Penerapan Prinsip Farmakologi Dalam Keperawatan
Penerapan Prinsip Farmakologi Dalam Keperawatan
FARMAKOLOGI
DALAM KEPERAWATAN
Untuk Mahasiswa Diploma
Keperawatan
Oleh:
BAB I
KONSEP DASAR FARMAKOLOGI,
FARMAKODINAMIK, FARMAKOKINETIK
A. Pengantar Farmakologi
Pengobatan dengan menggunakan bahan-bahan dari alam telah berabad-abad lalu dilakukan.
Bagian dari tumbuh-tumbuhan seperti akar-akaran, kulit kayu, dan biji-bijian maupun bagian dari
hewan seperti lemak, hati dan mata menjadi bahan dasar yang diracik untuk menjadi bahan obat.
Penemuan antibiotik pertama kali yaitu penicillin oleh Alexander Fleming (1881-1955) pada tahun
1928 dan dipublikasikan pada tahun 1929, kemudian penemuan ini dikembangkan oleh Howard
Walter Florey dan Ernst Boris Chain pada akhir tahun 1930-an. Setelah masa ini pengobatan
mengalami perkembangan yang pesat sampai dengan saat ini.
Ilmu yang mempelajari tentang obat-obatan adalah Farmakologi. Berasal dari kata
pharmacon yang artinya obat/racun dan logos yang berarti ilmu/pengetahuan. Secara umum
farmakologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya pada sistem
biologi, selain itu juga dipelajari asal-usul obat, sifat fisika-kimia, cara pembuatan, efek
biokimiawi dan fisiologi yang ditimbulkan, nasib obat dalam tubuh, dan kegunaan obat dalam
terapi (Priyanto, 2010).
Untuk mempelajari farmakologi ada beberapa istilah dasar yang perlu diketahui.
Tabel 1. Beberapa Istilah yang Berkaitan dengan Dasar Farmakologi
NO
1.
Istilah
Farmakologi klinik
Arti/ Makna
Disiplin dalam bidang kedokteran yang berdasarkan prinsipprinsip ilmiah menyatukan keahlian farmakologi dan keahlian
klinik dengan tujuan akhir untuk meningkatkan manfaat dan
keamanan pemakaian klinik obat (Kelompok kerja Farmakologi
Klinik WHO-Eropa, 1988) dengan kata lain mempelajari dan
mengembangkan cara-cara evaluasi untuk memilih obat yang
memberikan efek pengobatan paling efektif dengan efek samping
2.
Farmakognosi
3.
Farmakologi
biofarmasetika.
Mempelajari penggunaan obat untuk mengobati penyakit atau
Terapeutik
4.
Toksikologi
tidak sesuai
Farmakokinetik
6.
Farmakodinamik
7.
Obat
mengurangkan,
menghilangkan,
menyembuhkan
Indikasi
Efek samping
RI No.193/Kab/B.VII/71).
Alasan untuk membenarkan pengobatan atau terapi tertentu.
Setiap respon tubuh terhadap obat yang bersifat merugikan/
berbahaya dan tidak diinginkan yang terjadi pada dosis normal
yang biasa digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis, atau terapi terhadap penyakit, atau untuk memodifikasi
10.
Kontraindikasi
fungsi fisiologis.
Situasi di mana aplikasi obat atau terapi tertentu tidak dianjurkan,
11.
Perhatian/
Peringatan
kondisi tertentu karena dapat terjadi efek atau keadaan yang tidak
diinginkan oleh pasien. Misalnya, peringatan pemakaian pada
kondisi pasien gagal ginjal, hamil atau menyusui atau riwayat
alergi. Selain itu, termasuk peringatan pemakaian obat secara
12.
Interaksi obat
13.
Toksisitas
pada
jangka
waktu
yang
lama
sehingga
Dosis
15.
Onset
16.
Durasi
dicapai.
Lama waktu obat terdapat dalam konsentrasi yang cukup besar
17.
Waktu paruh
18.
Indeks terapi
19.
20.
21.
22.
23.
keamanan obat.
Sesuatu yang mencegah atau melindungi.
Usaha atau daya menyembuhkan suatu penyakit.
Hanya pada bagian tubuh tertentu saja yang dipengaruhi.
Mempengaruhi tubuh secara umum.
Zat aktif/berkhasiat yang terkandung dalam obat.
Profilaksis
Kuratif
Lokal
Sistemik
Komposisi
DISINTEGRASI
DISOLUSI
Secara teori obat yang cepat larut akan lebih cepat diabsorpsi dan memiliki onset yang relatif
pendek (efek cepat terlihat). Sehingga bila dibuat urutan kecepatan absorpsi terhadap sediaan obat
adalah sebagai berikut:
larutan---> suspensi---> serbuk---> kapsul---> tablet---> tablet salut (EC).
C. FARMAKOKINETIK
Farmakokinetika merupakan fase farmakologi dimana obat yang masuk ke dalam tubuh akan
mengalami serangkaian peristiwa yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME)
untuk mencapai kerja obat tersebut. Dapat dikatakan bahwa farmakokinetika mempelajari tentang
pengaruh tubuh terhadap obat (nasib obat dalam tubuh).
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami
absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek.
Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini
disebut dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak seperti yang terlihat pada Gambar 2,
di bawah ini.
dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif1, absorpsi aktif2 atau pinositosis3. Absorpsi
menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses penyerapan. Kelengkapan dinyatakan dalam
persen dari jumlah obat yang diberikan. Secara klinik, bioavailabilitas lebih penting.
Bioavailabilitas dinyatakan sebagai jumlah obat dalam persen terhadap dosis, yang
mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat
tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi
sistemik. Setelah diabsorpsi, partikel obat melewati lumen usus masuk ke dalam hati melalui
vena porta. Di dalam hati, kebanyakan obat dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif
untuk diekskresikan sehingga mengurangi jumlah zat yang aktif. Proses metabolisme ini
disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first-pass effect atau first-pass hepatic)
atau eliminasi prasistemik.
Contoh obat yang mengalami efek first pass yaitu, warfarin dan morfin. Jadi istilah
bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme
obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau
dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya: lidokain), sublingual (misalnya:
nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah (sirkulasi), tempat absorpsi, kelarutan, rasa
nyeri, stress, kelaparan, makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat
vasokonstriksi pembuluh darah, atau penyakit dapat menghambat absorpsi. Latihan dapat
mengurangi aliran darah ke gastrointestinal karena darah lebih banyak dialihkan ke otot.
Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang
luas. Obat-obat yang diberikan melalui inhalasi juga diabsorpsi sangat cepat karena epitelium
paru-paru sangat luas.
Rasa nyeri, stres, serta makanan yang padat, pedas dan berlemak dapat memperlambat
pengosongan lambung sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Kecepatan obat
menembus membran dipengaruhi oleh pH obat dalam larutan dan pH lingkungan obat
berada.
Tabel 2. Proses Absorpsi Obat Dalam Tubuh
1.
2.
3.
Obat yang bersifat asam lemah akan mudah menembus membran sel pada suasana asam
(pH lambung), sedangkan obat-obat yang bersifat basa lemah akan mudah menembus
membran sel pada suasana basa (pH usus halus). Obat-obat yang larut dalam lemak dan tidak
bermuatan (non ion) lebih cepat diabsorpsi daripada obat-obat yang larut dalam air dan
bermuatan (ion).
2.
Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Distribusi adalah proses penyebaran obat dari pembuluh darah ke cairan tubuh, jaringan atau
tempat kerjanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi adalah aliran darah (fungsi
kardiovaskuler), afinitas terhadap jaringan, ikatan obat dengan protein plasma, sifat
fisikokimia, dan adanya hambatan fisiologi tertentu, seperti abses atau kanker. Sedangkan
kecepatan distribusi dipengaruhi oleh permeabilitas membran kapiler terhadap molekul obat.
Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh.
Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya
sangat baik (suplai darah lebih banyak atau cepat) misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.
Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya
tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru
mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Jaringan yang mengalami penurunan
perfusi (misalnya: kontraksi) atau kerusakan perfusi (misalnya: abses) akan mengalami
hambatan dalam distribusi obat.
Obat yang dapat menembus membran adalah obat dalam bentuk bebas (tidak terikat
protein plasma). Karena ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan
dengan protein (terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Sifat
fisikokimia obat akan menentukan jumlah dan kuatnya ikatan dengan protein. Derajat ikatan
obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan
kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat
karena adanya defisiensi protein.
Jumlah atau besarnya obat yang terikat oleh protein plasma dinyatakan dalam persen
(%). Hanya obat bebas (tidak terikat) yang dapat bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon
farmakologik. Obat bebas dapat mengalami metabolisme sehingga lebih mudah untuk
diekskresikan. Jika obat bebas berkurang dalam tubuh karena proses ekskresi maka obat yang
terikat protein akan dilepaskan untuk mencapai keseimbangan yang dinamis. Perbandingan
antara obat bebas dengan obat terikat akan menentukan lama kerja obat (durasi). Hal ini yang
digunakan sebagai penentuan besar dosis suatu obat oleh industri farmasi. Jika keseimbangan
antara obat bebas dengan terikat terganggu dapat terjadi toksisitas. Gangguan keseimbangan
dapat terjadi jika 2 obat atau lebih yang memiliki ikatan yang kuat dengan protein plasma
diberikan secara bersama-sama, sehingga obat bebas dalam plasma akan meningkat.
Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antar sel endotel kapiler mampu
melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Sawar darah otak (blood-brain
barrier) dapat menghalangi distribusi obat ke jaringan otak. Plasenta juga dapat menghalangi
obat tertentu dari ibu ke janin, tetapi selektivitasnya tidak sebesar sawar darah otak. Obat
yang sangat lipofil mempunyai afinitas yang tinggi terhadap jaringan, sehingga cenderung
tersimpan di jaringan. Karena jaringan memiliki peredaraan darah yang relatif sedikit,
menyebabkan obat yang terikat dalam jaringan akan didistribusikan lebih lambat. Jika obat-
obat demikian diberikan secara berulang dengan jarak waktu yang dekat akan terjadi
akumulasi dan berpotensi menimbulkan efek toksik.
3.
Biotransformasi / Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang
terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi
lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih
mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga
biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang
metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat
(prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami
biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Sebagian besar biotransformasi berlangsung di bawah pengaruh enzim yang
mendetoksifikasi, mengurai (memecah), dan melepas zat kimia aktif secara biologis. Enzim
yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel,
yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (pada isolasi in vitro
membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini
terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru,
epitel, saluran cerna, dan plasma.
Hati sangat penting karena strukturnya yang khusus mengoksidasi dan mengubah
banyak zat toksik. Hati mengurai banyak zat kimia berbahaya sebelum didistribusi ke
jaringan. Penurunan fungsi hati yang terjadi seiring penuaan atau disertai penyakit hati
memengaruhi kecepatan eliminasi obat dari tubuh. Perlambatan metabolisme yang dihasilkan
membuat obat terakumulasi di dalam tubuh, akibatnya klien lebih berisiko mengalami
toksisitas obat.
4.
Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit
hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih
cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Obat bebas, yang mudah
larut dalam air difiltrasi di ginjal. Obat-obatan yang masih berikatan dengan protein tidak
dapat difiltrasi oleh ginjal. Setelah ikatan antara obat dan protein lepas maka obat baru dapat
diekskresikan melalui urin.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultan
dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi
pasif di tubuli proksimal dan distal. pH urin memengaruhi ekskresi obat. Urin yang asam
meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Ekskresi obat melalui ginjal
menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau interval
organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan
fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan
komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat
dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu
fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi
terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen
makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor
obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon, neurotransmitor).
Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa
yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu
agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.
2.
Reseptor Obat
Struktur kimia suatu obat berhubungan dengan afinitasnya terhadap reseptor dan
aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan
stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya. Pengetahuan
mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru,
sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan
tertentu. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein
seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
Reseptor obat yang paling baik adalah protein regulator, yang menjembatani kerja dan
sinyal-sinyal bahan kimia endogen, seperti: neurotransmitter, autacoids, dan hormon.
Kelompok reseptor ini menjembatani efek dari sebagian besar agen terapeutik yang paling
bermanfaat. Kelompok protein lainnya yang telah dikenal jelas sebagai reseptor obat juga
termasuk enzim, yang mungkin dihambat (atau, yang kurang umum, diaktifkan) dengan
mengikat obat (misalnya dihydrofolate reductase, reseptor untuk obat antikanker
methotrexate), protein pembawa/ transport protein (misalnya, Na+/ K+ ATPase, reseptor
membran untuk digitalis, glikosid yang aktif pada jantung) dan protein struktural (misalnya:
tubulin, reseptor untuk colchicine, agen antiinflamasi).
Konsep reseptor mempunyai konsekuensi yang penting untuk perkembangan obat dan
pengambilan keputusan terapeutik dalam praktek klinik. Pada dasarnya reseptor menentukan
hubungan kuantitatif antara dosis atau konsentrasi obat dan efek farmakologi. Afinitas
reseptor untuk mengikat obat menentukan konsentrasi obat yang diperlukan untuk
membentuk kompleks obat-reseptor (drug-receptor complexes) dalam jumlah yang berarti,
dan jumlah reseptor secara keseluruhan dapat membatasi efek maksimal yang ditimbulkan
oleh obat.
Reseptor bertanggung jawab pada selektivitas tindakan obat. Ukuran, bentuk dan
muatan ion elektrik molekul obat menentukan bagaimana kecocokan atau kesesuaian molekul
tersebut akan terikat pada reseptor tertentu diantara bermacam-macam tempat ikatan secara
berbeda. Oleh karena itu, perubahan struktur kimia obat secara mencolok dapat menaikan
atau menurunkan afinitas obat-obat baru terhadap golongan-golongan reseptor yang berbeda,
yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam efek terapi dan toksiknya. Suatu obat
dikatakan spesifik bila kerjanya terbatas pada satu jenis reseptor, dan dikatakan selektif bila
menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih
besar. Obat yang spesifik belum tentu selektif tetapi obat yang tidak spesifik dangan
sendirinya tidak selektif.
Reseptor- reseptor menjembatani kerja antagonis farmakologi. Efek antagonis di dalam
tubuh pasien bergantung pada pencegahan pengikatan molekul agonis dan penghambatan
kerja biologisnya. Beberapa obat bermanfaat sebagai antagonis farmakologis dalam
pengibatan klinik.
3.
Interaksi Obat
Interaksi obat adalah kerja atau efek obat yang berubah, atau mengalami modifikasi
sebagai akibat interaksi obat dengan reseptor, proses kerja obat, atau obat yang lain. Interaksi
ini dapat berbentuk saling menguatkan efek terapi dari obat atau saling bertentangan dengan
efek terapi. Kadang-kadang makanan dapat juga mempengaruhi reaksi obat.
Dalam beberapa kasus, juga terjadi reaksi penggumpalan zat-zat yang tedapat di dalam
obat, hal ini disebut reaksi inkompabilitas obat. Hampir seluruh obat-obatan akan berefek
buruk bila berinteraksi dengan obat lainnya, namun tidak selamanya dapat dihindarkan untuk
memberikan obat yang tidak saling berefek merugikan
a.
Interaksi obat-reseptor
Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya
merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, Van der Waals), dan jarang
berupa ikatan kovalen.
b. Interaksi farmakokinetik
1) Absorbsi: waktu pengosongan lambung, kadar pH
a)
Jika 2 obat atau lebih dipakai secara bersamaan, maka laju absorbsi dari
salah satu atau kedua obat itu dapat berubah.
Dengan 3 cara:
(1)
lambung,
(2)
mengubah pH lambung,
(3)
d) Obat-obatan
yang
dapat
meningkatkan
kecepatan
pengosongan
motilitas
gastrointestinal,
sehingga
menyebabkan
Jika ph lambung menurun, obat asam lemah seperti aspirin akan lebih
cepat diabsorbsi.
Interaksi farmakodinamik
1) Indifference : efek kombinasi sama dengan komponen yang paling aktif.
2) Additive : efek kombinasi sama dengan jumlah efek setiap obat.
3) Synergistic : efek kombinasi lebih besar efek masing-masing.
4) Potentiation : satu obat meningkatkan kerja obat lain.
5) Antagonistic : satu obat menurunkan kerja obat lain.
5.
Antagonisme Farmakodinamika
Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme
fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat
kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau
penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang
menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau
ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain
disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat
presipitan.
Interaksi pada tingkat reseptor (antagonis pada reseptor), contoh:
Reseptor
Histamin H2
Agonis
Histamin
Antagonis
Simetidin,
Ranitidin,
Nizatidin.
Interaksi fisiologis (antagonis fisiologis) yaitu bekerja pada organ yang organ sama,
dengan reseptor berbeda, contoh:
OBAT A
Antidiabetik
OBAT B
Beta bloker
Efek
Efek obat A meningkat
Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, terutama berpengaruh pada obat jantung
jantung, transmisi neuromuskular dan ginjal, contoh:
OBAT A
Digitalis
6.
OBAT B
Diuretik, Amfoteresin B
Efek
Hipokalemi oleh obat B,
toksisitas obat A meningkat
mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau
masuk ke komponen sel.
a.
7.
Awitan (Mula) kerja obat: Waktu yang dibutuhkan obat sampai suatu respons
muncul setelah obat diberikan.
b. Onset (Puncak) kerja obat: Waktu yang dibutuhkan obat sampai konsentrasi efektif
tertinggi dicapai.
c.
Durasi kerja obat: Lama waktu obat terdapat dalam konsentrasi yang cukup besar
untuk menghasilkan suatu respon.
d. Plateau: Konsentrasi serum darah dicapai dan dipertahankan setelah dosis obat
yang sama kembali diberikan.
e.
Waktu Paruh: Interval waktu yang dibutuhkan utk proses eliminasi tubuh utk
mengurangi konsentrasi obat di dalam tubuh separuhnya.
8.
Efek Obat
Reaksi kerja obat adalah hasil dari reaksi kimia antara zat-zat obat dengan sel-sel tubuh
untuk menghasilkan respon biologis tubuh. Kebanyakan obat bereaksi dengan komponen sel
untuk menstimulasi perubahan biokimia dan fisiologikal sehingga obat menjadi efektif bagi
tubuh. Reaksi ini dapat terjadi secara lokal maupun sistemik di dalam tubuh.
Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur (organ)/proses/tingkah laku organisme hidup
akibat kerja obat. Contohnya adalah efek lokal terlihat terjadi pada pemberian obat topikal
pada kulit. Sedangkan pada pemberian obat analgesik, efeknya akan meliputi beberapa
sistem, termasuk diantaranya yaitu sistem saraf (efek sedatif), paru-paru (depresi pernafasan),
gastrointenstinal (konstipasi) walaupun efek yang diharapkan adalah pereda nyeri. Efek
medikasi dapat dimonitor melalui perubahan klinis yang terjadi pada kondisi klien. Secara
umum, peningkatan kualitas pada gejala dan hasil laboratorium menunjukkan efektivitas
medikasi.
a.
Efek Terapeutik
Adalah efek yang diinginkan atau efek tujuan dari medikasi yang diberikan. Efek
tersebut bervariasi berdasarkan bahan dasar obat, lama penggunaan obat, dan kondisi
fisik klien. Beberapa diantaranya juga dipengaruhi interaksi antar obat yang
dikonsumsi. Puncak reaksi obat sangat bervariasi tergantung dari obat yang diberikan
dan cara pemberian yang dilakukan.
b. Efek Merugikan
Adalah efek lain dari obat selain efek terapi yang diinginkan. Efek merugikan ini
dapat merupakan efek lanjutan dari efek terapi, misalnya hipotensi dapat terjadi ketika
pemberian antihipertensi. Beberapa efek yang merugikan ini dapat ditangani
segeraseperti konstipasi, namun ada pula yang memerlukan perhatian lebih, misalnya
depresi pernafasan. Efek ini sering terjadi pada klien yang sangat parah kondisi dan
menerima banyak medikasi.
c.
Efek Samping
Efek merugikan obat dengan skala kecil disebut juga efek samping obat. Banyak
efek samping yang tidak berbahaya dan dapat diabaikan, namun ada pula yang dapat
membahayakan terutama ketika ada obat baru yang diberikan atau ditambahkan
dosisnya. Perawat harus waspada terhadap efek merugikan dari obat ini.
d. Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas terjadi bila klien sensitif terhadap efek dari pengobatan
yang dilakukan. Hal ini dapat terjadi bila dosis yang diberikan lebih dari kebutuhan
klien sehingga menimbulkan efek lain yang tidak diinginkan. Contohnya adalah ketika
seorang pria dewasa dengan berat badan normal biasanya dapat diberikan meperidin
(sedatif) dengan dosis 75 100 mg, namun pada klien lansia dengan berat badan rendah
akan mengalami durasi reaksi yang lebih lama dan dapat mengalami penurunan
kesadaran dengan dosis meperidin yang sama. Biasanya, dengan menurunkan dosis dan
meningkatkan interval waktu pemberian, maka obat tersebut dapat dikonsumsi dengan
aman.
e.
Reaksi Idiosinkratik
Obat dapat menyebabkan timbulnya efek yang tidak diperkirakan, misalnya reaksi
idiosinkratik, yang meliputi klien bereaksi berlebihan, tidak bereaksi atau bereaksi tidak
normal terhadap obat. Contohnya, seorang anak yang menerima antihistamin menjadi
sangat gelisah atau sangat gembira, bukan mengantuk.
f.
Toleransi
Adalah reaksi yang terjadi ketika klien mengalami penurunan respon/tidak
berespon terhadap obat yang diberikan, dan membutuhkan penambahan dosis obat
untuk mencapai efek terapi yang diinginkan. Beberapa zat yang dapat menimbulkan
toleransi terhadap obat adalah nikotin, etil alkohol, opiat dan barbiturat.
g.
Reaksi Alergi
Adalah akibat dari respon imunologik terhadap medikasi. Tubuh menerima obat
sebagai benda asing, sehingga tubuh akan membentuk antibodi untuk melawan dan
mengeluarkan benda asing tersebut. Akibatnya akan menimbulkan gejala/reaksi alergi
yang dapat berkisar dari ringan sampai berat. Reaksi alergi yang ringan diantaranya
adalah gatal-gatal (urtikaria), pruritus atau rhinitis, dapat terjadi dalam hitungan menit
sampai dengan 2 minggu pada klien setelah mengkonsumsi obat. Reaksi pada kulit
(gatal-gatal, kemerahan, dan lesi) biasanya meningkat setelah klien menghentikan
medikasi terutama obat yang memiliki kegunaan yang sama dengan antihistamin.
Reaksi alergi yang parah dapat mengakibatkan gejala seperti sesak nafas
(wheezing, dispneu), angioedema pada lidah dan orofaring, hipotensi, dan takikardia
segera setelah pemberian obat. Reaksi ini disebut reaksi anafilaktik dan membutuhkan
tindakan medis segera karena dapat berakibat fatal. Tindakan yang dapat dilakukan
adalah menghentikan segera pemberian obat tersebut, segera berikan epinefrin, cairan
infus (normal saline), steroid dan antihistamin.
h. Toksisitas
Atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih atau
penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi.
Perhatian harus diberikan pada dosis dan tingkat toksik obat, dengan menevaluasi
fungsi ginjal dan hepar. Beberapa obat dapat langsung berefek toksik setelah diberikan,
namun obat lainnya tidak menimbulkan efek toksik apapun selama berhari-hari
lamanya.
Keracunan obat dapat mengakibatkan kerusakan pada fungsi organ. Hal yang
umum terjadi adalah nefrotoksisitas (ginjal), neurotoksisitas (otak), hepatotosisitas
(hepar), imunotoksisitas (sistem imun), dan kardiotoksisitas (jantung). Pengetahuan
tentang efek toksisitas obat akan membantu perawat untuk mendeteksi dini dan
mencegah kerusakan organ secara permanen pada klien.
BAB II
PENGGOLONGAN OBAT
A. PERIHAL OBAT
Tidak ada obat yang sempurna, tetapi jika ada obat baru yang sedang dikembangkan, kita
menginginkan obat tersebut akan menjadi yang terbaik. Untuk mendekati kesempurnaan, obat
harus memiliki sifat tertentu yang menjadikan sebuah obat ideal.
1.
Obat Ideal
a.
Efektif. Obat yang efektif adalah obat yang menimbulkan respon sesuai dengan
tujuannya diberikan. Efektivitas itu merupakan sifat yang penting dimiliki oleh
obat.
b. Aman.
Sebuah obat yang aman didefinisikan sebagai obat yang tidak dapat
menghasilkan efek berbahaya bahkan jika diberikan dalam dosis yang sangat
tinggi dan untuk waktu yang sangat lama. Semua obat memiliki kemampuan untuk
menyebabkan cedera, terutama dengan dosis tinggi dan penggunaan jangka
panjang. Kemungkinan menghasilkan efek samping dapat dikurangi dengan
pemilihan obat dan dosis yang tepat. Namun, risiko efek samping tidak pernah bisa
dihilangkan. Contoh: obat anti kanker (mis., cyclophosphamide, methotrexate),
pada dosis terapi biasa, selalu meningkatkan resiko infeksi yang serius; analgesik
opioid (mis., morfin, meperidin) pada dosis terapi yang tinggi, dapat menyebabkan
depresi pernapasan yang berpotensi fatal; Aspirin dan obat terkait, jika dikonsumsi
berkesinambungan dengan dosis terapi yang tinggi, dapat menyebabkan ulserasi
lambung yang mengancam jiwa, perforasi dan perdarahan.
c.
2.
Reversibel. Untuk sebagian besar obat, penting bahwa efeknya bersifat reversibel.
Artinya, secara umum, kita menginginkan tindakan obat mereda dalam jangka
waktu yang tepat. Tetapi untuk beberapa obat, sifat reversibel tidak diinginkan.
Contoh: efek kontrasepsi oral tidak menyebabkan seorang wanita menjadi steril
selamanya; tetapi efek toksik antibiotik terhadap mikroorganisme diharapkan
bertahan selamanya (mikroorganisme tidak resisten).
b. Dapat diprediksi. Akan sangat membantu jika sebelum pemberian obat, kita bisa
tahu dengan pasti bagaimana tubuh pasien yang diberikanobat akan merespon.
Sayangnya, karena setiap pasien unik, akurasi prediksi tidak dapat dijamin. Oleh
karena itu, dalam rangka untuk memaksimalkan peluang menimbulkan respon
yang diinginkan, kita harus menyesuaikan terapi untuk individu.
c.
Mudah dalam pemberian. Sebuah obat yang ideal harus sederhana untuk
dikelola. Rute tersebut harus nyaman dan jumlah dosis per hari harus rendah.
Biaya murah. Sebuah obat yang ideal akan mudah untuk dibeli. Biaya obat dapat
menjadi beban keuangan yang substansial. Secara umum, pengeluaran berlebihan
atau biaya yang mahal menjadi faktor yang signifikan ketika obat harus
dikonsumsi secara berkesinambungan. Contoh: obat-obatan hipertensi, artritis,
atau diabetes harus diminum setiap hari seumur hidup.
f.
Stabil
secara
kimia.
Beberapa
obat
kehilangan
efektivitasnya
selama
Memiliki nama generik yang simpel. Nama generik obat biasanya kompleks dan
karenanya sulit untuk diingat dan diucapkan. Sebagai aturan, nama dagang untuk
suatu obat jauh lebih sederhana daripada nama generiknya. Sebuah obat yang ideal
harus memiliki nama generik yang mudah untuk diingat dan diucapkan. Contoh:
acetaminophen (Tylenol), ciprofloxacin (Cipro), Simvastatin (Zocor).
Obat yang ada saat ini masih jauh dari ideal. Tidak ada obat yang memenuhi semua kriteria obat
ideal: tidak ada obat yang aman; semua obat menimbulkan efek samping; respons terhadap obat
sulit diprediksi dan mungkin berubah sesuai dengan hasil interaksi obat; dan banyak obat yang
mahal, tidak stabil, dan sulit diberikan.
3.
Tujuan Pengobatan
Memberikan manfaat maksimal dengan bahaya minimal. Namun, karena obat tidak ada
yang ideal, sebagai perawat kita harus melatih keterampilan dan kepedulian agar pengobatan
dapat memberikan akibat yang lebih baik daripada berbahaya.
B. PENGGOLONGAN OBAT
1.
Pengertian Obat
Obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan (Ansel, 1985).
Obat adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi (Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992).
Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/ 1993, obat (jadi) adalah sediaan atau paduanpaduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup,
maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang
dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud
pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa
penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit (Bagian Farmakologi,
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 1995).
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan
kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005).
Jika disimpulkan obat merupakan benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit,
membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh. Obat merupakan
senyawa kimia selain makanan yang bisa mempengaruhi organisme hidup, yang
pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis, menyembuhkan, mencegah suatu penyakit.
2.
maupun yang tidak berubah, yang digunakan dalam pengolahan obat walaupun tidak semua
bahan tersebut masih terdapat di dalam produk ruahan. Produk ruahan merupakan tiap bahan
yang telah selesai diolah dan tinggal memerlukan pengemasan untuk menjadi obat jadi.
3.
Penggolongan Obat
Penggolongan obat secara luas dibedakan berdasarkan beberapa hal, diantaranya :
a.
f.
g.
peningkatan keamanan dan ketetapan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri
dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek (obat keras yang dapat diperoleh tanpa
resep dokter di apotek, diserahkan oleh apoteker), obat keras, psikotropika dan narkotika.
Untuk obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter maka pada kemasan dan etiketnya tertera
tanda khusus.
a.
Obat bebas sering juga disebut OTC (Over The Counter) adalah obat yang
dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada
kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna
hitam. Contoh : Parasetamol, vitamin/multivitamin mis., Livron B pleks,
Sangobion.
Obat bebas ini dapat diperoleh di toko/warung, toko obat, dan apotik.
2) Obat Bebas Terbatas (Daftar W: Warschuwing)
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi
masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda
peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah
lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam, disertai tanda peringatan dalam
kemasannya.
Tanda peringatan diberi kotak dengan latar belakang berwarna hitam dengan
tulisan dengan warna putih. Berisi petunjuk yang wajib dibaca sebelum obat
digunakan.
Contoh obat : Anti histamin (CTM/ Chlorpheniramine Maleate), Anti mabuk
(Antimo), Antiinfluenza (Noza). Obat bebas terbatas dan obat bebas disebut juga
OTC (Over The Counter).
Obat bebas terbatas ini dapat diperoleh di toko obat, dan apotik tanpa resep
dokter.
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep
dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran
merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Anti nyeri (Asam Mefenamat),
semua obat antibiotik (ampisilin, tetrasiklin, sefalosporin, penisilin, dll), serta
obat-obatan yang mengandung hormon (obat diabetes, obat penenang, dll).
Obat keras ini dapat diperoleh di apotik, harus dengan resep dokter. Obatobat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan
meracuni tubuh, memperparah penyakit atau dapat mematikan.
4) Obat Psikotropika dan Narkotika (Daftar O)
a)
Obat-obat ini sama dengan narkoba yang kita kenal dapat menimbulkan
ketagihan dengan segala konsekuensi yang sudah kita tahu.
b) Karena
itu,
obat-obat
ini
mulai
dari
pembuatannya
sampai
Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal
1, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika), disertai dengan
timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam
perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi
(merangsang)bagi para pemakainya.
Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/ atau ilmu pengetahuan. Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk
tujuan ilmu pengetahuan. Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), psikotropika golongan I dinyatakan sebagai barang terlarang (Pasal 4,
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika).
Psikotropika terbagi dalam empat golongan yaitu:
-
Psikotropika golongan I
Psikotropika golongan II
Psikotropika golongan IV
Contoh: Ekstasi (gol.I), Shabu-shabu; Amfetamin (gol.II), Sedatin; Valium;
Diazepam (gol.IV).
Obat psikotropika ini dapat diperoleh di apotek, harus dengan resep dokter.
5) Narkotika
Gambar 7. Logo
Obat narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan (Pasal 1, Undang Undang Nomor 22 tahun
1997 tentang Narkotika). Sedangkan yang dimaksud ketergantungan narkotika
tersebut adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus
menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan
(Undang Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika).
Narkotika digolongkan menjadi 3 golongan :
Narkotika golongan I, narkotika yang digunakan untuk kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, dan dilarang diproduksi atau digunakan untuk
pengobatan.
Contohnya: tanaman
Papaver
Somniferum
L.
kecuali
bijinya, opium
mentah, opium masak, candu, jicing, jicingko, tanaman kokain, daun kokain,
kokain mentah, dll.
Narkotika golongan II, narkotika yang dapat digunakan untuk pengobatan
asalkan sudah memiliki ijin edar (nomor regitrasi).
Contohnya: Alfasetilmetadol, Alfameprodina, Alfametadol, Alfaprodina, dll
Narkotika golongan III, narkotika yang dapat digunakan untuk pengobatan
asalkan sudah memiliki ijin edar (nomor regitrasi).
Contohnya: Asetildihidrokodeina, Dekstropropoksifena, Dihidrokodeina, Etil
morfina, dll
Contoh macam-macam narkotika :
a)
Opiod (Opiat)
Bahan-bahan opioida yang sering disalahgunakan:
Morfin
Heroin (putaw)
Codein
Demerol (pethidina)
Methadone
b) Kokain
c)
Cannabis (ganja)
Obat narkotika ini dapat diperoleh di apotik, harus dengan resep dokter.
b.
c.
golongan :
1) Obat dalam yaitu obat obatan yang dikonsumsi peroral, masuk pada saluran
gastrointestinal. Contoh tablet antibiotik, antipiretik tablet, obat batuk sirup.
2) Obat luar yaitu obat obatan yang dipakai secara topikal/tubuh bagian luar.
Contoh krim, salep, tetes mata/ hidung/ telinga, suppositoria, dll.
d.
seperti :
1) Oral: obat yang dikonsumsi melalui mulut kedalam saluran cerna. Contoh
tablet, kapsul, serbuk, dll.
2) Sublingual: pemakaian obat dengan meletakkannya dibawah lidah, masuk ke
pembuluh darah, efeknya lebih cepat.
Contoh: obat hipertensi, tablet hisap, hormon-hormon.
3) Parenteral: obat yang disuntikkan melalui kulit ke aliran darah, baik secara
intravena, subkutan, intramuskular, intrakardial. Contoh: injeksi antibiotik,
injeksi vaksin, dll.
4) Perektal: obat yang dipakai melalui rektum, biasanya digunakan pada pasien
yang tidak bisa menelan, pingsan, atau menghendaki efek cepat dan terhindar
dari pengaruh pH lambung, FFE di hati, maupun enzim-enzim di dalam
tubuh. Contoh: diazepam rektal/ stesolid, mikrolax sup., dll
5) Langsung ke organ, contoh intrakardial.
6) Melalui selaput perut, contoh intra peritoneal.
e.
Rektal, pemberian obat melalui rectal atau dubur. Cara ini memiliki efek
sistemik lebih cepat dan lebih besar dibandingkan peroral dan baik
sekali digunakan untuk obat yang mudah dirusak asam lambung.
f)
Intra nasal, obat ini diberikan melalui selaput lendir hidung untuk
menciutkan selaput mukosa hidung yang membengkak, contohnya
Otrivin.
f.
Tumbuhan: obat dapat bersumber dari akar, batang, daun, dan biji
tanaman tertentu. Contohnya jamur (antibiotik), kina (kinin), digitalis
(glikosida jantung) dll.
dikenal obat yang berasal dari alam, yang biasa dikenal sebagai obat tradisional. Peraturan
Menteri Kesehatan RI No.179/MENKES/Per/VII/ 1976 menyatakan bahwa yang dimaksud
sebagai obat tradisional adalah: obat jadi atau obat terbungkus yang berasal dari alam, baik
tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahanbahan tersebut, yang belum mempunyai data klinis dan dipergunakan dalam usaha
pengobatan berdasarkan pengalaman.
Obat tradisional Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu obat
tradisional atau jamu dan fitofarmaka. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi,
telah diciptakan peralatan berteknologi tinggi yang membantu proses produksi sehingga
industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak. Namun,
sayang pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum diiringi dengan perkembangan
penelitian sampai dengan uji klinik. Saat ini obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3,
yaitu: jamu, obat ekstrak alam, dan fitofarmaka.
Obat Bahan Alam Indonesia menurut Surat Keputusan Kepala BPPOM RI
No.Hk.00.05.4.2411, Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan
Alam Indonesia tertanggal 2 Maret 2005 adalah obat bahan alam yang diproduksi di
Indonesia.
a.
Kategori A
Seperti yang diperlihatkan oleh berbagai penelitian yang adekuat dan terkontrol,
makanan dan obat dalam kategori ini tidak berisiko terhadap janin pada trimester
pertama. Selain itu, tidak tampak berisiko pada trimester kedua atau ketiga.
b. Kategori B
Penelitian pada hewan dapat memperlihatkan risiko, dapat juga tidak. Jika
risikonya terlihat pada hewan, tidak begitu halnya pada penelitian manusia. Jika
resikonya tidak terlihat pada hewan, maka tidak terdapat data yang mencukupi tentang
risiko pada wanita hamil.
c.
Kategori C
Efek merugikan terlihat pada hewan, namun belum tersedia cukup data tentang
efeknya pada wanita hamil. Pada situasi klinis tertentu, manfaat dari penggunaan obat
tersebut lebih tinggi dibandingkan kemungkinan risikonya.
d. Kategori D
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari penelitian klinis atau survey
pascapemasaran, terlihat risiko pada janin manusia. Pada situasi klinis tertentu, manfaat
dari penggunaan obat tersebut lebih tinggi dari kemungkinan risikonya.
e.
Kategori X
Risiko terhadap janin manusia telah didokumentasikan dengan jelas pada
penelitian terhadap manusia, hewan, atau survei pasca- pemasaran. Kemungkinan risiko
terhadap janin lebih tinggi dibandingkan potensi manfaatnya pada wanita hamil. Hindari
penggunaan selama kehamilan.
C. OBAT GENERIK
Obat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh pemerintah yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah akan obat. Jenis obat ini
mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang merupakan obat esensial untuk
penyakit tertentu. Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses
masyarakat terhadap obat. Kemudian pemerintah juga menerbitkan kebijakan kewajiban
penggunaan obat generik bagi institusi layanan medis pemerintah, melalui Permenkes nomor
HK.02.02/Menkes/068/I/2010.
1.
2.
3.
Obat generik tidak memerlukan biaya kemasan yang tinggi. Seperti kita ketahui bahwa
perbedaan antara obat bermerek dan obat generik hanya terdapat pada tampilan obat
yang lebih menawan dan kemasan yang lebih bagus sehingga terasa lebih istimewa.
Obat generik kemasannya dibuat biasa, karena yang terpenting bisa melindungi produk
yang ada di dalamnya.
4.
D. OBAT ESENSIAL
Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan,
mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia di
fasilitas kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya (Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 2500/Menkes/SK/XII/2011 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2011).
Kriteria Pemilihan Obat Esensial
Pemilihan obat esensial didasarkan atas kriteria berikut:
1.
Memiliki rasio manfaat - resiko (benefit - risk ratio) yang paling menguntungkan
penderita.
2.
3.
4.
Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga, sarana dan
fasilitas kesehatan.
5.
6.
Memiliki rasio manfaat - biaya (benefit - cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya
langsung dan tidak langsung.
7.
Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan
dijatuhkan pada:
8.
a.
b.
c.
d.
Mudah diperoleh;
e.
b.
Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi dari
pada masing - masing komponen;
c.
d.
Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat - biaya (benefit - cost ratio);
e.
BAB III
POSOLOGI
Aerosol
Adalah sediaan yang dikemas di bawah tekanan, mengandung zat aktif terapeutik yang
dilepas pada saat sistem katup yang sesuai ditekan. Sediaan ini digunakan untuk pemakaian
topikal pada kulit dan juga untuk pemakaian lokal pada hidung (aerosol nasal), mulut
(aerosol lingual) atau paru - paru (aerosol inhalasi).
2.
Inhalasi
Adalah sediaan obat atau larutan atau suspensi terdiri atas satu atau lebih bahan obat
yang diberikan melalui saluran napas hidung atau mulut untuk memperoleh efek lokal atau
sistemik.
3.
Pulvis (Serbuk)
Merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, ditujukan
Pulveres
Merupakan serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih kurang sama, dibungkus
Tablet (Compressi)
Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih
atau sirkuler kedua permukaan rata atau cembung mengandung satu jenis obat atau lebih
dengan atau tanpa bahan tambahan. Macam tablet yaitu:
a.
Tablet kempa, paling banyak digunakan, ukuran dapat bervariasi, bentuk serta
penandaannya tergantung desain cetakan.
b.
Tablet cetak, dibuat dengan memberikan tekanan rendah pada massa lembab
dalam lubang cetakan.
c.
Tablet trikurat, tablet kempa atau cetak bentuk kecil umumnya silindris. Tetapi
tablet untuk jenis ini sudah jarang ditemukan.
d.
Tablet hipodermik, dibuat dari bahan yang mudah larut atau melarut sempurna
dalam air. Dulu untuk membuat sediaan injeksi hipodermik, sekarang diberikan
secara oral.
e.
f.
g.
Tablet efervescen, tablet larut dalam air. Harus dikemas dalam wadah tertutup
rapat atau kemasan tahan lembab. Pada etiket tertulis tidak untuk langsung
ditelan.
h.
6.
Pilulae (PIL)
Merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kecil mengandung bahan obat dan
dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini sudah jarang ditemukan karena tergusur tablet
dan kapsul. Masih banyak ditemukan pada seduhan jamu.
7.
Kapsulae (Kapsul)
Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang
b.
c.
d.
dapat digunakan untuk 2 sediaan yang tidak tercampur secara fisis (income fisis),
dengan pemisahan antara lain menggunakan kapsul lain yang lebih kecil kemudian
dimasukkan bersama serbuk lain ke dalam kapsul yang lebih besar;
e.
8.
mudah ditelan.
Lozenges
Lebih dikenal sebagai tablet hisap, adalah sediaan padat yang mengandung satu atau
lebih bahan obat, umumnya dengan bahan dasar beraroma dan manis, yang dapat membuat
tablet melarut atau hancur perlahan dalam mulut.
9.
Solutiones (Larutan)
Merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat larut.
Biasanya dilarutkan dalam air karena bahan-bahannya, cara peracikan atau penggunaannya
tidak dimasukkan dalam golongan produk lainnya. Dapat juga dikatakan sediaan cair yang
mengandung satu atau lebih zat kimia yang larut, misalnya terdispersi secara molekuler
dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur.
Terbagi atas:
a.
Larutan oral, adalah sediaan cair yang dimaksudkan untuk pemberian oral.
Termasuk ke dalam larutan oral ini adalah:
1) Sirup, Larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain kadar tinggi.
2) Elixir, adalah larutan oral yang mengandung etanol sebagai pelarut.
b.
Larutan topikal, adalah sediaan cair yang dimaksudkan untuk penggunaan topikal
c.
d.
e.
telinga.
Larutan optalmik, adalah sediaan cair yang digunakan pada mata.
Spirit, adalah larutan mengandung etanol atau hidro alkohol dari zat yang mudah
f.
10. Suspensi
Merupakan sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut terdispersi dalam
fase cair. Jenis suspensi antara lain: suspensi oral (juga termasuk susu/magma), suspensi
topikal (penggunaan pada kulit), suspensi tetes telinga (telinga bagian luar), suspensi
optalmik, suspensi sirup kering.
11. Emulsi
Merupakan sediaan berupa campuran dari dua fase cairan dalam sistem dispersi, fase
cairan yang satu terdispersi sangat halus dan merata dalam fase cairan lainnya, umumnya
distabilkan oleh zat pengemulsi.
12. Krim
Adalah sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau
terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.
13. Gel (Jeli)
Adalah sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang
kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan.
14. Pasta
Adalah sediaan semi padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang ditujukan
untuk pemakaian topikal.
15. Transdermal patch, Plester
Adalah bahan yang digunakan untuk pemakaian luar terbuat dari bahan yang dapat
melekat pada kulit dan menempel pada pembalut.
16. Galenik
Merupakan sediaan yang dibuat dari bahan baku yang berasal dari hewan atau
tumbuhan yang disari.
17. Extractum
Merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat dari simplisia nabati
atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga
memenuhi baku yang ditetapkan.
18. Infusa
Merupakan sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air
pada suhu 90 0C selama 15 menit.
19. Immunosera (Imunoserum)
Merupakan sediaan yang mengandung imunoglobin khas yang diperoleh dari serum
hewan dengan pemurnian. Berkhasiat menetralkan toksin kuman (bisa ular) dan mengikat
kuman/virus/antigen.
20. Unguenta (Salep)
Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau
selaput lendir. Dapat juga dikatakan sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan
digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar
salep yang cocok.
21. Suppositoria
Merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui
rektal, vagina atau uretra, umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. Tujuan
pengobatan yaitu:
a.
b.
penggunaan sistemik, aminofilin dan teofilin untuk asma, chlorprozamin untuk anti
muntah, chloral hidrat untuk sedatif dan hipnotif, aspirin untuk analgenik
antipiretik.
pencetakan. Implan atau pelet dimaksudkan untuk ditanam di dalam tubuh (biasanya secara
sub kutan) dengan tujuan untuk memperoleh pelepasan obat secara berkesinambungan dalam
jangka waktu lama.
24. Injectiones (Injeksi)
Istilah injeksi termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara parentral, termasuk
infus. Injeksi dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi. Apabila obatnya tidak stabil dalam
cairan, maka dibuat dalam bentuk kering. Bila akan digunakan sediaan obat kering
ditambahkan aqua steril untuk memperoleh larutan atau suspensi injeksi.
Cara penggunaan obat injeksi adalah dengan merobek jaringan ke dalam kulit atau
melalui kulit atau selaput lendir. Tujuannya yaitu kerja obat cepat serta dapat diberikan pada
pasien yang tidak dapat menerima pengobatan melalui mulut.
25. Irigasi
Larutan steril yang digunakan untuk mencuci atau membersihkan luka terbuka atau
rongga - rongga tubuh, penggunaan adalah secara topikal.
Tabel 3. Penggunaan Bentuk Sediaan
Cara Pemberian
Oral
Sublingual
Parentral
Larutan, suspensi
Epikutan/transdermal
latio,
tempelan
solutio
Salep
Intraokular/intraaural
Larutan, suspensi
Intranasal
Intrarespiratori
Aerosol
Rektal
Vaginal
Uretral
Oral
Obat yang cara penggunaannya masuk melalui mulut. Keuntungannya relatif aman,
praktis, ekonomis. Kerugiannya timbul efek lambat; tidak bermanfaat untuk pasien yang
sering muntah, diare, tidak sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif dan rasa tidak enak
penggunaannya terbatas; obat yang inaktif/terurai oleh cairan lambung/ usus tidak bermanfaat
(penisilin G, insulin); obat absorpsi tidak teratur.
Untuk tujuan terapi serta efek sistematik yang dikehendaki, penggunaan oral adalah
yang paling menyenangkan dan murah, serta umumnya paling aman. Hanya beberapa obat
yang mengalami perusakan oleh cairan lambung atau usus. Pada keadaan pasien muntahmuntah, koma, atau dikehendaki onset yang cepat, pemberian obat melalui oral tidak dapat
dilakukan.
Pemberian obat secara oral dapat dilakukan melalui mulut dan langsung ditelan oleh
klien, obat diletakkan dibawah lidah (sublingual) atau diletakkan di pipi bagian dalam
(buccal) serta ditunggu sampai obat tersebut larut. Pemberian obat secara oral juga dapat
dilakukan melalui selang nasogastrik (NGT).
Pemberian obat melalui oral atau mulut memang merupakan cara termudah dan paling
sederhana. Cara tersebut meminimalkan ketidaknyamanan pada klien dan dengan efek
samping yang paling kecil, serta paling murah dibandingkan dengan cara pemberian yang
lain.
Bila klien tidak dapat menelan air atau cairan lain atau merasa mual dan muntah,
pemberian obat per oral segera dihentikan dan obat diberikan dengan cara lainnya. Jika klien
dipuasakan (NPO Nothing Per Oral) sebelum dilakukan pembedahan, tim medis dapat
memilih obat oral yang dapat diberikan dengan air yang terbatas. Atau obat per oral dapat
ditunda pemberiannya atau diberikan dengan cara yang lain bila klien baru saja selesai
mengalami pembedahan. Hal tersebut dilakukan sampai fungsi saluran pencernaan klien
kembali normal.
Bila klien dilakukan gastric suction atau terpasang NGT dengan tujuan bilas lambung,
pemberian obat per oral dihentikan dan diberikan dengan cara yang lain. Namun, beberapa
dokter kadang tetap menginstruksikan pemberian obat melalui NGT dengan menghentikan
sementara proses bilas lambung, caranya adalah dengan menutup selang NGT minimal
selama 30 menit setelah diberikan obat melalui NGT.
2.
Sublingual
Cara penggunaannya, obat ditaruh di bawah lidah. Dengan cara ini, aksi kerja obat lebih
cepat yaitu setelah hancur di bawah lidah maka obat segera mengalami absorbsi ke dalam
pembuluh darah. Tujuannya agar efek obat lebih cepat karena pembuluh darah bawah lidah
merupakan pusat sakit. Misalnya pada kasus pasien jantung yang mengalami nyeri dada
akibat angina pectoris. Obat yang sering diberikan dengan cara ini adalah nitrogliserin yaitu
obat vasodilator yang mempunyai efek vasodilatasi pembuluh darah. Keuntungan cara ini
obat cepat diabsorpsi serta kerusakan obat di saluran cerna dan metabolisme di dinding usus
dan hati dapat dihindari (tidak melalui vena porta). Selain itu cara ini juga mudah dilakukan
dan pasien tidak mengalami kesakitan.
Jika obat diberikan pada pada pasien dengan cara sublingual, pasien diinformasikan
untuk tidak menelan obat. Bila ditelan, obat menjadi tidak aktif oleh adanya proses kimiawi
dengan cairan lambung. Untuk mencegah obat tidak ditelan, maka pasien diberitahu untuk
membiarkan obat tetap di bawah lidah sampai obat menjadi hancur dan terserap. obat
bereaksi dalam satu menit dan pasien dapat merasakan efeknya dalam waktu tiga menit.
3.
Inhalasi
Penggunaannya dengan cara disemprot ke mulut, diinhalasi melalui mesin ventilator,
inhaler-nebulizer atau inhaler sekali pakai. Misalnya obat bronkodilator. Obat untuk inhalasi
dalam bentuk cair dimasukkan kedalam mesin ventilator atau nebulizer dan kemudian akan
dirubah menjadi partikel-partikel gas yang dapat dihirup melalui hidung dan mulut.
Keuntungannya yaitu absorpsi terjadi cepat dan homogen, kadar obat dapat dikontrol,
terhindar dari efek lintas pertama, dapat diberikan langsung pada bronkus. Kerugiannya
yaitu, diperlukan alat dan metoda khusus, sukar mengatur dosis, sering mengiritasi epitel
paru-sekresi saluran nafas, toksisitas pada jantung. Dalam inhalasi, obat dalam keadaan gas
atau uap yang akan diabsorpsi sangat cepat melalui alveoli paru-paru dan membran mukosa
pada perjalanan pernafasan.
4.
serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat diberikan per-rektal bila pemberian obat secara oral
sulit/tidak dapat dilakukan karena iritasi lambung, terurai di lambung, terjadi efek lintas
Parenteral
Digunakan tanpa melalui mulut, atau dapat dikatakan obat dimasukkan ke dalam tubuh
selain melalui saluran cerna. Tujuannya tanpa melalui saluran pencernaan dan langsung ke
pembuluh darah. Efeknya cepat dan langsung sampai pada sasaran.
Keuntungannya yaitu dapat untuk pasien yang tidak sadar, sering muntah, diare, yang
sulit menelan/pasien yang tidak kooperatif; dapat untuk obat yang mengiritasi lambung;
dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna dan hati; bekerja cepat dan dosis
ekonomis. Kelemahannya yaitu kurang aman, tidak disukai pasien (nyeri), berbahaya (bekas
tempat suntikan dapat beresiko infeksi).
Pemberian obat melalui parenteral berarti pemberian obat melalui injeksi atau infus.
Dapat diberikan secara intradermal (ID), subkutaneus (SC), intramuskular (IM) / jaringan
intralesional, intravena (IV)/sirkulasi intra-arterial, intraspinal atau melalui ruang intraartikular.
Obat yang diberikan secara parenteral akan diabsorpsi lebih banyak dan bereaksi lebih
cepat daripada obat yang diberikan secara topical atau oral. Pemberian obat parenteral dapat
menyebabkan resiko infeksi bila perawat tidak memperhatikan dan melakukan teknik aseptik
dan antiseptik pada saat pemberian obat. Karena pada pemberian parenteral, obat
diinjeksikan melalui kulit, menembus sistem pertahanan kulit. Komplikasi yang sering terjadi
adalah bila pH, osmolalitas dan kepekatan cairan obat yang diijeksikan tidak sesuai dengan
kondisi tempat penusukkan, serta dapat mengakibatkan merusakan jaringan sekitar tempat
insersi/injeksi. Peralatan yang khusus diperlukan untuk menunjang pemberian obat
parenteral, sehingga membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan pemberian obat
dengan cara yang lain.
a.
b.
c.
d.
Gambar 13. Lokasi penyuntikan intravena/IV (sumber: Kee & Hayes, 1996)
6.
Topikal/lokal
Pemberian obat secara topikal adalah pemberian obat dengan cara mengoleskan obat
pada permukaan kulit atau membran mukosa, dapat pula dilakukan melalui lubang yang
terdapat pada tubuh.
C. DOSIS OBAT
1.
PENGERTIAN DOSIS
DOSIS :
Sejumlah obat yang diberikan satu kali atau selama jangka waktu tertentu.
Dosis adalah takaran obat yang menimbulkan efek farmakologi (khasiat) yang
tepat dan aman bila dikonsumsi oleh pasien.
Dosis terapi adalah dosis yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat
menyembuhkan pasien.
f.
DOSIS MINIMUM
Dosis minimum adalah takaran dosis terendah yang masih dapat memberikan efek
farmakologis (khasiat) kepada pasien apabila dikonsumsi.
g.
DOSIS MAKSIMUM
Dosis maksimum adalah takaran dosis tertinggi yang masih boleh diberikan
kepada pasien dan tidak menimbulkan keracunan.
Dosis letalis adalah takaran obat yang apabila diberikan dalam keadaan biasa dapat
menimbulkan kematian pada pasien.
2.
obat. Namun tidak semua obat bersifat betul-betul menyembuhkan penyakit, banyak
diantaranya hanya meniadakan atau meringankan gejalanya. Oleh karena itu, terapi obat
dapat dibedakan dalam tiga jenis pengobatan, yaitu:
(1) Terapi Kausal, dimana penyebab penyakit ditiadakan, khususnya pemusnahan
mikroorganisme yang merugikan. Contoh: obat kemoterapeutika (antibiotik,
fungisida, obat-obat malaria, dan sebagainya).
(2) Terapi Simptomatis, hanya gejala penyakit yang diobati dan diringankan, misalnya
kerusakan pada suatu organ atau saraf. Contohnya: analgetik pada rematik, obat
hipertensi dan obat jantung.
(3) Terapi Substitusi, obat pengganti zat yang lazim dibuat oleh organ yang sakit.
Misalnya insulin pada penderita diabetes.
3.
Faktor Obat
1) Sifat Fisika: daya larut obat dalam air/lemak, kristal/amorf, dsb.
2) Sifat Kimiawi: asam, basa, garam, ester, garam kompleks, pH, pKa.
3) Toksisitas: dosis obat berbanding terbalik dgn toksisitasnya.
Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan jumlah
jaringan tubuh tempat obat didistribusikan.
Semakin kecil berat badan klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam
jaringan tubuhnya, dan efek obat yang dihasilkan makin kuat.
3) Jenis Kelamin
-
4) Ras
5) Toleransi
Kemampuan klien untuk berespon terhadap dosis tertentu dari suatu obat
dapat hilang setelah beberapa hari atau minggu setelah pemberian.
Kombinasi obat-obatan dapat diberikan untuk mengurangi atau menunda
terjadinya toleransi obat.
6) Sensitivitas
7) Keadaan Patofisiologi
Kerusakan/gangguan pada hepar, ginjal, jantung, sirkulasi dan kelainan pada
gastrointestinal mempengaruhi respon terhadap obat.
8) Kehamilan dan Laktasi
9) Perbedaan Genetik
-
Sebuah obat dapat digunakan untuk mengatasi rasa tidak aman, pada situasi
ini, klien bergantung pada obat sebagai media koping dalam kehidupan.
Sebaliknya jika klien kesal terhadap kondisi fisik mereka, rasa marah dan
sikap bermusuhan dapat menimbulkan reaksi yang diinginkan terhadap obat.
Obat seringkali memberi rasa aman. Penggunaan secara teratur obat tanpa
resep atau obat yang dijual bebas, misalnya vitamin, laksatif dll.
11) Diet
-
Interaksi obat dan nutrient dapat mengubah kerja obat atau efek nutrient.
Contoh, vitamin K (terkandung dalam sayuran hijau berdaun), merupakan
nutrient yang melawan efek warfarin natrium (Coumadin), mengurangi
efeknya pada mekanisme pembekuan darah. Minyak mineral menurunkan
absorpsi vitamin larut lemak.
12) Lingkungan
-
Klien yang dirawat di ruang isolasi dan diberi obat analgesik memperoleh
efek pereda nyeri lebih kecil dibanding klien yang dirawat di ruang biasa.
4.
Efek obat dan kaitannya dengan dosis tergantung dari banyak faktor, antara lain usia,
bobot badan, kelamin, luas permukaan tubuh, berat penyakit dan keadaan daya tahan
tubuh. Respon tubuh anak dan dewasa terhadap obat berbeda karena faktor-faktor
endogen dan eksogen. Parameter-parameter perbedaan anak dan dewasa adalah :
KO
1,73 M2
DA
= dosis anak
DD
= dosis dewasa
KO
Berdasarkan Usia
(1) YOUNG
DA =
n
n + 12
(2) COWLING
DA = n
20
x DD (mg)
(4) FRIED
DA = m x DD (mg)
150
Ket:
DA = Dosis anak
DD = Dosis dewasa
n
= umur dalam tahun
x B
T
Keterangan:
X = jumlah/volume yang harus diberikan
D = dosis/konsentrasi yang diinginkan (atas perintah dokter)
T = dosis/konsentrasi sediaan yang ada (tersedia pada kemasan obat)
B = bentuk sediaan obat/volume dosis tersedia/jumlah diminta
Rumus ini dapat digunakan untuk menghitung
sediaan tablet/kapsul, injeksi ampul/vial, ,
larutan/sirup dll.
Contoh perhitungan dosis obat dengan rumus di atas sebagai berikut:
Soal
1) Berapa banyak tablet furosemide 40 mg harus diberikan untuk memperoleh
dosis 10 mg?
2) Tersedia ampul atropine 0.6 mg/ml. Berapa banyak harus diberikan untuk
memperoleh dosis 900 mcg?
3) Berapa banyak Savlon Concentrate (100%) dibutuhkan untuk membuat 600
ml larutan 5%?
Jawab
1) Gunakan rumus
X =
T
X = jumlah obat
D = dosis yang diinginkan
T = dosis yang tersedia
B = bentuk sediaan
Diketahui: D = 10 mg; T = 40 mg; B = 1 (tablet)
Jawab: X = 10 x 1
40
X = tablet
2) Gunakan rumus
X =
T
X = volume obat
D = dosis yang diinginkan
T = dosis yang tersedia
B = bentuk sediaan
Diketahui: D = 900 mcg; T = 0.6 mg/mL; B = 1 ampul
Konversi satuan: 1 mg = 1000 mcg (microgram)
0.6 mg = 600 mcg
Jawab: X = 900 x 1 = 1.5 mL
600
3) Gunakan rumus X =
T
X = kuantitas obat
D = konsentrasi yang diinginkan
T = konsentrasi yang tersedia
B = jumlah diminta
Diketahui: D = 5%; T = 100%; B = 600 mL
Jawab: X =
c.
5%
100%
x 600 = 30 mL
Rumus :
Tetes/menit
= VO X k
W X 60
Ket:
VO = volume yang harus diberikan
k = faktor tetesan (tetes/ml infus set)
W = waktu pemberian yang diinginkan
faktor
tetes
1.389
mL/m
83.34 83 tts/mnt
60
tts/mL
(2) Hitung terlebih dahulu dosis KCl yang harus diinjeksikan ke dalam plabot!
(a) Tersedia dosis KCl: 20 mEq/20 mL vial. Perintah pemberian 10 mEq
KCl.
Dengan rumus perbandingan X = D x B
10 mEq x 20 mL
T
20 mEq
= 10 mL KCl diinjeksikan dalam plabot
(b) Bila menggunakan perangkat makrodrip maka laju aliran IV adalah:
VO X k = 1000 mL X 15 tts/mL
= 25 tts/mnt
W X 60
10 jam X 60
Bila menggunakan perangkat mikrodrip maka laju aliran IV adlh:
1000 mL X 60 tts/mL = 100 tts/mnt
10 jam X 60
2.
Rumus : Tetes/menit =
DO X k
Konsentrasi obat (kandungan/mL)
Keterangan:
DO = dosis obat yang harus diberikan
k
d. Pengenceran
Rumus yang umum digunakan :
P1 . V1 = P2 . V2 atau V1 . M1 = V2 . M2 = Persen
Ket :
V = Volume
e.
M = Molaritas
Persen b/b (bobot per bobot), berarti jumlah gram zat terlarut dalam 100gram
larutan
Persen b/v (bobot per volume), berarti jumlah gram zat terlarut dalam 100ml
larutan
Persen v/v (volume per volume), berarti jumlah ml zat terlarut dalam 100ml
larutan, dan
Persen v/b (volume per bobot), berarti jumlah ml zat terlarut dalam 100 gram
larutan.
BAB IV
EFEK SAMPING OBAT
A. Masalah dan Kejadian Efek Samping Obat
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti
halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara
molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek
farmakologik terjadi secara ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem
biologik tubuh.
Pengertian efek samping dalam pembahasan ini adalah setiap efek yang tidak dikehendaki
yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek
samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah
seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui.
Beberapa contoh efek samping misalnya:
1.
2.
3.
4.
5.
fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan
(efek teratogenik), dsb.
Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena
kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya:
1.
Kegagalan pengobatan,
2.
timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau
iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien,
3.
4.
efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih
lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat, dll.
Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal,
kecuali bila yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis.
Golongan umur yang terbanyak mengalami efek samping adalah orang tua. Kelompok ini
umumnya menerima jenis obat cukup banyak, sedangkan respons farmakokinetik dan
farmakodinamik tidak sama.
2.
1.
disebabkan karena dosis relative yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan.
Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar atau karena
adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu,
misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan
sirkulasi darah, usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim,
menjadi relatif terlalu besar pada pasien-pasien tertentu. Selain itu efek ini juga bisa
terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat yang
diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar.
Efek samping jenis ini umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia
susunan
saraf
pusat,
obat-obat
pemacu
jantung,
antihipertensi
dan
Hipotensi yang terjadi pada stroke, infark miokard atau kegagalan ginjal pada
pasien yang menerima obat antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi.
Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi.
Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan dengan
warfarin, karena secara bersamaan juga minum aspirin.
Semua pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis
yang terlalu tinggi ini, dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi
(penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut). Selain itu
riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu
diperhatikan.
b. Gejala penghentian obat
Gejala penghentian obat (gejala putus obat/withdrawal syndrome) adalah
munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek
farmakologik obat, karena penghentian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai
misalnya:
Agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin
terjadi pada penghentian pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat
seperti barbiturat, benzodiazepin dan alkohol,
pada tingkat reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik
obat, sehingga umumnya pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar
(sebagai contoh berkurangnya respons penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin,
sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat
dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan
penurunan dosis secara berangsur-angsur atau dengan menggantikan dengan obat
sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala putus obat
yang lebih ringan.
c.
Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah pada obatobat kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin, rifampisin,
dll.
Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan
pada wanita hamil.
2.
Reaksi alergi
Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering
terjadi, dan terjadi akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan
sebelumnya, seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadi hanya pada
sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi
dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa
syok anafilaksi yang bisa fatal.
Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:
1) gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya,
2) seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan
timbulnya efek,
3) reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat
kecil obat,
4) reaksi hilang bila obat dihentikan,
5) keluhan/gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya
rash (ruam) di kulit, serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dll.
Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya alergi, yakni:
1) Tipe I. Reaksi anafilaksis: yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel
mast dan leukosit basofil dengan obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan
mediator yang menyebabkan reaksi alergi, misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi
triptamin, dll. Manifestasi efek samping bisa berupa urtikaria, rinitis, asma
bronkial, angio-edema dan syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek
samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah
penisilin, streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung yodium.
2) Tipe II. Reaksi sitotoksik: yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam
sirkulasi dengan obat, membentuk kompleks yang akan menyebabkan lisis sel,
Demam.
Umumnya demam dalam derajad yang tidak terlalu berat, dan akan hilang
dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari.
Gangguan pernafasan:
Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena
aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan
besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau antiinflamasi lain.
mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan
pada pelayanan kesehatan rutin). Sebagai contoh misalnya:
Pasien
yang
mempunyai
kekurangan
enzim
G6PD
(glukosa-6-fosfat
neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat,
sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi pada
asetilator lambat.
Pemeriksaan untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok
asetilator cepat atau lambat sampai saat ini belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin
dalam pelayanan kesehatan, namun sebenarnya prosedur pemeriksaannya tidak sulit,
dan dapat dilakukan di Laboratorium Farmakologi Klinik.
c.
Reaksi idiosinkratik
Istilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping
yang tidak lazim, tidak diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau
diperkirakan mengapa bisa terjadi. Untungnya reaksi idiosinkratik ini relatif sangat
jarang terjadi. Beberapa contoh misalnya:
Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa
pemberian progestogen
sama sekali.
Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang pernah
menjalani perawatan
3.
iodium-radioaktif sebelumnya.
yang dapat mendorong terjadinya efek samping obat. Faktor-faktor tersebut ternyata
meliputi:
a.
1) Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk
alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.
2) Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya
pencemaran oleh antibiotika.
b. Faktor obat
1) Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.
2) Pemilihan obat.
3) Cara penggunaan obat.
4) Interaksi antar obat.
4.
Pemakaian dalam pengobatan harus selalu diikuti dengan studi-studi maupun cara-cara
tertentu untuk menjaring setiap kemungkinan kejadian efek samping. Cara-cara ini terutama
digunakan untuk mencari efek samping yang jarang namun bisa fatal, yang hanya dapat
dideteksi dari populasi pemakai obat yang lebih besar.
Berbagai cara/studi tersebut antara lain adalah:
Penelitian kohort:
Pengamatan dilakukan secara terus menerus terhadap sekelompok pasien yang sedang
menjalani pengobatan, untuk mengevaluasi efek samping yang mungkin terjadi setelah
pemaparan terhadap obat.
Penelitian 'case-control':
Merupakan penelitian retrospektif untuk mengetahui besarnya faktor resiko paparan
pemakaian obat dengan kejadian efek samping obat. Dalam penelitian ini individuindividu dengan efek samping tertentu yang diteliti, dan individu-individu dari
kelompok kontrol, dibandingkan secara retrospektif riwayat penggunaan obat yang
dicurigai.
Masing-masing cara mempunyai keunggulan dan kelemahan, namun hasil dari berbagai
Masing-masing obat mempunyai keunggulan dan kekurangan masing-masing, baik dari segi
manfaat maupun kemungkinan efek sampingnya.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, jangan terlalu terpaku pada obat baru, di mana
efek-efek samping yang jarang namun fatal kemungkinan besar belum ditemukan. Sangat
bermanfaat untuk selalu mengikuti evaluasi/penelaahan mengenai manfaat dan risiko obat,
dari berbagai pustaka standard maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah.
Selain itu penguasaan terhadap efek samping yang paling sering dijumpai atau paling
dikenal dari suatu obat akan sangat bermanfaat dalam melakukan evaluasi pengobatan.
a.
Upaya pencegahan
Agar kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin, selalu dianjurkan
untuk melakukan hal-hal berikut:
1) Selalu harus ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada
waktu-waktu sebelum pemeriksaan, baik obat yang diperoleh melalui resep dokter
maupun dari pengobatan sendiri.
2) Gunakan obat hanya bila ada indikasi jelas, dan bila tidak ada alternatif nonfarmakoterapi.
3) Hindari pengobatan dengan berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus.
4) Berikan perhatian khusus terhadap dosis dan respons pengobatan pada: anak dan
bayi, usia lanjut, dan pasien-pasien yang juga menderita gangguan ginjal, hepar
dan jantung. Pada bayi dan anak, gejala dini efek samping seringkali sulit dideteksi
karena
kurangnya
kemampuan
komunikasi,
misalnya
untuk
gangguan
pendengaran.
5) Perlu ditelaah terus apakah pengobatan harus diteruskan, dan segera hentikan obat
bila dirasa tidak perlu lagi.
6) Bila dalam pengobatan ditemukan keluhan atau gejala penyakit baru, atau
penyakitnya memberat, selalu ditelaah lebih dahulu, apakah perubahan tersebut
karena perjalanan penyakit, komplikasi, kondisi pasien memburuk, atau justru
karena efek samping obat.
b. Penanganan efek samping
Tidak banyak buku-buku yang memuat pedoman penanganan efek samping obat,
namun dengan melihat jenis efek samping yang timbul serta kemungkinan mekanisme
terjadinya, pedoman sederhana dapat direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut ini:
1) Segera hentikan semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping.
Telaah bentuk dan kemungkinan mekanismenya. Bila efek samping dicurigai
sebagai akibat efek farmakologi yang terlalu besar, maka setelah gejala
menghilang dan kondisi pasien pulih pengobatan dapat dimulai lagi secara hatihati, dimulai dengan dosis kecil. Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi alergi
atau idiosinkratik, obat harus diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh
dipakai lagi. Biasanya reaksi alergi/idiosinkratik akan lebih berat dan fatal pada
kontak berikutnya terhadap obat penyebab. Bila sebelumnya digunakan berbagai
jenis obat, dan belum pasti obat yang mana penyebabnya, maka pengobatan
dimulai lagi secara satu-persatu.
2) Upaya penanganan klinik tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita.
Pada bentuk-bentuk efek samping tertentu diperlukan penanganan dan pengobatan
yang spesifik. Misalnya untuk syok anafilaksi diperlukan pemberian adrenalin dan
obat serta tindakan lain untuk mengatasi syok. Contoh lain misalnya pada keadaan
alergi, diperlukan penghentian obat yang dicurigai, pemberian antihistamin atau
kortikosteroid (bila diperlukan), dll.
Golongan
Antasida
Zat Aktif
(Nama Generik)
Aluminuim Hidroksida
Antasida DOEN
Kode
ICOPIM
7-300
7-309
Magnesium Karbonat
7-301
Magnesium Trisilikat
7-303
Magnesium Hidrotalsit
7-302
Natrium Bikarbonat
2.
Antagonis
Reseptor H2
Cimetidin
Fomatidin
Nizatidin
Ranitidin
3.
Antimuskarinik
yang Selektif
Pirenzepin
4.
Khelator
Senyawa
Kompleks
Trikalium
Disitratobismutat
Sukralfat
5.
Analog
Prostaglandin
dan
Misoprostol
7-308
Brand Name
Dexanta
Promag
Waisan
Simeco
Saclon
Neoglumin
Neomag
Homag
Sanmag
Talsit
Waisan Forte
Antimaag
Sanmetidin
Tagamet
Ulsikur
Facid
Famocid
Gaster
Axid
Graseric
Radin
Rantin
Gastrozepin
Pirenzepin
De-Nol
Inpepsa
Ulcron
Ulcumaag
Cytotec
6.
Penghambat
Pompa Proton
Omeprazole
Lansoprazol
Pantoprazol
Lambuzol
Loklor
Losec
Betalans
Laz
Prosogan
Pantozol
B. Antispasmodik
Antispasmodik merupakan dolongan obat yang memiliki sifat sebagai relaksan otot polos.
Termasuk dalam kelas ini adalah senyawa yang memiliki efek antikolinergik (lebih tepatnya
antimuskarinik) dan antagonis reseptor-dopamin tertentu.
Golongan dari Antipasmodik adalah sebagai berikut:
No
Golongan
1.
Antimuskarinik
2.
Antispasmodik lain
3.
Stimulan Motilitas
Zat Aktif
(Nama Generic)
Kode
ICOPIM
Atropin Sulfat
7-110
Ekstrak Beladona
Hiosin Butilbromida
7-110
7-111
Propantelin Bromida
Mebeverin
Hidroklorida
Cisaprid
Brand Name
7-112
Buskopan
Buskopan Plus
Gitas
ProBanthine
7-511
Duspatalin
C. Antidiare
Golongan dari Antidiare adalah sebagai berikut:
No
Golongan
Zat Aktif
(Nama Generic)
1.
Oralit
Oralit
2.
Kaolin, ringan
Attapulgit
Kode
ICOPIM
7-351
Karbo Absorben
3.
Antimotilitas
Codein
Co-Fenotrop
Brand Name
Alphatrolit
Aqualyte
Bioralit
Neo Diaform
Neo Kaolana
Neo Entrostop
Neo Koniform
Tapulrae
Karbo Absorben
Norit
Lomotil
6-502
4.
Pengobatan
Kronis
Diare
Loperamid
Hidroklorida
7-352
Morfin
6-501
Sulfasalazin
6-105
Kolesteramin
Hidrokortison
Imomed
Lodia
Lomodium
Sulcolon
Questran
6-200
D. Pencahar
Pencahar adalah obat yang digunakan untuk memudahkan pelintasan dan pengeluaran tinja
dari kolon dan rektum. Pencahar umumnya harus dihindari, kecuali bila ketegangan akan
memperparah suatu kondisi (seperti pada angina) atau meningkatkan resiko pendarahan rektal
(seperti pada hemoroid). Pencahar juga bermanfaat pada konstipasi kerena obat, untuk
pengeluaran parasit setelah pemberian antelmenti, serta untuk membersihkan saluran cerna
sebelum pembedahan dan prosedur radiologi. Penyelahgunaan pencahar dapat menyebabkan
hipokalemia dan atonia kolon sehingga tidak berfungsi.
Golongan dari Pencahar adalah sebagai berikut:
No
Golongan
Zat Aktif
(Nama Generic)
Kode
ICOPIM
Brand Name
Metamucil
Mucofalk
Mulax
Dulcolax
Laxamex
Melaxan
Natrium Dokusat
Glyserin
Natrium Pikosulfat
Laxatab
Glyserin Cap
Gajah
Proconsti
Triolax
Laxoberon
1.
Pencahar
Pembentuk Massa
Ishaghula Sekam
7-331
2.
Pencahar Stimulan
Bisakodil
7-319
Dantron
7-319
3.
Pelunak Tinja
Parafin Liquidum
7-321
Laxadin
4.
Pencahar Osmotik
Laktulosa
Magnesium Sulfat
7-339
7-330
Duphalac
Garam
Inggris
Cap Gajah
E. Antihemoroid
Gatal-gatal, rasa nyeri, dan ekskoriasi di anus dan perianus yang lazim dijumpai pada pasien
hemoroid, fistulas, dan proktitis sebaiknya diobati dengan aplikasi salep dan supositoria.
Pembersihan lokal dengan hati-hati maupun penyesuaian diit guna menghindari tinja yang keras,
serta penggunaan pencahar pembentuk massa seperti bran dan diet residu tinggi juga bermanfaat.
Pada proktitis, tindakan-tindakan ini dapat menambah pengobatan dengan kortikosteroid atau
sulfasalazin.
Zat Aktif
(Nama Generic)
Golongan
1.
Sediaan Pelembut
Bismut
2.
Sediaan Kombinasi
dengan
Kortikosteroid
Kortikostreroid
3.
Sklerosan Rektal
Kode
ICOPIM
6-209
Brand Name
Anusol
Rako
Boraginol-N
Anusol HC
Ultraproct
Boraginal-S
2.
Golongan
Zat Aktif
(Nama Generic)
Enzim Pencernaan
Kode
ICOPIM
Brand Name
Asam Kenodeoksikolat
7-341
Chenofalk
Asam Ursodeoksikolat
7-703
Pankreatin
7-340
Estazor
Pramur
Urdafalk
Enzymfort
Excelase
Librozym
Zat Aktif
(Nama Generic)
Golongan
Antiasma
Bronkodilator
&
Kode
ICOPIM
Teofilin
7-412
Aminofilin
7-570
Brand Name
Asmasolon
Amilex
Bronchophylin
Decafil
Aminofusin TPN
Konisma
Astop
Bromosal
Butasal
Astherin
Bintasma
Brasmatic
Bambec
Foradil
Berotec
Berodual Mdi
Serevent Inhaler
Serevent Rotadisk
Erladrine
Natrium Kromoglikat
Atrovent
Atrovent Udv
Combivent
Beclomet
Becotide
Respocort Autohaler
Inflammide
Pulmicort
Pulmicort Respules
Flixotide Inhaler
Flixotide Rotadisk
Intal 5
Nedokromil Natrium
Tylade Syncroner
Ketotifen
Intifen
Nortifen
Profilas
Semprex
Hismanal
Hispral
Lapihis
Betarhin
Cerini
Incidal OD
Alloris
Anhissen
Clarihis
Alpenaso
Gradane
Hisdane
Zadine
Aficitom
Alleron
Chlorophen
Salbutamol
7-571
Terbutalin
7-578
Bambuterol HCL
Eformoterol Fumarat
Fenoterol Hidrobromida
Salmeterol
Kortikosteroid
Efedrin HCL
7-121
Ipratoprium Bromida
7-578
Beklometason Dipropionat
7-606
Budesonid
Flutikason Propionat
3
Kromoglikat
Antihistamin
Akrivastin
Astemizol
Setirizin Hidroklorid
Loratadin
Terfenadin
Azatadin Maleat
Klorfeniramin Maleat
Antimab
Antimo
Dramamine
Cinnipirine
Sturgeron
Tavegyl
Alphahist
Aprocyn
Apeton
Bestalin
Iterax
Meviran
Oxtin
Tinset
Avil
Camergan
Phenergan
Avopreg
6-304
Homoklorsiklizin
Hidroklorid
Deksklorfeniramin Maleat
Biolergy
Histapan
Interhistin
Comtusi
Doxergan
Homoklomin
6-300
Dexteem
Polamec
Polofar
Brompheniramin Maleat
6-304
Deksbromfeniramin
Maleat
Oksatomid
6-304
Drixoral
Oxtin
Tinset
Meviran
Fliumucil
Fluimucil Pediatric
Pectocil
Broncholit
Muciclar
Mucocil
Ambril
Berea
Bronchopront
Codipront
Codipront Cum
Expectorant
Dimenhidrinat
6-305
Sinarizin
Klemastin
Siproheptadin HCL
Hidroksizin Hidroklorid
Mequitazin
Oksatomid
Feniramin Maleat
6-302
Prometazin Hidroklorid
6-911
Prometazin
6-911
Teoklat
Mebhidrolin Napadisilat
Oksomemazin
Mequitazin
5
Mukolitik
Asetilsistein
7-553
Karbosisetein
Ambroxol
Antitusif
Codein
6-502
7
8
Dekongestan
Ekspektoran
7-561
Romilar
Zenidex
Sudafed
Fenilpropanolamin
7-700
Rhinergal
Gliseril Guaiakolat
7-550
Deksbromfeniramin
6-304
Woods Pepermint
Versaldex
Pyril
Drixoral
Tripelenamin
6-305
Etil Morfin
6-502
Neobronco
Piristina
Dionin Cough
Doveri
Pulvis Doveri
Longatin
Mercotine
Neocodin
Peracon
Bredon
Selvigon
Sinecod
Dekstrometorfan
7-548
Pseudoefedrin HCL
Alkaloida
morphin
opium
&
Noscapin
6-502
Isoaminil
7-548
Oksolamin
Pipazetat
7-548
Butamirat
C. Fungsi Antibiotika
Antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai infeksi akibat kuman atau juga untuk
prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar. Secara provilaksis juga diberikan kepada
pasien dengan sendi dan klep jantung buatan, juga sebelum cabut gigi.
Mekanisme kerja yang terpenting pada antibiotika adalah perintangan sintesa protein, sehingga
kuman musnah atau tidak berkembang lagi tanpa merusak jaringan tuan rumah. Selain itu,
beberapa antibiotika bekerja terhadap dinding sel dan membran sel. Namun antibiotika dapat
digunakan sebagai non-terapeutis, yaitu sebagai stimulans pertumbuhan pada binatang ternak.
Klasifikasi
Penisilin
(6-349)
Zat Aktif
(Nama Generic)
Kode
ICOPIM
Benzatin Penisilin G
6-000
Phenoxymethyl
Penicilline
6-002
Kloksalisin
Flucloxacillin
6-003
Ampicilin
6-004
Brand Name
Prokain Penisilin G
Penadur LA
Fenocin
Ospen
Ven Pee
Meixam
Ikaclox
Orbenin
Alclomex
Floxapen
Dexypen
Kalpicilin
Bimapen
Abdimox
Alphamox
Amobiotic
Bacacil
Amocomb
Ancla
Augmentin
Pivamex
Timentin
Ledercil
Sulbenisilin
Kedacilin
Cefaclor
Capabiotic
Ceclor Cloracef
Cefadroxil
Sefrozil
Alxil
Bidicef
Biodroxil
Cefspan
Ceptik
Comsporin
Cefzil
Sefodizim
Modivid
Cefotaxime
Clacef
Claforan
Clatax
Cefrom
Ceftum
Fortum
Cedax
Broadcef
Elpicef
Rochephin
Anbacim
Cefurox
Cethixim
Cefabiotic
Ospexin
Pralexin
Dardokef
Dofacef
Ceficin
Dynacef
Velocef
Cefazolin
Cefacidal
Sefpodoksim
Banan
Aztreonam
Imipenem
Azactam
Tienam
Amoksisilin
6-004
Bakampisilin
Co Amoksiklav
Pivampisilin
Tikarsilin
Piperasilin
2.
Sefalosporin
(6-059)
6-164
Sefiksim
Sefpirom
Ceftazidime
Seftibutem
Ceftriaxone
Sefuroxime
Cephalexin
6-052
Sefamandol
Cephradin
Antibiotik
Betalaktam
6-059
6-901
3.
4.
Meronem
6-040
Dimeklosiklin
Hidroklorida
Doxycycline
Bimatra
Camicyclin
Combicyclin
Ledermycin
6-043
Minosiklin
6-049
Dotur
Doxin
Dumoxin
Minocin
Oxytetracycline
6-042
Teramycyn
Amikasin
6-069
Gentamisin
6-082
Kanamycin
6-069
Alostil
Amikin
Ethigent
Garabiotic
Garamycin
Kanamycin Meiji
Neomisin Sulfat
7-600
Almocyn
Netromycin C
Dartobcin
Tobryne
Alphathrocin
Bannthrocin
Camitrocin
Aztrin
Mezatrin
Zifin
Abbotic
Clambiotic
Claros
Anbiolid
Ixor
Makrodex
Hypermisin
Osmysin
Rovadin
Negram
Urineg
Impresial
Urinter
Urixin
Akilen
Betaflox
Danoflox
Amanita
Lexinor
Nopratik
Lainnya
Meropenem
Tetrasiklin
(6-040)
Tetrasiklin
Aminoglikosida
(6-638)
Netilmisin
5.
Makrolid
(6-482)
Tobramisin
6-089
Erytromisin
6-030
Azitromisin
Klaritromisin
Roksitromisin
6.
Kuinolon
(6-139)
Spiramisin
6-032
Asam Nalidiksat
6-190
Asam Pipemidat
Ofloksasin
Norfloksasin
Pefloksasin
Baquinor
Bernoflox
Bidiprox
Peflacine
Fleroksasin
Quinodis
Sparfloksasin
Zagam
Levofloksasin
Cravit
Reskuin
Tobyprim
Trisoprim
Abatrim
Bactoprim
Bactricid
Sulcolon
Camicetine
Chloramex
Colme
Biothicol
Comthycol
Corsafen
Albiotin
Ancrocid
Cindala
Biolincom
Lincobiotic
Lincocin
Ladervan
Ciprofloksasin
7.
8.
Sulfonamide
(6-109)
dan
Trimetropim
(6-148)
Antibiotik Lain
Trimetoprim
6-148
Cotrimoksazol
6-193
Sulfadiazin
6-102
Sulfadimidin
6-102
Sulfasalazin
6-105
Linkomisin
6-039
Vankomisin
6-081
Spektinomisin
6-069
Trobicin
Colistine
Kloramfenikol
Tiamfenikol
Klindamisin
Kolistin
BAB V
PERAN KOLABORATIF PERAWAT DALAM PELAKSANAAN
PRINSIP FARMAKOLOGI
A. Pendahuluan
Keberhasilan terapi obat sangat dipengaruhi oleh peran perawat secara kolaboratif dalam
melaksanakan manajemen terapi obat. Manajemen terapi obat dilaksanakan dengan cara
melakukan proses keperawatan secara maksimal.
1.
Peran
Tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengen
kedudukan dalam sistem, dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial dari profesi perawat maupun
dari luar profesi keperawatan yang bersifat konstan (Hidayat, A.A, 2007).
Peran dalam pemberian obat :
Independen
Interdependen
Dependen
Peneliti
2.
Proses keperawatan
Proses adalah serangkaian tahapan atau komponen yg mengarah pada pencapaian
tujuan. Sedangkan tujuan adalah maksud spesifik atau tujuan dari proses. Proses keperawatan
merupakan suatu pendekatan untuk pemecahan masalah yang memampukan perawat untuk
mengatur dan memberikan asuhan keperawatan.
3.
Asuhan keperawatan
Suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang diberikan kepada
Perawat memiliki peran yang utama dalam meningkatkan dan mempertahankan dengan
mendorong klien untuk proaktif jika membutuhkan pengobatan. Dengan demikian, perawat
membantu klien membangun pengertian yang benar dan jelas tentang pengobatan,
mengkonsultasikan setiap obat yang dipesankan, dan turut bertanggung jawab dalam
pengambilan keputusan tentang pengobatan bersama tenaga kesehatan lainnya.
Keberhasilan promosi kesehatan sangat tergantung pada cara pandang klien sebagai
bagian dari pelayanan kesehatan, yang juga bertanggung jawab terhadap menetapkan pilihan
perawatan dan pengobatan, baik itu berbentuk obat alternative, diresepkan oleh dokter, atau
obat bebas tanpa resep dokter. Sehingga, tenaga kesehatan terutama perawat harus dapat
membagi pengetahuan tentang obat-obatan sesuai dengan kebutuhan klien.
B. Asuhan Keperawatan dalam Bidang Farmakologi
1. PENGKAJIAN
a. Riwayat medis
Riwayat medis memberi indikasi atau kontraindikasi terhadap terapi obat. Penyakit
atau gangguan membuat klien berisiko terkena efek samping yang merugikan. Contoh,
jika seorang klien mengalami ulkus lambung atau cenderung mengalami perdarahan
maka senyawa yang mengandung aspirin atau antikoagulasi akan meningkatkan
kemungkinan perdarahan.
Masalah kesehatan jangka panjang, misalnya diabetes atau arthritis, yang
membutuhkan pengobatan, memberi perawat informasi tentang tipe obat yang sedang
klien gunakan. Riwayat pembedahan klien dapat mengindikasikan obat yang digunakan.
Contoh, setelah tiroidektomi, seorang klien mungkin membutuhkan penggantian
hormon. Dari riwayat ini, perawat dapat meminta supaya klien diresepkan obat yang
rutin digunakan (contoh, Synthroid dan obat antihipertensi), jika obat-obat tersebut
belum diresepkan saat klien datang.
b. Riwayat alergi
Apabila
klien
memiliki
riwayat
alergi
terhadap
obat,
perawat
harus
menginformasikan anggota tim kesehatan lain. Alergi terhadap makanan juga harus
didokumentasikan dengan cermat karena banyak obat mengandung unsur yang
terkandung dalam sumber makanan. Salah satu contoh adalah kerang. Apabila klien
alergi terhadap kerang maka klien akan sensitif terhadap produk yang mengandung
yodium. Di sebuah rumah sakit, klien mengenakan pita identifikasi yang memuat daftar
alergi obat. Semua alergi harus dicatat pada catatan penerimaan klien, catatan medis,
dan riwayat medis.
c.
Data obat
Perawat mengkaji informasi tentang setiap obat, termasuk kerja, tujuan, dosis
normal, rute pemberian, efek samping, dan implikasi keperawatan dalam pemberian dan
pengawasan obat. Pertanyaan umum yang perlu dipikirkan antara lain : Apakah ini
dosis terkecil yang mungkin diprogramkan (pertanyaan yang berkaitan dengan lansia),
Dapatkah obat tertentu berinteraksi dengan obat lain yang sedang digunakan, dan
Adakah instruksi khusus tentang pemberian obat?
Beberapa sumber seringkali harus dikonsultasikan untuk memperoleh keterangan
yang dibutuhkan. Buku farmakologi, jurnal keperawatan, Physicians Desk Reference,
lembar sisipan obat, dan ahli farmasi merupakan sumber yang berharga. Perawat
bertanggung jawab untuk mengetahui sebanyak mungkin informasi tentang obat yang
diberikan. Banyak mahasiswa keperawatan menyiapkan atau membeli kartu dan/atau
buku yang memuat keterangan obat untuk mereka gunakan sebagai rujukan cepat.
d. Riwayat diet
Riwayat diet memberi keterangan tentang pola makan dan pilihan makanan klien.
Perawat kemudian dapat merencanakan penjadwalan dosis obat yang lebih efektif dan
menganjurkan klien menghindari makanan yang dapat berinteraksi dengan obat.
e.
obat sebaiknya diberikan dan cara pemberian obat. Contoh, perawat memeriksa tekanan
darah sebelum memberi sebuah obat antihipertensi. Apabila klien mual, kemungkinan ia
tidak dapat menelan tablet. Temuan pengkajian dapat juga memberi data dasar dalam
mengevaluasi efek terapi obat.
f.
menggunakan obat secara mandiri. Perawat harus mengkaji kemampuan klien dalam
mempersiapkan dosis dan menggunakan obat dengan benar. Apabila klien tidak mampu
menggunakan obat dengan mandiri, perawat dapat mempelajari apakah ada anggota
keluarga atau teman yang dapat membantu.
g.
2.
3.
4.
Apakah ada hal lain yang tidak Anda pahami dn ingin Anda ketahui tentang obat
tersebut?
Apabila riwayat tingkat kepatuhan klien rendah, perawat sebaiknya juga memeriksa
sumber yang dapat klien manfaatkan untuk membeli obat.
i.
menetapkan instruksi yang klien perlukan. Perawat mungkin perlu menjelaskan kerja
dan tujuan obat, efek samping yang akan timbul, teknik pemberian obat yang benar, dan
cara mengingat jadwal obat. Apabila seorang klien diresepkan suatu obat baru, instruksi
tertentu harus diberikan. Teman atau anggota keluarga mungkin perlu dilibatkan.
Secara singkat pengkajian dapat meliputi,
Data Subjektif
1.
2.
Pengobatan sekarang
3.
4.
Lingkungan klien
5.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Fisik
DIAGNOSA
Pengkajian memberi data tentang kondisi klien, kemampuannya dalam menggunakan
obat secara mandiri, dan pola penggunaan obat. Semua ini dapat digunakan untuk
menentukan masalah aktual atau potensial pada terapi obat. Perawat mengelompokkan
batasan karakteristik untuk menegakkan diagnosa keperawatan yang akurat.
Diagnosa keperawatan yang sering berkaitan dengan terapi obat antara lain,
(berdasarkan Nanda International: Diagnosis Keperawatan 2009-2011):
a.
Domain 2: Nutrisi;
Kelas 4: Metabolisme
1) Risiko gangguan fungsi hati
Faktor risiko:
a) Medikasi hepatotoksik (mis., asetaminofen, statin)
b) Penyalahgunaan zat (mis., alkohol, kokain)
Kelas 5: Hidrasi
2) Risiko kekurangan volume cairan
Faktor risiko: medikasi (mis., diuretik)
c.
p) Simpatomimetik
4) Diare
Batasan karakteristik:
Nyeri abdomen
Sedikitnya 3 kali buang air besar cair per hari
Kram
Bising usus hiperaktif
Ada dorongan
Faktor yang berhubungan: Situasional
a) Efek samping medikasi
b) Penyalahgunaan laksatif
c) Penyalahgunaan alkohol
d) Radiasi
5) Disfungsi motilitas gastrointestinal
Batasan karakteristik:
Tidak ada flatus
Kram abdomen
Distensi abdomen
Nyeri abdomen
Perubahan bising usus (mis., tidak ada, hipoaktif, hiperaktif)
Diare
Mual
Muntah
Faktor yang berhubungan: Agen farmaseutikal (mis., narkotik/opiate, laksatif,
antibiotik, anestesi)
d.
Domain 4: Aktivitas/Istirahat;
Kelas 1: Tidur/Istirahat
1) Insomnia
Batasan karakteristik:
Afek tampak berubah
Tampak kurang bergairah
Pasien menyatakan sulit tertidur
Pasien menyatakan sulit tidur nyenyak
Pasien menyatakan kurang puas tidur (saat ini)
Pasien menyatakan kurang bergairah
Pasien menyatakan sulit tidur kembali setelah terbangun
Pasien menyatakan gangguan tidur yang berdampak pada keesokan hari
Pasien menyatakan bangun terlalu pagi
Faktor yang berhubungan:
a) Konsumsi alkohol
b) Efek obat/ efek samping obat
Kelas 2: Aktivitas/Latihan
2) Hambatan mobilitas fisik
Batasan karakteristik:
Penurunan waktu reaksi
Kesulitan membolak-balik posisi
Dispnea setelah beraktivitas
Pergerakan gemetar
Pergerakan lambat
Pergerakan tidak terkoordinasi
Faktor yang berhubungan: Obat
Domain 5: Persepsi/Kognisi
Kelas 4: Kognisi
1) Risiko konfusi akut
Faktor risiko:
a) Demensia
b) Medikasi/obat: Anestesia, Antikolinergik, Difenhidramin, Medikasi multipel,
Opioid, Psikoaktif
c) Usia di atas 60 tahun
d) Penyalahgunaan zat
2) Defisiensi pengetahuan
Batasan karateristik:
Perilaku hiperbola
Ketidakakuratan mengikuti perintah
Ketidakakuratan performa uji
Perilaku tidak tepat (mis., histeria, bermusuhan, agitasi, apatis)
Pengungkapan masalah
Faktor yang berhubungan:
a) Keterbatasan kognitif
b) Salah interpretasi informasi
c) Kurang pajanan
d) Kurang minat dalam belajar
e) Kurang dapat mengingat
f) Tidak familier dengan sumber informasi
3) Kerusakan memori
Batasan karakteristik:
Mengalami lupa
Lupa melakukan perilaku pada waktu yang telah dijadwalkan
Ketidakmampuan menentukan apakah perilaku tertentu telah dilakukan
Kelas 5: Komunikasi
4) Hambatan komunikasi verbal
Batasan karakteristik:
Tidak ada kontak mata
Tidak bicara
Dispnea
Ketidaktepatan verbalisasi
Pelo
Kesulitan memahami pola komunikasi yang biasa, dll
Faktor yang berhubungan: efek samping obat
f.
g.
4) Risiko cedera
Faktor risiko:
Eksternal: Zat kimia (mis., racun, polutan, obat, agen farmasis, alkohol, nikotin,
pengawet, kosmetik)
Internal: Disfungsi imun-autoimun
5) Kerusakan membran mukosa oral
Batasan karakteristik:
Lidah berwarna putih
Deskuamasi
Kesulitan bicara
Kesulitan makan
Kesulitan menelan
Rasa tidak nyaman pada mulut
Lesi pada mulut
Nyeri mulut
Ulkus pada mulut
Melaporkan sensasi yang tidak enak di dalam mulut
Stomatitis
Bercak putih
Faktor yang berhubungan:
a) Kemoterapi
b) Iritan kimia (mis., alkohol, obat, penggunaan inhaler atau agen berbahaya lain
secara teratur)
c) Efek samping obat
6) Ketidakefektifan perlindungan
Batasan karakteristik:
Gangguan koagulasi
Anoreksia
Menggigil
Batuk
Penurunan imunitas
Disorientasi
Dispnea
Letih
Imobilitas
Gangguan penyembuhan
Insomnia
Gatal
Respon stres maladaptif
Gangguan neurosensorik
Berkeringat
Ulkus dekubitus
Gelisah
Lemah
Faktor yang berhubungan:
a) Penyalahgunaan alkohol
b) Terapi obat (mis., antineoplastik, kortikosteroid, imun, antikoagulan, trombolitik)
c)
Terapi (radiasi)
PERENCANAAN
Tahap perencanaan dari proses keperawatan ditandai dengan penetapan tujuan atau hasil
IMPLEMENTASI
Fase penerapan meliputi tindakan keperawatan yang perlu untuk mencapai tujuan yang
Pemberian obat & pengkajian efek obat terhadap klien (pelajari prinsip pemberian
obat).
b.
Meningkatkan kepatuhan klien terhadap aturan terapi obat adalah komponen yang penting
dalam pendidikan kesehatan.
a.
Pendidikan kesehatan
b. Pengajaran efektif
1) Lingkungan tenang dan bebas dari hal-hal yang dapat mengganggu perhatian.
2) Informasi menarik, sesuai minat dan sesuai dengan pengertian klien.
3) Mengikutsertakan anggota keluarga atau teman dalam rencana pengajaran.
4) Menggunakan media yang melibatkan perangsangan beberapa indera dan
partisipasi aktif klien.
5) Meminta klien dan keluarga untuk mendemonstrasikan kembali yang telah
diajarkan.
c.
Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien
mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaanya.
Untuk itu sebelum pasien pulang ke rumah, perawat perlu memberikan KIE
Nama obatnya.
2.
3.
4.
5.
Waktu obat itu harus diminum (sebelum atau sesudah makan, antibiotik tidak
diminum bersama susu)
6.
7.
8.
9.
Kenali jika ada efek samping atau alergi obat dan cara mengatasinya
10. Jangan mengoperasikan mesin yang rumit atau mengendarai kendaraan bermotor
pada terapi obat tertentu misalnya sedatif, antihistamin.
11. Cara penyimpanan obat, perlu lemari es atau tidak
12. Setelah obat habis apakah perlu kontrol ulang atau tidak
d. Pedoman KIE Perawat kepada Pasien atau Keluarga
Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta pemberiannya di
rumah sakit diikuti dengan benar. Jika terapi ini akan dilanjutkan setelah pasien pulang,
penting agar pasien mengerti dan dapat meneruskan terapi itu dengan benar tanpa
pengawasan. Ini terutama penting untuk penyakit-penyakit menahun, seperti asma,
artritis rematoid, hipertensi, TB, diabetes melitus, dan lain-lain.
e.
1.
2.
3.
4.
5.
f.
1.
Lupa
2.
Kurang pengetahuan
3.
Efek samping
4.
Rendah hati
5.
Depresi
6.
7.
Persoalan keluarga
8.
Hambatan bahasa
9.
10. Ansietas
11. Kurang motivasi
5.
EVALUASI
Kaji ulang bersama klien & keluarga mengenai kebutuhan untuk perawatan tindak lanjut,
jika dibutuhkan.
Dorong untuk menentukan pilihan-pilihan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.
Rujuk klien kepada SDM, sesuai dengan kebutuhan.
Efektivitas pendidikan kesehatan mengenai terapi obat dan pencapaian tujuan dinyatakan
pada tahap evaluasi dari proses keperawatan
Evaluasi yang dilakukan akan tercapai tergantung dari waktu spesifik yang ditentukan
pada pernyataan tujuan
Jika tujuan tidak terpenuhi, perawat perlu menentukan penyebabnya dan mengkaji ulang
sesuai dengan sebabnya
Diperlukan adanya penambahan data untuk pengkajian dan lingkup tujuan baru. Jika
tujuan terpenuhi, maka rencana keperawatan telah selesai
C. PRINSIP PEMBERIAN OBAT
Penatalaksanaan Obat
1.
Penyimpanan Obat
2.
3.
Evaluasi
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Benar dokumentasi
8.
9.
Benar pengkajian
1.
Benar klien
Benar obat
Periksa apakah perintah pengobatan lengkap dan sah
Komponen perintah pengobatan:
a.
b.
Nama obat
c.
Dosis obat
d.
Rute/cara pemberian
e.
Frekuensi pemberian
f.
Benar dosis
Hitung dosis dengan benar. Jika ragu-ragu, dosis obat harus dihitung kembali dan
diperiksa oleh perawat lain.
a.
b.
c.
d.
4.
Berikan obat pada saat yang khusus. jam sebelum/setelah waktu yang tertulis diresep.
Berikan obat-obat, seperti Kalium dan aspirin yang dapat mengiritasi mukosa lambung
bersama-sama dengan makanan.
Adalah tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah klien telah dijadualkan untuk
pemeriksaan diagnostik, seperti tes darah puasa yang merupakan kontraindikasi
pemeriksaan obat.
5.
Benar rute/cara
Rute yang sering digunakan dalam pemberian obat:
7.
Misal, pada penggunaan obat seperti chloramphenicol berikan dengan omeprazol pada
penggunaan kronis
8.
Obat memiliki efektivitas jika diberikan pada waktu yang tepat. Jika obat itu harus
diminum sebelum makan (ante cimum atau a.c) untuk memperoleh kadar yang
diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan. Misal: tetrasiklin. Sebaliknya ada obat
yang harus diminum setelah makan; indometasin.
9.
Benar pengkajian
Adalah tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah klien telah dijadualkan untuk
pemeriksaan diagnostik, seperti tes darah puasa yang merupakan kontraindikasi
pemeriksaan obat.
melihat efek kerja dari obat yang diberikan dan lihat efek samping yang diharapkan
maupun tidak diharapkan.
b.
Absorpsi
Berhubungan dengan penyerapan terhadap obat. Faktor-faktor yang mempengaruhi
menghasilkan absorpsi yang paling cepat karena dengan rute ini obat dengan cepat
masuk kedalam sirkulasi sistemik.
b) Daya larut obat, yang diberikan peroral setelah diingesti sangat bergantung pada
bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan dan suspensi, yang tersedia dalam bentuk
cair, lebih mudah diabsorpsi daripada tablet atau kapsul. Bentuk dosis padat harus
dipecah terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia pada sekresi lambung dan usus
halus. Obat yang asam melewati mukosa lambung dengan cepat. Obat yang bersifat
basa tidak terabsorpsi sebelum mencapai usus halus.
c)
Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh makanan. Obat oral lebih
mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan. Misalnya zat besi dapat
mengiritasi saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan atau segera setelah
makan. Saat lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke
duodenum, sehingga absorpsi obat melambat. Beberapa makanan dan antasid
membuat obat berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati lapisan
saluran cerna, contoh susu menghambat absorpsi zat besi dan tetrasiklin. Beberapa
obat hancur akibat peningkatan keasaman isi lambung dan pencernaan protein selama
makan.
2.
Distribusi
Pengikatan dengan protein merupakan pengubah utama dari distribusi obat dalam tubuh.
Sawar darah otak hanya dapat menerima obat-obatan yang larut dalam lemak. Plasenta dapat
ditembus oleh obat-obatan yang larut dalam lemak maupun air.
3.
Metabolisme/ biotransformasi
Berkaitan dengan fungsi hati dan ginjal, tempat obat di metabolisme. Kematangan dan
Ekskresi
Rute utama ekskresi obat adalah ginjal, selain itu empedu, feses, paru-paru, saliva, dan
Usia
Bayi dan lansia sensitive terhadap obat-obatan. Dosis bayi dihitung berdasarkan berat
badan dari pada usia biologis/ gestasionalnya.
6.
Berat Badan
Dosis obat diberikan sesuai dengan berat badannya. Ada hubungan langsung antara
jumlah obat yang diberikan dan jumlah jaringan tubuh tempat obat didistribusikan.
Kebanyakan obat diberikan berdasarkan berat dan komposisi tubuh dewasa. Perubahan
komposisi tubuh dapat mempengaruhi distribusi obat secara bermakna, misalnya pada klien
lansia. Semakin kecil berat badan klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam jaringan
tubuhnya, dan efek obat yang dihasilkan makin kuat.
7.
Toksisitas
Lebih sering terjadi pada orang-orang yang mempunyai gangguan hati atau ginjal dan
Farmakogenetik
Pengaruh faktor genetik terhadap respon obat.
9.
10.
obat.
11.
Faktor emosional
Sugesti-sugesti mengenai obat dan efek sampingnya dapat mempengaruhi efek obat
terhadap klien.
12.
Adanya penyakit
Gangguan hati, ginjal, jantung, sirkulasi, dan gastrointestinal mempengaruhi respon
terhadap obat.
13.
Riwayat obat
Penggunaan obat yang sama atau berbeda dapat mengurangi atau menambah efek dari
obat.
14.
Toleransi
Kemampuan klien untuk berespon terhadap dosis tertentu dari suatu obat dapat hilang
setelah beberapa hari atau minggu setelah pemberian. Kombinasi obat-obatan dapat diberikan
untuk mengurangi atau menunda terjadinya toleransi obat.
15.
Efek penumpukan
Terjadi jika obat dimetabolisme atau diekskresi lebih lambat dari pada kecepatan
pemberian obat.
16.
Interaksi obat
Efek kombinasi obat dapat lebih besar, sama, atau lemah dari pada efek tunggal.
Beberapa obat mungkin bersaing untuk menempati reseptor yang sama. Reaksi yang
merugikan dapat menyebabkan toksisitas atau komplikasi.
E. IMPLIKASI KEPERAWATAN
Jelaskan apa yang anda ingin kerjakan. Usahakan mendapat kerjasama dari klien.
Pergunakan jarum dan tabung suntik dengan ukuran yang sesuai untuk klien.
Jangan memberikan suntikan subkutan atau intramuskular pada daerah yang mengalami
peradangan, edema, atau mempunyai lesi (tahi lalat, tanda lahir, parut).
Ganti tempat suntikan untuk meningkatkan absorpsi obat. Catat tempat suntikan.
Jangan berikan suntikan IM pada tempat dorsogluteal pada anak-anak. Lebih baik
asupan dan keluarannya. Berikan hanya cairan yang diperbolehkan dalam diet.
Amati klien terhadap reaksi yang tidak diinginkan, dan laporkan tanda pertama dengan
segera.
Nilai kemampuan klien untuk menelan sebelum memberikan obat-obat peroral
Pergunakan teknik aseptik sewaktu memberikan obat. Teknik steril digunakan dalam
rute parenteral
Berikan obat-obat pada tempat yang sesuai
1.
2.
Ansel, Howard C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Edisi 4). Jakarta: UI Press
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004. SK: Keputusan Kepala
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan Dan
3.
4.
5.
6.
bahasa, Made S., Dwi, W., Estu T. Editor, Monica E. Jakarta: EGC
Kee, Joyce L. dan Hayes, Evelyn R. 1996. Farmakologi : pendekatan proses
7.
8.
9.
Rahmmasari, Dian. 2013. Macam Macam Obat Narkotik Dan Pisikotropika (Artikel).
Diunduh
pada
tanggal
Januari
2014
terdapat
pada
http://dianrahmmasari.blogspot.com/2013/05/macam-macam-obat-narkotik-dan.html
10. Sanjoyo, Raden. (Tidak ada tahun). Obat (Biomedik Farmakologi) (Artikel). Diunduh
pada 28 mei 2012 terdapat pada http://www.yoyoke.web.ugm.ac.id
11. Tambayong, Jan. 2001. Farmakologi untuk Keperawatan. Jakarta: Widya Medika
12. Tanzil, Sutomo. 2009. Chapter 3: Farmakodinamik dalam Kumpulan Kuliah
Farmakologi, Eds.2. Staf Pengajar Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya. Jakarta: EGC
OLEH :
Koordinator MA. Farmakologi
TUGAS FARMAKOLOGI 1.
No
1.
IDENTIFIKASI OBAT
NAMA OBAT & ISI OBAT
2.
INDIKASI
3.
KONTRAINDIKASI
4.
INTERAKSI OBAT
5.
FARMAKOKINETIK
6.
FARMAKODINAMIK
INFORMASI
7.
EFEK SAMPING
8.
PERHATIAN PERAWAT
TUGAS FARMAKOLOGI 1.
No
1.
IDENTIFIKASI OBAT
NAMA OBAT & ISI OBAT
2.
INDIKASI
3.
KONTRAINDIKASI
INFORMASI
4.
INTERAKSI OBAT
5.
FARMAKOKINETIK
6.
FARMAKODINAMIK
7.
EFEK SAMPING
8.
PERHATIAN PERAWAT
TUGAS FARMAKOLOGI 1.
No
1.
IDENTIFIKASI OBAT
NAMA OBAT & ISI OBAT
2.
INDIKASI
3.
KONTRAINDIKASI
4.
INTERAKSI OBAT
5.
FARMAKOKINETIK
6.
FARMAKODINAMIK
7.
EFEK SAMPING
INFORMASI
8.
PERHATIAN PERAWAT
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
2. Pengobatan sekarang
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
3. Riwayat kesehatan dahulu
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
4. Lingkungan klien
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
5. Obat-obat yang dikonsumsi tanpa resep dan rutin
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
DATA OBJEKTIF
1. Pemeriksaan laboratorium
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
2. Pemeriksaan diagnostik
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
3. Pemeriksaan fisik
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
4. gejala-gejala efek samping/ pengaruh obat akibat terapi
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
DIAGNOSA KEPERAWATAN
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
PERENCANAAN
A. Tujuan
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
B. Kriteria hasil
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
IMPLEMENTASI
(Buatlah materi pembelajaran untuk pasien dan keluarga mengenai terapi obat yang
diberikan kepada pasien. Sertakan media yang anda gunakan.)
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
______________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
EVALUASI
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
Mengetahui,
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
7. Pengobatan sekarang
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
8. Riwayat kesehatan dahulu
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
9. Lingkungan klien
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
10. Obat-obat yang dikonsumsi tanpa resep dan rutin
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
DATA OBJEKTIF
5. Pemeriksaan laboratorium
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
6. Pemeriksaan diagnostik
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
7. Pemeriksaan fisik
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
8. gejala-gejala efek samping/ pengaruh obat akibat terapi
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
DIAGNOSA KEPERAWATAN
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
PERENCANAAN
C. Tujuan
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
D. Kriteria hasil
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
IMPLEMENTASI
(Buatlah materi pembelajaran untuk pasien dan keluarga mengenai terapi obat yang
diberikan kepada pasien. Sertakan media yang anda gunakan.)
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
______________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
EVALUASI
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
Mengetahui,
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
10. Pemeriksaan diagnostik
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
11. Pemeriksaan fisik
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
12. gejala-gejala efek samping/ pengaruh obat akibat terapi
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
DIAGNOSA KEPERAWATAN
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
PERENCANAAN
E. Tujuan
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
F. Kriteria hasil
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
IMPLEMENTASI
(Buatlah materi pembelajaran untuk pasien dan keluarga mengenai terapi obat yang
diberikan kepada pasien. Sertakan media yang anda gunakan.)
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
______________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
EVALUASI
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________
Mengetahui,
3.
Dosis obat
4.
Rute pemberian
5.
6.
7.
Usia
Tanda-tanda Vital
8.
Keluhan
9.
Evaluasi
10.
3.
Dosis obat
4.
Rute pemberian
5.
6.
7.
Usia
Tanda-tanda Vital
8.
Keluhan
9.
Evaluasi
10.
3.
Dosis obat
4.
Rute pemberian
5.
6.
7.
Usia
Tanda-tanda Vital
8.
Keluhan
9.
Evaluasi
10.
3.
Dosis obat
4.
Rute pemberian
5.
6.
7.
Usia
Tanda-tanda Vital
8.
Keluhan
9.
Evaluasi
10.
4.
Rute pemberian
5.
6.
7.
Usia
Tanda-tanda Vital
8.
Keluhan
9.
Evaluasi
10.
3.
Dosis obat
4.
Rute pemberian
5.
6.
7.
Usia
Tanda-tanda Vital
8.
Keluhan
9.
Evaluasi
10.
3.
Dosis obat
4.
Rute pemberian
5.
6.
7.
Usia
Tanda-tanda Vital
8.
Keluhan
9.
Evaluasi
10.
3.
Dosis obat
4.
Rute pemberian
5.
6.
7.
Usia
Tanda-tanda Vital
8.
Keluhan
9.
Evaluasi
10.
4.
Rute pemberian
5.
6.
7.
Usia
Tanda-tanda Vital
8.
Keluhan
9.
Evaluasi
10.
3.
Dosis obat
4.
Rute pemberian
5.
6.
7.
Usia
Tanda-tanda Vital
8.
Keluhan
9.
Evaluasi
10.
RUTE PEMBERIAN
TARGET
PER-ORAL
TRANSDERMAL
TOPIKAL
INSTILASI (MATA, HIDUNG, TELINGA)
SUPOSITORIA REKTAL & VAGINA
SELANG NGT (NASO GASTRIK TUBE)
AEROSOL/ NEBULIZER
INTRADERMAL/ INTRAKUTAN
SUBKUTAN
INTRAMUSKULAR
INTRAVENA LANGSUNG
INTRAVENA TIDAK LANGSUNG
PENCAPAIAN
Min. 7x
Sedapatnya
Min. 3x
Min. 2x
Min. 2x
Min. 1x
Min. 2x
Min. 2x
Min. 3x
Min. 5x
Min. 3x
Min. 7x
TANGGAL PENCAPA