Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan laporan tugas jurnal
ini sebagai hasil bahan belajar pada Blok XVII (Blok Neuropsikiatri) semester VI.
Penulis memohon maaf jika dalam penugasan ini terdapat banyak kekurangan
dalam menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan
jurnal ini karena semua ini disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai manusia.
Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kapada
para pembaca serta sebagai bahan untuk dikritisi agar lebih baik kedepannya.

Mataram, April 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..1


Daftar Isi

. 2

BAB I . 3
BAB II 4
BAB III 31
Daftar Pustaka . 32

BAB I
PENDAHULUAN
Seksualitas seseorang tergantung pada empat faktor-faktor yang saling
berhubungan: identitas seksual, identitas jenis kelamin, orientasi seksual, dan perilaku
seksual. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan

fungsi kepribadian dan keseluhannya dinamakan faktor psikoseksual. Seksualitas


adalah sesuatu yang lebih dari jenis kelamin fisik, koitus atau nonkoitus, dan sesuatu
yang kurang dari tiap aspek perilaku diarahkan untuk mendapatkan kesenangan.
Fungsi utama perilaku seksual bagi manusia adalah membentuk ikatan, untuk
mengekspresikan dan meningkatkan cinta antara dua orang, dan untuk mendapatkan
keturunan.
Dalam dunia psikologi abnormal, gangguan abnormalitas seksual merupakan
ruang lingkup di dalamnya. Berdasar DSM IV TR (Asosiasi Psikiatrik Amerika)
diklasifikasi menjadi tiga garis besar yaitu Disfungsi seksual, Parafilia dan Gangguan
Identitas Gender. Berikut ini adalah jenis jenis gangguan preferensi menurut PPDGJIII yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

F65.0 Fetihisme

F65.1 Tranvetisme Fetihistik

F65.2 Ekshibisionisme

F65.3 Voyeurisme

F65.4 Pedofilia

F65.5 Sadomasokisme

F65.6 Gangguan Preeferensi Seksual Multipel

F65.8 Gangguan Preferensi Seksual Lainya

F65.9 Gangguan Preferensi Seksual YTT

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Veyourisme

DEFINISI
Voyeurism adalah kondisi dimana seseorang memiliki prefensi tinggi untuk
mendapatkan kepuasan seksual dengan melihat orang lain yang tanpa busana atau
sedang melakukan hubungan seksual. Gangguan ini juga dikenal sebagai skopofilia.
Masturbasi sampai orgasme biasanya terjadi selama atau setelah peristiwa.Voyeurisme
ini merupakan kegiatan mengintip yang menggairahkan dan bukan merupakan
aktivitas seksual dengan orang yang dilihat. Sebagian besar pelaku voyeurisme adalah
pria. Voyeurisme adalah preokupasi rekuren dengan khayalan dan tindakan yang
berupa mengamati orang lain yang telanjang atau sedang berdandan atau melakukan
aktivitas seksual. Gangguan ini juga dikenal sebagai skopofilia. Masturbasi sampai
orgasme biasanya terjadi selama atau setelah peristiwa (Kaplan & Saddock, 2010).
Voyeurisme ialah keadaan seseorang yang harus mengamati tindakan sexual
atau ketelanjangan (orang lain) untuk memperoleh rangsangan dan pemuasan seksual
(Maramis, W.F. 2009)
EPIDEMIOLOGI
Orang dengan voyeurisme jarang ditangkap karena voyeurisme sifatnya tidak
menyakiti orang lain dan dilakukan secara tersembunyi. Pada sebagian kalangan,
kebiasaan ini dianggap lazim untuk anak remaja, mereka mulai dapat menikmati
gambar yang berbau pornografi sampai mengintip percumbuan dari orang lain secara
terang-terangan atau tersembunyi (Rusdi, Maslim. 2001).
ETIOLOGI
Ada beberapa etiologi dari Veyourisme, antara lain (Rusdi, Maslim. 2001;
Norman, Cameron. 2001) :
1. Rasa ingin tahu yang sangat mendominasi dirinya tentang aktivitas seksual.
2. Penyebab

voyeurisme

mencakup

psikoanalitik

klasik

dikatakan

(voyeurism)

dikarenakan

faktor

bahwa

kegagalan

psikososial.

Menurut

teori

pasien

penyimpangan

seksual

dalam

menyelesaikan

proses

perkembangan normal menuju penyesuaian heteroseksual.


3. Ketidak-adekuatan relasi dengan lawan jenis dan rasa ingin tahu yang sangat
mendominasi dirinya tentang aktivitas seksual.

4. Pernah mengalami trauma psikologis dari perlakuan jenis kelamin lain yang
menambah kadar rasa kurang percaya diri.
5. Adanya informasi dari berbagai media yang menyumbang pada kebebasan
pornografi.
6. Adanya rauma pada usia anak.
7. Ketidaksengajaan melihat orang sedang telanjang, sedang melepas pakaian,
atau orang yang sedang melakukan hubungan seksual.
Kriteria voyeurism pada DSM-IV(Kaplan & Saddock, 2010).
1. Berulang intens dan terjadi selama periode 6 bulan, fantasi, dorongan atau
perilaku yang menimbulkan dorongan seksual yang berkaitan dengan tindakan
mengintip orang lain yang sedang tanpa busana atau sedang melakukan hubungan
seksual tanpa diketahui orang yang bersangkutan.
2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut
menyebabkan. Orang tersebut mengalami distress atau mengalami masalah
interpersonal.
Menurut PPDGJ-III, pedoman diagnostik pada voyeurism adalah;
1. Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang
sedang berhubungan seksual atau berprilaku intim seperti sedang menanggalkan
pakaian
2. Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan masturbasi, yang
dilakukan tanpa orang yang diintip menyadarinya.

2. Pedofilia
KRITERIA DIAGNOSTIK
Kriteria Diagnostik Pedofilia
A. Waktu sekuramg-kurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual,
adanya dorongan seksual, atau perilaku berulang dan kuat berupa aktifitas seksual dengan

anak prapubertas atau anak-anak (biasanya berusia 13 tahun atau kurang).


B. Khayalan, dorongan seksual atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam hubungan interpersonal
C. Orang sekurang-kurangnya berusia 16 tahun dan sekurangnya berusia 5 tahun lebih tua
dari anak atau anka-anak dalam kriteria A.
Catatan : Jangan masukkan seorang individu yang di dalam masa remaja akhir yang terlibat
hubungan seksual berkelanjutan dengan seseorang berusia 12 atau 13 tahun.
Sebutkan jika :
Tertarik secara seksual kepada laki-laki
Tertarik secara seksual kepada wanita
Tertarik secara seksual kepada keduanya
Sebutkan jika :
Terbatas pada incest
Sebutkan jenis :
Tipe eksklusif (hanya tertarik pada anak-anak)
Tipe noneksklusif

3. Sadomasokisme
Sadisme usaha mencapai kepuasan seksual dengan menyakiti orang lain.
Dalam teori psikoanalitik, sadisme terkait dengan rasa takut pengebirian, sedangkan
penjelasan

perilaku

sadomasokisme

(praktek

seksual

menyimpang

yang

menggabungkan sadisme dan masokisme) adalah perasaan secara fisiologis mirip


dengan gairah seksual. Kriteria diagnostik klinis untuk kedua gangguan ini adalah
pengulangan dari perilaku selama setidaknya enam bulan, dan kesulitan yang
signifikan atau penurunan kemampuan untuk berfungsi sebagai akibat dari perilaku
atau terkait dorongan atau fantasi (Sadock BJ, Kaplan HI, 2010)
Masokisme adalah istilah yang digunakan untuk kelainan seksual tertentu,
namun yang juga memiliki penggunaan yang lebih luas. Gangguan seksual ini
melibatkan kesenangan dan kegembiraan yang diperoleh dari rasa sakit pada diri
sendiri, baik yang berasal dari orang lain atau dengan diri sendiri (Sadock BJ, Kaplan
HI, 2010)
Kriteria diagnosis

Menurut PPDGJ III, ada beberapa kriteria untuk menentukan seseorang itu
mengidap gangguan preferensi seksusal sadomasokisme atau tidak, kriterianya antara
lain (Maslim, 2013):
1. Preferensi terhadap aktivitas seksual yang melibatkan pengikatan atau
menimbulkan rasa sakit atau penghinaan( individu yang suka menjadi resipien
perangsangan disebut masokism, sedangkan yang bertindak sebagai pelaku
adalah, sadism
2. Seringkali individu mendapat rangsangan seksual dari aktivitas sadistic
maupun masokistik
3. Kategori ini digunakan apabila aktivitas sadomasokisme merupakan sumber
rangsangan penting untuk kepuasan seks
4. Harus dibedakan kebrutalan dalam hubungan seks dan kemarahan yang tidak
berhubungan dengan erotisme.
Sedangkan

menurut

DSM

V,

kriteria

penegakkan

diagnosis

dari

sadomasokisme dipisah, menjadi gangguan seksual masokisme dan sadism.


Kriterianya adalah sebagai berikut ( APA, 2013)
Masokisme
1. Dalam waktu lebih dari 6 bulan, menikmati rangsangan seksual yang berulang
dan intens dari berbagai tindakan seperti, dipermalukan, disiksa, diikat, atau
kegiatan yang menyebabkan siksaan, bermanifestasi dari fantasi, dorongan
seksual, ataupun perilakunya.
2. Fantasi, dorongan seksual, atau perilaku secara klinis menyebabkan kesulitan
dalam bersosialisasi, pekerjaan, dan sector penting lain.
Sadisme
1. Dalam waktu lebih dari 6 bulan, menikmati rangsangan seksual yang berulang
dan intens dari berbagai tindakan penyiksaan fisik maupun secara psikologi
terhadap orang lain, bermanifestasi dari fantasi, dorongan seksual, ataupun
perilakunya.

2. Fantasi, dorongan seksual, atau perilaku secara klinis menyebabkan kesulitan


dalam bersosialisasi, pekerjaan, dan sector penting lain.

4. Fetishisme
Fetishisme adalah kelainan yang dikarakteristikan sebagai dorongan
seksualhebat yang berulang dan secara seksual menimbulkan khayalan yang
dipengaruhi olehobjek yang bukan manusia. Pada fetishisme, dorongan seksual
terfokus pada benda atau bagian tubuh (seperti, sepatu, sarung tangan, celana dalam,
atau stoking) yang secara mendalam dihubungkan dengan tubuh manusia. Bendabenda tersebut biasanya dibelai, dicium, dibaui atau hanya menatap benda sambil
melakukan masturbasi. Orang yang mengidap fetihisme, yang kebanyakan laki-laki,
memiliki dorongan seksual berulang, intens terhadap berbagai benda mati, yang
disebut fetis dan keberadaan fetis sangat diinginkan atau bahkan merupakan
keharusan agar dapat timbul gairah seksual. Ada pula fetisis yang membutuhkan
pasangan sebagai stimulant sebelum melakukan hubungan seks. Gangguan fetisis
biasanya berawal dari masa remaja, meskipun fetis dapat memperoleh keistimewaan
pada masa yang lebih awal, yaitu di masa kanak-kanak. Fetisis sering kali mengidap
jenis parafilia lain, seperti pedofilia, sadisme, dan masokisme (Oosterhuis, 2012)
Pada penderita fetishisme, penderita kadang lebih menyukai untuk melakukan
aktivitas seksual dengan menggunakan obyek fisik (jimat) dibanding dengan manusia.
Penderita akan terangsang dan terpuaskan secara seksual jika (Oosterhuis, 2012) :
1. Memakai pakaian dalam milik lawan jenisnya
2. Memakai bahan karet atau kulit
3. Memegang, atau menggosok-gosok atau membaui sesuatu, misalnya sepatu
bertumit tinggi. Objek fetish sering digunakan untuk mendapatkan gairah
selama melakukanmasturbasi, dorongan seksual tidak dapat terjadi jika
ketidakhadiran dari objek tersebut. Jika terdapat pasangan seksual,
pasangannya ditanya untuk memakai pakaian atau objek lain sesuai objek
fethisnya selama aktivitas seksual
Pedoman Diagnostik Fetihisme menurut PPDGJ III (Maslim, 2013) :

1. Mengandalkan pada beberapa benda mati (non-living object) sebagai


rangsangan untuk membangkitkan keinginan seksual dan memberikan
kepuasan seksual. Kebanyakan benda tersebut (object fetish) adalah ekstensi
dari tubuh manusia, seperti pakaian atau sepatu
2. Diagnosis ditegakkan apabila object fetish benar-benar merupakan sumber
yang utama dari rangsangan seksual atau penting sekali untuk respon seksual
yang memuaskan
3. Fantasi fetihistik adalah lazim, tidak menjadi suatu gangguan kecuali apabila
menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak semestinya
sampai menggangu hubungan seksual dan menyebabkan bagi penderitaan
individu
4. Fetihisme terbatas hampir hanya pada pria saja
Kriteria Diagnostik Fetihisme menurut DSM-IV (APA, 2000) :
1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa
pemakaian benda-benda mati (misalnya, pakaian dalam wanita)
2. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan penderitaan
yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau fungsi penting lainnya.
Objek fetish bukan perlengkapan pakaian wanita yang digunakan pada crossdressing (berpakaian lawan jenis) seperti pada fetishisme transvestik atau alat-alat
yang dirancang untuk tujuan stimulasi taktil pada genital, misalnya sebuah vibrator.

5. Tranvetisme Fetihistik
Tranvetisme Fetihistik adalah gejala keadaan seseorang yang mencari
rangsangan dan pemuasan seksual dengan memakai pakaian dan berperan sebagai
seorang dari seks yang berlainan. Cross dressing tersebut dapat berupa menggunakan
salah satu bahan yang dipakai wanita atau mengenakan pakaian wanita lengkap dan
menampilkan diri sebagai wanita di depan umum. Tujuan orang tersebut adalah untuk

mencari kepuasan seksual. Pria yang mengalami penyakit ini mengadakan masturbasi
pada waktu mengenakan pakaian wanita dan berfantasi mengenai pria lain yang
tertarik dengan pakaiannya. Seorang wanita dikatakan mengalami kelainan ini jika
merekamengenakan pakaian laki-laki untuk mencari kepuasan seksual (Oosterhuis,
2012)
Pedoman Diagnostik Tranvetisme Fetihistik menurut PPDGJ III (Maslim, 2013) :
1. Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk
mencapaikepuasaan seksual
2. Gangguan ini harus dibedakan dari fetihisme (F65.0) dimana pakaian sebagai
objek fetish bukan hanya sekedar dipakai, tetapi juga untuk menciptakan
penampilan seorang dari lawan jenis kelaminya. Biasanya lebih dari satu jenis
barang yang dipakai dan sering kali suatu perlengkapan yang menyeluruh,
termasuk rambut palsu dan tata rias wajah
3. Transvetisme fetihistik dibedakan dari trasvetisme trans seksual oleh adanya
hubungan yang jelas dengan bangkitnya gairah seksual dan keinginan/hasrat
yang kuat untuk melepaskan baju tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan
rangsang seksual menurun
4. Adanya riwayat transvetisme fetihistik biasanya dilaporkan sebagai suatu fase
awaloleh para penderita transeksualisme dan kemungkinan merupakan suatu
stadiumdalam perkembangan transeksualisme
Kriteria Diagnostik Fetishisme Transvestik menurut DSM-IV (APA, 2013) :
1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, pada laki-laki heteroseksual, terdapat
khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku
yang berulang dan kuat berupa cross dressing
2. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis dan gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya

6. Eksibionisme

Eksibionisme adalah kepuasan secara seksual yang diperoleh dengan


memperlihatkan alat genital atau organ seksual lain kepada orang asing.
Eksibisionisme termasuk salah satu gangguan sexual parafilia, dimana terjadi
ketertarikan secara abnormal atau obsesi untuk melakukan aktivitas seksual yang
tidak biasa (American Psychiatric Association, 2013). Memperlihatkan alat
kelamin sering dilakukan di tempat umum seperti taman, sekolah, jalan raya,
perpustakaan, dan sebagainya (Langstrom, 2010).
Pendertia eksibisionism tidak melakukan aktivitas seksual lebih lanjut
terhadap korban yang diperlihatkan alat genitalnya. Oleh sebab itu, secara umum
gangguan ini tidak berbahaya secara fisik bagi korban. Diantara orang-orang
dewasa memperlihatkan alat kelamin yang patologik lebih sering dilakukan oleh
laki-laki sedangkan memperlihatkan bagian tubuh dengan batas-batas tertentu
sering dilakukan eksibinisme oleh perempuan. (Langstrom, 2010).
Penderita ekhibisionism biasanya adalah laki-laki, dan korban perempuan
(dewasa maupun anak-anak), dan kadang-kadang orang-orang yang tidak terduga
(American Psychiatric Association, 2013). Hubungan sosial dan seksual mungkin
terganggu jika perilaku tersebut ditemukan mengganggu atau jika pasangan
seksual individu menolak untuk bekerja sama dengan preferensi tertentu. Dalam
beberapa kasus, perilaku yang tidak biasa dapat menjadi masalah aktivitas
seksual utama dalam kehidupan individu. Orang-orang ini jarang mencari
bantuan sendiri ke tenaga profesional. Pendetia cenderung untuk mendapatkan
bantuan profesional hanya ketika perilaku mereka telah membawa mereka ke
dalam konflik dengan mitra seksual atau masyarakat (Bradford, 2011).
Penyebab terjadinya parafilia, khususnya eksibisionisme masih belum
diketahui secara pasti. Beberapa faktor psikologis, perkembangan, genetik dan
organik dipercayai sebagai faktor risiko, namun tidak ada teori yang dapat
menjelaskan secara jelas mengenai hubungan faktor risiko tersebut dengan
penyakit eksibisionisme. Eksibisionisme dapat diterapi dengan program
pencegahan perilaku dan victimization sehingga mengurangi beban individu dan
sosial dari penyakit ini. (Thibaut, 2012)

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Gangguan Preferensi seksual atau disebut juga parafilia adalah sekelompok
gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau

aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Parafilia yang dialami oleh seseorang
dapat merupakan parafilia dengan kebiasaan mendekati normal sampai kebiasaan
yang merusak atau menyakiti diri sendiri ataupun diri sendiri dan pasangan, dan pada
akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap merusak dan mengancam komunitas yang
lebih luas. Penyebab dari parafilia antara lain adalah faktor psikososial dan faktor
biologi.
Menurut PPDGJ III dibagi menjadi F65.0 Fetihisme, F65.1 Tranvetisme
Fetihistik, F65.2 Ekshibisionisme, F65.3 Veyeurisme, F65.4 Pedofilia, F65.5
Sodomasokisme, F65.6 Gangguan Preeferensi Seksual Multipel, F65.8 Gangguan
Preferensi Seksual Lainya, dan F65.9 Gangguan Preferensi Seksual YTT.
Di antara kasus parafilia yang dikenali secara hukum, pedofilia adalah jauh
lebih sering dibandingkan yang lainnya. Lebih dari 80% penderita parafilia memiliki
onset sebelum usia 18 tahun. Pasien parafilia umunya memiliki 3 sampai 5 parafilia
baik yang bersamaan atau pada saat terpisah. Kejadian perilaku parafilia memuncak
pada usia antara 15 dan 25 tahun, dan selanjutnya menurun. Parafilia jarang terjadi
pada pria umur 50 tahun, kecuali mereka tinggal dalam isolasi atau teman yang
senasib.
Gejala utama parafilia adalah dorongan, fantasi, dan rangsangan yang
berulang-ulang dan berkaitan dengan : (1) Obyek-obyek bukan manusia (sepatu, baju
dalam, bahan kulit atau karet). (2) Menyakiti diri sendiri atau pasangan. (3) Individu
yang tidak diperbolehkan menurut hukum (anak-anak, orang yang tidak berdaya atau
pemerkosaan).
Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria diagnostik PPDGJ III dan DSM IV.
Klinisi perlu membedakan suatu parafilia dari coba-coba dimana tindakan dilakukan
untuk mengetahui efek baru dan tidak secara rekuren atau kompulsif.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. 2013. [Ebook] Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders, 5th Edition.Arlington, VA, American Psychiatric
Association.
Bradford A, Meston C. 2011. [Ebook] Sex and gender disorders, in The Oxford
Handbook

of

Clinical

Psychology.

York, Oxford University Press.

Edited

by Barlow H. New

Blanchard R., 2010. The DSM Diagnostic Criteria for Transvestic Fetishism. Journal
of

the

American

Academy

of

Psychoanalysis,

6,

301323.

http://www.researchgate.net/publication/26814809_The_DSM_diagnostic
_criteria_for_transvestic_fetishism
Cameron, Norman, 2001. Personality Development and Psychopathology, A Dinamic
Approach, Yalf Unifersity, Mifflin Company Boston; 200 hal. 667
Langstrom N, 2010. The DSM Diagnostic Criteria for Exhibitionism, Voyeurism, and
Frotteurism. 2010 Apr;39(2):317-24. doi: 10.1007/s10508-009-9577-4.
Diakses

tanggal

23

April

2015

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19924524
Velayudhan R., Khaleel A., Sankar N et al., 2014. Fetishistic transvestism in a patient
with mental retardation and psychosis. Journal of Indian Psycology Med.
Accessed

on

23th

April.

Available

at

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4031593/
Maramis, W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Universitas Airlangga, Surabaya; hal.
299-321.
Maslim, R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJIII. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Atma Jaya
Sadock BJ, Kaplan HI, 2010. Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara
Thibaut, F. 2013. Pharmacological threatment of paraphilias. Isr J Psychiatry Relat
Sci

2012(49):4.

Diaskes

tanggal

23

April

2015

<http://doctorsonly.co.il/wp-content/uploads/2013/03/09_Pharmacological-treatment.pdf>

Oosterhuis H. 2012. Sexual Modernity in the Works of Richard von Krafft-Ebing and
Albert Moll. Med. Hist. 56(2): 133-155

Anda mungkin juga menyukai