Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN DISKUSI

PEMICU 2
MODUL REPRODUKSI

Disusun Oleh :
Kelompok Diskusi 4

Fransisca A. Utami
Rio Wira Pratama
Ismi Wulandari AS
Venny Hillery Wahyuni
Assa Ayu Marsitha
Yohanes
Afifah Mukarommah
Muhammad Luthfi Taufik
Ni'matul Muthmainnah
Alvin Pratama Jauharie
Wenny Rupina
Jahari

I11108008
I11111004
I11111013
I11111021
I11111022
I11111024
I11111037
I11111049
I11111054
I11111063
I11111067
I11111075

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu 2
Panji, seorang laki-laki berusia 23 tahun sedang mengendarai sepeda
motor dengan kecepatan 70 km/jam ketika tiba-tiba melintas seekor
kucing. Panji berusaha menghindari kucing tersebut, Ia membanting
stir ke arah kiri , tetapi sepeda motornya oleng dan membentur trotoar.
Panji terlempar dari

sepeda motor dan lengan bawah kirinya

membentur trotoar. Terdengan bunyi krek dari lengan bawah kirinya.


Sambil menahan nyeri, ia meminta tolong. Orang disekitar Panji
berusaha membantu, sebagian dari mereka menelpon Rumah Sakit
meminta dikirim ambulans. Panji mengatakan kepada prtugas
kesehatan yang membawanya untuk digunakan menggenggam. Di
rumah Sakit, Panji yang dibaringkan ditempat tidur beroda dengan
lengan kiri dalam posisi ekstensi, diperiksa oleh dokter jaga. Pada
pemeriksaan, dokter menemukan siku Panji bengkak,

gangguan

sensibilitas pada telapak tangan, dan gangguan motorik pada jari.


Kemudian lengan bawah kirinya dipasangi bidai dan kateter vena, dan
dokter memberinya obat pengurang rasa nyeri. Kemudian ia dibawa ke
ruang radiologi, Panji meminta tolong perawat untuk menyerahkan
kartu asuransi kepada petugas adminisi.

1.2. Klarifikasi dan definisi


a.
b.
c.
d.

Baal
Ekstensi
Kateter vena
Bidai

: Mati rasa/ hilangnya sensasi rasa


: Bagian tubuh kembali ke posisi anatomis
: Pemasangan selang infus pada pembuluh vena
: Pemasangan alat bantu dengan tujuan imobilisasi

e. Sensibilitas
f. Bengkak

: Kelemahan dalam merasakan/ meraba


: Terjadinya hambatan aliran limfatik yang berasal

dari gabungan intersisial dalam sirkulasi.


1.3. Kata Kunci
a. Panji, 23 tahun
b. Krepitasi
c. Lengan bawah kiri
d. Bidai
e. Kateter vena
f. Gangguan sensibilitas
g. Gangguan motorik
h. Nyeri
i. Pemeriksaan radiologi
1.4. Rumusan Masalah
Pasca benturan pada lengan bawah kiri, timbul bunyi krek , terjadi
pembengkakan siku, gangguan sensibilitas, dan gangguan motorik
pada jari.
1.5.Analisis Masalah
Panji,23 th

Kecelakaan
Lalu Lintas

pemeriksaa
n

Pertolongan
Pertama

Diagnosis

Aspek
Medikolega
l
Anamnesis : - bunyi krek
-T. tangan baal
- sulit
menggenggam
Pemfis : - siku bengkak
- Gang. Sensibilitas
- Gang. Motorik jari
kanan
p. penunjang
(radiologi)

fraktur

metode

ulna

radius
penyulit

Kompresi saraf

Tatalaksana
Sistem
kompertemen
Terapi
bedah

Non
Bidai & kateter
vena

1.6. Hipotesis
Lengan kiri Panji diduga mengalami fraktur didaerah proksimal
region antebrachii yang disertai terjadinya krompresi saraf N.
Medianus dan N. Radialis yang menyebabkan gangguan sensibilitas
dan motorik.
1.7. Pertanyaan Diskusi
a. Anatomi lengan bawah
1. Tulang
2. Otot
3. Saraf
b. Kinesiology jari normal
c. Fraktur
1. Definisi
2. Etiologi
3. Jenis- jenis
4. Patofisiologi fraktur
- Bagaimana mekanisme nyeri pada fraktur?
- Mengapa terjadi bengkak pada siku?
- Apa yang menyebabkan bunyi krek?
5. Proses penyembuhan fraktur
6. Faktor- faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur.
7. Komplikasi fraktur
- Baal pasca fraktur
1. Definisi
2. Etiologi
3. Patofisiologi
- Lainnya
8. Pemeriksaan
- Bagaimana pemeriksaan radiologi pada lengan bawah?

9.. Tatalaksana
- Apa fungsi kateter vena?
- Apa tujuan pemasangan bidai?
- Mengapa pada saat dibaringkan posisi tangan Panji harus
ekstensi?
d. Bagaimana aspek medikolegal pada kecelakaan?

BAB II
PEMBAHASAN
a. Anatomi lengan bawah
1. Tulang Ulna dan Radius (Tulang Lengan Bawah)
a. Radius

Sumber: Putz, R. ,R. pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta edisi 22. Jakarta : EGC

Radius adalah tulang lateral lengan bawah. Ujung atasnya


bersendi dengan humerus pada articulatio cubiti dan dengan ulna pada
articulation radioulnaris proximal. Ujung distalnya bersendi dengan os

scaphoideum dan lunatum pada articulatio radiocarpalis dan dengan


ulna pada articulatio radioulnaris distal. [32]
Pada ujung atas radius terdapat caput yang berbentuk bulat kecil.
Permukaan atas caput cekung dan bersendi dengan capitulum humeri
yang cembung. Circumferential articulare radii bersendi dengan
incisura radialis ulnae. Di bawah caput tulang menyempit membentuk
collum. Dibawah collum terdapat tuberositas radii yang merupakan
tempat insertion musculus biceps. [32]
Corpus radii berlainan dengan ulna, yaitu lebih lebar di bawah
dibandingkan dengan bagian atas. Carpus radii di sebelah medial
mempunyai

margo

interossea

yang

tajam

untuk

melekatnya

membarana interossea. Tuberculum pronator, untuk tempat insertion


musculus pronator teres, terletak di pertengahan pinggir lateralnya. [32]
Pada ujung bawah radius terdapat processus styloideus; yang
menonjol ke bawah dari pinggir lateralnya. Pada permukaan medial
terdapat incisura ulnae, yang bersendi dengan caput ulnae yang bulat.
Permukaan bawah ujung radius bersendi dengan os scaphoideum dan
os lunatum. Pada permukaan posterior ujung distal radius terdapat
tuberculum kecil, tuberculum dorsalis, yang pada pinggir medialnya
terdapat sulcus untuk tendo musculi flexor pollicis longus. [32]

b. Ulna

Sumber: Putz, R. ,R. pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta edisi 22.
Jakarta : EGC

Ulna merupakan tulang medial lengan bawah. Ujung atasnya


bersendi dengan humerus pada articulatio cubiti dan dengan caput radii
pada articulatio radioulnaris proximal. Ujung distalnya bersendi
dengan radius pada articulation radioulnaris distalis, tetapi dipisahkan
dari articulatio radiocarpalis dengan adanya facies articularis. [32]

Ujung atas ulna besar, dikenal sebagai processus olecranii; bagian


ini membentuk tonjolan pada siku. Processus ini mempunyai incisura
di permukaan anteriornya, incisura trochlearis, yang bersendi dengan
trochlea humeri. Di bawah trochlea humeri terdapat processus
coronoideus yang berbentuk segitiga dan pada permukaan lateralnya
terdapat incisura radialis untuk bersendi dengan capu radii. [32]
Corpus ulnae mengecil dari atas ke bawah. Di lateral mempunyai
margo interosseus yang tajam untuk melekatnya membrane interossea.
Pinggir posterior membulat, terletak subkutan, dan mudah diraba
seluruh panjangnya. Di bawah incisura radialis terdapat lekukan, fossa
supinator, yang mempermudah gerakan tuberositas bicipitalis radii.
Pinggir posterior fossa ini tajam dan dikenal sebagai crista supinator,
origo musculus supinator. [32]
Pada ujung distal ulna terdapat caput yang bulat, yang mempunyai
tonjolan pada permukaan medialnya, disebut processus styloideus. [32]
2. Otot-otot ekstermitas atas

3. Bagaimana anatomi saraf, otot ekstreminitas atas?


Table cabang dan daerah persyarafan plexus brachialis
Fungsi motorik
Plexus brachialis
N. dorsalis scapulae
N. suprascapularis
Nn. subscapulares
N. subclavius
N. thoracicus longus
Nn. pectorales
N. thoracodorsalis

M. levator scapulae, Mm.


rhomboidei
M. supraspinatus,
M.infraspinatus
M. subscapularis, (M.teres
major)
M. subclavius
M. serratus anterior
M. pectoralis major,
M.pectoralis minor
M. latissimus dorsi,

Fungsi sensorik

Rr. musculares
N. musculocutaneus

N. medianus

N. ulnaris

N. cutaneus brachii
medialis
N. cutaneus antebrachii
medialis
N. axillaris
N. radialis

M.teres major
M. longus colli, M. longus
capits
M. coracobrachilis, M.
biceps brachii,
M.brachialis
M. pronator teres, M.
flexor carpi radialis, M.
Palmaris longus, M. flexor
digitorium superficialis, M.
flexor pollicis longus, M.
flexor digitorium
profundus (bagian radial),
M. pronator quadrates, M.
flexor pollicis brevis
(Caput superficiale), M.
opponens pollicis, Mm.
lumbricales I, II
M. flexor carpi ulnaris, M.
flexor digitorium
profundus (bagian ulnar),
M. Palmaris brevis, M.
flexor digiti minimi, M.
opponens digiti minimi, M.
abductor digiti minimi, M.
flexor pollicis brevis
(Caput profundum), M.
adductor pollicis, Mm.
lumbricales III, IV, Mm,
interossei

M. deltoideus, M. teres
minor
M. triceps brachii, M.
anconeus, M.
brachioradialis, M.
extensor carpi radialis
longus, M. extensor carpi
radialis brevis, M.
supinator, M. extensor
digitorium, M. extensor

Kulit sisi radiopalmar


lengan bawah
Kulit bagian radial
telapak tangan (3
jari), kulit sisi dorsal
phalanx distalis (3 jari)

Kulit sisi ulnar tangan


(palmar : 1 jari,
dorsal : 2 jari), kulit sisi
dorsal phalanx distalis (1
jari)

Kulit sisi mediopalmar


lengan atas
Kulit sisi ulnopalmar
lengan bawah
Kulit bahu
Kulit sisi dorsal lengan
atas, lengan bawah dan
tangan (2 jari radial
kecuali phalanges
distales)

pollicis longus, M.
abductor pollicis longus,
M. extensor pollicis brevis,
M. extensor indicis, M.
extensor carpi ulnaris

gambar anatomi saraf ektreminitas atas

Sumber: Putz , R. ,R. pabst. 2003. Atlas Anatomi Manusia Sobotta edisi 21. Jakarta : EGC
Putz, R. ,R. pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta edisi 22. Jakarta : EGC

b. Kinesiology jari normal


Berikut gerakan/ kinesiologi yang biasanya dilakukan oleh
tangan. Gerakan tersebut dijelaskan dengan tangan berada pada
posisi anatomi
1. Gerakan Pollex
Flexio adalah gerakan pollex di depan telapak tangan
sedemikian rupa sehingga mempertahankan bidag kuku pollex
tegak lurus terhadap bidang kuku jari lainnya. Gerakan terjadi di
antara os trapezium dan os metacarpal I, pada articulatio
metacarpophalangea dan interphalangea. Otot yang melakukan
gerakan ialah m. flexor pollicis longus dan brevis, serta m.
opponens policis. [32]
Extentio adalah gerakan pollex pada bidang coronal
menjauhi telapak tangan sedemikian rupa sehingga bidang kuku
pollex tegak lurus dengan kuku jari lain. Gerakan terjadi di
antara os trapezium dan os metacarpal I, pada articulatio

metacarpophalangea dan interphalangea. Otot yang melakukan


gerakan ialah m. flexor pollicis longus dan brevis. [32]
Abductio
adalah
gerakan
pollex
pada bidang
anteroposterior menjauhi telapak tangan, bidang kuku pollex
tegak lurus dengan bidang kuku jari lain. Gerakan terjadi di
antara os trapezium dan os metacarpal I, hanya sedikit gerakan
pada pada articulatio metacarpophalangea. Otot yang melakukan
gerakan ini ialah m. abductor pollicis longus dan brevis. [32]
Adductio
adalah
gerakan
pollex
pada bidang
anteroposterior mendekati telapak tangan, bidang kuku pollex
tegak lurus dengan bidang kuku jari lain. Gerakan terjadi di
antara os trapezium dan os metacarpal I. Otot yang melakukan
gerakan ini ialah m. abductor pollicis. [32]
Oppositio adalah gerakan pollex di depan telapak tangan
sedemikian rupa sehingga permukaan anterior ujung jari
bersentuhan dengan permukaan anterior salah satu ujung jari
lainnya. Gerakan ini disempurnakan dengan medial rotation dari
os metacarpal I dan phalanges yang melekat pada os trapezium.
Bidang kuku pollex terletak parallel dengan bidang kuku jari
yang beroposisi. Otot yang melakukan gerakan ini adalah m.
opponens pollicis. [32]
2. Gerakan Index, Digitus Medius, Digitus Anularis, dan Digitus
Minimus
Flexio adalah gerakan ke depan dari jari pada bidang
anteroposterior. Gerakan ini terjadi pada articulatio
interphalangea dan articulatio metacarpophalangea. M. flexor
digitorum profundus memflexiokan phalanges distal, m. flexor
digitorum superficialis memflexiokan phalanges media, dan
m.interossei dan m.lumbricales memflexiokan phalanges
proximal. [32]
Extentio adalah gerakan ke belakang dari jari pada bidang
anteroposterior. Gerakan ini terjadi pada articulatio
interphalangea dan articulatio metacarpophalangea. M. flexor
digitorum profundus memextentiokan phalanges proximal,
m.interossei dan m.lumbricales memextentiokan phalanges
media dan phalanges proximal (sebagai tambahan, m. extensor
indicis untuk index dan m. extensor digiti minimi untuk digiti
minimus). [32]
Abductio adalah gerakan jari menjauhi garis tengah
imajiner pada jari tengah. Gerakan ini terjadi pada articulatio

metacarpophalangea. Otot yang melakukan gerakan ini adalah


m. interossei dorsalis, m. abductor digiti minimi untuk abductio
digiti minimi). [32]
Adductio gerakan jari ke arah garis tengah imajiner pada
jari tengah. Gerakan ini terjadi pada articulatio
metacarpophalangea. Otot yang melakukan gerakan ini adalah
m. interossei palmares. [32]
Abductio dan adduction hanya bisa dilakukan pada posisi tangan
ekstensi
3. Menguncupkan Tangan
Pada posisi ini telapak tangan membentuk cekungan yang
dalam. Untuk melakukan ini pollex melakukan abductio serta
sedikit oppositio dan flexio. Gerakan ini mempunyai efek
mendorong eminentia thenar ke depan. [32]
Os metacarpal IV dan V flexio serta sedikit rotation pada
articulatio carpometacarpea. Gerakan ini juga mempunyai efek
mendorong eminentia thenar ke depan. M. Palmaris brevis
berkontraksi dan mendorong kulit di atas eminentia hypothenar
ke medial, otot ini juga mengerutkan kulit sehingga kemampuan
memegang tangan meningkat. [32]
Index, jari tengah, digitus anularis dan digiti minimi sedikit
flexio, jari-jar juga sedikit rotatio pada articulatio
metacarpophalangea untuk menambah cekungan tangan yang
menguncup. [32]
4.

Mengepalkan Tangan
Mengepalkan yangan disempurnakan oleh flexio
articulatio metacarpophalangea dan interphalangea jari serta
pollex. Posisi ini dilakukan oleh kontraksi otot-otot flexor
panjang jari dan pollex. Supaya gerakan ini efisien, harus ada
kontraksi sinergis dari m. extensor carpi ulnaris, m. extensor
carpi radialis longus dan brevis agar dapat mengextentiokan
articulatio radiocarpalis. [32]
Dengan kekuatan yang memadai, hanya trauma yang
melebihi daya lentur tersebt yang dapat mengakibatkan fraktur.
Bila terjadi fraktur tertutup pada tulang maka tulang yang patah
tersebut tidak dapat dilihat karena tulang tersembunyi dibalik
kulit, fasia, bahkan otot. Gejala klinis yang dapat membedakan
frak

c. Fraktur
1. Definisi fraktur
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang,
tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian. Secara
umum, fraktur adalah patah tulang yang disebabkan trauma fisik.
Kekuatan dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta
jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi lengkap/ tidak lenglap. [16]
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan ketebalan
tulang. Pada beberapa keadaan trauma musculoskeletal, fraktur dan
dislokasi terjadi bersamaan. Hal ini terjadi apabila disamping
kehilangan hubungan yang normal antar kedua permuaan tulang
disertai pula fraktur sendi tersebut. [16]
2. Etiologi
Pada trauma mussuloskeletal yang dapat menjadi fraktur
dapat dibagi menjadi trauma langsung dan tidak langsung. [16]
a. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang
dan terjadi pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami
kerusakan.
b. Trauma tidak langsung
Suatu kondisi trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh
dari daerah fraktur. Misalnya, jatuh dengan tangan ekstensi
dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini
biasanya jaringan linak tetap utuh.
Fraktur dapat juga terjadi ketika tekanan yang menimpa
tulang lebih besar dari pada daya tahan tulang akibat trauma.
Fraktur terjadi Fraktur terjadi karena penyakit tulang seperti tumor
tulang, osteoporosis yang disebut fraktur pathologis. Fraktur stress
atau fatigue, fraktur yang fatigue biasanya sebagai akibat dari
penggunaan tulang secara berlebihan yang berulang ulang. [16]

3. Klasifikasi fraktur
Klasifikasi fraktur dapat dibagi dalam klasifikasi penyebab,
klasifikasi jenis, klasifikasi klinis, dan klasifikasi radiologis. [16]
a. Klasifikasi penyebab
1. Fraktur traumatik
Disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan
kekuatan yang besar. Tulang tidak mampu menahan trauma
tersebut sehingga terjadi fraktur.
2. Fraktur potologis
Disebabkan oleh kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan
patologis di dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerahdaerah tulang yang telah menjadi yang telah menjadi lemah karena
tumor atau proses patologis lainnya. Tulang sering kali
menunjukan penurunan densitas. Penyebab yang paling sering dari
fraktur- fraktur semacam ini adalah tumor, baik primer maupun
metastasis.
3. Fraktur stress
Disebabkan oleh trauma yang terus menerus pada suatu tempat
tertentu
b. Klasifikasi jenis fraktur
1. Fraktur terbuka, terdiri dari 3 derajat:
a. Derajat I
- Luka < 1cm
- Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka
remuk
- Fraktur sederhana, transversal
- Kontaminasi minimal
b. Derajat II
- Laserasi > 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak tidak luas
- Fraktur komunitif sedang
- Kontaminasi sedang
c. Derajat III
- Jaringan lunak yang menutupi tulang adekuat, ada laserasi
fraktur segmental
- Kehilangan jaringan lunak, fraktur terpapar atau
terkontaminasi

Luka pada pembuluh darah arteri atau saraf perifer harus


diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak

2. Fraktur tertutup
3. Fraktur kompresi
4. Fraktur stress
5. Fraktur avulsi
6. Greenstick fracture (fraktur lentuk/ salah satu tulang patah sedang
sisi lain membengkak)
7. Fraktur transversal
8. Fraktur kominutif (tulang pecah menjadi beberapa fragmen)
9. Fraktur imppaksi (sebagian fragmen tulang masuk ke dalam tulang
lain)
c. Klasifikasi Klinis
1. Fraktur tertutup
Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh
fragmen tulang sehingga lokasi fraktur tidak tercemar oleh
lingkungan atau tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka
Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk dalam atau dari luar.
3. Fraktur dengan komplikasi
Fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya mal-union,
delayed union, non- union, serta infeksi tulang
d. Klasifikasi Radiologis
1. Fraktur transversal
Frakttur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang. Apabila dikontrol dengan bidai gips dapat stabil
2. Fraktur kominutif
Serpihan- serpihan/terputusnya keutuhan jaringan dimana terdapat
lebih dari dua fragmen tulang.
3. Fraktur oblik
Fraktur yang membentuk sudut terhadap tulang. Fraktur ini sulit di
perbaiki dan tidak stabil.
4. Fraktur segmental
Fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan terpisahnya
segmen sentral dari suplai darahnya. Fraktur ini sulit di tangani,

biasanya satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah akan sulit
sembuh dan mungkin memerlukan pengobatan secara bedah.
5. Fraktur impaksi/ kompresi
Fraktur ini terjadi ketika 2 tulang menumbuk tulang yang berada
diantaranya, seperti misalnya tulang vertebra dengan 2 vertebra
lainnya (sering disebut dengan brust fracture).
6. Fraktur spinal
Timbul akibat torsi pada ekstermitas. Khasnya pada cedera terputar
sampai tulang patah. Fraktur ini cepat sembuh dengan imobolisasi
luar.
4. Patofisiologi fraktur
a. Bagaimana mekanisme nyeri pada fraktur?
Menurut International Association for the Study of Pain
(IASP) tahun 1986 nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik
dan emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan
adanya kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi,
atau dideskripsikan berdasarkan kerusakan tersebut. Jadi, nyeri
yang dirasakan orang lain karena tertusuk duri sama dengan
nyeri yang dirasakan terhadap orang lain lagi itu sama karena
tergantung dari pengalaman sensorik dan emosional masingmasing orang untuk mengungkapkannya sebagai suatu Nyeri.
Jadi nyeri itu bersifat subjektif dan merupakan suatu sensasi
sekaligus emosi.
Klasifikasi nyeri dibedakan berdasarkan durasi dan
patofisiologi.
Berdasarkan durasinya :

Nyeri akut : nyeri akut ini merupakan reaksi fisiologis tubuh


kita terhadap adanya kerusakan jaringan ( misalnya akibat

trauma). durasi untuk nyeri akut kurang dari 6 bulan


Nyeri kronik. nyeri kronik merupakan suatu reaksi patologis
atau merupakan nyeri yang tidak mereda setelah diberi

pengobatan atau intervensi. Nyeri kronik durasinya lebih


dari 6 bulan.
Berdasarkan patofisiologinya :

Nyeri nociceptive: nyeri nociceptive merupakan suatu


respon tubuh terhadap adanya stimulus nyeri misalnya waktu

ada trauma.
Nyeri neuropathic : Nyeri neuropathic ini berkaitan dengan
gangguan atau disfungsi dari jaringan saraf.
Pain
Stimulation of
nociceptors
Somatic
pain

Viscera
pain

Fast pain
slow pain

Referred
pain

Non-nocicieptor
pain
Inflamatory

Neuropathic
pain

Lesions to
nerves or
cns

Central
neuropathic
pain

Muscle pain

Nyeri dapat terjadi akibat stimulasi dari nociceptor dan


bukan akibat nociceptor. Nociceptor merupakan reseptor
sensorik yang bertanggung jawab pada stimulus yang berpotensi
menyebabkan kerusakan jaringan. Nociceptor pada otot terletak
pada sarcolemma, periosteum, dan sendi, Nyeri akibat stimulasi
nosiseptor atau yang biasa kita sebut nyeri nosiseptive itu dibagi
menjadi nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik
superficial (kulit) dan nyeri somatik dalam. Nyeri somatik
superfisial berasal dari kulit dan karena kulit memiliki banyak
saraf sensorik sehingga kerusakan di kulit menimbulkan sensasi
yang lokasinya lebih akurat (jelas). Sedangkan nyeri somatik
dalam, nyerinya berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang,
sendi dan arteri. Nyeri ini sering tidak jelas karena memiliki
lebih sedikit reseptor nyeri. Nyeri somatik ini ada nyeri cepat
(berhubungan dengan serabut saraf A-delta yang menghantarkan

nyeri yang tajam, terlokalisir, intensitas jelas) dan nyeri lambat


(berhubungan dengan serabut saraf C yang menghantarkan nyeri
yang membakar, tidak terlokalisir, dan persisten). Nyeri visceral
merupakan nyeri yang berasal dari organ-organ tubuh seperti
lambung, kandung empedu, dan ureter. Reseptor nyeri viseral ini
lebih jarang dibandingkan dengan reseptor nyeri somatik
(nyerinya kurang jelas). Sedangkan nyeri yang bukan akibat
nociceptive atau nyeri non nociceptor adalah nyeri yang timbul
akibat inflamasi dan nyeri akibat gangguan saraf atau kelainan
pada saraf. Kelainan yang berasal dari gangguan pada saraf bisa
terjadi karena terdapat lesi pada saraf atau Cerebral Nervus
System (CNS) dan bisa akibat gangguan saraf pusat.
Nyeri akut merupakan nyeri yang normal akibat respons
fisiologi tubuh kita terhadap stimulus kimia, suhu dan mekanik.
Penyebabnya biasanya diketahui misalnya karena operasi atau
trauma. Umumnya termasuk nyeri somatik. Nyeri akut ini
berlangsung singkat jadi mudah hilang. Nyeri akut ini dapat
diobati dengan terapi yang tepat atau dengan pengobatan
misalnya dengan terapi opioid. Nyeri kronik ini merupakan
nyeri akibat proses patologis dan berlangsung terus menerus
akibat penyebabnya keganasan atau tidak. Misalnya nyeri kronik
akibat OA, sakit pinggang yang kronik, sakit kepala yang
kronik, nyeri neuropati, dan nyeri viseral yang kronik. Nyeri
kronik berlangsung di luar waktu penyembuhan luka, selama
berbulan-bulan ( > 6 bulan) atau berulang secara teratur selama
jangka waktu yang lama. Nyeri ini melibatkan komponen
neuropati. Penyebab nyeri ini karena kondisi medis yang kronik,
mengancam kehidupan atau penyebab yang tidak diketahui dan
nyeri ini lebih sulit untuk diobati.
Nyeri

patofisiologi ada nyeri nociceptive dan nyeri

neuropati. Nyeri nociceptive dibagi menjadi nyeri nociceptive

somatic dan nyeri nociceptive viseral. Nyeri nociceptive somatic


dibagi nyeri somatik superfisial ( nyerinya di kulit dan jaringan
subkutis sehingga lokasi nyeri yang dirasakan jelas ( karena
banyak saraf di kulit kita) dan nyeri somatik dalam ( nyeri yang
berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi dan arteri
dan lokasi nyeri yang dirasakan kurang jelas karena memiliki
sedikit reseptor nyeri). Nyeri nociceptive viseral adalah nyeri
yang berasal dari organ-organ tubuh dan nyeri ini kurang jelas
lokalisasi nyerinya dan sering dirujuk atau dialihkan ke suatu
daerah permukaan kulit yang jauh dari asalnya. Misalnya kita
merasakan nyeri lambung tetapi nyeri yang kita rasakan bukan
pada lambungnya tapi nyeri yang dirasakan malah di sekitar
kulit punggung. Nyeri somatic ini biasa ditunjukkan dengan
nyeri yang tajam, berdenyut, sakit atau rasa tekan.
Nyeri neuropati merupakan nyeri akibat kerusakan atau
disfungsi SSP atau saraf perifer tanpa melibatkan eksitasi
reseptor nyeri (nosiseptor). Nyeri neuropati biasanya memiliki
kualitas nyeri seperti terbakar, perih atau seperti tersengat listrik.
Nyeri neuropati ini dibagi menjadi epicritic neuropathic pain
dan protopathic neuropathic pain. Epicritic neuropathic pain ini
merupakan nyeri yang menyengat dan menempel di lokasi
secara kontinyu dan terkait dengan serat A-delta. Sedangkan
protopathic neuropathic pain merupakan nyeri tumpul , dalam ,
dan sakit dan terkait dengan serat tipe C.
Nociception (nosisepsi) ini mendeteksi stimulus akibat
kerusakan

jaringan

yang

mengenai

ujung-ujung

saraf

(nociceptor) di kulit dan struktur yang lebih dalam. Hal ini


melibatkan serat A-delta dan serat C pada saraf perifer untuk
menyebarkan informasi (menghantarkan impuls).
Tipe-tipe reseptor nociceptive itu ada nosiseptor unimodal dan
nosiseptor polimodal. Nosiseptor unimodal (uni kan satu) itu

merespon terhadap 1 stimulus yaitu stimulus nociceptive. Nah,


kalau nosiseptor polimodal (poli kan banyak) itu merespon
terhadap banyak stimulus (h> 1) yaitu stimulus nociceptive,
kimia, dan mekanik.

Nociceptive Pain
Pain caused by injury to
body tissues
(musculoskeletal,
cutaneous or visceral)2

Sensitisasi merupakan mekanisme peningkatan eksitasi di


neuron sehingga lebih sensitive terhadap neuron. Sensitisasi
disini juga merupakan manifestasi dari plastisitas neuron.

Dalam
respon

nyeri

yang normal, intensitas nyeri meningkat seiring dengan


meningkatnya intensitas stimulus yang ada. Alodinia merupakan
nyeri yang disebabkan oleh stimulus yg yg scr normal tidak
menimbulkan rasa nyeri tapi malahan menimbulkan nyeri.
Sedangkan hiperalgesia merupakan respon nyeri yang berlebihan

terhadap stimulus yang normal (alias lebay, karena dikasih


stimulus nyeri yang biasa aja, responnya lebay)
Sensitisasi menyebabkan cedera, terlihat kurva bergeser ke
kiri,

mengakibatkan

hiperalgesia,

di

mana

stimulusnya

menyebabkan rasa sakit lebih besar dan lebih lama, serta


allodynia, di mana hasil dari rasa sakit nya biasa.
Penyampaian impuls nyeri dari organ penerima impuls
(afektor) ke organ penyampaian impuls (efektor). Pertama-tama
terdapat stimulus (kimia, suhu maupun mekanik) kemudian
diterima oleh reseptor sensorik di kulit kemudian dihantarkan
oleh saraf sensorik melewati ganglion radiks dorsalis lalu
menjadi radiks dorsalis kemudian ke columna grisea posterior.
Setelah

itu

dihantarkan

oleh

radiks

ventralis

kemudian

dihantarkan oleh saraf motorik kemudian dihantarkan ke otot


(efektor) melalui neuromuscular junction (pertautan antara saraf
dan otot).
b. Mengapa terjadi bengkak pada siku?
Respons tubuh pada saat fratur sama dengan respons tubuh
apabila ada cedera di bagian tubuh lain oleh penyebab yang lain.
Terjadi pendarahan pada jaringan yang cedera dan pembentukan
hematoma pada lokasi fraktur. Ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera
akan diinvasi leh sel-sel radang yang membersihkan daerah
tersebut dari benda asing atau jaringan mati. Secara ringkas,
daerah fraktur mengalami inflamasi. Proses tersebut akan
mengakibatkan timbulnya pembengkakan pada daerah fraktur.
Berkurangnya pembengkakan menandakan akan berakhirnya
proses inflamasi. [16]
c. Apa yang menyebabkan bunyi krek?

Trauma yang terjadi tidak selalu mengakibatkan fraktur.


Tulang mempunyai daya lentur dengan kekuatan yang memadai,
hanya trauma yang melebihi daya lentur tersebut yang dapat
mengakibatkan fraktur. Bila terjadi fraktur tertutup pada tulang
maka tulang yang patah tersebut tidak dapat dilihat karena tulang
tersembunyi dibalik kulit, fasia, bahkan otot. Gejala klinis yang
dapat membedakan fraktur dengan cedera lain antara lain seperti:

Pembengkakan. Kecuali frakturnya terjadi jauh didalam

seperti pada tulang leher atau tulang paha.


Perubahan bentuk, dapat terjadi angulasi (terbentuk sudut),

rotasi (terputar), atau pemendekan.


Terdapat rasa nyeri yang sangat pada daerah fraktur.
Bunyi krek yang timbul saat terjadinya trauma. Bunyi
tersebut menandakan terjadinya fraktur pada tulang.
Pada saat anamnesis pada pasien sangat perlu ditanyakan

apakah mendengar bunyi krek saat pasien terjatuh (Helmi,


2012). Bunyi krek yang timbul saat trauma menunjukkan
terjadinya fraktur. Energi mekanis yang berpindah pada tulang
tidak dapat ditahan oleh daya lentur tulang. Energy mekanis
tersebut akan menyebabkan fraktur tulang. Patahnya tulang
tersebut menimbulkan suara krek yang khas. [16]
5. Proses penyembuhan fraktur
Ketika mengalami cedera fragmen, tulang tidak hanya ditambal
dengan jaringan parut, tetapi juga akan mengalami regenerasi
secara bertahap. Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang.
[16]

1. fase 1: inflamasi
Respon tubuh pada saat mengalami fraktur sama dengan respons
apabila ada cedera di bagian tubuh lain. Terjadi perdarahan pada
jaringan yang cedera dan pembentukan hematoma pada lokasi

fraktur. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena


terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan
diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar) yang akan
membersihkan daerah tersebut dari zat asing. Pada saat ini
terjadi inflamasi, pembengkakan,dan nyeri. Tahap inflamasi
berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri. [16]
2. Fase 2: Proliferasi sel
Dalam sekitar lima hari, hematoma akan mengalami organisasi.
Terbentuk benang-benang fibrin pada darah dan membentuk
jaringan untuk revaskularisasi, serta invasi fibroblast dan
osteoblas. [16]
Fibroblast dan osteoblas (berkembang dari osteosit, sel
endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan
proteoglikan sebagai matrik kolagen pada patahan tulang.
Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (esteoid). Dari
periosteum tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan
tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat
patah tulang. Namun, gerakan yang berlebihan akan merusak
struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukan
potensial elektronegatif. [16]
3. Fase 3: Pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan
tumbuh mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen
patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibus, tulang
rawan, dan serat tulang imatur. Bentuk kalus dan volume yang
dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung
berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang.
Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang
tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara
klinis, fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. [16]
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam
dua sampai tiga minggu patah tulang melalui proses penulangan

endokondrial. Mineral terus-menerus ditimbun sampai tulang


benar-benar telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap
bersifat elektronegatif. Pada patah tulang panjang orang dewasa
normal, penulangan memerlukan waktu tiga sampai empat
bulan. [16]
4. Fase 4: Remodeling menjadi tulang dewasa
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan
jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan structural
sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun bergantung pada beratnya modifikasi
tulang yang dibutuhkan fungsi tulang, dan stress fungsional pada
tulang (pada kasus yang melibatkn tulang kompak dan
kanselus). Tulang kanselus mengalami penyembuhan dan
remodeling lebih cepat daripada tulang kortikal kompak,
khususnya pada titik kontang langsung. Ketika remodeling telah
sempurna, muatan permukaan patah tulang tidak lagi negative.
[16]

Proses

peyembuhan

tulang

dapat

dipantau

dengan

pemeriksaan sinar X.Imobilisasi harus memadai sampai tandatanda adanya kalus tampak pada gambaran sinar X. Kemajuan
program terapi (dalam hal ini pemasangan gips pada pasien yang
mengalami

patah

tulang

femur

telah

ditinggalkan

dan

diimobilisasi dengan traksi skelet) ditentukan dengan adanya


bukti penyembuhan patah tulang. [16]
6. Faktor yang mempengaruhi peyembuhan fraktur
Berbagai faktor local, sistemik, dan lingkungan eksternal
mempengaruhi proses penyembuhan fraktur. Faktor-faktor local
yang berpengaruh adalah kerusakan yang luas pada tulang dan
jaringan lunak di sekitar fraktur, terputusnya suplai pembuluh
darah, terdapatnya imposisi jaringan lunak di antara fragmen
fraktur, immobilisasi dan rsduksi yang inadekuat, adanya infeksi
atau proses keganasan, dan tulang yang nekrotik akibat

avaskularitas, radiasi, trauma panas dan kimiawi, atau infeksi.


Faktor-faktor sistemik yang berpengaruh adalah umur, hormone,
aktivitas fungsional, fungsi saraf dan nutrisi. [21]
Faktor lingkungan eksternal yang berpengaruh terutama
faktor mekanis. Apabila kompresi yang diberikan pada tulang
terlalu kuat maka sel-sel tulang akan nekrosis. Juga stres yang
inadekuat

di

antara

fragmen-fragmen

menimbulkan

proses

osteogenik.

pemakaian weight bearing cast

fraktur

Kompresi

akan

gagal

sirkuler

pada

atau cast brace akan

menguntungkan jika digunakan dengan cara dan waktu yang tepat.


[21]

Menurut (Underwood, 1999), Berbagai faktor yang menghambat, atau


bahkan menghentikan penyembuhan tulang: [33]
1. Pergerakan
Pergerakan antara kedua ujung tulang, selain menimbulkan nyeri,
juga berakibat terjadinya kalus yang berlebihan dan menghalangi
atau memperlambat proses penyatuan jaringan. Apabila berlanjut,
pergerakan ini akan menghalang pembentukan tulang dan diganti
dengan jaringan ikat kolagen, sehingga akan terbentuk sendi palsu
ada fraktur. Pergerakan yang lebih ringan akan menyebabkan
pembentukan kalus yang berlebihan sehingga membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk diresorpsi dan menekan bangunan-bangunan
disekitarnya. [33]
2. Jaringan lunak yang ada di antara kedua ujung tulang
Jaringan yang terselip diujung-ujung yang patah, selama belum
dapat disingkirkan akan menghambat penyembuhan dan
menimbulkan resiko tidak terjadi penyatuan. [33]
3. Ketidaklurusan letak tulang
Kedudukan kedua tulang yang tidak tepat akan menghambat
kecepatan penyembuhan dan mengganggu fungsi tulang, sehingga
meningkatkan resiko timbulnya penyakit degenerative pada sendi
di dekatnya (osteoathrosis). [33]
4. Infeksi
Infeksi yang terjadi di tempat fraktur akan menghambat
penyembuhan dan memudahkan timbulnya osteomyelitis kronis.
Infeksi ini mudah terjadi bila kulit penutup tempat fraktur ikut
sobek. [33]

5. Penyakit tulang yang telah ada sebelumnya


Apabila tulang yang patah tersebut tidak normal, patah tulang
tersebut disebut fraktur patologis. Tulang seperti dapat mengalami
fraktur oleh daya tekan ringan yang tidak cukup untuk
menimbulkan fraktur pada tulang normal, atau patah secara
spontan. Patah tulang patologis inidapat terjadi akibat kelainan
primer tulang atau kelainan sekunder tulang akibat penyakit lain,
misalnya metastasis karsinoma. [33]
Menurut (Helmi,2012) beberapa faktor yang dapat menentukan
penyembuhan fraktur . Setiap faktor akan memberikan pengaruh penting
terhadap proses penyembuhan. Faktor yang dapat menurunkan proses
penyembuhan fraktur pada pasien harus dikenali sebagai parameter dasar
untuk pemberian intervensi selanjutnya yang lebih komprehensif..
Penyembuhan fraktur berkisar antara tiga minggu sampai empt bulan.
Waktu penyembuhan pada anak secara kasar separuh waktu penyembuhan
daripada orang dewasa. [16]
Faktor- faktor penyembuhan fraktur: [16]
1. Umur penderita
Pada anak-anak lebih cepat daripada orang dewasa. Hal ini karena
aktivitas osteogenesis pada periosteum dan ebdosteum, serta proses
proses remodeling tulang. Pada bayi proses penyembuhan sangat cepat
dan aktif, namun kemampuan ini semakin berkurang apabila umur
bertambah.
2. lokalisasi dan konfigurasi fraktur
Lokalisaai fraktur sangat berperan penting. Fraktur metafisis
penyembuhannya lebih cepat daripada diafisis. Disamping itu
konfigurasi seperti fraktur transversal lebih lambat penyembuhannya
dibandingkan dengan fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak.
3. Pergeseran awal fraktur
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana periosteum tidak bergeser,
maka penyembuhan dua kali lebih cepat dibandingkan pada fraktur
bergeser.
4. Vaskularisasi pada kedua fragmen
Apabila kedua fragmen mempunyai vaskularisasi yang baik, maka
penyembuhan biasanya tanpa komplikasi. Namun, apabila salah satu
sisi fraktur vaskularisasinya buruk, maka akan menghambat atau
bahkan tidak terjadi tautan yang dikenal dengan non-union.
5. Reduksi serta imobilisasi
Reposisi fraktur akan menberika kemungkinan untuk vaskularisasi yang
lebih baik dalam bentuk asalnya. Imobilisasi yang sempurna akan

mencegah pergeseran dan kerusakan pembuluh darah yang akan


mengganggu dalam proses penyembuhan fraktur.
6. Waktu imobilisasi
Jika imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum
terjadi tautan (union), maka kemungkinan terjadinya non-union sangat
besar
7. Ruang diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak.
Jika ditemukan interposisi jaringan baik berupa periosteum maupun otot
atau jaringan fibrosa lainnya, maka akan menghambat vaskularisasi
kedua ujung fraktur.
8. faktor adanya infeksi dan keganasan local
Infeksi dan keganasan akan memanjang proses inflamasi local yang
akan menghambat proses penyembuhan dari fraktur.
9. Cairan synovial
Pada persendian, dimana terdapat cairan synovial, merupakan hambatan
dalam penyembuhan
10. Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak
Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak akan meningkatkan
vaskularisasi daerah fraktur, tetapi gerakan yang dilakukan pada daerah
frakturr tanpa imobilisasi yang baik juga akan mengganggu
vaskularisasi.
11. Nutrisi
Asupan nutrisi yang optimal dapat memberikan suplai kebutuhan
protein untuk proses perbaikan. Pertumbuhan tulang menjadi lebih
dinamis bila ditunjang dengan asupan nutrisi yang optimal.
12. Vitamin D
Vitamin D memengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D dalam
jumlah besar dapat menyebabkan absorpsi tulang seperti yang terlihat
pada kadar hormone paratiroid yang tinggi. Vitamin D dalam jumlah
yang sedikit akan membantu kalsifikasi tulang (membantu kerja
hormone paratiroid), antara lain dengan meningkatkan absorpsi kalsium
dan fosfat oleh usus halus.
7. Komplikasi fraktur
Pada awalnya akan mengalami baal yang disertai dengan
pembekakan pada daerah fraktur.
a. Baal
1. definisi
Istilah baal paling tepat dipadankan dengan paresthesia.
Paresthesia timbul karena hiperaktivitas neural yang timbul
ektopik dari serabut saraf . Sensasi yang timbul dapat berupa
kekakuan, tertusuk, kesemutan, pentul dan jarum, sakit, gatal,

dingin dan panas.

[13]

Jika saraf, radiks sensori atau traktus

spinal rusak atau sebagian terganggu, pasien akan mengeluhkan


kesemutan atau rasa tertusuk-tusuk, sensasi mirip kram, atau
rasa tebakar atau rasa teriris terjadi secara spontan atau respons
terhadap stimulus. [29]
Sebelum mengenal patofisiologi baal, akan dibahas
beberapa istilah/tata nama yang digunakan untuk menjabarkan
sensasi abnormal. Menurut Ropper and Brown (2005) istilahistilah berikut antara lain: [29]
Dysesthesia : sensasi abnormal

yang

dirasa

tidak

mengenakkan bagi pasien.


Hyperalgesia : respons nyeri yang berlebihan dari stimulus
nyeri yang normal; biasanya melibatkan aspek penjumlahan

stimulus konstan yang berulang.


Hyperesthesia : persepsi stimulus sentuhan yang berlebihan.
Allodynia : persepsi nyeri abnormal dari stimulus panas atau

mekanis yang sebenarnya tidak menyakitkan


Hypoalgesia: penurunan sensitivitas dan

ambang batas stimulus nyeri.


Anesthesia : hilangnya persepsi semua sensasi terutama

sentuhan.
Analgesia : hilangnya persepsi terhadap stimulus nyeri
Paresthesia : sensasi abnormal spontan (tanpa rangsangan)

meningkatnya

namun belum dirasa tidak mengenakkan oleh pasien.


2. Patofisiologi
Data eksperimen mendukung pandangan tersebut karena
terbukti bahwa serabut saraf panas, nyeri, sentuhan, dan
tekanan menjadi hipereksitasi dan menghasilkan impuls di
tempat tak normal sepanjang tempat persarafannya,. Sensasi
abnormal ini disebut patesthesia.
Karakteristik klinis sensasi mungkin menunjuukan serabut
saraf yang terlibat. Bila serabut saraf sentuhan yang
terstimulasi maka akan timbul sensasi kesemutan, bila

propioseptor yang terstimulasi maka akan timbul sensasi kram


semu. Bila serabut panas yang terlibat maka akan timbul
sensasi panas bahkan terbakar dan sensasi dingin. Dan bila
sensasi A delta yang distimulus maka akan timbul rasa tertusuktusuk dan rasa nyeri. [29]
Paresthesia timbul dari pelepasan muatan ektopik pada
serabut saraf sensoris besar yang terinduksi akibat kompresi
saraf, hipokalsemia, dan penyakit saraf. Timbulnya paresthesia
yang menetap selalu dapat dicurigai sebagai tanda terdapatnya
lesi yang melibatkan jaras sensoris pada saraf, saraf spnal atau
struktur yang lebih tinggi. Namun yang peling banyak terlibat
ialah adalah saraf perifer atau kolumna posterior. [29]
Pola-pola sensasi abnormal dapat menunjukkan persarafan
yang mengalami lesi seperti pada tabel berikut
Distribusi sensor yang
terganggu
Persarafan tunggal
Persarafan jamak pada satu
lengan
Radiks saraf tunggal
Radiks spinal jamak pada satu
lengan
Radiks spinal jamak pada satu
tungkai bawah
Sumber: (Goetz, 2007)

Diagnosis klinis
Mononeuropati
Pleksopati brachial
infraklavikular
Radikulopati
Pleksopati brachial
supraklavikular
Pleksopati
lumbosakral

b. Komplikasi lainnya
Setelah terjadinya fraktur, dapat terjadi kerusakan saraf
tepi akibat sindrom kompartemen dan trauma saraf tepi.
1. Sindrom kompartemen
a. Definisi
Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana
terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan
yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang
tertutup. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh
darah. Ketika tekanan intrakompartemen meningkat, perfusi
darah ke jaringan akan berkurang dan otot di dalam
kompartemen akan menjadi iskemik [4] [5] [10]

b. Patofisiologi
Patofisiologi

sindroma

kompartemen

melibatkan

hemostasis jaringan lokal normal yang menyebabkan


peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler dan nekrosis jaringan lokal akibat hipoksia.

[5]

Ketika tekanan dalam kompartemen melebihi tekanan darah


dalam kapiler dan menyebabkan kapiler kolaps, nutrisi
tidak

dapat

mengalir

keluar

ke

sel-sel

dan

hasil

metabolisme tidak dapat dikeluarkan. Hanya dalam


beberapa jam, sel-sel yang tidak memperoleh makanan akan
mengalami kerusakan. Pertama-tama sel akan mengalami
pembengkakan, kemudian sel akan berhenti melepaskan
zat-zat kimia sehingga menyebabkan terjadi pembengkakan
lebih

lanjut.

Pembengkakan

yang

terus

bertambah

menyebabkan tekanan meningkat.[3][20] Aliran darah yang


melewati kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini
penghantaran oksigen juga akan terhenti. Terjadinya
hipoksia menyebabkan sel-sel akan melepaskan substansi
vasoaktif (misal : histamin, serotonin) yang meningkatkan
permeabilitas

endotel.

Dalam

kapiler-kapiler

terjadi

kehilangan cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan


jaringan dan memperberat kerusakan disekitar jaringan dan
jaringan otot mengalami nekrosis.[28] Sindrom kompartemen
menyebabkan tekanan yang tinggi di sekeliling jaringan.
Penekanan pada arteri yang mensuplai nutrisi pada saraf
dan otot menyebabkan sel saraf dan otot iskemik dan mati.
Dekompresi pada sindrom kompartemen harus dilakukan
24 jam pertama. [18]
c. Gejala klinis
Gejala klinis yang umum ditemukan pada sindroma
kompartemen, yaitu : [22]

1. Pain (nyeri) : nyeri pada jari tangan atau jari kaki pada saat
peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada
trauma langsung.
2. Pallor (pucat) : kulit terasa dingin jika di palpasi, warna
kulit biasanya pucat, abu-abu atau keputihan.
3. Parestesia : biasanya memberikan gejala rasa panas dan
gatal pada daerah lesi.
4. Paralisis : biasanya diawali dengan ketidakmampuan untuk
menggerakkan sendi, merupakan tanda yang lambat
diketahui.
5. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi) :
akibat adanya gangguan perfusi arterial.
2. Cidera Saraf Tepi
Saraf tepi bisa trauma terbuka, tertutup atau akibat tekanan
akibat penjeratan lokal pada daerah spesifik ekstremitas.
a. Etiologi
Cedera saraf tepi dapat dikarenakan luka terbuka (benta tajam,
peluru), traksi (peregangan, tindakan bedah), patah tulang atau
dislokasi sendi. Lebih jarang adalah luka kerusakan oleh
jepitan atau tekanan akibat pemasangan bidai, atau bebat yang
terlalu kencang, turniket atau keadaan yang menimbulkan
iskemik. [22]
b. Gejala klinis
Cedera saraf tepi dapat menyebabkan kehilangan fungsi motorik,
sensorik atau keduanya. [19]

c. Patofisiologi
Cedera saraf perifer menyebabkan impuls dari perifer tidak
sampai ke sistem saraf pusat, sehingga dapat bermanifestasi
hilangnya sensasi sensorik ataupun parestesi. Hantaran impuls
dari sistem saraf pusat tidak dapat sampai ke otot yang
diinervasi oleh saraf yang cedera. Hal ini bermanifestasi lemah
ataupun kehilangan kekuatan motorik. [19]

Menurut (Helmi,2012) Secara umum komplikasi fraktur terdiri atas


komplikasi awal dan komplikasi akhir.
a. Komplikasi Awal
1. Syok
Syok terjadi

karrena

kehilangan

banyak

darah

dan

meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan


menurunnya oksigenasi. Hal ini biasanya terjadi pada fraktur.
Pada beberapa kondisi tertentu,, syok neurogenik sering tejadi
pada fraktur femur karena rasa sakit yang hebat pada pasien.
2. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh: tidak adanya
nadi; CRT (Capillary Refill Time) menurun; sianosis bagian
distal; hematoma yang lebar; serta dingin pada ekstremitas
yang

disebabkan oleh

tindakan emergensi

pembidaian,

perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan


pembedahan.
3. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
terjebaknya otot, tulang, saraf dan pembuluh darah dalam
jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari edema atau
pendarahan yang menekan otot, saraf dan pembuluh darah.
Kondisi sindrom kompartemen akibat komplikasi fraktur hanya
terjadi pada fraktur yang dekat dengan persendian dan jarang
pada bagian tengah. Tanda khas sindrom kompartemen adalah
5P, yaitu: Pain (nyeri local), Paralysis (kelumpuhan tungkai),
Pallor (pucat bagian distal), Parestesia (tidak ada sensasi) dan
Pulsesessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi
yang tidak baik, dan CRT >3 detik pada bagian distal kaki).
4. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma jaringan. Pada
trauma ortopedik infeksi dimulai pad akulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur

terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam


pembedahan seperti pin atau plat.
5. Avaskular nekrosis
Avaaskular nekrosis terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkmans Ischemia.
6. Sindrom emboli lemak
Sindrom emboli lemak adalah komplikasi serius terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. Hal ini terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan di sumsum tulang kuning masuk ke
aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah
rendah yang ditandai dengan gangguan pernapasan, takikardi,
hipertensi , takipnea dan demam
b. Komplikasi Akhir
1. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk sembuh
atau tersambung dengan baik. Ini disebabkan karena penurunan
suplai darah ke tulang. Delayed Union adalah fraktur yang
tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan. Non-Union
Non-Union adalah fraktur yang tidak sembuh dalam waktu
antara 6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga terdapat
pseudoartrosis (sendi palsu).
2. Mal-Union
Mal-Union adalah keadaan dimana fraktur semuh pada
saatnya,m tetapi terdapat deformitas yang berberbentuk
angulasi, varus/valgus, pemendekan atau menyilang.

8. Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis Untuk fraktur-fraktur dengan tandatanda klasik, diagnosis dapat dibuat secara klinis sedangkan

pemeriksaan radiologis tetap diperlukan untuk melengkapi


deskripsi fraktur dan dasar untuk tindakan selanjutnya. Untuk
fraktur-fraktur yang tidak memberikan tanda-tanda klasik
memang diagnosanya harus dibantu pemeriksaan radiologi baik
rontgen atau pun dengan melakukan pemeriksaan canggih
seperti MRI, misalnya untuk fraktur tulang belakang dengan
komplikasi neurologis. Foto rontgen minimal harus 2 proyeksi
yaitu AP dan lateral. AP dan lateral harus benar-benar AP dan
lateral, jika ada posisi yang salah akan memberikan
interprestasi yang salah. Untuk pergelangan tangan atau sendi
panggul diperlukan posisi axial pengganti lateral. Untuk
acetabulum diperlukan proyeksi khusus alar dan obturator.
Pemeriksaan radiologis dapat menggunakan bantuan x-ray
image yang berdasarkan rules of two yang meliputi 2 posisi
(AP dan LAT), 2 sendi (sendi atas dan bawah tulang yang
patah) dan 2 ekstremitas (kanan dan kiri) seperti pada gambar 1
dan

terutama

pemeriksaan

pada

anak

yang

lempeng

pertumbuhan masih aktif. Pemeriksaan x-ray image ini harus


dilakukan 2 kali yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
Pada pemeriksaan radiologis ini dengan pembuatan foto
rontgen 90 derajat didapatkan gambaran garis patah. Pada patah
yang fragmennya mengalami dislokasi, gambaran garis patah
biasanya jelas. [11], [14]
Gambar 1 : Hasil rontgen dari pemeriksaan radiologis. Tampak
greenstick pada anak. Difoto dengan mengambil 2 sendi distal
dan proksimal.
Dalam banyak hal, pemeriksaan radiologi tidak dimaksudkan
untuk diagnostik karena pemeriksaan klinisnya sudah jelas,
tetapi untuk menentukan pengelolaan yang tepat dan optimal.
Foto tontgen juga harus memenuhi beberapa syarat, yaitu letak
patah tulang harus dipertengahan foto dan sinar harus
menembus tempat ini secara tegak lurus karena foto rontgen

merupakan foto gambar bayangan. Bila sinar menembus secara


miring, gambar menjadi samar, kuarang jelas, dan lain
kenyataan. Harus selalu dibuat dua lembar foto dengan arah
yang saling tegak lurus. Pada tulang, panjang persendian
proksimal maupun distal harus turut difoto seperti yang saya
jelaskan diatas. Bila ada kesangsian atas adanya patah tulang
atau tidak, sebaiknya dibuat foto yang sama dari anggota gerak
yang sehat untuk perbandingan. Bila tidak diperoleh kepastian
adanya kelainan, seperti fisura, sebaiknya foto diulang setelah
satu minggu dimana retak akan menjadi nyata karena hiperemia
setempat sekitar tulang yang retak itu akan tampak sebagai
dekalsifikasi. [24]
Working Diagnosis Diagnosis fraktur antebrachii ditegakkan
atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yaitu radiologis. Pada anak biasanya diperoleh
dengan alloanamnesis dimana ditemukan adanya riwayat
trauma dan

gejala-gejala

seperti

nyeri, pembengkakan,

perubahan bentuk dan gangguan gerak. Pada pasien dengan


riwayat trauma yang perlu ditanyakan adalah waktu terjadinya,
cara terjadinya, posisi penderita dan lokasi trauma. Bila tidak
ada riwayat trauma berarti merupakan fraktur patologis. Pada
fraktur antebrachii kita dapat menduga apakah anak tersebut
terkena fraktur monteggia ataukah fraktur galeazzi. Fraktur
monteggia merupakan fraktur sepertiga proksimal ulna disertai
dislokasi ke anterior, lateral dan juga posterior dari kapitulum
radius (pada gambar 2). Penyebabnya biasanya trauma
langsung terhadap ulna. Pengobatan dengan cara konservatif
biasanya berhasil pada anak, tetapi metode operatif sering men
jadi pilihan pada orang dewasa.
Sedangkan fraktur galeazzi merupakan fraktur distal radius
disertai dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal
(gambar 3). Terjadinya fraktur ini biasanya aklibat trauma

langsung

sis

lateral

letika

jatuh.

Gambaran

klinisnya

bergantung pada derajat dislokasi fragmen fraktur. Bila ringan,


nyeri dan tegang hanya dirasakan pada daerah fraktur dan bila
berat biasanya terjadi pemendekan lengan bawah. Pengobatan
secara konservatif mungkin kurang memuaskan, dan bila
demikian, terapi bedah menjadi pilihan.
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan
gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993).
Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
(Black, J.M, et al, 1993). [11] [12]
b. Tomografi, CT SCAN, MRI (jarang dilakukan)
c. Ultrasonografi dan scan tulang dengan radio isotop. (Scan
tulang

terutama

berguna

ketika

radiografi/CT

Scan

memberikan hasil negatif pada kecurigaan fraktur secara


klinis)
9. Penatalaksanaan fraktur
a. Fraktur tertutup bisa Konservatif dan Operatif
1. Terapi Konservatif
- Protesi saja (misal, mitella untuk fraktur
-

colium

chirurgiccum humeri)
Imobilisasi saja tanpa reposisi (misal, pemasangan gips)

2. Terapi operatif
- Reposisi terbuka, fiksasi interna
- Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti eksterna
b. Fraktur terbuka
1. Lakukan penanganan secepat mungkin waktu optimal 6-7
2.
3.
4.
5.
-

jam
Berikan analgetik
Berikan antibiotic
Lakukan pemeriksaan kultur dan resistensi kuman
Teknik debridmen
Lakukan narkosis
Bila luka cukup luas, pasang dulu torniket
Cuci ekstermitas selama 5-10 menit lalu lakukan
pencukuran (luka diirigasi dengan cairan NaCl steril atau

airr matang 5-10 menit)


- Lakukan tindakan desinfeksi
- Eksisi luka lapis demi lapis
Secara umum tatalaksana dilakukan berdasarkan empat tujuan
utam, meliputi:
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri
Nyeri timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri,
namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah
tersebut. Untuk mengurangi nyeri
2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal
dari fraktur
3. Agar terjadi penyatuan tulang kembali
Untuk mengembalikan fungsi seperti semula
10. Pemasangan kateter vena pada fraktur
Pemasangan kateter intravena adalah menempatkan cairan
steril melalui jarum langsung ke vena pasien. Biasanya cairan steril
mengandung

elektrolit

(natrium,

kalsium,

kalium),

nutrien

(biasanya glukosa), vitamin atau obat. [19] [34]


Pemasangan kateter intravena adalah menempatkan cairan
steril melalui jarum langsung ke vena pasien. Biasanya cairan steril
mengandung

elektrolit

(natrium,

kalsium,

kalium),

nutrien

(biasanya glukosa), vitamin atau obat. Pemasangan kateter


intravena digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien tidak

dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk memberikan


garam yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan
elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme, atau
untuk memberikan medikasi. (World Health Organization, 2005)
Pemasangan kateter intravena digunakan untuk memberikan
cairan ketika pasien tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi
atau syok, untuk memberikan garam yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang
diperlukan untuk metabolisme, atau untuk memberikan medikasi.
[19] [34]

11. Pemasangan bidai pada fraktur


Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat atau
bahan lain yang kuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan
atau menjaga agar bagian tulang yang patah tidak bergerak
(immobilisasi). [19] [34]
Pembidaian

Splinting)

adalah

Tindakan

untuk

mempertahankan sebagian/seluruh bagian anggota gerak dalam


posisi tertentu dengan alat. Pembidaian lazim di lakukan untuk
imobilisasi patah tulang,dislokasi ( sendi yang bergeser) dan juga
cedera jaringan lunak di sekitar sendi.[19] [34]
Tujuan Pembidaian
d. Mencegah pergerakan / pergeseran dari ujung tulang yang
patah
e. Mengurangi terjadinya cedera baru disekitar bagian tulang yang
patah
f. Memberi istirahat pada anggota badan yang patah
g. Mempercepat penyembuhan
h. Mengurangi/menghilangkan nyeri dengan cara mencegah
pergerakkan fragmen tulang,sendi yang dislokasi dan jaringan
lunak yang rusak.

i. Mencegah kerusakan lebih lanjut jaringan lunak (otot,medula


spinalis,syaraf perifer,pembuluh darah) akibat pergerakan ujung
fragmen tulang.
j. Mencegah laserasi kulit oleh ujung fragmen tulang ( fraktur
tertutup jadi terbuka).
k. Mencegah gangguan aliran darah akibat penekanan ujung
fragmen tulang pada pembuluh darah.
l. Mengurangi/ menghentikan perdarahan akibat kerusakan
jaringan lunak.
Macam Macam Bidai
1. Bidai keras
Umumnya terbuat dari kayu, alumunium, karton, plastik atau
bahan lain yang kuat dan ringan. Pada dasarnya merupakan
bidai yang paling baik dan sempurna dalam keadaan darurat.
Kesulitannya adalah mendapatkan bahan yang memenuhi
syarat di lapangan. Contoh : bidai kayu, bidai udara, bidai
vakum.
2. Bidai traksi
Bidai bentuk jadi dan bervariasi tergantung dari pembuatannya,
hanya dipergunakan oleh tenaga yang terlatih khusus,
umumnya dipakai pada patah tulang paha. Contoh : bidai traksi
tulang paha
3. Bidai improvisasi
Bidai yang dibuat dengan bahan yang cukup kuat dan ringan
untuk penopang. Pembuatannya sangat tergantung dari bahan
yang tersedia dan kemampuan improvisasi si penolong. Contoh
: majalah, koran, karton dan lain-lain.
4. Gendongan/Belat dan bebat
Pembidaian dengan menggunakan pembalut, umumnya dipakai
mitela (kain segitiga) dan memanfaatkan tubuh penderita
sebagai sarana untuk menghentikan pergerakan daerah cedera.
Contoh : gendongan lengan
Prinsip Pembidaian

6. Lakukan pembidaian pada tempat dimana anggota badan


mengalami cidera
7. Melewati minimal dua sendi yang berbatasan
8. Periksa sirkulasi , sensasi, gerakan sebelum dan sesudah
pembidaian
Syarat Pembidaian
a. Bidai harus melewati dua sendi, sebelum dipasang diukur
terlebih dahulu pada anggota badan yang tidak sakit
b. Ikatan jangan terlalu ketat dan jangan terlalu kendor
c. Bidai di balut atau dilapisi sebelum digunakan
d. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan
bawah tempat yang patah
e. Sepatu, cincin, gelang, dan alat yang mengikat tubuh lainnya
harus dilepas
12. Mengapa pada saat dibaringkan posisi tangan Panji harus
ekstensi
Ekstensi

dilakukan

dengan

meluruskan

tulang

yang

mengalami fraktur. Beberapa tujuan dilakukan ekstensi antara lain


untuk mengurang rasa nyeri. Rasa nyeri yang timbul utamanya
diakibatkan fragmen tulang yang patah menekan jaringan di
sekitarnya. Bila lengan difleksikan maka fragmen tulang
disektarnya dapat menekan jaringan di sekitarnya lebih besar
dibandingkan posisi saat ekstensi . [16]
Di samping itu, ekstensi juga dilakukan untuk menghasilkan
dan mempertahanakan posisi yang ideal dari fraktur. Lengan yang
ekstensi jauh lebih stabil dibandingkan lengan saat fleksi.
Kestabilan lengan akan mengakibatkan lengan tidak banyak
bergerak sehingga fragmen tulang yang patah tidak sering bergeser.
[16]

13. Aspek medikolegal pada kecelakaan


Asuransi adalah suatu sistem perlindungan terhadap suatu
risiko terjadi kerugian individu dengan cara mendistribusikan atau
membagi beban kerugian tersebut kepada individu-individu lain

dalam jumlah besar sesuai dengan law of averages. Peserta asuransi


tersebut membayar sejumlah premi yang dianggap sebagai
keikutsertaannya

dalam

membagi

risiko

tersebut,

dan

konsekuensinya ia berhak memperoleh kompensasi sejumlah


tertentu yang diperjanjikan dalam polis apabila ia terkena risiko
yang dipertanggungkan.
Dalam praktek ditemukan beberapa jenis asuransi, misalnya
asuransi jiwa, asuransi kesehatan dan kecacatan, asuransi
kebakaran, asuransi kecelakaan, dan asuransi kerugian.
Asuransi Kecelakaan adalah asuransi yang memberikan
santunan apabila terjadi kecelakaan apada seseorang yang
mengakibatkan orang tersebut cacat atau meninggal dunia.
Pada asuransi wajib belum ada kesepakatan antara perusahaan
asuransi

dengan

"peserta"

untuk

membolehkan

dokter

mengungkapkan penyakit atau sebab kematiannya, sehingga


diperlukan permohonan atau ijin dari ahli warisnya untuk membuat
Surat Keterangan Dokter.
Pada asuransi Jasa raharja, korban kecelakaan yang tidak
berhak menerima santunan adalah korban kecelakaan lalu lintas
yang bunuh diri, mencoba bunuh diri atau kesengajaan lain; korban
yang mabok/tidak sadar, melakukan kejahatan, cacat badan /
rohani yang hebat; penumpang kendaraan yang dalam lomba
kecepatan /kecakapan; kecelakaan akibat bencana perang; atau
kecelakaan akibat reaksi inti atom. Beberapa produk asuransi
kecelakaan lain memang dapat saja memasukkan keadaan-keadaan
tersebut di dalam lingkup pertanggungannya.
Hak atas dana santunan ini dapat diberikan dengan melihat
adanya keterangan tentang kecelakaan yang terjadi dengan korbankorbannya dari kepolisian (atau instansi lain yang berwenang),

keterangan dokter (Rumah Sakit), dan keterangan keabsahan ahli


waris bagi korban yang meninggal dunia dari Pamong Praja
setempat.
Di dalam hal kecelakaan tersebut bukan kecelakaan lalu
lintas, misalnya kecelakaan kerja pada asuransi ASTEK maka
instansi yang menerangkan terjadinya kecelakaan kerja adalah
Instansi tempat ia bekerja dan/atau kepolisian.
Dalam menjalankan tugas profesinya sehari-hari, tugas profesinya,
tidak jarang seorang dokter menerbitkan surat-surat keterangan
dokter.

Sebagai

pedoman

dalam

memberikan

surat-surat

keterangan dimaksud digunakan:


1. Bab I Pasal 7 KODEKI: Seorang dokter hanya member
keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
2. Bab II Pasal 12 KODEKI: Setiap dokter wajib merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien
bahkan juga setelah pasien meninggal dunia
3. Paragraf 4, Pasal 48 UU No.29/2004 tentang Praktik
Kedokteran:

kepentingan

kesehatan

pasien,

rahasia

kedokteran hanya dapat dibuka untuk memenuhi permintaan


aparatur penegak hokum, atas permintaan pasien atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Dengan melihat pertimbangan di atas maka peranan Surat
Keterangan Dokter adalah menjelaskan tentang tingkat keparahan

pasien akibat kecelakaan (derajat luka dan derajat kecacatan),


sebab kematian korban bila korban meninggal dunia, hubungan
antara

sebab

perlukaan

atau

sebab

meninggal

dengan

kecelakaannya, serta faktor lain yang berkontribusi. Namun

demikian, tidak semua keterangan dokter dapat memberikan


andilnya dalam menerangkan hal-hal tersebut di atas.
Aspek Medikolegal Visum et Repertum
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana
tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam
proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa
manusia. VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan
medic yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat
dianggap sebagai pengganti barang bukti.[1], [7]
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter
mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian
kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah
menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan
membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah
terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan normanorma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa
manusia. .[1], [7]
Apabila VeR belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang
pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya
bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan
dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila
timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya
terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal itu sesuai dengan pasal 180
KUHAP.[1], [7]
Bagi

penyidik

(polisi/polisi

militer)

VeR

berguna

untuk

mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu


berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi
hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau
membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu

Standar Prosedur Operasional (SPO) di suatu Rumah Sakit tentang


tatalaksana pengadaan VeR. .[1] [30]
Struktur Visum et Repertum
Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak
ahli adalah sebagai berikut : [1] [2] [6] [15]
9. Pro Justitia
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR
tidak perlu bermeterai.
10. Pendahuluan
Pendahuluan memuat: identitas pemohon visum et repertum, tanggal
dan pukul diterimanya permohonan VeR, identitas dokter yang
melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa : nama, jenis
kelamin,

umur, bangsa,

alamat,

pekerjaan,

kapan

dilakukan

pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan.


11. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang
diamati, terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang
diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke
bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu
yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak
antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara
luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau
cedera, karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut terutama
penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan
tidak dapat dihadirkan kembali. Pada pemeriksaan korban hidup,
bagian pemberitaan terdiri dari:
a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang
dikeluhkan dan apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang
penyakit yang diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak
pidana/diduga kekerasan.
b. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
pemeriksaan

fisik

maupun

pemeriksaan

laboratorium

dan

pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban


hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang
keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan tindak pidananya (status lokalis).
c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan
sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang
seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada
saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut
perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat/
tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang
diambil.
d. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat
badan merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan
sehingga harus diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan
memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada
tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan
atau perawatan yang diberikan.
12. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR,
dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut.
Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan
kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis
yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak
digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil
anamnesis hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan
VeR adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh
pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut
juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku.
Kesimpulan VeR harus dapat menjembatani antara temuan ilmiah
dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan

bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah


interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku.
13. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat
dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau
dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum
melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat
VeR.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Lengan kiri Panji diduga mengalami fraktur didaerah proksimal region
antebrachii yang disertai terjadinya krompresi saraf N. Medianus dan N.
Radialis yang menyebabkan gangguan sensibilitas dan motorik.

DAFTAR PUSTAKA

[1]

Afandi D. Visum et repertum pada korban hidup. Jurnal Ilmu


Kedokteran. 2009;3(2):79-84

[2]

Amir A. Rangkaian ilmu kedokteran forensik, edisi 2. Jakarta:


Ramadhan, 2005.

.[3]Anglen J, Banovetz. Pathophysiology of compartment syndrome in The


well leg resulting from fracture table positioning. Clinical
Orthopaedics & Related Research. 1994. p : 239-42
[4]

Argenta C Louis. Compartment syndromes in Basic sciense for surgeons.


Saunders. Philadelphia. 2004. p : 143-4

[5]

Azar Frederick. Compartment syndrome in Campbell`s operative


orthopaedics. Ed 10th. Vol 3. Mosby. USA. 2003. p : 2449-57

[6]

Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran


Indonesia. Pedoman teknik pemeriksaan dan interpretasi luka dengan
orientasi medikolegal atas kecederaan. Jakarta, 2005.

[7]

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik.


Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1997.

[8]

Christine B Novak. Peripheral nerve


http://www.emedicine.medscape.com

injury.

Avalible

at

[9]

Corwin Elizabeth J. Buku saku patofisiologi. Ed 3. Jakarta: EGC; 2009

[10]

DeLee C Jesse, Drez David. Compartment syndrome in DeLee & Drez`s


orthopaedic sports medicine. Ed 2nd. Vol 1. Saunders. USA. 2003.
p : 13-4

[11]

Departemen farmakologi dan terapeutik FKUI. Farmakologi dan terapi.


Ed 5. Jakarta: FKUI; 2009.h. 210-42.

[12]

Gleadle Jonathan. At a glance. Anamnesis dan pemeriksaan fisik.


Jakarta : Erlangga; 2007.h. 16.

[13]

Goetz CG. 2007. Textbook of Clinical Neurology 3rd edition. Philadelpia:


Saunders

[14]

Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edidi ke


5. Jakarta: FKUI;2007.h.210-46.

[15]

Herkutanto. Peningkatan kualitas pembuatan visum et repertum (VeR)


kecederaan di rumah sakit melalui pelatihan dokter unit gawat
darurat (UGD). JPMK. 2005;8(3):163-9.

[16]

Helmi ZN. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:


Salemba Medika

[17]

http://id.shvoong.com/medicine-and-health/orthopedicsurgery/1990528-tujuan-dan-prinsip-pembidaian/#ixzz2FC5TrP7j
[18]

Jetske Ultee. Outcome following peripheral nerve injury of the forearm.


University of Rotterdam. 2010

[19]

Jong, Wiem de dan Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed. 2.


Jakarta: EGC. 2004

[20]

Kearns, Daly, Sheehan, Murray. Oral vitamin C reduces the injury to


skeletal muscle caused by compartment syndrome. Journal of Bone
and Joint Surgery. Aug 2004.

[21]

Lukman K: Penyembuhan Patah Tulang Dilihat Dari Sudut Ilmu Biologi


Molekuler. Buletin IKABI1997; 4: 29-46

[22]

McRae Ronald, Esser Max. Compartment syndromes in Practical


fracture treatment. Churchill Livingstone. New York. 2002. p : 99

[23]

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2012. Patofisiologi: Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6, Volume 2. Jakarta : EGC.

[24]

Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi. Vol. 2 Ed 6. Jakarta :


EGC; 2006.h. 1365-71.

[25]

Putz , R. ,R. pabst. 2003. Atlas Anatomi Manusia Sobotta edisi 21.
Jakarta : EGC

[26]

Putz, R. ,R. pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta edisi 22.
Jakarta : EGC

[27]

Rasjad C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi III. Makassar:


Yarsif Watampone 2007.h. 352-489.

[28]

Rasul

Abraham.

Compartment

syndrome.

Available

at

http://www.emedicine.com.
[29]

Ropper AH and Brown RH. 2005. Adams and Victors Principles of


Neurology, 8th edition. USA: The McGraw-Hill

[30]

Siswadja TD. Tata laksana pembuatan VeR perlukaan dan keracunan.


Simposium Tatalaksana visum et repertum Korban Hidup pada
Kasus Perlukaan & Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra
Keluarga Kelapa Gading, Rabu 23 Juni 2004.

[31]

Smeltzer& Bare. 2000. Brunner &Suddarth's Textbook of Medical


Surgical Nursing (9th ed.). Philadelphia: Lippincott.

[32]

Snell RS. 2000. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed 6.


Jakarta: EGC

[33]

Underwood, J.C.E.
EGC: Jakarta

1999. PatologiUmum&Sistematik.Vol 1.Edisi 2.

[34]

Utama, Herry Setya Yudha. Teori dan Praktek Pembidaian Sehari-hari.


Avalible at http://www.herryyudha.com/2012/10/teori-dan-praktekpembidaian-sehari-hari.html

Anda mungkin juga menyukai