Disusun oleh:
M. Firdaus
(061092xxxx)
Rosita Ardhyasari
(0610923058)
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2009
BAB I
PENDAHULUAN
diperlukannya peralatan pertanian, seperti didarat, didalam budidaya alga, tanpa penyemaian
benih, gas CO2 yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan adanya
pengambilan hasil panen yang kontinyu mengingat singkatnya waktu tanam alga yaitu satu
minggu (Soerawidjaja, 2005). Keunggulan alga dibandingkan bahan nabati lain adalah proses
pengambilan minyak dilakukan tanpa penggilingan dan langsung diekstrak dengan bantuan
zat pelarut (ekstraksi CO2, ekstraksi ultrasonik, dan osmotik). Prediksi Schultz (2006) akan
dihasilkan minyak alga sebesar 7660 liter untuk setiap hektar alga yang ditanam. Angka
tersebut lebih besar dibandingkan dengan minyak nabati yang diperoleh dari tumbuhantumbuhan untuk luas lahan yang sama.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan antara lain:
1. Bagaimanakah proses pembuatan biodiesel dari alga spirulina?
2. Bagaimanakah efektifitas dan prospek jangka panjang biodiesel dari alga spirulina?
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka dalam makalah ini
dibatasi pada pembuatan biodiesel dari minyak yang terkandung dalam alga spirulina dan
efektifitas serta prospek jangka panjang biodiesel dari alga spirulina.
1.4 Tujuan Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Alga Spirulina Sp
Alga merupakan tumbuhan autrotrof dan fotosintesis. Alga mempunyai bentuk yang
bermacam-macam, ada yang menyerupai benang dan ada yang berbentuk tumbuhan tinggi.
Ciri utamanya adalah tidak mempunyai alat berupa akar, batang, dan daun sesungguhnya
seperti yang dimiliki oleh tumbuhan besar lainya (www.ristek.go.id).
Dalam artikelnya Michael Briggs mengatakan bahwa alga adalah tumbuhan yang
paling efektif proses fotosintesisnya.Hal ini karena alga mampu mengoptimalkan sinar
matahari dalam proses fotosintesis, walaupun sinar matahari terhalang oleh permukaan air
(Briggs, 2004). Alga sangat besar perananya dalam biogeochemistry, yaitu sebagai bagian
penting dari siklus N (nitrogen), O (oksigen), S (Belerang), P (phosphate), dan C (karbon)
(Graham dan Wilcox, 2000).
Alga dibagi menjadi 9 Phylum yaitu Cyanobacteria, Glaucophyta, Euglenophyta,
Cryptophyta, Haptophyta, Dinophyta, Ochrophyta (salah satu jenisnya adalah Alga coklat),
Rhodophyta (Alga hijau), dan Chlorophyta (Alga merah). Menurut ukuranya alga dibedakan
menjadi dua jenis yaitu macroalgae, yang berukuran besar dan microalgae, yang berukuran
mikrometer (Graham dan Wilcox, 2000). Macroalga dibagi menjadi 3 jenis, yaitu (1) Alga
coklat, yang dapat mencapai ukuran paling besar, biasa disebut dengan seaweed (rumput
laut), (2) Alga hijau, dan (3) Alga merah (en.wikipedia.org).
Microalgae (Alga mikro) merupakan jenis ganggang yang paling banyak
dikembangkan untuk keperluan riset dan teknologi. Hal ini karena microalgae mempunyai
beberapa keuntungan, yaitu pertumbuhanya lebih cepat dan kandungan fatty acid lebih besar
(Cohen, 1999; Sheehan dkk, 1998).
Dua faktor terpenting yang dibutuhkan bagi pertumbuhan alga adalah sinar matahari
yang cukup dan karbondioksida. Selain itu alga juga membutuhkan beberapa nutrisi
tambahan seperti nitrogen, phosphate, dan zat besi agar pertumbuhanya cepat dan optimal.
Beberapa jenis alga juga membutuhkan silikon (Graham dan Wilcox, 2000).
Alga dapat berkembang pada air laut dan air tawar, bahkan pada daerah yang basah
dan lembab seperti pegunungan dan derah salju. Alga mempunyai ukuran yang bervariasi,
dari yang panjangnya satu mikrometer sampai raksasa laut yang tingginya lebih dari 50 meter
(Graham dan Wilcox, 2000). Alga sejenis rumput laut (seaweed) tingginya dapat mencapai 70
meter. Alga dalam bentuk mikro biasa disebut dengan phytoplankton yang merupakan sumber
rantai makanan dilaut (en.wikipedia.org).
Jenis alga yang sudah dikenal dan dibudidayakan di Indonesia adalah rumput laut
(seaweed). Rumput laut berbentuk koloni dan berkembang pada perairan yang dangkal, pesut
jernih, berpasir, dan berlumpur. Rumput laut biasanya menempel pada karang mati, potongan
kerang, dan substrat yang keras lainya, baik yang terbentuk secara alami atau buatan
(artificial) (www.ristek.go.id).
2.2 Kandungan Alga
Menurut Sheehan dkk (1998) dari departemen energi Amerika Serikat, ada 3
komponen zat utama yang terkandung dalam alga, yaitu (1) Karbohidrat, (2) protein, dan (3)
Triacyglycerols. Karbohidrat dapat difermentasikan menjadi alkohol, protein dapat diolah
menjadi produk makanan dan kecantikan, dan Triacyglycerols dapat diubah fatty acid.
Kombinasi dari pemanfaatan 3 komponen diatas dapat menghasilkan makanan ternak.
Komposisi Kimia
Protein
Karbohidrat
Lemak
Nucleic Acid
Scenedesmus obliquus
50-56
10-17
12-14
3-6
Scenedesmus quadricauda
47
1.9
Scenedesmus dimorphus
8-18
21-52
16-40
Chlamydomonas rheinhardii 48
17
21
Chlorella vulgaris
51-58
12-17
14-22
4-5
Chlorella pyrenoidosa
57
26
33-64
11-21
Dunaliella bioculata
49
Dunaliella salina
57
32
Euglena gracilis
39-61
14-18
14-20
Prymnesium parvum
28-45
25-33
22-38
1-2
Tetraselmis maculata
52
15
Porphyridium cruentum
28-39
40-57
9-14
Spirulina platensis
46-63
8-14
49
2-5
Spirulina maxima
60-71
13-16
6-7
3-4.5
Synechoccus sp.
63
15
11
Anabaena cylindrica
43-56
25-30
4-7
Tabel 1 Komposisi Kimia Alga Ditunjukkan dalam Zat Kering (%)(Sumber: Becker, (1994))
akan mengubah trigliserida menjadi alkil ester. Tujuannya adalah untuk menurunkan
viskositas minyak dan meningkatkan daya pembakaran sehingga dapat digunakan sesuai
standar biodiesel (Anonimb, 2008).
Mekanisme reaksi transesterifikasi dari minyak tanaman menggunakan katalis basa
ditunjukkan pada Gambar 4:
BAB III
METODOLOGI
Pembuatan biodisel tidak hanya memerlukan bahan baku saja, tetapi juga memerlukan
alkohol (methanol atau ethanol), yang jumlahnya sekitar 10 % dari campuran (Briggs, 2004). Alkohol
berguna untuk menurunkan viskositas minyak nabati dengan proses esterifikasi, sehingga biodiesel
mempunyai sifat-sifat yang mirip dengan minyak diesel (Rahman, 1995). Alkohol dapat diperoleh
dengan cara fermentasi karbohidrat yang terkandung dalam alga. Karbohidrat merupakan produk sisa
dari alga setelah diambil minyak nabatinya (Sheehan, 1998).
Dalam artikelnya Briggs (2004) mengatakan bahwa sebelum diproses menjadi biodiesel alga harus
diekstraksi terlebih dahulu menjadi minyak nabati. Menurut Sheehan dkk (1998) ada beberapa
tahapan untuk mendapatkan biodiesel dari alga , yaitu :
1. Pengeringan.
2. Ekstraksi Alga menjadi minyak nabati.
3. Esterifikasi minyak nabati menjadi Methyl ester.
Bahan penelitian utama, Spirulina Sp. kering merupakan produk komersial
dan reagen yang digunakan adalah pure analit, meliputi: etanol, HCl dan n-heksan.
Ekstraksi dilakukan skala laboratorium menggunakan labu alas bulat berleher tiga
dilengkapi pendingin balik, termometer dan pengaduk magnetik. Suhu reaksi dijaga
pada 300C menggunakan penangas air dan tekanan atmosferik. Estraksi dilakukan
dengan dua metode yang berbeda yaitu: osmotik (pelarut HCl) dan perkolasi (pelarut
etanol). Adapun variabel penelitian yang diteliti sebagai berikut: untuk metode
osmotik, dipelajari pengaruh volume pelarut (75, 150, dan 200 mL), konsentrasi
larutan (0,5; 1,5; 3; 5 M) dan waktu ekstraksi (60, 90, 120, 150, 180 dan 360 menit).
Sedangkan untuk metode perkolasi, dipelajari pengaruh volume pelarut (75, 150,
dan 200 mL) dan waktu ekstraksi (60, 90, 120, 150, 180 dan 360 menit). Selain itu,
dilakukan ekstraksi menggunakan soxhlet dengan pelarut n-heksan yang digunakan
sebagai metode pembanding dan dasar perhitungan yield minyak alga yang didapat.
Diagram alir penelitian untuk kedua metode secara lengkap di tampilkan pada
Gambar 1 dan Gambar 2.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pengambilan minyak dari alga masih merupakan proses yang mahal sehingga masih harus
dipertimbangkan untuk menggunakan alga sebagai sumber biodiesel. Terdapat beberapa
metode terkenal untuk mengambil minyak dari alga, antara lain:
1. Pengepresan(Expeller/Press)
Pada metode ini alga yang sudah siap panen dipanaskan dulu untuk menghilangkan
air yang masih terkandung di dalamnya. Kemudian alga dipres dengan alat pengepres
untuk mengekstraksi minyak yang terkandung dalam alga. Dengan menggunakan alat
pengepres ini, dapat diekstrasi sekitar 70 75% minyak yang terkandung dalam alga.
2. Hexane
solvent
oil
extraction
Minyak dari alga dapat diambil dengan menggunakan larutan kimia, misalnya dengan
menggunakan benzena dan eter. Namum begitu, penggunaan larutan kimia heksana
lebih banyak digunakan sebab harganya yang tidak terlalu mahal.
Larutan heksana dapat digunakan langsung untuk mengekstaksi minyak dari alga atau
dikombinasikan dengan alat pengepres. Cara kerjanya sebagai berikut: setelah minyak
berhasil dikeluarkan dari alga dengan menggunakan alat pengepres, kemudian ampas
(pulp) alga dicampur dengan larutan cyclo-hexane untuk mengambil sisa minyak alga.
Proses selanjutnya, ampas alga disaring dari larutan yang berisi minyak dan cyclohexane. Untuk memisahkan minyak dan cyclo-hexane dapat dilakukan proses
distilasi. Kombinasi metode pengepresan dan larutan kimia dapat mengekstraksi lebih
dari
95%
minyak
yang
terkandung
dalam
alga.
Sebagai catatan, penggunaan larutan kimia untuk mengekstraksi minyak dari
tumbuhan sangat beresiko. Misalnya larutan benzena dapat menyebabkan penyakit
kanker, dan beberapa larutan kimia juga mudah meledak.
3. Supercritical
Fluid
Extraction
Pada metode ini, CO2 dicairkan dibawah tekanan normal kemudian dipanaskan
sampai mencapai titik kesetimbangan antara fase cair dan gas. Pencairan fluida inilah
yang bertindak sebagai larutan yang akan mengekstraksi minyak dari alga.
Metode ini dapat mengekstraksi hampir 100% minyak yang terkandung dalam alga.
Namun begitu, metode ini memerlukan peralatan khusus untuk penahanan tekanan.
Beberapa metode yang kurang terkenal:
1. Osmotic Shock
Dengan menggunakan osmotic shock maka tekanan osmotik dalam sel akan berkurang
sehingga akan membuat sel pecah dan komponen di dalam sel akan keluar. Metode
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA