Oleh:
Kementerian Pertanian
2010
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Kegiatan
2. Unit Ke~a
3. Alamat
4. Tahap Penelitian
: Verifikasi!Pilot
5. Status Kegiatan
: Lanjutan
6. Penanggung Jawab
a. Nama
b. Pangkat/Golongan
c. Jabatan Fungsional
7. Lokasi Kegiatan
8. Agroekosistem
9. Jangka Waktu
a. Tahun mulai
b. Tahun kegiatan berjalan
10. Biaya Kegiatan
Lintas Sektoral
: 2 (dua) tahun
2009
: 2010
: Rp. 240,545,455
(Dua Ratus empat puluh ribu lima ratus empat
puluh lima ribu empat ratus lima puluh lima rupiah)
" RPTP
~s?i
NIP: 196401171989031002
Mengetahui,
Kepala B.,alai Besar,
._;;:;;.-
RJNGKASAN
1. Judul Kegiatan
2. Unit kerja
3. Lokasi
4. Tahap Penelitian
Verifikasi/Pilot
5. Status Penelitian
Lanjutan
6. Tujuan
Tujuan khusus kegiatan tahun 2010 ini adalah:
(1). Mengembangkan model penerapan produksi tepung sukun di Kabupaten Cilacap
(2). Melakukan efesiensi proses sehingga biaya produksi (diluar bahan baku) dapat
ditekan hingga 50%.
(3). Mendapatkan produk tepung sukun bermutu premium
(4). Mengembangkan formula 5 jenis produk olahan berbasis tepung sukun
1.09
yaitu
Pangan
Substitusi
lmpor, dan
Kegiatan
1.09.03
yaitu
berkembangnya
industri
tepung
sukun
dan
produk
olahannya,
11
(hasil penelitian tahun 2009). tiga produk baru yaitu flakes (sejenis tortila
untuk sarapan), energy bar proouk makanan sumber energi bentuk
batang) dan rusk (sejenis roti kering), serta perbaikan mutu dari produk
yang sudah ada (existing product), yaitu keripik sukun.
12. Jangka waktu
lV
SUMMARY
1. Title
2. Institution
3. Location
4. Stage of research
Verification/Pilot
5. Research status
Continue
6. Objective
1. To develop implementation model of production technology at Cilacap District
2. Process eficiency for decreasing cost production to 50%
3. To get premium quality of breadfruit flour
4. To develop 5 product formula based on breadfruit flour
7. Out put
KAT A PENGANTAR
Tim Peneliti
Vll
DAFTAR lSI
Halaman
Lembar Pengesahan
Ringkasan
Summary
Kata Pengantar
Daftar lsi
Daftar T abel
Daftar Gambar
Abstrak
Abstract
I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
a.
Dasar Pertimbangan
b.
VII
viii
X
xii
xiii
XIV
1
1
3
C.
Tujuan
d.
lndikator Kinerja
5
5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Ill.
METODOLOGI
IV.
ii
6
13
a.
Pendekatan
13
b.
Ruang Lingkup
13
C.
Metode
14
a.
6.
2.
Biaya Ekonomi
31
31
31
33
34
34
36
37
37
38
41
41
39
39
Vlll
42
44
a.
Flakes
44
b.
Rusk
51
b.
3.
s u~<- '"-
v.
80
VI.
81
lX
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
Tabel2
Tabel3
Tabel4
Tabel 5
Tabel6
penelitian
Sebaran Produksi dan Mutu Tepung Sukun Tingkat Plasma
pada KWT Sekararum Desa Lo Manis
8
15
40
Tabel7
42
Tabel 8
42
Tabel9
43
Tabel 10
Tabel 11
45
Tabel 12
47
Tabel 13
50
Tabel 14
50
Tabel 15 '
51
Tabel 16
53
Tabel 17
Aw roti kering
54
Tabel 18
pH roti kering
55
Tabel 19
55
Tabel20
56
Tabel 21
57
Tabel22
58
Tabel 23
59
Tabel 24
59
Tabel25
60
Tabel 26
60
44
Tabel27
62
Tabel28
62
Tabel29
Rataan diameter (em) kert.o ... -<: sebelum dan sesudah digoreng
63
Tabel30
Pengembangan val.
tepung sukun
Tabel31
65
Tabel32
66
Tabel33
66
Tabel34
68
Tabel 35
70
Tabel 36
Kadar pati, amilosa, daya eerna pati dan gula total dari berbagai
formula
70
Tabel37
71
r<ert.::~"'
keruo-.~~
64
XI
Halaman
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 1
14
16
32
32
35
Gambar 8
Gambar 9
48
Gambar 10
49
Gambar 11
50
Gambar 12
53
Gambar 13
61
Gambar 14
61
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 15
Gambar 16
Gambar 17 ,
Gambar 18
Gambar 19
35
38
48
65
69
71
72
73
Gam bar 22
Gam bar 23
77
Gambar 24
78
Gambar 20
Gambar 21
Gambar 25
Gambar 26
74
74
76
79
79
Xll
ABSTRA K
Komoditas sumber karbob iarat '"'01-serea li a, seperti buah sukun , dalam bentuk
segar umumnya mudah ru sak kare~"a r'lempunyai kadar air yang cukup tinggi (6080%). Dalam upaya mengga li su"'lloerdaya pangan lokal untuk meningkatkan
ketahanan pangan dan mengubar citra inferior menjadi superior maka proses
pengolahan produk setenga h jadi yaitu tepun g menjadi pilihan yang tepat. Upaya
meningkatkan citra tepung dari bahan pangan lokal dapat dilakukan dengan
mereduksi atau menghila ngkan kompon en-komponen penyebab rasa dan aroma
yang tidak diinginkan konsumen. Ba lai Besar Litbang Pascapanen Pertanian telah
berhasil merakit teknolog i pro ses produksi tepung sukun palatabilitas tinggi . Proses
tersebut dapat mereduks i se nyawa penyebab rasa pahit lebih dari 80 persen.
Penelitian ini bertujuan untuk meng embangkan mengembangkan model penerapan
poduksi tepung sukun dan produk olahannya di Kabupaten Cilacap . Penelitian dan
pengembangan ini bekerjasama dengan mitra yaitu Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Cilacap serta lembaga lain. Kegiatan ini meliputi (1 ). Pengembangan
model penerapan produksi tepung sukun (2) . Teknologi produksi tepung sukun
bermutu premium, dan (3) . Pengembangan produk olahan berbasis tepung sukun .
Sasaran kegiatan adalah implementasi paket teknologi produksi tepung sukun
kualitas tinggi dilapang serta mendorong tumbuh dan berkembang industri pangan
berbasis sukun di perdesaan . Hasil dari kegiatan telah terbentuk Inti dengan empat
kelompok Plasma, didesa Lo Manis . Selain itu juga telah dihasilkan 5 produk hasil
olahan tepung sukun berupa bihun , flakes, energy bar, rusk, dan kerupuk . Diharapan
hasil penelitian dan pengembangan teknologi produksi tepung sukun akan diadopsi
oleh pengrajin setempat. Dengan tumbuh dan berkembangnya teknologi tersebut
serta dapat diterapkan di berbagai industri pangan , sehingga menumbuhkan
perekonomian perdesaan . Ketersediaan tepung sukun sebagai alternatif sumber
karbohidrat yang kaya vitamin dan mineral akan membuka peluang usaha lanjutan ,
membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan pelaku usaha, meningkatkan
minat masyarakat untuk menanam dan memelihara pohon sukun dan mengonsumsi
produk olahannya.
Kata kunci: Sukun, tepung, produk olahan, mutu produk, ketahanan pangan
Xlll
ABSTRACT
Carbohydrate source com modit es cy nor-cerea ls, such as various tubers and fruits
(breadfruit) , in fresh form generally pe~s~"ea easily because of its high moisture content
(60-80%) . In an effort to explo re local food resources as well as escalating food security
perception from inferior food to the super:or ones, so processing intermediate product i.e.
flour base to be the right choice . The efforts to im prove the perception on local food base
flour by reducing or eliminating the components causes of consumers undesirable taste
and smell. Indonesian Central Agricultural Postharvest Research and Development has
innovated successfully the prod uction process technology of high palatability breadfruit
flour. The process can reduce the bitter flavor compounds up to more than 80 percent.
The aim of the research is to develop implementation model of bread fruit flour and
processed product from breadfruit flou r at Cilacap District, Central Java. The research and
development activities were coll aborated with the Agriculture and Animal Husbandry
extension service , Cilacap District and other Institution. These activities include (1 ).
Development of implementation models of breadfruit flour production (2) . Breadfruit flour
production technology, premium quality, and (3) . Development of breadfruit flour-based
processed products. The product developed were flakes, rusk, energy bar, crackers and
breadfruit vermicelli. The result from activities were developed Nucleous with for Plasms
in Lo Manis village . Targets are the technology package implementation of high quality
breadfruit flour production and to encourage the growth and development breadfruit based
food industries in rural areas. From this research and technology development of
breadfruit production process is in line with food security encouragement, thus the output
of activities ,suppose to be adopted by local producers , and achieving in growing and
developing various food industries at rural economic business. The availability of
breadfruit flour as an alternative source to vitam ins and minerals enrich carbohydrate will
open job opportunities due to new establishment of busineses, increasing publ ic interest
to plant and conserving the breadfruit tree and consume processed products.
Keywords: Breadfruit, flour, processed products, product quality, food security
Xl V
.;UDUL
I.
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Buah sukun (Artocarpus communis) merupakan komoditas sumber karbohidrat
potensial, yang mempunyai berbagai nama daerah, yaitu sakon (Aceh), suku (Nias),
amu (Gorontalo), suu uek (Roti), sukun (Jawa, Sunda, Bali), sunne (Seram) kuu
(Sulawesi Utara), kundo (Aior), karata (Sima), kalara (Sawu), Bakara (Sulawesi
Selatan) (Dasi dan Winamo 1992, dalam Mariska et. a/., 2004, Direktorat Pemasaran
dan Pengolahan Hasil Pertanian, 2003). Terdapat dua jenis sukun, yaitu sukun tanpa
biji dan sukun dengan biji (Rincon, et.al., 2005). Di Indonesia, jenis pertama lebih
populer dengan sebutan
sukun dengan biji lebih dikenal dengan sebutan kluwih dan biasanya dimanfattkan
sebagai sayur.
Produksi sukun di Indonesia terus meningkat dari
meningkat menjadi 62.432 ton (tahun 2003), 73.637 ton (tahun 2005) dengan luas
panen 6.725 ha. Sentra produksi sukun adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, 0.1. Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTT, Sumatera Selatan, Lampung,
Sulawesi Sela.tan dan Jambi (Ditjen Hortikultura, 2006). Pengembangan tanaman
sukun oleh Direktorat Jenderal Hortikultura seluas 380 ha (tahun 2003), saat ini sudah
mulai panen. Tanaman sukun mulai berbuah rata-rata setelah umur 5 tahun, dan dapat
produktif hingga umur 50 tahun.
Buah sukun termasuk golongan klimakterik. Puncak klimakterik dicapai dalam
waktu singkat karena proses respirasinya berlangsung cepat. Apalagi dibandingkan
dengan beberapa buah klimakterik lainnya, maka kecepatan respirasi buah sukun
jauh lebih tinggi. Buah sukun umumnya dikonsumsi dalam keadaan matang, tetapi
arena pola respirasinya yang demikian cepat, maka dalam selang waktu beberapa
ari buah sukun akan segera menjadi lunak dan tidak dapat dimakan (Suismono, et
a/ 2003).
enyebabkan
buah
akan
menjadi
lunak dalam
waktu
yang
lebih
singkat
1
'e!:H "l
pematangan pada suhu simpan yang leo "' rend ah ini akan berjalan secara tidak
normal. Buah yang semula berwa ma hiJau akan menjadi coklat suram (seharusnya
hijau kekuning-kuningan). Pada masa penyimpan an dingin (di bawah suhu 12.0uC),
buah akan mengalami chilling injury. Pembungkusan buah dengan plastic polietilen
dapat memperpanjang waktu simpan buah sukun. Berdasarkan sifat klimaterik
tersebut maka sukun setelah dipanen haru s segera dikonsumsi atau diolah lebih
lanjut. Penanganan pascapanen sukun masih sederhana. Adanya kerusakan fisik
(pencoklatanlbrowning, lunaklpoyo) dan rasa pahit menyebabkan penurunan mutu
sehingga harga menjadi murah. Sampai saat ini belum ada pengawetan sukun segar.
Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan altematif pemanfaatan sukun
segar agar nilai guna dan ekonomisnya meningkat (Suismono dan Suyanti, 2008).
Salah satu upaya mengantisipasi melimpahnya sukun saat panen raya dan
memperpanjang umur simpannya, adalah mengolah sukun menjadi produk setengah
jadi berupa tepung. Tepung sukun mengandung sekitar 80% karbohidrat dan energi
302 kalori/1 00 gram. Sedangkan produk siap santap yang banyak diolah masyarakat
adalah keripik sukun.
Tepung sukun telah banyak diteliti dan dimanfaatkan walau dalam jumlah kecil.
Perrnasalahan utama dalam pemanfaatan tepung sukun yaitu adanya rasa pahit (Jw :
"getir''), sehingga kurang disukai konsumen. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
dalam biji sukun dan tepungnya ditemukan senyawa yang bisa menyebabkan rasa
pahit yaitu tanin dan asam sianida (Ugwu dan Oranye, 2006; Nwabueze, 2005). Dalam
biji sukun mengandung tanin sebesar 184 mg/kg dan asam sianida 26,4mg/kg. Selain
itu dijumpai pula zat antigizi, antara
-Sni antara lain karena kadar air dalam urnbi ca'l buah cukup tinggi (60-80%). Selain itu
komoditas sumber karbohidrat selain oe:as dan terigu mempunyai citra inferior
didalam masyarakat Indonesia . Da lam upaya menggali sumberdaya pangan lokal
untuk meningkatkan ketahanan pangan serta mengubah citra inferior menjadi superior
maka proses pengolahan produk setengah jadi (intermediate product) yaitu tepung
menjadi pilihan yang tepat. Upaya meningkatkan citra tepung dari bahan pangan lokal
dapat dilakukan antara lain dengan mereduksi bahkan menghilangkan komponenkomponen penyebab rendahnya palatabilitas atau flavor (rasa dan aroma) yang tidak
diinginkan konsumen. Widowati, et a/. (2009) telah berhasil mereduksi komponen
penyebab rasa pahit dalam proses pembuatan tepung sukun. Dalam proses tersebut
senyawa tanin dan asam sianida dapat tereduksi lebih dari 80 persen.
Sukun merupakan salah satu sumber karbohidrat non serealia yang dapat
mensubstitusi beras maupun terigu yang sangat potensial untuk dikembangkan. Untuk
mempercepat adopsi
b. Dasar Pertimbangan
Komoditas pertanian sumber karbohidrat di Indonesia sangat beragam, namun
pangan pokok lebih dari 90 persen penduduk masih bertumpu pada satu jenis bahan
pangan, yaitu beras. Meskipun program diversifikasi pangan telah dicanangkan lebih
dari tiga dasa warsa yang lalu, namun belum menunjukkan hasil yang nyata.
Pergeseran p61a makan yang diharapkan adalah dari beras ke komoditas sumber
karbohidrat lokal non beras, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Disamping itu,
konsumsi gandum (dalam bentuk terigu) juga semakin meningkat drastis, sehingga
Indonesia termasuk negara pengimpor gandum utama di dunia.
Namun, gandum
adalah tanaman subtropik dan hanya dapat dibud idayakan pada dataran tinggi
dengan ekosistem tertentu di Indonesia, sehingga produktivitasnya rendah. Oleh
karena itu, untuk mengurangi impor gandum dan konsumsi beras, perlu dicari
sumber karbohidrat lokal potensial. Sukun merupakan tanaman sumber karbohidrat
yang
produktivitasnya tinggi,
rata-rata
200-300
buah/musim/pohon,
dua
kali
panen/tahun atau sebanyak 16-32 ton/ha (Koswara, 2006). Hal ini merupakan
kelebihan tanaman sukun dibandingkan dengan komod itas sumber karbohidrat dari
tanaman semusim (serealia dan
anekc;~
umbi).
3
Berdasarkan
produktivitas yang
beradaptasi dengan
lingkungan, maka sukun menjadi sa 'a'l satu pohon unggulan dalam program
Pengembangan
Hutan
Cada ngan
Pangan.
Departemen
Kehutanan
telah
membagikan bibit sukun kepa da masyarakat mulai tahun 1999 hingga 2009
sebanyak 26.198.730 tanaman , dengan prediksi tumbuh 20.962.984 tanaman (80%)
dan estimasi hasil buah sampai tahun 2009 sebanyak 12.197.175 buah . Bibit
tersebut ditanam pada kegiatan Hutan Cad angan Pangan, Ketahanan Pangan, Aksi
Penanaman Serempak Indonesia (APSI), Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara
Pohon (GPTPP), Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI), dan One Man One Tree
(OMOT) (Pusat lnformasi Kehutanan , 2009).
Permasalahannya adalah sukun dipanen pada umur matang optimal, dan masa
layak konsumsi buah sukun yang telah dipetik sangat pendek, yaitu hanya beberapa
hari , maksimum satu minggu sudah membusuk. Pemanfaatan buah sukun hingga
saat ini masih terbatas, yaitu digoreng dan dibuat kripik. Ada juga masyarakat yang
mengonsumsi sukun setelah direbus atau difermentasi (dibuat sejenis tape), namun
dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi hasil panen
menurut prediksi Departemen Kehutanan. Saat panen yang serempak dengan masa
panen yang pendek, bisa diduga bahwa buah sukun akan sangat banyak yang tidak
termanfaatkan bila tidak dilakukan penangan dan pengolahan yang tepat. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, teknologi tepung merupakan solusi tepat.
Bentuk tepung dipilih karena dapat memperpanjang daya simpan, praktis
dalam pemanfaatan, efesien dalam distribusi dan penyimpanan serta dapat
meningkatkan citra bahan pangan lokal karena dapat diolah menjadi aneka produk
I
makanan. Bentuk tepung sangat tepat sebagai bahan substitusi terigu dan beras.
Namun, dengan teknologi yang telah ada di masyarakat, tepung sukun yang
dihasilkan masih menyisakan rasa (after taste) pahit/"getir" setelah dikonsumsi.
Dengan kata lain tepung sukun mempunyai tingkat palatabilitas rendah. Hal ini
karena terdapatnya senyawa tanin dan asam sianida. Tahun 2009 telah dihasilkan
teknologi produksi tepung sukun palatabilitas tinggi. Paket teknologi ini perlu segera
dimasyarakatkan, dengan dua tujuan utama yaitu 1) meningkatkan daya guna,
memperpanjang umur simpan sukun serta meningkatkan nilai tambah baik ekonomi
maupun sosial, dan 2) berkontribusi dalam upaya menurunkan pangan impor serta
meningkatkan ketahanan pangan.
dan produk olahannya akan diiringi dengan peningkatan minat masyarakat dalam
menanam, memanfaatkan dan mengonsumsi produk olahan berbasis tepung sukun.
c. Tujuan
Tujuan umum kegiatan ini adala!"' :eradopsinya model penerapan teknologi
produksi tepung sukun bermutu premium o eh masyarakat pengguna, meningkatnya
pemanfaatan dan konsumsi sukun mela!ui introduksi produk-produk olahan berbasis
tepung sukun . Sedangkan tujuan khusus kegiatan tahun 2010 ini adalah:
(1). Mengembangkan model penerapan produksi tepung sukun di Kabupaten Cilacap
(2) . Melakukan efesiensi proses sehingga biaya produksi (diluar bahan baku) dapat
ditekan hingga 50%.
(3). Mendapatkan produk tepung suku n bermutu premium
(4). Mengembangkan formula 5 jenis produk olahan berbasis tepung sukun
d. lndikator kinerja
- Keluaran (out put)
(1) Model teknologi produksi 1 ton tepung sukun per proses dengan efisiensi biaya
produksi 50% (diluar bahan baku)
(2) . Tepung sukun bermutu premium
(3). Formula 5 jenis produk olahan berbasis tepung sukun
- Hasil yang diharapkan (out come)
1.09
yaitu
Pangan
Substitusi
lmpor,
dan
Kegiatan
1.09.03
yaitu
berkembangnya
industri
tepung
sukun
dan
produk
olahannya,
U. TINJAU
PUSTAKA
a. Sukun
Sukun merupakan tanama n tahunar> yang tu mbuh baik pada lahan kering
(daratan), dengan tinggi pohon dapat rr.encapai 10 m atau lebih dan mempunyai
eabang-eabang yang melebar ke sa mping dengan tajuk sekitar 5 m. Pohon sukun
membentuk percabangan mulai dari ketinggian sekitar 1.5 m dari tanah . Daunnya
berbentuk oval panjang dengan belahan daun simetris yang ditunjang dengan tulang
daun yang menyisip simetris pula . Panjang daun dapat meneapai meneapai 60 em
dan Iebar 45 em. Ujung daun merun eing , tepi daun bereangap menyirip, kadangkadang siripnya bereabang. Permukaan daun bagian atas halus dan berwarna hijau
mengkilap sedang bagian bawah kasar berbulu dan berwama kusam.
Buah sukun berbentuk bulat atau agak lonjong dengan diameter kurang lebih
25 em. Wama kulit buah hijau muda sampai kekuning-kuningan.
Ketebalan kulit
antara 1-2 mm. Buah muda berkulit kasar dan buah tua berkulit halus. Daging buah
berwarna putih agak krem, teksturnya kompak dan berserat halus. Rasanya agak
manis dan memiliki aroma yang spesifik. Tangkai buah sekitar 5 em. Berat buah
sukun dapat meneapai 1 kg per buah.
Pembentukan buah sukun tidak didahului dengan proses pembuahan bakal biji
(partheno carpie), maka buah sukun tidak memiliki biji. Pada mulanya kulit memiliki
kulit yang kasar mirip duri (spina); selanjutnya kulit seolah tertarik dan terbentang
sehingga berbekas seperti gambar heksagonal dengan titik di tengahnya, dan kulit
menjadi halus. Buah sukun akan menjadi tua setelah tiga bulan sejak muneulnya
bunga betina.
Buah yang muneul awal akan menjadi tua lebih dahulu, kemudian
Buah sukun terdiri dari tiga bagian yaitu kulit, hati, dan daging (pulp) yang
merupakan bagian yang dapat dimakan. Persentase setiap bagian buah dengan
tingkat kematangan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Daging buah yang
masih muda berwama putih, sedangkan bila sudah masak (fully ripe) akan berwarna
kekuning-kuningan.
semakin berkurang.
ikatan ruang antar sel dan akhimya struktur sel menjadi kompak (Reeve, 1974).
Kulit
22
12
Hati
10
Daging
70
78
Sukun muda
Pati
13.7
7.8
Amilopektin
82.0
81.8
Amilosa
18.0
18.2
Derajat putih
82.2
50.2
Kandungan (% bk)
sukun juga banyak mengandung unsur-unsur mineral serta vitamin yang sangat
dibutuhkan . oleh tubuh.
antara lain adalah Kalsium (Ca), Fosfor (P), dan Zat 8esi (Fe), sedangkan vitaminvitamin yang menonjol antara lain adalah vitamin 81 , 82 , dan vitamin C (Widowati
dan Suyanti, 2002). Kandungan air dalam buah sukun cukup tinggi, yaitu sekitar
69.3 %.
Komposisi zat gizi buah sukun dapat dilihat pada Tabel 3, dan
perbandingan kandungan zat gizi utarna pada sukun dengan beberapa bahan
pangan lainnya disajikan pad a Tabel 4 .
Tabe! 3. Komposisi zat gizi su kun per 100 g oa han
Sukun Muda
Sukun Tua
T~nunn
-r--"::1 ~~~~11n
__ .. _
Karbohidrat (g)
9.2
28.2
78.9
Lemak (g)
0.7
0.3
0.8
Protein (g)
2.0
1.3
3.6
Vitamin 81 (mg)
0.12
0.12
0.34
Vitamin 82 (mg)
0.06
0.05
0.17
Vitamin C (mg)
21.0
17.0
47.6
Kalsium (mg)
59.0
21 .0
58.8
Fosfor (mg)
46.0
59.0
165.2
0.4
1.1
Zat Gizi
7 <:>t
--\,
be>cj (mg)
--
Ill
Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang
dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit) ,
diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan
kehidupan modern yang serba praktis.
beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan komponen kimia bahan pangan. Namun
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pangan yang
mudah menjadi coklat apabila dikupas dan yang tidak mudah menjadi coklat.
; abel 4. Komposisi gizi sukun dan beberapa bahan pangan lainnya (per 100 g)
Jenis bahan
pangan
Tepung sukun
Energi
(kkal)
302
Protein
(g)
3.6
Lemak
(g)
0.8
Karbohidrat
(g)
78.9
108
1.3
0.3
28.2
8eras
360
6.8
0.7
78.9
Jagung
129
4.1
1.3
30.3
Ubi kayu
146
1.2
0.3
34.7
Ubi jalar
123
1.8
0.7
27.9
Kentang
83
2.0
0.1
19.1
Pada
umumnya
umbi-umb!a....
'il
da:1
:::>uah-buahan
mudah
mengalami
terbentuk reaksi pencoklatan oleh pe:;aP.!'"' enzim yang terdapat dalam bahan
pangan tersebut (browning enzymatic! ?eri.s.o:<..atan karena enzim merupakan reaksi
antara oksigen dan suatu senyawa pherd yang dikatalisis oleh polyphenol oksidase .
Untuk menghindari terbentukPya ..-a'"'""~a coklat pada bahan pangan yang akan
dibuat tepung dapat dilakukan dengan T11encegah sesedikit mungkin kontak antara
bahan yang telah dikupas dan udara dengan cara merendam dalam air (atau larutan
garam 1% dan/atau menginaktifkan enzim dalam proses blansir)
(Widowati dan
Damardjati, 2001 ). Berdasarkan kadar karbohidrat yang cukup tinggi buah sukun
berpeluang diolah menjadi tep ung. Pemanfaatan tepung sukun menjadi makanan
olahan dapat mensubtitusi pengg unaan terigu 50-100% tergantung jenis produknya.
Kendala dalam pembuatan tepung sukun ialah
te~adinya
diproses menjadi tepung . Untuk menghindari terbentuknya wama coklat pada tepung
yang dihasilkan, usahakan sesingkat mungkin waktu
te~adinya
dengan udara. Caranya yaitu dengan merendam buah yang telah dikupas dalam air
bersih, dan menonaktifkan enzim dengan cara diblansir yaitu dikukus. Lama
pengkukusan tergantung sedikit banyaknya bahan,
Tingkat ketuaan buah juga sangat berperan terhadap warna tepung yang dihasilkan .
Buah yang muda menghasilkan tepung sukun berwarna putih kecoklatan. Semakin
tua (sampai tingkat ketuaan optimum) buah semakin putih warna tepungnya. Buah
sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal yang dipanen 10
hari sebelum tingkat ketuaan optimum (Widowati, et.al. 2001 ).
1
f;B~
pengeringan.
b. Zat antigizi pada buah sukun
Tanin
Salah satu senyawa yang diduga sebagai penyebab rasa pa~ it atau "getir''
pada buah sukun adalah tanin . Penelitian pada tepung biji sukun menunjukkan
kandungan tanin sebesar 18.16 mg/g dan perlakuan pengolahan seperti perebusan
dan germinasi dapat menurunkan kadar tanin (Ugwu dan Oranye, 2006), demikian
9
sukun belum banyak diteliti, namun bercasar uji organoleptik yang menunjukkan
adanya rasa pahit, maka diduga keberaaaan tanin tidak hanya didalam biji, tetapi
juga ditemukan dalam daging buahnya .
lstilah tannin yang digunakan pada kalangan ahli pangan ada dua. Condensed
tannin merupakan dimer 4,8 atau 2,8 C-C atau ikatan dimer eter 3,3 dari senyawa
katekin.
menyamak kulit dan masing-masing merupakan polimer asam galat dan asam elagat
Di samping itu ada tannin yang tidak dapat dimasukkan ke dalam
(el/agic acid).
protein dalam proses penyamakan kulit kemungkinan besar terdiri dari katekin
dengan BM yang sedang, sedangkan katekin dengan BM rendah banyak ditemukan
pada buah-buahan dan sayur-sayuran.
Katekin dan epikatekin sating merupakan isomer, yaitu pada katekin hidroksilhidroksil pada cincin benzene berbentuk trans, sedangkan pada epikatekin berbentuk
cis (pada karbon nomor 2 dan 3). Adanya tanin dalam bahan makanan dapat
berpengaruh terhadap cita rasa produk pangan yang dihasilkan (Winamo, 1997).
Rasa sepat bahan makanan biasanya disebabkan oleh tanin. Tanin terdapat dalam
berbagai tanaman pangan antara lain didalam teh, jambu biji, sorgum, juwawut,
Beberapa jenis senyawa telah diisolasi dari teh-teh Indonesia yang meliputi
10
kecil, leukoantosianin tidak ma mpu bereaksi dengan protein seperti asam tanat
dalam
proses
penyamakan
kulit
dan
karenanya
leukoantosianin
dapat
diolah,
singkongnya
dikeringkan, direndam
sebelum
dimasak, dan
yang rusak dan hidrogen sianidanya ikut terbuang keluar seh ingga tinggal sekitar 1040 mg/kg. Di samping itu, hidrogen sianida akan mudah hilang oleh penggodokan,
asal tidak ditutup rapat. Adanya pemanasan, enzim yang bertanggung jawab
terhadap pemecahan linamarin menjadi inaktif seh ingga hidrogen sianida tidak dapat
terbentuk. Glikosidanya sendiri pada umumnya bukan merupakan racun . Walaupun
demikian, masih terdapat banyak kontradiksi terh adap akibat konsumsi glikosida
11
Asam fitat merupakan zat anti gizi karena mempunyai kemampuan untuk
berikatan dengan mineral yang mengakibatkan kelarutan mineral tersebut menurun,
sehingga ketersediaan mineral menjadi rendah.
merupakan senyawa fosfat yang disintesis secara alami di dalam biji tanaman,
banyak terdapat di dalam biji kacang-kacangan dan biji serealia. Salah satu kacangkacangan yang mengandung asam fitat adalah kedelai.
digunakan untuk pembuatan tempe adalah kedelai putih.
diekstraksi dengan air dan dapat dipecah oleh enzim fitase menjadi asam fosfat dan
inositol.
maka asam fitat tidak dimetabolisme sehingga dapat merugikan, karena mempunyai
kemampuan kuat untuk mengikat mineral dalam bahan makanan membentuk ikatan
kompleks, sehingga menurunkan jumlah mineral yang dapat diserap oleh usus halus
(Tranggono, 1990).
Banyak usaha pengurangan kadar asam fitat agar diperoleh bahan makanan
dengan kadar fitat seminimal mungkin antara lain dengan perendaman, perebusan,
pengukusan, dan fermentasi (Suhardi, 1988). Selama perendaman biji mentah akan
terjadi peningkatan enzim fitase sehingga pemecahan fitat akan berlangsung. Selain
itu , juga akan terjadi pelarutan fitat ke dalam air rendamannya.
Sedangkan
perendaman .biji rebus dalam air akan menyebabkan penurunan fitat yang relatif
besar. Upaya reduksi asam fitat untuk memperbaiki mutu bekatul telah diteliti oleh
Widowati, et.al. (2000).
12
Ill. METODOLOGI
a. Pendekatan
selain dari buah sukun segar yang merupakan existing technology di masyarakat.
b. Ruang Lingkup
Bangsal
(2).
Teknologi
produksi
tepung
sukun
bermutu
premium,
dan
(3).
13
sistem
subsistem
usaha
pemasaran
agribisnis
dan
yang
subsistem
mencakup subsistem
pendukung
(Petani,
produksi,
Poktan
dan
Gapoktan).
lndustri..olahan
(Pengrajin)
(Aiat penepung disediakan
model
Dinas setempat
ditempatkan di INTI)
lanjut
Bersedia
beke~a
15
pengumpul
maupun
masyarakat
umum.
Sedangkan
Inti,
bisa
"
8____..
(0..._~
KUD/GAPOKTANI
SWASTA
TEPUNG
PAS.AR UTAMA
Pengusaha besar
0
N
s
u
8//
M
PASAR ALTERNATlf'
olahan berbasis tepung sukun. Prasarana dan sarana pembuatan aneka produk
dari sukun akan disediakan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Cilacap, sedangkan supervisi teknologi akan dilakukan oleh Tim 88-Pascapanen
bersama 8PTP setempat.
16
Uji
produksi
akan
dengan
optimalisasi teknologi skala UKM (1 ton). Untuk produk olahan sukun akan
diproduksi berbagai produk pangan olahan seperti yang dikembangkan di BB
Pascapanen.
Sosial
Ekonomis
17
yaitu buah sukun matang optimum. segera dilakukan pengupasan, pencucian, dan
pemotongan bentuk juring kemudian dib1ansir didalam dandang selama sepuluh
menit. Selanjutnya dilakukan penyawutan, perendaman di dalam larutan sodium
bisulfit 0,03% selama satu jam, pencucian, pengepresan dan pengeringan sawut
hingga kadar air maksimum 12% (Widowati, et a/., 2009). Perlakuan ini diulang
tiga kali. Tepung yang dihasilkan dianalisis mutu fisik, kimia, fisikokimia dan sifat
fungsional. Pada tahap ini dilakukan analisis ekonomi dan design kemasan.
bar (produk makanan sumber energi bentuk batang) dan rusk (sejenis roti kering},
serta perbaikan mutu dari produk yang sudah ada (existing product), yaitu keripik
sukun.
Snack Food. lstilah snack lebih dikenal dalam budaya barat. Snack food
atau makanan ringan adalah jenis makanan yang tidak ditujukan untuk dikonsumsi
sebagai makanan utama (sarapan pagi, makan siang, atau makan malam).
Umumnya snack food dikonsumsi diantara waktu makan utama, yang mampu
menyumbang energi yang cukup bagi tubuh diantara waktu tersebut. Makanan
ringan di Indonesia mulai diperkenalkan oleh Belanda di masa penjajahan.
Makanan 'ringan pada sa at itu dinikmati sa at minum the di sore hari berupa kuekue basah. Saat ini snack tersedia dalam berbagai jenis baik kue basah, kue
kering,
atau
makanan
ringan
siap santap
hasil
produksi
pabrik.
Waktu
18
~ oar.an
karbohidrat. Snack food yang akan aireat adalah energy bar, flakes, dan rusks.
Energi bar adalah snack food fang berbentuk persegi panjang. Seperti
namanya, energy bar merupakan sumber energy terutama karbohidrat yang
memiliki segmen pasar atlit atau orang yang memiliki aktivitas tinggi yang
membutuhkan energi untuk bisa mempertahankan kekuatan fisiknya. Produk ini
juga dapat dikonsumsi oleh anak-anak, terutama anak usia sekolah dan remaja.
Pada masa itu anak-anak masih dalam masa pertumbuhan dan umumnya juga
memiliki aktivitas fisik yang tinggi sehingga membutuhkan makanan berenergi
tinggi (Anonymous 2009a). Selain itu energy bar juga dapat menjadi altematif
makanan darurat, yang dapat diberikan pada masyarakat yang mengalami
bencana seperti banjir, gempa bumi, dan lain lain.
Seperti namanya energy bar, fungsi utamanya adalah sebagai sumber
energy, dari karbohidrat. Pada penelitian ini akan dilakukan formulasi energy bar
menggunakan tepung sukun sebagai sumber karbohidrat. Energy bar dibuat
dengan beberapa formulasi sehingga diperoleh komposisi 45-65% karbohidrat,
10-25% protein, dan 25-40% lemak. Perlakuan dalam formulasi Breadfruit energy
bar meliputi jumlah tepung sukun yang ditambahkan (25, 50, dan 75%}, jenis
protein yang digunakan (telur dan kacang-kacangan), serta jenis lemak yang
digunakan (minyak sayur, margarine, dan mentega). Tepung sukun yang
digunakan dalam formulasi untuk mensubtitusi terigu sebagai sumber karbohidrat.
Bahan yang digunakan, tepung sukun, terigu, kismis/buah kering, gula,
~
ditambah tepung sukun, terigu, susu bubuk, garam, baking soda, baking powder,
diaduk hingga merata. Tambahkan kismis dan kacang-kacangan, aduk hingga
merata, lalu dituang dalam loyang dan diratakan, dibakar hingga matang
sempuma. Selanjutnya didinginkan dan dipotong-potong ukuran 1x1 x4 inci.
Komposisi energi bar terdiri dari tepung terigu , telur, gula, vanili, baking
powder, garam, mentega, kacang merah, mix fruit, kism is dan kenari.
Cara ke~a
Telur dan gula dikocok sampai mengembang
19
ta~
1ao=c
Flakes adalah salah satu makanan yang banyak diminati oleh anak-anak
dan remaja. Flakes umumnya dikonsumsi bersama dengan susu cair. Produk
flakes yang banyak beredar di pasaran saat ini terbuat dari jagung dan beras.
Pada penelitian ini flake dibuat dari tepung sukun dengan menggunakan
drum dryer. Produk flake yang paling terkenal adalah com flake. Salah satu prinsip
dalam produksi com flakes adalah penggunaan gritz atau beras jagung dengan
ukuran 3600-6000 mikron yang mengandung lemak 0,5-0, 7% dan serat 0,3-0,4%.
Pada penelitian ini akan dilakukan formulasi breadfruit flakes dengan
menggunakan tepung sukun untuk mensubstitusi beras atau jagung sebagai
sumber karbohidrat yang
umumnya
digunakan dalam
pembuatan
flakes.
merah,
dll).
Sementara
sumber
lemak
dapat
diperoleh
dengan
20
dengan perbandingan
masing-masL"P~
Ga
..
11asing-masing
perlakuan dengan
kali sehingga memiliki tekstur antara roti dan cake. Di India dan Afrika, rusks
dikenal sebagai makanan tradisional yang dikonsumsi dengan cara dicelupkan
pada teh atau kepi (Swart dan Jaco, 2009). Rusk merupakan produk akhir dari roti
yang telah dibakar sebelumnya kemudian dipotong dan dibakar lagi sampai
kering. Bahan dasar dalam pembuatan rusk adalah terigu, yeast, yeast kentang,
baking powder dan buttermilk, juga dapat ditambahkan jus anggur yang
difermentasi, gula, minyak atau mentega, dan telur. Rasa biskuit rusk bervariasi
dari manis hingga aneka rasa tergantung selera. Umumnya rusk disajikan
bersama minuman panas seperti kepi, susu atau teh yang dinikmati dengan
mencelupkan snack tersebut pada minuman (Reinbold, 2009).
Rusk juga dapat dikonsumsi oleh bayi yang berfungsi sebagai makanan
sapihan atau makanan pendamping ASI (MPASI). Namun jika ditujukan untuk bayi
dan anak-anak harus diperhatikan kandungan sukrosa. Berdasarkan penelitian
diketahui kandungan sukrosa yang tinggi pada rusk dapat meningkatkan resiko
terjadinya karies gigi.
Pada
penelitian
ini
akan
dilakukan
formulasi
biskuit
rusk
dengan
menggunakan
tepung sukun sebagai sumber karbohidrat. Formulasi dilakukan
,
berdasarkan Recommended Daily Allowance (RDA) yaitu 41 kkal (6 kkal dari
lemak), dan 1 gram protein pada setiap 10 gram produk. Perlakuan pada
pembuatan biscuit rusk ini meliputi rasio tepung sukun (20, 30, dan 40%) dan
rasio gula (5, 10, dan 15%). Bahan yang digunakan adalah tepung sukun, terigu,
gula pasir, baking powder, cream of tartar, garam, margarine, telur, cream,
buttermilk, dan baking soda. Prinsip pembuatannya sebagai berikut: Campur
tepung sukun, terigu, gula pasir, baking powder, cream of tartar dan garam dalam
satu wadah. Pada wadah lain campur telur, cream, sebagian buttermilk dan
bak: :-~g soda. Lelehkan margarine dan campur semua bahan dalam satu wadah,
sehingga menjadi adonan yang lembut. Tambahakan sisa buttermilk dan aduk
kembali. Kemudian diletakan adonan dalam loyang dan bakar selama 1 jam pada
21
potong-pc~o.-.g
ke ringKa~ ~a
serupa bihun komersial yang terbua: can tepung beras, namun warnanya agak
kecoklatan. Sedangkan bihun komersral dari bahan tepung beras yang memiliki
warna putih. Padahal selama proses pengukusan adonan, pencetakan dandan
pengukusan akhir setelah dicetak. untaian bihun masih berwarna putih. Wama
coklat yang terdapat pada produk bihun disebabkan oleh terjadinya reaksi
browning.
Dalam bahan makanan, terdapat dua jenis reaksi browning, yaitu enzimatis
dan
polifenol
oksidase
hasil reaksi berantai yang melibatkan gugus amino dan gugus karbonil yang pada
akhirnya akan membentuk polimer pigmen yang bersifat tidak larut, berwarna
coklat
dan
dikenal
dengan
nama
pigmen
melanoidin.
Reaksi
Maillard
Timbulnya warna coklat pada bihun setelah proses pengeringan diduga kuat
disebabkan oleh reaksi Maillard. lnteraksi antara komponen gula pereduksi dan
asam amino dari bahan-bahan yang digunakan memicu
te~ad i nya
browning non
22
efeK
terbentuk pada reaksi Maillard ser ,rgga sangat efektif dalam mencegah reaksi
pencoklatan tersebut. Sulfurdioksida dan sulfrt dapat dimetabolisme menjadi sulfat
dan dieksresi ke dalam urin tanpa efek sampingan lainnya. Batas maksimum
penggunaan sulfurdioksida dalam bahan pangan menurut Food and Drug
Administration
(FDA)
yaitu
antara
2000-3000
ppm
(Anonymous,
2009b).
1;
2, gan
ditambahkan telur
diharapkan diperoleh kerupuk yang rasanya enak renyah I crispy, disukai banyak
orang dan lebih bergizi karena ada tambahan telur.
Bahan yang digunakan adalah tapioka sebagai bahan baku utama,
dikombinasikan dengan air, garam setelah tercampur rata dan adonan dikukus,
setelah dingin diiris tipis ,dijemur dan digoreng dengan minyak goreng .
Cara pengolahan :
Perlakuan yang dilakukan ada lima macam kerupuk yang dibeclakan
kandungan tepung tapioka, tepung terigu, tepung sukun, dan telur sedangkan air,
garam dan terigu dalam jumlah sama.
23
Perlakuan I Formulasi
I Tepung tapioka 100 %, garam. te ._.r
~e ri gu ,
air
= 0:100;
12,5:87,5; 25:75;
24
d. Prosedur Ana/isis
2) Suhu puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada puncak maksimum viskositas yang
dicapai. Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan berikut :
Suhu puncak gelatinisasi = suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5)
b-a
25
d ikeringi(a~ -=a~a
:s 1 d:l<eringkan
B- (C - 4)]
B xl 00%
C-A
=--xlOO%
B
H2S04. Ditambahkan batu didih pada labu lalu sam pel dididihkan selama 1-1 ,5
jam sampai cairan menjadi jemih. Labu beserta sampel dididihkan dalam dengan
air dingin. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi.
Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H 3BO. dan ditambahkan
dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung
kondensor terendam baik dalam larutan H3804. Larutan NaOH-Na2S203 sebanyak
8-1 0 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai
didapat destilatnya 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut
kemudian dititrasi dengan larutan HCI 0,02 N hingga terjadi perubahan wama
26
= mlHCl- mlblankoxNHctxl4.007xl00
A
Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang
digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-11 0C selama 15
menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang
sebanyak 5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas
bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet
dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu
soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun
kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan
kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105C. Setelah dikeringkan
sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak
ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak.
Perhitungan :
C-A
=--x100%
B
Perhitungan :
Nilai Energi
Energi
~4
untuk menstabilkan
enzim termamyl.
Ditambahkan
100
~L
termamyl, ditutup dan diinkubasi pada suhu 100C selama 15 men it, sambil
sesekali diaduk.
maksimum. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan pada suhu 40C dan diagitasi
selama 60 menit. Ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6,8
dengan NaOH. Pengaturan menjadi pH 6,8 ditujukan untuk memaksimumkan
aktivitas enzim pankreatin. Kemudian ditambah 100 ml enzim pankreatin, ditutup
dan diinkubasi pada suhu 40C selama 60 menit sambil diagitasi. Selanjutnya pH
diatur dengan HCI menjadi 4,5, disaring melalui crucible kering yang telah
ditimbang beratnya (porositas 2) yang mengandung 0,5 g celite kering (berat tepat
diketahui) dan dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata.
Residu (Serat pangan tidak terlarut
=/OF)
28
=SOFJ
Volume filtrat diatur denga'" a:i s.a:11pai 100 ml, lalu ditambah 400 ml etanol
95% hangat (60C), diendapkan sca""';;a ~ jam. Selanjutnya disaring dengan
~
aseton.
a~
dari
campuran
reaksi
diukur
absorbansinya
menggunakan
murni yang
,
Day a cerna
= --------------------------------------------------------------- x 100
Kadar maltosa pati mumi setelah reaksi enzim
diukur kadar glukosanya (pengukuran kadar glukosa menit ke-30, ke-60, ke-90
dan ke-120) . Selang 3 hari , hal ya:-g sa...,a dilakukan dengan memberikan 50 g
epada relawan. Hal ini dilakukan untuk
dua sumbu, yaitu sumbu wa ktu ( X ) dan sumbu kadar glukosa darah (Y). lndeks
Glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah dibawah kurva antara
pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan dikalikan 100.
12). Uji organoleptik (Meilgaard, et al,. 1999)
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik untuk mengetahui tingkat
kesukaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Skala hedonik yang
digunakan mempunyai rentang dari sangat tidak suka (skala numerik
dengan skala sangat suka (skala numerik
= 5).
= 1) sampai
kuesioner uji hedonik untuk melakukan penilaian terhadap produk yang dihasilkan.
Atribut mutu yang diuji meliputi warna, rasa, aroma, tekstur dan penerimaan secara
umum untuk rasbi matang serta wama, tekstur maupun penampakan secara umum
untuk rasbi mentah.
e. Rancangan Riset
Pada kegiatan penelitian (1 ). Pengembangan Model Penerapan Produksi
Tepung Sukun, digunakan rancangan riset seperti pada Gambar 2. Pengembangan
kelembagaan menggunakan sistem Inti-Plasma. Selanjutnya dilakukan sosialisasi,
pelatihan, promosi dan pendampingan.
Pada kegiatan penelitian (2). Teknologi produksi tepung sukun bermutu
premium, digunakan rancangan acak lengkap untuk analisis mutu fisik, fisikokimia dan
sifat fungsional tepung. Analisis fisik meliputi, wama, densitas kamba, kelarutan dalam
air, kelarutan dalam minyak, swelling power, gel consistency; analisis fisikokimia yaitu
sifat amlografi, analisis kimia yang dilakukan adalah analisis proksimat, amilosa,
mineral dan vitamin, sedangkan analisis sifat fungsional meliputi daya cema pati dan
serat pangan. Pada kegiatan penelitian (3). Pengembangan produk olahan berbasis
tepung sukun, secara umum menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial.
Sebagai faktor adalah komposisi tepung dan jenis perlakuan sesuai masing-masing
jenis produk. Masing-masing jenis produk dianalisis mutu fisik, kimia, dan organoleptik.
Formula terpilih dari masing-masing produk dianalisis sifat fungsionalnya.
30
IV. HASIL D
PEMBAHASAN
Kabupaten Cilacap merupakan salah satu daerah penghasil buah sukun di Indonesia.
Sukun asal Cilacap menjadi penciri jenis sukun. Di Indonesia dikenal dua jenis sukun,
yaitu sukun gundul asal Cilacap dan sukun berduri asal Bone, Sulawesi Selatan.
Tanaman sukun di Kabupaten Cilacap sampai saat ini merupakan tanaman yang
tumbuh dipekarangan rumah penduduk. Data dari Dinas Pertanian menunjukkan
bahwa produksi buah sukun dari tahun 2002 hingga tahun 2005 menurun secara
merata. Namun demikian secara umum Cilacap masih merupakan andalan penghasil
buah sukun di Jawa tengah (13.063 ton) setelah Jawa Barat (14.252 ton).
Pemerintah daerah Cilacap memandang bahwa agribisnis sukun di masa
mendatang
pemeliharaan
sangat
secara
menjanjikan
khusus.
karena
Namun
tanaman
demikian
sukun
tidak
pengembangan
memerlukan
industri
dan
diversifikasi produk sukun khususnya selama ini belum sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini disebabkan antara lain terbatasnya kemampuan pelaku usaha dan
sumberdaya manusia dalam pengetahuan teknologi pengolahan, permodalan, dan
pemasaran hasilnya.
Pada tahun 2010 Pemerintah Daerah Cilacap melalui Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Cilacap mengusulkan kegiatan pengembangan agoindustri
pengolahan sukun menjadi tepung sukun yang dikoordinasikan melalui kegiatan di
Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) sebagai lokasi pengolahan sukun skala
kecil/rumah tangga di Kabupaten Cilacap. Rencana kegiatan ini telah diusulkan ke
Direktorat P2HP Kementerian Pertanian, Jakarta. Kegiatan tersebut bertujuan
melaksanakan kegiatan: (1) Membangun agroindustri perdesaan berbasis bahan baku
spesifik lokasi (sukun); (2) Meningkatkan diversifikasi pangan olahan non beras;
31
Kabupaten Cilacap; (2) Terlaksananya satu paket penguatan modal kelompok; (3)
Semakin kuatnya kelembagaan petani pengolahan sukun.
Keterbatasan produksi sukun saat ini dikarenakan lahan yang digunakan untuk
tanaman sukun hanya sebatas sebagai tanaman pekarangan yang rata-rata tiap
rumah memiliki satu sampai tiga pohon dan diantaranya ada yang sudah ditebang
karena lahan digunakan untuk usaha lain atau akarnya merusak bangunan disekitar
pohon (Gambar 3). Mulai tahun 201 0 Pemda Cilacap melalui Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Cilacap telah merencanakan akan melakukan ekspansi
pertanaman sukun didaerah Nusakambangan (Gambar 4)
32
~erupa kan
panen buah sukun di kabupaten Cilacap berlangsung dua hari sekali dengan panen
besar/raya terjadi dua kali dalam setahun yaitu, panen pertama sekitar Juli/AgustusSeptember/Oktober dan panen kedua bulan Oesember/Januari. Produksi sukun dapat
mencapai 4000 butir atau sekitar 5,5 ton per dua hari, sedangkan diluar jadwal
tersebut hanya dapat mencapai maksimal 3000 butir. Hasil petiklpanen sukun (upah
petik Rp 500-Rp.1 000 perbutir) dari seluruh pemilik pohon sukun di Kabupaten Cilacap
akan diterima oleh para pengumpul (harga beli Rp1000-Rp1500/butir) yang dikoordinir
oleh empat orang pengepul besar (harga beli Rp.2000-Rp2500/butir) yang ada di
kabupaten Cilacap. Selama ini hampir 75% produksi buah sukun kabupaten Cilacap
dipasarkan ke luar Cilacap dan terbanyak dikirim tujuan pasar Jakarta. Pengepul
sangat berperan dalam mengelola stok buah sukun sehingga perkembangan harga
sampai di tingkat ditingkat eceran. Berdasarkan mutunya, sukun yang dipasarkan
keluar
Cilaca~
adalah sukun yang masih hijau dan tidak memar, sedangkan yang
33
Kabupaten Cilacap
Berdasarkan pertimbangan kebiJaKa., oemda Kabupaten Cilacap yang ada saat
ini, kemudian peta ketersediaan dan seoa ..an oahan baku buah sukun, kelembagaan
pengrajin, serta peluang pemasaran yang ad a saat ini di Kabupaten Cilacap, maka
model pengembangan yang dapat diiakul<an dengan pendekatan pola Inti-Plasma.
Pemilik pohon atau pengrajin kecll yang sud ah ada tersebar di beberapa lokasi yang
saling berdekatan berupa spot-spot dirancang masing-masing menjadi PLASMA
sebagai pemasok bahan baku/produk antara (buah sukun atau chip kering) kepada
pengusaha tepung sebagai INTI yang memiliki kemampuan sebagai unit usaha produk
akhir (tepung), pengemasan dan atau penjamin pemasaran produk tepung atau
supplyer tepung kepada pengusaha/pengrajin produk olahan (kue keringlbasah) .
Peralatan yang sudah ada pada Inti disubsidi oleh pemda berupa mesin penyawuUchip
dan penepung.
d. Sosialisasi Teknologi dan Model Kelembagaan Agroindustri Tepung Sukun Di
Kabupaten Cilacap
Pengenalan teknologi pengolahan buah sukun segar menjadi tepung dan produk
olahan lebih lanjut kepada para kooperator yang berkepentingan di Kab. Cilacap
merupakan kunci dari keberlanjutan pemanfaatan sukun menjadi komoditas yang
mampu memberi nilai tambah. Hasil penjajagan lapang di Kabupaten Cilacap yang
bersama Oistanak, Pemda Cilacap, dan aparat terkait telah mencapai kesepakatan
bahwa mengingat pentingnya tahap pengenalan teknologi dan produk dari tepung
sukun, maka perlu ada pertemuan teknis untuk sosialisasi dan demo teknologi yang
dihadiri anggota kelompok wanita tani (KWT sekitar 25 orang), pengumpul sukun
(sekitar dua orang), satu orang wakil dari pengepul, pengrajin pengolah buah/tepung
sukun (tiga orang), anggota PKK (sekitar lima orang), dan Penyuluh spesialisllapang
(dua orang). Kegiatan ini dihadiri pula oleh perwakilan dari Pemda Kabupaten Cilacap,
BPTP Jawa Tengah, Kantor Ketahanan Pangan, Cilacap, Gapoktan "Jallaludin" dan
Penyuluh Pertanian terkait.
Kegiatan dilaksanakan di Pendopo kelurahan Lo Manis, tanggal 4-5 Agustus
2010. Kelurahan Lo Manis dan KWT (Kelompok Wanita Tani) dipilih berdasarkc>'1
pertimbangan (bersama Dispertanak, BB Pascapanen), daerah tersebut merupakan
salah satu sentra produksi sukun di Kabupaten Cilacap dan telah mendapat bantuan
peralatan berupa mesin penepung dan penyawut kapasitas 100 kg/jam (Gambar 5).
34
A Ka Dipertanak, Ka BB Pascapanen
tamu undangan
35
INTI adalah kelompok atau perorangan yang memiliki kemampuan sebagai unit
usaha produk akhir (tepung) pengemasan dan sebagai penyalur pemasaran produk
tepung atau supplyer tepung kepada pengusaha/pengrajin produk olahan (kue
kering/basah).
Kelompok Wanita Tani (KWT) "Sumber Patedan", desa Lo Manis yang diketuai oleh lbu
Imam Supriyantini Ketua KWT "Sumber Patedan". Peralatan yang sudah ada pada Inti
disubsidi oleh pemda/Distanak berupa satu unit mesin penyawut/chip dan satu unit
mesin penepung.
PLASMA adalah anggota Kelompok Wanita Tani "Sumber Patedan", kecuali
Plasma V, dari KWT "Sekar Arum", sebagai pemasok bahan baku/produk berupa
chiplsawut sukun kering yang disalurkan ke INTI.
36
1 ::.-as.-~
e~:.a:
a~,g9ota
<:;rar.g
empat orang
(4) Plasma IV: ketua lbu Siti Baroka"' a:ggota empat orang
(5) Plasma V: Ketua lbu Emi Bam bang anggota 2 orang
(6) Inti
f. Biaya Ekonomi
perusahaan kue kering dan donat "ISTANA DONAT' yang terletak disekitar kelurahan
Lo Manis dan memiliki jaringan dengan sesama produsen kue sejenis. Dari 8-10 kg
tepung sukun yang dihibahkan kepada pengelola toko kue tersebut untuk diproduksi
menjadi enam jenis kue yaitu: kue kering nastar, lidah kucing, brownish kukus, cake
(bolu bulat), bolu gulung dan bolu kukus bunga. Kue tersebut disajikan untuk uji
preferensi kepada seluruh anggota plasma serta masyarakat sekitar Inti.
Hasil uji preferensi kue tersebut yang mendapat respon penilaian suka adalah
pada kue brownish kukus dan cake (bolu bulat). Secara umum pemilik usaha kue lstana
Donat
menyatakan
bahwa
perlu
ditingkatkan
kehalusan
dan
derajat
eputihannya/whiteness dari tepung sukun. Hal ini sudah diperoleh solusinya yaitu
ngkat putih tepung diduga bahwa produk awal tidak melalui proses blanching
37
Brownish
Nastar
Cake
..-,
dijual kepada Inti. Inti akan memproduksi tepung sukun. Jumlah plasma sebanyak 5
plasma terdiri dari Ketua Bu Imam, Kelompok 1 (Bu Mardiah), kelompok 2 (Bu lndri),
Kelompok 3 (Bu Rahmawati) , dan Kelompok 4 (Bu Barokah), dan kelompok 5 (Bu Emi).
Telah dipinjamkan peralatan 1 unit mesin perajang (Chipper) dan 1 unit mesin
peniris (spiner) untuk memproses sukun menjadi tepung di KWT "Sumber Patedan", Lo
Manis - Cilacap. Sebagai langkah awal untuk beroperasionalnya model penerapan
produksi tepung sukun, maka bahan baku sukun dibantu dari kegiatan penelitian ini.
j.
Mahalnya harga sukun di tingkat pengumpul. Karena harga sukun cukup mahal
(antara Rp.2,500-Rp3.000,-/buah) menyebabkan biaya proses dan harga tepung
sukun menjadi mahal (Rp.12.500,-Rp.15.000,-lkg) sehingga kurang bersaing
dengan tepung lainnya, seperti terigu (Rp.7.500,-lkg) (Tabel 6). Khusus Plasma V
dari KWT Sekar Arum, letaknya terpisah dari Plasma yang lain, yaitu didesa
Sidakaya. Plasma ini telah berupaya untuk mendapatkan baah sukun dengan
harga yang relatif murah, yaitu dengan cara tebasan di pohon, seperti yang
dilakukan tengkulak. Sedangkan Plasma lainnya di desa Lo Manis membeli buah
sukun dari pedagang pengumpul. Oleh karena itu, harga tepung pada Plasma V
"
39
Mutu
HargaTepung
PrOOL..I(S
Cob a
tepung
(Rp/kg)
Teo..J~.g
(butir
Sukun)
j r'kg .l
Suprihatin
Inti
1000
150
Mutu I
15000
Siti mardiah
Plasma 1
100-200
100
Mutu II
12500
lndri
Plasma 2
200-1000
100
Mutu I
15000
Rahmawati
Plasma 3
100
75
Mutu II
12500
Siti Barokah
Plasma 4
100-500
100
Mutu II
12500
I=
Emi
Plasma 5
200
100
Mutu I
7500
Strategi ini telah dilakukan oleh Plasma V. Cara panen menggunakan tenaga
pemanen khusus dari Plasma.
Buah
sukun yang dipanen dan dibayar adalah dipilih yang tua saja. Oleh karena itu
Plasma selalu memantau tingkat kematangan buah sukun untuk siap dipanen.
Sistem panen ini dapat menekan harga buah sukun, dengan rincian harga buah
sukun ukuran besar (antara 3-4 kg /buah) dipohon sebesar Rp. 1.500,-/ buah dan
harga buah sukun ukuran kecil (1 ,5-2 kg/buah) dengan perhitungan 3 buah sukun
ukuran kecil dihitung 2 buah sukun ukuran besar, serta upah panen Rp.500,-/
buah. Sehingga dapat bahan baku buah sukun lebih murah, dimana satu buah
suku harganya Rp.1.500,- Rp. 2.000,-/buah baik pada musim hujan dan musim
kemarau. Solusi ini diperoleh setelah melalui proses panjang untuk mengatasi
mahalnya bahan baku sukun di tingkat pedagang pengumpul, dan karena tidak
ada panen raya pada tahun 2010 ini.
./ Menganalisis ekonomi, nilai keuntungan dari hasil produk olahannya .
./ Untuk membuka peluang pasar, perlu outlet penjualan produk olahannya. Telah
dicoba membuat produk olahan di toko kue "lstana donat" dengan formula 100%
bahan baku tepung sukun untuk produk cake, bolu gulung, bolu kukus, brownis dan
kue kering menghasilkan produk yang diterina konsumen. Saat dilakukan
pendekatan oleh tim peneliti BB Pascapanen dan Distanak Cilacap, pemilik toko
40
juga bersedia membantu untuk mempro!"'"osxan tepu ng sukun sebagai bahan baku
ou ~ et
Rendemen tepung
Saat ini produksi tepung sukun tetap dilakukan secara bertahap, diatur sesuai
tingkat pemasaran dan cuaca. Musim penghujan yang berkepanjangan, ditambah
adanya bencana alam, Kabupaten Cilacap terkena hujan abu akibat meletusnya
Gunung Merapi merupakan salah satu kendala produksi tepung sukun kurang
lancar. Pada kondisi seperti ini, adanya alat pengering akan sangat membantu
egiatan 2: Teknologi produksi tepung sukun bermutu premium
Untuk mengetahui mutu tepung dapat dilihat dari karakteristik sifat fisik dan sifat
mia tepungnya.
epung sukun. Sifat fisik tepung lainnya yaitu nilai rendemen dari produk olahan terdiri
:iari rendemen kulit sukun, hati buah sukun, sawut kering sukun dan tepung sukunnya.
Sedangkan sifat kimia terdiri dari kadar air, pati, serat, abu dan protein tepung sukun.
a) Sifat fisik tepung sukun
Warna tepung sukun. Tingkat keputihan tepung sukun dapat diukur melalui
-<ecerahan wama tepung dengan metode chromometer. Nilai L adalah nilai kecerahan
:lari contoh tersebut.
Sedangkan nia a semakin positif menunjukkan warna contoh semakin merah dan
sebaliknya bila negatif wama semakin hijau. Nilai b menunjukkan bahwa semakin positif
t>erarti wama semakin biru dan sebaliknya bila negatif semakin kuning Tingkat keputihan
:epung juga dapat diukur dengan
tepung
dengan
alat
41
PERLAKUAN
:::~erendaman
o(apur tohor
Garam
-\.ir
Tingkat
kehalusan
>80 Mesh
94,07
-0,01
6,03
91,51
84,71
93,44
1,48
-0,05
9,25
8,44
82,06
89,19
83,25
89,67
48,28
62,70
93,17
-0,22
6,91
90,27
91,51
63,15
'!atrium bisulfit
Derajat putih
80
>80
Mesh
Mesh
92,42
58,46
----~
Karakteristik buah sukun sebagai bahan baku tepung sukun menentukan sifat
.::.oung yang dihasilkan. Karakteristik tersebut terlihat dari sifat kimia buah sukunnya
a..,tara lain kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Tabel 8 menunjukkan bahwa
_,.;ah sukun mengandung air cukup besar antara 80 - 84%. Kadar proteinnya rendah
aitu 1,1 - 1,6%~ Demikian juga kadar lemaknya rendah sebesar 0,38-0,5%. Rendemen
-epung sukun yang dihasilkan ditentukan olah kadar karbohidratnya rendah yaitu 13-16%.
-al ini terlihat dari rendemen tepung yang dihasilkan hanya sebesar 10-14% (Tabel8).
-abel 8. Komposisi kimia buah sukun Cilacap
Komposisi kimia
1,05
1,29
<adar protein(%)
1'18
1,63
0,50
0,42
13,53
16,00
- -- ----
42
~abel
9. Pengaruh bahan rendaman terhadao stat kimia tepung sukun mutu premium
Pe rl a kua~
Komposisi kimia
Natrium meta
bisulfit (Na2S04
0,05%
5,98
1,72
5,1 4
2,38
84,76
1,96
3,97
103,55
0,00
111 ,77
I
I
I
Air
4,30
3,01
4,97
2,65
85,05
0,93
3,84
121,94
5,67
4,54
2,34
5,11
2,17
85,83
1,56
4,06
133,75
0,79
4,26
1,55
4,88
2,20
87,10
2,39
4,82
101,40
0,074
259,17
::engan Na2S04, CaO, dan NaCI menurunkan karbohidrat dan serat. Kadar tanin
erendah terdapat pada perendaman dengan air, sedangkan Kadar HCN terendah
erdapat pada perendaman Na2S04. Hal ini dikarenakan pada proses oksidasi senyawa
~h enol
secara enzimatik akan menghasillkan senyawa tanin yang larut dalam air,
sehingga kadar tanin menurun. Kadar HCN terdapat pada karbohidrat dalam bentuk
senyawa glukosidasianogenik. Apabila terjadi reaksi antara glukosidasianogenik dan sulfit
akan menghasilkan glukosa dan HCN dimana HCN akan larut dalam air.
yang paling singkat pada perlakuan dengan perendaman air (18 menit) dan
su hu gelatinisasi (57 C) dibanding dengan perlakuan lain (Tabel 10). Hal ini disebabkan
j engan perendaman air biasa proses gelatinisasi berjalan lebih sempurna. Viskositas
enunjukkan tingkat terurainya granula pati akibat proses gelatinisasi, sehingga
11enghasilkan tekstur tepung Jebih mengembang atau tidak. Viskositas puncak tertinggi
::Jada perendaman dengan garam dapur (640 BU) berarti menghasilkan tekstur tepung
43
pe:-'a:r:;;an
set back viscocity/ SBV) akan mengras' -:a., sfat pemadatan tekstur (retrogradasi),
sehingga jika nilai SBV positif bera rti pada Korcisi suhu kamar akan menghasilkan tekstur
::>roduk yang tetap mekar dan seba liknya o:: a SBV negatif Maka menghasilkan sifat tidak
ekar (keras). Untuk semua perlakuan semua nilai SBV positif sehingga tekstur tepung
ang dihasilkan tetap mengembang , namun diantara perlakuan yang paling mengembang
:>ada perlakuan perendaman dengan Na2S04.
.. - -
v .
. . . . . --.
--
. ..
..
...
r-
- . --
k
Perlakuan
Kapur
tohor
(CaO)
0,05%
Garam
dapur
(NaCI)
0,05%
Air
27
29
18
75
70,5
73,5
57
39
48
48
48
48
84
93
93
93
93
1050
300
70
640
280
1106
1380
270
950
930
56
1080
200
310
650
Kadar
(PUSTAKA)
Natrium meta
bisulfit
(Na2S04)
0,05%
32
30
75
Komponen
(SG) ( C)
Pada kegiatan 3 ini dimaksudkan untuk menggali aneka manfaat tepung sukun,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengonsumsi produk-produk berbasis tepung sukun.
Kegiatan ini dirancang sebagai salah satu implementasi pemanfaatan tepung sukun
yang diperoleh dari Kegiatan 1. Hasil percobaan pembuatan aneka produk berbasis
tepung sukun diuraikan dibawah ini.
a. Flakes
Rendemen
Tabel 11. Rendemen menunjukkan hasil yang hampir sama antar perlakuan yaitu antara
135 sampai 142% tidak ada perbedaan yang jelas antar perlakuan. Dengan demikian
ngkat produktivitas flakes yang berasal dari perlakuan kontrol (Tepung sukun 100%)
dengan substitusi
44
:-embuatan flakes
juga ditentukan o
.......,....~f"a
aktu pemanggangan.
.1
.2
.3
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Warn a
Wama merupakan salah satu atribut penting yang menentukan sisi penerimaan
produk pangan oleh konsumen. Analisis terhadap warna flakes sukun disajikan pada
Tabel 12. Hasil analisis rata rata menunjukkan adanya perbedaan nilai yang jelas
erhadap atribut warna flakes yang dihasilkan.
Secara umum flakes yang dibuat dari tepung sukun dengan substitusi tapioka,
epung beras dan sagu cenderung menampakkan karaktersitik warna krem sampai
coklat tidak cerah. Hal ini dibuktikan dengan nilai L yang belum mendekati 100. Nilai a
I
ntuk keseluruhan perlakuan menujukkan nilai positif. Hal tersebut menujukkan karakter
warna flakes cenderung berwama biru. Nilai b pada seluruh perlakuan yang diujikan
menujukkan nilai positif, hal ini menujukkan karakter wama produk flakes secara
eseluruhan cenderung berwama kuning.
Penambahan
cukup berperan
dalam penentuan
warna flakes,
45
flakes yang diinginkan bersifat tidak ke:as ::a"' t.id ak terlalu rapuh.
Data kekerasan
apioka dan tepung beras pada perbandingan yang sama. Hal ini disebabkan sagu
memiliki kelebihan pada sifat amilografmya. Namun secara umum terjadi penurunan
ingkat kekerasan dengan semakin besamya rasio substitusi tepung sukun baik dengan
epung beras maupun tapioka.
Komposisi Proksimat Flakes
akan
menghasilkan produk yang awet, karena air merupakan komponen penting dalam
bahan pangan yang menentukan sisi penerimaan, kesegaran dan daya tahan produk.
Hasil analisis kadar abu flakes menunjukkan hasil yang tidak banyak berbeda.
Besarnya kadar abu sangat dipengaruhi oleh kandungan mineral sisa hasil pembakaran
bahan organik. Kadar abu yang terdapat dalam flakes dapat berasal dari mineralmineral Ca dan Fe yang terkandung di dalam bahan baku, dan juga berasal dari bahan
ambahan telur dan mentega . Sementara itu kandungan protein
termasuk dalam
penentuan spesifikasi mutu flakes, sehingga besarnya kadar protein dapat menentukan
secara spesifik batasan nilai minimum ataupun maksimumnya. Kandungan lemak
dalam flakes tergolong tinggi yaitu diatas 20% sehingga flakes tersebut riskan dari
erusakan produk akibat pengaruh oksidasi lemak.
kadar karbohidrat
merupakan
salah satu prasyarat yang menentukan spesifikasi mutu flakes. Berdasarkan hasil
analisis proksimat, diperoleh kadar karbohidrat cukup
tinggi
46
Perlakuan
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
63.48 ab
4.59'
3.07 9
7.71 ao
21 .12
1.78 abc
2.68bc
7.95 abc
21 .53ab
66.06cd
1.98bc
2.24 ab
8.24 abc
21.35c
66.19cd
4.11ef
2.29bc
7.27ab
22.52de
63.76 ab
3.67de
2.61 19
9.56c
22.05cd
62.20
0.91
2.73cd
8.48bc
21.92cd
65.93cd
2.55cd
2.25ab
8.59bc
22.68e
63.93 ab
1.77 abc
2.13
8.81bc
22.54e
64.75bc
1.22ab
2.41ef
7.59 ab
21.98bc
66.72d
1.39ab
2.59cd
7.48 ab
22.32cd
66.19cd
1.97bc
2.20abc
6.60
22.02cd
67.20d
1.65abc
2.27abc
7.39ab
22.01cd
66.65d
2.03 be
2.61de
8.84bc
63.90ab
22.59e
et: Notasi angka yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut Duncan p<O,OS
Menurunnya kadar SPTL maupun SPL pada fl akes yang disubstitusi dengan
tepung beras, tapioka dan sagu men lng~atir.an daya cerna pati dalam flakes. Hal ini
terkait dengan menurunnya kada r karbon;orat. khususnya kelompok karbohidrat yang
bu
---------1
3
2
Scries1
.~
10 11 12 13
~-----
..----
i 3
ii
Scricsl
I
I
0
1
10 11 12 13
48
cema
pati
flakes
.Dengan
demikian
perlakuan
substitusi
diharapkan
60
40
20
0
10 11 12 13
Gam bar 10. Daya cerna pati in vitro pada produk flakes
Organoleptik flakes
= sangat
tidak suka
Bentuk flakes beranekaragam, tergantung cetakan, antara lain seperti pad a Gambar 11 .
Hasil uji organoleptik menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan yang
diberikan. Flakes yang disubsitusi dengan sagu mem!liki mJai rata rata tertinggi
pada
49
~ ..
~~
terbaik yang dipilih untuk digunakan da!am uji stabilitas produk. Namun demikian, perlu
dilakukan uji organoleptik terhadap :Ja1<es yang terbaik dari tiga bahan baku
pensubstitusi untuk memperkuat hasil yang telah diperoleh (Tabel14).
Tabel13. Sifat organoleptik flakes
No.
I.
2.
3.
4.
5.
'5.
8.
9.
0
.1
'2
"3
Perlakuan
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
No
Wama
3,65
3,30
3,00
3,60
3,25
2,90
3,50
3,80
2,85
3,65
3,80
4,10
3,60
Aroma
3,20
3,35
3,15
3,50
3,00
3,10
3,45
3,40
3,40
3,60
3,45
3,45
3,20
Hasil (%)
Tekstur
Rasa
3,10
3,05
3,75
3,40
3,60
3,50
3,75
3,55
3,75
3,70
3,50
3,25
3,35
3,45
3,80
3,65
3,20
3,65
370
3,85
3,80
3,75
3,95
3,75
3,47
3,37
Kesukaan
3,20
3,75
3,35
3,75
3,60
3,35
3,50
3,85
3,20
3,85
3,95
4,15
3,47
Rasa+susu
3,15
3,85
3,45
3,85
3,85
3,50
3,60
3,70
3,25
3,85
3,95
4,20
3,52
Perlakuan
Tp
sukun:Tapioka
3 78b
1 (80:20)
'
Tp sukun: Beras
2 (90:10)
3,258
3 tp sukun:sagu (80:20)
3,95b
Tekstur rasa
dengan
susu
kesukaan
3,5 8
3,45 8 3,45 8
3,5 8
3,658
3,3 8
3,65 8
3,3 8
3,65 8
3,68
3,6 8
3,45 8
3,85 8
3,4a
3,75 8
Ket: Notasi angka yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut Duncan p<0,05
,.
.....
Gambar 11. Flakes suhu 125 C, waktu 15 menit
so
b. Rusk
Formulasi rusk pada formula 1 1tabel 15) merupakan formula dengan dasar
pembuatan roti tawar pada perband;ngan tepung sukun dan terigu 70:30, dengan
metode conventional straight dough.
menjadi satu, diadon kemudian diferm entasi bersama-sama. Pada saat fermentasi,
ketika adonan mencapai volume maksimum, gas dibuang, adonan diistirahatkan,
kemudian fermentasi dilanjutkan lag i. Formula rusk dengan formula 1 menghasilkan
roti yang pengembangannya kurang baik, dengan rongga roti yang padat, dan setelah
mengalami pembakaran yang kedua , tekstur rusk menjadi keras .
II
Ill
Tp sukun: Tp terigu
30:70
30:70
20:80
Aires
62
62
42
Garam
1,5
Gula
10
10
15
Lemak
16
Telur
10
- - - -- - - - - -
Rongga yang rapat pada roti formula 1 pada Tabel 15 dapat disebabkan karena
terlalu tingginya tepung sukun yang ditambahkan, sehingga jumlah gluten yang
dibutuhkan untuk membuat jaringan dan kerangka roti menjadi berkurang. Walaupun
pengembangan adonan dipengaruhi oleh pembentukan gas C0 2 sebagai hasil
fermentasi ragi, namun apabila jaringan/kerangka roti tersebut tidak baik, maka proses
pemerangkapan C02 juga kurang maksimal dan roti tetap tidak mengembang. Hal ini
dapat diketahui dari roti yang dibuat dengan formula 2, dimana ragi dinaikkan
sebanyak 300% dari formula 1. Hasil percobaan pada pembuatan roti dengan formula
51
2 menghasilkan roti dengan rasa ya'"'g asa- serta tekstur yang padat karena kurang
mengembang. Setelah mengalami pe ..... ~~ara'l kedua, rusk yang dihasilkanmenjadi
keras.
Rasa yang asam pada rusk Clseca:>><an karena terjadinya fermentasi yang
berlebih, sehingga jumlah asam yang c' ... as .ocan juga lebih besar.
Formulasi 3 pada pembuatan
rt.SI( ~"""erupak a n
roti manis. Dalam formula 3 perbanc11gan sukun dan terigu yang digunakan 20:80
dengan jumlah ragi yang lebih banyak dari formul a 1 dan 2, dan gula serta lemak
yang lebih banyak pula, ya itu 15% gula dan 16% lemak.
menunjukkan bahwa
Hasil percobaan
Volume
pengembangan roti cukup baik dan rongga (pori -pori roti) yang terbentuk juga cukup
baik. Hal ini menunjukkan bahwa formula 3 cukup baik dalam membentuk jaringan
dan kerangka roti sehingga dapat menangkap C0 2 dengan baik. Lemak yang cukup
tinggi dan adanya telur juga mempengaruhi karakteristik pengembangan roti pada
formula 3. Dari segi rasa, penambahan jumlah lemak dan telur menghasilkan rasa
yang lebih gurih dengan tekstur yang lebih empuk dibandingkan dengan roti yang
dihasilkan dari formula 1 dan 2.
Yulianti ( 2004), fungsi lemak dalam pembuatan roti adalah: (1). Pelumas untuk
memperbaiki remah roti,(2) mempermudah sifat pemotongan roti, memberikan kulit roti
lebih lunak, 3)memberikan rasa lezat, dan 4) sebagai bahan pengempuk dan
membantu pengembangan susunan fisik makan yang dibakar.
Dengan demikian
Faktor 8 : Jenis lemak yaitu : Mentega putih, Margarin, dan Mentega (butter}
Faktor C : Jumlah gula yaitu : 15%, 20% dan 25%.
Penelitian lanjutan pembuatan rusk (roti kering)
Penelitian Tahap II
Pada tahap kedua, telah dilakukan penelitian pembuatan roti manis kering dengan
penambahan 3 jenis lemak pada berbagai formula dengan 3 taraf penambahan tepung
sukun yang berbeda. Lemak yang digunakan meliputi shortening, margarin dan butter.
52
=-
(0:100;10:90i20:80;30:70)
Mixing {15nH?nit)
Komposisi Kimia
Kandungan gizi roti kering seperti disajikan pada Tabel16.
Tabel 16. Kandun an
Perlakuan
Perbandingan tepung
sukun dan terigu :
0:100
10:90
20:80
30:70
Jenis lemak
Butter
Margarin
Shorten ina
Kadar air
9,7a
9,0a
8,6a
9,1a
14,46a
14,30a
13,97a
12,66a
5,01a
5,36a
7,07a
6,09a
8,4a
8,1a
10,93b
15,48b
13,77ab
11 ,99a
6,08a
S,Oa
7,01a
53
rusk juga dipengaruhi oleh pengg unaan Jen:s !emak. Penggunaan jenis lemak shortening
menghasilkan rusk dengan kadar protein terendah, yaitu 11 ,99%, tidak berbeda nyata
dengan penggunaan margarin , namun nyata lebih rendah dibandingkan penggunaan
butter. Butter mengandung lemak 83 %, kadar air 16% dan kadar protein maksimal 1 %
(Astawan Mita Wahyuni dan Astawan Made, 1988), sedangkan pada margarin dan
shortening, kandungan protein lebih rendah.
tingginya kandungan protein pada rusk yang dibuat dengan menggunakan jenis lemak
butter.
Kadar air ini akan berpengaruh terhadap umur simpan roti kering dan juga
terhadap kerenyahan roduk yang dihasilkan. Selain itu, umur simpan roti kering juga
dipengaruhi oleh aktivitas air (aw).
perbandingan tepung sukun dengan terigu tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap aw rusk. Penggunaan lemak butter menghasilkan rusk dengan aw 0,47, tidak
berbeda nyata dengan penggunaan margarin, namun nyata lebih kecil dibandingkan
dengan penggunaan shortening dengan aw 0,53 (Tabel 17).
menjelaskan bahwa kerenyahan roti gulung kering mulai berkurang pada aw 0,46 untuk
struktur halus dan 0,5 untuk struktur roti yang kasar. Sedangkan pada aw 0,57 dan 0,59
untuk roti berstruktur halus dan kasar kerenyahannya hilang hingga 50%. Roti kering
dengan penggunaan butter dan margarin memiliki niai aw yang lebih rendah
dibandingkan dengan roti kering dengan shortening , dengan demikian dapat diketahui
bahwa roti kering dengan butter dan margarin memiliki kerenyahan yang lebih baik.
Aw
una sukun dan teriau :
0:100
10:90
20:80
30:70
0,48a
0,50a
0,48a
0,49a
Jenis lemak
Butter
Margarin
Shorten in
0,47a
0,47a
0,53b
54
pH
pH roti yang dihasilkan berkisar artara 5 5-5,9. Mondall eta/. (2008) menjelaskan
:>ahwa untuk mendapatkan roti dengan K.aral<tenstik yang baik maka pH yang diperlukan
::>erkisar antara 5,7 -6, 1. pH roti kering yang a1 hasilkan disajikan pad a Tabel18 .
---
r""'. -
Perlakuan
pH
5,9
5,57
5,74
5,68
5,66
5,68
5,63
5,55
5,88
5,64
5,7
5,65
Sifat Fisik
Penggunaan jenis
u:
=>erbandin
3,94b
3,66b
2,94ab
1,97a
enis lemak
Butter
Margarin
Shorten in
3,2a
3,32a
2,9a
55
st.I<JJ'
,- ar. ;
-endahnya kandungan gluten dalam aaor.ar ser:1ngg a volume spesifik roti menjadi lebih
--endah.
ifat Fungsional
:eng an tepung terigu 10:90 menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan
:-erbandingan tepung sukun dengan terigu 20:80 dan 30:70 terhadap ami/osa rusk.
-erdapat kecenderungan semakin tingg inya kandungan amilosa dengan semakin
sedikitnya penambahan tepung sukun .
:enggunaan jenis lemak butter menunjukkan kandungan amilosa yang tidak berbeda
- ata dengan penggunaan margarin, namun berbeda nyata dengan penggunaan
s.1ortening. Perbandingan tepung sukun dengan terigu 30:7 menghasilkan pati terlarut
erendah, yaitu 61,60%, tidak yang berbeda nyata dengan perbandingan tepung sukun
:engan terigu 20:70 dengan kandungan pati terlarut 63,07%, namun nyata lebih kecil
: :bandingkan dengan perbandingan tepung sukun dan terigu 10:90 dan penggunaan
erigu 100%.
Amilosa
Pati Terlarut
19,38b
16,57a
16,93a
17,51a
66,76c
65,15bc
63,07ab
61,60a
80,49c
77,58b
74,96a
75,01a
16,85a
18,64b
17,22ab
61,87a
66,18b
65,55b
77,58a
78,46a
76,76a
56
Pati mengandung fraksi linier oar :-ercanang dalam jumlah tertentu. Fraksi linier
_erupa amilosa, sedangkan sisanya am cc-e-::...,_ Jane et al. , 1999). Kadar amilosa pada
--oung mempengaruhi sifat fungsional teo ...ng tersebut.
:-nilosa yang tinggi memiliki daya pengerT'Da:-1gan yang lebih baik dibandingkan dengan
pung dengan kadar amilosa yang leb1h rend a...
Daya cerna pati adalah tingkat kemudanan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis
: eh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana. Daya cerna pati
: .hitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni (soluble starch). Pati mumi
: asumsikan dapat dicerna dengan sempuma dalam saluran pencernaan. Perbandingan
epung sukun dengan terigu 30:70 menunjukkan daya cerna pati terendah, yaitu 74,96%,
__ak berbeda nyata dengan perbandingan tepung sukun dengan terigu 30:70, namun
-yata lebih rendah dibandingkan perbandingan tepung sukun dengan terigu 10:90 dan
: enggunaan terigu 100%. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa terigu memiliki daya
:erna pati yang lebih baik dibandingkan dengan tepung sukun.
Sedangkan
_erbandingan tepung sukun dengan tepung terigu menunjukkan penilaian yang tidak
:-erbeda nyata terhadap warna (Tabel21).
~ --
-- - - - ----
Perlakuan
:lerbandingan tepung sukun dan terigu :
0:100
10:90
20:80
30:70
...enis lemak
Butter
Margarin
Shortening
Warn a
2a
3a
3,3a
4a
2,00a
2,75a
4,5b
terigu dan berdasarkan jenis lemaknya berkisar antara 2-4,5, yaitu dengan kriteria
-ka hingga netral. Secara visual, rusk dengan lemak butter menghasilkan roti dengan
rna yang lebih cerah, sedangkan margarin memberikan warna crumb agak
57
~a sa U'.I~
Rasa
2,00a
2,00a
4,67b
4,67b
2,75a
3,50a
3,75a
Organoleptik Tekstur
Hasil analisis statistik terhadap o<esukaan panelis pada tekstur rusk menunjukkan
oahwa perbandingan tepung sukun dengan tepung terigu 10:90 menunjukkan tingkat
esukaan agak suka, tidak berbeda nyata dengan penggunaan terigu 100%, namun
demikian nyata lebih disukai tekstumya dibandingkan dengan perbandingan tepung
sukun dan terigu 20:80 dan 30 :70. Penggunaan jenis lemak tidak emberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap tekstu r ru sk (Tabel 24).
Tekstur
2,33a
3,33a
5,33b
5,67b
3,75a
4,00a
4,75a
Kecenderungan yang terjadi pada tekstur rusk adalah semakin disukainya tekstur
rusk dengan semakin sedikitnya tepung sukun yang ditambahkan.
Secara visual,
semakin tinggi jumlah tepung sukun pada formula roti, menghasilkan struktur rongga roti
yang lebih padat. Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya jumlah gluten yang
diperlukan untuk membuat jaringan dan kerangka roti.
sedikitnya rongga yang terbentuk menghasilkan roti dengan karakteristik yang keras dan
idak renyah setelah dikeringkan. Monda! and AK. Datta (2008) menjelaskan bahwa air
dan tepung sangat mempengaruhi tekstur dan remah roti.
rendahnya tingkat kesukaan panelis terhadap roti kering dengan semakin tingginya
jumlah tepung sukun yang ditambahkan.
59
Organoleptik Penampakan
~::: ... a
a.:-~
Namun
Tabel
lis terhad
-- 25. Penil
'
Perlakuan
I' Perbandingan teQung sukun dan terigu :
I
0:100
10:90
20:80
30:70
Jenis lemak
Butter
Margarin
Shortening
-
---
--
k
Penam~akan
I
2,67a
3,00a
3,33a
3,67a
2,00a
3,00ab
4,50b
Penggunaan butter menunjukkan nilai dengan kriteria tingkat kesukaan panelis suka,
sedangkan dengan shortening menunjukkan kriteria agak tidak suka. Menurut Mudjajanto
Eddy Setyo dan Lilik Noor Yulianti ( 2004), fungsi lemak dalam roti salah satunya sebagai
pelumas dan membentuk rongga dan remah roti.
penggunaan lemak butter memiliki rongga roti yang lebih merata dan halus, sedangkan
dengan penggunaan shortening rongga roti nampak lebih besar dan tidak merata/kasar.
Organoleptik Kesukaan
lis terhad
Tabel 26. Kesuk
k
Perlakuan
Perbandingan tepung sukun dan terigu :
0:100
10:90
20:80
30:70
Jenis lemak
Butter
Margarin
SQ()_rtening
Kesukaan
!
2,00a
2,67a
4,67b
4,67b
2,75a
3,50a
4,25a
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbandingan tepung sukun dan terigu 0:100
menunjukkan tingkat kesukaan yang paling disukai oleh panelis, tidak berbeda nyata
dengan
perbandingan tepung sukun dan terigu 10:90, namun nyata lebih disukai
Sedangkan
60
c. Kerupuk Sukun
Penelitian Pendahuluan :
Penggunaan tepung sukun dengan konsentrasi 37,5 %, 50,0% dan 67,5% temyata
kerupuk gorengnya tidak mekar dan tidak renyah sama sekali, sedangkan perlakuan
tanpa penambahan tepung sukun terutama pada kerupuk tanpa penambahan telur
diperoleh pengembangan diameter kerupuk sebesar 1,3 em dibandingkan kerupuk
61
cen ::1~b a h an
K::~_:
telur ternyata
KST5
3,30
3,30
Ket :
~=:::-~.;: -;
::::_ .. 1
dengan telur
Dengan dem ikian diuoa:., a .ran uf!tuk men ambahkan soda kue dan baking soda
sebanyak 1 % ke dalam adonan r<en.;pLJk dengan harapan kerupuk menjadi lebih mekar.
Akan tetapi hasil yang diperoleh ternyata keru puk goreng dengan penambahan soda kue
dan baking soda warnan ya menjadi eokl at sehingga kurang menarik dan selanjutnya tidak
lagi menggunakan kedua ba han tambahan tersebut.
Tabel 28. Rataan diameter (em) kerupuk sebelum dan sesudah digoreng
Perlakuan
Diameter (em)
I
sebelum
digoreng
sesudah
digoreng
Ket :
KSO
KS1
KS2
KS3
KSTO
KST1
KST2
KST3
3,10
3,20
3,20
3,30
3,10
3,20
3,10
3,00
4,00
4,50
4,30
4,10
3,30
3,30
3,60
3,30
terigu
namun
-a ,::,::-~
2 . 5 ~-:
sukun
berkonsentrasl
~e--:a"h.
g~'"S'"'g
::>%)
sampai
dengan
37,5%
temyata
Penelitian Lanjutan
a.
Penggunaan telur
masih
belum dapat
Perlakuan
KSO
KS1
KS2
KS3
KS4
Ket
-----
- -- - - -
------------------------- - . - - - - - -
Sebelum
Digoreng
?
3,91
Sesudah
digoreng
8,04
Perlakuan
4,20
4,10
3,80
4,10
8,00
7,20
6,10
6,30
KSTO
Sebelum
Digoreng
3,71
Sesudah
Digoreng
7,87
KST1
KST2
KST3
KST4
4,30
4,00
4,10
4,30
7,30
6,50
6,50
5,00
=
=
63
Persentase kemekara n
kerupuk mentah sebelum
d i g ore~; =~
Tabel 30.
Tabel 30. Pengembangan vol.
Konsentrasi sukun
0% sukun
198,4014d
12,5% sukun
180 ,9425c
25,0% sukun
169,2355b
37,5% suku
160,2809b
50 ,0% sukun
138,222a
kerupuk ternyata
perlakuan penambahan atau tanpa penambahan telur serta interaksi dengan lima macam
konsentrasi penambahan tepung sukun (0, 12,5, 25,0, 37,5 dan 50,0%) ternyata tidak
berbeda nyata.
volume
kerupuk
mencapai
346%,
jauh
lebih
besar volumenya
dibandingkan penelitian . Diantara penggunaan 25,0 dan 37,5% tepung sukun diperoleh
% pemgembangan
volume kerupuk yang sama secara statistik namuan nyata lebih
,
rendah dibandingkan kerupuk dari perlakuan penembahan 100% tepung tapioka atau
tanpa tepung sukun dan penambahan 12,5% tepung sukun , akan tetapi diantara
keduanya tidak berbada nyata .
b.
Nilai Gizi
Perlakuan penambahan telur umumnya dikategorikan sebagai kerupuk halus,
ternyata dapat meningkatkan kadar protein kerupuk dari 3,01% pada perlakuan 0%
tepung sukun atau 100% tepung tapioka menjadi 5,95% dari perlakuan 50,0% tepung
tapioka- tepung sukun (Tabel 31 ).
kasar, yang tidak adanya standar minimal kadar protein menurut Sll. Kadar lemak terjadi
penurunan dengan semakin meningkatnya penggunaan tepung sukun. Kadar air kerupuk
64
~--
NilaiGizi
Kadar air
Kadarabu
Kadar lemak
Kadar
protein
Kadar
Karbohidrat
- --
Penambahan telur
KS1
5,26
1,56
30,19
1,36
2,24
1,02
31,84
1,2
KS2
1($3
1,97 12 .07
I ~ . 85
0,87
17,62
33 85
1,34
2,03
I
61,65
63,71
61 ,83
76,44
I
I
KS4
1,98
3,70
12,69
2,19
79,45
KSTO
KST1
KST2
KST3
KST4
4,57
1,32
33,38
3,01
2,03
1,99
22,2
4,95
3,67
1,66
10,98
6,5
2,06
2,73
15,21
6,1
3,9
1,55
10,82
5,95
57,74
68,84
77,19
74,02
78,86
=
=
=
C. Uji Organoleptik
Dari 10 perlakuan kerupuk diambil enam perlakuan yang terdiri dari em pat
perlakuan tanpa penambahan telur dengan konsentrasi 0, 12,5, 25,0 dan 37,5% tepung
sukun. Sedangkan untuk kerupuk sukun- telur yaitu kerupuk dengan penambahan telur
dari penggunaan 0 dan 12,5 % tepung sukun (Gambar 15).
Pemilihan sampel
Dari uji organoleptik terhadap kerupuk mentah yang belum digoreng ternyata respon
panelis terhadap kriteria aroma dari kerupuk yang dibuat dengan penambahan telur
adalah kurang disukai secara nyata dibandingkan dengan kerupuk tanpa penambahan
telur meskipun penggunaan tepung sukun ditambahkan sampai dengan 37,5 % ( tabel
32). Sedangkan kriteria penampakan dan warna kerupuk adalah disukai secara nyata.
65
.--- -- . . _....
,.....
...... .
- -
--
~~ S .I'Jouk
Perlakuan
Per a- :-::k::J:J
KSO
KS1
KS2
'
~
'
---
~ ..=t
~
KS3
KSTO
KST1
~ .
Mentah
Warn a
3,78
3,61
3,56
2,89b
3,22b
3,33
3,11
";')
---....
~.
Aroma
3 ,33b
3 ,28b
2,72a
2,89a
3,56
3 :3 1
KSO = 0% tepung sukun tanpa ~::, _.
KS1 = 12,5% tepung suku<1 ;a'"'nc ~~ _KS2 = 25,0% tepung sukur ;a-:::a ;;:;_KS3 = 37,5% tepung sukt.:'"' ta-:::a :s.-
KSTO =0% tepung su kun denga- ;:;,_'
KST1 = 12,5% tepung sukun Cer-"ga-:s _,
Ket :
Kerupuk goreng dari perlakuan penarmahan telur dan tanpa penambahan tepung sukun
ternyata semua kriteria ku rang disukai secara nyata dibandingkan dengan perlakuan
lainnya,. sedangkan dianta ra perl akuan tanpa penambahan telur adalah sama disukai
secara nyata untuk semua krite ri a ( Tabel 33 ).
h
Sam pel
KSO
KS3
KS1
KSTO
KST1
KS2
Ket :
Penampakan
3,61 b
3,50b
3 44b
'
2,11 a
3 ,22b
3 78b
Kerupuk goreng
Warn a Aroma Kerenyahan
3,72b
3 ,72b
3 ,61b
2,72a
3,33b
3 ,72b
'
KSO = 0% tepung sukun tanpa telur
KS1 = 12,5% tepung sukun tanpa telur
KS2 = 25,0% tepung sukun tanpa telur
KS3 = 37,5% tepung sukun tanpa telur
KSTO = 0% tepung sukun dengan telur
KST1 = 12,5% tepung sukun dengantelur
Rasa
3 28b
'
3 ,78b
3 ,61b
3 ,44b
3 ,94b
3 ,83b
3 ,39b
3 ,78b
3 ,22b
2,83a
3,72b
3,22b
2.1r
3,78b
2,28a
3,78b
3,33b
3,89b
Hasil analisa proksimat ternyata kadar protein kerupuk semakin meningkat dengan
semakin tinggi konsentrasi tepung sukun yang digunakan.
kadar protein tepung sukun yang relatif lebih tinggi yaitu 3,47% (Widowati dkk. 2009),
sedangkan kadar protein tepung tapioka hanya 0,41% (Sunarlim, dkk, 1996). Kadar air
tepung tapioka 13,17% sedangkan kadar air tepung sukun 7,33%, sehingga kadar air
kerupuk tanpa penambahan tepung sukun adalah sekitar 5% yang relatif lebih tinggi
didandingkan kadar air kerupuk dengan penambahan tepung sukun. Penambahan telur
66
penambahan telur.
halus karena ditambahkan telur r: ;;. ; Ceo:..:::--::;. ;::;a~u dengan kandungan protein tinggi
a ~iu
penge mba~g: r~
\'~ ~-
-= e~.... puk
diberi
tambahan telur cenderung leb ~, re;.:i:-:;, :J:2:r; ::::ng-<.an kerupuk tanpa penambahan telur,
meskipun secara statistik tidaK ber:e:a L..!fc ~a . ..... al ini disebabkab karena pati dari tepung
tapioka merupakan komponer"' m ama se:a;a oahan baku kerupuk yang memegang
peranan utama dalam proses Ge-e ara~ oroduk. Pati akan membentuk gel karena
adanya pemenasan.
pengembangan volume kerupuk. Kacar air dalam kerupuk mentah yang terikat pada
jaringan dapat menguap dan meng~as kan tekanan uap untuk mengembangkan struktur
sehingga terjadi rongga- ro ngg a selama penggorengan (Setiawan , 1988). Menurut Matz,
1962 didalam Tahir, 1985 ternyata ge pati yang mengandung amilosa akan melepaskan
air (retrogradation) dan menyebabkan daya desak air selama penggorengan yang
mempengaruhi volume penge mbangan kerupuk.
Penambahan tepung sukun ti dak didapat gel dari proses gelatinisasi sebaik tepung
tapioka sehingga pengembanga n volume kerupuk menjadi rendah. Menurut Tahir (1985)
bahwa kadar amilopektin tepung sangat mempengaruhi volume pengembangan kerupuk.
Oleh karena itu krupuk berbahan baku tepung sukun tdak mengembang seperti kerupuk
berbahan baku tepung tapioka diduga karena kandungan amilopektinnya yang rendah .
Begitu pula pada penambahan telur, diperoleh pengembangan volumenya lebih rendah
karena
lem~k
sebagian komponen lemak diabsorsi membentuk suatu lapisan lemak pada permukaan
granula dan akibatnya penetrasi air terganggu.
Penerimaan panelis terhadap kerupuk sukun goreng dengan penambahan tepung
sukun sampai 50% ternyata disukai untuk semua kriteria yaitu poenempakan, warna ,
aroma, kerenyahan dan rasa .
kecuali pada perlakuan penembanan telur tanpa tepung sukun. Penilaian panelis yang
kurang menyukainya kemungkinan karena selama penggorengan minyak yang digunakan
kurang
panas
sehingga
kerupuk
tidak
mekar
secara
maksimal.
Sedangkan
67
Sedangkan kerupuk
untuk kriteria aroma ,
l i :=-
seda- ~~~=~
~:~
ker~::
sukun 25,0 dengan75% tep ... g tap : :,~: :: o ::. :":J ~ ~ .5% tepung sukun dengan 62,5% tepung
tapioka juga
telur dengan 12,5% direkorre-:::s:!-::;.;-, =~ = perr~as arannya dalam bentuk kerupuk goreng
-:=-::;-
~ ::: :-;
a r.~L :.-a"
Pada
pembuatan
penambahan tepung sukun dalam i<omposisi dengan tepung terigu dan 1 formula sebagai
kontrol (Tabel 34).
Tabel 34. Formula produk energi bar
Formul a
F1
F2
F3
F4
F5
Tepung
sukun (%)
10
20
30
40
En ergi bar yang dihasilkan secara visual tidak memberikan pengaruh warna yang
signifikan antar perlakuan, hanya terlihat terjadinya reaksi Millard dengan warna coklat
sampai cc klat pekat (Gambar 16). Perubahan warna merupakan proses dinamik dalam
pembakar an adonan. Reaksi Millard biasanya terjadi pada produk yang dikenal sebagai
nonenzyrr atic browning karena kelompok senyawa amino pada protein bereaksi dengan
reaksi Mil ard belum ditemukan karena banyaknya reaksi yang terjadi dalam proses
68
mumnya, komposisi
perkembangannya, energy ba
umumnya kalsium,
,~
'
I"'-
FS
F1
Gambar 16. Produk energ
Hasil analisa terhadap
~ ~
~n
LL
Selain karbohidra
82, dan vitamin C, serta
~7%.
I'T'I;~
Beberapa
69
sehingga bisa dikembangkan menjadi produk energi bar. Untuk dapat diterima
oleh konsumen, maka diperlukan karakteristik sensori terutama rasa (Ryland eta/., 2010).
Kadar lemak berkorelasi positif dengan mentega, dan buah kering yang
ditambahkan dengan kadar yang cukup ti nggi dari 20,85-22,93% (Tabel 35). Menurut
Sun-Waterhouse eta/. , 2010) , kadar lemak akan berkorelasi positif dengan penambahan
mentega dari minyak ke dalam adonan.
Tabel 35. Karakteristik ene rg1 1bar dari berbaaai f,
Kadar Lemak
Protein
Kadar air
Formula
~------~
Kadarabu
(%)
(%)
(%)
(%)
F1
14.42 0.64
8,66 0,01
22,41
0.72 0.15
F2
10.24 0.44
8,68 0,007
22,93
1.08 0.06
F3
15.07 0,27
8,53 0,07
22,63
0.97 0,13
F4
12.340,16
7,64 0,042
20,85
0.81 0,021
F5
13.26 0,59
8,88 0,06
22,53
0.86 0,00
44,950,30
42,560,86
41,740,88
38,980,41
38,610,55
a
Amilosa (%)
4,850,08
4,270,16
3,690,08
4,00,06
5,010,16
'-------~----------
wa
Warn a
3,85a
3,55a
3,50a
3,55a
3,65a
Aroma
3,60a
3,70a
3,65a
3,40a
3,45a
Rasa
3 BOa
3.55a
3,55a
3,45a ,
3,_60a I
Tekstur
3,55a
3,05a
3,15a
3,10a
2,90a
Kesukaan
3,75a
3,45a
3,35a
3,30a
3,35a
e.BIHUN
--=
Pen<>rnb<>h<>n hidrokolold 1 %
1.2. , 00
10 , 00
i?><.
~ , 00
~G .OO
Jf
12,00
] 4 . 00
~.00
16,00
f 4 . 00
.2 , 00
..
2 , 00
0 , 00
0 , 00
0.00
z. .oo
1 . 00
- - tep ungs
tp. su kun SS
(~)
0,00
1 , 00
2 , 00
~,__
10,00
.. iles-il es
~ ~ il e ~ l u
71
40,00
~
..
:a
>
30,00
VI
lO ,OO
10.00
0,00
0
Tepung beras yang digunakan berasal dari beras Pandan Wangi yang diperoleh
dari swalayan' di daerah Bogor. Jumlah tepung beras yang ditambahkan pada adonan
bihun sukun adalah sebesar 15 % dan 30 % dari jumlah total tepung yang digunakan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat substitusi tepung beras memberikan pengaruh
terhadap beberapa karakteristik pemasakan bihun, seperti KPAP (kehilangan padatan
akibat pemasakan) dan berat rehidrasi.
Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa nilai KPAP (kehilangan padatan akibat
pemasakan) yang diperoleh dari bihun sukun dengan substitusi tepung beras 30 % jauh
lebih besar dibandingkan bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras 15 %
(24.25% dibandingkan dengan 12.05 %). Nilai KPAP menunjukkan jumlah padatan yang
keluar dari untaian bihun selama proses pemasakan. Semakin tinggi nilai KPAP, maka
semakin banyak pula jumlah padatan yang keluar dari untaian bihun selama proses
pemasakan
berlangsung.
Penambahan
tepung
beras
yang
semakin
banyak
72
25
2.4,25
20
0..
15
10
5
0
Tp beras 15 %
Tp beras 30 %
Gambar 19. Pengaruh tingkat substitusi tepung beras terhadap nilai KPAP
Untuk pengaruh tingkat substitusi tepung beras terhadap parameter berat
rehidrasi dapat dilihat pada Gambar 20. Berat rehidrasi dari bihun sukun yang disubstitusi
dengan tepung beras 15 % lebih kecil dibandingkan bihun sukun yang disubstitusi
dengan tepung beras 30 % (288.45 % dibandingkan dengan 328.01 %). Berat rehidrasi
produk bihun sangat terkait dengan kemampuan penyerapan air oleh bihun selama
proses rehidrasi berlangsung.
340
330
32.8.,0 1
320
~
....~ 310
-o
:c:
Q)
0:::
~
....
Q)
co
300
290
2881"ll5
280
270
260
Tp bcras 15 %
Tp bcras 30%
Gambar 20. Pengaruh tingkat substitusi tepung beras terhadap berat rehidrasi
73
(i)
Gambar 21. Bihun sukun dengan tingkat substitusi
dilakukan:
G1
G2
G3
G4
G5
G6
11
12
13
aw
..wzr;r
14
Tepung sukun
15
Tepung sukun
16
Tepung sukun
81
82
Tepung sukun 85
83
84
85
86
811
812
813
814
815
816
~.
Ca 2 %
~o . oo
lS,OO
10,00
~
~
1 S,OO
Q.
:.:::
10 ,00
s,oo
0,00
1
Pada Gambar 22 dapat dilihat bahwa bihun sukun yang diproduksi dengan
penambahan guar gum memiliki nilai KPAP yang lebih rendah dibandingkan bihun sukun
yang ditambah dengan iles-iles. Hal ini menunjukkan guar gum memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam membantu proses pengikatan padatan pada untaian bihun
terutama selama proses pemasakan. Sementara untuk bihun yang ditambah dengan ilesiles tidak dapat mempertahankan padatan, sehingga pada saat pemasakan banyak fraksi
terlarut yang keluar dari padatan bihun dan menyebabkan nilai KPAP menjadi tinggi.
Pengaruh penambahan garam kalsium (dalam bentuk CaCI2 ) sangat jelas terlihat
pada bihun sukun
yang diproduksi dengan disubstitusi oleh tepung beras 15 % dan
,
penambahan iles-iles. Penambahan garam kalsium sebanyak 1 % mampu menurunkan
nilai KPAP secara drastis, tetapi pada penambahan garam kalsium 2 % KPAP produk
bihun kembali meningkat. Sementara pada produk bihun sukun yang tidak disubstitusi
dengan tepung beras dan ditambahkan iles-iles, pengaruh garam kalsium juga jelas
terlihat dengan efek meningkatkan nilai KPAP pada penambahan garam kalsium 1 %.
Pada produk bihun yang ditambah dengan guar gum, penambahan garam kalsi
tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai KPAP. Kecuali pada bihun sukun tanpa sub
tepung beras yang ditambah garam kalsium sebanyak 2 % dan guar gum, nilai KP
sedikit menurun.
76
Berat
rehidrasi produk bihun sangat terkait dengan kemampuan penyerapan air oleh bihun
selama proses rehidrasi ber1angsung Untaian bihun yang dapat menyerap air lebih
banyak akan memiliki berat rehidraSI yang lebih tinggi, begitu pula sebaliknya. Bihun
dengan berat rehidrasi yang tinggi cenderung mengalami pembengkakan yang lebih
besar selama pemasakan maupun pascapemasakan.
Penambahan garam kalsium pad a bihun sukun yang diproduksi dengan guar gum
memiliki pola yang sama, baik untuk bihun yang disubstitusi dengan tepung beras 15 %
maupun yang tidak disubstitusi. Bihun sukun yang diproduksi dengan penambahan guar
gum mengalami penurunan berat rehidrasi pada penambahan garam kalsium dengan
konsentrasi 2% (konsentrasi guar gum 1 %). Penambahan garam kalsium pada produk
bihun tersebut di atas akan menurunkan daya serap bihun terhadap air, sehingga berat
rehidrasinya pun mengalami penurunan.
450,00
400, 00
350, 00
~
-~
:'5!
..c;
300, 00
...
""
200 ,00
..,:;:;"'
150, 00
.; =-------- ~
....
250,00
100,00
50,00
0 ,00
C.:. 0 ~-u
C.:t 0 ~-u
C.:. 1 "";-..,
C ...1 1 "'/;,
C..:t 2 o/V
Ccl 2 ~<.
sukun
s ukun
st t kun
sukutl
3.3. Warna
77
Perbedaan pengguna
~oto~
r;o.oo
[
40,00
.... 30,00
:fi
z lo,oo
10, 00
0 ,00
1
II
su~un
12,00
11,50
r,ll ,OO
g
z
10,50
10,00
9.50
2
Gambar 25. I
Secara umu
tepung beras 15 %
dengan perlakuan
meningkatkan intensitas
27,00
26,00
25,00
.J:l
;;
24,00
z 23.60
22,00
21,00
20,00
0
Gambar 26. lntensitas wama kuning bihun sukun dengan berbagai perlakuan
79
- - =-
::i ::.~oteinn ya
sukun mengandu'"'; : ._
- 1,6% , kada r
=-:..
~ - i~~/o.
te::_ :;~
ler::~:"""
Na2s::::~
~-=
menurun .
Beberapa
j E'- ~ 3
:=-
men~r-:::3
~-=
suku n ya-;
=.:....:.:~;
ntro l.
;::E_; '=' - -
Adanya penambahan
-=-~=-
i2~-3
di dalamnya mesti c
- ~
c~ras
~er-"-~::-= '"~--
~";.ran
garam kalsium 2 %.
80
STAKA
-~;
Anonymous . 1985. Codex Sta 'l::: j.j: f:: \t,":-: =::1 ?"b~r Codex Stan 152-1985.
Anonymous . 2008. Unile. e~ -=http://www.anta ra co ::
:- csar
aka nan
Ring an
ke
Sumatera.
Asp N.G. , C.G. Johanson , H. Halmer and Siljestrom . 1983. Rapid enzymatic assay of
insoluble and soluble dietary fiber. J Agric Food Chern 31: 476-482.
Astawan Mita Wahyuni dan Astawan Made.1998. Teknologi Pengolahan Panga n He..aTepat Guna. Jakarta : Cv Akademika Pressindo
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian . 2003. Panduan
Pengolahan Sukun sebagai Bahan Pangan Alternatif. Direktorat ..;e-: r::
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian . Departemen PertanraDitjen Hortikultura. 2006 . Sukun Sumber Karbohidrat Pengganti Beras
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Jakarta. Departern:Grenby, T.H. 1997. Summary of The Dental Effect of Starch . lntemati: ::-i::
Food Science and Nutrition (1997) 48: 411-416.
Loveday, S.M. , J.P. Hindmarsh ; L.K. Creamer; H. Singh . 2CCS
changes in a model protein bar during storage. Food Rese a:r~ r798-806
Martin
~=
Meilgaard , M. , G.C. c -.---: ::-::::-~: -::: : - ::-:;_:::-:- 1'=~ 3 Sen sory Evalua tion ..,...ec
Ed ke-3. Boca ::: ::::.::- CE :~. ~= :--:=-~ 3
996. The Gl Factor:The G I S::
-a 'Australia Pty Lim itted
Muchtadi , D., N.S. Pa Lo::: -c::dalam Eva luasi
Gizi. IPB , Bog ar.
Mandai A and A.K. Dar:a
86:465-474
-~...:.:.-.::-
~~s~; s
Ba~::s
Ryland, D; M. Vaisey-Gerse- S 0 .:=:_,,.~:;!j: L. J. Malcolmson. 2010 . Develoor--::-- c nutritious acceptab e s ; :::k t:::- llJ S -g micronized flaked lentils. Food Res=-:::-_
International 43 : 642--E~=
Santosa, B.A.S ., H. Setiya .... ::, S-')":: J.ti, '.'.'. Haliza, Sunarmani dan S .Widowa~. "'- J'..! :
Laporan Akhir Tarw . . i?en ;s-:a,..,gan Teknologi Pengolahan Ubij alar da- s::;_
Mendukung Divers;::'...-as! K :-s-~s: Pang an di Papua. BB-Pascapanen. 3c:i::Litb~mg Perta nia
Scanlon M.G. and M.C . Zg'"'aL 20[;1. 3read properties and crumb structure.
Research lntema::cnal ~ - 3~ 1-864 .
rc:::.:
Skripsi.
Suarma ,
Jurusan
Te
=,::;_ Mg
Sunarlim , R '!..!
Sc: .-
P rcs : :_-~
No::::- '-T.:..
Suroso .E, 2c:(A ,..,..-=da a-=-
Sun-WaterhOl.. s:: :
Ca mpa:::-.-=
1369- :;--::
IL-..i' - - -
Swart, M. dan S
anbowcooking .co.nz
Tahir, S.
Thahir,
Van Boekel,
Nahrun,J
K.=--=
:: . :. L. 1984. Relationship
1S~-
83