan sumsum tulang dengan Perls stain


menunjukkan cadangan besi negatif ditandai dengan tidak ada besi dari
eritroblas cadangan (makrofag) dan yang sedang bekembang.
Dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab ADB. Antara lain

vi.

pemeriksaan feses untuk mencari cacing tambang atau darah, endoskopi,


dan lain-lain, tergantung dari dugaan penyebab defisiensi tersebut.
ak.
g. Komplikasi
Anemia berat dapat menyebabkan hipoksemia dan mempertinggi resiko
insufiseinsi koroner dan iskemik miokard, selain itu dapat memperparah

keadaan pasien dengan penyakit paru kronis.


Intoleransi terhadap dingin ditemukan pada beberapa pasien dengan
anemia defisiensi kronis, dan bermanifestasi sebagai gangguan vasomotor,

nyeri neurologis, atau mati rasa bahkan rasa geli.


Meskipun jarang, namun pada anemia defisiensi yang berat berhubungan
dengan papilledema, peningkatan tekanan intracranial, dan bias disapatkan
gambaran klinis pseudotumor cerebri. Manifestasi ini dapat terkoreksi oleh
terapi dengan pemberian preparat besi.

Fungsi imun yang melemah, dan pernah dilaporkan pasien dengan anemia
defisiensi besi mudah terjangkit infeksi, meskipun demikian belum
didapatkan fakta yang pasti mengenai keterkaitan antara defisiensi besi
dengan melemahnya imun karena ada beberapa factor lain yang turut
berperan.

45

Anak dengan deficit besi akan mengalami gangguan dalam perilakunya.


Pada infants terjadi gangguan perkembangan neurologis dan pada anak
usia sekolah terjadi penurunan prestasi belajar. IQ dari anak usia sekolah
dengan anemia defisiensi besi dilaporkan lebih rendah jika dibandingkan
dengan anak sebaya yang nonanemic. Gangguan dalam perilaku dapat
bermanisfestasi sebagai kelainan dalam pemusatan perhatian, sedngakan
pada infants akan terjadi

pertumbuhan yang tidak optimal. Semua

manifestasi ini dikoreksi dengan terapi besi.


al.
h. Prognosis
am.Anemia defisiensi besi jika terkoreksi dengan baik maka akan memberikan
prognosis yang baik, namun anemia defisiensi besi dapat memiliki prognosis yang
buruk, jika kondisi yang mendasarinya memiliki prognosis yang buruk juga
seperti neoplasia. Sama halnya dengan prognosis yang dapat berubah oleh
comorbid condition seperti coronary artery disease.
an.
i. Terapi
ao. Terapi untuk anemia defisiensi besi :
i

Terapi kausal : yaitu terapi tehadap penyebab terjadinya anemia defisiensi


besi,

misalnya

pengobatan

terhadap

perdarahan,

maka

dilakukan

pengobatan pada penyakit yang menyebabkan terjadinya perdarahan kronis


seperti penyakit cacing tambang, hemoroid, menorhagia, karena jika tidak
maka anemia akan akan kambuh kembali.
ii Pemberian perparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh
(iron replacement therapy)
ap.
aq. Terapi besi oral
ar. Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama karena efektif, murah, dan
aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat, dengan dosis anjuran 3 X
200 mg, setiap 200 mg nya mengandung 66 mg besi elemental. Dengan dosis
anjuran tersebut dapat mengabsorbsi besi 50 mg per hari yang dapat
meningkatkan eritropoesis 2-3 kali normal. Preparat lainnya ialah, ferrous
gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate.
as. Efek samping utama : gangguan GIT pada 15-20% sehingga mengurangi
kepatuhan pasien dalam meminum obat. Keluhan dapat brupa mual, muntah,
46

serta konstipasi. Pengobatan diberikan 3-6 bulan, ada yang menganjurkan sampai
12 bulan, sampai kadar HB normal untuk mengisis cadangan besi tubuh.
at.
au. Terapi besi parenteral
av. Sangat efektif, namun mempunyai resiko lebih besar dan harganya lebih
mahal. Indikasi pemberian :

Intoleransi terhadap pemberian besi oral


Kepatuhan terhadap obat yang rendah
Gangguan pencernaan seperti kolilitis ulseratif yang dapat kambuh jika

diberikan besi
Penyerapan besi terganggu, seperti pada gastrektomi
Kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi dengan
pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary hemorrhagic

teleangiectasia
Kebutuhan besi yang besar dalam waktu yang pendek, seperti pada

kehamilan trimester 3 atau sebelum operasi


Defisiensi fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia

gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik.


Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg
besi/ml), iron sorbitol citric acid complex, dan ferric gluconate dan iron
sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara IM atau IV
pelan.

aw.

Tujuan terapi besi parenteral ialah mengembalikan kadar Hb dan

mengisi besi sebesar 500mg-1000mg.


ax.
Efek samping : reaksi anafilaktik meskipun jaran (0,6 %), flebitis, sakit
kepala, fushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop, pada pemberian IM
memberikan rasa nyeri dan warna hitam pada kulit.
ay.
az.Pengobatan lain
Diet : diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama dari protein

hewani.
Vitamin C : diberikan 3 X 100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi.
Transfusi darah : anemia defisiensi besi jarang memerlukan transfuse darah.
Darah yang diberikan ialah PRC untuk mengurangi bahaya overload. Indikasi
transfuse darah :
- Adanya penyakit jantung anemic dengan ancama payah jantung
- Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia ddengan gejala pusing
yang sangat menyolok
47

Pasien memerlukan peningkatan Hb yang cepat seperti pada kehamilan


trimester akhir atau preoperasi.

ba.
3. Haemorhoid
a. Definisi
bb. Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam pleksus hemoroidalis yang tidak
merupakan kelainan patologik. Hanya apabila hemoroid menyebabkan keluhan atau
penyulit, diperlukan tindakan.
bc.
b. Anatomi
bd. Rektum panjangnya 15 20 cm dan berbentuk huruf S. Mula mula
mengikuti cembungan tulang kelangkang,fleksura sakralis, kemudian membelok
kebelakang pada ketinggian tulang ekor dan melintas melalui dasar panggul
pada fleksura perinealis. Akhirnya rektum menjadi kanalis analis dan berakhir jadi
anus. Rektum mempunyai sebuah proyeksi ke sisi kiri yang dibentuk oleh lipatan
kohlrausch. Fleksura sakralis terletak di belakang peritoneum dan bagian anteriornya
tertutup oleh paritoneum. Fleksura perinealis berjalan ektraperitoneal. Haustra
( kantong ) dan tenia (pita) tidak terdapat pada rektum, dan lapisan otot
longitudinalnya berkesinambungan. Pada sepertiga bagian atas rektum, terdapat
bagian yang dapat cukup banyak meluas yakni ampula rektum bila ini terisi maka
imbullah perasaan ingin buang air besar. Di bawah ampula, tiga buah lipatan proyeksi
seperti sayap sayap ke dalam lumen rektum, dua yang lebih kecil pada sisi yang kiri
dan diantara keduanya terdapat satu lipatan yang lebih besar pada sisi kanan, yakni
lipatan kohlrausch, pada jarak 5 8 cm dari anus. Melalui kontraksi serabut serabut
otot sirkuler, lipatan tersebut saling mendekati, dan pada kontraksi serabut otot
longitudinal lipatan tersebut saling menjauhi.
be. Kanalis analis pada dua pertiga bagian bawahnya, ini berlapiskan kulit tipis
yang sedikit bertanduk yang mengandung persarafan sensoris yang bergabung dengan
kulit bagian luar, kulit ini mencapai ke dalam bagian akhir kanalis analis dan
mempunyai epidermis berpigmen yang bertanduk rambut dengan kelenjar sebacea
dan kelenjar keringat. Mukosa kolon mencapai dua pertiga bagian atas kanalis analis.
Pada daerah ini, 6 10 lipatan longitudinal berbentuk gulungan, kolumna analis
melengkung kedalam lumen. Lipatan ini terlontar keatas oleh simpul pembuluh dan
tertutup beberapa lapisan epitel gepeng yang tidak bertanduk. Pada ujung bawahnya,
kolumna analis saling bergabung dengan perantaraan lipatan transversal. Alur alur
diantara lipatan longitudinal berakhir pada kantong dangkal pada akhiran analnya dan
48

tertutup selapis epitel thorax. Daerah kolumna analis, yang panjangnya kira kira 1
cm, di sebut daerah hemoroidal, cabang arteri rectalis superior turun ke kolumna
analis terletak di bawah mukosa dan membentuk dasar hemorhoid interna.( 5 )

bf.
bg. Hemoroid dibedakan antara yang interna dan eksterna. Hemoroid interna
adalah pleksus vena hemoroidalis superior di atas linea dentata/garis mukokutan dan
ditutupi oleh mukosa. Hemoroid interna ini merupakan bantalan vaskuler di dalam
jaringan submukosa pada rektum sebelah bawah. Sering hemoroid terdapat pada tiga
posisi primer, yaitu kanan depan (jam 7), kanan belakang (jam 11), dan kiri lateral
(jam 3). Hemoroid yang lebih kecil terdapat di antara ketiga letak primer tesebut.

bh.
bi. Hemoroid eksterna yang merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus
hemoroid inferior terdapat di sebelah distal linea dentata/garis mukokutan di dalam
jaringan di bawah epitel anus.
bj. Kedua pleksus hemoroid, internus dan eksternus berhubungan secara longgar
dan merupakan awal aliran vena yang kembali bermula dari rektum sebelah bawah
dan anus. Pleksus hemoroid interna mengalirkan darah ke vena hemoroidalis superior
dan selanjutnya ke vena porta. Pleksus hemoroid eksternus mengalirkan darah ke
peredaran sistemik melalui daerah perineum dan lipat paha ke vena iliaka.( 4,5 )
bk.
c. Faktor risiko
49

Anatomik : vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus

hemoroidalis kurang mendapat sokongan dari otot dan fascia sekitarnya.


Umur : pada umur tua terjadi degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, juga otot

sfingter menjadi tipis dan atonis.


Keturunan : dinding pembuluh darah lemah dan tipis
Pekerjaan : orang yang harus berdiri , duduk lama, atau harus mengangkat

barang berat mempunyai predisposisi untuk hemoroid.


Mekanis : semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan intra
abdomen, misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi menahun dan sering

mengejan pada waktu defekasi.


Endokrin : pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas dan anus oleh

karena ada sekresi hormone relaksin.


Fisiologi : bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada penderita

sirosis hepatis.
bl.
d. Manifestasi Klinis
bm.
Pasien sering mengeluh menderita hemoroid atau wasir tanpa ada
hubungannya dengan gejala rektum atau anus yang khusus. Nyeri yang hebat jarang
sekali ada hubungannya dengan hemoroid interna dan hanya timbul pada hemoroid
eksterna yang mengalami trombosis.
bn. Perdarahan umumnya merupakan tanda pertama dari hemoroid interna akibat
trauma oleh faeces yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak
tercampur dengan faeces, dapat hanya berupa garis pada faeces atau kertas pembersih
sampai pada perdarahan yang terlihat menetes atau mewarnai air toilet menjadi
merah. Hemoroid yang membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol
keluar menyebabkan prolaps. Pada tahap awal, penonjolan ini hanya terjadi pada
waktu defekasi dan disusul reduksi spontan setelah defekasi. Pada stadium yang lebih
lanjut, hemoroid interna ini perlu didorong kembali setelah defekasi agar masuk
kembali ke dalam anus.
bo. Pada akhirnya hemoroid dapat berlanjut menjadi bentuk yang mengalami
prolaps menetap dan tidak bisa didorong masuk lagi. Keluarnya mukus dan
terdapatnya faeces pada pakaian dalam merupakn ciri hemoroid yang mengalami
prolaps menetap. Iritasi kulit perianal dapat menimbulkan rasa gatal yang dikenal
sebagai pruritus anus dan ini disebabkan oleh kelembaban yang terus menerus dan
rangsangan mukus. Nyeri hanya timbul apabila terdapat trombosis yang luas dengan
udem dan radang.
bp.
e. Klasifikasi
50

bq. Hemoroid eksterna diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Bentuk akut
berupa pembengkakan bulat kebiruan pada pinggir anus dan sebenarnya merupakan
hematoma, walaupun disebut hemoroid trombosis eksterna akut. Bentuk ini sangat
nyeri dan gatal karena ujung-ujung syaraf pada kulit merupakan reseptor nyeri.
Hemoroid eksterna kronik atau skin tag berupa satu atau lebih lipatan kulit anus yang
terdiri dari jaringan penyambung dan sedikit pembuluh darah.
br. Hemoroid interna diklasifikasikan menjadi 4 derajat yaitu :
- Derajat I : Tonjolan masih di lumen rektum, biasanya keluhan penderita adalah
-

perdarahan
Derajat II : Tonjolan keluar dari anus waktu defekasi dan masuk sendiri setelah

selesai defekasi.
Derajat III : Tonjolan keluar waktu defekasi, harus didorong masuk setelah

defekasi selesai karena tidak dapat masuk sendiri.


Derajat IV : Tonjolan tidak dapat didorong masuk/inkarserasi
bs.
f. Pemeriksaan
bt. Anamnesis harus dikaitkan dengan faktor obstipasi, defekasi yang keras, yamg
-

membutuhkan tekanan intra abdominal meninggi ( mengejan ), pasien sering duduk


berjam-jam di WC, dan dapat disertai rasa nyeri bila terjadi peradangan. Pemeriksaan
umum tidak boleh diabaikan karena keadaan ini dapat disebabkan oleh penyakit lain
seperti sindrom hipertensi portal. Hemoroid eksterna dapat dilihat dengan inspeksi
apalagi bila terjadi trombosis. Bila hemoroid interna mengalami prolaps, maka
tonjolan yang ditutupi epitel penghasil musin akan dapat dilihat apabila penderita
diminta mengejan.
i. Pemeriksaan Colok Dubur
bu. Pada pemeriksaan colok dubur, hemoroid interna stadium awal tidak
dapat diraba sebab tekanan vena di dalamnya tidak terlalu tinggi dan
biasanya tidak nyeri. Hemoroid dapat diraba apabila sangat besar. Apabila
hemoroid sering prolaps, selaput lendir akan menebal. Trombosis dan
fibrosis pada perabaan terasa padat dengan dasar yang lebar. Pemeriksaan
ii.

colok dubur ini untuk menyingkirkan kemungkinan karsinoma rektum.


Pemeriksaan Anoskopi
bv. Dengan cara ini dapat dilihat hemoroid internus yang tidak menonjol
keluar. Anoskop dimasukkan untuk mengamati keempat kuadran. Penderita
dalam posisi litotomi. Anoskop dan penyumbatnya dimasukkan dalam anus
sedalam mungkin, penyumbat diangkat dan penderita disuruh bernafas
panjang. Hemoroid interna terlihat sebagai struktur vaskuler yang menonjol
51

ke dalam lumen. Apabila penderita diminta mengejan sedikit maka ukuran


hemoroid akan membesar dan penonjolan atau prolaps akan lebih nyata.
Banyaknya benjolan, derajatnya, letak ,besarnya dan keadaan lain dalam
iii.

anus seperti polip, fissura ani dan tumor ganas harus diperhatikan.
Pemeriksaan proktosigmoidoskopi
bw. Proktosigmoidoskopi perlu dikerjakan untuk memastikan keluhan
bukan disebabkan oleh proses radang atau proses keganasan di tingkat
tinggi, karena hemoroid merupakan keadaan fisiologik saja atau tanda yang

menyertai. Faeces harus diperiksa terhadap adanya darah samar.


bx.
g. Komplikasi
by. Perdarahan akut pada umumnya jarang , hanya terjadi apabila yang pecah
adalah pembuluh darah besar. Hemoroid dapat membentuk pintasan portal sistemik
pada hipertensi portal, dan apabila hemoroid semacam ini mengalami perdarahan
maka darah dapat sangat banyak.
bz. Yang lebih sering terjadi yaitu perdarahan kronis dan apabila berulang dapat
menyebabkan anemia karena jumlah eritrosit yang diproduksi tidak bisa mengimbangi
jumlah yang keluar. Anemia terjadi secara kronis, sehingga sering tidak menimbulkan
keluhan pada penderita walaupun Hb sangat rendah karena adanya mekanisme
adaptasi.
ca. Apabila hemoroid keluar, dan tidak dapat masuk lagi (inkarserata/terjepit)
akan mudah terjadi infeksi yang dapat menyebabkan sepsis dan bisa mengakibatkan
kematian.
cb.
h. Penatalaksanaan
cc. Terapi non bedah
1. Terapi obat-obatan (medikamentosa) / diet
cd.
Kebanyakan penderita hemoroid derajat pertama dan derajat
kedua dapat ditolong dengan tindakan lokal sederhana disertai nasehat
tentang makan. Makanan sebaiknya terdiri atas makanan berserat tinggi
seperti sayur dan buah-buahan. Makanan ini membuat gumpalan isi usus
besar, namun lunak, sehingga mempermudah defekasi dan mengurangi
keharusan mengejan berlebihan.
ce.
Supositoria dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek
yang bermakna kecuali efek anestetik dan astringen. Hemoroid interna yang
mengalami prolaps oleh karena udem umumnya dapat dimasukkan kembali
secara perlahan disusul dengan tirah baring dan kompres lokal untuk
52

mengurangi pembengkakan. Rendam duduk dengan dengan cairan hangat


juga dapat meringankan nyeri.
2. Skleroterapi
cf.
Skleroterapi adalah

penyuntikan

larutan

kimia

yang

merangsang, misalnya 5% fenol dalam minyak nabati. Penyuntikan diberikan


ke submukosa dalam jaringan areolar yang longgar di bawah hemoroid
interna dengan tujuan menimbulkan peradangan steril yang kemudian
menjadi fibrotik dan meninggalkan parut. Penyuntikan dilakukan di sebelah
atas dari garis mukokutan dengan jarum yang panjang melalui anoskop.
Apabila penyuntikan dilakukan pada tempat yang tepat maka tidak ada nyeri.
cg.
Penyulit penyuntikan termasuk infeksi, prostatitis akut jika
masuk dalam prostat, dan reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang
disuntikan.Terapi suntikan bahan sklerotik bersama nasehat tentang makanan
merupakan terapi yang efektif untuk hemoroid interna derajat I dan II, tidak
tepat untuk hemoroid yang lebih parah atau prolaps.
3. Ligasi dengan gelang karet
ch.
Hemoroid yang besar atau yang mengalami prolaps dapat
ditangani dengan ligasi gelang karet menurut Barron. Dengan bantuan
anoskop, mukosa di atas hemoroid yang menonjol dijepit dan ditarik atau
dihisap ke tabung ligator khusus. Gelang karet didorong dari ligator dan
ditempatkan secara rapat di sekeliling mukosa pleksus hemoroidalis tersebut.
Pada satu kali terapi hanya diikat satu kompleks hemoroid, sedangkan ligasi
berikutnya dilakukan dalam jarak waktu 2 4 minggu.
ci.
Penyulit utama dari ligasi ini adalah timbulnya nyeri karena
terkenanya garis mukokutan. Untuk menghindari ini maka gelang tersebut
ditempatkan cukup jauh dari garis mukokutan. Nyeri yang hebat dapat pula
disebabkan infeksi. Perdarahan dapat terjadi waktu hemoroid mengalami
nekrosis, biasanya setelah 7 10 hari.
cj. Terapi bedah
ck. Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan
menahun dan pada penderita hemoroid derajat III dan IV. Terapi bedah juga dapat
dilakukan dengan perdarahan berulang dan anemia yang tidak dapat sembuh
dengan cara terapi lainnya yang lebih sederhana. Penderita hemoroid derajat IV
yang mengalami trombosis dan kesakitan hebat dapat ditolong segera dengan
hemoroidektomi.
53

cl.

Prinsip yang harus diperhatikan dalam hemoroidektomi adalah eksisi

yang hanya dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi sehemat
mungkin dilakukan pada anoderm dan kulit yang normal dengan tidak
mengganggu sfingter anus. Eksisi jaringan ini harus digabung dengan rekonstruksi
tunika mukosa karena telah terjadi deformitas kanalis analis akibat prolapsus
mukosa.
cm.

Ada tiga tindakan bedah yang tersedia saat ini yaitu bedah

konvensional (menggunakan pisau dan gunting), bedah laser (sinar laser sebagai
alat pemotong) dan bedah stapler (menggunakan alat dengan prinsip kerja stapler).
cn.
co.
cp.
Partus 8 kali
Diet rendah serat
cq.
cr.
cs.
ct.
cu.
Haemorhoid
cv.
cw.
cx.
Hematoschezia (Perdarahan kronis)
cy.
cz.
da.
Kehilangan Fe berlebihan
VII. Kerangka Konsep
db.
dc.
dd.
Cadangan Fe menurun
de.
df.
dg.
dh.
Gangguan eritropoiesis
di.
dj.
dk.
dl.
Anemia Defisiensi Besi
dm.
dn.
do.
Manifestasi Klinis
Manifestasi Hasil Lab.
dp.
Lemah
Hb turun
dq.
Pucat
Ht turun
dr.
ds.
Cheilitis
Hitung RBC turun
dt. Papil atrofi
RDW tinggi
du.
MCV turun
dv.
MCH turun
54
Serium Iron turun
TIBC naik
Ferritin turun
Blood smear : anisositosis, hypochromic microcyte

dw.
dx.
dy.
dz.
ea.
eb.
ec.
ed.
ee.
ef.
eg.
VIII. Kesimpulan
eh.
Ny. Zainab, 50 tahun, datang ke RMSH dengan keluhan utama lemah karena
mengalami anemia defisiensi besi akibat dari perdarahan kronik (haemorrhoid).
ei.
ej.

DAFTAR PUSTAKA

ek.

Ani, Luh Seri. 2011. Metabolisme Zat Besi Pada Tubuh Manusia. Bali: Widya Biologi.

el.
Bakta, I.M ., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
em.
Fauci, Anthony S, et al. 2008. Harrisons Principle of Internal Medicine Seventeenth
Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.
en.
Guyton, A. C. dan Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta:
eo.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
ep.
Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., dan Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi.
Jakarta:
eq.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
er.

Klinis
es.

Price, Sylvia Anderson dan Willson, Lorraine McCarty. 2003. Patofisiologi: Konsep
Proses-proses Penyakit, Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

et.

Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.

eu.
ev.
ew.

Syamsuhidayat R, dan Jong, W.D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

ex.
ey.

55

Anda mungkin juga menyukai