Anda di halaman 1dari 25

PENGOBATAN TOPIKAL PENYAKIT KULIT

Esti Fitria Hatami, S.Ked


Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mochammad Hoesin
Palembang

PENDAHULUAN
Pengobatan topikal adalah pemberikan obat secara lokal pada kulit atau pada
membrane pada area mata, hidung, lubang telinga, vagina dan rectum. Dengan adanya
kemajuan-kemajuan dalam bidang farmasi, maka pengobatan penyakit kulit juga berkembang
pesat. Yang menarik perhatian adalah kemajuan dalam bidang pengobatan topikal yang
berupa perubahan dari cara pengobatan nonspesifik dan empirik menjadi pengobatan spseifik
dengan yang

rasional.4,5 Tujuannya

adalah

untuk mengadakan

hemostasis

yaitu

mengembalikan kulit yang sakit dan jaringan sekitarnya ke keadaan fisiologik stabil secepatcepatnya. Disamping itu untuk menghilangkan gejala-gejala yang menganggu, misalnya rasa
gatal dan panas. 4,5
Pada masa kini pengobatan topikal untuk penyakit kulit bukanlah merupakan masalah
lagi dengan tersedianya berbagai macam obat paten berbentuk krim, salep, losio dan
sebagainya. Seperti halnya barang dagang lainya obat obatan paten tersebut cukup mahal
harganya dan sering tidak terjangkau oleh golongan masyarakat ekonomi lemah.

Secara

ideal maka pemberian obat topikal harus berkhasiat fisis maupun kimiawi. Kalau obat topikal
digunakan secara rasional, maka hasilnya akan optimal, sebaliknya kalau di gunakan secara
salah obat topikal menjadi tidak efektif dan menyebabkan penyakit iatrogenik. 4,5,6
Bahan penyusun obat topikal untuk penyakit kulit ada 2 macam, yaitu bahan aktif dan
bahan dasar atau vehikulum atau basis. Pada dasarnya keberhasilan pengobatan topikal
penyakit kulit tergantung pada beberapa hal, yaitu penentuan basis yang tepat bagi jenis
erupsi atau radang yang terjadi, pemilihan bahan aktif yang sesuai dengan etiologi penyakit
tersebut, serta penetrasi obat kedalam kulit. Prinsip terapi topikal adalah pemilihan basis yang
sesuai dengan kondisi dematosis, yaitu keringkan bila basah, dan basahkan bila kering (if it
dry, wet it and if it wet, dry it) . Tidak jarang pemakain basis obat saja telah dapat
memberikan hasil yang memuaskan.3,5

Dalam penulisan ini akan dibicarakan macam macam bahan dasar, bahan aktif, prinsip
prinsip pemilihan jenis basis obat, juga sedikit disinggung mengenai pemilihan bahan aktif,
serta penetrasi obat topikal. Sehingga dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan kita
dalam pengobatan penyakit kulit khususnya pengobatan topikal serta memperkenalkan
bentuk dan cara pengobatan topikal yang disesuaikan dengan keadaan penyakit kulit. Juga
diharapkan pengetahuan ini akan dapat diterapkan dalam hal mengobati dan menyembuhkan
penyakit kulit yang di diagnosis. 4,5

PEMBAHASAN
Definisi
Pengobatan topikal adalah pemberikan obat secara lokal pada kulit atau pada
membran pada area mata, hidung, lubang telinga, vagina dan rectum. Dengan adanya
kemajuan-kemajuan dalam bidang farmasi, maka pengobatan penyakit kulit juga berkembang
pesat. Yang menarik perhatian adalah kemajuan dalam bidang pengobatan topikal yang
berupa perubahan dari cara pengobatan nonspesifik dan empirik menjadi pengobatan spseifik
dengan yang rasional. 4,5

Tujuan
Kegunaan dan khasiat pengobatan topikal di dapatkan dari pengaruh fisik dan
kimiawi obat-obatan yang diaplikasikan di atas kulit yang sakit. Pengaruh fisik antara lain
mengeringkan, membasahi (hidrasi), melembutkan, lubrikasi, mendinginkan, memanaskan,
dan melindungi dari pengaruh buruk dari luar. Semua hal itu bermaksud untuk mengadakan
hemostasis yaitu mengembalikan kulit yang sakit dan jaringan sekitarnya ke keadaan
fisiologik stabil secepat-cepatnya. Disamping itu untuk menghilangkan gejala-gejala yang
menganggu, misalnya rasa gatal dan panas. 4,5

Bahan Dasar Obat Topikal


Bahan dasar untuk pembuatan obat topikal dikenal ada 3 macam : (1) bahan padat
berbentuk serbuk atau bedak, (2) lemak atau minyak, (3) bahan cair. 1,3 Dari ketiga macam
macam bahan dasar ini dapat dibuat berbagai macam kombinasi komposisi dari basis atau
bahan dasr suatu obat topikal sesuai dengan jenis dermatosis. Bahan dasar ini selain bersifat
inert yaitu hanya berfungsi membawa bahan aktif pada tempat bekerjanya, juga sering
mempunyai sifat tertentu yang dapat mempengharui kondisi radang misalnya sebagai
pendingin/penenang, pengering, antipruritus.3

Perlu diperhatikan bahwa beberapa bahan

dasar juga sering mempengharui berbagai efektifitas bahan aktif, misalnya pengenceran krim
kortikosteroid dengan basis yang tidak tepat bahkan menginaktivasi kortikosteroid tersebut.
Selain itu dalam basis suatu obat sering ditambahkan bahan bahan tertentu sebagai emulgator,
pengawet agar basis tersebut stabil dan tidak mudah rusak oleh mikroorganisme. Hanya tidak
jarang bahan pengawet tersebut merupakan pemeka (sensitizer) yang dapat menimbulkan
reaksi alergi. . 4,5
Bahan-bahan yang dapat digolongkan sebagai serbuk antara lain amilum (kanji), seng
oksida, seng strearat, bentonium, talkum venetum. Sedangkan bahan-bahan yang termasuk
lemak antara lain oleum kokos, oleum olivarium, oleum sesami, oleum arakidis, vaselin
album, parafin liquidum, parafin solidum. Yang termasuk bahan cair selain air, air suling,
juga alkohol, propilen glikol, gliserin, solusio kalsii hidroksida (air kapur), eter, kolodium
(campuran alkohol, eter dan larutan selulose nitrat). 1,3
Suatu obat yang dibuat dengan bahan dasar bedak disebut bedak, misal bedak salisil.
Sedangkan bila bahan dasarnya lemak disebut salep, misal salep 2-4. Dan bila bahan
dasarnya cair maka disebut losio, solusio, tingtura. 1,3
Dalam berbagai kondisi penyakit kulit sering diperlukan bahan dasar yang merupakan
campuran dariketiga macam bahan dasar tersebut. Kombinasi antara bahan dasar serbuk dan
lemak akan membentuk suatu pasta berlemak (pasta zinsi oleosa), misal abos. Kombinasi
antara bahan dasar serbuk dan air disebut bedak kocok (shake lotion), dan bila liniment.
Campuran antara air dan lemak akan menghasilkan bentuk krim dan tergantung dari fasenya
dikenal krim W/O (water in oil) atau krim O/W (oil in water). Kombinasi bahan-bahan dasar
dapat ini dibuatsesuai dengan kondisi lesi kulit (lihat prinsip pemilihan basis obat). Sehingga

jelaslah dengan berbekal pengetahuan mengenai bahan dasar suatu obat topikal kita dapat
membuat suatu basis obat yang paling sesuai dengan kondisi lesi penyakit kulit. 1,3

SERBUK

Pasta zinc oleosa


Pasta zinc

LEMAK

bedak kocok
pasta

CAIR

Prinsip-prinsip Pemilihan Basis Obat atau Vehikulum


1. Basis obat untuk radang akut 3
Radang akut di tandai dengan eritem berat, edema, vesikel, bula, intertriginasi, krusta.
Basis obat yang dibutuhkan adalah berbentuk cair atau air yaang dipergunakan
sebagai kompres, rendam, mandi, atau di oleskan. Kompres bekerja pada radang akut
antara lain dengan cara:
a. Penguapan air akan menarik kalor lesi sehingga terjadi vasokontriksi, yang
mengakibatkan eritem berkurang.
b. Vasokontriksi memperbaiki permebealitas vaskuler, sehingga pengeluaran serum
dan edema akan berkurang.

c. Air melunakkan dan melarutkan krusta pada permukaan kulit, sehingga mudah
terangkat bersama kain kasa. Pembersihan krusta ini akan mengurangi sarang
makanan untuk bakteri dari cairan yang terperangkap di bawah krusta.

Kompres dingin, selain berguna untuk membersihkan, mengeringkan dan


mengurangi peradangan juga berfungsi memacu granulasi ulkus. Cara
pengompresan adalah sebagai berikut : kain kasa berlapis atau kain bekas berserat
katun yang bersih (jangan gunakan kapas!) dibasahi dengan air bersih dingin.
Dalam air ini dapat dilarutkan zat aktif sesuai derngan kebutuhan. Kain yang
sudah basah tersebut, ditempelkan di atas lesi kulit selama beberapa menit,
kemudian kain diangkat dan dibasahi lagi dan ditempelkan kembali pada lesi yang
dikompres, demikian beberapa kali. Hati hati kain jangan dibiarkan menempel
pada lesi kulit sampai kering, sebab dapat mengakibatkan lesi menjadi berdarah
bila kain kasa yang kering dan lengket diangkat. Kompres berlanjut sesudah lesi
basah mengering dan menjadi subakut akan menyebabkan lesi terlalu kering,
pecah (overdrying). Sehingga timbul masalah baru. Selain itu pengompresan yang
terlalu lama (lebih dari 15 menit) akan menyebabkan maserasi kulit sekitarnya.
Untuk menghindari hal ini pengompresan dilakukan secara periodik, yaitu
kompres basah 3 kali sehari selama 5-15 menit. Pada anak anak tiap kali
pengompresan jangan lebih dari sepertiga luas tubuh untuk menghindari
pengacauan regulasi panas tubuh.
Selain kompres, basis air juga sering dipergunakan untuk berendam apabila
kelainan kulit cukup luas dan untuk lesi basah di ujung-ujung ekstremitas.
Perendaman ini dapat melunakan dan membersihkan skuama atau debris yang
melekat. Hanya untuk menghindari maserasi, perendaman jangan dilakukan lebih
dari 30 menit.
2. Basis obat untuk radang subakut 3
Radang sub akut ditandai dengan eritem ringan, erosi, dan krusta, kadangkadang mulai tampak hiperpigmentasi. Kompres basah akan menyebabkan lesi disini
menjadi terlalu kering, dan pecah-pecah, sebaliknya basis minyak dikuatirkan
menimbulkan efek oklusif yang memperberat inflamasi. Basis yang aman untuk
5

kondisi sub akut ini adalah basis krim, karena krim tersusun dari campuran minyak
dan air. Jika lesi sub akut tersebut lebih ke arah akut, diguanakn krim minyak dalam
air (O/W), sebaliknya jika lesi sub akut lebih ke arah kronis, digunakan krim air
dalam minyak (W/O). Contoh krim minyak dalam air misal Krim Canesten, krim
Hidrokortison, sedangkan krim air dalam minyak misalnya cold cream/vanishing
cream.
3. Basis obat untuk radang kronis. 3
Radang kronis ditandai dengan lesi kering dapat berupa hiperkeratosis,
likenifikasi, fisura, skuama, dan hiperpigmentasi. Lesi kering seperti ini akan
bertambah kering bila diobati dengan basis air. Apabila ada debris diatas lesi kering
dapat dibersihkan dengan mengompresnya terlebih dahulu sehingga debris menjadi
lunak dan mudah diangkat. Pemberian basis minyak akan mencegah penguapan,
sehingga air yang menguap dari stratum korneum dapat dihambat, terjadi hidrasi
startum korneum.

Bahan-bahan Aktif untuk Pengobatan Topikal


Bahan aktif adalah komponen dalam suatu obat topikal yang berfunsi spesifik untuk
etiologi penyakit kulit tertentu. Dalam pengobatan penyakit kulit kita kenal obat-obat topikal
dengan bahan aktif kortikosteroid, antibiotik, antiseptik, antifungi, antivirus, tir dan lain-lain.
Dibawah ini akan dibahas beberapa bahan aktif yang sering dipergunakan dalam pengobatan
topikal penyakit kulit terutama apabila dikehendaki menyusun sendiri atau meracik
komposisi obat topikal tersebut. 3,6
1. Asam benzoat (acidum benzoicum), berupa kristal tak berwarna, sukar larut dalam air
dan mudah larut dalam alkohol dan lemak. Bersifat antifungal dan antiseptik.
2. Asam borat (acidum borcium) , dipergunakan sebagai antiseptik ringan dan
astringensia ringan dalam konsentrasi 1-3%. Pernah dilaporkan mempunyai aktivitas
antiveral sehingga dipergunakan sebagai salep untuk lesi herpes. Pada absorbsi
sistemik bahan ini bersifat toksik pada dosis 5-10 g anak-anak dan 10-20 g pada
dewasa. Keracunan akut dari asam borat dapat menimbulkan gejala mual, muntah,
sakit perut, diare, nyeri kepala dan gangguan penglihatan. Sedang keracunan kronik
6

dapat menyebabkan kerontokan rambut dan kerusakan ginjal. Jangan gunakan bahan
ini untuk bayi, dan jangan gunakan pada luka terbuka yang luas karena dapat
diabsorbsi secara sistematik.
3. Asam salisilat (acidum salicylicum) , mempunyai daya keratoplastik pada konsentrasi
1-2 (3%), berdaya antipruritus pada konsentrasi 0,5-3%, berdaya keratolitik pada
konsentrasi lebih dari 3%, juga mempunyai daya antiseptik.efek keratolitik inilah
dapat menyebabkan asam salisilat juga berfungsi sebagai antifungal pada infeksi
jamur superfisial. Asam salsilat berupa hablur putih yang sukar larut dalam air,
mudah larut dalm alkohol (1/4) dan dalam minyak misalnya oleum ricini (1/10).
Asam salsilatr dapat diapsorbsi secara sistematim menyebabkan salisilema dengan
gejala nausea, vomitus, dispnea dan halusinasi. Kemungkinan terjadinya absorpsi
sistemik ini dapat diperkecil bila luas daerah yang diobati terbatas, dengan
konsentrasi kurang dari 7% dan pengolesan dua kali sehari. Hati-hati pada
penggunaan untuk bayi karena bersifat iritatif, dan jangan dipakai lpada lesi terbuka
(denuded skin). Pada umur kurang dari 2 tahun dapat diberikan pada konsentrasi
0,5%, tetapi jangan diberikan dalam basis bedak.\
4. Dermatol (bismuthi subgallas), merupakan serbuk kuning yang tidak larut dalam air,
bersifat antiseptik dan astringentia. Jangan diberikan pada lesi terbuka yang luas
karena dapat menimbulkan intoksikasi.
5.

Derivat fenol, mempunyai daya antiseptik, antipruritus,. Jangan dipergunakan lesi


yang luas, karena pengaruh sistematiknya dapat menimbulkan konvulsi serta
kerusakan ginjal. Pada konsentrasi tinggi bersifat kaustik. Derivat fenol yang banyak
digunakan dalam dermatologi antara lain fenol (acidum carbolicum) yang
dipergunakan dalam konsentrasi 0,05% dan resorsinol yang pada konsentrasi 0,5-1%
mempunyai daya keratoplastik dan astringensia dan pada konsentrasi 8-10% berdaya
keratolitik dan fungisidal.

6. Ikatan perak (Ag), yang banyak dipakai dalam dermatologi adalah perak nitrat
(argentinitras atau AgNO3) yang berupa kristal putih yang larut dalam air. Bahan ini
dipergunakan dalamkonsentrasi 0,5-1% untuk daya antiseptiknya, astringentia dan
juga dapat merangsang granulasi dan epitelialisasi. Sedang pada konsentrasi lebih
dari 3% bersifat kaustik. Hati-hati karena mewarnai kulit.
7

7. Ikatan halogen, yang banyak dipakai dermatologi adalah iod. Berupa kristal
lembayung tua yang larut dalam larutan iodida. Dipakai pada konsentrasi 1-3%
sebagai tingtur bersifat antiseptik kuat, antifungal serta mempunyai pengaruh
hemostatik karena mengkoagulasi protein. Bahan ini dapat menimbulkan iritasi.
8. Ikatan yang mengoksidasi yaitu hidrogen peroksida dan kalium permanganat.
Larutan hidrogen peroksida dipergunakan dalam konsentrasi 1-3% sebagai antiseptik,
dan pada konsentrasi tinggi sebagai pemutih (bleaching agent). Kalium permanganat
(PK) berupa kristal berwarna ungu tua yang larut dalam air. PK dipergunakan sebagai
larutan dalam konsentrasi 1/5000-1/10.000, mempunyai daya antiseptik dan
astringensia. Larutan PK ini dapat menodai pakaian terutama bila dipergunakan
dalam konsentrasi tinggi. Hati-hati kristal PK bersifat kaustik.
9. Alkohol dan derivatnya, selain sebagai bahan dasar juga mempunyai sifat aktif. Misal
Etil Alkohol 70% dipergunakan sebagai antiseptik, formaldehid (formalin) bersifat
antiseptik dan astringensia, dan propilen glikol berfungsi sebagai pengikat air,
sehingga pada konsentrasi 30-40%dalam air dipergunakan sebagai perlembab.
10. Mentol (mentobolum) berupa kristal tak berwarna larut dalam alkohol, parafin dan
lemak. Dipergunakan dalam konsentrasi 0,5-1% sebagai antipruritus, antiseptik, juga
dapat menimbulkan vasokonstriksi.
11. Gentian violet (metbylrosanilinii), berupa serbuk berwarna ungu tua yang larut dalam
air (1/40) dan alkohol (1/10). Dipergunakan dalam konsentrasi 0,5-1% sebagai
antiseptik ringan, antikandida, dan astringensia. Obat ini sekarang jarang
dipergunakan karena menodai pakaian sehingga sehingga tidak disukai penderita.
12. Vioform (hydroxyquinoline) adalah serbuk berwarna kuning kecoklatan yang sukar
larut dalam air. Dipergunakan dalam konsenterasi 1-3% sebagai antiseptik, antifungal
dan antiprotosa. Bahan ini juga dapat menodai pakaian.
13. Seng oksida (zinc oxidum) selain dipakai sebagai bahan dasar juga mempunyai sifat
astrigensia dan antiseptik. Berupa serbuk yang berwarna putih dan tidak larut dalam
air.
14. Sulfur presipitatum merupakan serbuk kuning yang tidak larut dalam air
dipergunakan dengan konsentrasi 2-10%. Selain bersifat antiseptik,antimikotik dan
8

antiparasit juga diduga bersifat antisebore, antipruritus dan pada konsentrasi tinggi
mempunyai efek keratolitik (>2%). Efek keratoplastik didapat pada konsentrasi
rendah (<1%). Diperkirakan 1% dari sulfur yang dipakai secara topikal ternyata di
absorpsi secara sistemik, juga pernah dilaporkan mengenai efek samping pemakaian
sulfur seperti dermatitis kontak alergi, sedangkan adanya efek komedogenik masih
diperdebatkan. Akan tetapi sampai saat ini sulfur masih dinyatakan, hanya bau yang
ditimbulkannya sering tidak disukai penderita.
15. Iktiol (ichtammol), merupakan tir batubara yang larut dalam alkohol dan gliserin
serta dapat bercampur dengan lemak dan vaselin. Dipergunakan dalam konsentrasi 110%, mempunyai daya antiseptik dan antiradang.
16. Derivat tir lainnya seperti oleum kadini, liquor carbonis detergens (tir batubara), tir
olie, selain bersifat antiradang juga bersifat antimitotik, antiparasit, dan antipruritus.

Pemilihan Zat Aktif


Dalam pemilihan zat aktif, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: 3,6
1. Zat akitf harus sesuai dengan diagnosis, misal skabies di obati dengan sulfur (salep24), tinea glabrosa dengan mikonazol, dan sebagainya.
2. Zat aktif harus larut dalam basis obat yang terpilih. Ada perbedaan pandangan antara
ahli faramasi dan ahli kulit. Ahli farmasi lebih menekankan pada pemilihan basisi
terbaik untuk kestabilan dan kelarutan obat, sedangkan ahli kulit menekankan pada
pemilihan basis obat untuk jenis lesi, baru kemudian mempertimbangkan kestabilan
dan kelarutan zat aktif. Sehingga sering terjadi obat-obat yang secara teoritis
farmakologik sesuai untuk suatu penyakit kulit, kurang disukai oleh ahli kuliut.
Misalnya Tetrasiklin sangat mudah larut dalam minyak, dan efektif untuk bakteri
Strptokokus dan Stapilokokus. Akan tetapi pemakaian salep Tetrasiklin untuk kasus
ektima (yang disebabkan oleh salah satu bakteri di atas) tidak di sukai oleh ahli kulit
karena basisnya bersifat oklusif, menghambat drainasi pus dari ektima.
3. Zat aktif harus tidak merusak komposisi basis obat. Misalnya berdasarkan lesi kulit
yang dibutuhkan krimhidrokortison, tetapi juga di perlukan juga asa, salisilat sebagai
9

keratolitik. Pada kasus ini, penambahan asam salisilat akan merusak komposisi krim,
sehingga harus ditambahkan emulgator lagi.
4. Banyak penyakit kulit yang dapat disembuhkan hanya dengan efek fisikokimia dari
basis obat, tanpa zat aktif di dalamnya. Atau zat aktif diberikan secara oral jika
memungkinkan. Misalnya sering kita gunakan larutan kalium permanganas (PK)
untuk lesi eksudatif/membasah/eksematus. Pengunaan larutan PK ini tidak keliru, jika
kita gunakan dalam konsentrasi yang benar. Akan tetapi prakteknya pada penderita
sering diberikan kristal PK dan penderita diminta melarutkan sendiri. Jika larutan
yang dibuat penderita terlalu kental (lebih dari 1/8000) akan menimbulkan iritasi,
padahal lesi eksudatif tersebut dapat diatasi hanya dengan air dingin yang bersih. Juga
pernah terjadi penderita meminum kristal PK yang diberikan tersebut. Sehingga
banyak dokter merasa lebih aman memberikan kompres larutan air garam, yang
dibuat dengan melarutkan 1 sendok teh garam dalam 500 cc air matang. Seperti juga
larutan PK, larutan air garam tersebut juga mempunyai efek astringensia. Untuk
menghindari kecelakaan sebaiknya menulis resep obat kompres dalam bentuk jadi
(misal : larutan PK 1/10.000 1 liter), jangan dalambentuk bubuk.
BEBERAPA CONTOH OBAT TOPIKAL
1. Larutan Natrium Tiosulfas
R/

Na. Thiosulfas

20

Aqua ad

100

Dipergunakan untuk Pitriasis Versikolor


2. Losio Pekelharing :
R/

Ac.salicyl

Glycerin

Alkohol

70%

96

Untuk ketombe.
3. Shake Lotion
10

R/

Oxid Zinci

10-20%

Talc.venetum

10-20%

Glycerin

5-10%

Aqua ad

q.s

Merupakan cairan pengering pada radang subakut.


4. Losio Faberi :
R/

Ac.salicyl

0,5%

Talc.venetum

5%

Oxid Zinci

5%

Amyl oryzae

5%

Spir.dil. ad

qs

Untuk miliaria
5. Losio Kummerfeldi :
R/

Camphora

1,0

Sol.calcii hydrokxidi

45

Spir.forte ketonatus

3,0

Sulfur praecipt

6,7

Aluminii et magnesii silicas colloidale

2,0

Oleum rosarum

gtt

Silicii oxydum colloidale

1,0

Aqua ad

105

Atau
R/

Camphora

10
11

Sulfur praecipt

66

Spir.forte ml

30

Sol.Cal.hydroxid

ml

Cera lanette

400
15

Ol rosar

gtt

10

Aqua ad

ml

1000

Sulf.praecipt

20

Camphor

Mucil Gumm.Arab

10

Sol.cal hydrat

134

Aqua rosar ad

300

Atau
R/

Untuk agne vulgaris

Penetrasi Obat Topikal1,,2,3


Penetrasi dan difusi suatu obat topikal ke dalam kulit bergantung kepada
faktor obat, serta faktor keadaan kulit sendiri. Faktor obat antara lain struktur
kimiawi, besar molekul, konsentrasi obat, jenis basis, pelepasan bahan aktif dari basis
dan cara penggunaannya. Sedang faktor keadaan kulit antara lain stratum korneum,
sirkulasi darah dalam dermis, kepadatan folikel rambut dan kelenjar keringat, serta
PH kulit. 1,3,7
Basis suatu obat topikal sangat mempengharui absorpsi bahan aktif yang
terkandung didalamnya. Basis salep ternyata relatif bersifat oklusif sehingga hidrasi
stratum korneum meningkat dan penetrasi meningkat. Peranan konsentrasi bahan aktif
sangat penting terutama bila basis berupa solusio. Untuk meningkatkan konsentrasi
bahan aktif dapat ditempuh cara membuat suatu basis yang berisi baik komponen non
12

volatil maupun volatil., disini penguapan komponen volatil setelah aplikasi akan
meningkatkan konsentrasi dari bahan aktif. Selain itu molekul kecil tentunya lebih
mudah larut sehingga lebih mudah diabsorpsi dibandingkan molekul yang besar.
Derajat penetrasi suatu bahan aktif ditentukan oleh perbedaan daya kelarutannya di
dalam basis dan di dalam stratum korneum. Bahan aktif yang mempunyai daya larut
atau afinitas yang tinggi dalam basisnya tentunya akan sulit dilepaskan kedalam kulit.
3

Setelah bahan aktif dilepaskan dari basisnya maka penetrasi kedalam kulit
dapat terjadi baik secara intraseluler untuk bahan-bahan yang hidrofilik maupun yang
interseluler untuk bahan-bahan yang lipofilik. Walaupun jumlahnya cukup kecil
dibandingkan penetrasi melalui stratum korneum, absorpsi obat topikal juga terjadi
melalui aparatus pilosebaseus dan saluran kelenjar keringat. Selaput lendir sekitar 1050 kali lebih permeabel dibandingkan kulit, selain karena ketiadaan stratum korneum
juga tidak bisa disingkarkan adanya suhu yang lebih tinggi serta kelembaban yang
lebih tinggi pada selaput lendir. 1,2,3
Stratum korneum merupakan barier utama dan penyimpanan (resorvoir)
pertama dalam penetrasi obat topikal kedalam kulit. Sehingga keadaan yang
mempengharui stratum korneum akan mempengharui penetrasi obat, antara lain
ketebalan stratum korneum yang pada keadaan normal menunjukkan variasi regional,
individu, dan umur, hidrasi, kerusakan stratum korneum atau gangguan keratinisasi.
1,2,3

Absorpsi per kutan larutan hidrokortison 1% pada dahi ternyata 6 kali


dibandingkan lengan bawah, di daerah skrotum sampai sekitar 40 kali dibandingkan
pada lengan, sedangkan pada kulit telapak kaki absorpsi hanya sekitar 1/7
dibandingkan lengan bawah. Variasi ini juga terjadi pada individu yang berbeda. Pada
bayi proses metabolisme dan eliminasi belum berkembang dengan baik, juga rasio
luas

permukaan kulit : berat badan 3 kali dewasa. Sehingga dapat dimaklumi

penetrasi terhadap obat topikal pada bayi jauh lebih tinggi dibandingkan dewasa,
walaupun ketebalan stratum korneum pada bayi, anak dan dewasa relatif tidak
berbeda. Demikian pula bila ditinjau dari reaktifitas mikrosirkulasi, ternyata tidak
dijumpai perbedaan penetrasi obat topikal dipandang dari segi usia.

13

Oklusi dapat meningkatkan absorpsi 10 sampai 100 kali karena peningkatan


hidrasi dan suhu. Sedangkan membasahi kulit sebelum pengolesan kortikosteroid
dapat meningkatkan absorpsi sampai 5 kali. Hal ini dapat dilakukan dengan
merendam dalam air selama sekitar 5 menit lalu segera olesi dengan krim. 3
Absorpsi obat topikal ternyata meningkat pada kelainan kulit yang disertai
gangguan keratinisasi seperti pada psoriasis. Pada lesi psoriasis maka permeabilitas
dari obat-obat yang lipofilik meningkat 5-10 kali, sehingga dengan cukup tingginya
cadangan obat dalam stratum korneum dimungkinkan untuk dilakukan cara kontak
pada pengobatan dengan antralin (sbort contact therapy). Demikian pula absorpsi
obat topikal akan meningkat apabila terjadi kerusakan stratum korneum misalnya
karena bahan kimia seperti pelarut, penambahan keratolitik dan penyakit lain yang
menyebabkan kerusakan stratum korneum seperti kombustio, penyakit kulit berlapuh
dan lain-lain.

Gambar 1. FingerTip Unit (FTU) 2


Jumlah obat yang diberikan pun perlu mendapat perhatian agar cukup sampai
penderita sembuh atau sampai batas waktu penderita harus kontrol lagi. Juga kita
dapat memberikan perkiraan harga obat tersebut, hal ini penting bila harga obat
tersebut cukup mahal seperti kortikosteroid. Rata rata pengolesan 1 gram krim dapat
menutup daerah seluas 10 x 10cm, sedangkan pada bentuk salep daerah yang ditutupi
dapat lebih luas sampai 10%. Jumlah krim atau salep yang diperlukan untuk sekali
pengolesan pada muka atau tangan sekitar 2 gram, untuk sebuah lengan atau dada atau
punggung atas sebanyak 3 gram, untuk sebuah tungkai 4 gram dan untuk seluruh
14

tubuh sebanyak 20-30 gram. Sedang sekali pengolesan seluruh tubuh memerlukan
losio sekitar 50 ml. Frekuensi aplikasi sebanyak 1-2 kali sehari dianggap sudah cukup.
3,5

Beberapa Obat Topikal untuk Penyakit Kulit


Kortikosteroid dalam Dermatologi
Perkembangan dermatoterapi terjadi dengan pesatnya setelah ditemukannya
kortikosteroid. Pada masa kini kortikosteroid merupakan obat yang paling banyak
dipergunakan dalam dermatoterapi baik secara topikal maupun sistemik. Cukup
seriusnya efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian kortikosteroid,
mengharuskan seorang dokter mempertimbangkan secara matang dan teliti antara
keuntungan dan kerugiannya. Untuk ini dibutuhkan pemahaman yang mendalam
mengenai indikasi, kontraindikasi, jenis-jenis kortikosteroid, cara pemberian, serta
efek samping yang dapat terjadi.1,2,3

KORTIKOSTEROID TOPIKAL
Pada masa kini kortikosteroid topikal merupakan sediaan yang paling banyak
dipakai dalam dermatologi, disamping obat-obat antijamur topikal, dan pada saat ini
di pasaran dapat dijumpai tidak kurang dari 70 sediaan kortikosteroid topikal dengan
bermacam-macam nama dagang. Banyaknya sediaan kortikosteroid topikal di pasaran
selain memang karena perbedaan turunan steroidnya, pada umumnya hanya
didasarkan atas perbedaan basis, ada tidaknya kombinasi dengan antimikroba atau
kombinasi dengan bahan-bahan peningkat penetrasi steroid. Beberapa perusahaan
juga memproduksi steroid yang sama tetapi dalam berbagai konsentrasi dan dengan
variasi untuk lokasi lokasi tertentu, seperti untuk kepala atau muka dan sebagainya.3
A. Indikasi kortikosteroid topikal
Penyakit-penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid topikal dapat
digolongkan menjadi: 1,3

15

1. Penyakit-penyakit yang pada umumnya sangat responsif terhadap pengobatan


steroid topikal seperti dermatisis atopik, dermatisis seboroik, dermatisis
numuler, dermatisis kontak alergi dan iritan, psoriasis pada muka dan genital,
liken simpleks, pruritus ani dan dermatisis stasis
2. Penyakit-penyakit yang kurang responsif terhadap steroid topikal seperti lupus
eritematosus diskoid, liken planum, nekrobiosis lipoidika, granuloma anulare,
sarkoidosis dan psoriasis palmo-plantar
B. Pemilihan kortikosteroid topikal
Selain

indikasi

penyakit,

pemilihan

kortikosteroid

topikal

perlu

memperhatikan jenis steroid, basis, lokalisasi, umur penderita dan pemilihan


sediaan kombinasi atau murni. 1,3
Menurut potensinya kortikosteroid topikal dapat digolongkan menjadi 4 jenis,
yaitu golongan I (potensi lemah), golongan II (potensi sedang), golongan III
(potensi kuat) dan golongan IV (potensi sangat kuat). Potensi tersebut didasarkan
atas sifat anti-inflamasi dan sifat antimitosisnya. Kortikosteroid golongan I ada
umumnya mempunyai sifat anti-inflamasi saja, sedangkan golongan IV
mempunyai baik sifat antiinflamasi maupun antimitosis yang sangat kuat.
Golongan II dan III berada diantaranya.

Perbedaan Sifat Berbagai Golongan Steroid Topikal


Golongan

Potensi

antiinflamasi

antimitosis

lemah

II

sedang

++

III

kuat

+++

++

IV

Sangat kuat

++++

+++

16

Kortikosteroid topikal tersedia dalam berbagai basis, seperti salep, krim, losio,
jeli, aerosol dan tingtura. Untuk pemilihan basis perlu dipertimbangkan faktor
akseptibilitas penderita, kosmetika serta harus diingat prinsip-prinsip dasar
pemakaian topikal. 3
C. Dosis dan cara pemberian
Pada umumnya kortikosteroid topikal sudah cukup di oleskan 1-2 kali sehari.
Pengolessan beberapa kali sehari ternyata tidak jauh berbeda dengan pengolesan
1-2 kali sehari, bahkan akan mempercepat timbulnya takifilaksis, yaitu
berkurangnya efek terapeutik setelah dipakai beberapa kali. Pengolesannya juga
cukup dilakukan tipis karena selain karena efek terapeutiknya sudah cukup
maksimal, juga ekonomis dan tidak mengotori kulit dengan adanya kerak salep
atau krim yang tebal. 3,7
Untuk lesi yang berat dapat diberikan steroid kuat untuk terapi inisial,
kemudian di ganti dengan steroid sedang atau lemah untuk terapi pemeliharaan.
Pada beberapa dermatosis yang kurag responsif terhadap steroid, penetrasi
steroid dapat di tingkatkan selain dengan penambahan bahan-bahan seperti
propilen glikol atau urea, dapat juga dilakukan dengan cara okusi, yaitu menutup
lesi yang telah di olesi kortikosteroid dengan bahan impermeabel (polietilen atau
plastik) sehingga udara akan keluar dan stratum korneum menjadi lembab yang
akan meningkatkan permeabilitas stratum korneum tersebut. Dengan cara oklusi
dikatakan potensi steroid dapat di tingkatkan sampai 10 kali (Malibach, 1976).
Oklusi sebaiknya dilakukan pada malam hari, tetapi di hindari cara oklusi ini
untuk lesi yang luas.
D. Efek samping penggunaan kortikosteroid topikal
Ternyata semakin poten sediaan kortikosteroid topikal, semakin besar pula
kemungkinan efek samping yang terjadi. Pemakaian yang terlalu lama akan
meningkatkan risiko timbulnya efek samping ini. Sehingga pemakainan steroid
yang poten seyogyanya tidak lebih dari 2-3 minggu. Efek samping ini berisfat
lokal maupun sistemik. 3,7
Efek Lokal 3,7
17

1. Kerusakan kulit berupa atropi kulit, telangiektasis, purpura atau striae.


Efek samping pada kulit inilah yang dipakai sebai evaluasi apakah suatu
steroid topikal dianggap aman atau tidak.
2. Infeksi atau infestasi dapat terjadi setelah pemakaian kortikosteroid jangka
lama, terutama kalau digunakan secara oklusi, dapat berupa kandida,
bakteria, atau meluasnya impetigo. Tinea inkognito dapat terjadi karena
kesalahan terapi tinea dengan kortikosteroid.
3. Efek lain yang dapat terjadi misalnya akne steroid, dermatitis perioral,
gangguan pigmentasi baik hipo maupun hiperpigmentasi dan granulomata
pada kulit. Reaksi alergi juga pernah dilaporkan pada pemakaian
kortikosteroid topikal.
4. Pada individu tertentu pada pemakaian kortikosteroid jangka lama dapat
menyebabkan rambut pada muka tumbuh subur.
a. Efek sistemik
Kortikosteroid topikal, khususnya yang mempunyai potensi kuat dan
dipakai untuk jangka panjang dengan konsentrasi yang tinggi atau oklusi
dapat menimbulkan efek sistemik seperti kortikosteroid sistemik.

Antijamur dalam Dermatologi


Penyakit jamur superfisialis adalah penyakit kulit yang sering dijumpai di
pusat-pusat pelayanan kesehatan di Indonesia.

1,3

Dan pada masa kini cukup

banyak obat-obat antijamur untuk jamur superfisial baik yang di pakai secara
topikal maupun sistemik. Membanjirnya jenis-jenis obat antijamur tersebut
dipasaran mengharuskan seorang dokter dapat memilih dengan tepat obat-obat
anti jamur yang diperlukan.
Obat antijamur topikal yang lama pada umumnya mempunyai aktivitas
antijamur yang lemah, spektrumnya sempit dan kadang-kadang menyebabkan
iritasi, tetapi harganya murah. Sebaliknya obat-obat antijamur topikal yang baru
umumnya mempunyai anktivitas jamur yang kuat, spektrumnya luas, tersedia
18

dalam sediaan yang menyenangkan, tetapi harganya mahal. Untuk itu pemilihan
obat antijamur harus didasarkan atas diagnosis yang tepat, anatomi atau lokasi
lesi, derajat dan luasnya lesi, dan pertimbangan harga. 4
Ada bermacam-macam obat antijamur topikal, dengan variasi potensi dan efek
sampingnya. Kebanyakan sediaan topikal yang lama, seperti asam benzoat dan
asam undesilenat mempunyai aktivitas jamur rendah yang hanya mengantungkan
efek keratolitiknya saja. Selain itu obat-obat ini kebanyakan bersifat iritatif,
sehingga dianjurkan pengunaannya terbatas pada lesi-lesi noninflamai dan tidak
aktif. 4,5
Secara garis besar obat-obat antijamur topikal dapat di golongkan menjadi 11
golongan:3,4
1. Golongan asam-asam organik
2. Golongan asam undesilenat
3. Golongan sulfur
4. Golongan zat warna trifenilmetan
5. Golongan hidroksikuinolon
6. Golongan tiokarbonat
7. Golongan antbiotik polien
8. Golongan haloprogin
9. Golongan imidazol
10. Golongan siklopiroksolamin
11. Golongan alilamin
1. Golongan asam organik
Yang termasuk golongan ini adalah asam salisilat dan asam benzoat. Kedua
obat ini biasanya terdapat dalam sediaan kombinasi salep Whietfield, yang terdiri
atas 3% asam salisilat dan 6% asam benzoat (USP). Sediaan ini bersifat
19

keratolitik, sehingga pengaruhnya terhadap infeksi jamur mungkin melalui proses


deskuamasi (Smith, 1982). Pengunaannya cukup dioleskan dua kali sehari, selama
2-4 minggu. Efek samping yang tersering adalah iritasi jika dipergunakan pada
lesi yang terbuka atau pada daerah lipatan, walaupun jarang, jika di gunakan pada
lesi yang luas atau pada penderita dengan kegagalan ginjal, dapat menimbulkan
gejala salisilismus berupa nyeri abdominal, muntah, tinitus, takipnu, dan asidosis
(Lesher & Smith, 1987). Walaupun demikian sediaan ini masih banyak dipakai
dalam praktek-praktek sehari-hari karena harganya murah.
2. Golongan asam undesilenat
Juga merupakan obat lama namun kurang iritatif dibandingkan salep
whietfield. Biasanya terdapat dalam camputran dengan bentuk garamnya. Cukup
efektif untuk golongan dermatofit tetapi tidak untuk kandida. Mekanisme
kerjanya tidak diketahui secara pasti. Biasanya dipergunakan dua kali sehari, ratarata selama 4 minggu.
3. Golongan sulfur
Golongan ini terutama dipergunakan untuk mengobati tinea versikolor (panu).
Biasanya diberikan dalam bentuk solutio natrium tiosulfat 20-25% dan suspensi
selenium sulfida 2,5% (saat ini dipasaran hanya tersedia suspensi selenium sulfida
1,8% dalam bentuk sampo)
4. Golongan zat warna trifenilmetan
Termasuk golongan ini adalah gentian violet dan magenta (basic fuchsin).
Efek terapeutiknya agak lambat dan biasanya dipergunakan untuk lesi-lesi basah
dengan infeksi sekunder. Dalam praktek gentian violet dipergunakan dalam
larutan 1-2% untuk kandidiasis, sedangkan magenta dalam campuran dengan
resorsinol dalam cat Castellani. Efek samping yang kurang di sukai selain karena
iritasinya, golongan ini mewarnai kulit dan pakaian.
5. Golongan hidrosikuinolon
Kliokuinol (iodohidroksikuinolon) dan iodokuinol (chinoform) merupakan
sediaan yang sering dipergunakan secara topikal. Biasanya di kombinasi dengan
antiradang hidrokortison. Selain sifat antijamur golongan ini juga memiliki sifat
20

antibakteri ringan. Jarang terjadi sensitisasi atau iritasi. Pengunaan sistemik


dilaporkan dapat menyebabkan neuropati mielooptik subakt walaupun secara
topikal masih dipertanyakan.
6. Golongan tiokarbonat
Termasuk golongan ini adalah tolnaftat dan toksilat. Tolnaftat merupakan
antijamur yang sangat efektif terhadap dermatofitosis dan infeksi Pityrosporum
orbiculare tetapi tidak pada kandida. Mekanisme kerjanya adalah dengan
menghambat epoksidasi skuelen pada membran sel jamur, jarang menyebabkan
iritasi. Biasanya dipergunakan 2 kali sehari selama 2-4 minggu dan dilanjutkan 2
minggu setelah gejala klinis menghilang. Tersedia dalam bentuk salep, krim,
solutio 1%. Tolsiklat merupakan turunan baru dari tiokarbonat yang lebih efektif
daripada tolnaftat, karena larut dalam lemak., di indonesia tersedia dalam bentuk
krim, losio dan bedak dengan konsentrasi 1%.
7. Golongan antibiotik polen
Yang termsuk golongan ini adalah nistatin dan amfoterisin B. Kerjanya
melalui ikatan sterol membran sel, yang akan menyebabkan gangguan
permeabilitas sehingga kebocoran dan kematian sel jamur. Nistastin merupakan
obat antijamur spesifik pertama, sangat efektif secara topikal terhadap infeksi
kandida pada kulit dan mukosa. Jarang menyebabkan iritasi . tersedia dalam
bentuk krim dan supositoria vagina.
Ampoterisin B juga efektif terhadap kandidiasis kulit dan mukokutan, namun
biasanya tersedia dalam campuran dengan antiradang dan antibakteri. Selain
dipergunakan secara topikal juga golongan antibiotik polen juga sering
dipergunakan secara sistemik maupun peroral.
8. Golongan Haloprogin
Golongan haloprogin (triklorofenoliodin) merupakan antijamur topikal sintetik
pertama dengan spektrum yang luas. Obat ini efektif baik terhadap dermatofita
maupun ragi sehingga dapat dipakai untuk semua jenis jamur superfisial.
Mekanisme kerjanya tidak diketahui dengan pasti, mungkin melalui gangguan
pada sel. Sedikit lebih baik daripada tolnaftat, tetapi kurang efektif di bandingkan
21

golongan imidazol. Efek sampingnya dapat berupa iritasi dan rasa terbakar. Di
pasaran tersedia hanya dalam bentuk salep.
9. Golongan imidazol
Penemuan obat antijamur golongan imidazol di anggap merupakan revolusi
baru dalam bidang pengobatan penyakit jamur, karena hampir semua persyaratan
obat antijamur yang sekaideal terpenuhi. Selain kemanfaatannya tinggi,
spektrumnya luas dan hampir tanpa efek samping, sehingga tidak aneh kalau
banyak pabrik obat sekarang berlomba-lomba memproduksi obat ini.
Mekanisme kerjanya dengan menghambat sintesis ergosterol, suatu unsur
yang penting untuk intergritas membran sel. Dalam konsentrasi rendah bersifat
fungistatik dan dalam konsentrasi tinggi bersifat fungisid.
Beberapa turunan imidazol yang saat ini telah beredar di pasaran antara lain:
klotrimoxazol, mikonaziol, ekonazol, tionazol, bifonazol, ketokonazol. Bifonazol
dan ketokonazol merupakan derivat imidazol yang mempunyai kelebihan yaitu
cukup dioleskan sekali dengan efektifitas yang sama. Preparat- preparat tersebut
dalam bentuk krim, losio, atau bedak.

10. Golongan siklopiroksolamin


Obat golongan ini merupakan obat antijamur topikal yang tidak ada
hubungannya dengan golongan imidazol dan menunjukkan aktivitas yang luas
tidak hanya terhadap dermatofita tetapi juga terhadap bakteri gram positif dan
negatif. Obat ini bekerja secara fungisid melalui penimbunan dalam sel dan
melalui perubahan ion transport transmembran dari ion-ion dan asam amino yang
menyebabkan hilangnya integritas membran sel. Obat ini tampaknya juga
mengadakan penetrasi dengan baik terhadap keratin, sehingga dapat dipergunakan
untuk infeksi jamur pada kuku. Tersedia dalam bentuk krim dan losio dengan
konsentrasi 1%.
11. Golongan alilamin

22

Yang termasuk golongan ini adala naftitin. Kerjanya melalui epoksidase skualen
dan menghambat sintesis ergosterol, lanosterol dan kolesterol pada membran sel.
Obat ini dikatakan sangat baik terhadap dermatofita dan hanya berefek sedang
pada kandida.

KESIMPULAN
Pengobatan topikal adalah pemberikan obat secara lokal pada kulit atau pada
membran pada area mata, hidung, lubang telinga, vagina dan rectum Tujuannya
adalah untuk mengadakan hemostasis yaitu mengembalikan kulit yang sakit dan
jaringan sekitarnya ke keadaan fisiologik stabil secepat-cepatnya. Disamping itu untuk
menghilangkan gejala-gejala yang menganggu, misalnya rasa gatal dan panasBahan
dasar untuk pembuatan obat topikal dikenal ada 3 macam : (1) bahan padat berbentuk
serbuk atau bedak, (2) lemak atau minyak, (3) bahan cair. Dari ketiga macam macam
bahan dasar ini dapat dibuat berbagai macam kombinasi komposisi dari basis atau
bahan dasr suatu obat topikal sesuai dengan jenis dermatosis. Adapun prinsip- prinsip
pemilihan obat antara lain basis obat untuk radang akut, basis obat untuk radang
subakut, basis obat untuk radang kronis. Bahan-bahan Aktif untuk pengobatan topikal
antara lain asam benzoat (acidum benzoicum), asam borat (acidum borcium) ,
dipergunakan sebagai antiseptik ringan dan astringensia ringan dalam konsentrasi 13%, asam salisilat (acidum salicylicum), dermatol (bismuthi subgallas), Derivat fenol,
Ikatan perak (Ag), ikatan halogen, ikatan yang mengoksidasi yaitu hidrogen peroksida
dan kalium permanganat, alkohol dan derivatnya, selain sebagai bahan dasar juga
mempunyai sifat aktif, misal Etil Alkohol 70% dipergunakan sebagai antiseptik,
formaldehid (formalin) bersifat antiseptik dan astringensia, mentol (mentobolum)
berupa kristal tak berwarna larut dalam alkohol, parafin dan lemak, Gentian violet
(metbylrosanilinii), Vioform (hydroxyquinoline), seng oksida (zinc oxidum), sulfur
presipitatum, iktiol (ichtammol), derivat tir lainnya seperti oleum kadini, liquor
carbonis detergens (tir batubara), tir olie, selain bersifat antiradang juga bersifat
antimitotik, antiparasit, dan antipruritus. 3,4,5
Pemilihan bahan aktif ada beberapa yang harus diperhatikan yaitu a). Zat akitf
harus sesuai dengan diagnosis, misal skabies di obati dengan sulfur (salep2-4), tinea
glabrosa dengan mikonazol, dan sebagainya, b). Zat aktif harus larut dalam basis obat
23

yang terpilih. Ada perbedaan pandangan antara ahli faramasi dan ahli kulit. c). Zat
aktif harus tidak merusak komposisi basis obat. d). Banyak penyakit kulit yang dapat
disembuhkan hanya dengan efek fisikokimia dari basis obat, tanpa zat aktif di
dalamnya. Atau zat aktif diberikan secara oral jika memungkinkan. Misalnya sering
kita gunakan larutan kalium permanganas (PK). Penetrasi Obat Topikal dan difusi
suatu obat topikal ke dalam kulit bergantung kepada faktor obat, serta faktor keadaan
kulit sendiri. Faktor obat antara lain struktur kimiawi, besar molekul, konsentrasi
obat, jenis basis, pelepasan bahan aktif dari basis dan cara penggunaannya. Sedang
faktor keadaan kulit antara lain stratum korneum, sirkulasi darah dalam dermis,
kepadatan folikel rambut dan kelenjar keringat, serta PH kulit.4,5
Perkembangan dermatoterapi terjadi dengan pesatnya setelah ditemukannya
kortikosteroid. Pada masa kini kortikosteroid merupakan obat yang paling banyak
dipergunakan dalam dermatoterapi baik secara topikal maupun sistemik. Cukup
seriusnya efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian kortikosteroid,
mengharuskan seorang dokter mempertimbangkan secara matang dan teliti antara
keuntungan dan kerugiannya. Pada masa kini kortikosteroid topikal merupakan
sediaan yang paling banyak dipakai dalam dermatologi.3,6
Penyakit jamur superfisialis adalah penyakit kulit yang sering dijumpai di pusatpusat pelayanan kesehatan di Indonesia. Dan pada masa kini cukup banyak obat-obat
antijamur untuk jamur superfisial baik yang di pakai secara topikal maupun sistemik.
Membanjirnya jenis-jenis obat antijamur tersebut dipasaran mengharuskan seorang
dokter dapat memilih dengan tepat obat-obat anti jamur yang diperlukan. Ada
bermacam-macam obat antijamur topikal, dengan variasi potensi dan efek
sampingnya. Secara garis besar obat-obat antijamur topikal dapat di golongkan
menjadi 11 golongan yaitu 1). golongan asam-asam organik, 2). golongan asam
undesilenat, 3). golongan sulfur, 4). golongan zat warna trifenilmetan, 5). golongan
hidroksikuinolon, 6). golongan tiokarbonat, 7). golongan antbiotik polien, 8).
golongan haloprogin, 9). golongan imidazol, 10). golongan siklopiroksolamin, 11).
golongan alilamin.3,4,5

24

25

Anda mungkin juga menyukai