Anda di halaman 1dari 97

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi secara
perlahan (slow-onset disaster), berlangsung lama sampai musim hujan tiba,
berdampak sangat luas, dan bersifat lintas sektor (ekonomi, sosial, kesehatan,
pendidikan, dan lain-lain). Kekeringan merupakan fenomena alam yang tidak
dapat dielakkan dan merupakan variasi normal dari cuaca yang perlu dipahami.
Kekeringan menyangkut neraca air antara inflow dan outflow atau antara
presipitasi dan evapotranspirasi. Kekeringan tidak hanya dilihat sebagai fenomena
fisik cuaca saja, tetapi hendaknya juga dilihat sebagai fenomena alam yang terkait
erat dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap air. Bertambahnya jumlah
penduduk telah mengakibatkan terjadinya tekanan penggunaan lahan dan air serta
menurunnya daya dukung lingkungan. Akibatnya kekeringan semakin sering
terjadi dan semakin meluas. Kekeringan dapat menimbulkan dampak yang amat
luas, kompleks, dan juga rentang waktu yang panjang setelah berakhirnya
kekeringan. Dampak yang luas dan berlangsung lama tersebut disebabkan karena
air merupakan kebutuhan pokok dan vital bagi seluruh makhluk hidup, yang tidak
tergantikan oleh sumber daya lainnya (TKPSDA, 2003).
Cekaman kekeringan pada tanaman disebabkan oleh kekurangan suplai
air di daerah perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun dalam
kondisi laju evapotranspirasi melalui laju absorbsi air oleh akar tanaman. serapan

air oleh tanaman dipengaruhi oleh laju transpirasi sistem perakaran dan
ketersediaan air tanah.
B. Tujuan
Tujuan praktikum ini, adalah :
1. Mengetahui respon dan perbedaan pertumbuhan tanaman dalam kondisi
cekaman kekurangan air.
2. Mengetahui genotip tanaman yang toleran terhadap cekaman kekurangan air.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Kekeringan adalah kondisi dimana suatu benda kekurangan air atau bahkan
benda tersebut sudah benar-benar tidak mengandung air sedikitpun. Biasanya
tanda-tanda suatu benda terkena kekeringan yaitu benda tersebut apabila disentuh
tidak

lengket.

Dan

kekeringan

tersebut

merupakan

salah

satu

faktor

yang

mempengaruhi pertumbuhan dan hasil produksi suatu tanaman, karena air dalam hal
ini sangat dibutuhkan oleh tanaman. Air memiliki peranan yang sangat penting
bagitanaman hal ini karena air merupakan penyusun utama dari protoplasma sel,sebagai bahan
pelarut dan memberikan suatu media untuk pengangkutan. Air juga diperlukan dalam
penyusunan senyawa baru, pemelihara tekanan turgor dan secara tidak langsung
dapat memelihara suhu tanaman. Pertumbuhan akan menjadi tidak normal atau
terganggu apabila tanaman tumbuh ditempat yang kelebihan atau kekurangan air.
Gangguan pertumbuhan tanaman sebagai akibat kelebihan dan kekurangan air berupa
kelayuan tanaman (Suardi D, 2000)
Selama siklus hidup tanaman, mulai dari perkecambahan sampai panen
selalu membutuhkan air. Tidak satupun proses kehidupan tanaman yang dapat
bebas dari air. Kebutuhan air pada tanaman dapat dipenuhi melalui tanah dengan
jalan penyerapan oleh akar. Besarnya air yang diserap, oleh akar tanaman sangat
tergantung pada kadar air dalam tanah ditentukan oleh pF atau kemampuan
partikel tanah memegang air, dan kemampuan akar untuk menyerapnya (Jumin,
1992).
Penyerapan air dalam tanah oleh akar sangat menentukan pemenuhan
kebutuhan air pada tanaman. Besarnya air yang diserap oleh akar tergantung

ketersediaan atau kadar air tanah yang ada dan laju transpirasi. Pada kondisi
kadar air tanah rendah atau berada di bawah kapasitas lapang, dan dalam kondisi laju
evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air, maka tanaman akan dihadapkan pada
kondisi cekaman air atau kekeringan (Sasli, 2004).
Burstom (1956), dalam Jumin (1992), menyebutkan bahwa defisit air
langsung mempengaruhi pertumbuhan vegetatif tanaman. Proses ini pada sel
tanaman

ditentukan

oleh

tegangan

turgor.

Hilangnya

turgiditas

dapat

menghentikan pertumbuhan sel (penggandaan dan pembesaran) yang akibatnya


pertumbuhan tanaman terhambat.
Cekaman kekeringan yang terjadi pada awal phase pertumbuhan vegetatif
menekan tinggi tanaman sebesar 21% dibanding tinggi tanaman cekaman pada
phase generatif (51-70 hst). Sedangkan cekaman kekeringan pada phase generatif
menghasilkan tinggi tanaman yang sama dengan tanaman yang memperoleh
pengairan penuh/optimal selama pertumbuhan. Pada sisi lain cekaman kekeringan
pada phase generatif menurunkan jumlah polong isi sebesar 50% yaitu lebih
tinggi dibanding bila cekaman terjadi pada phase vegetatif (0-25 hst) yaitu hanya
22% dan menjadi 35% apabila terjadi cekaman pada umur 26-50 hst. Ini
membuktikan bahwa cekaman kekeringan pada saat proses pembentukan bunga
akan mengurangi jumlah bunga yang terbentuk sehingga jumlah polong juga akan
berkurang secara nyata.

III.

METODE PRAKTIKUM

A. Tempat dan Waktu


Waktu pelaksanaan praktikum ini dilaksanakan selama 30 hari, yaitu antara
bulan Maret 2013 sampai April 2013. Untuk tempat pelaksanaannya, yaitu di
Green House Pemuliaan Tanaman dan Bioteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah alat penyiram, kertas label, amplop kertas,
plastik, alat tulis, timbangan analitik, penggaris panjang, dan polibag. Bahan yang
digunakan adalah tiga genotip padi, yaitu Inpago Unsoed1, Fe37 dan Ciherang.
C. Rancangan Percobaan
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan.
Faktor yang dicoba adalah tiga genotip padi dan dua tarif cekaman kekeringan.
Genotip padi yang digunakan yaitu Inpago Unsoed1, Fe37 dan Ciherang. Dua
taraf

cekaman

kekeringan

yang

digunakan

yaitu

tanpa

cekaman

kekeringan/control (K0) dan cekaman kekeringan (K1). Jadi pada penelitian ini
terdapat 6 kombinasi perlakuan yang diulang 3 kali. Setiap kombinasi perlakuan
menggunakan 3 polibag. Percobaan dilakukan menggunakan polibag di rumah
kaca. Total keseluruhan polibag yang digunakan adalah 6x3x3 = 54 polibag.

D. Variabel Pengamatan
Variabel yang diamati adalah :
1. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun bendera
tertinggi dari permukaan tanah, pengamatan dilakukan pada 30 hari setelah
tanam.
2. Bobot basah tanaman (g)
Bobot basah tanaman diperoleh dengan cara menimbang seluruh bagian
tanaman. Bobot basah tanaman ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu
pada 30 hari setelah tanam.
3. Bobot basah tajuk (g)
Bobot basah tajuk diperoleh dengan cara menimbang bagian tajuk tanaman
yang telah dipisahkan dengan bagian akar tanaman. Bobot basah tajuk
ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu pada 30 hari setelah tanam.
4. Bobot basah akar (g)
Bobot basah akar diperoleh dengan cara menimbang bagian akar tanaman
yang telah dipisahkan dengan bagian tajuk tanaman. Bobot basah akar
ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu pada 30 hari setelah tanam.
5. Panjang akar (cm)
Panjang akar diukur dari pangkal akar sampai ujung akar terpanjang. Panjang
akar diukur setelah tanaman dipanen, yaitu pada 30 hari setelah tanam.
6. Volume akar (ml)

Volume akar diukur dengan cara memasukan bagian akar pada gelas ukur
dengan volume tertentu. Catat volume awal air (V0) dan volume akhir air
setelah akar dimasukkan ke dalam gelas ukur (V1). Volume akar diperoleh
dengan rumus VA= V1-V0. Volume akar diukur setelah tanaman dipanen,
yaitu pada 30 hari setelah tanam.
7. Penilaian kepekaan terhadap kekeringan
Penilaian kepekaan terhadap kekeringan dilakukan pada 30 hari setelah tanam
berdasarkan Standard Evaluation System (SES) for Rice dari IRRI.

E. Prosedur Kerja
1. Persiapan
Tanah sebagai media tanam disiapkan, dimasukan dalam polibag yang telah
dibuat lubang tanam. Disiram dengan air hingga kapasitas lapang. Polibag
yang telah berisi tanah tadi dibagi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai
kontrol (K0). Kelompok kedua adalah sebagai perlakuan cekaman kekeringan
(K1). Polibag diletakan sesuai rancangan perlakuan yang telah ditentukan.
2. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanah di polibag. Lubang diisi
dengan 3 biji. Setelah tumbuh baik dipilih dua tanaman terbaik untuk diamati.
Setiap unit percobaan menggunakan 3 polibag.
3. Pemeliharaan dan penerapan perlakuan
Pemeliharaan meliputi pemupukan dan penyiraman dan pemberantasan hama
penyakit (jika terserang). Pemberian perlakuan cekaman kekeringan

dilakukan saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam dan 21 hari setelah
tanam. Perlakuan cekaman kekeringan yaitu dengan cara menyiram tanaman
kapasitas lapang.
4. Pengamatan dan pengukuran
Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada saat yang bersesuaian dengan
variabel yang diamati.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Terlampir
B. Pembahasan
Batasan kekeringan merupakan peiode dalam pertumbuhan tanaman dimana
terjadi defisiensi air tanaman atau air tanah yang dapat mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan tanaman. Tanaman melakukan beberapa strategi yang dimulai
saat fase perkecambahan dan pertumbuhan awal vegetatif dalam menghadapi
cekaman kekeringan dengan membentuk formasi akar yang dalam dan
percabangan akar yang banyak (Dubrovsky and Gomezlomeli, 2003). Selain itu
tanaman juga dapat mempertahankan turgor sel dalam kondisi cekaman
kekeringan dengan mengakumulasi senyawa organik yang dapat menurunkan
potensial osmotik sel tanpa membatasi fungsi enzim yaitu prolin (Tardieu 1997
dalam Sopandie 2006).
Tanaman tidak dapat tumbuh karena tanaman mengalami defisit air. Air
merupakan sumber kehidupan bagi seluruh makhluk hidup. Air mempunyai
peranan sangat penting karena air merupakan bahan pelarut bagi kebanyakan
reaksi dalam tubuh makhluk hidup. Air adalah salah satu komponen fisik yang
sangat vital dan dibutuhkan dalam jumlah besar untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Sebanyak 85-90 % dari bobot segar sel-sel dan jaringan
tanaman tinggi adalah air (Maynard dan Orcott, 1987).

Noggle dan Frizt (1983) menjelaskan fungsi air bagi tanaman yaitu :(1)
sebagai senyawa utama pembentuk protoplasma, (2) sebagai senyawa pelarut bagi
masuknya mineral-mineral dari larutan tanah ke tanaman dan sebagai pelarut
mineral nutrisi yang akan diangkut dari satu bagian sel ke bagian sel lain, (3)
sebagai media terjadinya reaksi-reaksi metabolik, (4) sebagai rektan pada
sejumlah reaksi metabolisme seperti siklus asam trikarboksilat, (5) sebagai
penghasil hidrogen pada proses fotosintesis, (6) menjaga turgiditas sel dan
berperan sebagai tenaga mekanik dalam pembesaran sel, (7) mengatur mekanisme
gerakan tanaman seperti membuka dan menutupnya stomata, membuka dan
menutupnya bunga serta melipatnya daun-daun tanaman tertentu, (8) berperan
dalam perpanjangan sel, (9) sebagai bahan metabolisme dan produk akhir
respirasi, serta (10) digunakan dalam proses respirasi.
Air merupakan pembatas utama untuk produksi tanaman di lahan kering .Cekaman
kekeringan sangat tidak diinginkan dalam budidaya tanaman karena dapat
menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman. Cekaman kekeringan
berpengaruh

terhadap

aspek

pertumbuhan

tanaman

meliputi

anatomis,

morfologis,fisiologis dan biokimia tanaman (Raper & Krapmer 1987).


Respon tanaman terhadap stress air ditentukan oleh tingkat stress dan
fase pertumbuhan tanaman saat cekaman. respon tanaman yang mengalami
kekeringan mencakup perubahan di tingkat selular dan molekuler seperti
pertumbuhan tanaman, volume sel menjadi lebih kecil, penurunan luas daun daun menjadi
tebal ,adanya rambut pada daun, sensitivitas stomata, penurunan laju
fotosintesis, perubahan metabolisme karbondioksida dan nitrogen, perubahan

10

produktivitas enzim dan hormon. Pada fase pertumbuhan vegetatif, ketersediaan air
berpengaruh terhadap menurunnya kecepatan fotosintesis dan luas daun. Tanaman
yang terkena cekaman kekeringan menyebabkan potensial air daun menurun, pembentukan
klorofil terganggu dan struktur kloroplas mengalami disintegrasi.
Mekanisme toleransi pada tanaman sebagai respon adanya cekaman
kekeringan meliputi, (1) kemampuan tanaman tetap tumbuh pada kondisi
kekurangan air yaitu dengan menurunkan luas daun dan memperpendek siklus
tumbuh, (2) kemampuan akar untuk menyerap air di lapisan tanah paling dalam,
(3) kemampuan untuk melindungi meristem akar dari kekeringan dengan
meningkatkan akumulasi senyawa tertentu seperti glisin, betain, gula alkohol, atau
prolin untuk osmotic adjustment, dan (4) mengoptimalkan peranan stomata untuk
mencegah hilangnya air melalui daun. Dengan adanya osmotic adjustment
tersebut memungkinkan pertumbuhan tetap berlangsung dan stomata tetap terbuka
(Lestari, 2006).
Menurut Blum (2002), karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan
dapat dipilah menjadi karakter konstitutif dan adaptif. Karakter konstitutif
merupakan karakter yang terekspresi tanpa ada pengaruh cekaman kekeringan.
Karakter tersebut adalah umur berbunga, pertumbuhan akar, warna daun, bulu
daun, densitas stomata dan akar. Sedangkan karakter adaptif adalah karakter yang
dikendalikan oleh gen-gen yang terekspresi sebagai respons terhadap cekaman,
meliputi kompatibel solut yang berperan dalam menjaga turgor dan melindungi
organel sel seperti prolin dan senyawa antioksidan. Menurut Blum (2002) bahwa
kemampuan mempertahankan turgor atau status air sangat penting dalam toleransi

11

kekeringan. Kemampuan tersebut secara kuantitatif lebih diperankan oleh karakter


kuantitatif dibanding karakter adaptasi. Genotipe toleran cekaman kekeringan
memiliki bobot kering akar yang besar dibanding genotipe peka baik pada kondisi
cekaman kekeringan maupun optimum. Sehingga implikasi bagi seleksi adalah
karakter akar dapat diseleksi pada lingkungan optimum.
Cekaman kekeringan pada tanaman disebabkan oleh kekurangan suplai air
di daerah perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun dalam kondisi
laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman. Serapan air
oleh akar tanaman dipengaruhi oleh laju transpirasi, sistem perakaran, dan
ketersediaan air tanah (Lakitan, 1996). Secara umum tanaman akan menunjukkan
respon tertentu bila mengalami cekaman kekeringan. Staff Lab Ilmu Tanaman
(2008) mengemukakan bahwa cekaman kekeringan dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok yaitu:
a. Cekaman ringan :jika potensial air daun menurun 0.1 Mpa atau kandungan
air nisbi menurun 8 10 %.
b. Cekaman sedang: jika potensial air daun menurun 1.2 s/d 1.5 Mpa atau
kandungan air nisbi menurun 10 20 %.
c. Cekaman berat: jika potensial air daun menurun >1.5 Mpa atau kandungan
air nisbi menurun > 20%.
Praktikum acara cekaman kekeringan ini dilakukan di rumah kaca dengan
menanam tanaman padi varietas Inpago Unsoed1, Fe37 dan Ciherang. Penanaman
dilakukan pada polibag dengan perlakuan tanpa cekaman kekeringan dan
perlakuan cekaman kekeringan. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah

12

dilakukan dari variabel pengamatan tinggi tanaman, bobot tajuk, bobot akar dan
panjang akar menunjukan interaksi antara lingkungan dengan varietas tidak beda
nyata dimana F hitung lebih kecil dari F tabel. Dari nilai relative (NR) yang ada
tingkat toleransi tertinggi tanaman padi pada variabel tinggi tanaman secara
berturut-turut, yaitu Varietas Fe37, Inpago Unsoed1 dan terakhir Ciherang. NR
pada variabel bobot tajuk menunjukan tingkat toleransi tertinggi secara berturutturut, yaitu varietas Inpago Unsoed1, Ciherang, dan Fe37. Untuk Nilai Relatif
pada variabel bobot akar menunjukan varietas dengan toleransi tertinggi yaitu
varietas Fe37 kemudian Inpago Unsoed1 dan terkahir yang paling peka adalah
Ciherang.

13

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Cekaman kekeringan pada tanaman disebabkan oleh kekurangan suplai air di
daerah perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun dalam kondisi
laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman.
2. Mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan antara lain
dengan melakukan penyesuaian osmotic membentuk senyawa osmotikum
3. Varietas Fe37 termasuk varietas yang paling toleran terhadap cekaman
kekeringan dibandingkan varietas Inpago Unsoed1 dan Ciherang.
B. Saran
Penjelasan saat menentukan perlakuan sebaiknya dijelaskan secara
menyeluruh kepada semua praktikan agar mengerti tidak hanya pada satu
kelompok.

14

DAFTAR PUSTAKA
Blum, A. 2002. Drought toleranceIs it a complex trait? Field screening for
drought tolerance in crop plants with emphasis on rice. p. 1722. In N.P.
Saxena and J.C. OToole (ed.) Field screening for drought tolerance in crop
plants with emphasis on rice. Int. Workshop on Field Screening for Drought
Tolerance in Rice, Patancheru, India. 1114 Dec. 2000. ICRISAT,
Patancheru, India, and the Rockefeller Foundation, New York.
Dubrovsky J.G. and L.F. Gomez-lomeli. 2003. Water defisit accelerates
determinate developmental program of the primary root and does not affect
lateral root initiation in a sonorant desert cactus (Pachycereus pringlei,
cactaceae). American J. Botany (90): 823831.
Jumin, H. B., 1992. Ekologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologi. Rajawali
Press, Jakarta.
Lakitan, Benyamin. 1996. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Lestari, E.G. 2006. Hubungan antara kerapatan stomata dengan ketahanan
kekeringan pada somaklon padi Gajah Mungkur, Towuti, dan IR 64. Jurnal
Biodiversitas 7: 44-48.
Sopandie D. 2006. Perspektif Fisiologi Dalam Pengembangan Tanaman Pangan di
Lahan Marjinal. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman. Fakutas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 16 September 2006.
TKPSDA. 2003. Pedoman Teknis Kekeringan. http://piba.tdmrc.org/book/export/
html/27. Diakses tanggal 2 Juni 2013.

15

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Air sangat dibutuhkan oleh tanaman karena merupakan komponen utama


dalam sel-sel penyusun jaringan tanaman. Kehidupan tiap sel tergantung pada
sifat cairan di sekelilingnya yaitu cairan extra sel (ces). Dalam larutan sel terdapat
ion-ion dan molekul-molekul yang diperlukan dalam melaksanakan fungsinya
dalam proses difusi, osmosis, transpor aktif dan dalam reaksi biokimia seperti
fotosintesis, transpirasi dan lain-lain. Di dalam tanah keberadaan air sangat
diperlukan oleh tanaman yang harus tersedia untuk mencukupi kebutuhan untuk
evapotranspirasi dan sebagai pelarut, bersama-sama dengan hara terlarut
membentuk larutan tanah yang akan diserap oleh akar tanaman.
Air merupakan pembatas pertumbuhan tanaman karena jika jumlahnya
terlalu banyak menimbulkan genangan dan menyebabkan cekaman aerasi
sedangkan jika jumlahnya sedikit sering menimbulkan cekaman kekeringan. Oleh
sebab itu kebijakan pengelolaan air harus dilakukan agar tak terjadi water logging
dan pemanfaatan air dapat seefisien mungkin sesuai kebutuhan.

B. Tujuan
Tujuan praktikum ini, adalah :

16

1. Mengetahui respon dan perbedaan pertumbuhan tanaman dalam kondisi


cekaman kelebihan air.
2. Mengetahui genotip tanaman yang toleran terhadap cekaman kelebihan air.
II.

TINJAUAN PUSTAKA

Air adalah salah satu komponen fisik yang sangat vital dan dibutuhkan
dalam jumlah besar untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sebanyak
85-90 % dari bobot segar sel-sel dan jaringan tanaman tinggi adalah air (Maynard
dan Orcott, 1987). Fungsi air bagi tanaman yaitu: (1) sebagai senyawa itama
pembentuk protoplasma, (2) sebagai senyawa pelarut bagi masuknya mineralmineral dari larutan tanah ke tanaman dan sebagai pelarut mineralnutrisi yang
akan diangkut dari satu bagian sel ke bagian sel yang lainnya, (3) sebagai media
terjadinya reaksi-reaksi metabolik, (4) sebagai reaktan pada sejumlah siklus asam
trikarboksilat, (5) sebagai penghasil hidrogen pada proses fotosintesis, (6)
menjaga turdigitas sel dan berperan sebagai tenaga mekanik dalam pembesaran
sel, (7) mengatur mekanisme gerakan tanaman seperti membuka dan menutupnya
stomata, membuka dan menutupnya bunga serta melipatnya daun-daun tanaman
tertentu, (8) berperan dalam perpanjangan sel, (9) sebagai bahan metabolisme dan
produk akhir respirasi, serta (10) digunakan dalam proses respirasi (Noggle dan
Frizt, 1983).
Tanah yang terendam air merupakan cekaman abiotik yang mempengaruhi
komposisi spesies dan produktifitas pada berbagai tanaman. Pada tanaman padi
misalnya, rendaman dimanipulasi sedemikian rupa untuk mendapatkan hasil yang

17

maksimal, namun pada beberapa spesies tanaman kelebihan air merupakan faktor
penghambat produksi pada beberapa tempat dan situasi (Jackson, 2004), banjir
terutama berpengaruh terhadap hasil biji (Setter and Waters, 2003). Hambatan
utama yang disebabkan adanya rendaman pada spesies yang tidak bisa beradaptasi
terhadap kekurangan oksigen adalah karena difusi oksigen di air lebih lambat 104
dibanding dengan di udara (Armstrong and Drew, 2002).
Dalam Buckman and Brady (1982) disebutkan bahwa keberadaan air
berdasarkan klasifikasi biologi air di dalam tanah ada tiga bentuk yaitu : air
kelebihan, air tersedia dan air tidak tersedia. Pada umumnya kelebihan air yang
terikat pada kapasitas lapangan tidak menguntungkan tanaman tingkat tinggi. Bila
terlalu banyak air, keadaannya merugikan pertumbuhan dan menjadi lebih buruk
ketika mencapai titik jenuh. Pengaruh buruk yang lain dari kelebihan air adalah
terlindinya unsur hara bersama gerakan air tersebut ke bawah. Pada tanah yang
bertekstur halus, hal ini mungkin hanya perpindahan unsur hara ke lapisan yang
lebih bawah dan tidak terlalu dalam sehingga masih dapat diserap oleh akar
tanaman.
Genangan dapat menyebabkan kelayuan daun (bagian yang ada di atas
tanah) karena adanya kerusakan sistem perakaran karena aerasi kurang baik di
sekitar perakaran yang menyebabkan gangguan penyerapan air oleh akar, maka
genangan tidak menimbulkan stress primer, tetapi dapat mempengaruhi tanaman
hanya dengan terjadinya stress sekunder yang diimbas oleh genangan karena
kekurangan O2. Kerusakan (strain) akibat defisit O2 :

18

1. Pengaruh terhadap pertumbuhan


Flooding menjadikan defisit O2 untuk mengurangi pertumbuhan akar dan
pucuk,

akibatnya

terjadi

penghambatan

dalam

proses

perkecambahan,

pembengkakan bagian sambungan akar dan batang. Hambatan tersebut tidak


terjadi jika ada aerasi O2 yang cukup.
2. Pada morfologi dan ultra struktur
Genangan menyebabkan perubahan morfologi seperti pelebaran daun, apical
dominan, perubahan struktur organela, perubahan ultra struktur pada akar. Bila
lebih dari 24 jam menyebabkan kematian pada mitokondria menjadi lebih besar,
meskipun jumlahnya lebih sedikit (reversible)
3. Pengaruh terhadap metabolisme
Fotosintesis tanaman C4 jika ditanam pada O2 = 4% menyebabkan
penurunan laju. Pada tanaman kedelai fotosintesis tidak berubah oleh genangan,
tetapi aliran asimilat dari daun ke akar menurun. Respirasi menyebabkan
terjadinya akumulasi produk beracun, seperti Phaseolus vulgaris yang defisit O2
selama 24 jam terjadi akumulasi piruvat, alkohol dan laktat. Efek lain yang terjadi
seperti pembentukan sitokinin di akar dan pengangkutannya ke pucuk
menyebabkan klorosis pada daun.
Genangan dapat terjadi pada lahan basah alami maupun lahan basah buatan.
Notohadiprawiro (1989) mendeskripsikan lahan basah alami sebagai lahan yang
karena drainase yang buruk, bersifat basah sementara atau sepanjang waktu.
Keadaan ini terjadi karena iklim basah dan berkaitan dengan kedudukan lahan
yang berenergi potensial rendah (daerah berketinggian rendah) atau karena bentuk

19

lahan yang berupa cekungan tambat (retention basin). Lahan basah buatan yakni
lahan yang bentuknya sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menambat
banyak air untuk membuat tanah jenuh air atau mempertahankan genangan air
pada permukaan tanah selama waktu tertentu. VanToai et al. (2001) membagi
genangan berdasarkan kondisi pertanaman menjadi dua, yaitu: kondisi jenuh air
(waterlogging) di mana hanya akar tanaman yang tergenang air dan kondisi
bagian tanaman sepenuhnya tergenang air (complete submergence).

20

III.

METODE PRAKTIKUM

A. Tempat dan Waktu


Waktu pelaksanaan praktikum ini dilaksanakan selama 30 hari, yaitu antara
bulan Maret 2013 sampai April 2013. Untuk tempat pelaksanaannya, yaitu di
Green House Pemuliaan Tanaman dan Bioteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah alat penyiram, kertas label, amplop kertas,
plastik, alat tulis, timbangan analitik, penggaris panjang, dan polibag. Bahan yang
digunakan adalah tiga genotip kedelai, yaitu Selamet, Burangrang dan Mitani.
C. Rancangan Percobaan

Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan.


Faktor yang dicoba adalah tiga genotip kedelai dan dua taraf cekaman genangan.
Genotip kedelai yang digunakan yaitu Selamet, Burangrang dan Mitani. Dua taraf
cekaman kekeringan yang digunakan yaitu tanpa cekaman genangan/control (G0)
dan cekaman genangan (G1). Jadi pada penelitian ini terdapat 6 kombinasi
perlakuan yang diulang 3 kali. Setiap kombinasi perlakuan menggunakan 3
polibag. Percobaan dilakukan menggunakan polibag di rumah kaca. Total
keseluruhan polibag yang digunakan adalah 6x3x3 = 54 polibag.

21

D. Variabel Pengamatan
Variabel yang diamati adalah :
1. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun bendera
tertinggi dari permukaan tanah, pengamatan dilakukan pada 30 hari setelah
tanam.
2. Bobot basah tanaman (g)
Bobot basah tanaman diperoleh dengan cara menimbang seluruh bagian
tanaman. Bobot basah tanaman ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu
pada 30 hari setelah tanam.
3. Bobot basah tajuk (g)
Bobot basah tajuk diperoleh dengan cara menimbang bagian tajuk tanaman
yang telah dipisahkan dengan bagian akar tanaman. Bobot basah tajuk
ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu pada 30 hari setelah tanam.
4. Bobot basah akar (g)
Bobot basah akar diperoleh dengan cara menimbang bagian akar tanaman
yang telah dipisahkan dengan bagian tajuk tanaman. Bobot basah akar
ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu pada 30 hari setelah tanam.
5. Panjang akar (cm)
Panjang akar diukur dari pangkal akar sampai ujung akar terpanjang. Panjang
akar diukur setelah tanaman dipanen, yaitu pada 30 hari setelah tanam.
6. Volume akar (ml)

22

Volume akar diukur dengan cara memasukan bagian akar pada gelas ukur
dengan volume tertentu. Catat volume awal air (V0) dan volume akhir air
setelah akar dimasukkan ke dalam gelas ukur (V1). Volume akar diperoleh
dengan rumus VA= V1-V0. Volume akar diukur setelah tanaman dipanen,
yaitu pada 30 hari setelah tanam.
7. Rasio akar/tajuk
Rasio akar/tajuk diperoleh dengan membandingkan antara bobot basah akar
dan bobot basah tajuk. Rasio akar/tajuk diukur setelah tanaman dipanen, yaitu
pada 30 hari setelah tanam.
E. Prosedur kerja
1. Persiapan
Tanah sebagai media tanam disiapkan, dimasukan dalam polibag yang telah
dibuat lubang tanam. Disiram dengan air hingga kapasitas lapang. Polibag
yang telah berisi tanah tadi dibagi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai
kontrol (G0). Kelompok kedua adalah sebagai perlakuan cekaman genangan
(G1). Polibag diletakan sesuai rancangan perlakuan yang telah ditentukan.
2. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanah di polibag. Lubang diisi
dengan 3 biji. Setelah tumbuh baik dipilih dua tanaman terbaik untuk diamati.
Setiap unit percobaan menggunakan 3 polibag.
3. Pemeliharaan dan penerapan perlakuan

23

Pemeliharaan meliputi pemupukan dan penyiraman dan pemberantasan hama


penyakit (jika terserang). Pada perlakuan kontrol (G0) dilakukan penyiraman
dengan pemberian air hingga kapasitas lapang. Pemberian perlakuan cekaman
genangan dilakukan saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam dan 21 hari
setelah tanam. Perlakuan cekaman genangan yaitu dengan cara menyiram
tanaman kira-kira batas air setinggi 3 cm.
4. Pengamatan dan pengukuran
Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada saat yang bersesuaian dengan
variabel yang diamati.

24

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Terlampir
B. Pembahasan
Peran air yang sangat penting tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa
langsung atau tidak langsung kekurangan air pada tanaman akan mempengaruhi
semua proses metaboliknya sehingga dapat menurunkan pertumbuhan tanaman
(Sinaga, 2008). Efek kelebihan air atau banjir yang umum adalah kekurangan
oksigen, sedangkan kekurangan air atau kekeringan akan mengakibatkan dehidrasi
pada tanaman yang berpengaruh terhadap zona sel turgor yang selanjutnya dapat
menghambat pertumbuhantanaman (Fallah, 2006). Kebutuhan air bagi tanaman
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis tanaman dalam hubungannya
dengan tipe dan perkembangannya, kadar air tanah dan kondisi cuaca.
Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas maupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air
hujan, dan air laut yang dimanfaatkan di darat. Tumbuhan tidak akan dapat hidup
tanpa air, karena air merupakan sumber utama dari kehidupan, bahkan makhluk
lain akan punah tanpa air. Kramer menjelaskan tentang betapa pentingnya air bagi
tumbuh-tumbuhan; yakni air merupakan bagian dari protoplasma (85-90% dari
berat keseluruhan bahagian hijau tumbuh-tumbuhan (jaringan yang sedang
tumbuh) adalah air. Selanjutnya dikatakan bahwa air merupakan reagen yang

25

penting dalam proses-proses fotosintesa dan dalam proses-proses hidrolik. Di


samping itu juga merupakan pelarut dari garam-garam, gas-gas dan materialmaterial yang bergerak kedalam tumbuh tumbuhan, melalui dinding sel dan
jaringan esensial untuk menjamin adanya pertumbuhan sel, stabilitas bentuk daun,
proses membuka dan menutupnya stomata, kelangsungan gerak struktur tumbuhtumbuhan.
Peran air yang sangat penting tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa
langsung atau tidak langsung kekurangan air pada tanaman akan mempengaruhi
semua proses metaboliknya sehingga dapat menurunkan pertumbuhan tanaman
(Sinaga, 2008). Efek kelebihan air atau banjir yang umum adalah kekurangan
oksigen, sedangkan kekurangan air atau kekeringan akan mengakibatkan dehidrasi
pada tanaman yang berpengaruh terhadap zona sel turgor yang selanjutnya dapat
menghambat pertumbuhan tanaman (Fallah, 2006).
Dampak genangan air adalah menurunkan pertukaran gas antara tanah dan
udara yang mengakibatkan menurunnya ketersediaan O2 bagi akar, menghambat
pasokan O2 bagi akar dan mikroorganisme (mendorong udara keluar dari pori
tanah maupun menghambat laju difusi). Genangan berpengaruh terhadap proses
fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi, permeabilitas akar, penyerapan air
dan hara, penyematan N. Genangan menyebabkan kematian akar di kedalaman
tertentu dan hal ini akan memacu pembentukan akar adventif pada bagian di dekat
permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan. Kematian akar menjadi
penyebab kekahatan N dan cekaman kekeringan fisiologis (Staff Lab Ilmu
Tanaman, 2008).

26

Pada tanaman legum, genangan tidak hanya menghambat pertumbuhan akar


maupun tajuk juga menghambat perkembangan dan fungsi bintil akar. Fungsi
bintil akar terganggu karena terhambatnya aktifitas enzim nitrogenase dan pigmen
leghaemoglobin, kemampuan fiksasi N2 akan menurun. Tanaman kedelai
termasuk tanaman yang tahan genangan, mampu membentuk akar adventif dan
bintil akar pada akar tersebut, efek genangan akan hilang begitu akar adventif
terbentuk.
Pengaruh genangan pada tajuk tanaman: penurunan pertumbuhan, klorosis,
pemacuan penuaan, epinasti, pengguguran daun, pembentukan lentisel, penurunan
akumulasi bahan kering, pembentukan aerenkim di batang. Besarnya kerusakan
tanaman sebagai dampak genangan tergantung pada fase pertumbuhan tanaman.
Fase yang peka genangan: fase perkecambahan, fase pembungaan, dan pengisian.
Genangan pada fase perkecambahan menurunkan jumlah biji yang berkecambah
(perkecambahan sangat memerlukan O2). Genangan yang terjadi pada fase
pembungaan dan pengisian menyebabkan banyak bunga dan buah muda gugur
Kandungan lengas tanah di atas kapasitas lapangan menimbulkan dampak
yang buruk terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Dampak genangan:
menurunkan pertukaran gas antara tanah dan udara yang mengakibatkan
menurunnya ketersediaan O2 bagi akar, menghambat pasokan O2 bagi akar dan
mikroorganisme (mendorong udara keluar dari pori tanah maupun menghambat
laju difusi). Pada kondisi genangan, < 10% volume pori yang berisi udara.
Sebagian besar tanaman pertumbuhan akarnya terhambat bila < 10% volume pori
yang berisi udara dan laju difusi O2 kurang dari 0.2 ug/cm2/menit. Keadaan

27

lingkungan kekurangan O2 disebut hipoksia, dan keadaan lingkungan tanpa O2


disebut anoksia (mengalami cekaman aerasi). Kondisi anoksia tercapai pada
jangka waktu 6 8 jam setelah genangan, karena O2 terdesak oleh air dan sisa O2
dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Pada kondisi tergenang, kandungan O2 yang
tersisa di tanah lebih cepat habis bila ada tanaman. Laju difusi O2 di tanah basah
20000 kali lebih lambat dibandingkan di udara. Laju penurunan O2 dipengaruhi
oleh tekstur tanah.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan, berdasarkan variabel tinggi
tanaman menunjukkan bahwa interaksi antara lingkungan genangan dengan
varietas kedelai yang diujikan hasilnya berbeda nyata. Dilihat dari grafiknya
varietas Slamet (V1) dan Mitani (V3) mengalami penurunan tinggi tanaman pada
kondisi genangan sedangkan varietas Burangrang (V2) mengalami peningkatan
tinggi tanaman pada kondisi genangan. Varietas Burangrang mempunyai toleransi
yang baik terhadap penambahan tinggi tanaman.
Berdasarkan variabel bobot basah tanaman, interaksi antar lingkungan
genangan dengan varietas kedelai yang diujikan menunjukkan hasilnya sangat
berbeda nyata. Dilihat grafik yang ada varietas Mitani dan Slamet mengalami
penurunan bobot basah pada kondisi genangan sedangkan varietas Burangrang
mengalami kenaikkan bobot basah. Varietas Burangrang mempunyai toleransi
yang baik terhadap penambahan bobot basah tanaman.
Pada variabel bobot basah akar interaksi antara varietas dengan lingkungan
genangan menunjukkan tidak berbeda nyata. Hanya ada perbedaan pada interaksi
antar varietas. Berdasarkan grafik yang ada varietas Slamet dan Mitani mengalami

28

penurunan dan vareitas Burangrang mengalami penaikkan bobot basah akar dalam
kondisi genangan yang menunjukkan varietas paling toleran terhadap genangan.
Pada variabel panjang akar, baik interaksi antara lingkungan dengan varietas
maupun interaksi antar varietasnya tidak berbeda nyata. Berdasarkan grafik
menunjukkan varietas Slamet dan Mitani mengalami penurunan panjang akar
sedangkan varietas Burangrang mengalai penaikkan panjang akar pada kondisi
genangan sehingga varietas Burangrang yang paling toleran terhadap kondisi
genangan.

29

V.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Genangan berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain
respirasi, permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N.
2. Genotip tanaman kedelai yang toleran terhadap kelebiha air, yaitu varietas
Burangrang.
B. Saran
Penjelasan saat menentukan perlakuan sebaiknya dijelaskan secara
menyeluruh kepada semua praktikan agar mengerti tidak hanya pada satu
kelompok.

30

DAFTAR PUSTAKA

Campbell, at al. 2003. Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Fallah, Affan Fajar. 2006. Perspektif Pertanian dalam Lingkungan yang


Terkontrol. http://io.ppi jepang.org. Diakses pada tanggal 5 Mei 2012.

Haryati. 2008. Pengaruh Cekaman Air Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil


Tanaman
http://library.usu.ac.id/download/fp/hslpertanian-haryati2.pdf.
Diakses pada tanggal 2 Juni 2013.

Hidayat.
2002.
Cekaman
Pada
Tumbuhan.
http://www.scribd.com/document_downloads/
13096496?
extension=pdf&secret_password=. Diakses pada tanggal 2 Juni 2013.

Lakitan, Benyamin. 1996. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.

Petani Wahid. 2006. Cekaman Lingkungan Abiotik pada Lahan-Lahan Marginal.


http://petani
wahid.blogspot.com/2008/08/tanah-tantangan-bertani-diindonesia.html. Diakses pada tanggal 2 Juni 2013.

Sinaga.
2008.
Peran
Air
Bagi
Tanaman.
http://puslit.mercubuana.ac.id/file/8Artikel %20Sinaga.pdf. Diakses pada
tanggal 2 Juni 2013.

31

Sipayung,
Rosita.
2006.
Cekaman
Garam.
http://library.usu.ac.id/download/fp/bdp-rosita2.pdf. Diakses pada tanggal 2
Juni 2013.

32

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salinitas adalah sebuah proses dimana garam yang terlarut dalam air
terakumulasi dalam tanah. Salinisasi menjadi hal yang sangat diperhatikan karena
kelebihan garam dapat menghalangi pertumbuhan tanaman dengan cara
menghalangi kemampuan tanaman untuk menyerap air. Salinitas dapat terjadi
secara natural karena kondisi yang disebabkan oleh praktek pengolahan dan
manajemen lahan pertanian salah satunya adalah praktek irigasi (Materechera,
2011). Proses yang mempengaruhi keseimbangan air tanah dapat meberikan efek
pada pergerakan dan akumilasi kadar garam pada tanah. Proses-proses tersebut
antara lain adalah proses hidrologi, iklim, irigasi, peresapan (drainage), karakter
akar tanaman, dan praktek pertanian yang diterapkan. Proses salinisasi pada
permukaan tanah terjadi jika pada suatu kondisi terjadi kejadian yang bersamaan
dalam hal pada munculnya garam terlarut seperti sulfat, natrium, kalium terdapat
pada tanah, tingginya permukaan air (high water table), tingkat evaporasi yang
tinggi, dan curah hujan tahunan yang rendah.
Praktikum ini bertujuan mengidentifikasi beberapa varietas padi, yaitu
Atomita-2, Nonabokra dan Ciherang yang memiliki toleransi terhadap salinitas
sehingga dapat direkomendasikan untuk dibudidayakan dalam pengembangan
padi.

33

B. Tujuan
Tujuan praktikum ini, adalah :
1. Mengetahui respon dan perubahan pertumbuhan tanaman dalam kondisi
cekaman garam.
2. Mengetahui genotip tanaman yang toleran terhadap cekaman garam.

34

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garamgaram terlarut yang berlebihan dalam tanaman. Stres garam ini umumnya terjadi
dalam tanaman pada tanah salin. Stres garam meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi garam hingga tingkat konsentrasi tertentu yang dapat mengakibatkan
kematian tanaman. Garam-garam yang menimbulkan stres tanaman antara lain
ialah NaCl, NaSO4, CaCl2, MgSO4, MgCl2 yang terlarut dalam air (Sipayung,
2006). Stres akibat kelebihan Na+ dapat mempengaruhi beberapa proses fisiologi
dari mulai perkecambahan sampai pertumbuhan tanaman (Fallah, 2006).
Menurut Petani Wahid (2006), kemasaman tanah merupakan kendala paling
inherence dalam pengembangan pertanian di lahan sulfat masam. Tanaman
tumbuh normal (sehat) umumnya pada ph 5,5 untuk tanah gambut dan pH 6,5
untuk tanah mineral karena pada pH <> 50 cm dari permukaan tanah. Pada
kebanyakan spesies, pengaruh jenis-jenis garam umumnya tidak khas terhadap
tumbuhan tanaman tetapi lebih tergantung pada konsentrasi total garam.
Salinitas tidak ditentukan oleh garam Na Cl saja tetapi oleh berbagai jenis
garam yang berpengaruh dan menimbulkan stres pada tanaman. Dalam konteks ini
tanaman mengalami stres garam bila konsentrasi garam yang berlebih cukup
tinggi sehingga menurunkan potensial air sebesar 0,05 0,1 Mpa. Stres garam ini
berbeda dengan stres ion yang tidak begitu menekan potensial air (Lewit, dalam
Sipayung, 2006).

35

Toleransi terhadap salinitas adalah beragam dengan spektrum yang luas


diantara spesies tanaman mulai dari yang peka hingga yang cukup toleran. Follet
et al, (1981 dalam Sipayung, 2006) mengajukan lima tingkat pengaruh salinitas
tanah terhadap tanaman, mulai dari tingkat non-salin hingga tingkat salinitas yang
sangat tinggi, seperti diberikan pada Tabel.
Tabel Pengaruh Tingkat Salinitas terhadap Tanaman
Tingkat

Konduktivitas

Pengaruh Terhadap Tanaman

Salinitas

(mmhos)

Non Salin

02

Dapat diabaikan

Rendah

24

Tanaman yang peka terganggu

Sedang

48

Kebanyakan tanaman terganggu

Tinggi

8 16

Tanaman yang toleran belum terganggu

Sangat Tinggi

> 16

Hanya beberapa jenis tanaman toleran


yang dapat tumbuh

Kelebihan NaCl atau garam lain dapat mengancam tumbuhan karena dua
alasan. Pertama, dengan cara menurunkan potensial air larutan tanah, garam dapat
menyebabkan kekurangan air pada tumbuhan meskipun tanah tersebut
mengandung banyak sekali air. Hal ini karena potensial air lingkungan yang lebih
negatif dibandingkan dengan potensial air jaringan akar, sehingga air akan
kehilangan air, bukan menyerapnya. Kedua, pada tanah bergaram, natrium dan
ion-ion tertentu lainnya dapat menjadi racun bagi tumbuhan jika konsentrasinya
relative tinggi. Membran sel akar yang selektif permeabel akan menghambat
pengambilan sebagian besar ion yang berbahaya, akan tetapi hal ini akan

36

memperburuk permasalahan pengambilan air dari tanah yang kaya akan zat
terlarut (Campbell, 2003).
Pertumbuhan sel tanaman pada tanah salin memperlihatkan struktur yang
tidak normal. Penyimpangan yang terjadi meliputi kehilangan integritas membran,
kerusakan lamella, kekacauan organel sel, dan akumulasi Kalsium Oksalat dalam
sitoplasma, vakuola, dinding sel dan ruang antar sel. Kerusakan struktur ini akan
mengganggu transportasi air dan mineral hara dalam jaringan tanaman (Maas dan
Nieman, dalam Sipayung, 2006). Banyak tumbuhan dapat berespon terhadap
salinitas tanah yang memadai dengan cara menghasilkan zat terlarut kompatibel,
yaitu senyawa organic yang menjaga potensial air larutan tanah, tanpa menerima
garam dalam jumlah yang dapat menjadi racun. Namun demikian, sebagian besar
tanaman tidak dapat bertahan hidup menghadapi cekaman garam dalam jangka
waktu yang lama kecuali pada tanaman halofit, yaitu tumbuhan yang toleran
terhadap garam dengan adaptasi khusus seperti kelenjar garam, yang memompa
garam keluar dari tubuh melewati epidermis daun (Campbell, 2003).

37

III.

METODE PRAKTIKUM

A. Tempat dan Waktu


Waktu pelaksanaan praktikum ini dilaksanakan selama 30 hari, yaitu antara
bulan Maret 2013 sampai April 2013. Untuk tempat pelaksanaannya, yaitu di
Green House Pemuliaan Tanaman dan Bioteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah alat penyiram, oven, tali rafia, kertas label,
amplop kertas, plastik, alat tulis, timbangan analitik, penggaris panjang, stirrer,
magnetic stirrer, kertas pembungkus aluminium foil dan gelas ukur. Bahan yang
digunakan adalah tiga genotip padi, yaitu Atomita-2, Nonabokra, Ciherang dan
garam NaCl.
C. Rancangan Percobaan
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan.
Faktor yang dicoba adalah tiga genotip padi dan dua taraf cekaman salinitas.
Genotip padi yang digunakan yaitu Atomita-2, Nonabokra dan Ciherang. Dua
taraf cekaman salinitas yang digunakan yaitu tanpa cekaman salinitas/kontrol (S0)
dan cekaman salinitas (S1). Jadi pada penelitian ini terdapat 6 kombinasi
perlakuan yang diulang 3 kali. Setiap kombinasi perlakuan menggunakan 3

38

polibag. Percobaan dilakukan menggunakan polibag di rumah kaca. Total


keseluruhan polibag yang digunakan adalah 6x3x3 = 54 polibag.
D. Variabel Pengamatan
Variabel yang diamati adalah :
1. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun bendera
tertinggi dari permukaan tanah, pengamatan dilakukan pada 30 hari setelah
tanam.
2. Bobot basah tanaman (g)
Bobot basah tanaman diperoleh dengan cara menimbang seluruh bagian
tanaman. Bobot basah tanaman ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu
pada 30 hari setelah tanam.
3. Bobot basah tajuk (g)
Bobot basah tajuk diperoleh dengan cara menimbang bagian tajuk tanaman
yang telah dipisahkan dengan bagian akar tanaman. Bobot basah tajuk
ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu pada 30 hari setelah tanam.
4. Bobot basah akar (g)
Bobot basah akar diperoleh dengan cara menimbang bagian akar tanaman
yang telah dipisahkan dengan bagian tajuk tanaman. Bobot basah akar
ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu pada 30 hari setelah tanam.

39

5. Panjang akar (cm)


Panjang akar diukur dari pangkal akar sampai ujung akar terpanjang. Panjang
akar diukur setelah tanaman dipanen, yaitu pada 30 hari setelah tanam.
6. Volume akar (ml)
Volume akar diukur dengan cara memasukan bagian akar pada gelas ukur
dengan volume tertentu. Catat volume awal air (V0) dan volume akhir air
setelah akar dimasukkan ke dalam gelas ukur (V1). Volume akar diperoleh
dengan rumus VA= V1-V0. Volume akar diukur setelah tanaman dipanen,
yaitu pada 30 hari setelah tanam.
7. Penilaian toleransi galur terhadap cekaman salinitas
Toleransi galur terhadap cekaman salin pada fase vegetative (diamati 30 hari
setelah tanam). Penilaian mengacu pada SES.
E. Prosedur Kerja
1. Persiapan
Tanah sebagai media tanam disiapkan, dimasukan dalam polibag yang telah
dibuat lubang tanam. Disiram dengan air hingga kapasitas lapang. Polibag
yang telah berisi tanah tadi dibagi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai
kontrol (S0). Kelompok kedua adalah sebagai perlakuan cekaman salinitas
(S1). Polibag diletakan sesuai rancangan perlakuan yang telah ditentukan.
Larutan garam NaCl disiapkan dengan menyiapkan larutan garam NaCl.
Garam NaCl dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 4000ppm.

40

2. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanah di polibag. Lubang diisi
dengan 3 biji. Setelah tumbuh baik dipilih dua tanaman terbaik untuk diamati.
Setiap unit percobaan menggunakan 3 polibag.
3. Pemeliharaan dan penerapan perlakuan
Pemeliharaan meliputi pemupukan dan penyiraman dan pemberantasan hama
penyakit (jika terserang). Perlakuan dilaksanakan dengan menyiram tanaman
dengan larutan garam NaCl yang telah dibuat. Penyiraman larutan garam
NaCl dilakukan saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam dan 21 hari
setelah tanam.
4. Pengamatan dan pengukuran
Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada saat yang bersesuaian dengan
variabel yang diamati.

41

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Terlampir
B. Pembahasan
Kadar garam yang tinggi pada tanah menyebabkan tergganggunya
pertumbuhan, produktivitas tanaman dan fungsi-fungsi fisiologis tanaman secara
normal, terutama pada jenis-jenis tanaman pertanian. Salinitas tanah menekan
proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat pembesaran dan
pembelahan sel, produksi protein, serta penambahan biomass tanaman. Tanaman
yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk
kerusakan langsung tetapi dalam bentuk pertumbuhan tanaman yang tertekan dan
perubahan secara perlahan (Sipayung, 2003). Dalam FAO (2005) dijelaskan
bahwa garam-garaman mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui:
(a) keracunan yang disebabkan penyerapan unsur penyusun garam yang
berlebihan, (b) penurunan penyerapan air dan (c) penurunan dalam penyerapan
unsur-unsur hara yang penting bagi tanaman.
Pengaruh salinitas tanah tergantung pada tingkatan pertumbuhan tanaman,
biasanya pada tingkatan bibit sangat peka terhadap salinitas. Waskom (2003)
menjelaskan bahwa salinitas tanah dapat menghambat perkecambahan benih,
pertumbuhan yang tidak teratur pada tanaman pertanian seperti kacang-kacangan
dan bawang. Viegas et a l,. (2003) dalam Da Silva et al, (2008) melaporkan

42

bahwa pertumbuhan tunas pada semai Leucaena leucocephala mengalami


penurunan sebesar 60% dengan adanya penambahan salinitas pada media sekitar
100 mM NaCl. Adanya kadar garam yang tinggi pada tanah juga menyebabkan
penurunan jumlah daun, pertumbuhan tinggi tanaman dan rasio pertumbuhan
panjang sel. Demikian pula dengan proses fotosintesis akan terganggu karena
terjadi akumulasi garam pada jaringan mesophil dan meningkatnya konsentrasi
CO2 antar sel (interseluler) yang dapat mengurangi pembukaan stomata
(Robinson, 1999 dalam Da Silva et al, 2008). Pada tanaman semusim antara lain
meningkatnya tanaman mati dan produksi hasil panen rendah serta banyaknya
polong kacang tanah dan gabah yang hampa (Anonim, 2007).
Proses pengangkutan unsur-unsur hara tanaman dari dalam tanah akan
terganggu dengan naiknya salinitas tanah. Manurut Salisbury and Ross (1995)
bahwa masalah potensial lainnya bagi tanaman pada daerah tersebut adalah dalam
memperoleh K+ yang cukup. Masalah ini terjadi karena ion natrium bersaing
dalam pengambilan ion K+. Tingginya penyerapan Na+ akan menghambat
penyerapan K+. Menurut Grattan and Grieve (1999) dalam Yildirim et al (2006),
salinitas yang tinggi akan mengurangi ketersedian K + dan Ca++ dalam larutan
tanah dan menghambat proses transportasi dan mobilitas kedua unsur hara
tersebut ke daerah pertumbuhan tanaman (growth region) sehingga akan
mengurangi kualitas pertumbuhan baik organ vegetatif maupun reproduktif.
Salinitas tanah yang tinggi ditunjukkan dengan kandungan ion Na + dan Cl- tinggi
akan meracuni tanaman dan meningkatkan pH tanah yang mengakibatkan
berkurangnya ketersediaan unsur-unsur hara mikro (FAO, 2005). Demikian pula

43

dengan hasil penelitian Yousfi et al (2007) bahwa salinitas menyebabkan


penurunan secara drastis terhadap konsentrasi ion Fe di daun maupun akar pada
tanaman gandum (barley). Penurunan tersebut disebabkan karena berkurangnya
penyerapan Fe pada kondisi salinitas tinggi.
Untuk mempertahankan kehidupannya, jenis-jenis

tanaman tertentu

memiliki mekanisme toleransi tanaman sebagai respon terhadap salinitas tanah.


Jenis-jenis tanaman memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas.
Beberapa tanaman budidaya misalnya tomat, bit gula, beras belanda lebih toleran
terhadap garam dibandingkan tanaman lainnya (Salisbury and Ross, 1995). Secara
garis besar respon tanaman terhadap salinitas dapat dilihat dalam dua bentuk
adaptasi yaitu dengan mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi (Sipayung,
2003).
1.

Mekanisme morfologi
Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi yang dapat diturunkan dan bersifat

unik dapat ditemukan pada jenis halofita yang mengalami evolusi melalui seleksi
alam pada kawasan huta pantai dan rawa-rawa asin. Salinitas menyebabkan
perubahan struktur yang memperbaiki keseimbangan air tanaman sehingga
potensial air dalam tanaman dapat mempertahankan turgor dan seluruh proses
bikimia untuk pertumbuhan dan aktivitas yang normal. Perubahan struktur
meliputi ukuran daun yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil per satuan luas
daun, peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada permukaan

44

daun, serta lignifikasi akar yang lebih awal (Haryadi dan Yahya, 1988 dalam
Sipayung, 2003).
Ukuran daun yang lebih kecil sangat penting untuk mempertahankan turgor,
sedangkan lignifikasi akar diperlukan untuk penyesuaian osmose yang sangat
penting untuk untuk memelihara turgor yang diperlukan tanaman untuk
pertumbuhan dan fungsi metabolisme yang normal. Dengan adaptasi struktural ini
kondisi air akan berkurang dan mungkin akan menurunkan kehilangan air pada
transpirasi. Namun pertumbuhan akar pada lingkungan salin umumnya kurang
terpengaruh dibandingkan dengan pertumbuhan daun (pucuk) atau buah. Hal ini
diduga karena akibat perbaikan keseimbangan dengan mempertahankan
kemampuan menyerap air. Pertumbuhan tanman yang cepat juga merupakan
mekanisme untuk mengencerkan garam. Dalam hal ini bila garam dikeluarkan
oleh akar, maka bahan organik yang tidak mempunyai efek racun akan tertimbun
dalam jaringan, dan ini berguna untuk mempertahankan keseimbangan osmotik
dengan larutan tanah (Salisbury dan Ross, 1995).
2.

Mekanisme Fisiologi
Bentuk adaptasi dengan mekanisme fisiologi terdapat dalam beberapa

bentuk sebagai berikut :


a. Osmoregulasi (pengaturan potensial osmose)
Tanaman yang toleran terhadap salinitas dapat melakukan penyesuaian
dengan menurunkan potensial osmose tanpa kehilangan turgor. Untuk
memperoleh air dari tanah sekitarnya potensial air dalam cairan xilem harus
sangat diturunkan oleh tegangan. Pada beberapa halofita mampu menjaga

45

potensial osmotik terus menjadi lebih negatif selama musim pertumbuhan


sejalan dengan penyerapan garam. Pada halofita lainnya memiliki
kemampuan mengatur penimbunan garam (Na+ dan Cl-) pada kondisi
cekaman salinitas, misalnya tanaman bakau yang mampu mengeluarkan
100% garam (Ball, 1988 dalam Salisbury and Ross, 1995).
Osmoregulasi pada kebanyakan tanaman melibatkan sintesis dan
akumulasi solute organik yang cukup untuk menurunkan potensial osmotik
sel dan meningkatkan tekanan turgor yang diperlukan untuk pertumbuhan
tanaman. Senyawa-senyawa organik berbobot molekul rendah yang setara
dengan aktifitas metabolik dalam sitoplasma seperti asam-asam organik, asam
amino dan senyawa gula disintesis sebagai respon langsung terhahadp
menurunnya potensial air eksternal yang redah. Senyawa organik yang
berperan mengatur osmotik pada tanaman glikopita tingkat tinggi adalah
asam-asam organik dan senyawa-senyawa gula. Asam malat paling sering
menyeimbangkan pengambilan kation yang berlebihan. Dalam tanaman
halofita, oksalat adalah asam organik yang menyeimbangkan osmotik akibat
kelebihan kation. Demikian juga pada beberapa tanaman lainnya, akumulasi
sukrosa yang berkontribusi pada penyesuaian osmotik dan merupakan respon
terhadap salinitas (Harjadi dan Yahya, 1988 dalam Sipayung, 2003)
b. Kompartementasi dan sekresi garam
Tanaman halofita biasanya dapat toleran terhadap garam karena
mempunyai kemampuan mengatur konsentrasi garam dalam sitoplasma
melalui transpor membran dan kompartementasi. Garam disimpan dalam

46

vakuola, diakumulasi dalam organel-organel atau dieksresi ke luar tanaman.


Pengeluaran garam pada permukaan daun akan membantu mempertahankan
konsentrasi garam yang konstan dalam jaringan tanaman (Salisbury and Ross,
1995). Ada pula tanaman halofita yang mampu mengeluarkan garam dari
kelenjar garam pada permukaan daun dan menyerap air secara higroskopis
dari atmosfir (Mooney at al, 1980 dalam Salisbury and Ross, 1995).
Banyak halofita dan beberapa glikofita telah mengambangkan struktur
yang disebut glandula garam (salt glands) dari daun dan batang. Pada jenisjenis mangrove biasanya tanaman menyerap air dengan kadar salinitas tinggi
kemudian mengeluarkan atau mensekresikan garam tersebut keluar dari
pohon. Secara khusus pohon mangrove yang dapat mensekresikan garam
memiliki kelenjar garam di daun yang memungkinkan untuk mensekresi
cairan Na+ dan Cl-. Beberapa contoh mangrove yang dapat mensekresikan
garam adalah Aegiceras, Aegialitis, Avicennia, Sonneratia, Acanthus, dan
Laguncularia.
c. Integritas membrane
Sistem membran semi permeabel yang membungkus sel, organel dan
kompartemen-kompartemen adalah struktur yang paling penting untuk
mengatur kadar ion dalam sel. Lapisan terluar membran sel ataau
plasmolemma memisahkan sitoplasma dan komponen metaboliknya dari
larutan tanah salin yang secara kimiawi tidak cocok. Membran semi
permeabel ini berfungsi menghalangi difusi bebas garam ke dalam sel
tanaman, dan memberi kesempatan untuk berlangsungnya penyerapan aktif

47

atas unsur-unsur hara essensial. Membran lainnya mengatur transpor ion dan
solute lainnya dari sitoplasma dan vakuola atau organel-organel sel lainnya
termasuk mitokondria dan kloroplas. Plasmolemma yang berhadapan
langsung dengan tanah merupakan membran yang pertama kali menderita
akibat pengaruh salinitas. Dengan demikian maka ketahanan relatif membran
ini menjadi unsur penting lainnya dalam toleransi terhadap garam (Harjadi
dan Yahya, 1988 dalam Sipayung, 2003).
Gejala keracunan garam pada tanaman padi dapat dilihat dari penampilan
agronomik yaitu: terhambatnya pertumbuhan, berkurangnya anakan dan ujungujung daun berwarna keputihan walaupun tanaman padi tergolong tanaman yang
toleran sedang, pada nilai EC sebesar 6-10 dS m-1 penurunan hasil gabah
mencapai 50%. Padi relatif lebih toleran terhadap salinitas saat perkecambahan,
tetapi tanaman bisa dipengaruhi saat pindah tanam, bibit masih muda dan
pembungaan
Varietas Atomita, Nonabokra dan Ciherang dengan perlakuan salinitas
tanaman tanpa salinitas menunjukkan pada variabel tinggi tanaman interaksi
antara lingkungan dengan varietas tidak berbeda nyata karena X hitung lebih kecil
dari X tabel. Dilihat dari grafik tinggi tanaman ketiga varietas tersebut mengalami
penurunan tinggi tanaman dalam cekaman salinitas. Namun dapat dilihat severapa
besar penurunan yang terjadi pada antar varietas tersebut sehingga diperoleh
tingkat toleransi antar varietas. Tingkat toleransi antar varietas dengan
peningkatan tinggi tanaman, yaitu V2 < V1 < V3 (Nonabokra < Atomita-2 <
Ciherang).

48

Pada variabel pengamatan panjang akar menunjukkan interaksi antara


lingkungan dengan varietas tidak berbeda nyata karena X hitung lebih kecil dari X
tabel. Berdasarkan grafik yang ada varietas Atomita-2 mengalami peningkatan
panjang akar pada kondisi cekaman garam. Sedangkan varietas Nonabokra dan
Ciherang mengalami penurunan panjang akar pada kondisi cekaman garam. Maka
dapat dikatakan varietas yang paling toleran terhadap cekaman garam, yaitu
Atomita-2. Dilanjut varietas Ciherang agak rentan dan varietas Nonabokra rentan
dalam cekaman salinitas untuk peningkatan panjang akar.
Pada variabel bobot basah menunjukka adanya hasil tidak berbeda nyata
untuk interaksi antara lingkungan dan varietas. Berdasarkan grafik bobot basah
untuk varietas Ciherang mengalami peningkatan bobot basah pada kondisi
cekaman garam. Untuk varietas Atomita-2 mengalami sedikit penurunan dan
varietas Nonabokra mengalami penurunan bobot basah yang tinggi pada kondisi
cekaman garam. Sehingga untuk varietas yang paling toleran terhadap
peningkatan bobot basah pada kondisi cekaman garam yaitu Ciherang, untuk
varietas yang agak rentan yaitu Atomita-2 dan varietas yang paling rentan yaitu
Nonabokra.

49

V.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Salinitas adalah sebuah proses dimana garam yang terlarut dalam air
terakumulasi dalam tanah.
2. Secara garis besar respon tanaman terhadap salinitas dapat dilihat dalam dua
bentuk adaptasi yaitu dengan mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi.

3. Genotip tanaman yang toleran terhadap cekaman garam berdasarkan masingmasing variabel pengamatan yaitu berbeda-beda.

B. Saran
Asisten lebih memberikan pengarahan yang lebih jelas kepada praktikan.
Penjelasan saat menentukan perlakuan sebaiknya dijelaskan secara menyeluruh
kepada semua praktikan agar mengerti tidak hanya pada satu kelompok.

50

DAFTAR PUSTAKA

Ayers, R.S. & Westcot, D.W. 1976. Water Quality for Agriculture. Rome: Food
and Agriculture of Organization of The United Nation.

Campbell, at al. 2003. Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Hussein, Balbaa, Gaballah. 2007. Salicylic Acid and Salinity Effect on Growth
of Maize Plants. Researce Journal of Agriculture and Biological Science
3(4): 321-328, 2007.

Katerji et. al. 2003. Effect of Salinity on emergence and on Water Stress and
Early Seedling Growth of Sunflower and Maize. [serial on line].
http://dx.doi.org/10.1016/0378-3774(94)90026-4. [3 Juni 2013].

Lakitan, Benyamin. 1996. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.

Materechera S.A. 2011. Soil Salinity in Irrigated fields used for urban agriculture
under a semi-arid environment of South Africa. African Journal of
Agricultural Research Vol. 6(16), pp. 3747-3754, 18 August, 2011. [serial
on line]. www.academicjournals.org/AJAR. [3 Juni 2013].

McKersie B.D. dan Leshem Y.Y. 1994. Stress and Stress Cooping in Cultivated
Plants. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

51

Petani Wahid. 2006. Cekaman Lingkungan Abiotik pada Lahan-Lahan Marginal.


http://petani
wahid.blogspot.com/2008/08/tanah-tantangan-bertani-diindonesia.html. Diakses pada tanggal 3 Juni 2013.

Sipayung,
Rosita.
2006.
Cekaman
Garam.
http://library.usu.ac.id/download/fp/bdp-rosita2.pdf. Diakses pada tanggal 3
Juni 2013

52

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah utama yang dihadapi dalam pemanfaatan lahan di bawah tegakan
adalah defisit cahaya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Cahaya matahari
sangat diperlukan oleh tanaman dalam berbagai proses fisiologi. Defisit cahaya
mengakibatkan terganggunya berbagai proses metabolisme dalam tanaman akibat
turunnya laju fotosintesis. Fotosintesis merupakan satu-satunya mekanisme
masuknya cahaya matahari ke dalam tanaman sehingga dapat mengubah CO
menjadi berbagai senyawa organik yang digunakan dalam proses pertumbuhan
dan perkembangan tanaman.
Kedelai merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang mendapat
perhatian serius untuk dikembangkan sebagai tanaman sela di bawah tegakan
tanaman perkebunan, hutan tanaman industri atau ditumpangsarikan dengan
tanaman semusim lainnya. Adanya naungan kanopi dari tanaman yang lebih tinggi
menyebabkan cahaya menjadi kendala utama atau faktor pembatas bagi
pertumbuhan dan perkembangan kedelai.
Praktikum ini bertujuan mengidentifikasi beberapa varietas kedelai, yaitu
Slamet, Burangrang dan Mitani yang memiliki toleransi terhadap intensitas cahaya
rendah

sehingga

dapat

direkomendasikan

pengembangan kedelai.

53

untuk

dibudidayakan

dalam

B. Tujuan
Tujuan praktikum ini, adalah :
1. Mengetahui respon dan perbedaan pertumbuhan tanaman dalam kondisi
cekaman cahaya (intensitas cahaya rendah).
2. Mengetahui genotip tanaman yang toleran terhadap cekaman cahaya.

54

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu cabang penting fisiologi lingkungan yang mempelajari cara


tumbuhan dan hewan menanggapi kondisi lingkungan yang sangat menyimpang
dari kondisi optimal bagi organisme tertentu, atau dalam pengertian yang lebih
luas, bagi organisme pada umumnya. Sebagai salah satu bagian dari ekofisiologi,
bidang ini dinamakan fisiologi cekaman. Pemahaman akan hal ini akan membantu
kita dalam memahami apa saja yang membatasi sebaran tumbuhan ( Salisbury,
1992). Levit (1980) mengemukakan bahwa cekaman biologis adalah segala
perubahan kondisi lingkungan yang mungkin akan menurunkan atau merugikan
pertumbuhan atau perkembangan tumbuhan ( fungsi normalnya ). Levitt (1980)
membedakan antara penghindaran dan toleransi ( ketahanan) terhadap suatu faktor
pencekam tertentu. Pada penghindaran, organisme memberikan tanggapan dengan
memperlemah akibat faktor pencekam ( tumbuhan di gurun menghindari tanah
kering dengan memanjangkan akarnya tumbuh ke dalam sampai mencapai air
tanah). Sebaliknya, jika tumbuhan mengembangkan toleransi maka tumbuhan itu
memang toleran atau tahan terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.
Ketika tumbuhan mulai mendapat faktor cekaman, terjadi reaksi tanda
bahaya, saat fungsi yang berkepentingan menyimpang dari biasanya. Kemudian
fase berlangsung tahap resistensi ( atau fase pemulihan ), saat organisme
beradaptasi pada faktor cekaman dan fungsi sering kembali menuju keadaan
normal ( tapi mungkin tidak benar-benar mencapainya). Akhirnya jika faktor
cekaman meningkat atau terus menerus berlangsung dalam waktu lama, mungkin

55

tercapai fase kelelahan, saat fungsi menyimpang dari normal dan mengakibatkan
kematian ( Salisbury, 1992). Faktor cekaman biasanya tidak hanya tunggal akan
tetapi merupakan proses yang kompleks karena melibatkan beberapa faktor
penentu

pertumbuhan.

Misalnya

musim

panas

yang

menyengat

dapat

mengakibatkan terjadinya cekaman tingkat cahaya tinggi ( perusakan klorofil oleh


cahaya), kelembaban rendah, tanah kering dan suhu tinggi. Disamping itu, respon
cekaman umumnya sangat kompleks, diperlibatkan oleh berbagai bagian
tumbuhan dan mungkin melibatkan hormon cekaman seperti asam absisat (ABA)
dan etilen yang diangkut keseluruh bagian tumbuhan.
Cahaya merupakan salah satu kunci penentu dalam proses metabolisme dan
fotosintesis tanaman. Cahaya dibutuhkan oleh tanaman mulai dari proses
perkecambahan biji sampai tanaman dewasa. Respon tanaman terhadap cahaya
berbeda-beda antara jenis satu dengan jenis lainnya. Ada tanaman yang tahan
( mampu tumbuh ) dalam kondisi cahaya yang terbatas atau sering disebut
tanaman toleran dan ada tanaman yang tidak mampu tumbuh dalam kondisi
cahaya terbatas atau tanaman intoleran. Kedua kondisi cahaya tersebut
memberikan respon yang berbeda-beda terhadap tanaman, baik secara anatomis
maupun secara morfologis. Tanaman yang tahan dalam kondisi cahaya terbatas
secara umum mempunyai ciri morfologis yaitu daun lebar dan tipis, sedangkan
pada tanaman yang intoleran akan mempunyai ciri morfologis daun kecil dan
tebal. Kedua kondisi tersebut akan dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan
tanaman apabila pemilihan jenis tidak sesuai dengan kondisi lahan, artinya
tanaman yang toleran ketika ditanam diareal yang cukup cahaya justru akan

56

mengalami pertumbuhan yang kurang baik, begitu juga dengan tanaman intolean
apabila di tanam pada areal yang kondisi cahaya terbatas pertumbuhan akan
mengalami ketidak normalan. Dengan demikian pemilihan jenis berdasarkan pada
sifat dasar tanaman akan menjadi kunci penentu dalam keberhasilan pembuatan
tanaman.
Tanaman

Toleran

Shade

leaf)

Vs

Intoleran

Sun

Leaf

1. Tumbuhan cocok ternaung menunjukkan laju fotosintesis yang sangat rendah


pada

intensitas

cahaya

tinggi

dibanding

tumbuhan

cocok

terbuka.

2. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaung mencapai titik jenuh pada intensitas
cahaya

yang

lebih

rendah

dibanding

tumbuhan

cocok

terbuka.

3. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaung lebih tinggi dibanding tumbuhan


cocok

terbuka

pada

intensitas

cahaya

yang

sangat

rendah.

4. Titik kompensasi cahaya untuk tumbuhan cocok ternaung lebih rendah


dibanding tumbuhan cocok terbuka.

57

III.

METODE PRAKTIKUM

A. Tempat dan Waktu


Waktu pelaksanaan praktikum ini dilaksanakan selama 30 hari, yaitu antara
bulan Maret 2013 sampai April 2013. Untuk tempat pelaksanaannya, yaitu di
Green House Pemuliaan Tanaman dan Bioteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah paranet, alat penyiram, oven, kertas label,
amplop kertas, plastik, alat tulis, timbangan analitik, penggaris panjang, gelas
ukur, lux meter, Leaf Area Meter dan polibag. Bahan yang digunakan adalah tiga
genotip kedelai, yaitu Slamet, Burangrang, dan Mitani.
C. Rancangan Percobaan
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan.
Faktor yang dicoba adalah tiga genotip kedelai dan dua taraf cekaman cahaya.
Genotip kedelai yang digunakan yaitu Slamet, Burangrang, dan Mitani. Dua taraf
cekaman cahaya yang digunakan yaitu tanpa cekaman cahaya/kontrol (N0) dan
cekaman cahaya (N1). Jadi pada penelitian ini terdapat 6 kombinasi perlakuan
yang diulang 3 kali. Setiap kombinasi perlakuan menggunakan 3 polibag.
Percobaan dilakukan menggunakan polibag di rumah kaca. Total keseluruhan
polibag yang digunakan adalah 6x3x3 = 54 polibag.

58

D. Variabel Pengamatan
Variabel yang diamati adalah :
1. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun bendera
tertinggi dari permukaan tanah, pengamatan dilakukan pada 30 hari setelah
tanam.
2. Bobot basah tanaman (g)
Bobot basah tanaman diperoleh dengan cara menimbang seluruh bagian
tanaman. Bobot basah tanaman ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu
pada 30 hari setelah tanam.
3. Bobot basah tajuk (g)
Bobot basah tajuk diperoleh dengan cara menimbang bagian tajuk tanaman
yang telah dipisahkan dengan bagian akar tanaman. Bobot basah tajuk
ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu pada 30 hari setelah tanam.
4. Bobot basah akar (g)
Bobot basah akar diperoleh dengan cara menimbang bagian akar tanaman
yang telah dipisahkan dengan bagian tajuk tanaman. Bobot basah akar
ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu pada 30 hari setelah tanam.
5. Rasio akar/tajuk
Rasio akar/tajuk diperoleh dengan membandingkan antara bobot basah akar
dan bobot basah tajuk. Rasio akar dan tajuk diukur setelah tanaman dipanen,
yaitu pada 30 hari setelah tanam.

59

6. Luas daun trifoliat


Luas daun trifoliat diukur dengan menggunakan Leaf Area Meter. Luas daun
trifoliat diukur pada tanaman berumur 30 hari setelah tanam.
7. Kandungan klorofil total
Kandungan klorofil total diukur dengan menggunakan alat ukur kandungan
klorofil. Kandungan klorofil pada tanaman berumur 30 hari setelah tanam.
8. Intensitas cahaya matahari
Intensitas cahaya matahari diukur setiap 3 hari sekali menggunakan lux meter
sampai akhir pengamatan.
E. Prosedur Kerja
1. Persiapan
Tanah sebagai media tanam disiapkan, dimasukan dalam polibag yang telah
dibuat lubang tanam. Disiram dengan air hingga kapasitas lapang. Polibag
yang telah berisi tanah tadi dibagi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai
kontrol (N0). Kelompok kedua adalah sebagai perlakuan cekaman cahaya
(N1). Polibag diletakan sesuai rancangan perlakuan yang telah ditentukan.
2. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanah di polibag. Lubang diisi
dengan 3 biji. Setelah tumbuh baik dipilih dua tanaman terbaik untuk diamati.
Setiap unit percobaan menggunakan 3 polibag.

60

3. Pemeliharaan dan penerapan perlakuan


Pemeliharaan meliputi pemupukan dan penyiraman dan pemberantasan hama
penyakit (jika terserang). Sebagai kontrol tanaman (N0) dalam polibag
diletakan di luar dan sebagai perlakuan tanaman dalam polibag ditaruh di
bawah naungan sebesar 65% (N1). Setiap 3 hari sekali intensitas cahaya
diukur dengan menggunakan lux matter sampai akhir pengamatan.
4. Pengamatan dan pengukuran
Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada saat yang bersesuaian dengan
variabel yang diamati.

61

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Terlampir
B. Pembahasan
Intensitas cahaya rendah merupakan suatu kondisi yang membatasi cahaya
yang diterima oleh tanaman yang ada dibawahnya baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Menurut Salisbury dan Ross (1992), cahaya matahari mempunyai
peranan besar dalam proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, respirasi,
pertumbuhan dan perkembangan, menutup dan membukanya stomata, dan
perkecambahan tanaman. Cahaya matahari berperan penting dalam metabolisme
tanaman hijau, sehingga ketersediaan cahaya matahari menentukan tingkat
produksi tanaman. Tanaman hijau memanfaatkan cahaya matahari melalui proses
fotosintesis. Intensitas cahaya rendah merupakan salah faktor yang membatasi
proses fotosintesis. Chozin et al ., (1998) melaporkan bahwa intensitas cahaya di
bawah intensitas cahaya rendah tegakan karet umur dua dan tiga tahun setara
dengan intensitas cahaya rendah paranet 25 dan 50%, sedangkan pada tegakan
karet yang berumur 4 tahun sudah melebihi intensitas cahaya rendah paranet
75%. Nilai rata-rata intensitas cahaya dibawah intensitas cahaya rendah tegakan
karet berumur 2, 3, dan 4 tahun masing-masing adalah 237.6; 109.2; dan 38.2
kal/cm 2/hari. Nilai intesitas cahaya intensitas cahaya rendah tegakan karet umur
2 tahun setara dengan intensitas cahaya rendah paranet 25% dan umur 3 tahun

62

setara dengan intensitascahaya rendah paranet 50% dan umur 4 tahun sudah
melebihi intensitas cahaya rendah paranet 75% (chozin et al ., 1998; Harris,
1999).
Penurunan intensitas cahaya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil
tanaman. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh intensitas cahaya rendah
terhadap pertumbuhan dan hasil telah dilaporkan oleh Anderson and Osmond,
1987;Mohr and Schopfer, 1995; Baharsjah, 1980; Chozin et al ., 1999; dan
Daubenmire;1974.
Di alam tanaman akan memberikan respon terhadap intensitas cahaya
rendah(intensitas cahaya rendah). Respon pertumbuhan tanaman yang ternaungi
dapat dilihat seperti pada Tabel (Anderson and Osmond, 1987; Daubenmire,
1974).
Karakter morfologi dan fisiologi tanaman ternaungi dibandingkan dengan
tanaman

yang

mendapat

cahaya

penuh

(Anderson

and

Osmond,1987;

Daubenmire, 1974).
Karakter morfologi
Karakter fisologi
-Batang lebih kecil karena -Kandungan klorofil lebih tingi2
xylem kurang berkembang
-

Luas

daun

per

tanaman - Laju fotosintesis lebih rendah

lebih besar

- Laju respirasi lebih rendah

- Jarak antar buku lebih panjang

- Kandungan air lebih tinggi

- Jumlah cabang lebih sedikit

-Transpirasi lebih lambat

-Sel-sel pada daun berukuran


lebih besar

sehingga

helai

63

daunmenjadi lebih lebar dan - C/N rendah


tipis

-Kemampuan

- Endodermis lebih berkembang

berbuah kurang bagus

-Kutikula

dan

Kloroplas

dan

dinding - Bunga muncul lebih lambat

lebih berkembang
-

berbunga

-Kurang tahan terhadap stress

lebih

banyak suhu,kekeringan, dan penyakit

dan berukuran lebih besar


-Jaringan

palisade

kurang berkembang
-Kurang tahan terhadap stress
suhu,kekeringan, dan penyakit
- Jarak antar sel lebih besar
-

Akar

lebih

pendek

dan

rasioakar/tajuk lebih rendah


-Pada tanaman legume, bintil
akar lebih sedikit dan lebih kecil
Mekanisme terhadap cekaman naungan dapat melalui 2 cara:
1. meningkatkan luas daun sebagai upaya mengurangi penggunaan metabolit;
contohnya perluasan daun ini menggunakan metabolit yang dialokasikan untuk
pertumbuhan akar.
2. mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Pada
tanaman

jagung

respon

ketika

intensitas

cahaya

berlebihan

berupa

penggulungan helaian daun untuk memperkecil aktivitas transpirasi. Proses

64

hilangnya air dalam bentuk uap air dari jaringan hidup tanaman yang terletak di
atas permukaan tanah melewati stomata, lubang kutikula, dan lentisel secara
fisiologis mulia berkurang.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada beberapa varietas
kedelai diantaranya Slamet, Burangrang dan Mitani. Pada variabel pengamatan
tinggi tanaman kedelai menunjukkan ketiga varietas memiliki respon yang sama
terhadap dua lingkungan yang berbeda V1=V2=V3 (Slamet=Burangrang=Mitani)
yaitu mengalami peningkatan tinggi tanaman pada kondisi lingkungan tercekam
cahaya. Varietas V1 (Slamet) memiliki tingkat toleransi yang lebih besar
dibandingkan dengan V3 (Mitani) dan V2 (Burangrang), dan ketiga varietas
merupakan tanaman yang ketahanannya agak peka terhadap cekaman cahaya.
Pada bobot basah tanaman menunjukkan bahwa lingkungan optimum dan
lingkungan tercekam cahaya bersifat homogen. Slamet memiliki respon yang
lebih besar yaitu mengalami penurunan bobot segar tanaman dibanding Mitani
dan Burangrang yang mengalami peningkatan bobot segar tanaman. Sehingga
dapat dikatakan Slamet memiliki tingkat toleransi lebih tinggi dibandingkan
dengan Burangrang dan Mitani. Varietas

Slamet dan Burangrang merupakan

tanaman yang ketahanannya termasuk toleran, sedangkan Mitani merupakan


tanaman yang agak toleran terhadap kondisi lingkungan cekaman cahaya.
Pada variabel bobot tajuk tanaman diperoleh bahwa lingkungan optimum
dan lingkungan tercekam cahaya bersifat homogen. Varietas Slamet memiliki
respon yang lebih besar yaitu mengalami penurunan bobot tajuk tanaman
dibanding Mitani dan Burangrang yang mengalami peningkatan bobot tajuk
tanaman. Slamet memiliki tingkat toleransi lebih tinggi dibandingkan dengan

65

Burangrang dan Mitani. Sehingga dapat disimpulkan varietas Slamet merupakan


tanaman yang ketahanannya termasuk toleran, sedangkan Burangrang dan Mitani
merupakan tanaman yang agak toleran terhadap kondisi lingkungan cekaman
cahaya.
Pada variabel bobot akar tanaman bahwa lingkungan optimum dan
lingkungan tercekam cahaya bersifat homogen. Varietas Slamet memiliki respon
yang lebih besar yaitu mengalami peningkatan bobot akar tanaman dibanding
Mitani dan Burangrang yang mengalami penurunan bobot akar tanaman. Dapat
disimpulkan Slamet dan Burangrang memiliki tingkat toleransi lebih tinggi
dibandingkan dengan Mitani. Dengan kata lain, Slamet dan Burangrang
merupakan tanaman yang ketahanannya termasuk toleran, sedangkan Mitani
merupakan tanaman yang agak toleran terhadap kondisi lingkungan cekaman
cahaya.
Pada variabel luas daun trifoli data menunjukkan bahwa lingkungan
optimum dan lingkungan tercekam cahaya bersifat homogen. V1, V2 dan V3
mengalami peningkatan luas daun trifoli dalam lingkungan yang cekaman cahaya.
V2 memiliki respon yang lebih besar yaitu mengalami peningkatan luas daun
trifoli dibanding V3 dan V1 (V2 > V3 > V1). V1 memiliki tingkat toleransi lebih
tinggi dibandingkan dengan V3 dan V2. Dapat disimpulkan V1 merupakan tanaman
yang ketahanannya termasuk toleran terhadap kondisi lingkungan cekaman
cahaya, sedangkan V2 dan V3 merupakan tanaman yang peka terhadap kondisi
lingkungan cekaman cahaya.

66

V.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Penurunan intensitas cahaya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil
tanaman.
2. Tanaman yang tahan dalam kondisi cahaya terbatas secara umum mempunyai
ciri morfologis yaitu daun lebar dan tipis, sedangkan pada tanaman yang
intoleran akan mempunyai ciri morfologis daun kecil dan tebal.
3. Secara keseluruhan berdasarkan variabel yang diamati genotip tanaman yang
toleran terhadap cekaman cahaya, yaitu varietas Slamet.
B. Saran
Penjelasan saat menentukan perlakuan sebaiknya dijelaskan secara
menyeluruh kepada semua praktikan agar mengerti tidak hanya pada satu
kelompok.

67

DAFTAR PUSTAKA

Levit.J.980. Respon of Plant to Environment Stresses: water, Radiation, Salt and


Other Strees. Voll II. Academic Press. New York
Silvika. 2009. Cekaman Cahaya. http://silvika.atspace.com/acara3.htm. Diakses
pada tanggal 3 Juni 2013.

Sopandie,D.,M.A. Chozin,S. Sastrosumajo,T.Juhaeti,sahardi.2003. Toleransi


terhadap naungan pada padi gogo. Hayati 10:71-75.

68

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonensia, kedelai merupakan komoditas strategis ketiga setelah
padi

dan

jagung,

karena

setiap

hari dikonsumsi oleh hampir sebagian

masyarakat dengan tingkat konsumsi rata-rata 8,12 kg/kapita/tahun. Produksi


kedelai di Indonesia sejak tahun 1995 cederung mengalami penurunan. Produksi
kedelai tahun 2006 dan 2007 masing-masing mencapai 795.340 dan 782.530 ton,
dan tahun 2009 diperkirakan turun menjadi 757.540 ton. Saat ini, rata-rata
nasional produktivitas kedelai di tingkat petani hanya sekitar 1,3 t/ha dengan
kisaran 0,6 -2,0 t/ha, sedangkan di tingkat penelitian telah mencapai 1,7 3,2 t/ha
bervariasi menurut kesuburan lahan dan penerapan teknologinya. Salah satu
hambatan dalam peningkatan dan stabilisasi produksi kedelai di Indonesia adalah
serangan penyakit karat daun yang disebabkan oleh cendawan Phakopsora
pachyrhizi. Penyakit karat (P. Pachyrhizi) merupakan penyakit utama pada
tanaman kedelai di Indonesia.
Saat ini varietas unggul kedelai yang tahan terhadap penyakit karat masih
sedikit dibandingkan dengan luas area pertanaman yang beragam. Untuk
mendapatkan varietas tahan dapat dilakukan melalui seleksi tidak langsung
terhadap karakter morfologi tanaman maupun secara biokimia. Praktikum ini
bertujuan mengidentifikasi beberapa varietas kedelai, yaitu Slamet, Burangrang
dan Mitani yang memiliki toleransi terhadap cekaman penyakit karat daun

69

sehingga dapat direkomendasikan untuk dibudidayakan dalam pengembangan


kedelai.
B. Tujuan
Tujuan praktikum ini, adalah :
1. Mengetahui respon dan perbedaan pertumbuhan tanaman dalam kondisi
cekaman biotik (penyakit karat daun kedelai Phakopsora pachyrhizi)
2. Mengetahui genotip tanaman yang toleran terhadap penyakit karat daun
kedelai.

70

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit karat kedelai tersebar luas di seluruh Indonesia. Adanya penyakit


karat pada kedelai di Yogyakarta dan Surakarta sudah dilaporkan sejak tahun 1899
(Raciborski, 1990). Penyakit yang disebabkan oleh cendawan Phakopsora
pachyrhizi berasal dari kelompok Basidiomycetes. Phakopsora pachyrizhy
mempunyai uredium pada sisi bawah dan atas daun, coklat muda sampai coklat,
bergaris tengah 100-200 m, sering tersebar merata memenuhi permukaan daun.
Parafisa pangkalnya bersatu, membentuk penutup yang mirip dengan kubah diatas
uredium. Parafisa membengkok dan berbentuk gada atau mempunyai ujung
membengkak, hialin atau berwarna jerami dengan ruang sel sempit. Ujungnya
berukuran 7,5-15m dengan panjang 20-47m. Uredium bentuknya mirip dengan
gunung api kecil yang dibentuk di bawah epidermis, jika dilihat dari atas
berbentuk bulat atau jorong. Di pusat bagian uredium yang menonjol berbentuk
lubang yang menjadi jalan keluarnya urediospora. Urediospora membulat pendek,
bulat telur atau jorong, hialin sampai coklat kekuningan, dengan dinding tebal
yang hialin dan berduri halus.
Menurut Sudjono (1984) pada daun pertama kedelai muda dapat terjadi dua
macam bercak, yaitu yang mempunyai halo berwarna coklat dan yang tidak.
Gejala tampak pada daun, tangkai, dan kadang-kadang pada tangkai. Awalnya
terjadi bercak-bercak kecil coklat kelabu atau bercak yang sedikit demi sedikit
berubah menjadi coklat atau coklat tua. Bercak karat terlihat sebelum bisul-bisul
(pustul) pecah. Bercak tampak bersudut-sudut karena dibatasi oleh tulang daun di

71

dekat terjadinya infeksi (Semangun, 1991). Pada umumnya serangan terjadi pada
permukaan bawah daun dan serangan awal biasanya terjadi pada daun-daun
bawah yang kemudian berkembang ke daun yang lebih atas. Penyakit karat
kedelai biasanya mulai menyerang pada saat tanaman berumur 3-4 minggu setelah
tanam.
Akibat serangan cendawan ini proses fotosintesis terganggu karena daun
tidak berfungsi sebagaimana fungsinya dapat menurunkan hasil produksi sebesar
20-80 %. Penurunan hasil bisa mencapai 100% bila varietas yang ditanam rentan
terhadap karat daun dan dibudidayakan sewaktu musim hujan dalam keadaan
cuaca yang lembab serta tanaman dalam kondisi tergenang. Penyebaran penyakit
karat daun ini melalui spora yang diterbangkan oleh angin, melalui tanah, air dan
tanaman inang. Patogen ini tidak dapat bertahan di dalam biji karena termasuk
cendawan obligat dan tidak dapat ditularkan melalui benih.
Beberapa pengendalian yang direkomendasikan yaitu penggunaan varietas
yang tahan terhadap penyakit ini, yaitu varietas Wilis, Merbabu, Raung, Dempo,
Krakatau, Tampomas dan Cikurai, perendaman benih dalam larutan fungisida
Benlate T 20, pengendalian secara kimia dengan menggunakan fungisida misalnya
Alto 100 SL, pengendalian dengan menggunakan pestisida nabati, misalnya
ekstrak mimba yang dapat menekan pertumbuhan jamur dan dipakai untuk
tindakan preventif pada tahap awal gejala penyakit serta pengaturan jarak tanam
dan perlakukan budidaya tanaman secara benar.

72

III.

METODE PRAKTIKUM

A. Tempat dan Waktu


Waktu pelaksanaan praktikum ini dilaksanakan selama 30 hari, yaitu antara
bulan Maret 2013 sampai April 2013. Untuk tempat pelaksanaannya, yaitu di
Green House Pemuliaan Tanaman dan Bioteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah hand sprayer, alat penyiram, tali, kertas label,
amplop kertas, plastik, alat tulis, timbangan analitik, penggaris panjang, gelas
ukur, mortar dan polibag. Bahan yang digunakan adalah tiga genotip kedelai, yaitu
Slamet, Burangrang, Mitani dan inokulum Phakopsora pachyrhizi.
C. Rancangan Percobaan
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan.
Faktor yang dicoba adalah tiga genotip kedelai dan perlakuan inokulasi
Phakopsora pachyrhizi. Genotip kedelai yang digunakan yaitu Slamet,
Burangrang, dan Mitani. Perlakuan inokulasi yang diberikan adalah tanpa
inokulasi Phakopsora pachyrhizi (P0) dan inokulasi Phakopsora pachyrhizi (P1).
Jadi pada penelitian ini terdapat 6 kombinasi perlakuan yang diulang 3 kali. Setiap
kombinasi perlakuan menggunakan 3 polibag. Percobaan dilakukan menggunakan

73

polibag di rumah kaca. Total keseluruhan polibag yang digunakan adalah 6x3x3 =
54 polibag.
D. Variabel Pengamatan
Variabel yang diamati adalah :
1. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun bendera
tertinggi dari permukaan tanah, pengamatan dilakukan pada 30 hari setelah
tanam.
2. Bobot basah tanaman (g)
Bobot basah tanaman diperoleh dengan cara menimbang seluruh bagian
tanaman. Bobot basah tanaman ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu
pada 30 hari setelah tanam.
3. Masa inkubasi (HIS)
Masa inkubasi adalah waktu dari inokulasi sampai timbulnya gejala pertama
kali.
4. Reaksi tanaman terhadap penyakit karat
Pengamatan dilakukan pada tanaman umur 30 hari setelah tanam berdasarkan
system penilaian dari International Working Group on Soybean Rust
(IWGSR).
5. Penilaian ketahanan tanaman terhadap penyakit karat daun dilakukan
berdasarkan kriteria Cook (1972).

74

E. Prosedur Kerja
1. Persiapan
Tanah sebagai media tanam disiapkan, dimasukan dalam polibag yang telah
dibuat lubang tanam. Disiram dengan air hingga kapasitas lapang. Polibag
yang telah berisi tanah tadi dibagi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai
kontrol (P0). Kelompok kedua adalah sebagai perlakuan cekaman penyakit
karat daun (P1). Polibag diletakan sesuai rancangan perlakuan yang telah
ditentukan.
2. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanah di polibag. Lubang diisi
dengan 3 biji. Setelah tumbuh baik dipilih dua tanaman terbaik untuk diamati.
Setiap unit percobaan menggunakan 3 polibag.
3. Pemeliharaan dan penerapan perlakuan
Pemeliharaan meliputi pemupukan dan penyiraman dan pemberantasan hama
penyakit (jika terserang). Sebagai control tanaman dalam polibag tidak diberi
inoculum Phakopsora pachyrhizi dan sebagai perlakuan tanaman diberi
inoculum Phakopsora pachyrhizi. Inokulasi dilakukan pada 14 hari setelah
tanam. Inokulasi dilakukan dengan cara menghancurkan daun sumber
inoculum Phakopsora pachyrhizi menggunakan mortar, kemudian dicampur
dengan akuades dan disemprotken menggunakan hand sprayer. Setelah
inokulasi setiap hari diamati gejala penyakit karat daun dan catat gejala
pertama kali dilihat.
4. Pengamatan dan pengukuran

75

Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada saat yang bersesuaian dengan


variabel yang diamati.

76

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Terlampir
B. Pembahasan
Penyakit

karat

yang

disebabkan

jamur

Phakopspora pachyrhizi

merupakan penyakit penting pada kedelai. Penyakit karat dapat menurunkan


hasil karena daun-daun yang terserang akan mengalami defoliasi lebih awal
sehingga akan mengakibatkan berkurangnya berat biji dan jumlah polong
yang bervariasi

antara

10-90%,

tergantung

pada

fase

perkembangan

tanaman, lingkungan dan varietas kedelai (Sinclair dan Hartman. 1999).


Gejala kerusakan tanaman akibat serangan penyakit karat kedelai adalah
terdapatnya bintik-bintik kecil yang kemudian berubah menjadi bercak-bercak
berwarna coklat pada bagian bawah daun, yaitu uredium penghasil uredospora.
Serangan berat menyebabkan daun gugur dan polong hampa. Terjadi bercakbercak kecil berwarna cokelat kelabu atau bercak yang sedikit demi sedikit
berubah menjadi cokelat atau coklat tua. Bercak karat terlihat sebelum bisulbisul (pustule) pecah. Bercak tampak bersudut-sudut karena dibatasi oleh tulangtulang daun tepatnya didekat daun yang terinfeksi. Biasanya dimulai dari daun
bawah baru kemudian ke daun yang lebih muda.
Cendawan P. pachyrhizi merupakan parasit obligat. Jika di lapangan
tidak terdapat tanaman kedelai, spora hidup pada tanaman inang lain. Spora
hanya bertahan 2 jam pada tanaman bukan inang. Spora tidak dapat bertahan

77

pada kondisi kering, jaringan mati atau tanah. Jika tidak ada tanaman
kedelai, gulma yang termasuk ke dalam famili Leguminosae dapat menjadi
tanaman inang alternatif. Dari 27 jenis tanaman Leguminosae yang diuji, tujuh di
antaranya menunjukkan reaksi hipersensitif sehingga infeksi pada tanaman
tersebut tidak menghasilkan spora. Sudjono (1979) menyatakan bahwa dari 17
jenis tanaman kacang-kacangan selain kedelai yang diinokulasi secara
buatan,

tiga

di

antaranya menunjukkan gejala yang bersporulasi, yaitu

kacang asu, kacang kratok, dan kacang panjang. Oleh karena itu, keberadaan
tanaman tersebut perlu diwaspadai.
Pemantauan
berumur

tiga

penyakit

karat

dimulai

pada

saat

tanaman

kedelai

minggu. Pengendalian penyakit dilakukan apabila intensitas

serangan telah mencapai 5% untuk varietas unggul tahan karat. Untuk varietas
rentan, keberadaan satu bercak saja dalam areal pertanaman kedelai sudah harus
dilakukan upaya pengendalian. Menanam varietas kedelai yang tahan penyakit
karat merupakan cara pengendalian yang murah, mudah dilaksanakan, dan tidak
mencemari lingkungan. Menanam varietas tahan dimaksudkan untuk mengurangi
jumlah inokulum awal (Zadoks dan Schein. 1979). Ketahanan suatu varietas
terhadap suatu penyakit umumnya tidak berlangsung selamanya. Jika muncul
ras baru yang lebih virulen, ketahanan varietas tersebut akan patah. Oleh karena
itu, adanya varietas-varietas baru kedelai yang tahan terhadap penyakit karat
sangat dibutuhkan dalam upaya mengendalikan penyakit tersebut.
Menanam varietas kedelai yang tahan penyakit karat merupakan cara
pengendalian yang murah, mudah

dilaksanakan,

78

dan

tidak

mencemari

lingkungan. Menanam varietas tahan dimaksudkan untuk mengurangi jumlah


inokulum awal (Zadoks dan Schein. 1979).
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit adalah suhu
optimum untuk perkecambahan uredospora adalah 15-25 C. pada kedelai infeksi
paling banyak terjadi pada suhu 20-25 C dengan embun selama 10-12 jam; pada
suhu 15-17 C diperlukan embun selama 16-18 jam. Masa berembun terpendek
untuk terjadinya infeksi pada suhu 20-25 C adalah 6 jam, sedang pada suhu 15-17
C adalah 8-10 jam. Infeksi tidak terjadi bila suhu lebih tinggi dari 27,5 C. Bakal
uredium mulai tampak 5-7 hari setelah inokulasi, dan pembentukan spora terjadi
2-4 hari kemudian (Holliday, 1980). Penyakt karat yang lebih berat terjadi pada
pertanaman kedelai musim hujan (Sudjadi, 1979). Selain itu, jenis-jenis kedelai
memiliki tingkat kerentanan yang berbeda-beda. Ketahanan satu jenis kedelai
terhadap karat juga bervariasi tergantung dari lokasi pengujian. Antara umur
panjang dengan ketahanan dan antara umur pendek (genjah) dengan kerentanan
terdapat korelasi positif. Ketahanan ternyata bersifat dominan dan ditentukan
oleh dua gen mayor
Berdasarkan data hasil pengamatan yang telah dilakukan pada tanaman
kedelai dengan perlakuan pemberian inokulasi Phakopsora pachyrhizi dan tanpa
inokulasi Phakopsora pachyrhizi menunjukkan pada variabel tinggi tanaman
hasilnya tidak berbeda nyata baik pada perlakuan, varietas maupun interkasinya.
Pada variabel bobot basah tanaman menunjukkan tidak berbeda nyata pada
perlakuan, varietas dan interaksinya namun sangat berbeda nyata pada ulangan
(blok)nya. Pada variabel intensitas penyakit menunjukkan hasil yang tidak

79

berbeda nyata antar varietas, perlakuan maupun interaksinya. Namun berbeda


nyata pada ulangan. Pada variabel pengamatan masa inkubasi antar varietas tidak
berbeda nyata pada perlakuan tercekam.
Pada variabel reaksi tanaman terhadap penyakit berdasarkan penilaian
IWGSR menunjukkan pada blok 1 varietas Slamet memiliki reaksi agak tahan
terhadap penyakit karat daun, varietas Burangrang memiliki reaksi tanaman dari
agak tahan sampai tahan terhadap penyakit karat daun, sedangkan varietas Mitani
memiliki reaksi yang agak tahan. Untuk blok 2 varietas Slamet dan Mitani
menunjukkan reaksi yang agak tahan terhadap penyakit karat daun sedangkan
varietas Burangrang memiliki reaksi yang tahan terhadap penyakit karat daun.
Untuk blok 3 pada varietas Slamet dan Burangrang memiliki reaksi yang agak
tahan terhadap penyakit karat daun sedangkan varietas Mitani breaksi tahan
terhadap penyakit karat daun.

80

V.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Gejala kerusakan tanaman akibat serangan penyakit karat kedelai adalah
terdapatnya bintik-bintik kecil yang kemudian berubah menjadi bercak-bercak
berwarna coklat pada bagian bawah daun, yaitu

uredium

penghasil

uredospora.
2. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan penyakit karat adalah
suhu, kelembapan, cahaya matahari, dan tanaman inang.
3. Tanaman kedelai toleran terhadap penyakit karat daun (Phakopsora pachyrizi)
dan mampu tumbuh dengan baik walaupun diberi perlakuan inokulum.
B. Saran
Penjelasan saat menentukan perlakuan sebaiknya dijelaskan secara
menyeluruh kepada semua praktikan agar mengerti tidak hanya pada satu
kelompok.

81

DAFTAR PUSTAKA

Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit tanaman pangan di Indonesia. Gadjah


Mada University Poress, Yogyakarta. 449 hal.
Sinclair, J.B. and G.L. Hartman. 1999. Soybean Rust. In G.L. Hartman, J.B.
Sinclair, J.C. Rupe (Eds.) Compendium of Soybean Diseases (Fourth
Edition). APS Press The American Phytopathological Society. p.25-26.
Sudjono, M.S. 1979. Ekobiologi cendawan karat kedelai dan resistensi
varietas kedelai. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
60 hal.
Zadoks, J.C. dan R.D. Schein. 1979. Epidemiology and plant disease
management. Oxford Univ Press. New York. 427 pp.

82

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit tanaman pangan dapat mengakibatkan kerugian baik secara kuantitas
maupun kualitas hasil panen. Upaya untuk mengurangi kerugian akibat infeksi
penyakit tanaman tersebut dapat dilakukan pengendalian dengan sasaran dan cara
yang tepat. Pengamatan yang dini dan identifikasi penyakit yang tepat akan menjamin
keberhasilan pengendalian.
Tanaman yang sakit adalah tanaman yang tidak dapat melakukan aktifitas
fisiologis secara sempurna, yang akan mengakibatkan tidak sempurnanya produksi
baik secara kualitas maupun kuantitas. Secara umum penyakit tanaman diakibatkan
oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik adalah penyakit tanaman yang disebabkan
oleh mikroorganisme (mahluk hidup) yang antara lain berupa jamur, bakteri, virus,
nematoda, MLO dll. Sedangkan faktor abiotik antara lain pengaruh dari suhu,
kelembaban, defisiensi unsur hara atau keracunan unsur hara.
Penyakit tanaman di lapangan dapat dikenali berdasarkan tanda dan gejala
penyakit. Tanda penyakit merupakan bagian mikroorganisme patogen yang dapat
diamati dengan mata biasa yang mencirikan jenis penyebab penyakit tersebut.
Salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang menjadi momok petani
kita adalah penyakit kresek atau hawar daun b akteri. Penyakit hawar daun bakteri
(bacterial leaf blight = BLB) disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv.
oryzae. Penyakit ini di Indonesia tersebar hampir diseluruh daerah pertanaman padi
baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dan selalu timbul baik pada musim
kemarau maupun musim hujan. Pada musim hujan biasanya berkembang lebih baik.

83

Kerugian hasil yang disebabkan oleh penyakit hawar daun bakteri dapat mencapai
60%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat keparahan 20% sebulan
sebelum panen, penyakit sudah mulai menurunkan hasil. Di atas keparahan itu, hasil
padi turun 4% tiap kali penyakit bertambah parah sebesar 10%. Kerusakan terberat
terjadi apabila penyakit menyerang tanaman muda yang peka sehingga menimbulkan
gejala kresek, dapat menyebabkan tanaman mati.

B. Tujuan
Tujuan praktikum ini, adalah :
1. Mengetahui respon dan perbedaan pertumbuhan tanaman dalam kondisi
cekaman biotik (penyakit kresek X. oryzae pv. oryzae)
2. Mengetahui genotip tanaman yang toleran terhadap penyakit kresek.

84

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman yang sakit sebenarnya adalah hasil interaksi positif faktor-faktor


pendukungnya yaitu tanaman inang, lingkungan dan patogen, yang dikenal
dengan segitiga penyakit (Wibowo, 1997). Patogen merupakan mikro organisme
penyebab penyakit, beberapa jenis mikroorganisme dikenal sebagai penyebab
penyakit yang merugikan untuk tanaman, untuk tanaman padi didominasi oleh
golongan jamur, bakteri dan virus. Tanaman padi saat ini dibudidayakan di sawah,
rawa lebak, pasang surut dan tegalan. Sebaran atau dominasi penyakit padi
biasanya

mengikuti lingkungan yang spesifik tersebut. Mikroorganisme

memerlukan lingkungan yang sesuai, hal ini mengakibatkan sebaran penyakit


bersifat spesifik lokasi, misalnya dominasi penyakit padi lingkungan Rawa, Lebak
dan Pasang Surut kemungkinan akan berbeda dengan lingkungan sawah..
Sedangkan gangguan fisiologis pada umumnya disebabkan oleh kekurangan hara
baik mikro maupun makro serta keracunan yang mampu menghambat
pertumbuhan tanaman.
Gejala penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi yang terinfeksi oleh
bakteri patogen dapat terjadi baik pada fase vegetatif maupun generatif. Pada
tanaman muda yang peka gejala kresek akan muncul, kemudian tanaman akan
layu dan mati. Gejala biasanya baru terlihat dengan jelas pada saat stadia anakan
maksimum atau pembungaan, jarang gejala tersebut muncul pada tanaman
persemaian (khususnya di daerah sub tropis) Pada daun gejala diawali dari tepi
daun, beberapa cm dari ujung daun, bentuk garis seperti siraman air. Gejala cepat

85

berkembang secara memanjang maupun melebar di kedua tepi daun, umumnya


berbentuk garis gelombang yang berwarna kuning dan cepat sekali berubah
menjadi oranye atau mengering dalam beberapa hari. Pada varietas yang peka
gejala dapat berkembang sampai ke arah pelepah daun tanaman. Pada permukaan
bercak yang masih muda, terdapat tetesan cairan seperti yang sangat mudah
diamati pada pagi hari, khusunya apabila diterawangkan pada sinar matahari
bercak transparan seperti tetesan minyak akan dapat terlihat dengan jelas.
Gejala kresek dapat diamati 1 atau 2 hari setelah tanam, daun-daun yang
terinfeksi berubah menjadi hijau kelabu dan mulai menggulung dibagian ujung
dan tepi daun. Pada bibit yang dipotong, gejala diawali di dekat daun yang
terpotong yaitu warna daun berubah menjadi hijau abu-abu. Gejala kresek hanya
didapatkan di daerah tropis, pada umumnya akan sangat merugikan oleh karena
infeksi terjadi sangat dini yaitu pada tanaman muda. Tanaman muda yang
terinfeksi tersebut akan menjadi kerdil, layu dan bahkan mati. Apabila kondisi
drainasi kurang baik seperti pada umumnya di lingkungan rawa lebak dan pasang
surut, perkembangan akan dapat dipacu lebih cepat.

86

III.

METODE PRAKTIKUM

A. Tempat dan Waktu


Waktu pelaksanaan praktikum ini dilaksanakan selama 30 hari, yaitu antara
bulan Maret 2013 sampai April 2013. Untuk tempat pelaksanaannya, yaitu di
Green House Pemuliaan Tanaman dan Bioteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah akuades, alkohol 70%, alat penyiram, kertas
label, alat tulis, timbangan analitik dan polibag. Bahan yang digunakan adalah tiga
genotip padi, yaitu Inpago Unsoed1, Fe37, Ciherang dan isolate bakteri X. oryzae
pv. Oryzea (Xoo).
C. Rancangan Percobaan
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan.
Faktor yang dicoba adalah tiga genotip padi dan perlakuan inokulasi bakteri Xoo.
Genotip padi yang digunakan yaitu Inpago Unsoed1, Fe37 dan Ciherang
Perlakuan inokulasi yang diberikan adalah tanpa inokulasi bakteri Xoo/kontrol
(X0) dan inokulasi Xoo (X1). Jadi pada penelitian ini terdapat 6 kombinasi
perlakuan yang diulang 3 kali. Setiap kombinasi perlakuan menggunakan 3
polibag. Percobaan dilakukan menggunakan polibag di rumah kaca. Total
keseluruhan polibag yang digunakan adalah 6x3x3 = 54 polibag.

87

D. Variabel Pengamatan
Variabel yang diamati adalah :
1. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun bendera
tertinggi dari permukaan tanah, pengamatan dilakukan pada 30 hari setelah
tanam.
2. Bobot basah tanaman (g)
Bobot basah tanaman diperoleh dengan cara menimbang seluruh bagian
tanaman. Bobot basah tanaman ditimbang setelah tanaman dipanen, yaitu
pada 30 hari setelah tanam.
3. Masa inkubasi (HIS)
Masa inkubasi adalah waktu dari inokulasi sampai timbulnya gejala pertama
kali.
4. Reaksi tanaman terhadap bakteri Xoo
Pengamatan dilakukan pada tanaman umur 30 hari setelah tanam. Reaksi
ketahanan terhadap bakteri Xoo dilakukan berdasarkan SES IRRI.
E. Prosedur kerja
1. Persiapan
Tanah sebagai media tanam disiapkan, dimasukan dalam polibag yang telah
dibuat lubang tanam. Disiram dengan air hingga kapasitas lapang. Polibag
yang telah berisi tanah tadi dibagi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai

88

kontrol (X0). Kelompok kedua adalah sebagai perlakuan inokulasi bakteri


Xoo (X1). Polibag diletakan sesuai rancangan perlakuan yang telah
ditentukan.
2. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanah di polibag. Lubang diisi
dengan 3 biji. Setelah tumbuh baik dipilih dua tanaman terbaik untuk diamati.
Setiap unit percobaan menggunakan 3 polibag.
3. Pemeliharaan dan penerapan perlakuan
Pemeliharaan meliputi pemupukan dan penyiraman. Sebagai control tanaman
dalam polibag tidak diberi inoculum bakteri Xoo dan sebagai perlakuan
tanaman diberi inoculum bakteri Xoo. Inokulasi dilakukan pada 14 hari
setelah tanam. Inokulasi dilakukan dengan cara :
a. Gunting disterilkan dengan dilap alcohol 70%.
b. Gunting dicelukan di dalam tabung reaksi media agar miring yang sudah
dikocok dengan akuades.
c. Bibit digunting. Diusahakan agar inoculum dapat menempel pada daun
bibit yang diinokulasikan.
Setelah inokulasi, setiap hari diamati gejala penyakit dan dicatat gejala
pertama kali terlihat.
4. Pengamatan dan pengukuran
Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada saat yang bersesuaian dengan
variabel yang diamati.

89

90

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Terlampir
B. Pembahasan

Penyakit hawar daun bakteri disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae


pv. oryzae (Xoo). Bakteri ini berbentuk batang dengan koloni berwarna
kuning.Patogen

ini

mempunyai

virulensi

yang

bervariasi

tergantung

kemampuannya untuk menyerang varuetas padi yang mempunyai gen resistensi


berbeda. Di Indonesia hingga saat ini telah ditemukan sekitar 12 kelompok isolat
(strain) berdasarkan virulensinya terhadap varietas diferensial. Isolat kelompok
VIII tersebar paling luas dan mendominasi di lapangan, sedangkan kelompok IV
tidak begitu luas, tetapi mempunyai virulensi tertinggi dan umumnya semua
varietas padi peka terhadap kelompok isolat ini. Perkembangan penyakit sangat
tergantung pada cuaca dan ketahanan tanaman. Bakteri Xoo menginfeksi tanaman
melalui hidatoda atau luka. Setelah masuk dalam jaringan tanaman bakteri
memperbanyak diri dalam epithemi yang menghubungkan dengan pembuluh
pengangkutan, kemudian tersebar kejaringan lainnya dan menimbulkan gejala.
Penyakit dapat terjadi pada semua stadia tanaman. Namun yang paling umum
ialah terjadi pada saat tanaman mulai mencapai anakan maksimum sampai fase
berbunga. Pada stadia bibit, gejala penyakit disebut kresek, sedang pada stadia

91

tanaman yang lebih lanjut, gejala disebut hawar (blight). Gejala diawali dengan
bercak kelabu (water soaked) umumnya di bagian pinggir daun. Pada varietas
yang rentan bercak berkembang terus, dan akhirnya membentuk hawar. Pada
keadaan yang parah, pertanaman terlihat kering seperti terbakar.
Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) merupakan bakteri Gram negatif yang
menyebabkan penyakit hawar daun bakteri (HDB) pada padi. HDB tergolong
penyakit penting di banyak negara penghasil padi. Hal ini disebabkan karena
HDB dapat mengurangi hasil panen dengan tingkat yang bervariasi, tergantung
pada stadium pertumbuhan tanaman yang terinfeksi, tingkat kerentanan kultivar
padi, dan kondisi lingkungan. Kerugian yang ditimbulkan oleh HDB di wilayah
tropis lebih tinggi dibandingkan di wilayah subtropik. Serangan HDB di Indonesia
menyebabkan kerugian hasil panen sebesar 21-36% pada musim hujan dan
sebesar 18-28% pada musim kemarau. Luaspenularan penyakit HDB pada tahun
2006 mencapai lebih dari 74 ribu ha, 16 ha diantaranya menyebabkan tanaman
puso. Karakter iklim tropis juga menyebabkan banyaknya strain patogen yang
ditemukan di wilayah tropis ( Wahyudi, 2011 ). Pada tanaman muda, kresek atau
lodoh atau seedling blight dapat menyebabkan daun menjadi layu dan tanaman
mati. Di daerah tropis, kerusakan akibat HDB lebih besar dibandingkan dengan di
daerah subtropis ( Dewi, 2007 ).
Faktor lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan penyakit di lapang,
kelembaban tinggi, hujan angin, dan pemupukan N yang berlebihan dapat
meningkatkan keparahan penyakit.

92

Menurut Ferdiaz (1992) dalam Triny S. Kadir, Satoto dan Inastuti A.


Rumanti (2006), klasifikasi Xanthomonas adalah sebagai berikut:
Phylum

: Prokaryota

Kelas

: Schizomycetes

Ordo

: Pseudomonadales

Famili

: Pseudomonadaceae

Genus

: Xanthomonas

Spesies

: Xanthomonas campestris pv. Oryzae

Penyakit hawar bakteri pada tanaman padi bersifat sistemik dan dapat
menginfeksi tanaman pada berbagai stadium pertumbuhan. Gejala penyakit ini
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1). Gejala layu (kresek) pada
tanaman muda atau tanaman dewasa yang peka, (2). Gejala hawar dan (3). Gejala
daun kuning pucat (Singh, 1980; Machmud, 1991; Triny dkk., 2006).
Gejala layu yang kemudian dikenal dengan nama kresek umumnya terdapat
pada tanaman muda berumur 1-2 minggu setelah tanam atau tanaman dewasa
yang rentan. Pada awalnya gejala terdapat pada tepi daun atau bagian daun yang
luka berupa garis bercak kebasahan, bercak tersebut meluas berwarna hijau keabuabuan, selanjutnya seluruh daun menjadi keriput dan akhirnya layu seperti
tersiram air panas. Seringkali bila air irigasi tinggi, tanaman yang layu terkulai ke
permukaan air dan menjadi busuk (Anonim, 1989).

93

Menurut Machmud (1991), pada tanaman yang peka terhadap penyakit ini,
gejala terus berkembang hingga seluruh permukaan daun, bahkan kadang-kadang
pelepah padi sampai mengering. Pada pagi hari atau cuaca lembab, eksudat
bakteri sering keluar ke permukaan bercak berupa cairan berwarna kuning
menempel pada permukaan daun dan mudah jatuh oleh hembusan angin, gesekan
daun atau percikan air hujan. Eksudat ini merupakan sumber penularan yang
efektif.
Kultivar padi mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda terhadap
Xanthomonas. Ketahanan disebabkan karena: 1. Bakteri terhambat penetrasinya,
2. Bakteri tidak dapat meluas secara sistemik, dan 3. Tanaman bereaksi langsung
terhadap bakteri (Lozano dan Sequeira, 1974 dalam Semangun, 2001). Menurut
Maraite dan Weyns (1979) dalam Semangun (2001), penyebaran penyakit yang
disebabkan oleh Xanthomonas dibantu juga oleh hujan, karena hujan akan
meningkatkan kelembaban dan membantu pemencaran bakteri. Intensitas penyakit
yang tertinggi terjadi pada akhir musim hujan, menjelang musim kemarau. Suhu
optimum untuk perkembangan Xanthomonas adalah sekitar 300C.
Berdasarkan data hasil pengamatan yang telah dilakukan pada variabel
tinggi tanaman diperoleh interaksi antara lingkungan dengan varietas tidak
berbeda nyata dimana varietas Inpago Unsoed1 tidak mengalami penurunan tinggi
tanaman jika berada pada kondisi cekaman penyakit kresek. Sedangkan varietas
Fe37 dan Ciherang mengalami penurunan tinggi tanaman dalam kondisi cekaman
penyakit kresek.

94

Pada variabel bobot segar tanaman padi untuk interaksi antara lingkungan
dan varietas menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Berdasarkan grafik bobot
segar tanaman untuk varietas Inpago Unsoed1 mengalami peningkatan bobot
segar tanaman pada kondisi cekaman penyakit kresek sedangkan varietas Fe37
dan Ciherang mengalami penurunan bobot segar tanaman jika berada pada kondisi
cekaman penyakit kresek.
Pada variabel indeks penyakit tanaman menunjukkan adanya hasil yang
berbeda nyata antara lingkungan dengan varietas. Berdasarkan grafik indeks
penyakit tanaman menunjukkan ketiga varietas yang diujikan mengalami
peningkatan indeks penyakit tanaman. Varietas Fe37 yang paling sedikit
mengalami peningkatan dibandingkan varietas Inpago Unsoed1 dan Ciherang.
Pada variabel masa inkubasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara
lingkungan dengan varietas. Berdasarkan grafik masa inkubasi bahwa ketiga
varietas mengalami peningkatan masa inkubasinya.

95

V.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Penyakit hawar bakteri pada tanaman padi bersifat sistemik dan dapat
menginfeksi tanaman pada berbagai stadium pertumbuhan.
2. Faktor lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan penyakit di lapang,
kelembaban tinggi, hujan angin, dan pemupukan N yang berlebihan dapat
meningkatkan keparahan penyakit
3. Tanaman padi varietas Inpago Unsoed1 mempunyai genotipe toleran penyakit
kresek yang baik dibanding varietas Fe37 dan Ciherang.
B. Saran
Diperlukan pengamatan yang lebih teliti untuk mendapatkan data yang pasti.
Penjelasan saat menentukan perlakuan sebaiknya dijelaskan secara menyeluruh
kepada semua praktikan agar mengerti tidak hanya pada satu kelompok.

96

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Iswari S. 2007. Evaluasi Ketahanan Tanaman Padi Haploid Ganda Calon
Tetua Padi Hibrida terhadap Wereng Batang Coklat dan Hawar Daun
Bakteri. Bul. Agron. (35) (1) 15 21.
Djatmiko dan fatichin.2009.Ketahan dua puluh satu Varietas Padi Terhadap
Penyakit Hawar dau Bakteri. Jurnal Hpt tropika(9)(2):168-173.
Untung K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gaja Mada University
Press. Yogyakarta.
Wahyudi, Tri Aris ; Siti Meliah dan Abdjad Asih Nawangsih. 2011.
Xanthomonas Oryzae Pv. Oryzae Bakteri Penyebab Hawar Daun Pada
Padi: Isolasi, Karakterisasi, Dan Telaah Mutagenesis Dengan Transposon.
Makara, Sains 15 (1) : 89-96, Bogor.

97

Anda mungkin juga menyukai