Anda di halaman 1dari 94

MODELPENERAPANTEKNOLOGIPRODUKSI1TON

TEPUNG SUKUN BERMUTU PREMIUM DENGAN EFISIENSI


BIAYA PRODUKSI50o/o DAN PENGEMBANGAN 5 MACAM
PRODUK OLAHANNYA (SNACK FOOD) Dl KAB. CILACAP

Oleh:

Dr. Ir. Sri Widowati, MappSc


Prof. Ir. B.A.S. Santosa, MS
Dr. Ir. Roswita Sunarlim, MS
Dra. Hernani, M.Sc
lr. Suismono, M.Si
Dr. lr. Ridwan Rachmat, M.Agr
Ira Mulyawanti, S.TP
Febriyezi, SP, M.Si
Heti Herawati, S.Si

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian


Badan Penelltian dan Pengembangan Pertanian

Kementerian Pertanian

2010

LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Kegiatan

:Model Penerapan Teknologi Produksi 1 ton Tepung


Sukun Bermutu Premium dengan Efisiensi Biaya
Produksi 50% dan Pengembangan 5 Macam Produk
Olahannya (Snack Food) di Kab. Cilacap

2. Unit Ke~a

: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan


Pascapanen Pertani

3. Alamat

: Jl. Tentara Pelajar 12


Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu Boger 16114
Telp/Fax: (0251 )8321762/(0251 )8350920
e-mail: bb_pascapanen@litbang.deptan.go. id

4. Tahap Penelitian

: Verifikasi!Pilot

5. Status Kegiatan

: Lanjutan

6. Penanggung Jawab
a. Nama
b. Pangkat/Golongan
c. Jabatan Fungsional

: Dr. lr. Sri Widowati, MAppSc


: Pembina Utama Madya/IVd
: Peneliti Utama

7. Lokasi Kegiatan

: Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta

8. Agroekosistem
9. Jangka Waktu
a. Tahun mulai
b. Tahun kegiatan berjalan
10. Biaya Kegiatan

Lintas Sektoral

: 2 (dua) tahun
2009
: 2010
: Rp. 240,545,455
(Dua Ratus empat puluh ribu lima ratus empat
puluh lima ribu empat ratus lima puluh lima rupiah)

Bog or, 15 November 2010


Kabid. Program & Evaluasi

" RPTP

~s?i

NIP: 196401171989031002
Mengetahui,
Kepala B.,alai Besar,

._;;:;;.-

RJNGKASAN

Model Penerapan Teknologi Produksi 1 ton Tepung


Sukun Bermutu Premium dengan Efisiensi Biaya
Produksi 50% dan Pengembangan 5 Macam Produk
Olahannya (Snack Food) di Kab. Cilacap

1. Judul Kegiatan

2. Unit kerja

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen


Pertanian.

3. Lokasi

Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta

4. Tahap Penelitian

Verifikasi/Pilot

5. Status Penelitian

Lanjutan

6. Tujuan
Tujuan khusus kegiatan tahun 2010 ini adalah:
(1). Mengembangkan model penerapan produksi tepung sukun di Kabupaten Cilacap
(2). Melakukan efesiensi proses sehingga biaya produksi (diluar bahan baku) dapat
ditekan hingga 50%.
(3). Mendapatkan produk tepung sukun bermutu premium
(4). Mengembangkan formula 5 jenis produk olahan berbasis tepung sukun

7. Perkiraan Keluaran (Out put)


(1). Model teknologi produksi 1 ton tepung sukun per proses dengan efisiensi
biaya produksi 50% (diluar bahan baku)
(2). Tepung sukun bermutu premium
?

(3). Formula 5 jenis produk olahan berbasis tepung sukun


8. Perkiraan hasil (Out come)
Manfaat pengembangan tepung sukun dan produk olahan berbasis sukun
antara lain dapat sebagai substitusi terigu, baik secara parsial maupun total,
tergantung jenis produk olahan yang diinginkan. Hal ini berarti sesuai dengan Produk
Target

1.09

yaitu

Pangan

Substitusi

lmpor, dan

Kegiatan

1.09.03

yaitu

Pengembangan teknologi produksi tepung berbasis bahan baku tanaman lokal


sebagai alternatif substitusi gandum (Pedoman Program lnsentif Edisi-4, 2009).
Model penerapan teknologi yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat
mendorong

berkembangnya

industri

tepung

sukun

dan

produk

olahannya,

11

(hasil penelitian tahun 2009). tiga produk baru yaitu flakes (sejenis tortila
untuk sarapan), energy bar proouk makanan sumber energi bentuk
batang) dan rusk (sejenis roti kering), serta perbaikan mutu dari produk
yang sudah ada (existing product), yaitu keripik sukun.
12. Jangka waktu

: Februari- Nopember 201 0

lV

SUMMARY

: Implementation model of production technology for 1


tonage oremium quality breadfruit flour with efficiency
of production cost by 50% and 5 product
development at Cilacap District

1. Title

2. Institution

Indonesian center of postharvest research development

3. Location

West Java, Central Java, DKI Jakarta

4. Stage of research

Verification/Pilot

5. Research status

Continue

6. Objective
1. To develop implementation model of production technology at Cilacap District
2. Process eficiency for decreasing cost production to 50%
3. To get premium quality of breadfruit flour
4. To develop 5 product formula based on breadfruit flour

7. Out put

(1) . Technology production model of 1 tonage breadfruit flour per process by


50% production cost eficiency
(2). Premium quality of breadfruit flour
(3). 5 product formula based on breadfruit flour
8. Outcome
Implementation model of technology developed in this study may encourage the industrial
development f>f breadfruit flour and other products, increased preference breadfruit
consumption of refined products based on the community so that it will reduce the need
for wheat and I or rice flour.
11. Description
(1 ). Implementation Model Development Breadfruit Flour Production

Introduction of new food products processing technology based breadfruit is


expected to be adopted by local communities wh ich can then be developed as
industrial or scale rural households. The model developed in the form of
application of nucleus-plasma. The core is the MSME I Gapoktan have facilities full
of flour production equipment, while the plasma is designed to produce chip
breadfruit. In determining the business is incorporated Nucleus-Plasma, prepared

KAT A PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, maka laporan kegiatan hasil


penelitian berjudul "MODEL PENERAPAN TEKNOLOGI PRODUKSI 1 TON TEPUNG
SUKUN BERMUTU PREMIUM DENGAN EFISIENSI BIAYA PRODUKSI 50% DAN
PENGEMBANGAN 5 MACAM PRODUK OLAHANNYA (SNACK FOOD) Dl KAB.
CILACAP telah dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini didanai oleh Program
lnsentif kementerian RISTEK Tahun Anggaran 2010. Kegiatan penelitian terdiri dari 3
sub kegiatan, yaitu 1) Pengembangan Model Penerapan

Produksi Tepung Sukun, 2)

Teknologi Produksi Tepung Sukun Bermutu Premium dan 3) Pengembangan Produk


Olahan Berbasis Tepung Sukun.Kegiatan 1 dan 2 dilakukan di Kabupaten Cilacap,
sedangkan kegiatan ke-3 dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian. Dalam laporan ini disampaikan hasil-hasil penelitian dan
implementasi produk-produk olahan tepung sukun di model plasma inti Desa Lo Manis,
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Semoga laporan hasil kegiatan ini dapat bermanfaat
dan berguna untuk meningkatkan nilai guna sukun serta memberikan kontribusi positif
dalam meningkatkan dan mempertahankan Ketahanan Pangan Nasional.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada penyandang dana Program Riset
lnsentif, kementerian Ristek yang telah membiayai penelitian ini, para teknisi litkayasa
dan staff administrasi serta semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan
penelitian dan penyusunan laporan ini.
Semoga laporan ini bisa berguna dan bermanfaat bagi masyarakat luas dalam
meningkatkan pengetahuan teknologi pengolahan sukun dan produk olahannya.

Tim Peneliti

Vll

DAFTAR lSI
Halaman
Lembar Pengesahan
Ringkasan
Summary
Kata Pengantar
Daftar lsi
Daftar T abel
Daftar Gambar
Abstrak
Abstract

I.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
a.
Dasar Pertimbangan
b.

VII

viii
X

xii
xiii
XIV

1
1
3

C.

Tujuan

d.

lndikator Kinerja

d.1 . Keluaran (Output)


d.3. Hasil yang diharapkan (outcome)

5
5

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Ill.

METODOLOGI

IV.

ii

6
13

a.

Pendekatan

13

b.

Ruang Lingkup

13

C.

Metode

14

HASIL DAN PEMBAHASAN


1.

Pengembangan Model Penerapan Produksi Tepung Sukun

a.

ldentifikasi Kebijakan Dispertanak Kabupaten Cilacap

6.

Status Produksi dan Rantai Pasok


C. Perancangan Model Pengembangan Agroindustri Tepung
Sukun di Kabupaten Cilacap
d. Sosialisasi Teknologi dan Model Kelembagaan Agroindustri
Tepung Sukun di Kabupaten Ci lacap
e. Kelembagaan Inti-Plasma
f.

2.

Biaya Ekonomi

31
31
31
33
34
34
36
37

g. Uji Preferensi Produk

37

h. Permasalahan Peralatan dan Peluang Kerj asama


i. Respon Mitra Binaan terhadap Model Agroindustri Tepung
Sistem Plasma Inti
j. Produksi Tepung Sukun di Tingkat Inti dan Pl as ma

38

Teknologi produksi tepung sukun bermutu premium

41

a. Sifat fisik tepung sukun

41

39
39

Vlll

Pengembangan produk o:a-.a- ceroasis tepung sukun

42
44

a.

Flakes

44

b.

Rusk

51

b.
3.

Sifat kimia buah

s u~<- '"-

v.

KESIMPULAN DAN SARAN

80

VI.

DAFTAR PUST AKA

81

lX

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1

Proporsi bagian buah sL.

Tabel2

Komposisi amilosa-amilopektin dari pati sukun

Tabel3

Komposisi zat gizi sukun per 100 g bah an


Komposisi gizi sukun dan beberapa bahan pangan lainnya
(per 100 g)
Kriteria dari tiap-tiap keterlibatan yang diperlukan dalam

Tabel4
Tabel 5
Tabel6

penelitian
Sebaran Produksi dan Mutu Tepung Sukun Tingkat Plasma
pada KWT Sekararum Desa Lo Manis

8
15
40

Tabel7

Pengaruh bahan rendaman terhadap warna dan


kehalusan tepung sukun mutu premium

42

Tabel 8

Komposisi kimia buah sukun Cilacap

42

Tabel9

Pengaruh bahan rendaman terhadap sifat kimia tepung


sukun mutu premium

43

Tabel 10

Pengaruh bahan rendaman terhadap sifat amilografi


tepung sukun mutu premium

Tabel 11

Rendemen, warna dan kekerasan flakes sukun pada berbagai


perlakuan

45

Tabel 12

Komposisi kimia proksimat flakes

47

Tabel 13

Sifat organoleptik flakes

50

Tabel 14

Hasil uji organoleptik lanjut dari produk flakes

50

Tabel 15 '

Formula Penelitian Pendahuluan Pembuatan Rusk

51

Tabel 16

Kandungan gizi roti kering substitusi tepung sukun

53

Tabel 17

Aw roti kering

54

Tabel 18

pH roti kering

55

Tabel 19

Volume spesifik rusk (ml/g)

55

Tabel20

Sifat fungsional rusk

56

Tabel 21

Penilaian panelis terhadap warna ru sk

57

Tabel22

Penilaian panelis terhadap aroma rusk

58

Tabel 23

Penilaian panelis terhadap rasa rusk

59

Tabel 24

Penilaian panelis terhadap tekstur rusk

59

Tabel25

Penilaian panelis terhadap penampakan rusk

60

Tabel 26

Kesukaan panelis terhadap rusk

60

44

Tabel27

Rataan diameter (em'

sebelum dan sesudah digoreng

62

Tabel28

Rataan diameter (em 1 ke:t.:::..'\ sebelum dan sesudah digoreng

62

Tabel29

Rataan diameter (em) kert.o ... -<: sebelum dan sesudah digoreng

63

Tabel30

Pengembangan val.
tepung sukun

Tabel31

Nilai gizi kerupu k goring

65

Tabel32

Respon Panelis terh adap kerupuk mentah

66

Tabel33

Respon Panelis terh adap keru puk goring

66

Tabel34

Formula produk energi bar

68

Tabel 35

Karakteristik energ i bar dari berbagai formula

70

Tabel 36

Kadar pati, amilosa, daya eerna pati dan gula total dari berbagai
formula

70

Tabel37

Uji organoleptik energi bar

71

r<ert.::~"'

keruo-.~~

sukun berdasarkan konsentrasi

64

XI

DAFTAR GAM BAR

Halaman

Gambar 2

Pola pengembangan mode kelembagaan penerapan


teknologi pengolahan sukun mend orong industri pangan di
wilayah target
Model penerapa n teknolog i produksi tepung sukun

Gambar 3

Penebangan po hon sukun di pekarangan rumah

Gambar 4

Rencana pengembang an Tanaman Sukun di Nusakambangan

Gambar 5

Peralatan Pengolah Tepung Sukun di KWT Lo Manis

Gambar 1

14

16
32
32

35

Gambar 8

Suasana pelaksanaan pengenalan model produksi tepung


sukun
Produk-produk berbasis tepung sukun yang dibuat oleh
pengusaha kue "lstana Donat" di Kabupaten Cilacap
Kadarseratpangan larutfiakes

Gambar 9

Kadar serat pangan tidak larut flakes

48

Gambar 10

Daya cern a pati in vitro pada produk flakes

49

Gambar 11

Flakes suhu 125 C, waktu 15 menit

50

Gambar 12

Diagram alir pembuatan roti kering sukun

53

Gambar 13

Produk roti substitusi tepung sukun

61

Gambar 14

Rusk substitusi tepung sukun


Kerupuk goring
Produk energi bar sebelum diiris dan irisannya dari
berbagai formula
Pengaruh tingkat substitusi tepung beras terhadap nilai
KPAP
Pengaruh tingkat substitusi tepung beras terhadap berat
rehidrasi
Bihun sukun dengan tingkat substitusi tepung beras 15 %
(i) dan 30 % (ii)

61

Gambar 6
Gambar 7

Gambar 15
Gambar 16
Gambar 17 ,
Gambar 18
Gambar 19

35
38
48

65

69
71

72
73

Gam bar 22

Pengaruh tingkat substitusi tepung beras terhadap berat


rehidrasi
Bihun sukun dengan tingkat substitusi tepung beras 15 % (i)
dan 30% (ii)
Nilai KPAP bihun sukun dengan be rbaga i perl akuan

Gam bar 23

Berat rehidrasi bihun sukun dengan berbaga i perlakuan

77

Gambar 24

Kecerahan bihun sukun dengan berbaga i perl aku an


lntensitas warna merah bihun sukun dengan berbaga i
perlakuan
lntensitas warna kuning bihun suku n deng an berbaga i
perlakuan

78

Gambar 20
Gambar 21

Gambar 25
Gambar 26

74
74
76

79
79

Xll

ABSTRA K
Komoditas sumber karbob iarat '"'01-serea li a, seperti buah sukun , dalam bentuk
segar umumnya mudah ru sak kare~"a r'lempunyai kadar air yang cukup tinggi (6080%). Dalam upaya mengga li su"'lloerdaya pangan lokal untuk meningkatkan
ketahanan pangan dan mengubar citra inferior menjadi superior maka proses
pengolahan produk setenga h jadi yaitu tepun g menjadi pilihan yang tepat. Upaya
meningkatkan citra tepung dari bahan pangan lokal dapat dilakukan dengan
mereduksi atau menghila ngkan kompon en-komponen penyebab rasa dan aroma
yang tidak diinginkan konsumen. Ba lai Besar Litbang Pascapanen Pertanian telah
berhasil merakit teknolog i pro ses produksi tepung sukun palatabilitas tinggi . Proses
tersebut dapat mereduks i se nyawa penyebab rasa pahit lebih dari 80 persen.
Penelitian ini bertujuan untuk meng embangkan mengembangkan model penerapan
poduksi tepung sukun dan produk olahannya di Kabupaten Cilacap . Penelitian dan
pengembangan ini bekerjasama dengan mitra yaitu Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Cilacap serta lembaga lain. Kegiatan ini meliputi (1 ). Pengembangan
model penerapan produksi tepung sukun (2) . Teknologi produksi tepung sukun
bermutu premium, dan (3) . Pengembangan produk olahan berbasis tepung sukun .
Sasaran kegiatan adalah implementasi paket teknologi produksi tepung sukun
kualitas tinggi dilapang serta mendorong tumbuh dan berkembang industri pangan
berbasis sukun di perdesaan . Hasil dari kegiatan telah terbentuk Inti dengan empat
kelompok Plasma, didesa Lo Manis . Selain itu juga telah dihasilkan 5 produk hasil
olahan tepung sukun berupa bihun , flakes, energy bar, rusk, dan kerupuk . Diharapan
hasil penelitian dan pengembangan teknologi produksi tepung sukun akan diadopsi
oleh pengrajin setempat. Dengan tumbuh dan berkembangnya teknologi tersebut
serta dapat diterapkan di berbagai industri pangan , sehingga menumbuhkan
perekonomian perdesaan . Ketersediaan tepung sukun sebagai alternatif sumber
karbohidrat yang kaya vitamin dan mineral akan membuka peluang usaha lanjutan ,
membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan pelaku usaha, meningkatkan
minat masyarakat untuk menanam dan memelihara pohon sukun dan mengonsumsi
produk olahannya.

Kata kunci: Sukun, tepung, produk olahan, mutu produk, ketahanan pangan

Xlll

ABSTRACT

Carbohydrate source com modit es cy nor-cerea ls, such as various tubers and fruits
(breadfruit) , in fresh form generally pe~s~"ea easily because of its high moisture content
(60-80%) . In an effort to explo re local food resources as well as escalating food security
perception from inferior food to the super:or ones, so processing intermediate product i.e.
flour base to be the right choice . The efforts to im prove the perception on local food base
flour by reducing or eliminating the components causes of consumers undesirable taste
and smell. Indonesian Central Agricultural Postharvest Research and Development has
innovated successfully the prod uction process technology of high palatability breadfruit
flour. The process can reduce the bitter flavor compounds up to more than 80 percent.
The aim of the research is to develop implementation model of bread fruit flour and
processed product from breadfruit flou r at Cilacap District, Central Java. The research and
development activities were coll aborated with the Agriculture and Animal Husbandry
extension service , Cilacap District and other Institution. These activities include (1 ).
Development of implementation models of breadfruit flour production (2) . Breadfruit flour
production technology, premium quality, and (3) . Development of breadfruit flour-based
processed products. The product developed were flakes, rusk, energy bar, crackers and
breadfruit vermicelli. The result from activities were developed Nucleous with for Plasms
in Lo Manis village . Targets are the technology package implementation of high quality
breadfruit flour production and to encourage the growth and development breadfruit based
food industries in rural areas. From this research and technology development of
breadfruit production process is in line with food security encouragement, thus the output
of activities ,suppose to be adopted by local producers , and achieving in growing and
developing various food industries at rural economic business. The availability of
breadfruit flour as an alternative source to vitam ins and minerals enrich carbohydrate will
open job opportunities due to new establishment of busineses, increasing publ ic interest
to plant and conserving the breadfruit tree and consume processed products.
Keywords: Breadfruit, flour, processed products, product quality, food security

Xl V

MODEL PENERAPAN TEKNOLOGI PRODUKSI 1 TON TEPUNG


$UKUN BERMUTU PREMIUM DENGAN EFISIENSI BIAYA PRODUKSI
50% DAN PENGEMBANGAN 5 MACAM PRODUK OLAHANNYA
(SNACK FOOD) Dl KAB. CILACAP

.;UDUL

I.

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Buah sukun (Artocarpus communis) merupakan komoditas sumber karbohidrat
potensial, yang mempunyai berbagai nama daerah, yaitu sakon (Aceh), suku (Nias),
amu (Gorontalo), suu uek (Roti), sukun (Jawa, Sunda, Bali), sunne (Seram) kuu
(Sulawesi Utara), kundo (Aior), karata (Sima), kalara (Sawu), Bakara (Sulawesi
Selatan) (Dasi dan Winamo 1992, dalam Mariska et. a/., 2004, Direktorat Pemasaran
dan Pengolahan Hasil Pertanian, 2003). Terdapat dua jenis sukun, yaitu sukun tanpa
biji dan sukun dengan biji (Rincon, et.al., 2005). Di Indonesia, jenis pertama lebih
populer dengan sebutan

sukun yang diolah menjadi produk makanan, sedangkan

sukun dengan biji lebih dikenal dengan sebutan kluwih dan biasanya dimanfattkan
sebagai sayur.
Produksi sukun di Indonesia terus meningkat dari

35.435 ton (tahun 2000)

meningkat menjadi 62.432 ton (tahun 2003), 73.637 ton (tahun 2005) dengan luas
panen 6.725 ha. Sentra produksi sukun adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, 0.1. Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTT, Sumatera Selatan, Lampung,
Sulawesi Sela.tan dan Jambi (Ditjen Hortikultura, 2006). Pengembangan tanaman
sukun oleh Direktorat Jenderal Hortikultura seluas 380 ha (tahun 2003), saat ini sudah
mulai panen. Tanaman sukun mulai berbuah rata-rata setelah umur 5 tahun, dan dapat
produktif hingga umur 50 tahun.
Buah sukun termasuk golongan klimakterik. Puncak klimakterik dicapai dalam
waktu singkat karena proses respirasinya berlangsung cepat. Apalagi dibandingkan
dengan beberapa buah klimakterik lainnya, maka kecepatan respirasi buah sukun
jauh lebih tinggi. Buah sukun umumnya dikonsumsi dalam keadaan matang, tetapi
arena pola respirasinya yang demikian cepat, maka dalam selang waktu beberapa
ari buah sukun akan segera menjadi lunak dan tidak dapat dimakan (Suismono, et
a/ 2003).

Menurut Thompson (1984), suhu simpan yang lebih tinggi (27.8vC)

enyebabkan

buah

akan

menjadi

lunak dalam

waktu

yang

lebih

singkat
1

-dibandingkan dengan suhu simpan yang

'e!:H "l

rendah (12.5uC), akan tetapi proses

pematangan pada suhu simpan yang leo "' rend ah ini akan berjalan secara tidak
normal. Buah yang semula berwa ma hiJau akan menjadi coklat suram (seharusnya
hijau kekuning-kuningan). Pada masa penyimpan an dingin (di bawah suhu 12.0uC),
buah akan mengalami chilling injury. Pembungkusan buah dengan plastic polietilen
dapat memperpanjang waktu simpan buah sukun. Berdasarkan sifat klimaterik
tersebut maka sukun setelah dipanen haru s segera dikonsumsi atau diolah lebih
lanjut. Penanganan pascapanen sukun masih sederhana. Adanya kerusakan fisik
(pencoklatanlbrowning, lunaklpoyo) dan rasa pahit menyebabkan penurunan mutu

sehingga harga menjadi murah. Sampai saat ini belum ada pengawetan sukun segar.
Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan altematif pemanfaatan sukun
segar agar nilai guna dan ekonomisnya meningkat (Suismono dan Suyanti, 2008).
Salah satu upaya mengantisipasi melimpahnya sukun saat panen raya dan
memperpanjang umur simpannya, adalah mengolah sukun menjadi produk setengah
jadi berupa tepung. Tepung sukun mengandung sekitar 80% karbohidrat dan energi
302 kalori/1 00 gram. Sedangkan produk siap santap yang banyak diolah masyarakat
adalah keripik sukun.
Tepung sukun telah banyak diteliti dan dimanfaatkan walau dalam jumlah kecil.
Perrnasalahan utama dalam pemanfaatan tepung sukun yaitu adanya rasa pahit (Jw :
"getir''), sehingga kurang disukai konsumen. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
dalam biji sukun dan tepungnya ditemukan senyawa yang bisa menyebabkan rasa
pahit yaitu tanin dan asam sianida (Ugwu dan Oranye, 2006; Nwabueze, 2005). Dalam
biji sukun mengandung tanin sebesar 184 mg/kg dan asam sianida 26,4mg/kg. Selain
itu dijumpai pula zat antigizi, antara

lain adalah haemaglutinin, fitat, stakiosa dan

rafinosa. Meskipun belum diteliti secara khusus, kemungkinan senyawa penyebab


rasa pahit dan antigizi tersebut juga terdapat pada daging buah sukun . Oleh karen a itu
perlu diteliti cara mereduksi rasa pahit untuk meningkatkan palatabilitas produk
berbasis sukun.
Mutu dan kandungan gizi tepung sukun sangat dipengaruhi tingkat kematangan
buah sukun (Widowati, et.al., 2001 ). Tingkat kematangan buah sukun berpengaruh
terhadap derajat putih, komposisi proksimat dan sifat amilografi tepung sukun (Suroso,
2007). Tepung sukun menghasilkan adonan yang spesifik, sehingga perlu diketahui
jenis-jenis produk yang sesuai dengan karakteristik tepung tersebut.
Komoditas sumber karbohidrat non-serealia (aneka umbi dan buah, termasuk
..;i{Unl aa1am oemuK seqar umumnya mudah rusak atau umur s1moannya rendah . Hal
2

-Sni antara lain karena kadar air dalam urnbi ca'l buah cukup tinggi (60-80%). Selain itu
komoditas sumber karbohidrat selain oe:as dan terigu mempunyai citra inferior
didalam masyarakat Indonesia . Da lam upaya menggali sumberdaya pangan lokal
untuk meningkatkan ketahanan pangan serta mengubah citra inferior menjadi superior
maka proses pengolahan produk setengah jadi (intermediate product) yaitu tepung
menjadi pilihan yang tepat. Upaya meningkatkan citra tepung dari bahan pangan lokal
dapat dilakukan antara lain dengan mereduksi bahkan menghilangkan komponenkomponen penyebab rendahnya palatabilitas atau flavor (rasa dan aroma) yang tidak
diinginkan konsumen. Widowati, et a/. (2009) telah berhasil mereduksi komponen
penyebab rasa pahit dalam proses pembuatan tepung sukun. Dalam proses tersebut
senyawa tanin dan asam sianida dapat tereduksi lebih dari 80 persen.
Sukun merupakan salah satu sumber karbohidrat non serealia yang dapat
mensubstitusi beras maupun terigu yang sangat potensial untuk dikembangkan. Untuk
mempercepat adopsi

teknologi yang telah dihasilkan

dalam penelitian tahun

sebelumnya (2009), perlu dilaksanakan model penerapan produksi tepung sukun.


Kegiatan ini dilaksanakan di salah satu sentra produksi sukun, yaitu Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah. Sedangkan upaya meningkatkan konsumsi sukun, dilakukan
dengan mengembangkan berbagai produk olahan berbasis tepung sukun.

b. Dasar Pertimbangan
Komoditas pertanian sumber karbohidrat di Indonesia sangat beragam, namun
pangan pokok lebih dari 90 persen penduduk masih bertumpu pada satu jenis bahan
pangan, yaitu beras. Meskipun program diversifikasi pangan telah dicanangkan lebih
dari tiga dasa warsa yang lalu, namun belum menunjukkan hasil yang nyata.
Pergeseran p61a makan yang diharapkan adalah dari beras ke komoditas sumber
karbohidrat lokal non beras, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Disamping itu,
konsumsi gandum (dalam bentuk terigu) juga semakin meningkat drastis, sehingga
Indonesia termasuk negara pengimpor gandum utama di dunia.

Namun, gandum

adalah tanaman subtropik dan hanya dapat dibud idayakan pada dataran tinggi
dengan ekosistem tertentu di Indonesia, sehingga produktivitasnya rendah. Oleh
karena itu, untuk mengurangi impor gandum dan konsumsi beras, perlu dicari
sumber karbohidrat lokal potensial. Sukun merupakan tanaman sumber karbohidrat
yang

produktivitasnya tinggi,

rata-rata

200-300

buah/musim/pohon,

dua

kali

panen/tahun atau sebanyak 16-32 ton/ha (Koswara, 2006). Hal ini merupakan
kelebihan tanaman sukun dibandingkan dengan komod itas sumber karbohidrat dari
tanaman semusim (serealia dan

anekc;~

umbi).
3

Berdasarkan

produktivitas yang

tingg1 dan mudah

beradaptasi dengan

lingkungan, maka sukun menjadi sa 'a'l satu pohon unggulan dalam program
Pengembangan

Hutan

Cada ngan

Pangan.

Departemen

Kehutanan

telah

membagikan bibit sukun kepa da masyarakat mulai tahun 1999 hingga 2009
sebanyak 26.198.730 tanaman , dengan prediksi tumbuh 20.962.984 tanaman (80%)
dan estimasi hasil buah sampai tahun 2009 sebanyak 12.197.175 buah . Bibit
tersebut ditanam pada kegiatan Hutan Cad angan Pangan, Ketahanan Pangan, Aksi
Penanaman Serempak Indonesia (APSI), Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara
Pohon (GPTPP), Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI), dan One Man One Tree
(OMOT) (Pusat lnformasi Kehutanan , 2009).
Permasalahannya adalah sukun dipanen pada umur matang optimal, dan masa
layak konsumsi buah sukun yang telah dipetik sangat pendek, yaitu hanya beberapa
hari , maksimum satu minggu sudah membusuk. Pemanfaatan buah sukun hingga
saat ini masih terbatas, yaitu digoreng dan dibuat kripik. Ada juga masyarakat yang
mengonsumsi sukun setelah direbus atau difermentasi (dibuat sejenis tape), namun
dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi hasil panen
menurut prediksi Departemen Kehutanan. Saat panen yang serempak dengan masa
panen yang pendek, bisa diduga bahwa buah sukun akan sangat banyak yang tidak
termanfaatkan bila tidak dilakukan penangan dan pengolahan yang tepat. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, teknologi tepung merupakan solusi tepat.
Bentuk tepung dipilih karena dapat memperpanjang daya simpan, praktis
dalam pemanfaatan, efesien dalam distribusi dan penyimpanan serta dapat
meningkatkan citra bahan pangan lokal karena dapat diolah menjadi aneka produk
I

makanan. Bentuk tepung sangat tepat sebagai bahan substitusi terigu dan beras.
Namun, dengan teknologi yang telah ada di masyarakat, tepung sukun yang
dihasilkan masih menyisakan rasa (after taste) pahit/"getir" setelah dikonsumsi.
Dengan kata lain tepung sukun mempunyai tingkat palatabilitas rendah. Hal ini
karena terdapatnya senyawa tanin dan asam sianida. Tahun 2009 telah dihasilkan
teknologi produksi tepung sukun palatabilitas tinggi. Paket teknologi ini perlu segera
dimasyarakatkan, dengan dua tujuan utama yaitu 1) meningkatkan daya guna,
memperpanjang umur simpan sukun serta meningkatkan nilai tambah baik ekonomi
maupun sosial, dan 2) berkontribusi dalam upaya menurunkan pangan impor serta
meningkatkan ketahanan pangan.

Diharapkan, peningkatan cita rasa tepung sukun

dan produk olahannya akan diiringi dengan peningkatan minat masyarakat dalam
menanam, memanfaatkan dan mengonsumsi produk olahan berbasis tepung sukun.

c. Tujuan
Tujuan umum kegiatan ini adala!"' :eradopsinya model penerapan teknologi
produksi tepung sukun bermutu premium o eh masyarakat pengguna, meningkatnya
pemanfaatan dan konsumsi sukun mela!ui introduksi produk-produk olahan berbasis
tepung sukun . Sedangkan tujuan khusus kegiatan tahun 2010 ini adalah:
(1). Mengembangkan model penerapan produksi tepung sukun di Kabupaten Cilacap
(2) . Melakukan efesiensi proses sehingga biaya produksi (diluar bahan baku) dapat
ditekan hingga 50%.
(3). Mendapatkan produk tepung suku n bermutu premium
(4). Mengembangkan formula 5 jenis produk olahan berbasis tepung sukun

d. lndikator kinerja
- Keluaran (out put)

(1) Model teknologi produksi 1 ton tepung sukun per proses dengan efisiensi biaya
produksi 50% (diluar bahan baku)
(2) . Tepung sukun bermutu premium
(3). Formula 5 jenis produk olahan berbasis tepung sukun
- Hasil yang diharapkan (out come)

Manfaat pengembangan tepung sukun dan produk olahan berbasis sukun


antara lain dapat sebagai substitusi terigu, baik secara parsial maupun total,
tergantung jenis produk olahan yang diinginkan. Hal ini berarti sesuai dengan Produk
Target

1.09

yaitu

Pangan

Substitusi

lmpor,

dan

Kegiatan

1.09.03

yaitu

Pengemban9an teknologi produksi tepung berbasis bahan baku tanaman lokal


sebagai alternatif substitusi gandum (Pedoman Program lnsentif Edisi-4, 2009).
Model penerapan teknologi yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat
mendorong

berkembangnya

industri

tepung

sukun

dan

produk

olahannya,

meningkatkan preferensi konsumsi produk olahan berbasis sukun di masyarakat


sehingga akan menurunkan kebutuhan terigu dan/atau tepung beras.

U. TINJAU

PUSTAKA

a. Sukun
Sukun merupakan tanama n tahunar> yang tu mbuh baik pada lahan kering
(daratan), dengan tinggi pohon dapat rr.encapai 10 m atau lebih dan mempunyai
eabang-eabang yang melebar ke sa mping dengan tajuk sekitar 5 m. Pohon sukun
membentuk percabangan mulai dari ketinggian sekitar 1.5 m dari tanah . Daunnya
berbentuk oval panjang dengan belahan daun simetris yang ditunjang dengan tulang
daun yang menyisip simetris pula . Panjang daun dapat meneapai meneapai 60 em
dan Iebar 45 em. Ujung daun merun eing , tepi daun bereangap menyirip, kadangkadang siripnya bereabang. Permukaan daun bagian atas halus dan berwarna hijau
mengkilap sedang bagian bawah kasar berbulu dan berwama kusam.
Buah sukun berbentuk bulat atau agak lonjong dengan diameter kurang lebih
25 em. Wama kulit buah hijau muda sampai kekuning-kuningan.

Ketebalan kulit

antara 1-2 mm. Buah muda berkulit kasar dan buah tua berkulit halus. Daging buah
berwarna putih agak krem, teksturnya kompak dan berserat halus. Rasanya agak
manis dan memiliki aroma yang spesifik. Tangkai buah sekitar 5 em. Berat buah
sukun dapat meneapai 1 kg per buah.
Pembentukan buah sukun tidak didahului dengan proses pembuahan bakal biji
(partheno carpie), maka buah sukun tidak memiliki biji. Pada mulanya kulit memiliki

kulit yang kasar mirip duri (spina); selanjutnya kulit seolah tertarik dan terbentang
sehingga berbekas seperti gambar heksagonal dengan titik di tengahnya, dan kulit
menjadi halus. Buah sukun akan menjadi tua setelah tiga bulan sejak muneulnya
bunga betina.

Buah yang muneul awal akan menjadi tua lebih dahulu, kemudian

diikuti oleh buah berikutnya.


Sifat Fisik dan Fisio/ogi Pascapanen Buah Sukun

Buah sukun terdiri dari tiga bagian yaitu kulit, hati, dan daging (pulp) yang
merupakan bagian yang dapat dimakan. Persentase setiap bagian buah dengan
tingkat kematangan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Daging buah yang
masih muda berwama putih, sedangkan bila sudah masak (fully ripe) akan berwarna
kekuning-kuningan.

Sifat spongy daging buah semakin mendekati bagian kulit

semakin berkurang.

Hal ini dikarenakan semakin mendekati ku lit, semakin jarang

ikatan ruang antar sel dan akhimya struktur sel menjadi kompak (Reeve, 1974).

I abel 1. Proporsi bagian buah sur<u


~::~ni::~n
~~;::~~

Buah tua (%~

~ ll ::l .h. .hii:::.


'J - ~~~

Kulit

22

12

Hati

10

Daging

70

78

Komposisi Kimia Buah Sukun


8uah sukun dapat dimasukkan dalam golongan buah yang berpotensi sebagai
sumber karbohidrat. 8uah sukun yang telah dimasak cukup bagus sebagai sumber
vitamin A dan 8 komplek. Kandungan mineral Ca dan P buah sukun lebih baik dari
kentang kira-kira sama dengan yang ada pada ubi jalar (Noviarso, 2003).
Greenwood (1979) menggolongkan pati berdasarkan kadar amilosanya, yaitu
kadar amilosa rendah (kurang dari 20 %), sedang (20-25 %), dan tinggi (lebih dari
25%). 8erdasarkan penggolongan tersebut, pati sukun dapat digolongkan sebagai
pati berkadar amilosa rendah (Tabel 2).
t"abel 2. Komposisi amilosa-amilopektin dari pati sukun
Sukuntua

Sukun muda

Pati

13.7

7.8

Amilopektin

82.0

81.8

Amilosa

18.0

18.2

Derajat putih

82.2

50.2

Kandungan (% bk)

Sumber: Manullang dan Vivin (1995)


Kandungan Gizi Buah Sukun
8uah sukun mengandung berbagai jenis zat gizi utama yaitu karbohidrat (25
%), protein (1 .5 %), dan lemak (0.3 %) dari berat buah sukun.

Selain itu, buah

sukun juga banyak mengandung unsur-unsur mineral serta vitamin yang sangat
dibutuhkan . oleh tubuh.

Unsur-unsur mineral yang terkandung dalam buah sukun

antara lain adalah Kalsium (Ca), Fosfor (P), dan Zat 8esi (Fe), sedangkan vitaminvitamin yang menonjol antara lain adalah vitamin 81 , 82 , dan vitamin C (Widowati
dan Suyanti, 2002). Kandungan air dalam buah sukun cukup tinggi, yaitu sekitar
69.3 %.

Komposisi zat gizi buah sukun dapat dilihat pada Tabel 3, dan

perbandingan kandungan zat gizi utarna pada sukun dengan beberapa bahan
pangan lainnya disajikan pad a Tabel 4 .
Tabe! 3. Komposisi zat gizi su kun per 100 g oa han
Sukun Muda

Sukun Tua

T~nunn
-r--"::1 ~~~~11n
__ .. _

Karbohidrat (g)

9.2

28.2

78.9

Lemak (g)

0.7

0.3

0.8

Protein (g)

2.0

1.3

3.6

Vitamin 81 (mg)

0.12

0.12

0.34

Vitamin 82 (mg)

0.06

0.05

0.17

Vitamin C (mg)

21.0

17.0

47.6

Kalsium (mg)

59.0

21 .0

58.8

Fosfor (mg)

46.0

59.0

165.2

0.4

1.1

Zat Gizi

7 <:>t
--\,

be>cj (mg)
--

Ill

Sumber : FAO (1972) dalam Widayati dan Damayanti (2000)


b.Tepung sukun

Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang
dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit) ,
diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan
kehidupan modern yang serba praktis.

Prosedur pembuatan tepung sangat

beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan komponen kimia bahan pangan. Namun
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pangan yang
mudah menjadi coklat apabila dikupas dan yang tidak mudah menjadi coklat.

; abel 4. Komposisi gizi sukun dan beberapa bahan pangan lainnya (per 100 g)
Jenis bahan
pangan
Tepung sukun

Energi
(kkal)
302

Protein
(g)
3.6

Lemak
(g)
0.8

Karbohidrat
(g)
78.9

8uah sukun tua

108

1.3

0.3

28.2

8eras

360

6.8

0.7

78.9

Jagung

129

4.1

1.3

30.3

Ubi kayu

146

1.2

0.3

34.7

Ubi jalar

123

1.8

0.7

27.9

Kentang

83

2.0

0.1

19.1

Sumber : FAO (1972) dalam Widayati dan Damayanti (2000)

Pada

umumnya

umbi-umb!a....

pencoklatan setelah dikupas. Ha l

'il

da:1

:::>uah-buahan

mudah

mengalami

-::scba=.-:a., oksid asi dengan udara sehingga

terbentuk reaksi pencoklatan oleh pe:;aP.!'"' enzim yang terdapat dalam bahan
pangan tersebut (browning enzymatic! ?eri.s.o:<..atan karena enzim merupakan reaksi
antara oksigen dan suatu senyawa pherd yang dikatalisis oleh polyphenol oksidase .
Untuk menghindari terbentukPya ..-a'"'""~a coklat pada bahan pangan yang akan
dibuat tepung dapat dilakukan dengan T11encegah sesedikit mungkin kontak antara
bahan yang telah dikupas dan udara dengan cara merendam dalam air (atau larutan
garam 1% dan/atau menginaktifkan enzim dalam proses blansir)

(Widowati dan

Damardjati, 2001 ). Berdasarkan kadar karbohidrat yang cukup tinggi buah sukun
berpeluang diolah menjadi tep ung. Pemanfaatan tepung sukun menjadi makanan
olahan dapat mensubtitusi pengg unaan terigu 50-100% tergantung jenis produknya.
Kendala dalam pembuatan tepung sukun ialah

te~adinya

wama coklat saat

diproses menjadi tepung . Untuk menghindari terbentuknya wama coklat pada tepung
yang dihasilkan, usahakan sesingkat mungkin waktu

te~adinya

kontak antara bahan

dengan udara. Caranya yaitu dengan merendam buah yang telah dikupas dalam air
bersih, dan menonaktifkan enzim dengan cara diblansir yaitu dikukus. Lama
pengkukusan tergantung sedikit banyaknya bahan,

berkisar antara 10-20 men it.

Tingkat ketuaan buah juga sangat berperan terhadap warna tepung yang dihasilkan .
Buah yang muda menghasilkan tepung sukun berwarna putih kecoklatan. Semakin
tua (sampai tingkat ketuaan optimum) buah semakin putih warna tepungnya. Buah
sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal yang dipanen 10
hari sebelum tingkat ketuaan optimum (Widowati, et.al. 2001 ).
1

Karakteristik tepung sukun yang dihasilkan pada penepungan buah sukun


dipengaruhi oleh umur buah, perlakuan yang diberikan, alat dan suhu pengeringan.
Sebelum ditepungkan, buah sukun direndam dalam larutan Natrium metabisulfit
untuK mencegan terJaalnya reaKSI pencoKlatan setelan pengupasan aan paaa

f;B~

pengeringan.
b. Zat antigizi pada buah sukun
Tanin

Salah satu senyawa yang diduga sebagai penyebab rasa pa~ it atau "getir''
pada buah sukun adalah tanin . Penelitian pada tepung biji sukun menunjukkan
kandungan tanin sebesar 18.16 mg/g dan perlakuan pengolahan seperti perebusan
dan germinasi dapat menurunkan kadar tanin (Ugwu dan Oranye, 2006), demikian
9

pula perlakuan ekstrusi (Nwabueze, 2

andungan tanin dalam daging buah

sukun belum banyak diteliti, namun bercasar uji organoleptik yang menunjukkan
adanya rasa pahit, maka diduga keberaaaan tanin tidak hanya didalam biji, tetapi
juga ditemukan dalam daging buahnya .
lstilah tannin yang digunakan pada kalangan ahli pangan ada dua. Condensed
tannin merupakan dimer 4,8 atau 2,8 C-C atau ikatan dimer eter 3,3 dari senyawa
katekin.

Yang kedua yang disebut hydrolyzed tannin , termasuk ke dalamnya

galotanin dan elogitanin.

Senyawa-senyawa tersebut biasanya digunakan untuk

menyamak kulit dan masing-masing merupakan polimer asam galat dan asam elagat
Di samping itu ada tannin yang tidak dapat dimasukkan ke dalam

(el/agic acid).

salah satu kelompok tannin tersebut di atas.


Beberapa ahli pangan berpendapat bahwa tannin terdiri dari katekin ,
leukoantosianin, dan asam hidroksi yang masing-masing dapat menimbulkan wama
bila bereaksi dengan ion logam.

Senyawa-senyawa yang dapat bereaksi dengan

protein dalam proses penyamakan kulit kemungkinan besar terdiri dari katekin
dengan BM yang sedang, sedangkan katekin dengan BM rendah banyak ditemukan
pada buah-buahan dan sayur-sayuran.
Katekin dan epikatekin sating merupakan isomer, yaitu pada katekin hidroksilhidroksil pada cincin benzene berbentuk trans, sedangkan pada epikatekin berbentuk
cis (pada karbon nomor 2 dan 3). Adanya tanin dalam bahan makanan dapat
berpengaruh terhadap cita rasa produk pangan yang dihasilkan (Winamo, 1997).
Rasa sepat bahan makanan biasanya disebabkan oleh tanin. Tanin terdapat dalam
berbagai tanaman pangan antara lain didalam teh, jambu biji, sorgum, juwawut,

ketan hitam dll.


Kandungan tanin dalam teh dapat digunakan sebagai pedoman mutu karena
tanin memberikan kemantapan rasa. Namun, rasa yang terlalu sepat tidak diinginkan
lagi.

Beberapa jenis senyawa telah diisolasi dari teh-teh Indonesia yang meliputi

epikatekol, katekol galat, dan 5-hidroksikatekol (Winamo, 1997). Kandungan tanin


dalam anggur juga banyak menentukan mutu anggur. Biasanya tanin terdapat dalam
kulit dan biji buah anggur. Pada anggur jenis tertentu (chianti wine), kadar tanin yang
semakin tinggi semakin dikehendaki.
Leukoantosianin merupakan senyawa yang dapat memberikan rasa sepat yang
dikehendaki.

Pada minuman apple cider . leukoantosianin member rasa spesifik

yang dikehendaki. Senyawa tersebut juga penting peranannya dalam memberikan

10

-cita rasa pada olive, pisang, teh, angg~.;r dan coklat.


yang berwarna, leukoantosianin tidak berNama.

Berbeda dengan antosianin

Karena bentuk molekulnya yang

kecil, leukoantosianin tidak ma mpu bereaksi dengan protein seperti asam tanat
dalam

proses

penyamakan

kulit

dan

karenanya

leukoantosianin

dapat

dikelompokkan dalam condensed tannin.


Hidrogen Sianida (HCN)

Glikosida sianogenetik merupakan senyawa yang terdapat dalam bahan


makanan nabati dan secara potensial sangat beracun karena dapat terurai dan
mengeluarkan hidrogen sianida. Hidrogen sianida dikeluarkan bila komoditi tersebut
dihancurkan, dikunyah, mengalami peng irisan, atau rusak.
Bila dicema, hidrogen sianida sangat cepat terserap oleh alat pencernaan
masuk ke dalam saluran darah.

Tergantung jumlahnya hidrogen sianida dapat

menyebabkan sakit sampai kematian (dosis yang mematikan 0.5-3.5 mg HCN/kg


berat badan). Glikosida sianogenetik juga terdapat pada berbagai tanaman dengan
nama senyawa yang berbeda seperti amigladin pada biji almonds, apricot dan apel,
dhurin pada biji sorghum, dan linamarin pada kara (lima bean) dan singkong. Nama
kimia bagi amigladin adalah glukosida benzaldehida sianohidrin; dhurin: glukosida phidroksi-benzaldehida sianohidrin ; linamarin: glukosida aseton sianohidrin (Winamo,
1997).
Kandungan sianida dalam singkong sangat bervariasi. Kadar sianida rata-rata
dalam singkong manis di bawah 50 mg/kg berat asal, sedangkan singkong pahit atau
racun di atas 50 mg/kg.

Menurut FAO, singkong dengan kadar 50 mg/kg masih

aman untuk dikonsumsi manusia.


Pengolahan secara tradisional ternyata dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan kandungan racun . Seperti misalnya singkong, kulitnya dikupas dulu
sebelum

diolah,

singkongnya

dikeringkan, direndam

difermentasi selama beberapa hari.

sebelum

dimasak, dan

Dengan per1akuan tersebut, linamarin banyak

yang rusak dan hidrogen sianidanya ikut terbuang keluar seh ingga tinggal sekitar 1040 mg/kg. Di samping itu, hidrogen sianida akan mudah hilang oleh penggodokan,
asal tidak ditutup rapat. Adanya pemanasan, enzim yang bertanggung jawab
terhadap pemecahan linamarin menjadi inaktif seh ingga hidrogen sianida tidak dapat
terbentuk. Glikosidanya sendiri pada umumnya bukan merupakan racun . Walaupun
demikian, masih terdapat banyak kontradiksi terh adap akibat konsumsi glikosida

11

yang belum terurai, karena temyata

~a'!':t e ri-b a kte ri

yang ada pada saluran

pencernaan bagian bawah dapat me:'"'eca"' glikosida tersebut menjadi hidrogen


sianida.
Asam Fitat

Asam fitat merupakan zat anti gizi karena mempunyai kemampuan untuk
berikatan dengan mineral yang mengakibatkan kelarutan mineral tersebut menurun,
sehingga ketersediaan mineral menjadi rendah.

Asam fitat dan senyawa fitat

merupakan senyawa fosfat yang disintesis secara alami di dalam biji tanaman,
banyak terdapat di dalam biji kacang-kacangan dan biji serealia. Salah satu kacangkacangan yang mengandung asam fitat adalah kedelai.
digunakan untuk pembuatan tempe adalah kedelai putih.

Jenis kedelai yang


Asam fitat dapat

diekstraksi dengan air dan dapat dipecah oleh enzim fitase menjadi asam fosfat dan
inositol.

Karena dalam sistem pencernaan manusia tidak terdapat enzim fitase,

maka asam fitat tidak dimetabolisme sehingga dapat merugikan, karena mempunyai
kemampuan kuat untuk mengikat mineral dalam bahan makanan membentuk ikatan
kompleks, sehingga menurunkan jumlah mineral yang dapat diserap oleh usus halus
(Tranggono, 1990).
Banyak usaha pengurangan kadar asam fitat agar diperoleh bahan makanan
dengan kadar fitat seminimal mungkin antara lain dengan perendaman, perebusan,
pengukusan, dan fermentasi (Suhardi, 1988). Selama perendaman biji mentah akan
terjadi peningkatan enzim fitase sehingga pemecahan fitat akan berlangsung. Selain
itu , juga akan terjadi pelarutan fitat ke dalam air rendamannya.

Sedangkan

perendaman .biji rebus dalam air akan menyebabkan penurunan fitat yang relatif
besar. Upaya reduksi asam fitat untuk memperbaiki mutu bekatul telah diteliti oleh
Widowati, et.al. (2000).

12

Ill. METODOLOGI
a. Pendekatan

Pendekatan metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah pengembangan


model penerapan teknologi produksi tepung sukun , yang diawali dengan pengenalan
teknologi pengolahan tepung sukun untuk memberikan edukasi kepada masyarakat
bahwa bahan pangan sumber karbohidrat lokal mempunyai kesetaraan gizi, kegunaan
dan citarasa yang tidak kalah dengan terigu ataupun beras. Pelaksanaan kegiatan ini
dilakukan bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap
dan berkoordinasi dengan BPTP Jawa Tengah . lmplementasi lapang dari hasil
penelitian tahun sebelumnya diwujudkan melalui penyusunan kelembagaan dan
pembentukan model produksi tepung sukun dan olahannya, serta uji produksi dan
promosi produk. Permasalahan lain adalah terbatasnya jenis produk olahan. Untuk
mengatasi hal ini, akan dikembangkan formula 5 jenis produk olahan. Selain itu,
dijumpai keluhan ketidakstabilan produk keripik sukun selama panyimpanan, padahal
keripik sukun merupakan produk andalan dari komoditas ini. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, maka dalam kegiatan ini dilakukan penelitian pendukung
berupa perbaikan teknologi pembuatan keripik sukun. Modifikasi juga akan dilakukan
dalam pembuatan keripik sukun, yaitu

keripik akan diformulasi dari tepung sukun,

selain dari buah sukun segar yang merupakan existing technology di masyarakat.
b. Ruang Lingkup

Penelitian dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen


Pertanian, Bogor dan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dari bulan Februari hingga
Nopember 2010. Penelitian ini merupakan implementasi dari penelitian perbaikan
teknologi tepung

sukun yang telah dilakukan di Laboratorium dan

Bangsal

Pengolahan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, tahun


2009. Kegiatan ini bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Cilacap. Sebagai mitra kegiatan, maka lnstansi tersebut juga mempunyai program dan
mengalokasikan dana pendamping dari APBD 2010. Penelitian ini dibagi dalam tiga
kelompok kegiatan, meliputi (1). Pengembangan model penerapan produksi tepung
sukun

(2).

Teknologi

produksi

tepung

sukun

bermutu

premium,

dan

(3).

Pengembangan produk olahan berbasis tepung sukun.

13

(3) Pelaku dari sistem kelembagaar 'T"erupakan masyarakat/petani penghasil


sukun dan pelaku usaha/pemooa: ce'lgan sistem pembagian keuntungan yang
proporsional (Tugas dari Pemda BPTP Poktan/Gapoktan)
(4) Dalam jangka panjang , kelembagaan yang dibangun dapat berkembang
menjadi

sistem

subsistem

usaha

pemasaran

agribisnis
dan

yang

subsistem

mencakup subsistem
pendukung

(Petani,

produksi,

Poktan

dan

Gapoktan).

b. Pembentukan Model Penerapan Produksi Tepung Sukun

Penumbuhan kelembagaan akan diawali dengan percobaan pembentukan


model produksi. Secara lengkap model produksi yang akan dikembangkan terdiri
dari kelembagaan : (1). Perajin sukun, (2). Pembeli siaga, dan (3). Konsumen.
Setiap unsur kelembagaan tersebut dikelola oleh kooperator yang akan dipilih
berdasarkan kriteria seperti terlihat pada Tabel 5. Sedangkan model penerapan
teknologi produksi tepung sukun disajikan pada Gam bar 2.
Tabel 5. Kriteria dari tiap-tiap keterlibatan yang diperlukan dalam penelitian
Kriteria

Jenis yang terlibat


(Penyedia alat)
Perajin tepung sukun (IntiPlasma)

Bersedia dilatih untuk memproduksi sawut dan


tepung sukun

(Aiat penyawut dari Dinas


setempat)

Bersedia bekerja sama dalam pengembangan

lndustri..olahan

Bersedia dilatih untuk memproduksi produk

(Pengrajin)
(Aiat penepung disediakan

model

makanan berbasis tepung sukun


Bersedia membeli/menggunakan tepung sukun

Dinas setempat

hasil Inti-Plasma dan mempromosikan lebih

ditempatkan di INTI)

lanjut
Bersedia

beke~a

sama dalam pengembangan

Mendapat dukungan dari instansi terkait


Konsumen/ pasar
(Pemda setempat/Diperta

Bersedia mengonsumsi dan melakukan


promosi (komentar/respon jika diperlukan)

dan Disindag bersama


BPTP)

15

Pengembangan model peneraoan teknologi produksi tepung sukun


menggunakan sistem Inti-Plasma_ Ponon sukun tidak dibudidayakan secara
monokultur dalam suatu hamparan 81asanya ditanam dipekarangan penduduk.
Oleh karena itu bertidak sebagai plasma adalah pemilik pohon sukun, atau
pedagang

pengumpul

maupun

masyarakat

umum.

Sedangkan

Inti,

bisa

merupakan KUD/Kelompok tani/Swasta. Pada konsep ini Inti dilengkapi dengan


perlengkapan produksi tepung sukun, sedangkan Plasma hanya memproduksi
sawut sukun kering. Dalam konsep ini terdiri atas 1 Inti bekerjasama dengan 5-10
Plasma. Plasma memproses sukun hingga menjadi sawut kering masing-masing
sebanyak 50-200 kg, kemudian sawut disetordijual ke Inti. Inti selain menampung
sawut kering dari Plasma , juga memproduksi sawut sendiri, kemudian seluruh
sawut digiling menjadi tepung dengan target kapasitas 1 ton per proses.

"
8____..

(0..._~
KUD/GAPOKTANI
SWASTA

TEPUNG

PAS.AR UTAMA

Pengusaha besar

0
N

s
u

8//

M
PASAR ALTERNATlf'

Pengratin produk olahan


Petani/keltanl
Masyarakat

Gam bar 2. Model penerapan teknologl produksl tepung sukun

c. Pemilihan Lokasi, Pengrajin dan Pengolahan Sukun


Pemilihan pengrajin dan lokasi percontohan akan dilakukan bersama antara
88 Pascapanen dengan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap.
Pada kelembagaan pengolahan sukun,

akan dipilih beberapa pengrajin produk

olahan berbasis tepung sukun. Prasarana dan sarana pembuatan aneka produk
dari sukun akan disediakan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Cilacap, sedangkan supervisi teknologi akan dilakukan oleh Tim 88-Pascapanen
bersama 8PTP setempat.

16

Kegiatan pengenalan tekno


sosialisasi teknologi pembuatan aa,...

olahan tepung sukun dilakukan melalui


olahan tepung sukun. Hal ini ditujukan

untuk memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa bahan pangan sumber


karbohidrat lokal mempunyai kesetaraan gizi, kegunaan dan citarasa yang tidak
kalah dengan terigu ataupun beras.

d. Uji Produksi dan Promosi Prod uk

Uji

produksi

akan

dilakukan oleh kooperator (Inti-Plasma)

dengan

optimalisasi teknologi skala UKM (1 ton). Untuk produk olahan sukun akan
diproduksi berbagai produk pangan olahan seperti yang dikembangkan di BB
Pascapanen.

Dalam tahap promosi, uji produksi akan dilakukan dibawah

supervisi Dinas Pertanian dan Petemakan Kabupaten Cilacap, BPTP Jawa


Tengah, dan BB-Pascapanen yang dilakukan secara regular.
Promosi produk akan dilakukan di lokasi dan diluar wilayah pengrajin.
Konsumen pasar akan ditentukan berdasarkan kesepakatan dengan pengrajin
atau kooperator siaga. Responden konsumen pasar terdiri dari kelompok anak
sekolah (usia remaja), lembaga sosial masyarakat (PKK, LSM), Organisasi
Wanita, Lembaga Pemerintahan dan perajin makanan dengan aspek pengamatan
meliputi ekonomis, gizi dan daya guna,
Anal isis data akan dilakukan terhadap faktor-faktor:
Teknis

: tingkat kemudahan adopsi dan adaptabilitas implementasi


teknologi, keanekaragaman produk dan mutunya

Sosial

: penerimaan konsumen (kesukaan) terhadap unsur rasa,


aroma, tekstur dari produk

Ekonomis

: biaya dan kelayakan produksi.

(2). Teknologi produksi tepung sukun bennutu premium

(Penanggung Jawab: lr. Suismono, MS)


Tepung sukun premium adalah tepung sukun yang kadar taninnya sudah
direduksi maksimum 0,2% (bk) dan kadar asam sianida maksimum 1 mg/kg,
wama putih kekuningan sesuai dengan wama daging buah sukun, dengan
kehalusan minimal 80 mesh. Tepung sukun tersebut memenuhi syarat mutu untuk
dijadikan bahan baku berbagai pangan dengan harga yang terjangkau. Pada

17

kegiatan ini dilakukan validasi me

e ::>embuatan tepung sukun terpilih dari hasil

penelitian tahun sebelumnya , u

srca'a oangsal (50 kg tepung). Metode terpilih

yaitu buah sukun matang optimum. segera dilakukan pengupasan, pencucian, dan
pemotongan bentuk juring kemudian dib1ansir didalam dandang selama sepuluh
menit. Selanjutnya dilakukan penyawutan, perendaman di dalam larutan sodium
bisulfit 0,03% selama satu jam, pencucian, pengepresan dan pengeringan sawut
hingga kadar air maksimum 12% (Widowati, et a/., 2009). Perlakuan ini diulang
tiga kali. Tepung yang dihasilkan dianalisis mutu fisik, kimia, fisikokimia dan sifat
fungsional. Pada tahap ini dilakukan analisis ekonomi dan design kemasan.

(3). Pengembangan produk olahan berbasis tepung sukun


(Penanggung jawab : Dr. lr. Sri Widowati, MAppSc)
Pada kegiatan ini akan dilakukan pengembangan lima produk olahan. Jenis
produk tersebut adalah, satu perbaikan produk yaitu bihun sukun (hasil penelitian
tahun 2009), tiga produk baru yaitu flakes (sejenis tortila untuk sarapan), energy

bar (produk makanan sumber energi bentuk batang) dan rusk (sejenis roti kering},
serta perbaikan mutu dari produk yang sudah ada (existing product), yaitu keripik
sukun.

Snack Food. lstilah snack lebih dikenal dalam budaya barat. Snack food
atau makanan ringan adalah jenis makanan yang tidak ditujukan untuk dikonsumsi
sebagai makanan utama (sarapan pagi, makan siang, atau makan malam).
Umumnya snack food dikonsumsi diantara waktu makan utama, yang mampu
menyumbang energi yang cukup bagi tubuh diantara waktu tersebut. Makanan
ringan di Indonesia mulai diperkenalkan oleh Belanda di masa penjajahan.
Makanan 'ringan pada sa at itu dinikmati sa at minum the di sore hari berupa kuekue basah. Saat ini snack tersedia dalam berbagai jenis baik kue basah, kue
kering,

atau

makanan

ringan

siap santap

hasil

produksi

pabrik.

Waktu

mengonsumsinya pun tidak terbatas, dapat dikonsumsi kapan saja.


Nielsen Retail Audit tahun 2007 menyebutkan pertumbuhan volume di
pasar makanan ringan berkisar 27 % dan pertumbuhan value sebesar 34 %.
Pertumbuhan ini terjadi di pasar tradisional maupun pasar modern (swalayan)
(Anonymous, 2008). Snack food disukai masyarakat dari berbagai segemen, baik
itu anak-anak, remaja, bahkan orang tua. Tingginya kesukaan masyarakat
terhadap snack food selain karena enak tetapi juga lebih praktis dan cepat. Bagi
segmen masyarakat tertentu yang memiliki keterbatasan waktu, snack food
menjadi makanan yang dipilih untuk mengatasi rasa lapar.

18

Oleh karena itu pada peneirnan b akan dilakukan pengembangan snack


food sehat dan padat gizi dari

~ oar.an

casar tepung sukun sebagai sumber

karbohidrat. Snack food yang akan aireat adalah energy bar, flakes, dan rusks.

Energi bar adalah snack food fang berbentuk persegi panjang. Seperti
namanya, energy bar merupakan sumber energy terutama karbohidrat yang
memiliki segmen pasar atlit atau orang yang memiliki aktivitas tinggi yang
membutuhkan energi untuk bisa mempertahankan kekuatan fisiknya. Produk ini
juga dapat dikonsumsi oleh anak-anak, terutama anak usia sekolah dan remaja.
Pada masa itu anak-anak masih dalam masa pertumbuhan dan umumnya juga
memiliki aktivitas fisik yang tinggi sehingga membutuhkan makanan berenergi
tinggi (Anonymous 2009a). Selain itu energy bar juga dapat menjadi altematif
makanan darurat, yang dapat diberikan pada masyarakat yang mengalami
bencana seperti banjir, gempa bumi, dan lain lain.
Seperti namanya energy bar, fungsi utamanya adalah sebagai sumber
energy, dari karbohidrat. Pada penelitian ini akan dilakukan formulasi energy bar
menggunakan tepung sukun sebagai sumber karbohidrat. Energy bar dibuat
dengan beberapa formulasi sehingga diperoleh komposisi 45-65% karbohidrat,
10-25% protein, dan 25-40% lemak. Perlakuan dalam formulasi Breadfruit energy
bar meliputi jumlah tepung sukun yang ditambahkan (25, 50, dan 75%}, jenis

protein yang digunakan (telur dan kacang-kacangan), serta jenis lemak yang
digunakan (minyak sayur, margarine, dan mentega). Tepung sukun yang
digunakan dalam formulasi untuk mensubtitusi terigu sebagai sumber karbohidrat.
Bahan yang digunakan, tepung sukun, terigu, kismis/buah kering, gula,
~

mentega, telur, susu, kacang-kacangan, garam, baking soda, baking powder.


Prinsip pembuatan yaitu,

mentega, gula, dan telur dikocok homogen, lalu

ditambah tepung sukun, terigu, susu bubuk, garam, baking soda, baking powder,
diaduk hingga merata. Tambahkan kismis dan kacang-kacangan, aduk hingga
merata, lalu dituang dalam loyang dan diratakan, dibakar hingga matang
sempuma. Selanjutnya didinginkan dan dipotong-potong ukuran 1x1 x4 inci.
Komposisi energi bar terdiri dari tepung terigu , telur, gula, vanili, baking
powder, garam, mentega, kacang merah, mix fruit, kism is dan kenari.
Cara ke~a
Telur dan gula dikocok sampai mengembang

19

Kemudian tambahkan mentega. va~

ta~

powder, garam, ke dalam adonan

dan aduk hingga merata.


Siapkan loyang yang telah dioles1 r"'er:eg a, lalu adonan dimasukkan kedalam
loyang
Panggang adonan pada suhu

1ao=c

Setelah dingin dipotong-potong sest..ai ukuran yang diinginkan


Masukkan ke dalam kemasan
Analisa terhadap produk meliputi kadar air, protein, abu, lemak, amilosa,
pati, daya cema dan kadar gula total.

Uji organoleptik dilakukan terhadap 20

panelis meliputi wama, aroma, rasa, tekstur dan kesukaan.

Flakes adalah salah satu makanan yang banyak diminati oleh anak-anak
dan remaja. Flakes umumnya dikonsumsi bersama dengan susu cair. Produk

flakes yang banyak beredar di pasaran saat ini terbuat dari jagung dan beras.
Pada penelitian ini flake dibuat dari tepung sukun dengan menggunakan
drum dryer. Produk flake yang paling terkenal adalah com flake. Salah satu prinsip
dalam produksi com flakes adalah penggunaan gritz atau beras jagung dengan
ukuran 3600-6000 mikron yang mengandung lemak 0,5-0, 7% dan serat 0,3-0,4%.
Pada penelitian ini akan dilakukan formulasi breadfruit flakes dengan
menggunakan tepung sukun untuk mensubstitusi beras atau jagung sebagai
sumber karbohidrat yang

umumnya

digunakan dalam

pembuatan

flakes.

Formulasi dilakukan sehingga diperoleh breadfruit flakes yang mengandung


45-65% karbohidrat, 10-25% protein, dan 25-40% lemak. Sumber protein dapat
diperoleh dari kacang-kacangan (kacang kedelai, kacang hijau, kacang tanah,
kacang

merah,

dll).

Sementara

sumber

lemak

dapat

diperoleh

dengan

penambahan minyak sayur, dan margarin.


Produk breadfruit flakes dibuat dengan beberapa perlakuan yaitu persentase
tepung sukun yang digunakan (20, 30, dan 40% ), sumber protein (Kacangkacangan), sumber lemak (minyak sayur, dan margarin). Prinsip pembuatannya
sebagai berikut:

campuran bahan dibuat adonan dan dipanaskan dalam panci

bertekanan selama 45 menit, didiamkan selama 24 jam lalu dilewatkan dalam


drum dryer suhu sekitar 121 C.
Dalam tahap pembuatan flakes sukun terdiri dari dua betas perlakuan yaitu,
tepung sukun : tapioka, tepung sukun : tepung beras dan tepung sukun : sagu,

20

dengan perbandingan

masing-masL"P~

Rendemen flakes yang dihas: !'(an

Ga

0. 80:20, 70:30 dan 60:40 %.

..

11asing-masing

dicampur bahan tambahan yang sa'"'ia


kacang hijau 20%, 1 butir kt.J

perlakuan dengan

k tiap-tiap perlakuan yaitu , tepung

e:ur. mentega Y. bag ian, gula tepung 10%,

garam 0.05% dan air 30%


Rusk adalah biskuit kering a~au roti yang yang mengalami pembakaran dua

kali sehingga memiliki tekstur antara roti dan cake. Di India dan Afrika, rusks
dikenal sebagai makanan tradisional yang dikonsumsi dengan cara dicelupkan
pada teh atau kepi (Swart dan Jaco, 2009). Rusk merupakan produk akhir dari roti
yang telah dibakar sebelumnya kemudian dipotong dan dibakar lagi sampai
kering. Bahan dasar dalam pembuatan rusk adalah terigu, yeast, yeast kentang,
baking powder dan buttermilk, juga dapat ditambahkan jus anggur yang
difermentasi, gula, minyak atau mentega, dan telur. Rasa biskuit rusk bervariasi
dari manis hingga aneka rasa tergantung selera. Umumnya rusk disajikan
bersama minuman panas seperti kepi, susu atau teh yang dinikmati dengan
mencelupkan snack tersebut pada minuman (Reinbold, 2009).
Rusk juga dapat dikonsumsi oleh bayi yang berfungsi sebagai makanan
sapihan atau makanan pendamping ASI (MPASI). Namun jika ditujukan untuk bayi
dan anak-anak harus diperhatikan kandungan sukrosa. Berdasarkan penelitian
diketahui kandungan sukrosa yang tinggi pada rusk dapat meningkatkan resiko
terjadinya karies gigi.
Pada

penelitian

ini

akan

dilakukan

formulasi

biskuit

rusk

dengan

menggunakan
tepung sukun sebagai sumber karbohidrat. Formulasi dilakukan
,
berdasarkan Recommended Daily Allowance (RDA) yaitu 41 kkal (6 kkal dari
lemak), dan 1 gram protein pada setiap 10 gram produk. Perlakuan pada
pembuatan biscuit rusk ini meliputi rasio tepung sukun (20, 30, dan 40%) dan
rasio gula (5, 10, dan 15%). Bahan yang digunakan adalah tepung sukun, terigu,
gula pasir, baking powder, cream of tartar, garam, margarine, telur, cream,
buttermilk, dan baking soda. Prinsip pembuatannya sebagai berikut: Campur

tepung sukun, terigu, gula pasir, baking powder, cream of tartar dan garam dalam
satu wadah. Pada wadah lain campur telur, cream, sebagian buttermilk dan
bak: :-~g soda. Lelehkan margarine dan campur semua bahan dalam satu wadah,

sehingga menjadi adonan yang lembut. Tambahakan sisa buttermilk dan aduk
kembali. Kemudian diletakan adonan dalam loyang dan bakar selama 1 jam pada

21

180C, didinginkan dan

potong-pc~o.-.g

Kecil. Selanjutnya, letakan potongan

terse but dalam loyang dan

ke ringKa~ ~a

suhu 1oooc selama 5 jam.

oenelitian tahun 2009 memiliki penampilan

Bihun sukun. Bihun suku

serupa bihun komersial yang terbua: can tepung beras, namun warnanya agak
kecoklatan. Sedangkan bihun komersral dari bahan tepung beras yang memiliki
warna putih. Padahal selama proses pengukusan adonan, pencetakan dandan
pengukusan akhir setelah dicetak. untaian bihun masih berwarna putih. Wama
coklat yang terdapat pada produk bihun disebabkan oleh terjadinya reaksi
browning.

Dalam bahan makanan, terdapat dua jenis reaksi browning, yaitu enzimatis
dan

non enzimatis. Pada browning enzimatis, enzim

polifenol

oksidase

mengkatalisis oksidasi dari mono- dan orto-difenol membentuk siklik quinone,


yang kemudian mengalami oksidasi lebih lanjut dan pada akhirnya terkondensasi
membentuk pigmen coklat (melanin). Pada buah dan sayur, termasuk sukun,
proses blansir dapat menginaktifkan enzim polifenol oksidase sehingga dapat
mencegah reaksi browning .
Reaksi browning non enzimatis terbagi menjadi tiga, yaitu karamelisasi,
reaksi Maillard dan pencoklatan akibat vitamin C.

Reaksi Maillard merupakan

hasil reaksi berantai yang melibatkan gugus amino dan gugus karbonil yang pada
akhirnya akan membentuk polimer pigmen yang bersifat tidak larut, berwarna
coklat

dan

dikenal

dengan

nama

pigmen

melanoidin.

Reaksi

Maillard

bertanggungjawab terhadap banyak kerusakan dalam bahan pangan yang


dikeringkan. Beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya reaksi Maillard antara
lain jenis gula dan amina dalam bahan pangan, suhu, pH dan aw.

Timbulnya warna coklat pada bihun setelah proses pengeringan diduga kuat
disebabkan oleh reaksi Maillard. lnteraksi antara komponen gula pereduksi dan
asam amino dari bahan-bahan yang digunakan memicu

te~ad i nya

browning non

enzimatis, meskipun proses pengeringan tidak menggunakan suhu yang terlalu


tinggi.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya browning
akibat reaksi Maillard adalah dengan menggunakan bahan tambahan pangan
sebelum dilakukan pengeringan (pre-drying) . Senyawa kimia yang paling tinggi
efektivitasnya dalam menghambat reaksi pencoklatan adalah S02. Efektivitas S02
diduga disebabkan oleh kemampuannya untuk 'memasuki' berbagai reaksi
dengan gula pereduksi, karbonil sederhana, a-, [3-dikarbonil, 13-hidroksikarbonil, 13unsaturated carbonyl, dan dengan melanoidin.

22

Sulfurdioksida juga mempunyai

efeK

memucatkan pigmen melanoidin yang

terbentuk pada reaksi Maillard ser ,rgga sangat efektif dalam mencegah reaksi
pencoklatan tersebut. Sulfurdioksida dan sulfrt dapat dimetabolisme menjadi sulfat
dan dieksresi ke dalam urin tanpa efek sampingan lainnya. Batas maksimum
penggunaan sulfurdioksida dalam bahan pangan menurut Food and Drug

Administration

(FDA)

yaitu

antara

2000-3000

ppm

(Anonymous,

2009b).

Sementara penggunaan sulfur dioksida dalam tepung maksimal 200 mg/kg


(Anonymous, 1985).
Wama coklat juga dapat disebabkan oleh proses mengeringnya permukaan
bihun yang terlalu cepat, sehingga menimbulkan efek seperti terbakar (scorching)
yang ditandai dengan munculnya warna coklat. Pengeringan permukaan bihun
terjadi karena sejumlah air hilang selama proses pengeringan dengan oven.
Penguapan air dapat dihambat dengan melapisi permukaan bihun menggunakan
lemaklminyak yang akan membentuk barrier untuk menghalangi hilangnya air dari
bahan pangan (Rudan dan Barbano, 1998) .Hal ini dapat diatasi dengan cara
melapisi permukaan bihun dengan minyak nabati.
Pada perbaikan proses pembuatan bihun sukun ini, formula bihun akan
ditambah sulfur dioksida sebanyak 50; 100 dan 150 mg/kg dan minyak nabati
(minyak sawit) sebanyak

1;

2, gan

3 g. Bihun yang dihasilkan kemudian

dianalisis mutu fisik, kimia dan organoleptik.


Kerupuk sukun. Kegiatan penelitian pembuatan kerupuk dimaksud untuk

mendapatkan produk kerupuk yang sudah sangat populer di Indonesia. Kerupuk


yang umumnya dikenal adalah kerupuk sagu, udang, ikan, telur yang sudah
populer di masyarakat. Namun kerupuk berbahan baku dari tepung sukun belum
ada di pasaran dengan pengolahan kerupuk sukun yang

ditambahkan telur

diharapkan diperoleh kerupuk yang rasanya enak renyah I crispy, disukai banyak
orang dan lebih bergizi karena ada tambahan telur.
Bahan yang digunakan adalah tapioka sebagai bahan baku utama,
dikombinasikan dengan air, garam setelah tercampur rata dan adonan dikukus,
setelah dingin diiris tipis ,dijemur dan digoreng dengan minyak goreng .
Cara pengolahan :
Perlakuan yang dilakukan ada lima macam kerupuk yang dibeclakan
kandungan tepung tapioka, tepung terigu, tepung sukun, dan telur sedangkan air,
garam dan terigu dalam jumlah sama.

23

Perlakuan I Formulasi
I Tepung tapioka 100 %, garam. te ._.r

~e ri gu ,

air

II Tepung tapioka 100 %, garam, tanpa telur, terigu , air


Ill Tepung tapioka 2/3 (66,7%) garam . tepung sukun 1/3 (33,3%),telur,terigu,air
IV Tepung tapioka 1/3 (33,3%) garam . tepung sukun 2/3 (67,7%),telur,terigu,air
V Tepung tapioka 50%, garam , tepung sukun% (50%) ,telur,terigu ,air
Ket: garam 3,75%, 37,5% air, 12,5% tepung terigu, 37,5% telur berdasarkan berat
tepung tapioka/tepung tapioka dan tepung sukun.
Cara pembuatan
1. Tepung tapioka % bagian, ditambah air dan garam lalu diaduk rata.
2. Dimasak (api kecil) dengan cara diaduk dan diuapkan dalam panci sampai
terbentuk gel, kemudian ditambah atau tanpa penambahan telur yang telah
dikocok dan diaduk rata serta ditambahkan sisa tepung tapioka, terigu atau
tepung sukun.
3. Semua bahan tersebut diatas diaduk sampai kalis, kemudian dibentukl
digulung berbentuk silinder, yang dibungkus dengan aluminium foil, atau cara
lainnya setelah diperoleh adonan dibuat lempengan atau ditipiskan dengan alat
pencetak mie. Kemudian dicetak dengan mangkok plastk sesuai ketebalan dan
diameter yang diinginkan.
4. Adonan dikukus % jam

dengan api sedang setelah matang kemudian

didinginkan , diiris tipis dengan ukuran 2 mm dan dijemur atau dikeringkan


pada alat pengering sekitar 8 jam. sampai kadar air 10-12 %. Cara lainnya
dengan pencetakan dibutuhkan waktu pengukusan lebih singkat sekitar 5-10
me nit.
5. Setelah itu dapat digoreng dengan minyak panas dan api sedang sampai
warna kekuningan, Dikemas dengan kemasan kantong plastik.
Pembuatan kerupuk sukun selanjutnya dibuat melalui tahapan proses
membuat adonan dari tepung campuran/ tepung komposit (tepung sukun dan
tapioka

= 0:100;

12,5:87,5; 25:75;

37,5:67,5 dan 50:50). Bahan dan metode

pengolahan seperti sebelumnya.

24

d. Prosedur Ana/isis

1). Penentuan suhu gelatinisasi dan viskosi tas, metode amilografi


Sampel sebanyak 45 g dimasuki<an ke dalam botol gelas ukuran 500 ml air
kemudian ditambah dengan 400 ml aquades, diaduk selama 5 menit dengan
pengaduk, kemudian dipindahkan ke dalam mangkuk amilograf yang sbelumnya
telah dipasang pada alat.

Botol gelas dan pengaduk dicuci dengan 50 ml

aquades, lalu air bilasan dituangkan ke dalam mangkuk amilograf.


Mangkuk amilograf yang berisi sample diputar pada kecepatan 75 rpm,
sambil suhu dinaikkan mulai dari 30C sampai 90C dengan kenaikan 1.5C per
menit, lalu diturunkan sampai suhu 50C dengan laju penurunan yang sama.
Perubahan viskositas pasta dicatat secara otomatis pada kertas grafik dalam
satuan Brabender Unit (BU).
Grafik (amilogram) yang diperoleh dapat diinterpretasikan menjadi 3
parameter, yaitu :
1) Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai menaik.
Suhu awal gelatinisasi = suhu awal + (waktu dalam men it x 1.5)

2) Suhu puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada puncak maksimum viskositas yang
dicapai. Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan berikut :
Suhu puncak gelatinisasi = suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5)

3) Viskositas maksimum pada puncak dalam Brabender Unit (BU).

2. Daya serap air


Sejumlah sampel ditimbang beratnya kemudian dicelupkan ke dalam air
hangat selama 2 menit, diangkat dan ditiriskan. Sampel tersebut kemudian
ditimbang kembali. Daya serap air ditentukan dengan persamaan :

b-a

Daya serap air (%) = - - x 100%


a
Keterangan: a= berat contoh sebelum dicelupkan .
b = berat contoh setelah dicelup

25

3. Kadar Air (AOAC, 2006)


Cawan aluminium

d ikeringi(a~ -=a~a

.en selama 15 menit dan didinginkan

oang (A). Sampel ditimbang sebanyak

dalam desikator selama 10 mernt ca :~

2 g dalam cawan (B). Cawan oese'":a

:s 1 d:l<eringkan

dalam oven 100C selama

6 jam. Cawan dipindahkan ke da:am cesikator lalu didinginkan dan ditimbang.


Cawan beserta isinya dikeringkan ker:-'oali sampai diperoleh berat konstan (C) .
Perhitungan :
Kadar Air(% bb) =

B- (C - 4)]
B xl 00%

4) Kadar Abu (AOAC,2006)


Disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan
dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A).
Sampel ditimbang sebanyak 3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam
ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan
pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600C selama 4-6 jam sampai
terbentuk abu berwama putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan
didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C).
Perhitungan :

Kadar Abu(% bb)

C-A
=--xlOO%
B

5) Kadar Protein Metode Mikro Kje/dahl (AOAC, 2006)


Sam pel sebanyak

100 mg ditimbang (A) dan dimasukkan ke dalam labu

Kjeldahl 30 mi. Ditambahkan 1,9

0,1 g K2S04, 40 10 mg HgO, dan 3,8 0,1 ml

H2S04. Ditambahkan batu didih pada labu lalu sam pel dididihkan selama 1-1 ,5
jam sampai cairan menjadi jemih. Labu beserta sampel dididihkan dalam dengan
air dingin. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi.
Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H 3BO. dan ditambahkan
dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung
kondensor terendam baik dalam larutan H3804. Larutan NaOH-Na2S203 sebanyak
8-1 0 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai
didapat destilatnya 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut
kemudian dititrasi dengan larutan HCI 0,02 N hingga terjadi perubahan wama

26

hijau menjadi biru. Dilakukan pe -

an jumlah nitrogen setelah sebelumnya

diperoleh jumlah volume (ml) blanKo.


Perhitungan :
Jumlah N (%)

= mlHCl- mlblankoxNHctxl4.007xl00
A

Kadar Protein (%)

=jumlah N x faktor koreksi (5.95)

6) Kadar Lemak (AOAC, 2006)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang
digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-11 0C selama 15
menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang
sebanyak 5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas
bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet
dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu
soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun
kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan
kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105C. Setelah dikeringkan
sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak
ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak.

Perhitungan :

Kadar Lemak (%)

C-A
=--x100%
B

7) Kadar Karbohidrat (by difference)

Karbohidrat dihitung berdasar metode by difference dengan perhitungan :


Kadar Karbohidrat (%) = 100%- (P +A+ Ab + L)
Dimana : P
A
Ab
L

= kadar protein (% bb)

= kadar air (% bb)

= kadar abu (% bb)

= kadar lemak (% bb)

8) Perhitungan Nilai Kalori Makanan


Perhitungan nilai kalori makanan dapat dilakukan dengan menggunakan faktor
Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein serta nilai energi faal
makanan tersebut.
27

Perhitungan :
Nilai Energi
Energi

=Faktor Atwater x Kal"'au;-..g an Gizi Bahan Pangan

= [(4 kaVg x Kandungan Karoct Kl rat) + (9 kaVg x


Kandungan Lema k) +

~4

!<a:.. g x Kandungan Protein)]

9). Serat Pangan (Asp et a/. 1983)


Penentuan

serat makanan larut, serat makanan tidak larut dan serat

makanan total dilakukan menggunakan

metoda enzimatik, sebagai berikut:

sampel kering homogen diekstraksi lemaknya dengan petrolium benzene pada


suhu kamar selama 15 menit, jika kadar lemak sampel melebihi 6-8%.
Penghilangan lemak sampel bertujuan untuk memaksimumkan degradasi pati.
Satu gram sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kedalamnya ditambahkan
25 ml bufer Natrium Fosfat, dan dibuat menjadi suspensi. Penambahan bufer
dimaksudkan

untuk menstabilkan

enzim termamyl.

Ditambahkan

100

~L

termamyl, ditutup dan diinkubasi pada suhu 100C selama 15 men it, sambil
sesekali diaduk.

Tujuan penambahan termamyl dan pemanasan ialah untuk

memecahkan pati dengan menggelatinisasikan terlebih dahulu. Diangkat dan


didinginkan. Ditambah 20 ml air destilata dan pH-nya diatur menjadi 1,5 dengan
menambahkan HCI 4 M, Selajutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Pengaturan pH
hingga

1,5 dimaksudkan untuk mengkondisikan agar aktivitas enzim pepsin

maksimum. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan pada suhu 40C dan diagitasi
selama 60 menit. Ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6,8
dengan NaOH. Pengaturan menjadi pH 6,8 ditujukan untuk memaksimumkan
aktivitas enzim pankreatin. Kemudian ditambah 100 ml enzim pankreatin, ditutup
dan diinkubasi pada suhu 40C selama 60 menit sambil diagitasi. Selanjutnya pH
diatur dengan HCI menjadi 4,5, disaring melalui crucible kering yang telah
ditimbang beratnya (porositas 2) yang mengandung 0,5 g celite kering (berat tepat
diketahui) dan dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata.
Residu (Serat pangan tidak terlarut

=/OF)

Residu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol95% dan 2 x 10 ml aseton. Kemudian


dikeringkan pada suhu 105C, sampai berat tetap (sekitar 12 jam), dan ditimbang
setelah didinginkan di dalam desikator (0 1). Selanjutnya diabukan dalam tanur
500C selama paling sedikit 5 jam, lalu ditimbang setelah didinginkan dalam
desikator (l1).

28

Filtrat (Serat pangan Ia rut

=SOFJ

Volume filtrat diatur denga'" a:i s.a:11pai 100 ml, lalu ditambah 400 ml etanol
95% hangat (60C), diendapkan sca""';;a ~ jam. Selanjutnya disaring dengan
~

crucible kering (porositas 2 )

iL..e-;andung 0,5 celite kering dan dicuci

dengan 2 x 10 ml etanol 78%, aa;, 2

aseton.

10). Daya Cerna Pati in vitro (Muchtadi, et al., 1992)


Suspensi tepung (1% dalam

a~

destilata) dipanaskan dalam penangas air

selama 30 menit sampai mencapa; suhu 90C. Kemudian didinginkan. Sebanyak


2 ml larutan tepung dalam tabung reaksi ditambah 3 ml air destilata dan 5 ml
larutan bufer Na-fosfat 0,1 M, pH 7,0. Kemudian diinkubasikan dalam penangas
air 37C selama 15 menit. Kedalam larutan tersebut ditambahkan 5 ml larutan
enzim a-amilase dan diinkubasikan lagi pada suhu 37C selama 15 menit. Ke
dalam tabung reaksi lain ditempatkan 1 ml campuran reaksi. Kemudian
ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosa lisilat, dan selanjutnya dipanaskan dalam
penangas air 100C selama 10 men it. Setelah didinginkan, campuran reaksi
diencerkan dengan menambahkan 10 ml air destilata. Wama oranye-merah yang
terbentuk

dari

campuran

reaksi

diukur

absorbansinya

menggunakan

spektrofotometer, panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa dari campuran


reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa

murni yang

diperoleh dengan cara mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi


dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti diatas. Daya cema pati sampel
dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni sebagai berikut:

,
Day a cerna

Kadar maltosa sampel setelah reaksi enzim

= --------------------------------------------------------------- x 100
Kadar maltosa pati mumi setelah reaksi enzim

11). Penentuan lndeks Glikemik (Miller eta/. 1996)


Setiap porsi nasi yang akan ditentukan IG nya (mengandung 50g
karbohidrat) diberikan kepada relawan yang telah menjalani puasa penuh (kecuali
air) selama semalam

(sekitar pk 20.00 sampai pk 08.00 besoknya). Relawan

yang digunakan ialah individu normal, tidak menderita diabetes, sebanyak 10


orang. Selama dua jam pasca konsumsi pangan uji, sampel darah sebanyak 50J.1.L
(finger-prick cappil/ary blood samples method) diambil setiap 30 menit untuk
29

diukur kadar glukosanya (pengukuran kadar glukosa menit ke-30, ke-60, ke-90
dan ke-120) . Selang 3 hari , hal ya:-g sa...,a dilakukan dengan memberikan 50 g
epada relawan. Hal ini dilakukan untuk

glukosa murni (sebagai pangan acua

mengurangi efek keragaman glul<osa ca rah dari hari ke hari.


Kadar glukosa darah (pada wa

setiap pengambilan sampel) di plot pada

dua sumbu, yaitu sumbu wa ktu ( X ) dan sumbu kadar glukosa darah (Y). lndeks
Glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah dibawah kurva antara
pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan dikalikan 100.
12). Uji organoleptik (Meilgaard, et al,. 1999)

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik untuk mengetahui tingkat
kesukaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Skala hedonik yang
digunakan mempunyai rentang dari sangat tidak suka (skala numerik
dengan skala sangat suka (skala numerik

= 5).

= 1) sampai

Setiap panelis diberikan formulir

kuesioner uji hedonik untuk melakukan penilaian terhadap produk yang dihasilkan.
Atribut mutu yang diuji meliputi warna, rasa, aroma, tekstur dan penerimaan secara
umum untuk rasbi matang serta wama, tekstur maupun penampakan secara umum
untuk rasbi mentah.

e. Rancangan Riset
Pada kegiatan penelitian (1 ). Pengembangan Model Penerapan Produksi
Tepung Sukun, digunakan rancangan riset seperti pada Gambar 2. Pengembangan
kelembagaan menggunakan sistem Inti-Plasma. Selanjutnya dilakukan sosialisasi,
pelatihan, promosi dan pendampingan.
Pada kegiatan penelitian (2). Teknologi produksi tepung sukun bermutu
premium, digunakan rancangan acak lengkap untuk analisis mutu fisik, fisikokimia dan
sifat fungsional tepung. Analisis fisik meliputi, wama, densitas kamba, kelarutan dalam
air, kelarutan dalam minyak, swelling power, gel consistency; analisis fisikokimia yaitu
sifat amlografi, analisis kimia yang dilakukan adalah analisis proksimat, amilosa,
mineral dan vitamin, sedangkan analisis sifat fungsional meliputi daya cema pati dan
serat pangan. Pada kegiatan penelitian (3). Pengembangan produk olahan berbasis
tepung sukun, secara umum menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial.
Sebagai faktor adalah komposisi tepung dan jenis perlakuan sesuai masing-masing
jenis produk. Masing-masing jenis produk dianalisis mutu fisik, kimia, dan organoleptik.
Formula terpilih dari masing-masing produk dianalisis sifat fungsionalnya.
30

IV. HASIL D

PEMBAHASAN

egiatan 1: Pengembangan Model Penerapan Produksi Tepung Sukun


Hasil dari kegiatan Pengembangan Model Penerapan Produksi Tepung Sukun di
ab. Cilacap-Jawa Tengah, telah dilakukan koordinasi dengan Dinas Pertanian dan
;::>eternakan Kabupaten Cilacap, petani sukun, dan kelembagaan terkait. Hasil koordinasi
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. ldentifikasi Kebijakan Dispertanak Kabupaten Cilacap
Kabupaten Cilacap merupakan kabupaten terluas di Jawa Tengah, luas wilayah
225 360,84 ha dengan variasi

ketinggian wilayah dari 0 sampai 1.146 meter dpl.

Kabupaten Cilacap merupakan salah satu daerah penghasil buah sukun di Indonesia.
Sukun asal Cilacap menjadi penciri jenis sukun. Di Indonesia dikenal dua jenis sukun,
yaitu sukun gundul asal Cilacap dan sukun berduri asal Bone, Sulawesi Selatan.
Tanaman sukun di Kabupaten Cilacap sampai saat ini merupakan tanaman yang
tumbuh dipekarangan rumah penduduk. Data dari Dinas Pertanian menunjukkan
bahwa produksi buah sukun dari tahun 2002 hingga tahun 2005 menurun secara
merata. Namun demikian secara umum Cilacap masih merupakan andalan penghasil
buah sukun di Jawa tengah (13.063 ton) setelah Jawa Barat (14.252 ton).
Pemerintah daerah Cilacap memandang bahwa agribisnis sukun di masa
mendatang
pemeliharaan

sangat
secara

menjanjikan
khusus.

karena

Namun

tanaman

demikian

sukun

tidak

pengembangan

memerlukan
industri

dan

diversifikasi produk sukun khususnya selama ini belum sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini disebabkan antara lain terbatasnya kemampuan pelaku usaha dan
sumberdaya manusia dalam pengetahuan teknologi pengolahan, permodalan, dan
pemasaran hasilnya.
Pada tahun 2010 Pemerintah Daerah Cilacap melalui Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Cilacap mengusulkan kegiatan pengembangan agoindustri
pengolahan sukun menjadi tepung sukun yang dikoordinasikan melalui kegiatan di
Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) sebagai lokasi pengolahan sukun skala
kecil/rumah tangga di Kabupaten Cilacap. Rencana kegiatan ini telah diusulkan ke
Direktorat P2HP Kementerian Pertanian, Jakarta. Kegiatan tersebut bertujuan
melaksanakan kegiatan: (1) Membangun agroindustri perdesaan berbasis bahan baku
spesifik lokasi (sukun); (2) Meningkatkan diversifikasi pangan olahan non beras;

31

(3) Meningkatkan nilai tambah dan


usulan tersebut adalah (1) Terbangunnva

apatan masyarakat. Harapan keluaran dari


(Unit Pengolah Hasil) tepung sukun di

Kabupaten Cilacap; (2) Terlaksananya satu paket penguatan modal kelompok; (3)
Semakin kuatnya kelembagaan petani pengolahan sukun.
Keterbatasan produksi sukun saat ini dikarenakan lahan yang digunakan untuk
tanaman sukun hanya sebatas sebagai tanaman pekarangan yang rata-rata tiap
rumah memiliki satu sampai tiga pohon dan diantaranya ada yang sudah ditebang
karena lahan digunakan untuk usaha lain atau akarnya merusak bangunan disekitar
pohon (Gambar 3). Mulai tahun 201 0 Pemda Cilacap melalui Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Cilacap telah merencanakan akan melakukan ekspansi
pertanaman sukun didaerah Nusakambangan (Gambar 4)

Gambar 3. Penebangan pohon sukun


di pekarangan rumah

Gambar 4. Rencana pengembangan Tanaman


Sukun di Nusakambangan

32

cnain) Buah Sukun

b. Status Produksi dan Rantai Pasok 1CS

Secara agroekosistem dan t!!daya I: -:a

tanaman sukun sudah ditanam,

tumbuh dan berkembang sebaga 1 :arag;.., :>e<arangan penduduk di Kabupaten


Cilacap. Secara faktual saat ini teJa-: J

:e-~ ... r..... nan

menurunnya populasi pohon sukun yang

produksi buah sukun karena

~erupa kan

pohon pekarangan. Hal ini

disebabkan adanya perkembangan J1:rrJah oenduduk, pembangunan dan pemekaran


rumah baru penduduk

serta akar pchcn sukun yang cenderung mengganggu

kestabilan bangunan rumah (Gambar 3 ..


Tata niaga sukun yang sudah ada dan berjalan hingga kini di Kabupaten Cilacap
telah membentuk kelembagaan info rm al dengan rantai pasok dari petani/pemilik
pohon-pemetik-pengumpul-pengepul-pasar (dalam dan luar kota).

Saat ini siklus

panen buah sukun di kabupaten Cilacap berlangsung dua hari sekali dengan panen
besar/raya terjadi dua kali dalam setahun yaitu, panen pertama sekitar Juli/AgustusSeptember/Oktober dan panen kedua bulan Oesember/Januari. Produksi sukun dapat
mencapai 4000 butir atau sekitar 5,5 ton per dua hari, sedangkan diluar jadwal
tersebut hanya dapat mencapai maksimal 3000 butir. Hasil petiklpanen sukun (upah
petik Rp 500-Rp.1 000 perbutir) dari seluruh pemilik pohon sukun di Kabupaten Cilacap
akan diterima oleh para pengumpul (harga beli Rp1000-Rp1500/butir) yang dikoordinir
oleh empat orang pengepul besar (harga beli Rp.2000-Rp2500/butir) yang ada di
kabupaten Cilacap. Selama ini hampir 75% produksi buah sukun kabupaten Cilacap
dipasarkan ke luar Cilacap dan terbanyak dikirim tujuan pasar Jakarta. Pengepul
sangat berperan dalam mengelola stok buah sukun sehingga perkembangan harga
sampai di tingkat ditingkat eceran. Berdasarkan mutunya, sukun yang dipasarkan
keluar

Cilaca~

adalah sukun yang masih hijau dan tidak memar, sedangkan yang

selain warna hijau dipasarkan di daerah Cilacap.


Pelaku usaha pengolah buah sukun dari berbagai skala usaha yang ada di
Kabupaten Cilacap saat ini belum teridentifikasi dengan baik oleh Dinas Pertanian dan
Peternakan, namun berdasarkan informasi lapang, jenis usaha yang menonjol adalah
pembuat keripik sukun, snack bentuk stick, dan kubus dengan label yang sudah
dikenal baik, seperti : Griya snack, dan terbanyak adalah pelaku usaha/pengrajin
makanan snack dari sukun skala industri rumah tangga yang memasok bahan siap
kemas ke perusahaan skala menengah dan besar.

33

c. Perancangan Model Pengembanga

roin dustri Tepung Sukun Di

Kabupaten Cilacap
Berdasarkan pertimbangan kebiJaKa., oemda Kabupaten Cilacap yang ada saat
ini, kemudian peta ketersediaan dan seoa ..an oahan baku buah sukun, kelembagaan
pengrajin, serta peluang pemasaran yang ad a saat ini di Kabupaten Cilacap, maka
model pengembangan yang dapat diiakul<an dengan pendekatan pola Inti-Plasma.
Pemilik pohon atau pengrajin kecll yang sud ah ada tersebar di beberapa lokasi yang
saling berdekatan berupa spot-spot dirancang masing-masing menjadi PLASMA
sebagai pemasok bahan baku/produk antara (buah sukun atau chip kering) kepada
pengusaha tepung sebagai INTI yang memiliki kemampuan sebagai unit usaha produk
akhir (tepung), pengemasan dan atau penjamin pemasaran produk tepung atau
supplyer tepung kepada pengusaha/pengrajin produk olahan (kue keringlbasah) .

Peralatan yang sudah ada pada Inti disubsidi oleh pemda berupa mesin penyawuUchip
dan penepung.
d. Sosialisasi Teknologi dan Model Kelembagaan Agroindustri Tepung Sukun Di
Kabupaten Cilacap
Pengenalan teknologi pengolahan buah sukun segar menjadi tepung dan produk
olahan lebih lanjut kepada para kooperator yang berkepentingan di Kab. Cilacap
merupakan kunci dari keberlanjutan pemanfaatan sukun menjadi komoditas yang
mampu memberi nilai tambah. Hasil penjajagan lapang di Kabupaten Cilacap yang
bersama Oistanak, Pemda Cilacap, dan aparat terkait telah mencapai kesepakatan
bahwa mengingat pentingnya tahap pengenalan teknologi dan produk dari tepung
sukun, maka perlu ada pertemuan teknis untuk sosialisasi dan demo teknologi yang
dihadiri anggota kelompok wanita tani (KWT sekitar 25 orang), pengumpul sukun
(sekitar dua orang), satu orang wakil dari pengepul, pengrajin pengolah buah/tepung
sukun (tiga orang), anggota PKK (sekitar lima orang), dan Penyuluh spesialisllapang
(dua orang). Kegiatan ini dihadiri pula oleh perwakilan dari Pemda Kabupaten Cilacap,
BPTP Jawa Tengah, Kantor Ketahanan Pangan, Cilacap, Gapoktan "Jallaludin" dan
Penyuluh Pertanian terkait.
Kegiatan dilaksanakan di Pendopo kelurahan Lo Manis, tanggal 4-5 Agustus
2010. Kelurahan Lo Manis dan KWT (Kelompok Wanita Tani) dipilih berdasarkc>'1
pertimbangan (bersama Dispertanak, BB Pascapanen), daerah tersebut merupakan
salah satu sentra produksi sukun di Kabupaten Cilacap dan telah mendapat bantuan
peralatan berupa mesin penepung dan penyawut kapasitas 100 kg/jam (Gambar 5).
34

Gambar 5. Peralatan Pengolah Tepung Sukun


di KWT Lo Manis

Materi yang disampaikan dalam kegiatan pengenalan "Model Penerapan


Teknologi Tepung Sukun dan Hasil Olahannya", meliputi meteri di dalam kelas dan
praktek. Materi di dalam kelas terdiri atas em pat topik, yaitu: 1) Pengenalan teknologi
produksi tepung sukun, 2) Prospek dan peluang pasar tepung sukun dan produk
olahannya, 3) Pengembangan aneka produk olahan sukun, dan 4) Model agroindustri
tepung sukun di Cilacap. Materi lengkap dari topik-topik yang dipresentasikan dapat
dilihat pada Lampiran. Untuk materi praktek meliputi: 1) Proses pembuatan sawut dan
tepung sukun, 2) praktek pembuatan produk berbasis tepung sukun meliputi: roti kering
(rusk), kerupuk sukun, energy bar, flakes, brownish serta aneka cake dan cookies.

A Ka Dipertanak, Ka BB Pascapanen
tamu undangan

B.Penjelasan proses produksi dan tepung


sukun

35

C.Praktek pembuatan kerupuk sukun

D. Ka BB Pascapanen sedang menjelaskan


produk kepada Ka Dipertanak (paling
kanan)

Gambar 6. Suasana pelaksanaan pengenalan model produksi tepung sukun


e. Kelembagaan Inti-Plasma
Penerapan model agroindustri tepung sukun telah diinisiasi melalui pembentukan
kelembagaan sistem klaster dengan model inti-plasma. Kelembagaan model ini dimulai
di lokasi penduduk sekitar kelurahan Lo Manis yang menjadi tempat pelaksanaan
sosialisasi teknologi tepung sukun dan produk olahannya. Kesepakatan dengan Dinas
Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap, yang berkoordinasi dengan kelurahan
Lo Manis, untuk pelaksanaan kegiatan dalam model inti plasma dipahami bahwa
definisi inti dan plasma dengan batasan kegiatan yang disepakati oleh Inti dan Plasma
mendukung agroindustri tepung sukun.
I

INTI adalah kelompok atau perorangan yang memiliki kemampuan sebagai unit
usaha produk akhir (tepung) pengemasan dan sebagai penyalur pemasaran produk
tepung atau supplyer tepung kepada pengusaha/pengrajin produk olahan (kue
kering/basah).

Di cilacap yang telah ditetapkan sebagai INTI adalah sekretariat

Kelompok Wanita Tani (KWT) "Sumber Patedan", desa Lo Manis yang diketuai oleh lbu
Imam Supriyantini Ketua KWT "Sumber Patedan". Peralatan yang sudah ada pada Inti
disubsidi oleh pemda/Distanak berupa satu unit mesin penyawut/chip dan satu unit
mesin penepung.
PLASMA adalah anggota Kelompok Wanita Tani "Sumber Patedan", kecuali
Plasma V, dari KWT "Sekar Arum", sebagai pemasok bahan baku/produk berupa
chiplsawut sukun kering yang disalurkan ke INTI.

36

Saat ini telah terbentuk 5 1 mal

1 ::.-as.-~

siap produksi dengan lokasi usaha

masing-masing plasma, yaitu :


(1) Plasma I : ketua lbu Mardiah, anggo:a er--e at orang
(2) Plasma II: ketua lbu lndri, angg:.:a
(3) Plasma lll:ketua lbu Rahmawan

e~:.a:

a~,g9ota

<:;rar.g
empat orang

(4) Plasma IV: ketua lbu Siti Baroka"' a:ggota empat orang
(5) Plasma V: Ketua lbu Emi Bam bang anggota 2 orang
(6) Inti

: ketua lbu Imam anggota delapan orang

f. Biaya Ekonomi

Inti-Plasma telah melakukan kegiatan produksi secara bertahap dan intensif.


Produksi sawut dan tepung sukun disesuaikan dengan siklus panen/ketersediaan buah
sukun serta pasar. Uji coba kesiapan Inti-Plasma melaksanakan produksi dan
menentukan dasar harga jual sawut dan tepung telah dilakukan pada 24-26 Agustus
2010. Kesepakatan telah di dicapai dalam pertemuan antara Inti dengan para ketua
Plasma yang dihadiri pula oleh petugas dari Distanak Kab. Cilacap serta Lurah Lo
Manis, bahwa komposisi harga sukun dengan basis harga buah sukun perbutir sekitar
Rp. 3.000,- (berat 2-2,5 kg) dan biaya operasional (upah tenaga kerja, bahan bakar),
maka: (1) Eceran tepung sukun Rp. 14.900,-/kg; (2) Curah tepung sukun minimal 25 kg
Rp. 13.500,-/kg; dan (3) Sawut kering Rp. 9.000,-/kg.

g. Uji Preferensi Produk


Uji coba pemasaran yang telah dilakukan adalah dengan melakukan promosi ke
~

perusahaan kue kering dan donat "ISTANA DONAT' yang terletak disekitar kelurahan
Lo Manis dan memiliki jaringan dengan sesama produsen kue sejenis. Dari 8-10 kg
tepung sukun yang dihibahkan kepada pengelola toko kue tersebut untuk diproduksi
menjadi enam jenis kue yaitu: kue kering nastar, lidah kucing, brownish kukus, cake
(bolu bulat), bolu gulung dan bolu kukus bunga. Kue tersebut disajikan untuk uji
preferensi kepada seluruh anggota plasma serta masyarakat sekitar Inti.
Hasil uji preferensi kue tersebut yang mendapat respon penilaian suka adalah
pada kue brownish kukus dan cake (bolu bulat). Secara umum pemilik usaha kue lstana

Donat

menyatakan

bahwa

perlu

ditingkatkan

kehalusan

dan

derajat

eputihannya/whiteness dari tepung sukun. Hal ini sudah diperoleh solusinya yaitu
ngkat putih tepung diduga bahwa produk awal tidak melalui proses blanching
37

antibrowning, sedangkan kehalusan te

dapat ditingkatkan dengan meningkatkan

RPM alat penepung.

Brownish

Nastar

Cake

berbasis tepung sukun yang dibuat oleh pengusaha kue


"lstana Donat" di Kabupaten Cilacap
h. Permasalahan Peralatan dan Peluang Kerjasama

Keterbatasan peralatan terutama alat penyawut dan penepung serta pengepres


merupakan kendala yang menghambat intiplasma dapat berproduksi secara optimal.
Sedangkan sarana pengeringan masih dapat dilakukan dengan penjemuran di halaman
jemur masingmasing plasma dengan kapasitas 50 75 butir sukun per hari. Dukungan
fasilitasi peralatan yang memadai untuk menghasilkan tepung sukun yang berkualitas
sangat diharapkan.
Pada saat produksi berlangsung telah kedatangan Tim dari Public Relation PT
Pertamina yang didampingi Pak Lurah Lo Manis, Tim tersebut menilai tertarik untuk
bekerjasama dan membantu Pemasaran dalam program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat. Namun untuk ini perlu dilakukan usulan tertulis dalam bentuk proposal.
Dari diskusi sementara, penyusunan proposal akan ditindaklanjuti oleh KWT dan
Kelurahan Lo Manis dengan Tim dari Dispertanak sebagai pembina organisasi dan Balai
Besar Litbang Pascapanen pembina teknologi.
38

..-,

Secara umum permasalahan yang ::-.as:n perlu pemecahan secara pendekatan


ekonomis adalah masalah pengadaan ba:la l'"J oaoQJ. Juga pemasaran yang harus terus di
upayakan agar sukun segar dapat disuplaJ secara berkesinambungan sesuai dengan
pasar penampung tepung sukun.

i. Respon mitra binaan terhadap model agrolindustri tepung sistem Palsrna-lnti


Pengembangan tepung sukun di Cilacap dipu satkan pada KWT "Sumber Patedan" Desa
Lo Manis, dengan sisten Plasma-Inti.

Plasma memproduksi Chip sukun kering yang

dijual kepada Inti. Inti akan memproduksi tepung sukun. Jumlah plasma sebanyak 5
plasma terdiri dari Ketua Bu Imam, Kelompok 1 (Bu Mardiah), kelompok 2 (Bu lndri),
Kelompok 3 (Bu Rahmawati) , dan Kelompok 4 (Bu Barokah), dan kelompok 5 (Bu Emi).
Telah dipinjamkan peralatan 1 unit mesin perajang (Chipper) dan 1 unit mesin
peniris (spiner) untuk memproses sukun menjadi tepung di KWT "Sumber Patedan", Lo
Manis - Cilacap. Sebagai langkah awal untuk beroperasionalnya model penerapan
produksi tepung sukun, maka bahan baku sukun dibantu dari kegiatan penelitian ini.

Produksi tepung sukun di tingkat Inti dan plasma

j.

Kendalanya dalam produksi tepung sukun antara lain :


a) Inti-Plasma mendapatkan kendala dalam memperoleh bahan baku sukun, karena :

Terbatasnya produksi bahan baku sukun di Kabupaten Cilacap tahun ini.


Kemungkinan dampak perubahan iklim, maka produksi sukun tidak melimpah
seperti tahun-tahun sebelumnya dan tidak dampak adanya panen raya. Tahun ini
panen bertahap namun waktunya lebih lama.

Pedagang pengumpul telah mengijon kepada pemilik pohon sukun

Mahalnya harga sukun di tingkat pengumpul. Karena harga sukun cukup mahal
(antara Rp.2,500-Rp3.000,-/buah) menyebabkan biaya proses dan harga tepung
sukun menjadi mahal (Rp.12.500,-Rp.15.000,-lkg) sehingga kurang bersaing
dengan tepung lainnya, seperti terigu (Rp.7.500,-lkg) (Tabel 6). Khusus Plasma V
dari KWT Sekar Arum, letaknya terpisah dari Plasma yang lain, yaitu didesa
Sidakaya. Plasma ini telah berupaya untuk mendapatkan baah sukun dengan
harga yang relatif murah, yaitu dengan cara tebasan di pohon, seperti yang
dilakukan tengkulak. Sedangkan Plasma lainnya di desa Lo Manis membeli buah
sukun dari pedagang pengumpul. Oleh karena itu, harga tepung pada Plasma V

"

lebih murah dibandingkan dengan Plasma lainnya.

39

-abel6. Sebaran Produksi dan Mutu Teo t..i~g S~


Patedan dan KWT Sekar Arum
'to Nama/Kelompok
Status
Kaoas-:as
kelompok

1ngkat Plasma pada KWT Sumber


Hasil Uji

Mutu

HargaTepung

PrOOL..I(S

Cob a

tepung

(Rp/kg)

Teo..J~.g

(butir

Sukun)

j r'kg .l

Suprihatin

Inti

1000

150

Mutu I

15000

Siti mardiah

Plasma 1

100-200

100

Mutu II

12500

lndri

Plasma 2

200-1000

100

Mutu I

15000

Rahmawati

Plasma 3

100

75

Mutu II

12500

Siti Barokah

Plasma 4

100-500

100

Mutu II

12500

I=

Emi

Plasma 5

200

100

Mutu I

7500

tuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan cara :


./ Tiap kelompok mencari bahan baku sukun secara langsung dengan sistem tebas
(panjer) kepada pemilik pohon

sukun (tida-k melalui pedagang pengumpul).

Strategi ini telah dilakukan oleh Plasma V. Cara panen menggunakan tenaga
pemanen khusus dari Plasma.

Plasma mempunyai tenaga pemanen.

Buah

sukun yang dipanen dan dibayar adalah dipilih yang tua saja. Oleh karena itu
Plasma selalu memantau tingkat kematangan buah sukun untuk siap dipanen.
Sistem panen ini dapat menekan harga buah sukun, dengan rincian harga buah
sukun ukuran besar (antara 3-4 kg /buah) dipohon sebesar Rp. 1.500,-/ buah dan
harga buah sukun ukuran kecil (1 ,5-2 kg/buah) dengan perhitungan 3 buah sukun
ukuran kecil dihitung 2 buah sukun ukuran besar, serta upah panen Rp.500,-/
buah. Sehingga dapat bahan baku buah sukun lebih murah, dimana satu buah
suku harganya Rp.1.500,- Rp. 2.000,-/buah baik pada musim hujan dan musim
kemarau. Solusi ini diperoleh setelah melalui proses panjang untuk mengatasi
mahalnya bahan baku sukun di tingkat pedagang pengumpul, dan karena tidak
ada panen raya pada tahun 2010 ini.
./ Menganalisis ekonomi, nilai keuntungan dari hasil produk olahannya .
./ Untuk membuka peluang pasar, perlu outlet penjualan produk olahannya. Telah
dicoba membuat produk olahan di toko kue "lstana donat" dengan formula 100%
bahan baku tepung sukun untuk produk cake, bolu gulung, bolu kukus, brownis dan
kue kering menghasilkan produk yang diterina konsumen. Saat dilakukan
pendekatan oleh tim peneliti BB Pascapanen dan Distanak Cilacap, pemilik toko

40

juga bersedia membantu untuk mempro!"'"osxan tepu ng sukun sebagai bahan baku
ou ~ et

... ~~;..-< menjual produk olahan makanan dari

bahan tepung sukun di lntana Donat

Permintaan tepung sukun dapat dilayani

kue dan menyediakan sebag ian

melalui Kelompok KWT"Sumber Patecar. Pengembangan produk olahan outlet


juga dilakukan dikelompoknya Bu Emi Bambang (Plasma V), produksi tepung sukun
di tingkat plasma dari Kelompok Wanita Tani "Sekar Arum" di Desa Sidakarya,
Kecamatan Cilacap Selatan .
./ Buah sukun cepat masak dalam waktu 1 hari bila tidak segera diproses akan busuk.
Karena cuaca hujan pada panen raya musim hujan dan tidak tersedianya mesin
pengering sawut sukun, menyebabkan mutu dan harga tepung menurun .
./ Pada produksi tepung sukun kualitas prima skala 1 ton telah dicoba secara
bertahap yaitu : Bila jumlah bahan baku sukun sebanyak 2.170 buah dan rata-rata
buah sukun 1,5 kg, maka berat sukun semua adalah 2.170 buah x 1,5 kg = 3.255
kg sukun.

Rendemen tepung

=25% jadi, berat tepung sukun sebesar 813,75 kg.

Saat ini produksi tepung sukun tetap dilakukan secara bertahap, diatur sesuai
tingkat pemasaran dan cuaca. Musim penghujan yang berkepanjangan, ditambah
adanya bencana alam, Kabupaten Cilacap terkena hujan abu akibat meletusnya
Gunung Merapi merupakan salah satu kendala produksi tepung sukun kurang
lancar. Pada kondisi seperti ini, adanya alat pengering akan sangat membantu
egiatan 2: Teknologi produksi tepung sukun bermutu premium

Untuk mengetahui mutu tepung dapat dilihat dari karakteristik sifat fisik dan sifat
mia tepungnya.

Sifat fisik tepung sukun meliputi tingkat keputihan dan kehalusan

epung sukun. Sifat fisik tepung lainnya yaitu nilai rendemen dari produk olahan terdiri
:iari rendemen kulit sukun, hati buah sukun, sawut kering sukun dan tepung sukunnya.
Sedangkan sifat kimia terdiri dari kadar air, pati, serat, abu dan protein tepung sukun.
a) Sifat fisik tepung sukun

Warna tepung sukun. Tingkat keputihan tepung sukun dapat diukur melalui
-<ecerahan wama tepung dengan metode chromometer. Nilai L adalah nilai kecerahan
:lari contoh tersebut.

Semakin meningkat nilai L berarti contoh semakin cerah .

Sedangkan nia a semakin positif menunjukkan warna contoh semakin merah dan
sebaliknya bila negatif wama semakin hijau. Nilai b menunjukkan bahwa semakin positif
t>erarti wama semakin biru dan sebaliknya bila negatif semakin kuning Tingkat keputihan
:epung juga dapat diukur dengan

nilai derajat putihnya

tepung

dengan

alat

41

itenessmeter yaitu dengan memba

am a putih contoh dengan standar

arna putih (Barium Sulfat /BaS04).


Tabel 7 menunjukkan bahwa penggunaan larutan sodium bisulfit 0,02% dapat
- eningkatkan derajat putih tepung sukun dloanding dengan menggunakan air biasa,
arutan kapur tohor 0,05% atau garam dapur (NaCI} 0,05%. Peranan sulfit disamping
sebagai bahan biasing, juga sebaga i bahan pengawet
-abel 7. Pengaruh bahan rendaman terhadap wama dan kehalusan tepung sukun mutu
premium

PERLAKUAN
:::~erendaman

o(apur tohor
Garam
-\.ir

Tingkat
kehalusan
>80 Mesh

94,07

-0,01

6,03

91,51

84,71
93,44

1,48
-0,05

9,25
8,44

82,06
89,19

83,25
89,67

48,28
62,70

93,17

-0,22

6,91

90,27

91,51

63,15

'!atrium bisulfit

Derajat putih
80
>80
Mesh
Mesh

------------------- (Ofo) -----------------

92,42

58,46

----~

. Sifat kimia buah sukun

Karakteristik buah sukun sebagai bahan baku tepung sukun menentukan sifat
.::.oung yang dihasilkan. Karakteristik tersebut terlihat dari sifat kimia buah sukunnya
a..,tara lain kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Tabel 8 menunjukkan bahwa
_,.;ah sukun mengandung air cukup besar antara 80 - 84%. Kadar proteinnya rendah
aitu 1,1 - 1,6%~ Demikian juga kadar lemaknya rendah sebesar 0,38-0,5%. Rendemen
-epung sukun yang dihasilkan ditentukan olah kadar karbohidratnya rendah yaitu 13-16%.
-al ini terlihat dari rendemen tepung yang dihasilkan hanya sebesar 10-14% (Tabel8).
-abel 8. Komposisi kimia buah sukun Cilacap
Komposisi kimia

<a dar air (%)

Ukuran buah sukun


Sukun kecil
Sukun besar
(1 ,5-3 kglbuah)
(0,75-1,5 kg/buah)
83,89
80,59

<a dar abu (%)

1,05

1,29

<adar protein(%)

1'18

1,63

<adar lemak (%)

0,50

0,42

<adar karbohidrat (%)

13,53

16,00

- -- ----

42

~abel

9. Pengaruh bahan rendaman terhadao stat kimia tepung sukun mutu premium
Pe rl a kua~

Komposisi kimia

-<.adar air (%)


-<.adar abu (%)
-<.adar protein (%)
-<adar lemak (%)
Kadar karbohidrat (%)
Seratpangan terlarut _(%)
Serat tak larut (%)
o(adar tan in (mg/1 OOg)
o(adar HCN (ppm)
Residu sulfit (mg)
~esidu CaO (ppm}

Natrium meta
bisulfit (Na2S04
0,05%
5,98
1,72
5,1 4
2,38
84,76
1,96
3,97
103,55
0,00
111 ,77

I
I
I

Perend aman dengan larutan)


Kapur tohor Garam dapur
(NaCI)
(CaO)
0,05%
0,05%

Air

4,30
3,01
4,97
2,65
85,05
0,93
3,84
121,94
5,67

4,54
2,34
5,11
2,17
85,83
1,56
4,06
133,75
0,79

4,26
1,55
4,88
2,20
87,10
2,39
4,82
101,40
0,074

259,17

Tabel 9 menunjukkan bahwa perendaman dengan kapur tohor menghasilkan


adar abu tertinggi (3,01 %) dibandingkan dengan larutan Na2S04 (1 ,72%}, NaCI
2,34%), dan air (1 ,55%). Hal tersebut disebabkan residu kalsium yang terdapat pada
apur tohor sebesar 259,17 ppm. Nilai kadar protein dan lemak dari seluruh perlakuan
::-erendaman tidak berbeda nyata. Kadar karbohidrat dan serat tertinggi terdapat pada
=erendaman dengan air sebesar 87,1% dan

7,21 %. Hal ini dikarenakan perendaman

::engan Na2S04, CaO, dan NaCI menurunkan karbohidrat dan serat. Kadar tanin
erendah terdapat pada perendaman dengan air, sedangkan Kadar HCN terendah
erdapat pada perendaman Na2S04. Hal ini dikarenakan pada proses oksidasi senyawa
~h enol

secara enzimatik akan menghasillkan senyawa tanin yang larut dalam air,

sehingga kadar tanin menurun. Kadar HCN terdapat pada karbohidrat dalam bentuk
senyawa glukosidasianogenik. Apabila terjadi reaksi antara glukosidasianogenik dan sulfit
akan menghasilkan glukosa dan HCN dimana HCN akan larut dalam air.

Sifat amilografi tepung sukun


Sifat amilografi dapat digunakan untuk menentukan karakteristik tepung itu
sendiri. Hal ini dapat dilihat waktu dan suhu gelatinisasi serta viskositasnya. Waktu
~elatinisasi

yang paling singkat pada perlakuan dengan perendaman air (18 menit) dan

su hu gelatinisasi (57 C) dibanding dengan perlakuan lain (Tabel 10). Hal ini disebabkan
j engan perendaman air biasa proses gelatinisasi berjalan lebih sempurna. Viskositas
enunjukkan tingkat terurainya granula pati akibat proses gelatinisasi, sehingga
11enghasilkan tekstur tepung Jebih mengembang atau tidak. Viskositas puncak tertinggi
::Jada perendaman dengan garam dapur (640 BU) berarti menghasilkan tekstur tepung
43

ebih mengembang dibandingkan dengan

pe:-'a:r:;;an

perendaman lainnya. Viskositas balik

set back viscocity/ SBV) akan mengras' -:a., sfat pemadatan tekstur (retrogradasi),
sehingga jika nilai SBV positif bera rti pada Korcisi suhu kamar akan menghasilkan tekstur
::>roduk yang tetap mekar dan seba liknya o:: a SBV negatif Maka menghasilkan sifat tidak
ekar (keras). Untuk semua perlakuan semua nilai SBV positif sehingga tekstur tepung
ang dihasilkan tetap mengembang , namun diantara perlakuan yang paling mengembang
:>ada perlakuan perendaman dengan Na2S04.

.. - -

v .

. . . . . --.

--

. ..

..

...

r-

- . --

k
Perlakuan
Kapur
tohor
(CaO)
0,05%

Garam
dapur
(NaCI)
0,05%

Air

27

29

18

75

70,5

73,5

57

39

48

48

48

48

Suhu gel. f'uncak (SGP) ( C)

84

93

93

93

93

/iskositas Puncak (VP) (BU)

1050

300

70

640

280

I iskositas suhu 50 (V50uC) (BU

1106

1380

270

950

930

56

1080

200

310

650

Kadar
(PUSTAKA)

Natrium meta
bisulfit
(Na2S04)
0,05%

32

30

75

Komponen

N aktu gelatinisasi (WG) (menit)


Suhu gelatinisasi

(SG) ( C)

N aktu gel. Puncak (WGP) (menit)


0

liskositas Balik( Setback


/iscocity) (BU)

Kegiatan 3: Pengembangan produk olahan berbasis tepung sukun

Pada kegiatan 3 ini dimaksudkan untuk menggali aneka manfaat tepung sukun,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengonsumsi produk-produk berbasis tepung sukun.
Kegiatan ini dirancang sebagai salah satu implementasi pemanfaatan tepung sukun
yang diperoleh dari Kegiatan 1. Hasil percobaan pembuatan aneka produk berbasis
tepung sukun diuraikan dibawah ini.
a. Flakes
Rendemen

Rendemen flakes yang dihasilkan dari masing-masing

perlakuan tersaji pada

Tabel 11. Rendemen menunjukkan hasil yang hampir sama antar perlakuan yaitu antara
135 sampai 142% tidak ada perbedaan yang jelas antar perlakuan. Dengan demikian
ngkat produktivitas flakes yang berasal dari perlakuan kontrol (Tepung sukun 100%)
dengan substitusi

tapioka, tepung beras dan sagu adalah setara, rnengingat proses

44

:-embuatan flakes

juga ditentukan o

.......,....~f"a

tal<!m, antara lain: suhu oven dan

aktu pemanggangan.

.1
.2
.3

Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung

kun pada berbagai perlakuan


Hasil
Kekerasan
~er~er: e n
L
a
b
(
:~;
1,3
25,36
356,33
I 0,83
82 ,86
330 ,25
83 ,02
1,83
25,24
67 ,50
24,94
67 ,50
88 ,50
2,49
64,00
54,50
23,05
68 ,00
76 ,81
3,10
294,50
78,92
3,23
23,98
70,00
255,00
82,49
2,06
25,85
68,50
144,75
86,72
0,77
24,11
71 ,00
83,75
1,35
25,46
88 ,04
69 ,50
2,41
227,75
68 ,75
83,39
25,24
25,04
92,50
68 ,75
77 ,32
3,65
61,50
68 ,50
76,44
3,51
23,71
69 ,50
78,78
3,92
26,53
55,75
2,51
24,39
137,25
80,27
68,50

sukun :Tapioka (90:10)


sukun :Tapioka (80:20)
sukun :Tapioka (70:30)
sukun :Tapioka (60:40)
sukun :Tepung Beras (90:10)
sukun :Tepung Beras (80:20
sukun :Tepung Beras (70:30)
sukun : Tepung Beras (60:40)
sukun : Sagu (90:10)
sukun: Sagu (80:20)
sukun : Sagu (70:30)
sukun: Sagu (60:40)
sukun 100%

Warn a
Wama merupakan salah satu atribut penting yang menentukan sisi penerimaan
produk pangan oleh konsumen. Analisis terhadap warna flakes sukun disajikan pada
Tabel 12. Hasil analisis rata rata menunjukkan adanya perbedaan nilai yang jelas
erhadap atribut warna flakes yang dihasilkan.
Secara umum flakes yang dibuat dari tepung sukun dengan substitusi tapioka,
epung beras dan sagu cenderung menampakkan karaktersitik warna krem sampai
coklat tidak cerah. Hal ini dibuktikan dengan nilai L yang belum mendekati 100. Nilai a
I

ntuk keseluruhan perlakuan menujukkan nilai positif. Hal tersebut menujukkan karakter
warna flakes cenderung berwama biru. Nilai b pada seluruh perlakuan yang diujikan
menujukkan nilai positif, hal ini menujukkan karakter wama produk flakes secara
eseluruhan cenderung berwama kuning.
Penambahan
cukup berperan

tepung beras dan tapioka

dalam penentuan

warna flakes,

juga menujukkan pengaruh yang


memberikan tingkat kecerahan,

intensitas warna derajat kekuningan dibandingkan dengan flakes kontrol.

Karakteristik tekstur flakes


Tekstur flakes merupakan parameter penting yang menentukan mutu produk
pangan. Karakteristik tekstur flakes yang dianalisis adalah kekerasan . Karakteristik

45

flakes yang diinginkan bersifat tidak ke:as ::a"' t.id ak terlalu rapuh.

Data kekerasan

disajikan dalam Tabel 11.


Hasil analisis menujukkan terd apat oert>edaan yang jelas antar perlakuan yang
diberikan terhadap kekerasan flakes. Peral<l...tan substitusi 80:20 tepung sukun dengan
sagu

memberikan hasil yang terbaik yaitu 92.5 gf dibandingkan substitusi dengan

apioka dan tepung beras pada perbandingan yang sama. Hal ini disebabkan sagu
memiliki kelebihan pada sifat amilografmya. Namun secara umum terjadi penurunan
ingkat kekerasan dengan semakin besamya rasio substitusi tepung sukun baik dengan
epung beras maupun tapioka.
Komposisi Proksimat Flakes

Flakes yang telah diperoleh dianalisis secara kimiawi komposisi proksimatnya,


yang ditunjukkan pada Tabel 12. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan yang
yata antar perlakuan yang diberikan. Hasil analisis terhadap kadar air menunjukkan
flakes yang disubstitusi dengan sagu memiliki kadar air yang rendah pada semua
asio yang dilakukan, rendahnya kadar air sampai jauh dibawah tiga

akan

menghasilkan produk yang awet, karena air merupakan komponen penting dalam
bahan pangan yang menentukan sisi penerimaan, kesegaran dan daya tahan produk.
Hasil analisis kadar abu flakes menunjukkan hasil yang tidak banyak berbeda.
Besarnya kadar abu sangat dipengaruhi oleh kandungan mineral sisa hasil pembakaran
bahan organik. Kadar abu yang terdapat dalam flakes dapat berasal dari mineralmineral Ca dan Fe yang terkandung di dalam bahan baku, dan juga berasal dari bahan
ambahan telur dan mentega . Sementara itu kandungan protein

termasuk dalam

penentuan spesifikasi mutu flakes, sehingga besarnya kadar protein dapat menentukan
secara spesifik batasan nilai minimum ataupun maksimumnya. Kandungan lemak
dalam flakes tergolong tinggi yaitu diatas 20% sehingga flakes tersebut riskan dari
erusakan produk akibat pengaruh oksidasi lemak.

kadar karbohidrat

merupakan

salah satu prasyarat yang menentukan spesifikasi mutu flakes. Berdasarkan hasil
analisis proksimat, diperoleh kadar karbohidrat cukup

tinggi

(>60, bb), hal ini

disebabkan kandungan karbohidrat dalam sukun belum mengalami perubahan secara


signifikan akibat tidak terjadinya reaksi-reaksi kimiawi selama tahapan awal proses.
Kadar air flakes yang cukup rendah menunjukkan adanya penurunan kadar air yang
yata karena akibat proses pemanasan dengan suhu oven 125 C selama 25 men it. Hal
ini disebabkan makin berkurangnya jumlah air bebas

pada permukaan yang dapat

dikeluarkan dari bahan.

46

Tabel 12. Komposisi kimia proksimat ~ia<.:es


Hasil (%) (bb)
No.

Perlakuan
Abu

Protein

Lemak

Karbohidrat
63.48 ab

1. Tepung sukun : Tapioka (90:10)

4.59'

3.07 9

7.71 ao

21 .12

2. Tepung sukun : Tapioka (80:20)

1.78 abc

2.68bc

7.95 abc

21 .53ab

66.06cd

3. Tepung sukun : Tapioka (70:30)

1.98bc

2.24 ab

8.24 abc

21.35c

66.19cd

4. Tepung sukun : Tapioka {60:40)

4.11ef

2.29bc

7.27ab

22.52de

63.76 ab

5. Tepung sukun : Tepung Beras (90:10)

3.67de

2.61 19

9.56c

22.05cd

62.20

6. Tepung sukun : Tepung Beras (80:20)

0.91

2.73cd

8.48bc

21.92cd

65.93cd

7. Tepung sukun:Tepung Beras (70:30)

2.55cd

2.25ab

8.59bc

22.68e

63.93 ab

8. Tepung suku : Tepung Beras (60:40)

1.77 abc

2.13

8.81bc

22.54e

64.75bc

9. Tepung sukun : Sagu (90:10)

1.22ab

2.41ef

7.59 ab

21.98bc

66.72d

10. Tepung sukun : Sagu (80:20)

1.39ab

2.59cd

7.48 ab

22.32cd

66.19cd

11. Tepung sukun : Sagu (70:30)

1.97bc

2.20abc

6.60

22.02cd

67.20d

12. Tepung sukun: Sagu (60:40)

1.65abc

2.27abc

7.39ab

22.01cd

66.65d

13. Tepung sukun 100%

2.03 be

2.61de

8.84bc

63.90ab

22.59e

et: Notasi angka yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut Duncan p<O,OS

Serat Pangan Flakes


Serat pangan secara fisiologis merupakan komponen tanaman yang tidak dapat
didegradasikan secara enzimatis menjadi sub unit yang dapat diserap oleh lambung
dan usus halus. Serat pangan total didefinisikan sebagai hasil penjumlahan serat
oangan larut (SPL) dan serat pangan tidak larut (SPTL). Serat pangan larut ialah serat
oangan yang larut atau mengembang dalam air panas atau hangat, sedangkan serat
oangan tidak larut adalah serat pangan yang tidak dapat larut dalam air panas maupun
air dingin (Muchtadi 2001).
Hasil analisis SPTL maupun SPL menunjukkan adanya perbedaan antar
:>erlakuan. Perlakuan substitusi dengan tapioka, tepung beras dan sagu menurunkan
adar SPTL dan SPL masing- masing dari 5.23-2.83% menjadi 3.72-0.82%.
47

Menurunnya kadar SPTL maupun SPL pada fl akes yang disubstitusi dengan
tepung beras, tapioka dan sagu men lng~atir.an daya cerna pati dalam flakes. Hal ini
terkait dengan menurunnya kada r karbon;orat. khususnya kelompok karbohidrat yang
bu

tak tercema dalam sistem pencernaan

---------1

Serat pa ngan Ia rut


6
5
4

3
2

Scries1

.~

10 11 12 13

Gambar 8. Kadar serat pangan Ia rut flakes

Serat pangan tak Ia rut


6 (

~-----

..----

i 3

ii

Scricsl

I
I

0
1

10 11 12 13

Gambar 9. Kadar serat pangan tidak larut flakes

Daya cerna pati Flakes


Daya cerna pati menunjukkan kemampuan pati untuk dicerna dan diserap
oleh tubuh. Dalam penelitian ini daya cema pati dianalisis secara in vitro. Hasil analisis
daya cerna Flakes disajikan dalam Gambar 9. Daya cema pati menunjukkan
kemampuan pati untuk dicerna dan diserap oleh tubuh. Hasil analisis menunjukkan

48

terdapat perbedaan antar perlakuan. Perl aku an substitusi mengakibatkan peningkatan


daya

cema

pati

flakes

.Dengan

demikian

perlakuan

substitusi

diharapkan

meningkatkan nilai gizi flakes.


Tahap awal aktivitas a-amilo lisis berhubungan dengan penyerapan a-amilase
pada granula pati. Semakin berkurangnya kerusakan struktur kristalit pati di dekat
permukaan granula dapat memperlambat masuknya a-amilase ke dalam granula
sehingga reaksi hidrolisis secara enzimatis menjadi semakin terhambat. Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Planchet eta/. (1995) menyebutkan perubahan struktur
kristalit pati dari tipe C yang lebih rigid menjadi tipe A yang bersifat kurang rigid
merupakan substrat yang lebih sesuai bagi aktivitas a-amilase. Kesimpulan serupa
diperoleh oleh Gallant et a/. (1997) yang menyatakan kristalit pati tipe A merupakan
substrat yang lebih sesuai bagi a-amilase sebagai biokatalisator dalam reaksi
hidrolisis dibandingkan dengan kristalit pati tipe B dan C.

Daya Cerna Pati


100
30

60
40
20
0

10 11 12 13

Gam bar 10. Daya cerna pati in vitro pada produk flakes

Organoleptik flakes

Uji organoleptik merupakan salah satu ca ra untuk mengetahui tingkat kesukaan


atau penerimaan konsumen (uji hedonik, metode rating). Dalam penelitian ini flakes diuji
dalam bentuk matang (sudah dimasak). Jumlah panelis dalam uji organoleptik ini
sebanyak 20 orang. Skor penilaian yang digunakan adalah 1
hingga 5

=sangat suka. Hasil uji organoleptik

= sangat

tidak suka

selengkapnya disajikan dalam Tabel 13.

Bentuk flakes beranekaragam, tergantung cetakan, antara lain seperti pad a Gambar 11 .
Hasil uji organoleptik menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan yang
diberikan. Flakes yang disubsitusi dengan sagu mem!liki mJai rata rata tertinggi

pada
49

keseluruhan parameter dalam

an bila dicermati lebih lanjut pada

ang bersubstitusi dengan sagu rasio 80

parameter wama, rasa dan ke


: 20 memiliki nilai yang tidak

~ ..

~~

dengan rasio 70 : 30 . Oleh karenanya

aKes tersebut dianggap sebagai perlakuan

berdasarkan hasil analisis terse..,_

terbaik yang dipilih untuk digunakan da!am uji stabilitas produk. Namun demikian, perlu
dilakukan uji organoleptik terhadap :Ja1<es yang terbaik dari tiga bahan baku
pensubstitusi untuk memperkuat hasil yang telah diperoleh (Tabel14).
Tabel13. Sifat organoleptik flakes
No.

I.
2.
3.
4.

5.
'5.
8.

9.
0
.1

'2
"3

Perlakuan
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung
Tepung

sukun :Tapioka (90:10)


sukun :Tapioka (80:20)
sukun :Tapioka (70:30)
sukun :Tapioka (60:40)
sukun :Tepung Beras {90:10)
sukun :Tepung Beras (80:20
sukun :Tepung Beras (70:30)
sukun: Tepung Beras (60:40)
sukun: Sagu (90:10)
sukun: Sagu (80:20)
sukun : Sagu (70:30)
sukun : Sagu (60:40)
Te~ sukun 100%

No

Wama
3,65
3,30
3,00
3,60
3,25
2,90
3,50
3,80
2,85
3,65
3,80
4,10
3,60

Aroma
3,20
3,35
3,15
3,50
3,00
3,10
3,45
3,40
3,40
3,60
3,45
3,45
3,20

Hasil (%)
Tekstur
Rasa
3,10
3,05
3,75
3,40
3,60
3,50
3,75
3,55
3,75
3,70
3,50
3,25
3,35
3,45
3,80
3,65
3,20
3,65
370
3,85
3,80
3,75
3,95
3,75
3,47
3,37

Kesukaan
3,20
3,75
3,35
3,75
3,60
3,35
3,50
3,85
3,20
3,85
3,95
4,15
3,47

Rasa+susu
3,15
3,85
3,45
3,85
3,85
3,50
3,60
3,70
3,25
3,85
3,95
4,20
3,52

Tabel14. Hasil uji organoleptik lanjut dari produk flakes


Hasil (%) (bb)

Perlakuan

Warna aroma rasa

Tp
sukun:Tapioka
3 78b
1 (80:20)
'
Tp sukun: Beras
2 (90:10)
3,258
3 tp sukun:sagu (80:20)
3,95b

Tekstur rasa
dengan
susu

kesukaan

3,5 8

3,45 8 3,45 8

3,5 8

3,658

3,3 8
3,65 8

3,3 8
3,65 8

3,68
3,6 8

3,45 8
3,85 8

3,4a
3,75 8

Ket: Notasi angka yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut Duncan p<0,05

,.
.....
Gambar 11. Flakes suhu 125 C, waktu 15 menit

so

b. Rusk

Pada tahap pendahuluan, percc:aa.r :-e-!)uatan produk rusk substitusi tepung


sukun dilakukan untuk mendapatkan ic:rr _a ,-ang cocok dan jumlah tepung sukun
maksimum yang dapat ditambahkan Be':oe-a::.a formula yang dicoba pada pembuatan
membuat roti, baik roti tawar ataupun roti

rusk pada dasarnya adalah formula manis, sepertipada formula 1, 2, dan 3.

Formulasi rusk pada formula 1 1tabel 15) merupakan formula dengan dasar
pembuatan roti tawar pada perband;ngan tepung sukun dan terigu 70:30, dengan
metode conventional straight dough.

Dengan metode ini semua bahan dicampur

menjadi satu, diadon kemudian diferm entasi bersama-sama. Pada saat fermentasi,
ketika adonan mencapai volume maksimum, gas dibuang, adonan diistirahatkan,
kemudian fermentasi dilanjutkan lag i. Formula rusk dengan formula 1 menghasilkan
roti yang pengembangannya kurang baik, dengan rongga roti yang padat, dan setelah
mengalami pembakaran yang kedua , tekstur rusk menjadi keras .

.... abel15. Formula Penelitian Pendahuluan Pembuatan Rusk


Formula(%)

II

Ill

Tp sukun: Tp terigu

30:70

30:70

20:80

Aires

62

62

42

Ragi instan (fermipan)

Garam

1,5

Gula

10

10

15

Susu skim bu'buk

Lemak

16

Telur

10

- - - -- - - - - -

Rongga yang rapat pada roti formula 1 pada Tabel 15 dapat disebabkan karena
terlalu tingginya tepung sukun yang ditambahkan, sehingga jumlah gluten yang
dibutuhkan untuk membuat jaringan dan kerangka roti menjadi berkurang. Walaupun
pengembangan adonan dipengaruhi oleh pembentukan gas C0 2 sebagai hasil
fermentasi ragi, namun apabila jaringan/kerangka roti tersebut tidak baik, maka proses
pemerangkapan C02 juga kurang maksimal dan roti tetap tidak mengembang. Hal ini
dapat diketahui dari roti yang dibuat dengan formula 2, dimana ragi dinaikkan
sebanyak 300% dari formula 1. Hasil percobaan pada pembuatan roti dengan formula
51

2 menghasilkan roti dengan rasa ya'"'g asa- serta tekstur yang padat karena kurang
mengembang. Setelah mengalami pe ..... ~~ara'l kedua, rusk yang dihasilkanmenjadi
keras.

Rasa yang asam pada rusk Clseca:>><an karena terjadinya fermentasi yang

berlebih, sehingga jumlah asam yang c' ... as .ocan juga lebih besar.
Formulasi 3 pada pembuatan

rt.SI( ~"""erupak a n

formulasi dasar dalam pembuatan

roti manis. Dalam formula 3 perbanc11gan sukun dan terigu yang digunakan 20:80
dengan jumlah ragi yang lebih banyak dari formul a 1 dan 2, dan gula serta lemak
yang lebih banyak pula, ya itu 15% gula dan 16% lemak.
menunjukkan bahwa

Hasil percobaan

roti dan rusk yang dihasilkan cukup baik.

Volume

pengembangan roti cukup baik dan rongga (pori -pori roti) yang terbentuk juga cukup
baik. Hal ini menunjukkan bahwa formula 3 cukup baik dalam membentuk jaringan
dan kerangka roti sehingga dapat menangkap C0 2 dengan baik. Lemak yang cukup
tinggi dan adanya telur juga mempengaruhi karakteristik pengembangan roti pada
formula 3. Dari segi rasa, penambahan jumlah lemak dan telur menghasilkan rasa
yang lebih gurih dengan tekstur yang lebih empuk dibandingkan dengan roti yang
dihasilkan dari formula 1 dan 2.

Menurut Mudjajanto Eddy Setyo dan Lilik Noor

Yulianti ( 2004), fungsi lemak dalam pembuatan roti adalah: (1). Pelumas untuk
memperbaiki remah roti,(2) mempermudah sifat pemotongan roti, memberikan kulit roti
lebih lunak, 3)memberikan rasa lezat, dan 4) sebagai bahan pengempuk dan
membantu pengembangan susunan fisik makan yang dibakar.

Dengan demikian

untuk percobaan selanjutnya pembuatan rusk akan menggunakan formula 3, dimana


perbandingan tepung sukun dan terigu, jenis lemak, serta jumlah gula yang
ditambahkan pkan dijadikan sebagai faktor yang diperlakukan dalam penelitian, yaitu:
Faktor A: Perbandingan tepung sukun dengan tepung terigu adalah 0:100; 5:10
10:100; 15:100; 20:100, dan 25:100

Faktor 8 : Jenis lemak yaitu : Mentega putih, Margarin, dan Mentega (butter}
Faktor C : Jumlah gula yaitu : 15%, 20% dan 25%.
Penelitian lanjutan pembuatan rusk (roti kering)
Penelitian Tahap II

Pada tahap kedua, telah dilakukan penelitian pembuatan roti manis kering dengan
penambahan 3 jenis lemak pada berbagai formula dengan 3 taraf penambahan tepung
sukun yang berbeda. Lemak yang digunakan meliputi shortening, margarin dan butter.

52

ang digunakan adalah 10:90; 20:80;

Sedangkan perbandingan tepung su


j an 30:70. Proses pembuatan roti keri~

=-

Gula, ragi, bakerin, susu bubuk, susu


cair, air es, lemak, garam

"'aca Gambar 12.


Tepung sul< un+tepung terigu

(0:100;10:90i20:80;30:70)
Mixing {15nH?nit)

Fem1entasi I (20 menit)

Rounding (10 menit)

Fermentasi II/Proofing (40 menit)

Pemanggangan (oven) (15 menit,160-180C)

Pending in an roti dan pengirisan

Pemanggangan (oven) (20 menit, 120-140C)

Rot I kerin& sukun

Gambar 12. Diagram alir pembuatan roti kering sukun

Komposisi Kimia
Kandungan gizi roti kering seperti disajikan pada Tabel16.
Tabel 16. Kandun an
Perlakuan
Perbandingan tepung
sukun dan terigu :
0:100
10:90
20:80
30:70
Jenis lemak
Butter
Margarin
Shorten ina

Kadar air

9,7a
9,0a
8,6a
9,1a

14,46a
14,30a
13,97a
12,66a

5,01a
5,36a
7,07a
6,09a

8,4a
8,1a
10,93b

15,48b
13,77ab
11 ,99a

6,08a
S,Oa
7,01a

53

garuhi oleh lemak yang digunakan.

Kandungan lemak rusk yang d 1haSi

Penggunaan lemak shortening menu!"juk\;a.ri ~andung a n lemak yang tertinggi yaitu


10,93% dan nyata lebih tingg i dibanaingo<a'i dengan penggunaan lemak lainnya.
Penambahan tepung sukun ke dalam adc~an roti tidak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap kandungan lemaK r..Jsk.

Sarn a halnya dengan lemak, protein

rusk juga dipengaruhi oleh pengg unaan Jen:s !emak. Penggunaan jenis lemak shortening
menghasilkan rusk dengan kadar protein terendah, yaitu 11 ,99%, tidak berbeda nyata
dengan penggunaan margarin , namun nyata lebih rendah dibandingkan penggunaan
butter. Butter mengandung lemak 83 %, kadar air 16% dan kadar protein maksimal 1 %
(Astawan Mita Wahyuni dan Astawan Made, 1988), sedangkan pada margarin dan
shortening, kandungan protein lebih rendah.

Hal tersebut dapat menyebabkan lebih

tingginya kandungan protein pada rusk yang dibuat dengan menggunakan jenis lemak
butter.
Kadar air ini akan berpengaruh terhadap umur simpan roti kering dan juga
terhadap kerenyahan roduk yang dihasilkan. Selain itu, umur simpan roti kering juga
dipengaruhi oleh aktivitas air (aw).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa

perbandingan tepung sukun dengan terigu tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap aw rusk. Penggunaan lemak butter menghasilkan rusk dengan aw 0,47, tidak
berbeda nyata dengan penggunaan margarin, namun nyata lebih kecil dibandingkan
dengan penggunaan shortening dengan aw 0,53 (Tabel 17).

Martin et al. (2008)

menjelaskan bahwa kerenyahan roti gulung kering mulai berkurang pada aw 0,46 untuk
struktur halus dan 0,5 untuk struktur roti yang kasar. Sedangkan pada aw 0,57 dan 0,59
untuk roti berstruktur halus dan kasar kerenyahannya hilang hingga 50%. Roti kering
dengan penggunaan butter dan margarin memiliki niai aw yang lebih rendah
dibandingkan dengan roti kering dengan shortening , dengan demikian dapat diketahui
bahwa roti kering dengan butter dan margarin memiliki kerenyahan yang lebih baik.

Aw
una sukun dan teriau :
0:100
10:90
20:80
30:70

0,48a
0,50a
0,48a
0,49a

Jenis lemak
Butter
Margarin
Shorten in

0,47a
0,47a
0,53b

54

pH

pH roti yang dihasilkan berkisar artara 5 5-5,9. Mondall eta/. (2008) menjelaskan
:>ahwa untuk mendapatkan roti dengan K.aral<tenstik yang baik maka pH yang diperlukan
::>erkisar antara 5,7 -6, 1. pH roti kering yang a1 hasilkan disajikan pad a Tabel18 .

---

r""'. -

Perlakuan

0% tepung sukun + sortening


10% tepung sukun + sorten ing
20% tepung sukun + sortening
30% tepung sukun + sortening
O%tepung sukun + margarine
10%tepung sukun + margarine
20%tepung sukun + margarine
30%tepung sukun + margarine
O%tepung sukun + butter
10%tepung sukun + butter
20%tepung sukun + butter
30%tepung sukun + butter

pH
5,9
5,57
5,74
5,68
5,66
5,68
5,63
5,55
5,88
5,64
5,7
5,65

Sifat Fisik

Volume spesifik rusk yang dihasilkan menunjukkan bahwa perbandingan tepung


sukun dengan tepung terigu 30:70 memiliki volume spesifik terkecil yaitu 1,97mllg, tidak
::>erbeda nyata dengan perbandingan tepung sukun dengan terigu 20:80 (2,94 mllg),
1amun nyata lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Penggunaan jenis

emak tidak memberikan


pengaruh yang berbeda nyata terhadap volume spesifik rusk
1
abel19).

Volume spesifik (mllg)

u:

=>erbandin

3,94b
3,66b
2,94ab
1,97a
enis lemak
Butter
Margarin
Shorten in

3,2a
3,32a
2,9a

55

Keberadaan gluten dalam tepung :s~...~ mempengaruhi pengembangan roti.


"'emakin tinggi jumlah tepung

st.I<JJ'

,- ar. ;

drtambahkan menyebabkan semakin

-endahnya kandungan gluten dalam aaor.ar ser:1ngg a volume spesifik roti menjadi lebih
--endah.

Dengan demikian, glute

erangka roti menjadi berkurang . Wala

c.Du1uhkan untuk membuat jaringan dan


engembangan adonan dipengaruhi oleh

:embentukan gas C0 2 sebagai hasil fer-nertasi ragi, namun apabila jaringan/kerangka


-:~ti tersebut tidak baik, maka proses pemerangkapan C02 juga kurang maksimal dan roti

etap tidak mengembang .

ifat Fungsional

Hasil analisis terhadapat amilosa rusk menunjukkan bahwa penggunaan terigu


00% memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan perbandingan
..,pung sukun dengan tepung terig u.

Namun demikian perbandingan tepung sukun

:eng an tepung terigu 10:90 menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan
:-erbandingan tepung sukun dengan terigu 20:80 dan 30:70 terhadap ami/osa rusk.
-erdapat kecenderungan semakin tingg inya kandungan amilosa dengan semakin
sedikitnya penambahan tepung sukun .

Analisis statistik juga menunjukkan bahwa

:enggunaan jenis lemak butter menunjukkan kandungan amilosa yang tidak berbeda
- ata dengan penggunaan margarin, namun berbeda nyata dengan penggunaan
s.1ortening. Perbandingan tepung sukun dengan terigu 30:7 menghasilkan pati terlarut
erendah, yaitu 61,60%, tidak yang berbeda nyata dengan perbandingan tepung sukun
:engan terigu 20:70 dengan kandungan pati terlarut 63,07%, namun nyata lebih kecil
: :bandingkan dengan perbandingan tepung sukun dan terigu 10:90 dan penggunaan
erigu 100%.

Sarna halnya dengan kandungan amilosa, pati terlarut cenderung

-,eningkat dengan semakin kecilnya tepung sukun yang ditambahkan.

-abel 20. Sifat fungsional rusk


Perlakuan
: :J erbandingan
epung sukun dan
. u:
0:100
10:90
20:80
30:70
Jenis lemak :
Shortening
Margarin
Butter

Amilosa

Pati Terlarut

Dava Cerna Pati

19,38b
16,57a
16,93a
17,51a

66,76c
65,15bc
63,07ab
61,60a

80,49c
77,58b
74,96a
75,01a

16,85a
18,64b
17,22ab

61,87a
66,18b
65,55b

77,58a
78,46a
76,76a
56

Pati mengandung fraksi linier oar :-ercanang dalam jumlah tertentu. Fraksi linier
_erupa amilosa, sedangkan sisanya am cc-e-::...,_ Jane et al. , 1999). Kadar amilosa pada
--oung mempengaruhi sifat fungsional teo ...ng tersebut.

Tepung dengan kandungan

:-nilosa yang tinggi memiliki daya pengerT'Da:-1gan yang lebih baik dibandingkan dengan
pung dengan kadar amilosa yang leb1h rend a...
Daya cerna pati adalah tingkat kemudanan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis
: eh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana. Daya cerna pati
: .hitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni (soluble starch). Pati mumi
: asumsikan dapat dicerna dengan sempuma dalam saluran pencernaan. Perbandingan
epung sukun dengan terigu 30:70 menunjukkan daya cerna pati terendah, yaitu 74,96%,
__ak berbeda nyata dengan perbandingan tepung sukun dengan terigu 30:70, namun
-yata lebih rendah dibandingkan perbandingan tepung sukun dengan terigu 10:90 dan
: enggunaan terigu 100%. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa terigu memiliki daya
:erna pati yang lebih baik dibandingkan dengan tepung sukun.

:)rganoleptik Roti Kering

... rg anoleptik Wama


Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jenis lemak butter menghasilkan
:enilaian warna yang paling disukai oleh panelis tidak berbeda nyata dengan margarin,
-a mun nyata lebih disukai dibandingkan dengan penggunaan shortening.

Sedangkan

_erbandingan tepung sukun dengan tepung terigu menunjukkan penilaian yang tidak
:-erbeda nyata terhadap warna (Tabel21).

~ --

-- - - - ----

Perlakuan
:lerbandingan tepung sukun dan terigu :
0:100
10:90
20:80
30:70
...enis lemak
Butter
Margarin
Shortening

Warn a

2a
3a
3,3a
4a
2,00a
2,75a
4,5b

Penilaian organoleptik terhadap warna berdasarkan perbandingan tepung sukun


~ an

terigu dan berdasarkan jenis lemaknya berkisar antara 2-4,5, yaitu dengan kriteria

-ka hingga netral. Secara visual, rusk dengan lemak butter menghasilkan roti dengan
rna yang lebih cerah, sedangkan margarin memberikan warna crumb agak
57

Tabel 23. Penilaian panelis terhada:::


Perlakuan
una sukun dan te
0:100
10:90
20:80
30:70
Jenis lemak
Butter
Margarin
Shortening

~a sa U'.I~

Rasa

2,00a
2,00a
4,67b
4,67b
2,75a
3,50a
3,75a

Organoleptik Tekstur

Hasil analisis statistik terhadap o<esukaan panelis pada tekstur rusk menunjukkan
oahwa perbandingan tepung sukun dengan tepung terigu 10:90 menunjukkan tingkat
esukaan agak suka, tidak berbeda nyata dengan penggunaan terigu 100%, namun
demikian nyata lebih disukai tekstumya dibandingkan dengan perbandingan tepung
sukun dan terigu 20:80 dan 30 :70. Penggunaan jenis lemak tidak emberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap tekstu r ru sk (Tabel 24).

Tabel 24. Penilaian panelis terhadap tekstur rusk


Perlakuan
una sukun dan teriau :
0:100
10:90
20:80
30:70
Jenis lemak
Butter
Margarin
Shortenin

Tekstur

2,33a
3,33a
5,33b
5,67b
3,75a
4,00a
4,75a

Kecenderungan yang terjadi pada tekstur rusk adalah semakin disukainya tekstur
rusk dengan semakin sedikitnya tepung sukun yang ditambahkan.

Secara visual,

semakin tinggi jumlah tepung sukun pada formula roti, menghasilkan struktur rongga roti
yang lebih padat. Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya jumlah gluten yang
diperlukan untuk membuat jaringan dan kerangka roti.

Padatnya struktur roti dan

sedikitnya rongga yang terbentuk menghasilkan roti dengan karakteristik yang keras dan
idak renyah setelah dikeringkan. Monda! and AK. Datta (2008) menjelaskan bahwa air
dan tepung sangat mempengaruhi tekstur dan remah roti.

Hal ini menyebabkan

rendahnya tingkat kesukaan panelis terhadap roti kering dengan semakin tingginya
jumlah tepung sukun yang ditambahkan.
59

Organoleptik Penampakan
~::: ... a

Hasil analisis statistik men

a.:-~

tepung terigu tidak memberikan


rusk yang dihasilkan.

oe rbandingan tepung sukun dengan

oerbeda nyata terhadap penampakan

:er:ggunaan jenis lemak mempengaruhi

Namun

penampakannya. Analisis statistik ,....e,- ~r?~:<;an bahwa penggunaan butter memberikan


pengaruh yang tidak berbeda nya:a ce .....;a~ oenggunaan margarin pada penampakan
rusk, namun berbeda nyata dengar. per-jgu~aan shortening (Tabel 25).

Tabel
lis terhad
-- 25. Penil
'
Perlakuan
I' Perbandingan teQung sukun dan terigu :
I
0:100
10:90
20:80
30:70
Jenis lemak
Butter
Margarin
Shortening
-

---

--

k
Penam~akan

I
2,67a
3,00a
3,33a
3,67a
2,00a
3,00ab
4,50b

Penggunaan butter menunjukkan nilai dengan kriteria tingkat kesukaan panelis suka,
sedangkan dengan shortening menunjukkan kriteria agak tidak suka. Menurut Mudjajanto
Eddy Setyo dan Lilik Noor Yulianti ( 2004), fungsi lemak dalam roti salah satunya sebagai
pelumas dan membentuk rongga dan remah roti.

Secara visual, rusk dengan

penggunaan lemak butter memiliki rongga roti yang lebih merata dan halus, sedangkan
dengan penggunaan shortening rongga roti nampak lebih besar dan tidak merata/kasar.
Organoleptik Kesukaan

lis terhad
Tabel 26. Kesuk
k
Perlakuan
Perbandingan tepung sukun dan terigu :
0:100
10:90
20:80
30:70
Jenis lemak
Butter
Margarin
SQ()_rtening

Kesukaan
!

2,00a
2,67a
4,67b
4,67b
2,75a
3,50a
4,25a

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbandingan tepung sukun dan terigu 0:100
menunjukkan tingkat kesukaan yang paling disukai oleh panelis, tidak berbeda nyata
dengan

perbandingan tepung sukun dan terigu 10:90, namun nyata lebih disukai

dibandingkan dengan perbandingan tepung sukun 20:80 dan 30:70.

Sedangkan
60

penggunaan janis lemak tidak

yang berbeda nyata terhadap

kesukaan panelis (Tabel26).


Terdapat kecenderungan se
kecilnya tepung sukun yang dita
kecenderungan pula bahwa lema

aan konsumen dengan semakin


adonan.

Disamping itu, terdapat

suKai panelis dibandingkan dengan

margarin dan shortening.

Gambar 13 . Produk roti substitusi tepung sukun

Gambar 14. Rusk substitusi tepung sukun

c. Kerupuk Sukun

Penelitian Pendahuluan :

Penggunaan tepung sukun dengan konsentrasi 37,5 %, 50,0% dan 67,5% temyata
kerupuk gorengnya tidak mekar dan tidak renyah sama sekali, sedangkan perlakuan
tanpa penambahan tepung sukun terutama pada kerupuk tanpa penambahan telur
diperoleh pengembangan diameter kerupuk sebesar 1,3 em dibandingkan kerupuk
61

mentah (Tabel 27).

cen ::1~b a h an

K::~_:

telur ternyata

kemekarannya tidak sec:: J: p~

- === _:ah digoreng

Tabel 27 . Rataa n d a,=-=-

KST5
3,30
3,30
Ket :
~=:::-~.;: -;

::::_ .. 1

dengan telur

KST.! = ~= : :~ ~=-= ~-:; s..~-<:u n dengan telur


KST5= s- ~ :: :=:: ~.r- g SL..:<Un dengan telur

Dengan dem ikian diuoa:., a .ran uf!tuk men ambahkan soda kue dan baking soda
sebanyak 1 % ke dalam adonan r<en.;pLJk dengan harapan kerupuk menjadi lebih mekar.
Akan tetapi hasil yang diperoleh ternyata keru puk goreng dengan penambahan soda kue
dan baking soda warnan ya menjadi eokl at sehingga kurang menarik dan selanjutnya tidak
lagi menggunakan kedua ba han tambahan tersebut.

Tabel 28. Rataan diameter (em) kerupuk sebelum dan sesudah digoreng
Perlakuan

Diameter (em)
I

sebelum
digoreng
sesudah
digoreng
Ket :

KSO

KS1

KS2

KS3

KSTO

KST1

KST2

KST3

3,10

3,20

3,20

3,30

3,10

3,20

3,10

3,00

4,00

4,50

4,30

4,10

3,30

3,30

3,60

3,30

terigu

namun

KSO = 0% tepung sukun tanpa telur


KS1 = 12,5% tepung sukun tanpa telur
KS2 = 25,0% tepung sukun tanpa telur
KS3 = 37,5% tepung sukun tanpa telur
KSTO = 0% tepung sukun dengantelur
KST1 = 12,5% tepung sukun dengan telur
KST2 = 25,0% tepung sukun dengan telur
KST3 = 37 ,5% tepung sukun dengan telur

Penelitian dilanjutkan dengan meniadakan penggunaan tepung

penggunaan tepung sukun direndahkan konsentrasinya menjadi 0, 12,5, 25,0 dan 37 ,5 %.


62

Adapun garam dapur 2,5 % de

-a ,::,::-~

2 . 5 ~-:

rasa lebih enak ditambahkan

sam a 100% air diperoleh aroma dan

;._151: bawang putih.

Sedangkan penambah telur c';'!:jld!::w unruk perlakuan kerupuk sukun-telur. Hasil


yang diperoleh ternyata pena mba'"'ar t~~..rr fida< dapat mengembangkan volume kerupuk
seeara maksimal.
tepung

sukun

Lain halnya ~er;.a n .-e-.... puk goreng dari perlakuan penambahan

berkonsentrasl

~e--:a"h.

g~'"S'"'g

pengembangan diameter keru

::>%)

sampai

dengan

37,5%

temyata

sekitar 0,9-1,3 em dibandingkan kerupuk

goreng dengan perlakuan pe r. arr:a-a~ ~e lur diperoleh pengembangan diameternya


hanya 0,1-0,5 em (Tabel28).

Penelitian Lanjutan
a.

Pengembangan volume Kerupuk.


kerupuk ternyata

Penggunaan telur

masih

belum dapat

mengembangkan volume kerupuk terutama dengan semakin tinggi konsentrasi tepung


sukun yang digunakan. Oleh karena itu penggunaan tepung sukun berkonsentrasi 12,5%
dan 87,5% tepung tapioka didapat kerupuk goreng yang terbaik yaitu pengembangan
diameternya 3,33 em lebih Iebar dari kerupuk mentah yang belum digoreng. Lain halnya
dengan kerupuk goreng tanpa penambahan telur, meskipun ditambahahkan tepung
sukun sampai dengan 25,0 % diperoleh pengembangan diameternya sebesar 3,8 dan 3,1
em (Tabel29 ).
-- ---- - ------------ -- ---

Perlakuan
KSO
KS1
KS2
KS3
KS4
Ket

-----

- -- - - -

------------------------- - . - - - - - -

Sebelum
Digoreng
?
3,91

Sesudah
digoreng
8,04

Perlakuan

4,20
4,10
3,80
4,10

8,00
7,20
6,10
6,30

KSTO

Sebelum
Digoreng
3,71

Sesudah
Digoreng
7,87

KST1
KST2
KST3
KST4

4,30
4,00
4,10
4,30

7,30
6,50
6,50
5,00

=
=

:KSO 0% tepung sukun tanpa telur


KS1 12,5% tepung sukun tanpa telur
KS2 = 25,0% tepung sukun tanpa telur
KS3 = 37.5% tepung sukun tanpa telur
KS4 50,0% tepung sukun tanpa telur

63

Persentase kemekara n
kerupuk mentah sebelum

ke,...~: :.-'!; 1( ::::~ ::::_;:_:-:- .:;:::;r

Kerupuk goreng dibagi diameter

'i:::::a kem ekaran kerupuk tertera pada

d i g ore~; =~

Tabel 30.
Tabel 30. Pengembangan vol.

_;. r:::-::asarkan konsentrasi tepung sukun

Konsentrasi sukun

Rataan pengembangan vol. (%)

0% sukun

198,4014d

12,5% sukun

180 ,9425c

25,0% sukun

169,2355b

37,5% suku

160,2809b

50 ,0% sukun

138,222a

Analisis statistik terhadap persefltase pengembangan volume

kerupuk ternyata

perlakuan penambahan atau tanpa penambahan telur serta interaksi dengan lima macam
konsentrasi penambahan tepung sukun (0, 12,5, 25,0, 37,5 dan 50,0%) ternyata tidak
berbeda nyata.

Penggunaa n tepung suku n semakin rendah ternyata semakin tinggi

pengembangan volume ke rupuk dan tertinggi (198,4%) pada penggunaan 0% tepung


sukun atau 100% tepung tapioka. Akan tetapi penggunaan tepung tapioka dan tepung
sukun masing-masing 50 ,0% diperoleh pengembangan volume terendah yaitu 138,2 %
dan nyata lebih rendah pengembangannya dibandingkan perlakuan lainnya . Dari
penelitian Suarman (1990) ternyata pengembangan volume kerupuk goreng diperoleh
pengembangan

volume

kerupuk

mencapai

346%,

jauh

lebih

besar volumenya

dibandingkan penelitian . Diantara penggunaan 25,0 dan 37,5% tepung sukun diperoleh
% pemgembangan
volume kerupuk yang sama secara statistik namuan nyata lebih
,

rendah dibandingkan kerupuk dari perlakuan penembahan 100% tepung tapioka atau
tanpa tepung sukun dan penambahan 12,5% tepung sukun , akan tetapi diantara
keduanya tidak berbada nyata .
b.

Nilai Gizi
Perlakuan penambahan telur umumnya dikategorikan sebagai kerupuk halus,

ternyata dapat meningkatkan kadar protein kerupuk dari 3,01% pada perlakuan 0%
tepung sukun atau 100% tepung tapioka menjadi 5,95% dari perlakuan 50,0% tepung
tapioka- tepung sukun (Tabel 31 ).

Perlakuan tanpa penambahan telur ternyata kadar

protein kerupuk berada dibawahnya ( 1,2 - 2,19%),

dikategorikan sebagai kerupuk

kasar, yang tidak adanya standar minimal kadar protein menurut Sll. Kadar lemak terjadi
penurunan dengan semakin meningkatnya penggunaan tepung sukun. Kadar air kerupuk
64

pad a perlakuan 100% tepung tapioka

diperoleh persentase relatif tingg


dibandingkan perlakuan lainnya y

epung sukun (2,0-3,67%).

. ---I 31. Nilai aizi k,


~

~--

NilaiGizi

Kadar air
Kadarabu
Kadar lemak
Kadar
protein
Kadar
Karbohidrat

- --

- - - .... - ... ;:::,-- ' :!!I

Penambahan telur

Tanpa penambahan te< :.:r


KSO

KS1

5,26
1,56
30,19
1,36

2,24
1,02
31,84
1,2

KS2

1($3

1,97 12 .07
I ~ . 85
0,87
17,62
33 85
1,34
2,03
I

61,65

63,71

61 ,83

76,44

I
I

KS4

1,98
3,70
12,69
2,19

79,45

KSTO

KST1

KST2

KST3

KST4

4,57
1,32
33,38
3,01

2,03
1,99
22,2
4,95

3,67
1,66
10,98
6,5

2,06
2,73
15,21
6,1

3,9
1,55
10,82
5,95

57,74

68,84

77,19

74,02

78,86

-- . pung sut<:un tanp.


KS1 12,5% tepung sukun tanpa tejur
KS2 25,0% tepung sukun tanpa tejur
KS3 37,5% tepung sukun tanpa telur
KS4 = 50,0% tepung sukun tanpa telur
~--

=
=
=

C. Uji Organoleptik

Dari 10 perlakuan kerupuk diambil enam perlakuan yang terdiri dari em pat
perlakuan tanpa penambahan telur dengan konsentrasi 0, 12,5, 25,0 dan 37,5% tepung
sukun. Sedangkan untuk kerupuk sukun- telur yaitu kerupuk dengan penambahan telur
dari penggunaan 0 dan 12,5 % tepung sukun (Gambar 15).

Pemilihan sampel

berdasarkan pengembangan volume kerupuk yaitu diatas 160%.

Gam bar 15 : kerupuk goreng

Dari uji organoleptik terhadap kerupuk mentah yang belum digoreng ternyata respon
panelis terhadap kriteria aroma dari kerupuk yang dibuat dengan penambahan telur
adalah kurang disukai secara nyata dibandingkan dengan kerupuk tanpa penambahan
telur meskipun penggunaan tepung sukun ditambahkan sampai dengan 37,5 % ( tabel
32). Sedangkan kriteria penampakan dan warna kerupuk adalah disukai secara nyata.
65

.--- -- . . _....

,.....

...... .

- -- . _, . -- - .... _-- ----

- -

--

~~ S .I'Jouk

Perlakuan

Per a- :-::k::J:J

KSO
KS1
KS2

'
~

'

---

~ ..=t
~

KS3
KSTO
KST1

~ .

Mentah
Warn a
3,78
3,61
3,56

2,89b
3,22b

3,33
3,11

";')

---....
~.

Aroma
3 ,33b
3 ,28b

2,72a
2,89a

3,56

3 :3 1
KSO = 0% tepung sukun tanpa ~::, _.
KS1 = 12,5% tepung suku<1 ;a'"'nc ~~ _KS2 = 25,0% tepung sukur ;a-:::a ;;:;_KS3 = 37,5% tepung sukt.:'"' ta-:::a :s.-
KSTO =0% tepung su kun denga- ;:;,_'
KST1 = 12,5% tepung sukun Cer-"ga-:s _,

Ket :

Kerupuk goreng dari perlakuan penarmahan telur dan tanpa penambahan tepung sukun
ternyata semua kriteria ku rang disukai secara nyata dibandingkan dengan perlakuan
lainnya,. sedangkan dianta ra perl akuan tanpa penambahan telur adalah sama disukai
secara nyata untuk semua krite ri a ( Tabel 33 ).
h
Sam pel

KSO
KS3
KS1
KSTO
KST1
KS2
Ket :

Penampakan

3,61 b
3,50b
3 44b
'
2,11 a
3 ,22b
3 78b

Kerupuk goreng
Warn a Aroma Kerenyahan
3,72b
3 ,72b
3 ,61b
2,72a
3,33b
3 ,72b

'
KSO = 0% tepung sukun tanpa telur
KS1 = 12,5% tepung sukun tanpa telur
KS2 = 25,0% tepung sukun tanpa telur
KS3 = 37,5% tepung sukun tanpa telur
KSTO = 0% tepung sukun dengan telur
KST1 = 12,5% tepung sukun dengantelur

Rasa

3 28b
'
3 ,78b
3 ,61b

3 ,44b
3 ,94b
3 ,83b

3 ,39b
3 ,78b
3 ,22b

2,83a
3,72b
3,22b

2.1r
3,78b

2,28a
3,78b
3,33b

3,89b

Hasil analisa proksimat ternyata kadar protein kerupuk semakin meningkat dengan
semakin tinggi konsentrasi tepung sukun yang digunakan.

Hal ini disebabkan karena

kadar protein tepung sukun yang relatif lebih tinggi yaitu 3,47% (Widowati dkk. 2009),
sedangkan kadar protein tepung tapioka hanya 0,41% (Sunarlim, dkk, 1996). Kadar air
tepung tapioka 13,17% sedangkan kadar air tepung sukun 7,33%, sehingga kadar air
kerupuk tanpa penambahan tepung sukun adalah sekitar 5% yang relatif lebih tinggi
didandingkan kadar air kerupuk dengan penambahan tepung sukun. Penambahan telur

66

: .:-L;; cerada diatas kerupuk sukun tanpa

dapat meningkatkan kadar pro:e-

er!.: ouk sukun telur tenmasuk kerupuk

penambahan telur.

halus karena ditambahkan telur r: ;;. ; Ceo:..:::--::;. ;::;a~u dengan kandungan protein tinggi
a ~iu

sehingga kadar proteinnya merre:-- _


Ditinjau dari

penge mba~g: r~

\'~ ~-

minimal 5,0% kadar protein .

-= e~.... puk

ternyata kerupuk yang

diberi

tambahan telur cenderung leb ~, re;.:i:-:;, :J:2:r; ::::ng-<.an kerupuk tanpa penambahan telur,
meskipun secara statistik tidaK ber:e:a L..!fc ~a . ..... al ini disebabkab karena pati dari tepung
tapioka merupakan komponer"' m ama se:a;a oahan baku kerupuk yang memegang
peranan utama dalam proses Ge-e ara~ oroduk. Pati akan membentuk gel karena
adanya pemenasan.

Gelatir tsas rr. eu.oa-<.an fenomena penting yang mempengaruhi

pengembangan volume kerupuk. Kacar air dalam kerupuk mentah yang terikat pada
jaringan dapat menguap dan meng~as kan tekanan uap untuk mengembangkan struktur
sehingga terjadi rongga- ro ngg a selama penggorengan (Setiawan , 1988). Menurut Matz,
1962 didalam Tahir, 1985 ternyata ge pati yang mengandung amilosa akan melepaskan
air (retrogradation) dan menyebabkan daya desak air selama penggorengan yang
mempengaruhi volume penge mbangan kerupuk.
Penambahan tepung sukun ti dak didapat gel dari proses gelatinisasi sebaik tepung
tapioka sehingga pengembanga n volume kerupuk menjadi rendah. Menurut Tahir (1985)
bahwa kadar amilopektin tepung sangat mempengaruhi volume pengembangan kerupuk.
Oleh karena itu krupuk berbahan baku tepung sukun tdak mengembang seperti kerupuk
berbahan baku tepung tapioka diduga karena kandungan amilopektinnya yang rendah .
Begitu pula pada penambahan telur, diperoleh pengembangan volumenya lebih rendah
karena

lem~k

dari kuning telur dapat mengganggu pengembangan granula, yang

sebagian komponen lemak diabsorsi membentuk suatu lapisan lemak pada permukaan
granula dan akibatnya penetrasi air terganggu.
Penerimaan panelis terhadap kerupuk sukun goreng dengan penambahan tepung
sukun sampai 50% ternyata disukai untuk semua kriteria yaitu poenempakan, warna ,
aroma, kerenyahan dan rasa .

Hal ini karena kerupuk sukunnya mekar dengan baik,

kecuali pada perlakuan penembanan telur tanpa tepung sukun. Penilaian panelis yang
kurang menyukainya kemungkinan karena selama penggorengan minyak yang digunakan
kurang

panas

sehingga

kerupuk

tidak

mekar

secara

maksimal.

Sedangkan

penggorengan kerupuk untuk penilaian pengembangan volume diperoleh hasil yang


memuaskan yaitu 212%.

67

Sedangkan kerupuk
untuk kriteria aroma ,

l i :=-

- _.:;;- penambahan telur kurang disukai


=~:!...

seda- ~~~=~

- :anpa penambahan telur, hal ini

perbedaan dibandingkan c::=r.;


kemungkinan karena ba u a- ::
Oleh karena itu

penampakan dan warna tidak ada

~:~

ditinjau dari segi pangembangan

ker~::

puk yang dibuat dari tepung tapioka

volume kerupuk dan penenr;;.::.::- c87,5%, penambahan 12,5'o :==-~f s:,~ -

::n;; :anpa telur. Namun penggunaan tepung

sukun 25,0 dengan75% tep ... g tap : :,~: :: o ::. :":J ~ ~ .5% tepung sukun dengan 62,5% tepung
tapioka juga

direkomendas :::. r. ~: ::.;:=.:- ::. :::.;:::: a terima panelis, meskipun kemekarannya

sedikit lebih rendah.

Penila a- ::::;,:=:-':: t :=,;,:;.Jap kerupuk mentah yang diberi tambahan

telur dengan 12,5% direkorre-:::s:!-::;.;-, =~ = perr~as arannya dalam bentuk kerupuk goreng
-:=-::;-

karena bau amis dari kerup


Penelitian masih mung
kerupuk dan perbedaan su

~ ::: :-;

a r.~L :.-a"

:erasa pada kerupuk goreng .


/ aitu untuk mengetahui pengaruh ketebalan

a:: se ama penggorengan terhadap pengembangan

volume kerupuk serta pene rimaa-nva .


d. Energi Bar

Pada

pembuatan

produl< energ i bar,

telah dilakukan dengan 4 formula

penambahan tepung sukun dalam i<omposisi dengan tepung terigu dan 1 formula sebagai
kontrol (Tabel 34).
Tabel 34. Formula produk energi bar
Formul a
F1
F2
F3
F4
F5

Tepung
sukun (%)
10
20
30
40

En ergi bar yang dihasilkan secara visual tidak memberikan pengaruh warna yang
signifikan antar perlakuan, hanya terlihat terjadinya reaksi Millard dengan warna coklat
sampai cc klat pekat (Gambar 16). Perubahan warna merupakan proses dinamik dalam
pembakar an adonan. Reaksi Millard biasanya terjadi pada produk yang dikenal sebagai
nonenzyrr atic browning karena kelompok senyawa amino pada protein bereaksi dengan

gula redu ksi pada temperatur tinggi (Loveday et a/. , 2009) .

Mekanisme spesifik dari

reaksi Mil ard belum ditemukan karena banyaknya reaksi yang terjadi dalam proses

68

Ebekel. 2001). Dikatakan

pengolahan akibat kelebihan g


bahwa energi bar bisa langsung ~--

a cukup mahal dan

mumnya, komposisi

bisa menjadi pengganti mak;

lemak 10%. Dalam

energy bar terdiri dari karbohidra: ~ai

perkembangannya, energy ba

jenis vitamin dan

mineral. Jenis vitamin yang se -

83, 86, 82, 81, 812,

dan asam folat. Sedangkan

umumnya kalsium,

,~

'

I"'-

FS

F1
Gambar 16. Produk energ
Hasil analisa terhadap

~ ~

air yang cukup baik, ya

~n

Air merupakan kornpx:e: il!!:::e::k'-

stabilitas, kualitas dan sifat 'fisi:".:~ ""SS_.

Hal ini telah sesuai

yang akan mempengaruhi

LL

ga mengandung vitamin 81,

Selain karbohidra
82, dan vitamin C, serta

~7%.

a 10-15% (Loveday eta/.,

dengan kadar air dari ene


2009).

produk mempunyai kadar

I'T'I;~

buah sukun cukup tinggi,

besi). Kandungan air dalam


.l..~us.

lemak dalam buah suku

2010c). Kadar protein dan

2 %, tetapi produk energi bar

mempunyai kedua kadar t~

annya (Tabel ). Hal ini karena

dalam formulasi terjadi penaT!Oa::a: ~ biit'a"' .-. ~

ke dalam energi bar sehingga

mempertinggi kadamya. Adan,-:a pena::t:ata...:

mentega, kacang merah, kismis,

kenari dan campuran bua..

andungan tersebut. Kandungan

senyawa tersebut akan

ingga memberikan karakteristik

sensory yang tidak dapat


protein terlarut selama pencarr.

oveday et a/., 2009).

__._._._ _j ~ndap selama beberapa lama dan

hilang karena kompetisi de


pertikel yang tidak larut (S i

Beberapa

endap pada permukaan sebagai


.::;.~a

perbedaan cara pencampuran d

69

penambahan bahan dalam proses perr::t~a:a.- ..,enyebabkan terjadinya perbedaan waktu


dan lamanya pencampuran dari se~a: ~:~-a berarti terjadi perbedaan distribusi dan
hidrasi protein. Hal ini akan berpe"fa"..! ... :e~ada p reaksi fisiko-kimianya juga berbeda.
Beragam jenis energy bar di pasara ... ~e ~an diperkaya oleh vitamin dan mineral. Tak
mengherankan, banyak orang merr.ar;aatkannya sebagai makanan diet, bahkan
pengganti makan siang dan makar. rr-a.am \Anonymous, 2010b). penganan sederhana
yang kaya gizi dan mampu menyed1al<an energi tinggi sehingga dapat meningkatkan
performa. Nilai nutrisi dari sukun ct..kup baik karena adanya kandungan karbohidrat,
vitamin

sehingga bisa dikembangkan menjadi produk energi bar. Untuk dapat diterima

oleh konsumen, maka diperlukan karakteristik sensori terutama rasa (Ryland eta/., 2010).
Kadar lemak berkorelasi positif dengan mentega, dan buah kering yang
ditambahkan dengan kadar yang cukup ti nggi dari 20,85-22,93% (Tabel 35). Menurut
Sun-Waterhouse eta/. , 2010) , kadar lemak akan berkorelasi positif dengan penambahan
mentega dari minyak ke dalam adonan.
Tabel 35. Karakteristik ene rg1 1bar dari berbaaai f,
Kadar Lemak
Protein
Kadar air
Formula
~------~

Kadarabu

(%)

(%)

(%)

(%)

F1

14.42 0.64

8,66 0,01

22,41

0.72 0.15

F2

10.24 0.44

8,68 0,007

22,93

1.08 0.06

F3

15.07 0,27

8,53 0,07

22,63

0.97 0,13

F4

12.340,16

7,64 0,042

20,85

0.81 0,021

F5

13.26 0,59

8,88 0,06

22,53

0.86 0,00

Kadar J)ati dari formula menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan kontrol


(formula 1). Adanya penambahan tepung sukun ternyata akan menurunkan kadar pati
(Tabel 36 ), karena sukun tidak mempunyai gluten. Kadar amilosa mempunyai kisaran
3,69 sampai 5,01%, daya cerna pati 42,56-57,93% dan gula total 12,45-13,08%. Energy
bar dikonsumsi untuk memperoleh asupan energi sebagai bahan bakar untuk
beraktivitas. Jadi, kandungan karbohidrat atau lemak di dalamnya mesti cukup tinggi.
Tabel 36. Kad
Formula Kadar pati (%}
F1
F2
F3
F4
F5

44,950,30
42,560,86
41,740,88
38,980,41
38,610,55

a
Amilosa (%)
4,850,08
4,270,16
3,690,08
4,00,06
5,010,16

Daya cerna pati


{%}
53,441 ,34
42,580,86
56,180,66
52,170,41
57,930,20

Gula total (%)


12,45
12,72
13,08
12,81
13,02

'-------~----------

wa

Hasil uji organolep

wama, aroma, rasa, dan tekstur tidak

an tingkat kesukaan panelis menunjukkan

berbeda nyata antar formu la


suka.
Tabel 37. Uji organoleptik enerc ' ca
Formula
F1
F2
F3
F4
FS

Warn a
3,85a
3,55a
3,50a
3,55a
3,65a

Aroma
3,60a
3,70a
3,65a
3,40a
3,45a

Rasa
3 BOa
3.55a
3,55a
3,45a ,
3,_60a I

Tekstur
3,55a
3,05a
3,15a
3,10a
2,90a

Kesukaan
3,75a
3,45a
3,35a
3,30a
3,35a

e.BIHUN

1. Karakterisasi Bahan Baku Bihun Sukun


1.1. Swelling Volume
Penentuan swelling volume dan kelarutan tepung bahan baku dilakukan secara
bersamaan. Pada penentuan tersebut, suspensi tepung dengan konsentrasi tertentu
digelatinisasi kemudian disentrifusi. Sentrifusi ini akan menghasilkan dua fraksi yang
terpisah, yaitu fraksi pati pembentuk gel dan fraksi pati larut air.

--=

Pen<>rnb<>h<>n hidrokolold 1 %
1.2. , 00
10 , 00

i?><.

~ , 00

~G .OO

Jf

Penornbahan hidrok.oloid 0.5%

12,00

] 4 . 00

~.00

16,00
f 4 . 00

.2 , 00

..

2 , 00

0 , 00

0 , 00
0.00

z. .oo

1 . 00

.Jurnlah CaCI2 vn ditarnbahkan

- - tep ungs

tp. su kun SS

(~)

0,00

1 , 00

2 , 00

JUfTtlah CaCI2 vane ctl~rnbahkan (""')

.,. guar gum


~s

~,__

10,00

.. iles-il es

;s +- tp. b&r;u 15 ;> ... guar gum

tp . sukun 85 ;,s tp. buas :l.S

~ ~ il e ~ l u

Gambar 17. Swelling volume campuran bahan baku


Penambahan garam kalsium menurunkan kemampuan pembengkakan dari
granula tepung untuk penambahan hidrokoloid 1 %, kecuali untuk campuran tepung
sukun, tepung beras dan iles-iles. Sementara untuk penambahan hidrokoloid 0,5 %, nilai

swelling volume meningkat sampai penambahan garam kalsium 1 %, kecuali untuk


campuran tepung sukun dan iles-iles.

71

1.2. Fraksi Pati yang Tidak lh mbentuk 'G el

bentuk gel dari campuran bahan baku bihun

Fraksi pati yang tida


sukun dapat dilihat pada Ga

ambahan garam kalsium meningkatkan nilai

kelarutan untuk semua perla

eberadaan garam kalsium menyebabkan semakin


beras dan campurannya dengan guar gum

tingginya kelarutan tepung su


serta iles-iles.
60,00
50,00

40,00
~

..
:a
>

30,00

VI

lO ,OO

10.00
0,00
0

Jumlah penambahan CaCI2 (%)


t<C'J>Ung sukun 1:: "'o Ui11 .-um
tt>J>tmg sukun E ..:. 0 ~ ilt>s-ilt>s
tJ>. sukun 8<. ~ + tp bt>1 iiS 1 ~ ,~ f. \I ill gum
tJ>. sukun 8~ ~ o + tJ> bt>1iiS 1 ~ 0 o ilt>s-ilt>s
0

Gambar 18. Kelarutan campuran bahan baku


2. Studi Pengaruh Penambahan Tepung Beras Terhadap Bihun Sukun

Tepung beras yang digunakan berasal dari beras Pandan Wangi yang diperoleh
dari swalayan' di daerah Bogor. Jumlah tepung beras yang ditambahkan pada adonan
bihun sukun adalah sebesar 15 % dan 30 % dari jumlah total tepung yang digunakan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat substitusi tepung beras memberikan pengaruh
terhadap beberapa karakteristik pemasakan bihun, seperti KPAP (kehilangan padatan
akibat pemasakan) dan berat rehidrasi.
Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa nilai KPAP (kehilangan padatan akibat
pemasakan) yang diperoleh dari bihun sukun dengan substitusi tepung beras 30 % jauh
lebih besar dibandingkan bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras 15 %
(24.25% dibandingkan dengan 12.05 %). Nilai KPAP menunjukkan jumlah padatan yang
keluar dari untaian bihun selama proses pemasakan. Semakin tinggi nilai KPAP, maka
semakin banyak pula jumlah padatan yang keluar dari untaian bihun selama proses
pemasakan

berlangsung.

Penambahan

tepung

beras

yang

semakin

banyak
72

ang terlarut, sehingga tidak dapat terikat dengan

menyebabkan semakin tinggl'lva

ika terjadi proses gelatinisasi pada saat proses

kuat dalam struktur untaia


produksi bihun berlangsung.
30

25

2.4,25

20
0..

15

10

5
0

Tp beras 15 %

Tp beras 30 %

Gambar 19. Pengaruh tingkat substitusi tepung beras terhadap nilai KPAP
Untuk pengaruh tingkat substitusi tepung beras terhadap parameter berat
rehidrasi dapat dilihat pada Gambar 20. Berat rehidrasi dari bihun sukun yang disubstitusi
dengan tepung beras 15 % lebih kecil dibandingkan bihun sukun yang disubstitusi
dengan tepung beras 30 % (288.45 % dibandingkan dengan 328.01 %). Berat rehidrasi
produk bihun sangat terkait dengan kemampuan penyerapan air oleh bihun selama
proses rehidrasi berlangsung.
340
330

32.8.,0 1

320
~

....~ 310

-o

:c:

Q)

0:::

~
....

Q)

co

300
290

2881"ll5

280
270
260
Tp bcras 15 %

Tp bcras 30%

Gambar 20. Pengaruh tingkat substitusi tepung beras terhadap berat rehidrasi
73

Untaian bihun yang dapat menyerap air lebih ba


yang lebih tinggi, begitu pula sebaliknya. Bihun de
cenderung mengalami pembengkakan yang lebih besa:r s !WI w
pascapemasakan.
Untuk parameter wama, pengamatan secara
tingkat substitusi tepung beras 30 % menghasilka
dibandingkan tingkat substitusi tepung beras 15 % (Ga

(i)
Gambar 21. Bihun sukun dengan tingkat substitusi

Meskipun berdasarkan kecerahan bih


tepung beras 30 % lebih baik, tetapi dari dua para
sukun dengan tingkat substitusi tepung beras 15 %
tingkat substitusi tepung beras yang akan diguna
selanjutnya adalah 15 %.

3. Aplikasi Berbagai Hidrokoloid dan Garam Ka


Pada tahap ini dilakukan proses produksi b
hidrokoloid yaitu guar gum dan iles-iles, serta d
kalsium

(CaCI2) terhadap bihun sukun yang dinasii:r"

dilakukan:
G1

Tepung sukun 100%, guar gum 1 %, Ca

G2

Tepung sukun 100 %, guar gum 0.5 %, Ca G

G3

Tepung sukun 100 %, guar gum 1 %, Ca 1

G4

Tepung sukun 100%, guar gum 0.5 %, Ca

G5

Tepung sukun 100%, guar gum 1 %, Ca 2

G6

Tepung sukun 100%, guar gum 0.5 %, Ca 2

11

Tepung sukun 100%, iles-iles 1 %, Ca 0

12

Tepung sukun 100 %, iles-iles 0.5 %, Ca 0

13

Tepung sukun 100%, iles-iles 1 %, Ca 1

aw

..wzr;r

14

Tepung sukun

15

Tepung sukun

16

Tepung sukun

81

Tepung sukun 85 =r.. :e:_,;-rg t-eras 15 %, guar gum 1 %, Ca 0%

82

Tepung sukun 85

83

Tepung sukun 85 %, teo~r-g :Jeras 15 %, guar gum 1 %, Ca 1 %

84

Tepung sukun 85 %, teoung oeras 15 %, guar gum 0.5 %, Ca 1 %

85

Tepung sukun 85 %, tepung beras 15 %, guar gum 1 %, Ca 2 %

86

Tepung sukun 85 %, tepung beras 15%, guargum 0.5 %, Ca 2%

811

Tepung sukun 85 %, tepung beras 15%, iles-iles 1 %, Ca 0%

812

Tepung sukun 85 %, tepung beras 15 %, iles-iles 0.5 %, Ca 0 %

813

Tepung sukun 85 %, tepung beras 15 %, iles-iles 1 %, Ca 1 %

814

Tepung sukun 85 %, tepung beras 15 %, iles-iles 0.5 %, Ca 1 %

815

Tepung sukun 85 %, tepung beras 15 %, iles-iles 1 %, Ca 2%

816

Tepung sukun 85 %, tepung beras 15 %, iles-iles 0.5 %, Ca 2%

~.

Ca 2 %

g ber-as 15 %, guar gum 0.5 %, Ca 0 %

3.1. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)


Nilai KPAP menunjukkan jumlah padatan yang keluar dari untaian bihun selama
proses pemasakan. Semakin tinggi nilai KPAP, maka semakin banyak pula jumlah
padatan yang keluar dari untaian bihun selama proses pemasakan berlangsung. Seca ra
umum, bihun sukun tanpa substitusi tepung beras dan dengan penambahan guar g
memiliki nilai KPAP paling rendah dibandingkan bihun sukun yang diperoleh da
perlakuan lainnya . Sementara nilai KPAP tertinggi diperoleh dari sampel bihun s-..c.....
yang disubstitusi dengan 15 % tepung beras dan penambahan iles-iles (Gambar 22)

~o . oo

lS,OO

10,00

~
~

1 S,OO

Q.

:.:::

10 ,00

s,oo
0,00
1

ml a h Pe nambahan CaCI2 (%)


lUll

Gambar 22. Nilai KPAP bihun sukun dengan berbagai perlakuan

Pada Gambar 22 dapat dilihat bahwa bihun sukun yang diproduksi dengan
penambahan guar gum memiliki nilai KPAP yang lebih rendah dibandingkan bihun sukun
yang ditambah dengan iles-iles. Hal ini menunjukkan guar gum memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam membantu proses pengikatan padatan pada untaian bihun
terutama selama proses pemasakan. Sementara untuk bihun yang ditambah dengan ilesiles tidak dapat mempertahankan padatan, sehingga pada saat pemasakan banyak fraksi
terlarut yang keluar dari padatan bihun dan menyebabkan nilai KPAP menjadi tinggi.
Pengaruh penambahan garam kalsium (dalam bentuk CaCI2 ) sangat jelas terlihat
pada bihun sukun
yang diproduksi dengan disubstitusi oleh tepung beras 15 % dan
,
penambahan iles-iles. Penambahan garam kalsium sebanyak 1 % mampu menurunkan
nilai KPAP secara drastis, tetapi pada penambahan garam kalsium 2 % KPAP produk
bihun kembali meningkat. Sementara pada produk bihun sukun yang tidak disubstitusi
dengan tepung beras dan ditambahkan iles-iles, pengaruh garam kalsium juga jelas
terlihat dengan efek meningkatkan nilai KPAP pada penambahan garam kalsium 1 %.
Pada produk bihun yang ditambah dengan guar gum, penambahan garam kalsi
tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai KPAP. Kecuali pada bihun sukun tanpa sub
tepung beras yang ditambah garam kalsium sebanyak 2 % dan guar gum, nilai KP
sedikit menurun.

3.2. Berat Rehidrasi

76

disubstitusi dengan tepung beras 15 % dan

Secara umum bihun su

rasi terendah, sedangkan bihun sukun 100%


yang ditambah dengan iles-iles memiliki berat rehidrasi tertinggi (Gambar 21 ).

Berat

rehidrasi produk bihun sangat terkait dengan kemampuan penyerapan air oleh bihun
selama proses rehidrasi ber1angsung Untaian bihun yang dapat menyerap air lebih
banyak akan memiliki berat rehidraSI yang lebih tinggi, begitu pula sebaliknya. Bihun
dengan berat rehidrasi yang tinggi cenderung mengalami pembengkakan yang lebih
besar selama pemasakan maupun pascapemasakan.
Penambahan garam kalsium pad a bihun sukun yang diproduksi dengan guar gum
memiliki pola yang sama, baik untuk bihun yang disubstitusi dengan tepung beras 15 %
maupun yang tidak disubstitusi. Bihun sukun yang diproduksi dengan penambahan guar
gum mengalami penurunan berat rehidrasi pada penambahan garam kalsium dengan
konsentrasi 2% (konsentrasi guar gum 1 %). Penambahan garam kalsium pada produk
bihun tersebut di atas akan menurunkan daya serap bihun terhadap air, sehingga berat
rehidrasinya pun mengalami penurunan.

450,00
400, 00
350, 00

~
-~
:'5!
..c;

300, 00

...

""

200 ,00

..,:;:;"'

150, 00

.; =-------- ~

....

250,00

100,00
50,00
0 ,00
C.:. 0 ~-u

C.:t 0 ~-u

C.:. 1 "";-..,

C ...1 1 "'/;,

C..:t 2 o/V

Ccl 2 ~<.

Jurntah penambahan cacl, ( % )


bihun
bihun
bihun
- - - bihun

sukun
s ukun
st t kun
sukutl

100 ... deng,._ln g u a t g urn


~00 ~ -~ deng ..ul ii""''S il<-'5>
dE"ng.ltl "Substitu -si I E"f'>Ung b4?t"d<i-1S ~-c. d"llll g u ar g unl
d~ng an substi tu si IE"IJUng bt:"t .._-.s 1S "'o d ..~n il e-s-ile--s.

Gambar 23. Berat rehidrasi bihun sukun dengan berbagai per1akuan


Pada bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras 15 % dan ditambahkan
iles-iles, berat rehidrasi semakin turun dengan semakin tingginya konsentrasi garam
kalsium yang ditambahkan. Sementara untuk bihun sukun tanpa substitusi, penambahan
garam kalsium pada konsentrasi 1 % menurunkan berat rehidrasi, sedangkan pada
konsentrasi 2 % te~adi kembali peningkatan berat rehidrasi. Peningkatan kembali berat
rehidrasi te~adi karena jumlah kalsium yang tersedia cukup untuk mendukung te~adinya
proses penyerapan air yang lebih besar oleh untaian bihun.

3.3. Warna
77

Perbedaan pengguna

~oto~

dan tingkat penambahan garam kalsium tidak


sukun yang dihasilkan seperti yang disajikan
ertinggi diperoleh dari bihun sukun yang

diproduksi tanpa substitusi tep

befas dan ditambah dengan iles-iles sebanyak 1 %.

r;o.oo
[

40,00
.... 30,00

:fi

z lo,oo
10, 00
0 ,00
1

II

Jumlah penambahan CaCI2 {%)


1 -~,:-, ~ 11dt g tnn
tf."t>Un? suf..un J )tJ 9"o -+ iff"'!- ile~
tp ._.ukun or
+ tp . bf"t.'t.l", 4"1' + f lldl "" " ' "
tp . sulo.:un ~c.
+ tp . bf"'l tll', 1 ~ 9"o + ilf"w", iles
tellUtl "

su~un

Gambar 24. Kecerahan bihun sukun dengan berbagai perlakuan

lntensitas wama merah dari bihun sukun menunjukkan perbedaan di antara


berbagai perlakuan seperti dapat dilihat pada Gambar 25. Bihun sukun yang diproduksi
dengan penambahan iles-iles 1 % menunjukkan nilai intensitas wama merah tertinggi,
diikuti oleh bihun sukun yang diproduksi dengan penambahan guar gum 1 %, keduanya
tanpa disubstitusi oleh tepung beras. Penambahan garam kalsium hingga 1
meningkatkan intensitas wama merah untuk bihun sukun yang diproduksi de
ditambahkan Ues-iles 1 % tanpa substitusi tepung beras. Sementara pada per1a
peningkatan jumlah garam kalsium yang dalam formula bihun justru
intensitas wama merah produk bihun yang dihasilkan.

12,00
11,50
r,ll ,OO

g
z

10,50
10,00
9.50
2

sukun dengan berbagai perlakuan

Gambar 25. I

1ng bihun sukun yang disubstitusi dengan

Secara umu
tepung beras 15 %

- .gum memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan

dengan perlakuan

Penambahan garam kalsium hingga 1 %

meningkatkan intensitas

.... ~~. semua perlakuan, kecuali untuk bihun sukun

yang diproduksi dengan

es 1 % tanpa substitusi tepung beras dimana

nilai b-nya justru meninglca

bahan garam kalsium 2 %.

27,00
26,00

25,00
.J:l

;;

24,00

z 23.60
22,00

21,00
20,00
0

Jumlah penambahan CaCI2 (%)


tepuns stt~tm H."'J '~' + ' ""' g tnn
tl'l>llng sttk1111 10-:0 410 + iles-iles
t1> stt~tn ~~- ~o + tp . bt>tasl~ ~ guat gum
t1> sul<un ~~- <>o + tp . herasl~ ~ iles-iles

Gambar 26. lntensitas wama kuning bihun sukun dengan berbagai perlakuan

79

Mutu tepung ::::::-:.:.

3 :ai. kimi a tepungnya . Sifat

fisik tepung suku,.., r:-:=

- .. =::)._.ng sukun . Penggunaan

- - =-

larutan sod ium bs-

::i ::.~oteinn ya

sukun mengandu'"'; : ._
- 1,6% , kada r

=-:..

3 - 16%. Hal ini terlihat

~ - i~~/o.

te::_ :;~

Kadar tanin terendah

terendah terdapat pada

terdapat pada pere- :=


perendaman

rendah ya itu 1,1

==:;:::emen tepung sukun yang

ler::~:"""

dihasilkan ditentufr::Sii :: dari rendeme n

:::...t1h tepung sukun . Buah

Na2s::::~

~-=

.::::.3.c:asi senyawa phenol secara


air, seh ingga kadar tan in

menurun .
Beberapa

::calah flakes, rusk, kerupuk ,

j E'- ~ 3

:=-

energi bar, dan b...,_....

: -::ca olahan flake yang pal ing


= 3'lt ... n dan tepung sagu (80:20) ,

disukai oleh pa nelis :::::_ ::

.; -=J1;J 20: 80 yang dikombinasikan

sedangkan perbanc ng::- dengan butter


kerupuk

men~r-:::3

- -:3:.,1 disukai oleh panelis. Olahan

- -;:'=rr:::angan volume kerupuk dan

~-=

suku n ya-;

=.:....:.:~;

penerimaan pa nelis a::::::._ 12,5% tepung suku!l y::.-:-.;


formula menunjukka ....

: :::-an energi bar kadar pati dari

ntro l.

;::E_; '=' - -

57 ,93% dan gula total

Adanya penambahan

:arena sukun tidak mempunyai

tepung sukun ternya<a .:.


gluten. Kadar, amilosa

tapi oka 87 ,5% , penambahan

----:::J 5.01 %, daya cerna pati 42,56-

-=-~=-

i2~-3

:-s .... msi untuk memperoleh asupan

energi sebaga i bahar ::;..:.

. . .dungan karbohidrat atau lemak

di dalamnya mesti c

.... ,gan padatan akibat pemasakan

(KPAP) dan berat re

- ~

c~ras

yang terbaik adalah sebesar

--= :e'llakaian guar gum menghasilkan


bihun dengan ka rakters
kalsium berpenga ruh

~er-"-~::-= '"~--

berpengaruh terhadap 1.:.::


bahwa produk terbai:.: ci;-:~:: .'="

~";.ran

iles-iles. Penambahan garam

---:-::s produk bihun, tetapi tidak terlalu


-~=-a~
=-==~..rJ-;;

has il tersebut maka disimpulkan

suku n 100 %, guar gum 1 % dan

garam kalsium 2 %.

80

STAKA

AOAC (Association of Offic a


The Association o"

-~;

: 006. Official Methods of Analytical of


C:te,..,,st.Washington DC :AOAC

Anonymous . 1985. Codex Sta 'l::: j.j: f:: \t,":-: =::1 ?"b~r Codex Stan 152-1985.
Anonymous . 2008. Unile. e~ -=http://www.anta ra co ::

:- csar

aka nan

Ring an

ke

Sumatera.

Anonymous . 2009a. Energy oar r.::p,f.-=,r"-..-r.~ :::>eaia.orglwiki/Energy_bar


Anonymous . 2009b. Manisan S ~ a ~ -:_a-:... ::,... d, dalam Tekno Pangan dan Agrond ustri
Vol.1 (9). http://www.war ,...te:O ~ s:e . ::o d/oang an kesehatan/pangan /ipb/ Manisan
%20buah -buahan.pdf.

Anonymous. 201 Oa. Pros and Cars o: ::""e'gy Bars.


http://www. runtheplanet.corr' :a - .,gracing/nutrition/energybars.asp . Akses 29
Oktober 2010.
Anonymous . 201 Ob. Energy Bar BL!kan r.\akanan Ajaib. http://www. /issue_detail.asp .htm
Gerrard, J. A (2002) . Protein- prate f"l crosslinking in food : Methods, consequences ,
applications. Trends in Fooa scence and Technology, 13(12) : 391-399.
Anonymous . 201 Oc. Tips sukses berbisnis roti dari ala han buah sukun. http://www.
/index.php-1.htm . 14 Juni 20 10

Asp N.G. , C.G. Johanson , H. Halmer and Siljestrom . 1983. Rapid enzymatic assay of
insoluble and soluble dietary fiber. J Agric Food Chern 31: 476-482.
Astawan Mita Wahyuni dan Astawan Made.1998. Teknologi Pengolahan Panga n He..aTepat Guna. Jakarta : Cv Akademika Pressindo
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian . 2003. Panduan
Pengolahan Sukun sebagai Bahan Pangan Alternatif. Direktorat ..;e-: r::
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian . Departemen PertanraDitjen Hortikultura. 2006 . Sukun Sumber Karbohidrat Pengganti Beras
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Jakarta. Departern:Grenby, T.H. 1997. Summary of The Dental Effect of Starch . lntemati: ::-i::
Food Science and Nutrition (1997) 48: 411-416.
Loveday, S.M. , J.P. Hindmarsh ; L.K. Creamer; H. Singh . 2CCS
changes in a model protein bar during storage. Food Rese a:r~ r798-806

Mariska ,I. ,Y.Supria:


Forst).tanarr"c:- -~ _
BB Biogen ~a-- '" 2=:-

. ,ropagasi Sukun .f..--.:.:';;.


-::: :.. :ematif .Kumpulan maa. : ::~ -

Martin
~=

s '"'Cers, P.F.G. Vereijker ::


se1sory characterization c~ t.-._
ernational 41 :480-486

Meilgaard , M. , G.C. c -.---: ::-::::-~: -::: : - ::-:;_:::-:- 1'=~ 3 Sen sory Evalua tion ..,...ec
Ed ke-3. Boca ::: ::::.::- CE :~. ~= :--:=-~ 3
996. The Gl Factor:The G I S::
-a 'Australia Pty Lim itted
Muchtadi , D., N.S. Pa Lo::: -c::dalam Eva luasi
Gizi. IPB , Bog ar.
Mandai A and A.K. Dar:a
86:465-474

Rudan , M.A. dan D.

392. Metoda Kim ia, Biokim .a :::::-l E


::.:J : 2.1an. Pusat Antar Universitas :::a :-~ ; ::.

2:j : . :=::--s::: :::.r Pg . Review. Journal of Fooc ~= -- =

Pusat lnformasi Keh utaraDeparteme n Ke- _:::.:;::


Reinbold J. 2009. What Is

-~...:.:.-.::-

~~s~; s

ber Karbohidrat Pengga nti

Ba~::s

.:::': ::::_::? hn'J:/l,vww. ehow.com


- :1odel of Mozzarella Cheese .'e: -.;
_ _,a ry Sci 81:2312-2319.

Ryland, D; M. Vaisey-Gerse- S 0 .:=:_,,.~:;!j: L. J. Malcolmson. 2010 . Develoor--::-- c nutritious acceptab e s ; :::k t:::- llJ S -g micronized flaked lentils. Food Res=-:::-_
International 43 : 642--E~=
Santosa, B.A.S ., H. Setiya .... ::, S-')":: J.ti, '.'.'. Haliza, Sunarmani dan S .Widowa~. "'- J'..! :
Laporan Akhir Tarw . . i?en ;s-:a,..,gan Teknologi Pengolahan Ubij alar da- s::;_
Mendukung Divers;::'...-as! K :-s-~s: Pang an di Papua. BB-Pascapanen. 3c:i::Litb~mg Perta nia
Scanlon M.G. and M.C . Zg'"'aL 20[;1. 3read properties and crumb structure.
Research lntema::cnal ~ - 3~ 1-864 .

rc:::.:

Setiawan, H. 1988. Mempe 1a;a"' o<a~a~eristik Fisiko-Kimia Kerupuk dariBerbagai Tara


Formulasi Tapioka ~e;::;..,,..,g r<entang dan Tepung Jagung . Skripsi. Jurusa11
Teknolog i Pangan aa,.., Gz FATETA-IPB, Bogar.
Suismono, S. Widowa ti , S. Ncgra1a Suyanti, Rahmawati, Kuntati,T. Jafar, Sua rni da"'
Suhardjo. 2003. Penel tian Teknologi Pengolahan Tepung Sukun. Ba a
Penelitian Pascapa11en Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Suismono dan Suya nti , 2008. Sukun sebagai Sumber Pangan Pokok Harapa:
Penganekaraga man Konsumsi Pangan. Didalam Broto, W dan S. Pra:::-" (Eds) Teknologi Pengolahan untuk Penganekaragaman Konsu msi Pa r~g~
Pascapane n, Bogar

Skripsi.

Suarma ,

Jurusan

Te

=,::;_ Mg

Sunarlim , R '!..!
Sc: .-

bungkil kedelai dan

:: z . dan mutu bakso .

P rcs : :_-~

Ci sarua , Bogar, 7-8

No::::- '-T.:..
Suroso .E, 2c:(A ,..,..-=da a-=-

___:.;;,a dari Tepung Sukun


- -;::r. Bu ah dan Aplikasinya
: l ampung.

Sun-WaterhOl.. s:: :
Ca mpa:::-.-=
1369- :;--::

-::-.J S. Wadhwa . 2010.


-::-s Food Chemistry. 119 :

IL-..i' - - -

Swart, M. dan S

anbowcooking .co.nz

Tahir, S.

::'"'...:J.Jk dari Tepung Sagu


--==a Bogar.

Thahir,

:-a dan B.A.S . Santosa .


==ascapanen Mendukung
: :-c _,:oang Pertanian .

Thompson LU :-: : _- ._betwee- ~::' " --~


indivic_:::. Ugwu ,F.M.dan

method on the toxic


African Journal of

Van Boekel,
Nahrun,J

_ ::-::::ction: A critical review.

Widowati ,S dar S.S -:=--Ra nQ~s

K.=--=

Widowati , S., B :. S. ':3Perse;-- 5::


Pe m
Pe laKsa-_::::Nasio...,ar.:-:c.
Winarno, F.G.

:: . :. L. 1984. Relationship

: ::::e of normal and diabetic

Pangan Lokal dalam


~an!2001 . BULOG

- : ::; s,ah. 2009. Reduksi 80


sam Sianida) dalam
; ; aah pada Sem. Hasil
-=-=-=~~a;'as a Sesuai Prioritas

1S~-

83

Anda mungkin juga menyukai