Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai negara tropis, dikenal dengan keanekaragaman
hayati, termasuk didalamnya kekayaan berupa berbagai jenis tumbuhan yang
oleh masyarakat digunakan sebagai obat tradisional. Penggunaan obat tradisional
merupakan suatu tradisi warisan budaya bangsa dan diteruskan dari generasi
kegenerasi, bertahan lestari dan tidak terpisah dari kehidupan masyarakat.
Obat tradisional juga merupakan bagian dari kekayaan budaya, yang
perlu dilestarikan dan ditingkatkan kualitasnya melalui pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga pada saatnya nanti dapat menjadi obat
alternatif disamping obat-obat moderen. Kebijaksanaan pengembangan obat
tradisional tersebut semakin kokoh kedudukannya setelah GBHN 1988
mengamanatkan perlunya penggalian, penelitian, pengujian dan pengembangan
obat-obat tradisional.
Upaya kearah itu sangat memungkinkan bila obat tradisional dapat
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Menurut ketentuan umum dari peraturan
menteri Kesehatan Repoblik Indonesia Nomor 760/Menkes/Per/IX/1992 tentang
fitofarmaka. Yang dimaksud dengan fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau
sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku.
Melalui pendekatan dengan pengembangan fitofarmaka tersebut,
maka penelitian kimia perlu dilakukan untuk standarisasi. Salah satu parameter
standar mutu obat radisional adalah parameter standar mutu untuk sediaan yang
mempunyai formula tertentu. Untuk sediaan parameter standar mutu yang
ditetapkan diantaranya adalah zat identitas. Zat identitas adalah zat yang dapat
menunjukkan zat identitas simplisia yang ditandai dengan adanya bercak yang

muncul pada kromatografi lapis tipis yang mengandung simplisia tersebut, dan
mempunyai nilai Rf yang sama.
Pemeriksaan zat identitas yang merupakan ciri khas untuk segala
wujud sediaan obat tradisional ditetapkan secara kualitatif melalui pengambilan
pola kromatografi yakni kromatografi lapis tipis.

BAB II
PEMBAHASAN
Obat tradisional adalah obat yang berasal dari bahan baku alam yang
dikeringkan yang dibuat secara turun temurun yang biasanya dikemas dalam
wadah yang sederhana berbungkus plastik atau kemasan botol yang memiliki
khasiat tertentu yang diperoleh dari tradisi turun temurun (Ahmad Najib. 2008).
Jamu sudah sejak zaman dulu masyarakat Indonesia mengenal dan
mengetahui tanaman yang berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam
penanggulangan kesehatan formal dengan obat-obat modernnya. Pengetahuan
tentang tanaman obat ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan
pengalaman, yang secara turun temurun telah diwariskan oleh generasi terdahulu
kepada generasi berikutnya termasuk generasi saat ini. Pengobatan dan
pendayagunaan obat tradisional tersebut merupakan salah komponen program
pelayanan kesehatan dasar, serta merupakan suatu alternatif untuk memenuhi
kesehatan dasar penduduk dibidang kesehatan (Depkes RI. 1978).
Standarisasi adalah proses dalam menetapkan atau merumuskan dan
merevisi standar yang dilaksanakan secara tertib. Standar adalah sesuatu yang
dibakukan dan disusun berdasarkan konsesus semua pihak terkait dengan
memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keamanan, keselamatan lingkungan,
berdasarkan pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang
untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. (Dr. Satrijo. 1985).
Pemakaian bagian-bagian tumbuh-tumbuhan untuk obat-obatan tidak
hanya terdiri melulu dari satu jenis daun, kulit, buah atau getah, tetapi kebiasaan
selalu dicampuri atau bergandengan dengan lain-lain. (Dr. Satrijo. 1985).
Berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 1992 adalah bahan atau
ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
galenik, atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Adapun beberapa jenis
Obat Tradisional adalah sebagai berikut :

1. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine)


Jamu adalah obat tradisional yang berisi seluruh bahan tanaman yang
menjadi penyusun jamu tersebut. Jamu disajikan secara tradisional dalam bentuk
seduhan, pil, atau cairan. Umumnya, obat tradisional ini dibuat dengan mengacu
pada resep peninggalan leluhur. Jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah
secara uji klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Selain adanya klaim khasiat
yang dibuktikan secara empiris, jamu juga harus memenuhi persyaratan
keamanan dan standar mutu.
2. Obat Herbal Terstandar (Standarized Based Herbal Medicine)
Merupakan obat tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau
penyarian bahan alam, baik tanaman obat, hewan, maupun mineral. Dalam
proses pembuatannya, dibutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih
mahal dari jamu. Obat herbal terstandar umumnya ditunjang oleh pembuktian
ilmiah berupa penelitian praklinis. Penelitian ini meliputi standarisasi kandungan
senyawa berkhasiat dalam bahan penyusun, standarisasi pembuatan ekstrak yang
higienis, serta uji toksisitas akut maupun kronis.
3. Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine)
Merupakan obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat
modern. Proses pembuatannya telah terstandar ditunjang oleh bukti ilmiah
sampai uji klinis pada manusia. Karena itu, dalam pembuatannya diperlukan
peralatan berteknologi modern, tenaga ahli, dan biaya yang tidak sedikit.
Pembuatan Simplisia
Sediaan obat tradisional atau herbal dibuat dari simplisia tanaman atau
bagian dari hewan, atau mineral dalam keadaan segar atau telah dikeringkan dan
diawetkan. Agar sediaan obat tradisional atau herbal tersebut dapat dipakai
dengan aman, terjaga keseragaman mutu dan kadar kandungan senyawa aktifnya,
maka diperlukan standardisasi. Sebelum melalui tahap standardisasi sediaan,
maka diperlukan standardisasi bahan baku simplisia, yang meliputi :

Bahan baku simplisia


Dapat berupa tumbuhan liar atau berupa tumbuhan budidaya. Proses
pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia. Cara
pengepakan dan penyimpanan simplisia (Depkes RI, 1985).
a. Pengumpulan Bahan Baku
Kualitas bahan baku simplisia sangat dipengaruhi beberapa faktor,
seperti : umur tumbuhan atau bagian tumbuhan pada waktu panen, bagian
tumbuhan, waktu panen dan lingkungan tempat tumbuh (Depkes RI, 1985).
b. Sortasi
Sortasi dilakukan untuk memisahkan kotoran kotoran atau bahan
bahan asing lainnya dari bahan simplisia sehingga tidak ikut terbawa pada
proses selanjutnya yang akan mempengaruhi hasil akhir. Sortasi terdiri dari
dua cara, yaitu:
-

Sortasi basah : Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotorankotoran atau bahan asing lainnya setelah dilakukan pencucian dan

perajangan.
Sortasi kering : Sortasi kering bertujuan untuk memisahkan benda-benda
asing seperti bagian-bagian tumbuhan yang tidak diinginkan dan
pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering
(Depkes RI, 1985).

c. Pengeringan
Pengeringan dilakukan agar memperoleh simplisia yang tidak mudah
rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Pengeringan dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami dan secara buatan.
Pengeringan alami dilakukan dengan memanfaatkan sinar matahari baik
secara langsung maupun ditutupi dengan kain hitam. Sedangkan pengeringan
secara buatan dilakukan dengan oven. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada
suhu 30oC 90oC (Depkes RI, 1985).

d. Pengemasan dan Penyimpanan


Pengepakan simplisia dapat menggunakan wadah yang inert, tidak
beracun, melindungi simplisia dari cemaran serta mencegah adanya
kerusakan.Sedangka penyimpanan simplisia sebaiknya di tempat yang
kelembabannya rendah, terlindung dari sinar matahari, dan terlindung dari
gangguan serangga maupun tikus.
Standardisasi Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan obat,
kecuali dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dinyatakan lain berupa bahan
yang telah dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia terdiri
dari simplsiia nabati, hewani dan mineral. nabati, hewani dan mineral. Simplisia
nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat
tanaman. Yang di maksud eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan
keluar dari selnya atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tanamannya. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa
hewan utuh atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum
berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang
berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah dengan cara sederhana dan
belum berupa zat kimia murni. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif,
keamanan maupun kegunaan simplisia harus memenuhi persyaratan minimal
untuk standardisasi simplisia. Standardisasisimplisia mengacu pada tiga konsep
antara lain sebagai berikut:
Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu umum
(nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian, aturan
penstabilan (wadah, penyimpanan, distribusi) Simplisia sebagai bahan dan
produk siap pakai harus memenuhi trilogi Quality-Safety-Efficacy Simplisia
sebagai bahan dengan kandungan kimia yang berkontribusi terhadap respon

biologis, harus memiliki spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar)
senyawa kandungan (Depkes RI, 1985).
Parameter spesifik
Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari
simplisia.Uji kandungan kimia

simplisia

digunakan

untuk menetapkan

kandungan senyawa tertentu dari simplisia. Biasanya dilkukan dengan analisis


kromatografi lapis tipis (Depkes RI, 1985).
Parameter Spesifik:
a. Identitas
Identitas ekstrak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Deskripsi tata nama:
Nama Ekstrak (generik, dagang, paten)
Nama latin tumbuhan (sistematika botani)
Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, buah,)
Nama Indonesia tumbuhan
Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas artinya senyawa tertentu
yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu. Parameter identitas
ekstrak mempunyai tujuan tertentu untuk memberikan identitas obyektif dari
nama dan spesifik dari senyawa identitas (Depkes RI, 2000).
b. Organoleptik
Parameter oranoleptik digunakan untuk mendeskripsikan bentuk,
warna, bau, rasa menggunakan panca indera dengan tujuan pengenalan awal
yang sederhana dan seobyektif mungkin (Depkes RI, 2000).

c. Kadar sari

Parameter kadar sari digunakan untuk mengetahui jumlah kandungan


senyawa kimia dalam sari simplisia. Parameter kadar sari ditetapkan sebagai
parameter uji bahan baku obat tradisional karena jumlah kandungan senyawa
kimia dalam sari simplisia akan berkaitan erat dengan reproduksibilitasnya
dalam aktivitas farmakodinamik simplisia tersebut (Depkes RI,1995).
d. Pola kromatogram
Pola kromatogram mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran
awal komponen kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram kemudian
dibandingkan dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu (Depkes RI,
2000).

BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Obat tradisional adalah obat yang berasal dari bahan baku alam yang
dikeringkan yang dibuat secara turun temurun yang biasanya dikemas dalam
wadah yang sederhana berbungkus plastik atau kemasan botol yang memiliki
khasiat tertentu yang diperoleh dari tradisi turun temurun. Obat tradisional
meliputi : jamu, obat herbal standar dan fitofarmaka.
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum
mengalami perubahan proses apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya
berupa bahan yang telah dikeringkan.
Simplisia ada yang tumbuh secara liar dan ada simplisia yang
dibudidayakan. Dimana keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Kelebihan simplisia liar adalah merupakan kekurangan dari simplisia
budidaya.
Pengolahan

bahan

baku

obat

tradisional

terdiri

atas

pengumpulan/panen, sortasi basah, pencucian, pengeringan, sortasi kering,


perajangan, pengepakan, dan pencegahan mikroorganisme.
Aspek-aspek yang perlu dikembangkan oleh suatu produksi agar tidak
menurun yaitu dari aspek bahan baku, ini dibagi atas dua yaitu dengan
melakukan pendekatan dan screening; dari aspek formulasi, dan dengan
melakukan uji (misalnya uji klinik, praklinik, dan lain sebagainya).

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1978. Materi Medika

Indonesia. Jilid

II.Jakarta
Dr. A.P. Dharma. 1985. Tanaman Obat Tradisional Indonesia. PN Balai
Dr. Satrijo. 1985. Apotik Hidup (Obat Asli Indonesia). Penerbit dan T.B
Pekalongan.
Najib, A. 2008 . Bahan Ajar. UMI. Makassar

Pustaka.
Bahagia.

Anda mungkin juga menyukai