Review Jurnal Gangguan Preferensi Seksual
Review Jurnal Gangguan Preferensi Seksual
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan laporan tugas jurnal
ini sebagai hasil bahan belajar pada Blok XVII (Blok Neuropsikiatri) semester VI.
Penulis memohon maaf jika dalam penugasan ini terdapat banyak kekurangan
dalam menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan
jurnal ini karena semua ini disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai manusia.
Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kapada
para pembaca serta sebagai bahan untuk dikritisi agar lebih baik kedepannya.
Penulis
DAFTAR ISI
. 2
BAB I . 3
BAB II 4
BAB III 31
Daftar Pustaka . 32
BAB I
PENDAHULUAN
Seksualitas seseorang tergantung pada empat faktor-faktor yang saling
berhubungan: identitas seksual, identitas jenis kelamin, orientasi seksual, dan perilaku
seksual. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan
F65.0 Fetihisme
F65.2 Ekshibisionisme
F65.3 Voyeurisme
F65.4 Pedofilia
F65.5 Sadomasokisme
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Veyourisme
DEFINISI
Voyeurism adalah kondisi dimana seseorang memiliki prefensi tinggi untuk
mendapatkan kepuasan seksual dengan melihat orang lain yang tanpa busana atau
sedang melakukan hubungan seksual. Gangguan ini juga dikenal sebagai skopofilia.
Masturbasi sampai orgasme biasanya terjadi selama atau setelah peristiwa.Voyeurisme
ini merupakan kegiatan mengintip yang menggairahkan dan bukan merupakan
aktivitas seksual dengan orang yang dilihat. Sebagian besar pelaku voyeurisme adalah
pria. Voyeurisme adalah preokupasi rekuren dengan khayalan dan tindakan yang
berupa mengamati orang lain yang telanjang atau sedang berdandan atau melakukan
aktivitas seksual. Gangguan ini juga dikenal sebagai skopofilia. Masturbasi sampai
orgasme biasanya terjadi selama atau setelah peristiwa (Kaplan & Saddock, 2010).
Voyeurisme ialah keadaan seseorang yang harus mengamati tindakan sexual
atau ketelanjangan (orang lain) untuk memperoleh rangsangan dan pemuasan seksual
(Maramis, W.F. 2009)
EPIDEMIOLOGI
Orang dengan voyeurisme jarang ditangkap karena voyeurisme sifatnya tidak
menyakiti orang lain dan dilakukan secara tersembunyi. Pada sebagian kalangan,
kebiasaan ini dianggap lazim untuk anak remaja, mereka mulai dapat menikmati
gambar yang berbau pornografi sampai mengintip percumbuan dari orang lain secara
terang-terangan atau tersembunyi (Rusdi, Maslim. 2001).
ETIOLOGI
Ada beberapa etiologi dari Veyourisme, antara lain (Rusdi, Maslim. 2001;
Norman, Cameron. 2001) :
1. Rasa ingin tahu yang sangat mendominasi dirinya tentang aktivitas seksual.
2. Penyebab
voyeurisme
mencakup
psikoanalitik
klasik
dikatakan
(voyeurism)
dikarenakan
faktor
bahwa
kegagalan
psikososial.
Menurut
teori
pasien
penyimpangan
seksual
dalam
menyelesaikan
proses
4. Pernah mengalami trauma psikologis dari perlakuan jenis kelamin lain yang
menambah kadar rasa kurang percaya diri.
5. Adanya informasi dari berbagai media yang menyumbang pada kebebasan
pornografi.
6. Adanya rauma pada usia anak.
7. Ketidaksengajaan melihat orang sedang telanjang, sedang melepas pakaian,
atau orang yang sedang melakukan hubungan seksual.
Kriteria voyeurism pada DSM-IV(Kaplan & Saddock, 2010).
1. Berulang intens dan terjadi selama periode 6 bulan, fantasi, dorongan atau
perilaku yang menimbulkan dorongan seksual yang berkaitan dengan tindakan
mengintip orang lain yang sedang tanpa busana atau sedang melakukan hubungan
seksual tanpa diketahui orang yang bersangkutan.
2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut
menyebabkan. Orang tersebut mengalami distress atau mengalami masalah
interpersonal.
Menurut PPDGJ-III, pedoman diagnostik pada voyeurism adalah;
1. Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang
sedang berhubungan seksual atau berprilaku intim seperti sedang menanggalkan
pakaian
2. Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan masturbasi, yang
dilakukan tanpa orang yang diintip menyadarinya.
2. Pedofilia
KRITERIA DIAGNOSTIK
Kriteria Diagnostik Pedofilia
A. Waktu sekuramg-kurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual,
adanya dorongan seksual, atau perilaku berulang dan kuat berupa aktifitas seksual dengan
3. Sadomasokisme
Sadisme usaha mencapai kepuasan seksual dengan menyakiti orang lain.
Dalam teori psikoanalitik, sadisme terkait dengan rasa takut pengebirian, sedangkan
penjelasan
perilaku
sadomasokisme
(praktek
seksual
menyimpang
yang
Menurut PPDGJ III, ada beberapa kriteria untuk menentukan seseorang itu
mengidap gangguan preferensi seksusal sadomasokisme atau tidak, kriterianya antara
lain (Maslim, 2013):
1. Preferensi terhadap aktivitas seksual yang melibatkan pengikatan atau
menimbulkan rasa sakit atau penghinaan( individu yang suka menjadi resipien
perangsangan disebut masokism, sedangkan yang bertindak sebagai pelaku
adalah, sadism
2. Seringkali individu mendapat rangsangan seksual dari aktivitas sadistic
maupun masokistik
3. Kategori ini digunakan apabila aktivitas sadomasokisme merupakan sumber
rangsangan penting untuk kepuasan seks
4. Harus dibedakan kebrutalan dalam hubungan seks dan kemarahan yang tidak
berhubungan dengan erotisme.
Sedangkan
menurut
DSM
V,
kriteria
penegakkan
diagnosis
dari
4. Fetishisme
Fetishisme adalah kelainan yang dikarakteristikan sebagai dorongan
seksualhebat yang berulang dan secara seksual menimbulkan khayalan yang
dipengaruhi olehobjek yang bukan manusia. Pada fetishisme, dorongan seksual
terfokus pada benda atau bagian tubuh (seperti, sepatu, sarung tangan, celana dalam,
atau stoking) yang secara mendalam dihubungkan dengan tubuh manusia. Bendabenda tersebut biasanya dibelai, dicium, dibaui atau hanya menatap benda sambil
melakukan masturbasi. Orang yang mengidap fetihisme, yang kebanyakan laki-laki,
memiliki dorongan seksual berulang, intens terhadap berbagai benda mati, yang
disebut fetis dan keberadaan fetis sangat diinginkan atau bahkan merupakan
keharusan agar dapat timbul gairah seksual. Ada pula fetisis yang membutuhkan
pasangan sebagai stimulant sebelum melakukan hubungan seks. Gangguan fetisis
biasanya berawal dari masa remaja, meskipun fetis dapat memperoleh keistimewaan
pada masa yang lebih awal, yaitu di masa kanak-kanak. Fetisis sering kali mengidap
jenis parafilia lain, seperti pedofilia, sadisme, dan masokisme (Oosterhuis, 2012)
Pada penderita fetishisme, penderita kadang lebih menyukai untuk melakukan
aktivitas seksual dengan menggunakan obyek fisik (jimat) dibanding dengan manusia.
Penderita akan terangsang dan terpuaskan secara seksual jika (Oosterhuis, 2012) :
1. Memakai pakaian dalam milik lawan jenisnya
2. Memakai bahan karet atau kulit
3. Memegang, atau menggosok-gosok atau membaui sesuatu, misalnya sepatu
bertumit tinggi. Objek fetish sering digunakan untuk mendapatkan gairah
selama melakukanmasturbasi, dorongan seksual tidak dapat terjadi jika
ketidakhadiran dari objek tersebut. Jika terdapat pasangan seksual,
pasangannya ditanya untuk memakai pakaian atau objek lain sesuai objek
fethisnya selama aktivitas seksual
Pedoman Diagnostik Fetihisme menurut PPDGJ III (Maslim, 2013) :
5. Tranvetisme Fetihistik
Tranvetisme Fetihistik adalah gejala keadaan seseorang yang mencari
rangsangan dan pemuasan seksual dengan memakai pakaian dan berperan sebagai
seorang dari seks yang berlainan. Cross dressing tersebut dapat berupa menggunakan
salah satu bahan yang dipakai wanita atau mengenakan pakaian wanita lengkap dan
menampilkan diri sebagai wanita di depan umum. Tujuan orang tersebut adalah untuk
mencari kepuasan seksual. Pria yang mengalami penyakit ini mengadakan masturbasi
pada waktu mengenakan pakaian wanita dan berfantasi mengenai pria lain yang
tertarik dengan pakaiannya. Seorang wanita dikatakan mengalami kelainan ini jika
merekamengenakan pakaian laki-laki untuk mencari kepuasan seksual (Oosterhuis,
2012)
Pedoman Diagnostik Tranvetisme Fetihistik menurut PPDGJ III (Maslim, 2013) :
1. Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk
mencapaikepuasaan seksual
2. Gangguan ini harus dibedakan dari fetihisme (F65.0) dimana pakaian sebagai
objek fetish bukan hanya sekedar dipakai, tetapi juga untuk menciptakan
penampilan seorang dari lawan jenis kelaminya. Biasanya lebih dari satu jenis
barang yang dipakai dan sering kali suatu perlengkapan yang menyeluruh,
termasuk rambut palsu dan tata rias wajah
3. Transvetisme fetihistik dibedakan dari trasvetisme trans seksual oleh adanya
hubungan yang jelas dengan bangkitnya gairah seksual dan keinginan/hasrat
yang kuat untuk melepaskan baju tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan
rangsang seksual menurun
4. Adanya riwayat transvetisme fetihistik biasanya dilaporkan sebagai suatu fase
awaloleh para penderita transeksualisme dan kemungkinan merupakan suatu
stadiumdalam perkembangan transeksualisme
Kriteria Diagnostik Fetishisme Transvestik menurut DSM-IV (APA, 2013) :
1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, pada laki-laki heteroseksual, terdapat
khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku
yang berulang dan kuat berupa cross dressing
2. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis dan gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya
6. Eksibionisme
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Gangguan Preferensi seksual atau disebut juga parafilia adalah sekelompok
gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau
aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Parafilia yang dialami oleh seseorang
dapat merupakan parafilia dengan kebiasaan mendekati normal sampai kebiasaan
yang merusak atau menyakiti diri sendiri ataupun diri sendiri dan pasangan, dan pada
akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap merusak dan mengancam komunitas yang
lebih luas. Penyebab dari parafilia antara lain adalah faktor psikososial dan faktor
biologi.
Menurut PPDGJ III dibagi menjadi F65.0 Fetihisme, F65.1 Tranvetisme
Fetihistik, F65.2 Ekshibisionisme, F65.3 Veyeurisme, F65.4 Pedofilia, F65.5
Sodomasokisme, F65.6 Gangguan Preeferensi Seksual Multipel, F65.8 Gangguan
Preferensi Seksual Lainya, dan F65.9 Gangguan Preferensi Seksual YTT.
Di antara kasus parafilia yang dikenali secara hukum, pedofilia adalah jauh
lebih sering dibandingkan yang lainnya. Lebih dari 80% penderita parafilia memiliki
onset sebelum usia 18 tahun. Pasien parafilia umunya memiliki 3 sampai 5 parafilia
baik yang bersamaan atau pada saat terpisah. Kejadian perilaku parafilia memuncak
pada usia antara 15 dan 25 tahun, dan selanjutnya menurun. Parafilia jarang terjadi
pada pria umur 50 tahun, kecuali mereka tinggal dalam isolasi atau teman yang
senasib.
Gejala utama parafilia adalah dorongan, fantasi, dan rangsangan yang
berulang-ulang dan berkaitan dengan : (1) Obyek-obyek bukan manusia (sepatu, baju
dalam, bahan kulit atau karet). (2) Menyakiti diri sendiri atau pasangan. (3) Individu
yang tidak diperbolehkan menurut hukum (anak-anak, orang yang tidak berdaya atau
pemerkosaan).
Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria diagnostik PPDGJ III dan DSM IV.
Klinisi perlu membedakan suatu parafilia dari coba-coba dimana tindakan dilakukan
untuk mengetahui efek baru dan tidak secara rekuren atau kompulsif.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. 2013. [Ebook] Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders, 5th Edition.Arlington, VA, American Psychiatric
Association.
Bradford A, Meston C. 2011. [Ebook] Sex and gender disorders, in The Oxford
Handbook
of
Clinical
Psychology.
Edited
by Barlow H. New
Blanchard R., 2010. The DSM Diagnostic Criteria for Transvestic Fetishism. Journal
of
the
American
Academy
of
Psychoanalysis,
6,
301323.
http://www.researchgate.net/publication/26814809_The_DSM_diagnostic
_criteria_for_transvestic_fetishism
Cameron, Norman, 2001. Personality Development and Psychopathology, A Dinamic
Approach, Yalf Unifersity, Mifflin Company Boston; 200 hal. 667
Langstrom N, 2010. The DSM Diagnostic Criteria for Exhibitionism, Voyeurism, and
Frotteurism. 2010 Apr;39(2):317-24. doi: 10.1007/s10508-009-9577-4.
Diakses
tanggal
23
April
2015
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19924524
Velayudhan R., Khaleel A., Sankar N et al., 2014. Fetishistic transvestism in a patient
with mental retardation and psychosis. Journal of Indian Psycology Med.
Accessed
on
23th
April.
Available
at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4031593/
Maramis, W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Universitas Airlangga, Surabaya; hal.
299-321.
Maslim, R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJIII. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Atma Jaya
Sadock BJ, Kaplan HI, 2010. Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara
Thibaut, F. 2013. Pharmacological threatment of paraphilias. Isr J Psychiatry Relat
Sci
2012(49):4.
Diaskes
tanggal
23
April
2015
<http://doctorsonly.co.il/wp-content/uploads/2013/03/09_Pharmacological-treatment.pdf>
Oosterhuis H. 2012. Sexual Modernity in the Works of Richard von Krafft-Ebing and
Albert Moll. Med. Hist. 56(2): 133-155