peningkatan tekanan kapiler glomerular yang dimediasi oleh ATII. Kedua mekanisme tersebut
dapat memperparah kondisi luka seperti pada epitel dan endotel yang dapat mengakibatkan
proteinuria, luka mesangial, serta terjadi glomerular hypertrophy. Kondisi tersebut dapat
mengakibatkan glomerulosclerosis yang berkaitan dengan semakin berkurangnya jumlah
nefron yang berfungsi secara normal dan memperburuk progresivitas CKD (Chisholm-burns
dan Wells, 2008)
Klasifikasi
Untuk mengukur Glomerular Filtration Rate (GFR) dapat menggunakan parameter Klirens
Kreatinin (ClCr) sesuai rumus Cockroft-Goult sebagai berikut:
CrCl = (x 0,85 bila wanita)
Gambaran Klinis
Gangguan neurologik
Gangguan gastrointestinal
Gangguan dermatologi
Gangguan hematologi
Anemia
( McPhee dan Stephen, 1995 )
Penatalaksanaan
1. Pengobatan penyakit dasar
Termasuk pengendalian tekanan darah, regulasi glukosa darah pada pasien diabetes mellitus,
koreksi jika ada obstruksi saluran kemih, serta pengobatan infeksi saluran kemih.
1. Pengendalian keseimbangan air dan garam
Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urin, yaitu produksi urin total 24 jam
ditambah dengan 500 ml.
1. Diet rendah protein tinggi kalori
2. Pengendalian tekanan darah
Target tekanan darah untuk pasien CKD adalah 125/75 mmHg untuk menghambat
progresivitas laju progresivitas penurunan faal ginjal. ACE inhibitor dan ARB diharapkan
akan menghambat progresivitas CKD.
1. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asma-basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah hiperkalemi dan asidosis.
Hiperkalemi dapat asimtomatis dan perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah
hiperkalemi membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi diet rendah kalium dan menghindari
pemakaian diuretik K+-sparring.
Dapat digunakan pula insulin kerja cepat 2 unit yang dicampur ke dalam dextrose 40%
25 cc secara iv bolus.
Untuk meningkatkan ekskresi kalium dapat diberikan diuretik furosemid, atau dengan
menggunakan alat K+-exchange resin dan proses dialisis.
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger, dan drowsiness. Pengobatan
intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada keadaan asidosis berat.
1. Paratiroidektomi
Dilakukan jika proses ODR terus berlanjut
1. Pengobatan gejala uremi spesifik
Meliputi pengobatan simtomatis dari pruritus, keluhan gastrointestinal, dan penanganan
anemia. Diet rendah protein juga memperbaiki keluhan anoreksia dan mual. Anemia yang
terjadi pada CKD terutama disebabkan oleh hormon erythropoietin, dan disa disebabkan pula
oleh defisiensi Fe, asam folat, atau vitamin B 12. Sebelum pemberian erythropoietin dan
suplemen Fe diperlukan evaluasi kadar SI, TIBC, dan ferritin.
1. Deteksi dini dan pengobatan infeksi
Penderita CKD mempunyai respon imun yang rendah, gejala febris terkadang tidak muncul,
sehingga kemungkinan infeksi harus selalu dipertimbangkan.
1. Penyesuaian pemberian obat
Beberapa obat memerlukan adjustment dose karena eksresi utamanya melalui ginjal.
Penggunaan obat nefrotoksik sebaiknya dihindari.
10. Deteksi dan pengobatan komplikasi
Beberapa komplikasi yang merupakan indikasi segera dilakukan hemodialisis meskipun
penderita belum sampai pada CKD stV adalah sebagai berikut: ensefalopati uremik,
perikarditis atau oleuritis, neuropati perifer progresif, ODR progresif, hiperkalemi yang tidak
terkendali, sindroma overload, infeksi yang mengancam jiwa, keadaan sosial.
11. Persiapan dialisis dan transplantasi
(Pranawa, 2004)
ANEMIA
Definisi
Kondisi penurunan hemoglobin atau sel darah merah yang berakibat pada penurunan
kemampuan darah dalam mengangkut oksigen
(Dipiro dan Talbert, 2005).
Klasifikasi
Secara moorfologi, anemia dibagi menjadi 3 jenis:
1. Anemia makrositik, megaloblastik : defisiensi vitamin B 12 atau asam folat. Ditandai
dengan nilai MCV di atas normal.
2. Anemia mikrositik, hipokromik : defisiensi fe, kelainan genetik (anemia sickle cell,
thallesemia, kelainan hemoglobin). Ditandai dengan nilai MCV di bawah normal.
3. Anemia normositik : perdarahan berat, hemolisis, kegagalan sum-sum tulang, anemia
pada penyakit kronik, penurunan fungsi ginjal, kelainan endokrin, anemia
myeloplastic. Nilai MCV berada pada rentang normal.
Etiologi
Secara umum etiologi anemia adalah (Dipiro dan Talbert, 2005) :
1. Defisiensi : fe, vitamin B12, asam folat, pyridoxine.
2. Gangguan fungsi sum-sum tulang : anemia pada penyakit kronis, anemia pada
geriatrik, dan kelainan sum-sum tulang malignan.
3. Perifer : perdarahan, hemolisis.
Etiologi anemia untuk pasien CKD digolongkan menjadi dua, yaitu (Soeparman dan Sukaton,
1990):
Faktor-faktor pemberat:
hipersplenisme, hiperkupremia
-
Hiperparatiroidisme
Patofisiologi
Patofisiologi anemia pada pasien CKD yang utama disebabkan oleh penurunan
produksi hormon erythropoietin oleh sel-sel progenitor di medulla ginjal (Dipiro dan Talbert,
2005). Erythropoietin tersebut penting dalam stimulasi diferensiasi sel induk unipotensial
menjadi sel pronormoblast eritrosit di dalam sum-sum tulang (Soeparman dan Sukaton,
1990), sehingga apabila terjadi penurunan erythropoietin akan terjadi anemia karena
penurunan jumlah eritrosit. Faktor lain yang berkaitan dengan anemia adalah terjadi
penurunan waktu hidup eritrosit sebagai akibat kondisi uremia, pada pasien CKD stV umur
eritrosit hanya 60 hari (Dipiro dan Talbert, 2005). Penurunan jumlah dan umur eritrosit
tersebut mengakibatkan terjadinya anemia dengan jenis normositik (Soeparman dan Sukaton,
1990).
Gejala klinis
Lemah, pusing, nafas yang pendek, takikardi, pucat.
Data laboratorium: Hb, RBC, hematokrit rendah
MCV, Tsat, Ferritin rendah untuk anemi defisiensi fe
MCV tinggi untuk anemi defisiensi asam folat dan B12
(Dipiro dan Talbert, 2005)
Penatalaksanaan: Penatalaksanaan anemia pada pasien CKD adalah mengatasi penyebab
primer anemia dan faktor-faktor pemberatnya, dengan mengikuti alur berikut:
ASIDOSIS METABOLIK
Definisi
Proses patologis berupa keasaman darah dikarenakan penurunan konsentrasi HCO3dalam darah dengan kompensasi peningkatan frekuensi pernapasan dan penurunan PCO2
(Chisholm-burns dan Wells, 2008).
Etiologi
-
Ketoasidosis alkohol
Ketoasidosis diabetes
Asidosis Laktat
Keracunan metanol
Overdosis salisilat
Hiperventilasi, dyspnea
Penatalaksanaan
Target manajemen terapi asidosis metabolik pada pasien CKD adalah mencapai pH
darah normal (7,35-7,45) dan menjaga kadar serum bikarbonat dalam rentang normal (22-28
mEq/L). Pada pasien CKD stage III atau lebih, penggunaan garam pengalkali seperti natrium
bikarbonat atau sediaan citrate/citric acid (dimetabolisme di liver menjadi bikarbonat) sangat
berguna dalam meningkatkan kadar bikarbonat (Chisholm-burns dan Wells, 2008).
Pengobatan asidosis metabolik dengan NaHCO3 iv hanya diberikan pada keadaan asidosis
berat, bila tidak gawat dapat diberikan per oral (Pranawa, 2004). Dosis NaHCO 3 yang
diberikan bisa dihitung dengan mempertimbangkan base excess (BE), yaitu:
NaHCO3 = BE x 30% x Berat Badan x 50% (Anonim, 2007)
DOKUMEN ASUHAN KEFARMASIAN
LAPORAN KASUS
Berat Badan : 48 kg
Umur
Tinggi Badan: -
Hati : -
: 14th
Keluhan utama
Badan bengkak sejak 2 minggu, sesak sejak 1 minggu, BAK menurun
Keluhan tambahan
Badan gatal sejak 2 hari yang lalu + mual
Diagnosis:
CKD stV + Anemia + Asidosis Metabolik (15/3)
CKD stV + Nefrotis Bilateral + Udema + Ascites e.c. Hipoalbumin (18/3)
Riwayat Penyakit:
-
Riwayat pengobatan*
Obat
Tidak ada data
Dosis
Indikasi
Alergi : -
Kepatuhan
Merokok
Alkohol
*
Patuh
-
Obat-obatan tradisional
OTC
Lain-lain
17/3
19/3
15
L
150/90
80
28
4-5-6
+
+
Maret 2010
16
17
18
L
L
L
150/110 140/70 150/100
82
92
80
28
26
24
4-5-6
4-5-6 4-5-6
+
+
+
+
+
Kejang
(post HD)
DATA LABORATORIUM
36,5
+
DATA LABORATORIUM
NILAI
NORMAL
SCr
BUN
Albumin
WBC
RBC
Hb
HCT
MCV
AST (SGOT)
ALT (SGPT)
Glukosa acak
Bilirubin total
Bilirubin direk
HDL
LDL
Uric acid
ClNa+
K+
Ca2+
Phosphat
0,6 1,1
5 23
3,8 5,4
4,5 10,5
46
11 18
35 60
80-90
5 34
11 60
< 200
01
0 0,3
> 45 mg/dl
60 180 mg/dl
4,0 8,5 mg/dl
97 103
136 144
3,8 5
8,1 10,4
3,0 4,5
MARET 2010
15
16
16,4
194
2,3
16,1
2,13
6,2
18,5
87
18
15
95
0,4
0,0
116
137,4
5,68
7,8
120,2
138,6
5,64
7,7
17
16,9
230
2,2
13,6
2,25
6,89
19,3
85,7
22
20
176
21
123
14,2
111,8
135,5
5,59
8,8
3,1
Hasil Laboratorium
Tanggal Jenis Pemeriksaan
Hasil
15/3 2010 Foto Toraks
Cor dan pulmo tidak tampak kelainan
15/3 2010 USG abdomen CKD Nefritis bilateral
Hidronefrosis ringan bilateral
Ascites
Efusi pleura kanan
18
104,9
133,9
3,86
5,3
7,0
Maret 2010
17
17
15
16
pH
(7,35 7,45)
7,2
7,3
pCO2
(35 45)
13
17,8
pO2
(80 107)
165 104,5
HCO3
(22 28)
5,1
9,7
(-2 +2)
-12,88 -7,23
Pre HD
Post HD
7,19
16
117
6,1
-12,09
7,38
20
252
11,8
-4,18
BE
Urinalisis
Nilai Normal
pH
Glukosa
Bilirubin
Keton
Protein
Leukosit
4,6 8
-
Maret 2010
15
5,5
3+
-
kondisi hipoalbumin
(akibat penurunan fungsi
filtrasi ginjal), sehingga
tekanan onkotik plasma
terganggu dan cairan
plasma cenderung menuju
ke jaringan ekstravaskular.
Inisial pasien: Dm
Alamat
: Ngulahan
Status
: JPS
Alkohol : -
:?
Rute
Regimentasi
Na-bikarbonat
Ca Glukonas
D40:insulin 2 U
CaCO3
Transfusi PRC
Asam folat
Amlodipin
Furosemid
Albumin 20%
Ceftriaxon
Diazepam
iv
iv
iv
po
iv
po
po
iv
iv
iv
iv
100 ml/ 6 jm
10 ml
25 cc
3 x 500mg
1 bag
1 x 1 mg
5mg-0-0
4 x 20 mg
100 cc
2x1g
5 mg
15
16
17
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
??
?
?
??
?
?
?
PROFIL PENGOBATAN
Obat
Rute Dosis
Nabikarbonat
iv
1
19
8
Ca-glukonas iv
10 ml
D40:insulin iv
2U
25 cc
CaCO3
po
3x
500mg
Transfusi
PRC
iv
1 bag
Asam folat po
Amlodipin po
Koreksi asidosis
metabolik dan
hiperkalemi
Koreksi asidosis
metabolik dan
hiperkalemi
BGA,
K+
Mencegah
hiperfosfat, melalui
pengikatan dengan
fosfat dalam intake
makanan, sehingga
absorbsi fosfat
berkurang.
Mengatasi anemia
Fosfat
BGA,
K+
Hb,
RBC,
hemato
krit
kasus
hiperkal
emi dan
asidosis
berat
dengan
pH 7,2
sudah
tepat.
Pemberian Ca-glukonas untuk mengatasi
asidosis metabolik dan hiperkalemi sudah
tepat.
Pemberian D40:insulin 2 U dalam
mengatasi asidosis dan hiperkalemi sudah
tepat, melalui mekanisme peningkatan
masukan K+ intra sel dalam metabolisme
glukosa menjadi ATP sehingga kadar K+
dalam plasma menjadi berkurang (Rose,
1989).
Pemberian CaCO3 untuk mengatasi
hiperfosfat sudah tepat.
Furosemid
iv
4 x 20
mg
Albumin
20%
iv
100 cc
Ceftriaxon
iv
2x1g
Diazepam
iv
5 mg
5. Pemilihan
4. Kepatuhan penderita
6.
Problem
Tindakan (Usulan pada klinisi, perawat, pasien)
Perhitungan NaSesuai perhitungan base excess, dosis Na-bikarbonat yang
bikarbonat dengan dibutuhkan untuk mengkoreksi asidosis adalah 93 ml.
memperhitungkan
base excess (BE)
dalam koreksi
asidosis metabolik
(Anonim, 2007)
NaHCO3 = BE x
30% x BB x 50%
= 12,88 x 30% x 48
x 50% = 93 ml
Amlodipin
CaCO3 dan
Amlodipin
Furosemid
Pasien mengeluh
mual saat MRS
Asam folat
diantaranya
5,3). Efek samping hipokalemi menguntungkan bagi kondisi
hipokalemi,
pasien yang hiperkalemi, akan tetapi hipokalsemi dan
hipokalsemi, dan hiponatremi dapat memperburuk keseimbangan elektrolit
hiponatremi (Martin pasien CKD, sehingga untuk selanjutnya terapi furosemid
dan Jordan, 2008). tidak diberikan secara rutin.
Nilai MCV pasien Asam folat tidak perlu diberikan. Untuk meyakinkan bahwa
tidak diatas normal pasien tidak mengalami anemia karena defisiensi besi (nilai
(jenis normositik) MCV pasien tidak rendah), dapat dilakukan pemeriksaan
yang menandakan TSat (Transferrin saturation) dan serum ferritin. Suplemen Fe
tidak terjadi anemia dapat diberikan bila Tsat <20% dan serum ferritin <100
karena defisiensi
ng/ml (Dipiro dan Talbert, 2005).
asam folat (Pagana,
2002)
MONITORING
Parameter
Vital sign (TD, RR, nadi, suhu) dan gejala klinis
TD dan udem
Suhu, RR, Nadi, WBC, pCO2
Kultur urin dan atau darah
BGA (pH, pCO2, pO2,HCO3), RR, dan gejala
klinis sesak
SCr, BUN, urinalisis
Hb, RBC, Hct, MCV
Albumin, gejala ascites
Uric acid
Tujuan Monitoring
Memantau kondisi pasien
Memantau efektivitas anti-hipertensi dan diuretik furosemi
Memantau tanda-tanda infeksi yang mungkin timbul
Mengetahui mikroba penyebab infeksi dan penentuan antib
yang tepat
Memantau kondisi asidosis metabolik pasien dan efektivita
asidosis.
Memantau progresivitas CKD pasien
Memantau kondisi anemia pasien dan efektivitas terapi ane
Memantau kondisi hipoalbumin pasien dan penentuan freku
albumin
Memantau kadar asam urat yang dapat memperparah kondi
bila terjadi kristalisasi di saluran kemih
KONSELING
Obat
Tablet CaCO3
Amlodipin dan
CaCO3
Materi Konseling
Untuk Pasien
Tablet CaCO3 dikunyah setelah suapan pertama makan
(bersama dengan makan), terkait fungsinya sebagai
pengikat phospat dalam intake makanan.
Untuk Perawat
Pengaturan jadwal
minum obat
amlodipin dan
CaCO3: Amlodipin
diminum pada jam
07.00 dan CaCO3
diminum pada jam
08.00 bersama
Ceftriaxon inj
makanan
Cara rekonstitusi:
1g serbuk injeksi
dengan 9,5 ml
SWFI/D5/NS
dilarutkan dalam
50-100ml D5/NS,
secara infus
intermiten selama
30 menit.
Stabilitas: serbuk
injeksi stabil pada
suhu ruang (25o C)
terlindung cahaya.
Setelah
direkonstitusi
stabil selama 2
hari pada suhu
ruang dan 10 hari
pada suhu 5o C.
(Lacy dan
Armstrong, 2003)
Furosemid inj
Cara pemberian:
secara continuous
dalam NS atau RL
dengan kecepatan
pemberian tidak
lebih dari 4
mg/menit. Jangan
diberikan bersama
dengan larutan
yang mengandung
glukosa.
(Martin dan
Jordan, 2008)
Ca-glukonas
Cara pemberian:
secara continuous
dalam D5 atau NS.
Hindari pemberian
bersama dengan
larutan yang
mengandung
bikarbonat, fosfat,
atau laktat.
(Martin dan
Jordan, 2008)
Diazepam inj
Cara pemberian:
secara continuous
dalam D5 atau NS.
Dapat diencerkan
dengan konsentrasi
tidak lebih dari 10
mg dalam 200 ml.
(Martin dan
Jordan, 2008)
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien mengalami CKD stage V (end-stage) yang disertai dengan
anemia, asidosis metabolik, serta kondisi hipoalbumin. Pasien MRS dengan keluhan utama
sesak sejak satu minggu, badan bengkak sejak dua minggu, BAK menurun, dengan keluhan
lain badan gatal sejak dua hari disertai mual. Riwayat penyakit pasien adalah radang usus dua
tahun yang lalu dan tidak mempunyai riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Etiologi penyakit
CKD yang dialami pasien tidak dapat jelas diidentifikasi meskipun telah dilakukan
assessment langsung pada keluarga pasien.
Gejala klinis sesak yang dialami pasien disebabkan oleh kondisi asidosis metabolik
pada CKD stage V yang mengalami penurunan fungsi ginjal dalam pengaturan buffer asambasa darah oleh ion HCO3-. Kondisi asidosis metabolik tersebut ditunjukkan oleh hasil BGA
tgl 15/3 pH darah 7,2. Gejala klinik lain yang menunjukkan ketidaknormalan adalah
kecepatan pernapasan pasien yang lebih dari 20 kali/menit. Tingginya RR dapat disebabkan
oleh kondisi asidosis dengan kadar O2 yang rendah menstimulasi medulla oblongata untuk
meningkatkan frekuensi pernapasan pada sistem respiratory. Badan bengkak disebabkan oleh
penurunan fungsi ginjal dalam mengatur ekskresi dan reabsorbsi air, natrium, maupun
elektrolit lain. Kondisi udem tersebut diperberat pula oleh hipoalbumin, dimana albumin
dapat lolos saat proses filtrasi melalui glomerulus, sehingga terjadi perubahan tekanan
onkotik plasma dan cairan plasma cenderung menuju ke jaringan ekstrasel. Kebocoran proses
filtrasi pada glomerulus dapat dilihat dari hasil urinalisis tgl 15/3 yang menunjukkan protein
3+ dalam urin. Kuantitas BAK pasien yang menurun diakibatkan oleh nefritis bilateral dan
terjadinya hidronefrosis ringan bilateral yang dapat diketahui dari data laboratorium USG
abdomen tgl 15/3. Gatal dengan ekskoriasi yang dialami pasien merupakan manifestasi dari
toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit (Soeparman dan Sukaton, 1990).
Mual yang terjadi pada pasien disebabkan oleh gangguan metabolisme protein di dalam usus,
terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolisme bakteri usus seperti amonia dan metilguanidin
serta sembabnya mukosa usus (Soeparman dan Sukaton, 1990).
Anemia dapat terjadi pada kondisi CKD disebabkan oleh berkurangnya produksi
erythropoietin di medula ginjal yang penting dalam proses erythropoiesis melalui stimulasi
diferensiasi sel pronormoblas eritrosit. Anemia yang umumnya terjadi pada pasien CKD
bersifat normokrom normositer yang ditunjukkan dengan nilai MCV dan MCHC yang
normal (Soeparman dan Sukaton, 1990) (Pagana, 2002). Anemia pada kasus CKD juga
disebabkan oleh berkurangnya waktu hidup sel darah merah akibat uremia. Pada pasien CKD
stage V umur sel darah merah hanya 60 hari dari umur normalnya yang 120 hari (Dipiro dan
Talbert, 2005). Terjadinya anemia pada pasien dapat dilihat dari data Hb, RBC, dan
hematokrit yang rendah. Data laboratorium yang tidak normal diantaranya adalah SCr dan
BUN yang menunjukkan fungsi ginjal. Kreatinin merupakan hasil metabolisme dari kreatin
otot yang jumlahnya relatif tetap dan difiltrasi secara utuh melalui glomerulus (Rose, 1989),
sedangkan urea merupakan hasil metabolisme dari asam amino di liver dan diekskresikan
melalui ginjal (Pagana, 2002), sehingga penurunan fungsi ekskresi ginjal pada CKD dapat
mengakibatkan peningkatan kreatinin serum dan BUN. Dari hasil perhitungan rumus
Cockroft-Goult, didapatkan CrCl atau GFR pasien sebesar 5,12 (<15 ml/menit/1,73m 2),
termasuk dalam CKD stage V yang memerlukan terapi hemodialisis. Data laboratorium lain
yang tidak normal adalah terjadinya hiperkalemi yang membahayakan pasien karena dapat
meningkatkan fase repolarisasi ventrikular jantung (Dipiro dan Talbert, 2005). Kondisi
hiperkalemi erat kaitannya dengan asidosis, karena pada saat asidosis tubuh melakukan
mekanisme hemostasis memindahkan ion H+ yang berlebih dalam darah menuju intrasel.
Untuk mempertahankan electrical neutrality maka ion K+ dikeluarkan dari sel yang dapat
mengakibatkan hiperkalemi (Pagana, 2002).
Pada hari pertama MRS (tgl 15/3), pasien mendapatkan terapi natrium bikarbonat 100
ml untuk mengkoreksi keadaan asidosis metabolik. Terapi natrium bikarbonat tersebut sudah
sesuai untuk mengatasi kondisi asidosis berat dengan pH 7,2 seperti yang dialami pasien,
akan tetapi menurut perhitungan base-excess dosis yang diberikan seharusnya adalah 93 ml.
Untuk mengatasi anemia, terapi yang diterima pasien adalah tranfusi PRC dan asam folat.
Dalam kondisi anemia berat seperti pada kadar Hb 3 (normal 11-18), tranfusi PRC dapat
diberikan. Akan tetapi terapi asam folat pada kasus ini kurang tepat, karena nilai MCV pasien
normal (jenis normositik) yang tidak mengindikasikan defisiensi asam folat. Sebenarnya
manajemen terapi anemia pada CKD adalah dengan erythropoietic agent seperti epoetin alfa
dan darbopoetin alfa (Dipiro dan Talbert, 2005), akan tetapi tidak dapat terlaksana karena
harga yang mahal terlebih status pasien adalah Jamkesmas. Pasien juga mengalami kondisi
hipoalbumin dengan nilai alb 2,3, akan tetapi terapi albumin 20% belum dapat terlaksana
terkait masalah administrasi albumin untuk pasien Jamkesmas. Pengaturan tekanan darah
pada pasien CKD sangat berpengaruh dalam menghambat progresivitas penyakit. Hal ini
berhubungan dengan patofisiologi CKD yang salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan
aliran darah dan besarnya tekanan pada glomerulus. Target tekanan darah pada pasien CKD
adalah ? 130/85 dan < 125/75 mmHg untuk pasien dengan proteinuria. mmHg, dan terapi
anti-hipertensi yang dianjurkan adalah ACE inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker yang
mempu menurunkan progresivitas proteinuria (Dipiro dan Talbert, 2005). Pada pasien
antihipertensi yang diberikan adalah Ca-channel blocker Amlodipin 5mg-0-0. Amlodipin
aman bagi penderita gangguan ginjal dan tidak memerlukan adjustment dose (Munar dan
Singh, 2007). Evaluasi tekanan darah perlu dilakukan secara rutin untuk memantau
efektivitas antihipertensi. Bila outcome kurang memuaskan, dapat dipertimbangkan
penggantian dengan ARB seperti losartan 50-100mg 1dd1. Pada kasus pasien ini yang
disertai kondisi asidosis metabolik, pemberian ACE inhibitor tidak dianjurkan karena
beresiko menimbulkan efek samping batuk kering melalui stimulasi bradikinin yang dapat
mengganggu pernapasan. Pada CKD, dapat terjadi hiperfosfatemia yang diakibatkan oleh
penurunan fungsi ginjal dalam mengekskresikan fosfat. Retensi fosfat dapat menurunkan
sintesis vitamin D, mengakibatkan hipokalsemi, dan meningkatkan hormon paratiroid. Upaya
pencegahan hiperfosfatemia diantaranya adalah dengan CaCO3 yang berfungsi sebagai
phosphate-binding pada intake makanan sehingga dapat menurunkan absorbsi fosfat (Dipiro
dan Talbert, 2005). Penggunaan CaCO3 3dd1 dan Amlodipin 5mg-0-0 dapat menimbulkan
DRP potensial interaksi, berupa penurunan efektivitas Ca-channel bloker oleh suplemen
kalsium (Lacy dan Amstrong, 2003). Sehingga solusi yang dapat dilakukan untuk
meminimalkan kemungkinan interaksi adalah dengan memberi jeda waktu minum obat, yaitu
amlodipin diminum pada jam 07.00 dan CaCO 3 diminum pada jam 08.00 bersama makanan.
Pada tgl 15/3 pasien mengalami tanda-tanda infeksi, diantaranya adalah WBC 16.100, RR 28,
pCO2 13,5 (akan tetapi pada kasus asidosis metabolik nilai RR dan pCO 2 kurang tepat
dijadikan patokan infeksi). Interfensi yang dilakukan dokter adalah dengan memerintahkan
uji kultur urin dan atau darah yang penting dalam penentuan antibiotik definitif. Pemberian
antibiotik empiris masih ditunda hingga dilakukan tes laboratorium WBC berikutnya pada
tanggal 17/3 dan bila gejala infeksi lain masih tetap terjadi. Tidak segera diberikannya
antibiotik empiris pada kasus ini kurang tepat, dikarenakan pasien CKD mengalami
penurunan sistem imun yang dapat membahayakan terjadinya sepsis bila infeksi tidak
tertangani dengan cepat. Pada tgl 15/3 sudah mulai diurus surat permohonan untuk
hemodialisis pasien.
Pada tanggal 16/3 tekanan darah pasien masih 150/110 mmHg. Kondisi asidosis
metabolik mulai dapat teratasi (pH=7,3; HCO3=9,7; pCO 2=17,8, pO2=104,5) dan nabikarbonat dihentikan. Infus albumin 20% sudah dapat diberikan dan terapi lain tetap.
Pada tanggal 17/3 nilai WBC 13.600, RR 26, nadi 92, pCO 2 16, sehingga diberikan ceftriaxon
sebagai antibiotik empiris. Pemilihan ceftriaxon tersebut diantaranya melalui pertimbangan
jenis bakteri yang mungkin menjadi penyebab infeksi adalah gram negatif, terkait kondisi
nefritis dan bakteri patogen tersering pada saluran kemih adalah e.coli (Dipiro dan Talbert,
2005), sehingga dipilih sefalosporin generasi ketiga yang bersifat broad-spectrum akan tetapi
lebih aktif terhadap bakteri gram negatif (Brooks dan Butel, 1996). Disamping itu ceftriaxon
relatif aman dan tidak memerlukan adjustment dose untuk pasien CKD (Munar dan Singh,
2007). Kondisi asidosis pasien terulang kembali dengan nilai pH darah= 7,19; HCO 3=6,1;
pCO2=16, pO2=117 dan masih terjadi hiperkalemi, sehingga mendapatkan terapi D40+insulin
2IU dan Ca glukonas. D40+insulin 2IU juga dapat mengatasi hiperkalemi melalui mekanisme
peningkatan masukan K+ intra sel melalui Na+-K+-ATPase dalam metabolisme glukosa
menjadi ATP sehingga kadar K+ dalam plasma menjadi berkurang (Rose, 1989). Terapi asam
folat dan CaCO3 dihentikan karena nilai MCV dan fosfat yang normal. Kadar albumin pasien
kembali rendah (2,2) sehingga dokter meresepkan albumin, akan tetapi belum terlaksana saat
itu terkait pengurusan administrasi pasien Jamkesmas. Pada malam hari dilakukan
hemodialisis dan pasien mengalami kejang postHD, sehingga diberikan injeksi diazepam.
Setelah hemodialisis, pemeriksaan BGA menunjukkan banyak kemajuan (pH= 7,38;
HCO3=11,8; pCO2=20, pO2=252).
Pada tanggal 18/3 tekanan darah pasien 150/100 sehingga diberikan amlodipin dan
furosemid (yang berfungsi pula untuk mengatasi udem dan meningkatkan ekskresi K +). Sesak
sudah berkurang dan elektrolit darah berada pada rentang normal, terkait asidosis yang dapat
teratasi serta kondisi pasien yang membaik setelah hemodialisis. Infus albumin 20% sudah
dapat diberikan. Kondisi hiperfosfat terulang (7,0) akan tetapi terapi CaCO3 baru dapat
diberikan tgl 19/3 dikarenakan hasil laboratorium yang baru selesai tanggal 19/3. Hasil
laboratorium BGA menunjukkan nilai normal setelah dilakukan hemodialisis.
Pada tanggal 19/3 tekanan darah pasien sudah memenuhi target yaitu 120/80, hal ini
mungkin disebabkan oleh pemberian diuretik furosemid sebelumnya yang mampu
menurunkan cardiac output. Kadar kalium juga normal (3,86; rentang normal 3,8-5), akan
tetapi terjadi hipokalsemi (5,3; rentang normal 8,1-10,4) dan penurunan nilai Na+ (133,9;
rentang normal 136-144) yang merupakan efek samping dari furosemid. Dari DRP aktual
tersebut dapat direkomendasikan pemberian furosemid untuk tgl 19/3 dihentikan dan
pemakaian furosemid tidak boleh secara rutin.
Konseling yang diberikan kepada perawat diantanranya adalah tentang cara rekonstitusi
serbuk injeksi ceftriaxon, cara pemberian dan stabilitas obat injeksi, serta pengaturan minum
obat amlodipin dan CaCO3. Sedangakan konseling bagi pasien adalah tentang cara minum
tablet CaCO3 yang dikunyah setelah suapan pertama makan pagi.