Anda di halaman 1dari 6

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan

Perkembangan Terkini pada


Terapi Dermatitis Atopik

Natalia*, Sri Linuwih Menaldi**, Triana Agustin**


*Dokter Umum Alumni Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta
**Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak: Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang bersifat kronis dan residif yang umumnya
terjadi pada masa bayi dan anak dan dapat berlanjut hingga dewasa. Dermatitis atopik
merupakan beban untuk keluarga maupun komunitas. Dermatitis atopik akan berdampak pada
menurunnya kualitas tidur, waktu kerja yang hilang, biaya, dan waktu untuk berobat. Penyakit
ini sering berhubungan dengan disfungsi sawar kulit dan sensitisasi alergi yang cenderung
bersifat diturunkan, serta berhubungan dengan hipersensitivitas seperti asma dan rinitis alergi.
Dermatitis atopik merupakan manifestasi keadaan ini pada kulit. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis menurut kriteria Hanifin dan Rajka ditunjang dengan temuan
laboratorium berupa peningkatan kadar IgE total dan eosinofil. Hasil pengobatan pada dermatitis atopik sulit untuk diprediksi dan penyakit ini cenderung menjadi lebih berat dan persisten
pada anak. Keberhasilan terapi pada dermatitis atopik memerlukan pendekatan sistematis dan
menyeluruh, termasuk hidrasi kulit, terapi farmakologis, serta identifikasi dan eliminasi faktor
pencetus seperti iritan, alergen, infektan dan stres emosional. Terapi bersifat individual, sesuai
pola reaksi kulit dan faktor pemicu yang khas pada tiap individu. Dermatitis atopik yang
refrakter terhadap pengobatan konvensional, memerlukan terapi alternatif seperti anti inflamasi
dan imunomodulator. J Indon Med Assoc. 2011;61:299-304.
Kata kunci: Dermatitis atopik, anti inflamasi, imunomodulator.

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

299

Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik

Recent Developments the Treatment of Atopic Dermatitis


Natalia*, Sri Linuwih Menaldi**, Triana Agustin**
*General Physician Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta,
**Department of Dermatovenereology Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta

Abtract: Atopic dermatitis (AD) is a chronically relapsing skin disease that occurs most commonly during early infancy and childhood and may continue on into later life. Atopic dermatitis
impact factor in sleep deprivation, lost work days, financial cost, and time taken for skin care
concluded. Atopic dermatitis is frequently associated with abnormalities in skin barrier function
and allergen sensitization and inherited tendency to incur. This disorder is belived to be related to
hypersensitivity, such as asthma and allergic rhinitis. Atopic dermatitis (AD) was eventually
added as the cutaneous manifestation of this condition. The diagnosis is based on the constellation
of clinical findings by Hanifin and Rajka supported by increased level of IgE and eosinofil as
laboratorium findings. The outcome of atopic dermatitis may be difficult to predict and the disease
generally tends to be more severe and persistent in young children. Successful treatment of atopic
dermatitis requires a systematic, multipronged approach that incorporates skin hydration, pharmacologic therapy, and the identification and elimination of flare factors such as irritants, allergens, infectious agents, and emotional stressors. Treatment should be individualized to address
each patients skin disease reaction and pattern and the trigger factors that are unique to the
particular patient. Atopic dermatitis refractory to conventional forms of therapy, alternative antiinflammatory and immunomodulatory agents may be necessary. Atopic dermatitis creates a significant burden for both families and the community. J Indon Med Assoc. 2011;61:299-304.
Keywords: atopic dermatitis, anti-inflammatory, immunomodulatory.

Pendahuluan
Dermatitis atopik (DA), atau eczema atopik adalah
penyakit inflamasi kulit kronis dan residif yang gatal yang
ditandai dengan eritema dengan batas tidak tegas, edema,
vesikel, dan madidans pada stadium akut dan penebalan kuilit
(likenifikasi) pada stadium kronik.1-3
Faktor penyebab DA merupakan kombinasi faktor
genetik (turunan) dan lingkungan seperti kerusakan fungsi
kulit, infeksi, stres, dan lain-lain.4,5 Gejala klinis dan perjalanan
penyakit DA sangat bervariasi, membentuk sindrom
manifestasi diatesis atopik.6
Walaupun DA telah banyak dipelajari dan dikatakan
berhubungan dengan sistem imun, belum ada pengobatan
yang pasti untuk DA.7,8 Hasil pengobatan DA pada beberapa
pasien masih belum memuaskan.7 Pada beberapa pasien,
imunosupresi dengan kortikosteroid sistemik, azathioprine,
methothrexate, cyclosporine, atau PUVA dapat menyebabkan disabilitas dan berisiko menimbulkan efek yang tidak
diinginkan. Di samping itu penggunaannya juga tidak
menimbulkan efek yang bermakna.7 Penatalaksanaan DA
terutama ditujukan untuk mengurangi kekambuhan sehingga
dapat mengatasi penyakit dalam jangka waktu lama dan
mengubah perjalanan penyakit, serta ditekankan pada kontrol
jangka waktu lama (long term control), bukan hanya untuk
300

mengatasi kekambuhan.8 Penatalaksanaan DA terutama


adalah edukasi, mengurangi gatal (pelembab, obat anti
inflamasi), serta menghindari kekambuhan (menghindari
faktor pencetus). 1,9 Setiap pasien memerlukan penatalaksanaan individual sehingga berbagai macam pengobatan
dapat dicoba sampai mendapatkan kombinasi pengobatan
yang ideal.1,6,8 Pada makalah ini akan dibicarakan tentang
berbagai terapi pada DA, baik yang telah maupun yang belum
direkomendasikan oleh FDA.
Prinsip Pengobatan pada DA
Terapi DA membutuhkan pendekatan sistematis dan
multifaktorial yang merupakan kombinasi hidrasi kulit, terapi
farmakologis, identifikasi dan eliminasi faktor penyebab
seperti iritan, alergen, agen infeksi, dan stres emosional yang
bersifat individual.1,8-10 Penatalaksanaan ditekankan pada
kontrol jangka waktu lama (long term control), bukan hanya
untuk mengatasi kekambuhan.8 Edukasi merupakan dasar dari
suksesnya penatalaksanaan DA, yaitu perawatan kulit yang
benar dan menghindari penyebab. 1,8-11 Agen topikal
digunakan untuk terapi penyakit yang terlokalisasi dan
ringan, sedangkan fototerapi dan agen sistemik digunakan
untuk yang lebih luas dan berat.12
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik


Terapi Non-farmakologis
Berbagai makanan seperti susu, ikan, telur, kacangkacangan yang dapat mencetuskan DA harus diidentifikasi
secara teliti melalui anamnesis dan beberapa pemeriksaan
khusus. Namun, eliminasi makanan esensial pada bayi/anak
harus berhati-hati karena dapat menyebabkan malnutrisi
sehingga sebaiknya diberi makanan pengganti.8
Mandi dengan air hangat teratur dua kali sehari lalu
dibilas dengan air biasa dan menggunakan pembersih yang
lembut dan tanpa bahan pewangi akan membersihkan kotoran
dan keringat, juga skuama yang merupakan medium yang
baik untuk bakteri.8,11 Keadaan itu akan meningkatkan
penetrasi terapi topikal.11 Hindari sabun atau pembersih kulit
yang mengandung antiseptik/antibakteri yang digunakan
rutin karena mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi
sekunder.8 Dalam tiga menit setelah selesai mandi, pasien
seharusnya mengaplikasikan pelembab untuk memaksimalkan penetrasinya.11 Salap hidrofilik dengan ceramiderich barrier repair mixtures akan memelihara kelembaban
dan berfungsi sebagai sawar untuk bahan antigen, iritan,
patogen, dan mikroba.11,14-16 Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pelembab akan mengurangi
penggunaan kortikosteroid hingga 50%.2 Sebuah penelitian
pada 100 pasien DA dengan pelembab urea 5% atau losion
urea 10% yang diaplikasikan topikal dua kali sehari efektif
dan aman untuk memperbaiki gejala DA derajat ringansedang.13
Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol atau yang
kasar karena dapat mengiritasi kulit. Kuku sebaiknya selalu
dipotong pendek untuk menghindari kerusakan kulit (erosi,
eksoriasi) akibat garukan. Gatal dikurangi dengan emolien
ataupun kompres basah.8,17
Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikan
sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gatal, terutama
untuk lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadap
pengobatan biasa. Bahan pembalut (kasa balut) dapat diberi
larutan kortikosteroid atau mengoleskan krim kortikosteroid
pada lesi kemudian dibalut basah dengan air hangat dan
ditutup dengan lapisan/baju kering di atasnya. Cara ini
sebaiknya dilakukan secara intermiten dan dalam waktu tidak
lebih dari 2-3 minggu. Balut basah dapat pula dilakukan
dengan mengoleskan emolien saja di bawahnya sehingga
memberi rasa mendinginkan dan mengurangi gatal serta
berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan
sehingga mempercepat penyembuhan. Bila tidak disertai
pelembab, balut basah dapat menambah kekeringan kulit dan
menyebabkan fisura. Penggunaan balut basah yang berlebihan dapat menyebabkan maserasi sehingga memudahkan
infeksi sekunder.8
Terapi Topikal
Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal merupakan terapi yang paling

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

sering digunakan pada DA di Amerika Serikat untuk DA fase


akut. 2,11,12 Terapi kortikosteroid untuk DA bersifat efektif,
relatif cepat, ditoleransi dengan baik, mudah digunakan, dan
harganya tidak semahal terapi alternatif lainnya.12 Pada
sebuah penelitian dengan randomized controlled trials pada
83 kasus DA, 80% dilaporkan remisi total. Penelitian pada
231 anak dengan DA menerima terapi 0,05% fluticasone propionate dengan pelembab dua kali perminggu, menunjukkan
bahwa pada pasien kontrol lebih cenderung mengalami relaps.8
Kortikosteroid dengan potensi rendah cukup bagi anak
pada semua lokasi tubuhnya. Hanya sedikit perbedaan hasil
terapi pada penggunaan preparat potensi lemah jangka
pendek dan panjang pada anak dengan derajat penyakit
ringan sedang. 2,18
Efek samping yang dapat terjadi walaupun jarang adalah
terhambatnya pertumbuhan oleh supresi adrenal karena
absorbsi sistemik, namun belum ada bukti yang menyatakan
bahwa penggunaan kortikosteroid pada anak mempengaruhi
pertumbuhan tinggi badan.2 Dibutuhkan penelitian lebih
lanjut apakah penggunaan steroid dua kali sehari lebih efektif
dibandingkan sekali sehari.18
Inhibitor Kalsineurin Topikal
Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah terbukti efektif.
Sebuah penelitian dengan takrolimus 0,1%, dikatakan
mempunyai potensi yang sama dengan kortikosteroid topikal.
Kelebihan inhibitor kalsineurin topikal dibandingkan dengan
kortikosteroid adalah tidak menyebabkan penipisan kulit,
namun pada penggunaan awal akan menimbulkan sensasi
terbakar di kulit.2,8,19 Takrolimus tersedia dalam bentuk salap
0,03% dan 0,1% untuk DA derajat sedang hingga berat. Kadar
0,03% dapat digunakan untuk anak usia 2-15 tahun. Krim
pimekrolimus 1% diindikasikan untuk DA derajat ringan
hingga sedang pada pasien diatas usia 2 tahun.2,8,11,19
Penggunaan takrolimus dan pimekrolimus dua kali sehari
terbukti aman, dengan respon klinis pada anak dan dewasa
akan terjadi dalam 1 minggu setelah terapi. Oleh karena itu
dapat digunakan di wajah serta daerah lipatan kulit (aksila,
leher, inguinal) dan kulit yang tipis (wajah, kelopak mata).8,19
Selain efek samping rasa terbakar pada kulit, juga eritem dan
pruritus. Belum ada bukti peningkatkan risiko hipertensi dan
neurotoksik, namun dibutuhkan penelitian dalam waktu
jangka panjang untuk selanjutnya.12,19
Strategi Terapi Kombinasi
International Consensus Conference on Atopikc Dermatitis II (ICCAD II) merekomendasikan kortikosteroid topikal
untuk mengatasi eksaserbasi akut/flare, sedangkan inhibitor
kalsineurin topikal digunakan secara intermiten untuk terapi
pemeliharaan. Penelitian pada ko-aplikasi betametason valerat
dengan takrolimus atau pimekrolimus meningkatkan penetrasi
keduanya sehingga efektifitasnya meningkat.8 Kombinasi
kortikosteroid dan antibiotik topikal dapat diberikan pada lesi
dengan infeksi ringan.8,10
301

Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik


Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai terapi
kombinasi dan untuk menetapkan dosis optimal untuk
kombinasi kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin atau
alteransi.11
Ter
Preparat ter batubara mempunyai efek anti-gatal dan
anti-inflamasi, walaupun tidak sekuat kortikosteroid topikal.8,12
Sampo yang mengandung ter dapat digunakan untuk lesi di
skalp. Preparat ter sebaiknya tidak digunakan pada lesi akut
karena dapat menyebabkan iritasi. Efek sampingnya antara
lain folikulitis, fotosensitivitas, dan potensi karsinogenik.8,12
Terapi Sistemik
Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik seperti prednison jarang
digunakan sebagai terapi primer pada DA, namun terkadang
dapat digunakan pada masa akut sementara transisi ke agen
lain.12 Prednisolon 1 mg/kg berat badan dapat digunakan pada
anak, namun sebaiknya tidak lebih dari 1 atau 2 minggu.20
Penggunaan jangka waktu lama tidak dianjurkan pada anak.12
Inhibitor Kalsineurin Sistemik
Siklosporin oral sebagai terapi sistemik DA tersedia
dalam bentuk kapsul gelatin 25 atau 100 mg, durasi terapi
singkat, namun penggunaan lebih dari setahun tidak
dianjurkan. Relaps dan rekurensi sering terjadi setelah
penghentian terapi siklosporin. Siklosporin merupakan obat
kategori C yang berisiko nefrotoksik, hipertensi, dan
hiperlipidemia. Efek samping dapat diminimalisir dengan
dosis yang tepat dan durasi singkat. Siklosporin bereaksi
dengan obat-obat lain seperti obat untuk jantung dan
hipertensi (diltiazem, verapamil, diuretik hemat Kalium), statin,
antibiotik dan antijamur (klaritomisin, eritromisin, flukonazol,
ketokonazol), antikejang (karbamazepin, fenitoin), antidepresan (selective serotonin reuptake inhibitor, nefazodone), dan obat-obat inhibitor protease HIV (indinavir,
saquinavir).8,10,12
Anti Infeksi
Bila terdapat tanda infeksi sekunder oleh kolonisasi
Staphylococcus aureus (madidans, krusta, pustul, pus) yang
luas dapat diberikan antibiotik sistemik misalnya sefalosporin
atau penisilin yang resisten terhadap penisilinase (dikloksasilin, kloksasilin, flukloksasilin).2,8 Bila lesinya tidak luas
dapat dipakai antibiotik topikal, misalnya asam fusidat atau
mupirosin. Eritromisin atau makrolid lainnya dapat diberikan
pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Antijamur topikal
atau sistemik dapat diberikan bila ada komplikasi infeksi
250 bp
jamur.8,10
Fototerapi
UVA, UVB, narrowband UVB, UVA-1, kombinasi UVA
dan UVB, atau bersama psoralen (fotokemoterapi) dapat
302

digunakan sebagai terapi tambahan karena dapat menyebabkan remisi panjang, namun berisiko menimbulkan penuaan
kulit dini dan keganasan kulit pada pengobatan jangka lama.8,10
Sinar UVB narrowband lebih aman dibanding PUVA, yang
dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa dan melanoma
maligna.2,12 Fototerapi dipertimbangkan pada DA berat dan
luas yang tidak responsif terhadap pengobatan topikal.
Fotokemoterapi tidak dianjurkan untuk anak usia kurang dari
12 tahun karena dapat mengganggu perkembangan mata.8,10
Terapi Lain yang Belum Direkomendasikan FDA
250 bp
Agen
Biologik
Azatioprin
Azatioprin efektif sebagai anti-inflamasi pada DA, baik
sebagai obat tunggal maupun untuk mengurangi dosis
kortikosteroid (steroid sparing). Obat ini dapat dipertimbangkan untuk DA berat dan refrakter.8,10 Azatioprin
merupakan obat kategori D dan dikontraindikasikan pada
kehamilan karena berdampak pada fetus.20 Efek samping
terutama berupa supresi sumsum tulang dan hepatotoksik.8,10
Obat ini belum direkomendasikan oleh FDA oleh karena
sulitnya menentukan dosis, durasi terapi, maupun efektivitasnya secara objektif.20
Mofetil Mikofenolat
Efektif pada DA refrakter dengan pemberian oral selama
12 minggu pada DA dewasa memberi perbaikan klinis sebesar
68%.8,10 Obat ini termasuk kategori C dan dikontraindikasikan
pada kehamilan. Pada dosis 2 g per hari dikatakan efektif,
aman, dan dapat ditoleransi.20
Metotreksat
Digunakan untuk DA rekalsitran. 8,10,12 Dosisnya adalah
2,5 mg per hari dan diberikan 4 kali dalam seminggu.20
Terdapat laporan tentang penekanan sumsum tulang yang
berhubungan dengan dosis dan penggunaanya belum
direkomendasikan FDA.8,10,12,20,22
Interferon-g
Beberapa penelitian menunjukkan IFN- yang diberikan
secara subkutan efektif pada DA berat dan rekalsitran, namun
hasilnya masih kontroversi dan belum direkomendasikan oleh
FDA sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut. Efek
samping dapat berupa gejala mirip flu dan nyeri kepala.8,10,21
Siklosporin
Siklosporin merupakan agen makrolid dengan aktivitas
imunosupresif. Penggunaanya sebagai terapi pada DA pada
dewasa telah direkomendasikan oleh FDA, namun pada anak
belum direkomendasikan oleh FDA,22 namun pada beberapa
penelitian dikatakan efektif untuk terapi DA rekalsitran pada
anak dan dewasa, namun dikatakan dapat terjadi relaps
setelah terapi.20 Dosis dimulai pada 2,5 mg/Kg berat badan,
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik


dinaikkan 1 mg/Kg berat badan setiap 2 minggu hingga
maksimal 5 mg/Kg berat badan per hari dan diberikan selama
10 hari. Efek sampingnya yang sejalan dengan dosis yang
diberikan antara lain nefrotoksik, tremor, dan hipertensi. Pada
anak, dilaporkan efek samping nyeri kepala dan nyeri abdomen. Walaupun belum ada laporan potensi teratogenik,
namun siklosporin termasuk kategori C dan dikontraindikasikan pada kehamilan.20
Antagonis leukotrien
Pemberian antagonis leukrotrien (zafirlukast, montelukast) selama 4 minggu sebagai ajuvan dapat memperbaiki
gejala klinis DA. Penelitian jangka waktu lama masih
diperlukan untuk memastikan efektivitas, keamanan, dan
dosis optimum obat ini.10
Pengobatan Lain-lain dan Alternatif
Berbagai macam pengobatan, baik berdasarkan penelitian ataupun tidak, telah digunakan dalam pengobatan DA,
dan hasilnya bervariasi. Pengobatan itu antara lain:
Imunoterapi dengan alergen hirup (hiposensitisasi):
belum terbukti efektif pada DA. Pengobatan ini masih
dianggap eksperimental sehingga diperlukan penelitian
dengan kontrol pada DA.
Inhibitor fosfodiesterase: Beberapa penelitian yang
menggunakan kortikosteroid potensi tinggi secara
topikal menunjukkan adanya manfaat klinis pada DA.
Timopentin efektif mengurangi pruritus serta menurunkan skor/indeks derajat penyakit bila diberikan dalam
dosis tinggi secara intravena; obat ini cukup aman, tetapi
mahal.
Pengobatan alternatif terhadap DA rekalsitran, misalnya
homepati, dan akupunktur.12
Terapi Imunomodulator di Masa Depan
Pendekatan terbaru dalam terapi dermatitis atopik
berdasarkan pada perkembangan atas pandangan bahwa
terdapat sel dan sitokin tertentu yang berperan dalam proses
inflamasi atopik (Tabel 1).11 Walaupun disregulasi imunitas
sel T masih diperkirakan sebagai defek imunologis primer
pada DA, kelainan yang lain, seperti imunodefisiensi
keratinosit intrinsik dan fungsi sawar stratum korneum yang
abnormal juga merupakan target terapi.11 Pendekatan itu
antara lain berupa modulasi sitokin dengan agen-agen seperti
reseptor IL-4, antibodi monoklonal anti IL-5, atau inhibitor
TNF-, serta penghambatan proses inflamasi sel oleh
antagonis reseptor kemokin atau inhibitor CLA, inhibisi
aktivasi sel T dengan alefacept atau efalizumab, dan
meningkatkan respon sel T dengan peptide antimikroba
sintetik.11,12 Vaksinasi dengan sel langerhans telah menjadi
terapi sebagai sasaran untuk menaikkan jumlah sel
langerhans IgE bearing yang membawa alergen kepada sel
Th2 di kulit pada DA. Gen yang berperan pada kompleks
diferensiasi epidermal, yang terlibat dalam supresi inflamasi
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

kulit dan pemeliharaan struktural, merupakan sasaran lain


yang penting pada DA.11
Tabel 1. Sasaran Imunologi pada Dermatitis Atopik (diadaptasi
dari Leung et al)11
Sasaran

Agen penginvestigasi

Aktivasi sel T

Alefacept (memblokade sel T CD2-LFA-1 dan


CD2-LFA-3 interaksi APC)
Efalisumab (memblokade LFA-1-ICAM-1 dan
LFA-1 ICAM-2 interaksi APC)
Respon sel T
Peptida antimicrobial
Ketidakseimbangan Probiotik (Lactobacillus rhamnosus strain GG)
Th1/Th2
CpG-ODNs
Respon Th2
IFN- rekombinan
Sitokin
Reseptor IL-4 terlarut, antibodi monoklonal anti
IL-5, inhibitor TNF
Kemokin
Antagonis reseptor-4 kemokin CC
Protease serin
Inhibitor protease
Sel langerhans
Vaksinasi sel langerhans
Gen EDC
?

Ringkasan
Perkembangan terbaru dalam imunopatogenesis atopi
berdampak cepat pada perkembangan modalitas terkini.
Walaupun telah ditemukan fototerapi, obat imunosupresif,
dan sitokin, namun belum ada terapi pilihan yang paling tepat
untuk DA, dan tetap diprediksi bahwa pasien akan memiliki
respon individual terhadap strategi terapi ini. Bagaimanapun
juga, hal ini menjadi pendorong bagi kemajuan mekanisme
patologi yang terlibat dalam penyakit kompleks ini.
Daftar Pustaka
1.

Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic dermatitis


(Atopic eczema). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, editor. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill; 2008. p. 146-58.
2. Williams HC. Atopic dermatitis. N Engl J Med. 2005;352(22):
2314-34.
3. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. In: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2010. p. 129-53.
4. Leung DYM, Soter NA. Cellular and immunologic mechanisms
in atopic dermatitis. Am Acad dermatol. 2001;44:S1-2.
5. Dewi RWN. Eksim susu pada bayi dan anak. In: Boediardja SA,
Sugito TL, Rihatmadja R, editor. Eksim pada bayi dan anak.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p. 18-31.
6. Jacoeb TNA. Manifestasi klinis dermatitis atopik pada bayi dan
anak. Dalam: Boediardja SA, Sugito TL, Rihatmadja R, editor.
Dermatitis pada bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2004. hal. 58-78.
7. Mohla G, Horvard N, Stevens S. Quality of life improvement in
a patient with severe atopic dermatitis treated with photophresis.
Am Acad Dermol. 1999;40:780-2.
8. Sugito TL. Penatalaksanaan terbaru dermatitis atopik. In:
Boediardja SA, Sugito TL, Indriatmi W, Devita M, Prihianti S,
editor. Dermatitis atopik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. p.
39-55.
9. Sugito TL. Perkembangan terakhir dermatologi anak. Media
Dermato-Venereologica Indonesiana. 2006; 33:155-6.
10. Sugito TL. Penatalaksanaan terbaru dermatitis atopik. Dalam:
Boediardja SA, Sugito TL, Rihatmadja R, editor. Dermatitis pada

303

Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik


bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p.79-95.
11. Spergel JM. Immunology and treatment of atopic dermatitis. Am
Acad Dermatology. 2008;9(4):233-44.
12. Gottlieb AB, Brunswick N. Therapeutic options in the treatment
of psoriasis and atopic dermatitis. Am Acad Dermatol. 2005;53:
S3-16.
13. Bissonnette R, Maari C, Provost N, Bolduc C, Nigen S, Rougier A,
et al. A double-blind study of tolerance and efficacy of a new ureacontaining moisturizer in patients with atopic dermatitis. J Cosm
Dermatol. 2010;9:16-21.
14. Kim HJ. Therapeutic implication of barrier cream. Prosiding
Simposium Multi Lamellar Emulsion (MLE) Moisturizer, The
New Platform Technology for Skin Barrier Function; 2011; .
15. Lea Y. Non-steroid treatment for skin barrier function. Prosiding
Simposium Multi Lamellar Emulsion (MLE) Moisturizer, The
New Platform Technology for Skin Barrier Function; Jakarta.
Indonesia. 2011.
16. Park BD, Youm JK, Jeong SK, Choi Eh, Ahn SK, Lee SH. The
characterization of molecular organization of multilamellar emulsions containing pseudoceramide and type III synthetic ceramide.
J Invest Dermatol. 2003;12(4):794-801.

304

17. Jones SL, Mugglestone MA. Management of atopic eczema in


children aged up to 12 years: summary of NICE guidance. BMJ.
2007;335:1263-4.
18. Papp KA, Werfel T, Folster-Holst R, Ortonne JP, Potter PC,
Prost Y, et al. Long-term control of atopic dermatitis with
pimecrolimus cream 1% in infants and young children: A twoyear study. Am Acad Dermatol. 2005;52:240-6.
19. Nakagawa H. Comparison of the efficacy and safety of 0.1%
tacrolimus ointment with topical corticosteroid in adult patients
with atopic dermatitis. Clin Drug Invest. 2006;26(5):236-44.
20. Akhavan A, Rudikoff D. The treatment of atopic dermatitis with
systemic immunosuppressive agents. Clin Dermatol. 2003;21:
225-40.
21. Orion E, Matz H, Wolf R. Interferons: unapproved uses, dosages,
or indications. Clin Dermatol. 2002;20:493-504.
22. Gelbard CM, Hebert AA. New and emerging trends in the treatment of atopic dermatitis. Dove Med Press Lim. 2008;2:38792.
MS

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

Anda mungkin juga menyukai