Venous
Berdenyut ke dalam
Dua puncak dalam satu siklus (pada irama sinus)
Dipengaruhi oleh kompresi abdomen
Dapat menggeser earlobes (bila tekanan vena meningkat)
Arterial
Berdenyut keluar
Satu puncak dalam satu siklus
Tidak dipengaruhi oleh kompresi abdomen
Tidak menggeser earlobes
Tujuan
Adapun tujuan dari pengukuran JVP antara lain:
1. Mengetahui ada tidaknya distensi vena jugular (JVD)
2. Memperkirakan tekanan vena sentral (central venous pressure)
Kompetensi Dasar
Bila denyut vena jugularis telah ditemukan, maka tentukan tinggi pulsasi di atas
level atrial dan bentuk gelombang pulsasi vena jugularis. Karena tidak mungkin
dapat melihat atrium kanan, maka dianggap sama dengan tinggi pulsasi vena
jugularis di atas sudut manubriosternal (Gambar 2). Tinggi sudut
manubriosternal di atas mid-right atrium selalu konstan, walaupun pasien dalam
keadaan berbaring, duduk atau berdiri. JVP yang normal adalah kurang dari 4 cm
di atas sudut manubriosternal. (Waskito, 2008)
Pada pasien dengan JVP yang sangat tinggi (mis. pada pericardial tamponade
atau
constrictive pericarditis), vena jugularis interna dapat terisi penuh saat pasien
berbaring 45,
sehingga pasien perlu didudukkan untuk dapat melihat ujung pulsasi. Bila JVP
terlihat di atas klavikula pada saat pasien duduk tegak, maka artinya tekanan
JVP meningkat. Pada saat pasien duduk tegak, kadang-kadang tidak adekuat
untuk memeriksa tekanan vena yang sangat tinggi. Maka pasien diminta untuk
menaikkan tangan sampai vena di belakang tangan kolaps dan periksalah
perbedaan tinggi tangan dengan atrium kanan atau sudut sternum. Contoh
bentuk gelombang tekanan jugular dapat dilihat pada Gambar 3. (Waskito, 2008)
Bentuk gelombang yang abnormal terjadi pada tricuspid regurgitation, yaitu
gelombang sistoliknya besar sehingga dapat teraba dan tidak dapat hilang bila
ditekan dengan jari. Penyebab peningkatan tekanan JVP adalah payah jantung
kongestif, dimana peningkatan tekanan vena menunjukkan kegagalan ventrikel
kanan. Peningkatan JVP yang tidak pulsatif, menunjukkan kemungkinan adanya
obstruksi vena kava superior. (Waskito, 2008)
Gambar 3. Berbagai jenis gelombang JVP
Penyebab dan ciri-ciri peningkatan JVP
Sering
Payah jantung kongestif
Tricuspid reflux
Bentuk gelombang normal
Gelombang V yang besar
Agak jarang
Pericardial tamponade
Massive pulmonary embolism
Peningkatan tekanan vena, pola gelombang sulit ditentukan karena pasien
menjadi hipotensi bila duduk
Jarang
Superior caval obstruction
Constrictive pericarditis
Tricuspid stenosis
Alat dan Bahan
2 buah penggaris (skala sentimeter)
Senter
Prosedur
1. Atur klien pada posisi supine dan relaks.
2. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan:
o 15 - 30 (Luckman & Sorensen, 1993, p 1112; Lanros & Barber, 1997, p. 141),
atau
o 30 - 45 (LeMone & Burke, 2000, p. 1188), atau
o 45 - 90 pada klien yang mengalami peningkatan tekanan atrium kanan
yang cukup bermakna (Luckman & Sorensen, 1993, p 1112).
3. Gunakan bantal untuk menopang kepala klien dan hindari fleksi leher yang
tajam.
4. Anjurkan kepala klien menengok menjauhi arah pemeriksa.
5. Lepaskan pakaian yang sempit/menekan leher atau thorak bagian atas.
6. Gunakan lampu senter dari arah miring untuk melihat bayangan (shadows)
vena jugularis. Identifikasi pulsasi vena jugular interna (bedakan denyutan ini
dengan denyutan dari arteri karotis interna di sebelahnya), jika tidak tampak
gunakan vena jugularis eksterna.
7. Tentukan titik tertinggi dimana pulsasi vena jugularis interna/eksterna dapat
dilihat (Meniscus).
8. Pakailah sudut sternum (sendi manubrium) sebagai tempat untuk mengukur
tinggi pulsasi vena. Titik ini 4 5 cm di atas pusat dari atrium kanan.
9. Gunakan penggaris.
o Penggaris ke-1 diletakan secara tegak (vertikal), dimana salah satu ujungnya
menempel pada sudut sternum.
o Penggaris ke-2 diletakan mendatar (horizontal), dimana ujung yang satu tepat
di titik tertinggi pulsasi vena (meniscus), sementara ujung lainnya ditempelkan
pada penggaris ke-1.
10. Ukurlah jarak vertikal (tinggi) antara sudut sternum dan titik tertinggi pulsasi
vena (meniscus).
11. Nilai normal: kurang dari 3 atau 4 cm diatas sudut sternum, pada posisi
tempat tidur bagian kepala ditinggikan 30 - 45 (Luckman & Sorensen, 1993, p.
1113).
12. Catat hasilnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Analisis Masalah
Laki-laki 54 tahun.
Sesak nafas saat aktifitas ringan.
Batuk berdahak merah muda.
Berdebar-debar, sukar tidur, kencing berkurang.
Pernah menderita penyakit yang sama.
Kumat-kumatan sejak 1 bulan.
c)
d)
e)
C.
Tujuan Penulisan
a)
Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme keluhan-keluhan
pada hipertensi dan gagal jantung.
b)
Mengetahui hubungan antara faktor resiko dengan gangguan pada
hipertensi dan gagal jantung.
c)
Menentukan diagnosis secara sistematis melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang.
d)
Mengetahui cara pencegahan, terapi serta prognosis dari gangguan sistem
kardiovaskuler pada kasus di atas.
D.
Manfaat Penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan gaya utama yang mendorong darah ke sel
atau jaringan. Tekanan darah ini harus diatur secara ketat dikarenakan dua
alasan. Pertama, tekanan tersebut harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya
dorong yang cukup agar organ otak atau jaringan lain menerima aliran darah
yang adekuat. Kedua, tekanan ini tidak boleh terlalu tinggi, sehingga
menimbulkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan risiko
kerusakan pembuluh darah serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh
halus.5
Ada dua faktor penentu utama tekanan darah yaitu curah jantung
(cardiac output, CO) dan resistensi perifer total. Curah jantung merupakan
volume darah yang dipompakan oleh tiap-tiap ventrikel per menit. Curah jantung
ini dipengaruhi kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup. Kecepatan
B.
HIPERTENSI
Hipertensi adalah tekanan arteri yang tinggi dan abnormal pada sirkulasi
sistemik dengan nilai sistole minimal 140 dan diastole 90. Berdasarkan
etiologinya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu : 1. primer : hipertensi yang belum
jelas penyebabnya; 2. sekunder : hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain.
Sebagian besar pasien hipertensi termasuk kategori primer (90%). Berikut
kriteria hipertensi.6
Kategori
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
< 130
< 85
Normal Tinggi
130 139
85 89
Hipertensi
Stadium 1
140 159
90 99
Stadium 2
160 179
100 109
Stadium 3
180 209
110 119
Stadium 4
> 210
> 120
PATOFISIOLOGI
Berdasarkan hukun ohm tekanan darah arteri = Curah jantung (CO) x
Resistensi Perifer Total (TPR). Maka jika ada peningkatan pada CO dan TPR,
tekanan arteri akan meningkat. Contoh peningkatan CO adalah pada
perangsangan jantung yang berlebihan oleh katekolamin, sedangkan
peningkatan TPR pada perangsangan angiotensin II pada arteri.3,4
ANAMNESIS7,4
1.
Ditemukan tanda-tanda hipertensi : kaku tengkuk, kepala berat, sakit
kepala.
2.
3.
Pola makan
4.
Riwayat keluarga.
5.
Sosial ekonomi.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM7,4
1.
2.
PENATALAKSANAAN 7
1.
Bed rest.
2.
3.
Medika mentosa :
Terapi komplikasi
apopleksi cerebri
retinopati hipertensi
5.
KRISIS HIPERTENSI 7
Tensi > 200/100 mmHg disertai ancaman komplikasi target organ. Merupakan
keadaan emergensi sehingga harus diturunkan dalam waktu 1 jam. Biasanya
diberikan nifedipin sublingual dan klonidin injeksi.
C.
Gagal jantung kongestif dimaksud adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan
oleh berkurangnya volume pemompaan jantung untuk keperluan relatif tubuh,
disertai hilangnya curah jantung dalam mempertahankan aliran balik vena.1
ETIOLOGI3
PATOFISIOLOGI3
1.Bila curah jantung berkurang sistem saraf simpatis akan mempercepat
frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila gagal maka
volume sekuncup akan beradaptasi untuk mempertahankan curah jantung.
2.Pada gagal jantung terjadi kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung
sehingga curah jantung normal tidak dapat dipertahankan.
KLASIFIKASI1,2
1.GAGAL JANTUNG KIRI
2.GAGAL JANTUNG KANAN
1.Penyebab gagal jantung kanan harus juga termasuk semua yang dapat
menyebabkan gagal jantung kiri, seharusnya stenosis mitral yang menyebabkan
peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru.
2.Gagal jantung kanan dapat berdampak pada :
- Hati
- Ginjal
- Jaringan subkutis
- Otak
- Sistem Aliran aorta
MANIFESTASI KLINIS7
Gejala yang muncul sesuai dengan gejala jantung kiri diikuti gagal jantung kanan
dapat terjadinya di dada karana peningkatan kebutuhan oksigen. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan tanda tanda gejala gagal jantung kongestif
biasanya terdapat bunyi derap dan bising akibat regurgitasi mitral
PEMERIKSAAN DIANOSTIK7
1Pada EKG ditemukan hipertropi ventrikel kiri, kelainan gelombang ST dan T
2.Dari foto torax terdapat pembesaran jantung dan bendungan paru.
3.Pada ekhokardiografi terlihat pembesaran dan disfungsi ventrikel kiri, kelainan
bergerak katup mitral saat diastolik.
4.Pengukuran tekanan vena sentral (CVP)
PENATALAKSANAAN7
- Pemberian nitrat akan memperbaiki gejala namun pemberiannya harus hatihati untuk menghindari
timbulnya hipotensi.
- Pemberian penyekat ACE dan antagonis reseptor angiotensin II memperbaiki
volume sekuncup dan
menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Dalam hal ini penyekat ACE dapat
memperbaiki relaksasi dan distensibilitas jantung secara langsung dan mungkin
mempunyai efek jangka panjang melalui kerjanya sebagai anti-hipertensi dan
dapat meregresi hipertrofi dan fibrosis miokard.
- Pemberian beta-blokade dan antagonis kasium (verapamil) akan memperbaiki
pengisian diastolik dengan memperlambat denyut jantung meskipun
pemberiannya harus hati-hati pada gagal jantung diastolik yang berat. Kedua
jenis obat ini menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri, juga dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas.
- Pemberian dobutamine atau milrinone sebaiknya diberikan secara berhati-hati
dan dengan pemantauan hemodinamik invasif oleh karena efek lusitropiknya.
- Fibrilasi atrium sangat mengganggu pada penderita dengan disfungsi diastolik
dan sering memicu timbulnya dekompensasi. Konversi fibrilasi atrium ke ritme
sinus dan mempertahankannya merupakan hal yang sangat penting.
BAB III
PEMBAHASAN
ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai
kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut
dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle
hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan
mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi.
Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu
mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme
kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan
kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang
selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan
merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem
saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron).
Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas
jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis
mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan
permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan
memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi
simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah
penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung
menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh lainnya. Salah satunya
adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang ginjal untuk
menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah
yang menyebabkan kencing penderita berkurang dan peningkatan kadar serum
ureum (65 mg/dl) di mana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dl. Walaupun
terjadi penurunan filtrasi glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi
kreatinin sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar
kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dl masih mendekati batas normal
(normal 0,6-1,3 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi
ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk
mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi
angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan
diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh
reseptornya di pembuluh darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila
angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka
korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh
reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial Na Channel)
yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat retensi
osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O. Hasil akhir semua
proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung akibat adanya
peningkatan volume intravaskuler.
Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi
neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut,
mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang terjadi
dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi. Mengapa hal tersebut
dapat terjadi? Pertama, setelah terpajan dalam jangka waktu yang lama, jantung
menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali
menurun. Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya
vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload
tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya
semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1.
Pasien kemungkinan menderita gagal jantung kiri akut akibat hipertensi
yang dideritanya. Pasien mengalami kardiomegali dan penurunan fungsi ginjal
akut.
2.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain pemberian venodilator,
vasodilator, dan inotropik untuk menurunkan beban jantung dan meningkatkan
kontraktilitas jantung.
B. Saran
1.
Penderita sebaiknya melakukan terapi nonfarmakologis berupa mengurangi
asupan lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan
berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok untuk membantu
penurunan tekanan darah selain menggunakan terapi farmakologis.
2.
Penderita sebaiknya melaksanakan terapi farmakologis dan nonfarmakologis secara teratur guna mengontrol tekanan darahnya.