Anda di halaman 1dari 37

BIO EKOLOGI DAN PENGELOLAAN

PENYU HIJAU, PENYU BELIMBING, PENYU SISIK

PAPER

Oleh :
DWIKINA ROSA AGUSTA
4812519985

PROGRAM DIPLOMA IV
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN
SEKOLAH TINGGI PERIKANAN
JAKARTA
2014

BIO EKOLOGI DAN PENGELOLAAN PENYU HIJAU, PENYU


BELIMBING, PENYU SISIK
PAPER I
Tugas ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Ujian Akhir Semester IV pada Sekolah Tinggi Perikanan

Oleh :
Dwikina Rosa Agusta
NRP : 4812519985

PROGRAM DIPLOMA IV
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN
SEKOLAH TINGGI PERIKANAN
JAKARTA
2014

LEMBAR PENGESAHAN

Nama

: Dwikina Rosa Agusta

NRP

: 4812519985

Judul

: Bio Ekologi dan Pengelolaan Penyu Hijau, Penyu


Belimbing, Penyu Sisik

Program Studi

: Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Jurusan

: Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Menyetujui ,

HERI TRIYONO, A.Pi. M.Kom.


Dosen Pembimbing

Tanggal Pengesahan :

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Paper yang berjudul
Bio Ekologi dan Pengelolaan Penyu Hijau, Penyu Belimbing, Penyu Sisik.
Dengan selesainya paper ini, penulis megucapkan terima kasih kepada
Bapak Heri Triyono, A.Pi. M.Kom. selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan Paper I ini.
Pada penulisan paper ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
1.

Bapak Ir. Tatang Taufiq Hidayat, M.Si, selaku Ketua Sekolah Tinggi
Perikanan.

2.

Bapak Dr. Tb. Haeru Rahayu, A.Pi ,M.Si, selaku Kepala BAPPL-Serang.

3.

Bapak Sinung Rahardjo S.Pi.M.Si, selaku Ketua Jurusan Teknologi


Pengelolaan Sumberdaya Perairan.

4.

Ibu Dra. Ratna Suharti, selaku Ketua Program Studi Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan.

5.

Kedua orang tua yang telah memberi dukungan baik secara moril dan
materiil.

6.

Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Paper I ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna
penyempurnaan penulisan Paper I ini.

Serang ,

2014

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii


DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iv
1. PENDAHULUAN .......................................................................................

1.1 Latar Belakang .................................................................................

1.2 Tujuan ..............................................................................................

1.3 Batasan Masalah ..............................................................................

2. MORFOLOGI DAN PENYEBARAN PENYU ..........................................

2.1 Morfologi ........................................................................................

2.1.1 Morfologi Penyu Hijau ( Chelonia mydas ) ..........................

2.1.2 Morfologi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) ..........

2.1.3 Morfologi Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) .................

2.2 Habitat dan Penyebaran ...................................................................

2.2.1 Habitat dan Penyebaran Penyu Hijau ....................................

2.2.2 Habitat dan Penyebaran Penyu Belimbing ..............................

2.2.3 Habitat dan Penyebaran Penyu Sisik ..................................... 10


2.3 Populasi Penyu ................................................................................

11

2.3.1 Populasi Penyu Hijau ............................................................

11

2.3.2 Populasi Penyu Belimbing ....................................................

12

2.3.3 Populasi Penyu Sisik .............................................................

14

3. BIO EKOLOGI PENYU .............................................................................

15

3.1 Reproduksi ......................................................................................

15

3.1.1 Reproduksi Penyu Hijau ......................................................

15

3.1.2 Reproduksi Penyu Belimbing ..............................................

16

3.1.3 Reproduksi Penyu Sisik .......................................................

17

3.2 Habitat bertelur ..............................................................................

17

3.2.1 Habitat Bertelur Penyu Hijau ..............................................

17

3.2.2 Habitat Bertelur Penyu Belimbing ......................................

18

3.2.3 Habitat Bertelur Penyu Sisik ..............................................

18

3.3 Siklus Hidup Penyu Secara Umum ..............................................

19

4. UPAYA PEGELOLAAN PENYU ............................................................

21

4.1 Perlindungan Penyu

....................................................................

21

4.2 Upaya Pengelolaan Penyu .............................................................

25

5. PENUTUP ..................................................................................................

28

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

29

DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1 : Susunan sisik Penyu Hijau ( Chelonia myadas ) ......................

Gambar 2 : Penyu Belimbing Dewasa ........................................................

Gambar 3 : Morfologi Penyu sisik ..............................................................

Gambar 4 : Jumlah sarang telur (nests) penyu Hijau ( Chelonia mydas )


pertahun di Pulau Sangalaki, Kalimantan Timur. Garis putus
putus menunjukkan kecenderungan ( penurunan ) linier ........

12

Gambar 5 : Jumlah sarang telur ( nests ) penyu Belimbing (Dermochelys


coriacea ) per musim di pantai peneluran Jamursba Medi,
Papua. Garis putus putus menunjukkan kecenderungan
( penurunan ) linier ....................................................................
Gambar 6 : Jumlah sarang

13

telur ( nests ) penyu sisik ( Eretmochelys

imbricata ) per tahun di pantai peneluran Taman Nasional


Alas Purwo Jawa Timur. Garis putus putus menunjukkan
kecenderungan ( penurunan ) linier .........................................
Gambar 7 : Siklus Hidup Penyu Hijau Secara Umum ................................

15
21

1. PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam

jarak yang jauh disepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia
Tenggara. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan
manusia yang membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak
langsung.
Dari tujuh jenis penyu di dunia, tercatat enam jenis penyu yang hidup di
perairan Indonesia yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys
imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator
depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan
(Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja
(1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta
dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa
Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia.
Pergeseran fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai dan
ruaya pakan, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik
konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu
dan telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor penyebab penurunan
populasi penyu. Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang
(terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai
kondisi stabil (kelimpahan populasi konstan selama 5 tahun terakhir) dapat
memakan waktu cukup lama sekitar 30 40 tahun, maka sudah seharusnya
pelestarian terhadap satwa langka ini menjadi hal yang mendesak.
Secara formal, pemerintah Indonesia telah berusaha melindungi penyu dari
kepunahan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam peraturan pemerintah tersebut
ditetapkan semua jenis penyu dilindungi. Beberapa tempat juga telah ditetapkan

sebagai kawasan perlindungan penyu di Indonesia di antaranya, Taman Nasional


Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwo, Suaka Margasatwa Jamursba Medi Irian
Jaya dan lain-lain.
Salah satu usaha perlindungan adalah dengan menyelamatkan telur penyu
di pantai, membesarkan dan melepas ke laut. Namun permasalahan yang muncul
akibat kurang pengetahuan pelaksana dan pendanaan ternyata banyak telur penyu
yang tidak menetas dan anak penyu yang mati selama perawatan. Ayomi, 2003
mengungkapkan keberhasilan menetas translokasi telur dari pantai di Pantai Bremi
Manokwari hanya sebesar 18%. Setelah anak penyu (tukik) menetaspun kematian
cukup tinggi, Yosephine, 2001 melaporkan banyak tukik mati karena kanibal pada
pembesaran penyu di Kepulauan Seribu; Helena, 2004 juga melaporkan selama tiga
bulanan antara Juli sampai dengan September rata-rata 20 ekor tukik mati tiap
harinya di pembesaran penyu Taman Nasional Alas Purwo. TEB, 2004 juga
menemukan puluhan tukik mati tiap harinya dalam pembesaran penyu di Sukamade
Taman Nasional Meru Betiri.
Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia diberikan
status dilindungi oleh Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Bahkan
pemerintah secara terus-menerus mengembangkan kebijakan-kebijakan yang
sesuai dalam upaya pengelolaan konservasi penyu dengan melakukan kerjasama
regional seperti IOSEA-CMP, SSME dan BSSE. Munculnya UU No. 31 tahun 2004
tentang perikanan dan PP 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan
membawa nuansa baru dalam pengelolaan konservasi penyu.

1.2

Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan paper ini, yaitu :
1. Mengetahui jenis jenis penyu yang tersebar di wilayah Indonesia.
2. Mengetahui morfologi, habitat dan populasi penyu.

3. Mengetahui upaya yang dilakukan untuk melindungi ataupun mengelola


kelestarian hidup penyu hijau, sisik, dan belimbing.

1.3

Batasan Masalah
Paper ini hanya dibatasi pada morfologi dan bio ekologi ( reproduksi,

habitat bertelur, dan siklus hidup ) serta upaya pengelolaan penyu sisik, penyu hijau,
dan penyu belimbing.

2. MORFOLOGI DAN PENYEBARAN PENYU


2.1 Morfologi
2.1.1 Morfologi Penyu Hijau ( Chelonia mydas )
Penyu hijau betina yang siap bertelur ( nesting female ) memiliki
ukuran karapas ( carapace ) 3 kaki dengan bobot lebih dari 400 pon.
Tukiknya berukuran kecil, dengan ukuran panjang karapas 2 inch dan bobot
kurang dari 1 ons. Karapas penyu dewasa licin sepanjang marjin ( edges )
lateral dan posterior dengan sisik yang tidak bersusun ( non-overlapping
scales ). Tukiknya memiliki karapas yang bundar.
Ciri-ciri fisik Penyu Hijau :
o

Memiliki cangkang berwarna kuning kehijauan atau cokelat hitam


gelap.

Cangkangnya bulat telur bila dilihat dari atas dan kepalanya relatif kecil
dan tumpul.

Ukuran panjang adalah antara 80 sampai 150 cm, beratnya dapat


mencapai 132 kg.
Ciri morfologi penyu hijau menurut Hirt (1971) dan Bustard (1972),

adalah terdapatnya sepasang prefrontal atau sisik pada kepala. Pada bagian
karapas terdapat sisik sebanyak 4 pasang, memiliki sisik perisai punggung
(dorsal shield) yang tidak saling berhimpit, mempunyai 4 pasang sisik
samping yang tesusun bujur pada permukaan kepala dari arah kepala ke ekor
(coastal scute), dimana pasangan sisik samping pertama tidak menyentuh
Nuchal. Pada bagian pinggir karapas terdapat 12 pasang Marginal Scute ,
kaki depan berbentuk pipih seperti dayung, terdapat sebuah kuku pada kaki
depan yang besar. Terdapat sebuah kuku kecil disisi bagian depan flipper
penyu hijau, dan sisik flipper ini berukuran besar.

Nama penyu hijau diambil dari warna jaringan lemaknya yang hijau,
bukan dari warna eksternalnya. Bagian bawah karapas ( plastron ) biasanya
berwarna putih atau kuning. Warna penyu hijau bervariasi dari hijau ke abu
abu ke coklat, dan karapas seringkali ditandai dengan titik titik yang
lebih gelap atau loreng loreng. Panjang ekor penyu hijau jantan dewasa
memanjang jauh lebih karapas, sedangkan ekor penyu hijau betina tidak
memanjang sampai melebihi lengkung karapasnya.

Gambar 1. Susunan sisik Penyu Hijau ( Chelonia mydas ) ( Rebel, 1974 )

2.1.2 Morfologi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)


Penyu belimbing merupakan anggota Famili Dermochelidae, Marga
Dermochelys dengan nama jenis Dermochelys coriacea. Penyu belimbing
merupakan jenis penyu yang paling mudah dikenali oleh masyarakat. Hal
ini disebabkan oleh keadaan morfologi tubuh yang berukuran paling besar
dibandingkan penyu yang lain (seperti Chelonia mydas dan Eretmochelys
imbricata).

Bentuk kepala dari penyu belimbing kecil, bulat dan tanpa adanya
sisik-sisik seperti halnya penyu yang lain. Penyu belimbing berukuran
sekitar lebar 17 sampai 22,3 % dari seluruh panjang karapas, mempunyai
paruh yang lemah, tetapi berbentuk tajam, tidak punya permukaan
penghancur/pelumat makanan.
Bentuk tubuh penyu jantan dewasa lebih pipih dibandingkan dengan
penyu betina, plastron mempunyai cekungan ke dalam, pinggul menyempit
dan corseletnya tidak sedalam pada penyu betina. Warna karapas penyu
dewasa kehitam-hitaman atau coklat tua. Di bagian atas dengan bercakbercak putih dan putih dengan bercak hitam di bagian bawah.

Gambar 2 . Penyu Belimbing Dewasa (Sumber: Dermawan et al. 2009)


Berat penyu ini dapat mencapai 1 ton dengan panjang dari ujung
ekor sampai moncongnya lebih dari 215 cm, sementara jenis penyu yang
lainnya sekitar 100 cm. Prithcard (1971) telah menghitung berat rata-rata
penyu belimbing sekitar 300-600 kg dan dengan panjang tubuh rata-rata
sekitar 160-180 cm.
Penyu belimbing dikenal oleh beberapa masyarakat dengan sebutan
penyu raksasa, kantong atau mabo. Daerah peneluran penyu belimbing
dapat ditemukan di pantai barat Sumatera; selatan Jawa: dan daerah tertutup
di Nusa Tenggara (Salam dan Halim, 1784; Kitchener, 1996). Lokasi
peneluran penyu belimbing tersebar di Indonesia terletak di Pantai Jamursba
Medi, Sorong Irian Jaya dan merupakan pantai peneluran penyu belimbing

terbesar ketiga di kawasan Indo - Pasifik (Dermawan et al. 2002). Penyu ini
dilindungi sejak tahun 1987 berdasarkan keputusan Menteri Pertanian no.
327/Kpts/Um/5/1978.
2.1.3 Morfologi Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)
Penyu sisik Dalam istilah Inggris dikenal dengan sebutan "hawksbill turtle" yang artinya penyu berparuh elang. Nama ilmiahnya
Eretmochelys imbricate Linnaeus, 1766 dengan sinonim Chelonia
imbricata Boulenger, 1889. Marga Eretmochelys dan Chelonia da-lam
klasiflkasi dapat dibedakan dengan kelompok penyu lainnya yaitu adanya
empat buah sisik kostal pada karapasnya. Di samping itu sisik nukhal tidak
berhubungan dengan sisik kostal.
Untuk membedakan Eretmochelys dengan Chelonia dapat dilihat
dengan memperhatikan sisik kepala prefrontal. Pada Eretmochelys sisik
tersebut terdiri dua pasang sedangkan pada Chelonia satu. Sisik karapas
tersusun secara

tumpang tindih (imbricate) seperti susunan genteng.

Susunan tumpang tindih ini makin tua umur penyu menjadi kurang nyata
sehingga hampir mirip karapas penyu hijau. Tidak seperti susunan sisik
marginal mulai dari ujung bagian belakang (posterior) merupakan gerigi
yang jelas meskipun pada bagian depan (anterior) tidak begitu kelihatan.
Lengannya berbentuk dayung dan masing-masing dilengkapi
dengan dua pasang kuku (cakar); kadang-kadang ada yang ha-nya satu
kuku. Tengkorak kepala bagian depan (anterior) sempit dan bentuk rahang
atas seperti sebuah paruh yang bengkok dan sempit.
Warna kulit sisik pada karapas penyu dewasa sangat mencolok,
biasanya kuning sawo dengan bercak-bercak coklat kemerah-merahan,
coklat kehitam-hitaman dan ku-ning tua. sedang warna kulit sisik pada
bagian perut (plastron) kuning muda yang kadang-kadang dihiasi juga
dengan bercak-bercak coklat kehitam-hitaman.

Pada tukik karapasnya berwarna hitam atau kecoklatcoklatan dan


pada jalur-jalur membujur yang menonjol pada sisik pinggir dan pada
lengan warnanya kuning atau coklat muda, demikian juga pada daerah
sebelah luar bagian atas leher. Penyu sisik dewasa memiliki ukuran panjang
total karapas 82,5 cm sampai 91 cm dengan berat tubuh maksimum 82,5 kg.

A. Dorsal ( Carapace )

B. Ventral ( plastron )

Gambar 3. Morfologi Penyu sisik

2.2 Habitat dan Penyebaran


2.2.1 Habitat dan Penyebaran Penyu Hijau
Penyu hijau adalah penyu yang aktif bergerak di laut subtropis dengan
kisaran 18-220C, sedangkan di laut tropis dengan kisaran 26-300C. Pantai
tempat habitat untuk bertelur penyu memiliki persyaratan umum antara lain
pantai mudah dijangkau dari laut, posisinya harus cukup tinggi agar dapat
mencegah telur terendam oleh air pasang tertinggi, pasir relatif lepas (loose)
serta berukuran sedang untuk mencegah runtuhnya lubang sarang pada saat
pembentukannya. Pemilihan lokasi ini merupakan habitat tempat bertelur
yang disukai oleh penyu dengan keadaan lingkungan bersalinitasi rendah,

lembab, dan substrat yang baik sehingga telur telur penyu tidak tergenang
air selama masa inkubasi.

Tabel 1. Kondisi Fisik Habitat Tempat Penyu (Physical Habitat Turtle Place).

Penyu hijau tersebar luas di perairan tropis dan sub-tropis. Beberapa


wilayah yang dikenal adalah Indonesia, Teluk Thailand, Malaysia ( Sarawak
dan Sabah ), Filipina, Papua Nugini, Australia ( Northern Territory,
Queensland ). Di Indonesia, salah satu lokasi penting yang menjadi tempat
persarangan penyu hijau adalah pantai yang ada di Pulau Jawa. Di beberapa
tempat pesisisr selatan Pulau Jawa dikenal sebagai habitat penyu untuk
bertelur, tetapi di sisi lain tempat tersebut juga dikenal sebagai pusat
perdagangan penyu dan bagian bagiannnya.
Umunya pilihan daerah peneluran adalah tempat yang memiliki
butiran pasir tertentu dengan susunan tekstur daerah peneluran berupa pasir
yang tidak kurang dari 90% dan sisanya adalah debu dan liat. Penyu hijau
cenderung memilih pantai berpasir yang memiliki diameter pasir efektif
antara 0,28-0,31 mm dan coefficient uniformity antara 1,61-1,90 ( Nuitja
and Uchida,1983 ).
2.2.2 Habitat dan Penyebaran Penyu Belimbing
Penyu belimbing lebih sering ditemukan di perairan yang dingin,
dan penyu ini memiliki kebiasaan yang tidak umum. Kebiasaan tersebut
adalah mereka mampu menjaga panas tubuhnya tetap 180C. Ciri ciri ini

berhubungan dengan kombinasi antara ukuran tubuh yang besar,


tersedianya kandungan lemak yang besar, dan dagingnya juga mempunyai
kandungan minyak tinggi. Disamping itu penyu belimbing ini juga
mempunyai rangkaian pembuluh darah yang memungkinkan untuk
berenang lebih jauh ke arah Laut Utara sampai suhu 80C. Jadi distribusinya
di dunia sangat luas.
Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu
bertelur. Habitat peneluran bagi setiap penyu memiliki kekhasan. Umumnya
tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai serta terletak
di atas bagian pantai. Rata-rata kemiringan 30 derajat di pantai bagian atas.
Jenis tanaman atau formasi vegetasi pantai yang biasanya terdapat
di sepanjang daerah peneluran penyu belimbing secara umum dari daerah
pantai ke arah daratan adalah sebagai berikut :
a) Tanaman Pioner.
b) Zonasi jenis-jenis tanaman yang terdiri dari Hibiscus tiliaceus, Gynura
procumbens, dan lainnya.
c) Zonasi jenis-jenis tanaman seperti Hernandia peltata, Terminalia
catappa, Cycas rumphii, dan lainnya.
d) Zonasi terdalam dari formasi hutan pantai Callophyllum inophyllum,
Canavalia ensiformis, Cynodon dactylon, dan lainnya.

2.2.3 Habitat dan Penyebaran Penyu Sisik


Penyu sisik kebanyakan hidup di daerah terumbu karang. Penyu
sisik tersebar di daerah tropis dan subtropis, pada lintang 25 LU sampai
25 LS. Di indonesia penyebaran utama penyu sisik terdapat di Laut Jawa,
Laut Flores, Selat Makasar, dan Selat Karimata. Penyu sisik menyebar ke
daerah kepulauan yang terdapat terumbu karangnya antara lain Kepulauan
Napia, Pulau Wasanii, Bunaken, Kepulauan Karimun Jawa, Kepulauan
Seribu, Pulau Baluran, Bali Barat, Kepulauan Komodo, Pulau Mojo,
Pangandaran (Nuitja, 1992). Penyu Sisik hidup di laut tropika dan Sub tropis

di sekitar perairan yang terdapat terumbu karang yang kaya akan alga laut
( sea weed ) sedangkan perkawinan sering terjadi di laut yang memliki
substrat sedikit berlumpur.
Daerah ekosistem terumbu karang dengan keanekaragaman
tumbuhan laut dan binatang laut agaknya sesuai sebagai tempat hidup penyu
sisik yang bersifat karnivora itu ( Suwelo, 1988 ). Penyu sisik memakan
binatang laut seperti ascidia, moluska, udang-udangan, ubur-ubur dan
sebagainya. Ada sementara ahli yang mengemukakan bahwa penyu sisik
yang masih muda lebih banyak bersifat omnivora sedangkan yang dewasa
karnivora. Daerah ini juga menjadi tempat hidup berbagai jenis binatang
avertebrata yang menjadi makanan utama penyu sisik. Beberapa jenis lamun
dan alga yang tumbuh di daerah seperti ini misalnya Thallasia sp.,
Gracilaria spp. dan Sargassum spp. (Silalahi et al. 1981).

2.3 Populasi Penyu


2.3.1 Populasi Penyu Hijau
Diperkirakan ada 100.000 penyu hijau terbunuh di sekitar kepulauan
Indo-Australia setiap tahun. Penurunan produksi telur di Sarawak menurun
dari 2.200.000 butir telur pada tahun 1930 menjadi 175.000 butir dalam
tahun 1995. Di Indonesia, penurunan terjadi sepuluh kali lipat sejak tahun
1940an, dan lebih dari setengahnya di French-Polynesia. Bali merupakan
pasar terbesar Asia untuk penyu hijau. Perdagangan penyu hijau di Bali
mencapai puncaknya pada tahun 1970an ketika lebih dari 300.000 individu
didaratkan di Bali. Laporan ini menyebutkan bahwa di Bali, diperkirakan
20.000 ekor penyu ditangkap selama kurun waktu 1969 1994 untuk
dikonsumsi.
Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur adalah
salah satu lokasi peneluran dan ruaya pakan penyu hijau di Asia (Adnyana,
2003; Adnyana et al, 2007). Kepulauan ini terletak diwilayah perairan

seluas 1.222.988 ha, lokasinya mulai dari Pulau Panjang (di Utara) hingga
semenanjung Mangkaliat (di Selatan).
Kelimpahan populasi bertelur penyu hijau di wilayah ini
diperkirakan antara 45005000 ekor per tahun (Tomascik et al, 1997;
Adnyana, 2003). Musim peneluran terjadi sepanjang tahun dengan musim
puncak sekitar Bulan MeiOktober. Pulau Sangalaki adalah pulau dengan
kepadatan bertelur tertinggi, menyumbang lebih dari 30% dari total
keseluruhan populasi bertelur di Kabupaten Berau (Adnyana et al, 2007).
Pemantauan populasi yang dilakukan di pulau ini sejak awal Tahun 2002
menunjukkan terjadinya kecenderungan populasi yang semakin menurun.

Gambar 4. Jumlah sarang telur (nests) penyu Hijau (Chelonia mydas) per
tahun di Pulau Sangalaki, Kalimantan Timur. Garis putus putus menunjukkan kecenderungan ( penurunan ) linier.
( Sumber, Adnyana et al, 2007 ).
2.3.2 Populasi Penyu Belimbing
Pantai Jamursba Medi adalah lokasi peneluran penyu belimbing
terbesar di kawasan Pasifik (Hitipeuw et al, 2007). Panjang kedua pantai

tersebut adalah 18 km dan 6 km. Hasil pemantauan terhadap populasi penyu


belimbing oleh WWF dan rekan dari tahun 19932004 yang dilakukan oleh
Hitipeuw et al (2007) menunjukkan bahwa jumlah sarang telur (nest) penyu
di pantai Jamursba Medi berfluktuasi dan diprediksi antara 192113.360
sarang, dengan rerata 4573 2910 (SD). Angka ini diduga ditelurkan oleh
sekitar 300900 ekor penyu betina. Angka yang sebanding juga diperoleh
di lokasi peneluran Warmon yang berjarak 30 km dari Jamursba Medi.
Berdasarkan pemantauan pada periode 19932004, jumlah penyu
belimbing yang bertelur di kedua lokasi ini diperkirakan antara 6001800
ekor per-tahun. Musim bertelur puncak di Jamursba Medi adalah pada
Bulan April September, sedangkan di Wermon adalah Oktober Maret.
Kecenderungan populasi (population trend) di Jamursba Medi mengalami
penurunan (Gambar 5), demikian pula prediksi di Warmon.

Gambar 5. Jumlah sarang telur (nests) penyu Belimbing (Dermochelys


coriacea) per musim di pantai peneluran Jamursba Medi,
Papua. Garis putus-putus menunjukkan kecenderungan
(penurunan) linier. ( Sumber, Hitipeuw et al, 2007 ).

2.3.3 Populasi Penyu Sisik


Data peneluran penyu yang dikumpulkan oleh para petugas
lapangan Taman Nasional Alas Purwo sejak Tahun 19832008
menunjukkan bahwa populasi penyu ( > 95% sisik) yang bertelur meningkat
tajam dari tahun ke tahun . Data ini semestinya dapat dipakai contoh
keberhasilan suatu pengelolaan konservasi penyu di Indonesia. Namun
demikian, mengingat kompleksitas isu konservasi penyu, maka data mesti
diinterpretasi dengan hati-hati. Salah satu argumen dari fenomena ini diduga
karena tingkat eksploitasi penyu sisik untuk dimanfaatkkan dagingnya
relatif rendah dibandingkan dengan penyu hijau, demikian halnya untuk
diambil cangkangnya dibandingkan dengan penyu lainnya. Meningkatnya
upaya pemantauan oleh para petugas lapangan pada tahun-tahun belakangan
(yang seiring dengan meningkatnya isu konservasi penyu) di Taman
Nasional Alas Purwo adalah faktor lain yang sangat signifikan.

Gambar 6. Jumlah sarang telur (nests) penyu sisik (Eretmochelys


imbricata) per tahun di pantai peneluran Taman Nasional
Alas Purwo Jawa Timur. Garis putus-putus menunjukkan
kecenderungan (penurunan) linier. ( Sumber, Taman
Nasional Alas Purwo, 2008 ).

3. BIO EKOLOGI PENYU


3.1 Reproduksi
3.1.1 Reproduksi Penyu Hijau
Penyu hijau akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur
setiap 3 hingga 4 tahun sekali setelah penyu hijau tersebut mecapai tingkat
matang untuk bertelur (Nuitja, 1992). Di alam bebas dilaporkan bahwa
umur matang kelamin dari penyu berkisaran antara 15 30 tahun (Witham,
1980; Limpus dan Walter,1980 dalam Chaerudin dan Aziz, 1984).
Saat masa reproduksi, penyu hijau betina akan meninggalkan lautan
untuk bertelur di daratan. Penyu betina akan menyiapkan sarangnya di
pantai, biasanya dekat tumbuhan yang ada di wilayah tersebut. Penyu akan
menyiapkan sarangnya dengan menggali pasir dan membuatnya dalam
betuk lubang. Telur telurnya ditempatkan dalam lubang yang disiapkan
sebelumnya. Setiap ekor betina dapat menghasilkan 110 butir telur
tergantung ukuran tubuhnya. Setelah diletakan, lubang ditutup dengan pasir
yang ada di sekitarnya. Setelah kopulasi, penyu betina melakukan aktivitas
tidak jauh dari pantai penelurannya. Beberapa minggu setelah kopulasi,
penyu betina akan menuju daratan untuk bertelur. Jika telur sudah menetas,
tukik mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap sinar dan
reaksi bumi. Penyu hijau betina akan melepas antara 1 sampai 7 clutch
telur setahun. Aktivitas bertelur ini berulang hampir setiap 14 hari.
Masa inkubasi penyu disebutkan bermacam macam oleh para
peneliti. Cole dan Toller menyebutkan inkubasi berlangsung selama 55 60
hari, tergantung suhu. Setelah itu, anak-anak penyu yang menetas
( umumnya pada malam hari ) akan berhamburan keluar sarang dan masuk
ke dalam laut. Selama itu tukik penyu hijau dapat hidup dari cadangan
kuning telur ( Harrison, 1995). Arah dan letak keberadaan tukik sering
membingungkan para ahli bila tukik keluar dari sarang dan menuju ke laut.

Beberapa spesies penyu umunya tidak kembali ke perairan pantai


sampai benar benar matang secara seksual. Kelulusan hidup ( survival )
umumnya sangat rendah. Dari 1.000 samapai 10.000 ekor anak penyu yang
menetas, biasanya hanya satu ekor saja yang mampu tumbuh menjadi penyu
dewasa dalam kurun waktu 12 50 tahun.
3.1.2 Reproduksi Penyu Belimbing
Penyu belimbing betina dapat bertelur empat sampai lima kali per
musim, setiap kali sebanyak 60 sampai 129 telur. Penyu belimbing bertelur
setiap dua atau tiga tahun dengan masa inkubasi sekitar 60 hari. Suhu
inkubasi pada telur penyu agar embrio tumbuh dengan baik berkisar antara
24 33 C. masa inkubasi tergantung pada suhu pasir di sekitar sarang.
Makin tinggi pasir makin cepat pula telur-telur tersebut menetas. Sarang
yang terdapat di area terbuka dengan sinar matahari yang selalu mengenai
permukaan pasir akan lebih cepat menetas dibandingkan sarang terletak di
daerah/bawah tumbuhan dengan intensitas cahaya yang minim. Rata-rata
telur akan menetas setelah 60 hari. Disamping mempengaruhi kecepatan
penetasan, suhu di sekitar sarang juga mempengaruhi prosentase jenis
kelamin tukik yang akan lahir. Dengan kata lain jenis kelamin penyu yang
akan lahir ditentukan oleh suhu inkubasi. Bila suhu 24 C atau kurang maka
100% tukik yang lahir adalah jantan, sedang bila suhu inkubasi 32 C atau
lebih maka 100% tukik yang akan lahir adalah betina.
Untuk memecahkan telur dari dalam, anakan penyu menggunakan
moncong atas dimana terdapat tonjolan yang disebut caruncle yang nantinya
bagian ini akan tanggal setelah proses penetesan. Banyak hal yang
menghambat proses penetasan diantaranya telur dirusak predator, suhu
sekitar sarang yang terlalu rendah/tinggi, tergenang air atau dibolak-balik
manusia. Dalam kondisi normal tanpa adanya pengaruh lingkungan yang
cukup berarti, prosentase penetasan secara alami mencapai 80% atau lebih.

3.1.3 Reproduksi Penyu Sisik


Penyu sisik mulai matang kelamin dan bertelur pada umur 3-7 tahun
( Witzell, 1983 ). Di alam para pakar menduga, seperti pada penyu hijau,
lebih dari 15 tahun. Tidak seperti pada penyu hijau, penyu sisik umumnya
bertelur di pulau-pulau kecil pada pantai yang tidak luas dengan tekstur
pasir yang kasar bercampur pecahan batu karang dan cangkang moluska,
sarang-nya dangkal berada di dekat batas vegetasi pantai.
Induk penyu bertelur pada malam hari, kebanyakan terjadi antara
pukul 20.00 sampai menjelang fajar menyingsing. Lama-nya penyu bertelur
biasanya berkisar antara 1 - 2 jam, jauh lebih cepat waktunya bila
dibandingkan dengan penyu hijau. Jumlah setiap kali bertelur lebih dari 150
butir. Telurnya kecil dengan diameter 38 cm. Kebiasaan penyu yang
bertelur adalah kem-bali ke lokasi yang sama untuk bertelur setelah jangka
waktu tertentu. Penyu sisik bertelur secara individual atau kelompok kecil
tidak seperti penyu-penyu lain yang berkelompok besar. Waktu inkubasi
telur tampaknya tidak berbeda dengan penyu hijau yakni antara 50 dan 60
hari.
Di beberapa lokasi dimana penyu hijau bertelur, dilaporkan bahwa
penyu sisik bertelur bersamaan waktunya dengan penyu hijau. Tetapi
laporan lainnya menya-takan waktunya bergantian, biasanya jatuh pada
musim angin barat. Di Belitung dan Kepulauan Seribu musim bertelur
penyu sisik adalah dari Desember hingga April.

3.2 Habitat Bertelur


3.2.1 Habitat Bertelur Penyu Hijau
Pantai tempat habitat untuk bertelur penyu hijau memiliki
persyaratan umum antara lain pantai mudah dijangkau dari laut, posisinya
harus cukup tinggi agar dapat mencegah telur terendam oleh air pasang
tertinggi, pasir relatif lepas (loose) serta berukuran sedang untuk mencegah
runtuhnya lubang sarang pada saat pembentukannya. Pemilihan lokasi ini

merupakan habitat tempat bertelur yang disukai oleh penyu hijau dengan
keadaan lingkungan bersalinitasi rendah, lembab, dan substrat yang baik
sehingga telurtelur penyu tidak tergenang air selama masa inkubasi
(Satriadi, dkk, 2003).
Beberapa tempat dengan memiliki kemiringan lebih tinggi seperti
dipertengahan pantai dan daerah mutusan yang nilainya masing masing 9%
dan 12%, sehingga kedua tempat tersebut termasuk dalam kategori miring.
Menurut Nuitja (1992), pantai yang landai berkisaran (38%) dan miring
berkisaran (8-16%) sesuai dengan habitat dan peneluran penyu karena
kondisi landai tersebut dapat memudahkan penyu untuk mencapai tempat
peneluran. Tempat bertelurnya penyu hijau juga ditandai dengan
ditemukannya disepanjang pantai pohon Hibiscus tiliacus, Terminalia
catappa, dan Pandanus tectorius dengan jenis pasir terdiri dari mineral
Quartz (kuarsa).
3.2.2 Habitat Bertelur Penyu Belimbing
Penyu belimbing seringkali menyukai habitat peneluran penyu
hijau. Untuk membedakan dapat dilihat dari jarak antara sarang asi dan
sarang palsu yang dibuat penyu. Apabila jarak antara sarang asli dengan
sarang palsu sekitar 1-2 meter, maka tempat tersebut habitat peneluran
penyu hijau. Sedangkan penyu belimbing membuat jarak lebih dari 2 meter
bahkan mencapai 5 meter antara sarang asli dengan yang palsu.
3.2.3 Habitat Bertelur Penyu Sisik
Penyu Sisik hidup di laut tropik dekat terumbu karang, memiliki
distribusi di seluruh dunia di sepanjang garis pantai Atlantik dan IndoPasifik. Menghuni pantai terbuka yang berbatu dan penuh terumbu karang.
Namun saat ini ditemukan pula di hutan bakau perairan muara di wilayah
Pasifik Timur. Penyu sisik juga menyukai tempat yang terdiri dari butiran
pasir koral hasil hempasan ombak atau gelombang dengan warna pasir putih
atau kekuningan.

Menurut Nuitja ( 1992 ), penyu sisik pada umumnya daerah


penelurannya tidak luas hanya berkisar 2 12 meter di atas batas pasang
tertinggi. Demikian juga menurut Priyono ( 1994 ), yang menyatakan bahwa
kelandaian pantai yang relatif datar sesuai dengan habitat penyu sisik. Penyu
sisik juga meyukai tempat bertelur yang memiliki permukaan pasir pantai
dan dasar sarang yang didominasi oleh fraksi pasir halus dan sedang.
Vegetasi pada pantai mempunyai peran yang sangat penting bagi
penyu untuk melindungi telur terkena langsung sinar matahari, mencegah
perubahan suhu yang yang tajam di sekitarnya dan melindungi sarang dari
gangguan predator serta memberikan pengaruh terhadap kelembaban, suhu
dan kstabilan pada pasir yang memberikan keamanan saat penggalian
lubang sarang (Bustard, 1972). Sedangkan Menurut Nuitja, 1992 vegetasi
pantai sangat berpegaruh terhadap lingkungan penelurannya dikarenakan
akar vegetasi yang dapat mengikat butiran pasir dan menghindar terjadinya
keruntuhan pasir sehingga akan dapat mempermudah penyu dalam
melakukan penggaalian dan proses penelurannya.

3.3 Siklus Hidup Penyu Secara Umum


Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang sama. Penyu
mempunyai pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan berpuluhpuluh tahun untuk mencapai usia reproduksi. Penyu dewasa hidup bertahuntahun di satu tempat sebelum bermigrasi untuk kawin dengan menempuh
jarak yang jauh (hingga 3000 km) dari ruaya pakan ke pantai peneluran.
Pada umur yang belum terlalu diketahui (sekitar 20-50 tahun) penyu jantan
dan betina bermigrasi ke daerah peneluran di sekitar daerah kelahirannya.
Perkawinan penyu dewasa terjadi di lepas pantai satu atau dua bulan
sebelum peneluran pertama di musim tersebut. Baik penyu jantan maupun
betina memiliki beberapa pasangan kawin. Penyu betina menyimpan
sperma penyu jantan di dalam tubuhnya untuk membuahi tiga hingga tujuh
kumpulan telur (nantinya menjadi 3-7 sarang) yang akan ditelurkan pada
musim tersebut.

Penyu jantan biasanya kembali ke ruaya pakannya sesudah penyu


betina menyelesaikan kegiatan bertelur dua mingguan di pantai. Penyu
betina akan keluar dari laut jika telah siap untuk bertelur, dengan
menggunakan sirip depannya menyeret tubuhnya ke pantai peneluran.
Penyu betina membuat kubangan atau lubang badan (body pit) dengan sirip
depannya lalu menggali lubang untuk sarang sedalam 30-60 cm dengan sirip
belakang. jika pasirnya terlalu kering dan tidak cocok untuk bertelur, si
penyu akan berpindah ke lokasi lain.
Penyu mempunyai sifat kembali ke rumah (Strong homing
instinct) yang kuat (Clark, 1967, Mc Connaughey, 1974; Mortimer dan
Carr, 1987; Nuitja, 1991), yaitu migrasi antara lokasi mencari makan
(Feeding grounds) dengan lokasi bertelur (breeding ground). Migrasi ini
dapat berubah akibat berbagai alasan, misalnya perubahan iklim,
kelangkaan pakan di alam, banyaknya predator termasuk gangguan
manusia, dan terjadi bencana alam yang hebat di daerah peneluran, misalnya
tsunami.

Gambar 7. Siklus Hidup Penyu Hijau Secara Umum (Limpus et al. 1984)

4. UPAYA PENGELOLAAN PENYU


4.1 Perlindungan Penyu
Habitat penyu baik habitat peneluran maupun tempat penyu mencari
makan perlu dilindungi dan dikelola dalam bentuk suaka alam atau taman
pelestarian alam. Kawasan-kawasan konservasi alam ini harus cukup
banyak sehingga setidak-tidaknya 70 % dari jumlah penyu dapat dengan
aman bertelur di pantai-pantai peneluran, telurnya berkesempatan menetas
dan tukik-tukiknya dengan bebas meliar ke laut.
Kompleksitas isu penyu berdampak pada pengaturan pengelolaan
dan konservasinya, dan kenyataannya tidak tak satu aturanpun yang mampu
menjawab

kompleksitas

permasalahan

ini.

Seluruh

aturan

mesti

dipergunakan secara bersamaan. Aturan-aturan baru mesti dibangun untuk


mengisi kesenjangan yang masih tersisa.
Luasnya cakupan siklus hidup penyu mengharuskan adanya
pengaturan yang meliputi daratan (pantai), wilayah perairan pesisir (hingga
12 mil), zona ekonomi ekslusif sampai di lautan lepas. Sifat-sifat migrasinya
yang cenderung lintas negara mewajibkan adanya pengaturan bilateral,
trinasional bahkan regional. Kompleksitas dampak sosial-ekonomi yang
muncul pada setiap keputusan pengelolaannya memandatkan adanya
partisipasi aktif dan progresif dari berbagai pihak. Hal terakhir ini,
barangkali adalah salah satu faktor penting yang mendasari keterlibatan
lembagalembaga keagamaan serta komunitas Adat dalam upaya
penyelamatan populasi penyu
Perlindungan yang dilakukan terhadap penyu dimaksudkan
untuk melindungi ( protect ) , mengawetkan ( conserve ), dan mengelola
( managed ) penyu dan habitatnya.

Secara teknis tentang hal ini dapat diuraikan sebagai berikut :


1.

Mengurangi kematian penyu akibat penangkapan langsung


dan tidak langsung.

2.

Melindungi, mengawetkan, dan merehabilitasi habitat penyu,


kawasan peteluran penyu, kawasan tempat mencari makan
( foraging ), habitat peristirahatan ( resting habitat ).

3.

Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui pendidikan


terutama tentang hal hal yang mengancam kelangsungan
hidup penyu, hubungan antara pariwisata, kegiatan perikanan
( penangkapan ikan ) dan penyu.

4.

Mengurangi dan mencegah pembuangan sampah ke laut,


terutama di daerah peteluran penyu.

5.

Menambah kerjasama nasional, regional, dan internasional.

6.

Melakukan pematauan dan penelitian.

A. Kesepakatan di tingkat internasional


Kesepakatan dalam lingkup internasional yang paling
populer adalah Konvensi dalam Lingkup Perdagangan Internasional
Satwa Terancam Punah (Convention on International Trade in
Endangered Species atau CITES). CITES berlaku sejak tahun 1975
dan hingga saat ini diratifikasi oleh 157 negara. Semua jenis penyu
masuk di Appendix-1, yang berarti pelarangan perdagangan
internasional penyu dan semua produknya.Walaupun kesepakatan
ini sukses menekan perdagangan internasional, namun tidak relevan
untuk menanggulangi mortalitas akibat:
1.

Aktivitas perikanan (pukat, rawai, dan sebagainya).

2.

Pengambilan langsung (penyu dan telurnya) untuk kepentingan


domestik.

3.

Destruksi/degradasi habitat.

Kesepakatan lainnya adalah konvensi dalam Bidang


Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity atau
CBD). Konvensi ini mulai berlaku sejak tahun 1993. Hingga saat ini
sejumlah 183 negara telah meratifikasinya. Pada hakekatnya, ini
adalah konvensi tentang konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan
keanekaragaman hayati. Walaupun tidak menyebutkan penyu secara
spesifik, namun setidaknya konvensi ini menyediakan ruang dan
mekanisme bagi perencanaan dan proteksi habitat di tingkat nasional
maupun regional, walaupun tidak se-spesifik kesepakatan
kesepakatan lain seperti CITES dan Convention on the Conservation
of Migratory Species of Wild Animals (CMS).

B. Kesepakatan di tingkat regional


Konvensi tentang Konservasi Satwa Liar Bermigrasi
(Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild
Animals atau CMS) yang dikenal dengan istilah Bonn Convention.
Konvensi ini disepakati tanggal 3 Juni 1979, kemudian diberlakukan
mulai tahun 1983. Hingga kini, konvensi ini telah didukung oleh 79
negara. Substansinya komplementer terhadap CBD, CITES,
RAMSAR, World Heritage Convention dan Konvensi Internasional
tentang Pengaturan Penangkapan Ikan Paus. Dalam CMS, 6 spesies
penyu didaftar dengan kategori terancam punah, dan satu spesies
dikategorikan ringkih (vulnerable atau bisa terancam punah jika tak
ada tindakan memadai). CMS menetapkan agar dilakukan kerjasama
internasional dalam konservasi ke-7 spesies penyu. CMS juga telah
mengeluarkan resolusi yang berhubungan dengan bycatch (hasil
tangkapan sampingan) dan upaya mitigasinya (tahun 1999). Negaranegara yang tidak menandatangani CMS bisa berpartisipasi melalui
jalinan nota-nota kesepahaman (MOU) yang dibangun dibawah
payung CMS. Saat ini, ada tiga MOU yang masuk kategori ini, yaitu:

(1) MOU on Siberian Cranes of Asia (diadopsi 1993; diamandemen


tahun 1998).
(2) MOU on Marine Turtle of the Atlantic Coast of Africa
(disepakati Mei 1999; dikuti 12 negara).
(3) MOU-IOSEA (disepakati Juni 2001, diikuti oleh 22 dari 44
negara yang ditarget).

Dalam lokakarya nasional konservasi penyu yang


diselenggarakan di Denpasar Bali bulan April 2005 yang lalu, telah
disepakati untuk mengadopsi semua butir-butir rencana pengelolaan
dan konservasi penyu dibawah payung MOU-IOSEA ini, yang
pelaksanaannya

disesuaikan

dengan

situasi

sosial-ekonomi

masyarakat setempat. Kesepakatan di tingkat regional lainnya yang


berhubungan langsung dengan konservasi penyu Laut antara lain:
1.

The Protocol Concerning Specially Protected Areas and


Wildlife (SPAW), yang juga dikenal dengan Konvensi
Cartagena. Diadopsi tahun 2000, dan diikuti oleh 21 negara.
Negara penandatangan wajib melaksanakan konservasi agresif
pada enam species penyu, kecuali penyu pipih (Natator
depressus). Penandatangan juga mesti mencegah pembunuhan,
penangkapan, dan perdagangan komersial penyu Laut, serta
melakukan proteksi habitat peneluran.

2.

The Inter-American Convention for the Protection and


Conservation of Sea Turtles. Diberlakukan sejak 2 Mei 2001,
dan diikuti oleh 9 negara. Mandatnya adalah mencegah
pembunuhan, penangkapan, dan perdagangan (komersial)
domestik. Negara penandatangan mesti menggunakan Turtle
Excluder Devices (TEDs) dalam aktivitas perikanannya.
Konvensi ini terkenal setelah terjadinya kasus sengketa yang

berbuntut pada embargo produksi udang asal Asia karena tidak


menggunakan TED dalam operasi produksinya. Kasus ini
memberikan pelajaran pada kita bahwapemberian sanksi
perdagangan untuk menegakkan tindak konservasi bisa
dilakukan.
3.

Convention for the Protection of the Marine Environment and


Coastal Region of the Mediterranean (Barcelona Convention).
Diadopsi tahun 1978 dan ditanda-tangani oleh 20 negara.
Konvensi ini selanjutnya dikenal sebagai Protocol Concerning
Specially Protected Areas and Biological Diversity in the
Mediterranean, yang mulai diberlakukan dengan ketat sejak
Desember 1999. Protokol ini fokus pada upaya perlindungan
lima spesies penyu, namun tidak mencakup penyu Pipih
(Natator depressus) dan Sisik Semu (Lepidochelys olivacea).

4.

Convention on the Conservation of European Wildlife and


Natural Habitats. Ditanda-tangani oleh 45 negara-negara Eropa
Afrika, dan mulai diberlakukan tahun 1982. Kecuali penyu
Pipih dan Sisik Semu, semua jenis diberikan status proteksi
ketat.

5.

Convention for the Protection of the Natural Resources and


Environment of the South Pacific Region. Diikuti 12 negara dan
mulai diberlakukan tahun 1980. Konvensi ini memiliki Regional
Marine Turtle Conservation Programme (RMTCP). Terkenal
saat launching Sea Turtle Campaign tahun 1995, Negara-negara
pendukung sangat aktif dalam upaya mitigasi turtle-by catch di
Western and Central Pacific Ocean Tuna Fisheries.

4.2 Upaya Pengelolaan Penyu


Konservasi penyu merupakan upaya yang sangat penting untuk
menjamin keberlangsungan populasi penyu tersebut. Kelangkaan yang terjadi

secara terus-menerus dengan kecenderungan semakin lama semakin sulit


ditemukan, dapat menjurus pada kepunahan. Penyu, sebagai salah satu hewan
langka, perlu segera dilakukan upaya konservasi. Untuk itu mutlak diperlukan
pendidikan tentang kaidah-kaidah konservasi populasi penyu. Langkahlangkah yang dianggap penting dalam melaksanakan pendidikan konservasi
penyu antara lain adalah :
a. Memberikan ceramah-ceramah pendidikan (educational campaigns) untuk
semua masyarakat mulai rumah tangga sampai seterusnya, mencakup
taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
b. Membuat Lembaran Leaflets: Leaflets dibuat dalam bentuk yang menarik
dan mudah dimengerti, bertujuan untuk pencerahan kepada masyarakat.
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 7 dan No. 8 Tahun 1999.

Penangkaran penyu adalah salah satu cara pengelolaan penyu dengan


prinsipnya dapat menyelamatkan populasi penyu agar tidak punah dengan
meningkatkan daya tahan tubuh penyu dari berbagai gangguan, termasuk
penyakit, menjauhkan penyu atau tukik dari hal-hal yang membahayakan
kehidupannya (misal dari predator) dan meningkatkan daya tetas telur penyu.
Oleh karena itu, stasiun penangkaran penyu harus berada pada sekitar habitat
peneluran penyu. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di stasiun penangkaran
penyu secara garis besar diantaranya:
a.

Memelihara telur-telur penyu dari berbagai potensi ancaman hingga


menetas menjadi tukik dan tukik kembali ke laut dengan aman. Kegiatan
ini dapat dilakukan di stasiun penangkaran (alami maupun buatan)
maupun di sarang-sarang penyu bertelur.

b.

Memelihara tukik yang dipelihara di stasiun penangkaran hingga cukup


kuat untuk dilepas ke laut. Untuk kebutuhan pengamatan, penelitian dan
ekspose, sebaiknya ada sejumlah tukik yang ditinggalkan di stasiun
penangkaran penyu.

c.

Melakukan monitoring kepada setiap penyu yang mendarat di lokasilokasi peneluran yang berada pada wilayah pemantauannya. Pemantauan
yang dilakukan, diantaranya jenis dan jumlah penyu yang mendarat,
jumlah penyu yang bertelur, jumlah telur setiap penyu, dimensi telur
penyu, panjang dan bobot (jika memungkinkan), dll. Hasil monitoring
harus terdokumentasikan dan dicatat dalam form monitoring.

d.

Melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan


konservasi penyu secara berkelanjutan.

5. PENUTUP
Penyu merupakan salah satu fauna yang dilindungi karena populasinya yang
terancam punah baik dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan
populasinya secara langsung maupun tidak langsung. Dari tujuh jenis penyu di
dunia, tercatat enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu
(Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing
(Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta).
Penyebaran penyu pada umumnya mendunia, mulai dari laut tropika,
subtropika, dan kadang kala terseret arus ke perairan laut dingin. Mereka bertelur
di pantai berpasir. Walaupun demikian, penyu sering dihubungkan dengan perairan
laut hangat, misal di kawasan perairan laut tropika seperti negara kita
Populasi penyu laut di alam saat ini benar benar beada dalam kondisi yang
sangat membahayakan. Penurunan populasi disebabkan oleh sejumlah faktor, baik
oleh faktor alami maupun faktor manusia, baik di darat maupun di lingkungan laut,
diantaranya kehilangan habitat tempat bertelur dan berkembang oleh badai,
gelombang laut, perusakan sarang oleh predator dan pemburu gelap.
Untuk menyelamatkan penyu dari kepunahan, maka tindakan konservasi
terhadap spesies penyu merupakan tindakan yang sangat mendesak untuk
dilakukan. Konservasi terhadap penyu dimaksudkan untuk melindungi ( protect ),
mengawetkan ( conserve ), dan mengelola ( managed ) penyu dan habitatnya.
Habitat penyu baik habitat peneluran maupun tempat penyu mencari makan perlu
dilindungi dan dikelola dalam bentuk suaka alam atau taman pelestarian alam.
Kawasan-kawasan konservasi alam ini harus cukup banyak sehingga setidaktidaknya 70 % dari jumlah penyu dapat dengan aman bertelur di pantai-pantai
peneluran; telurnya berkesempatan menetas dan tukik-tukiknya dengan bebas
meliar ke laut.

DAFTAR PUSTAKA

Akira, Rusmi ., I Nengah Wandia, dan I. B. Windia Adyana. 2012. Komposisi


Genetik Penyu Hijau (Chelonia mydas) Hasil Tangkapan Liar dari Nusa
Tenggara Barat (Bima dan Teluk Cempi). Bali : Indonesia Medicus
Veterinus.
Arianto, Agus. 1999. Studi Karakteristik Habitat Peneluran Penyu Sisik
( Eretmochelys imbricata ) dan Pengelolaannya di Pantai Tampang
Belimbing Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Bogor : Skripsi
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Azkab, Muhammad Husni. 1999. Penyu Hijau, Chelonia mydas L. yang Senang
Melahap Lamun Hijau yang Segar. Bogor : Oseana, Volume XXIV,
Nomor 2: 13-20.
Dermawan, Agus ., dkk. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu.
Jakarta Pusat : Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen
Kelautan dan Perikanan RI.
Djohan, Tjut Sugandawaty. 2004. Konservasi Habitat Penyu. Yogyakarta : Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Yogyakarta.
Karnan. 2008. Penyu Hijau: Status dan Konservasinya. Mataram: Program Studi
Pendidikan Biologi, PMIPA FKIP Universitas Mataram.
Pradana, Ferry Akasa ., Syafruddin Said, dan Sarma Siahaan. 2013. Habitat Tempat
Bertelur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Kawasan Taman Wisata Alam
Sungai Liku Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Pontianak : Laporan
Penelitian Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura.

Prihanti, Wahyu. 2007. Problematika Kegiatan Konservasi Penyu di Taman


Nasional Meru Betiri. Malang : Laporan Penelitian Pengembangan Iptek
Universitas Muhammadiyah Malang.
Salamsyah, Ibnu. 2007. Analisis Populasi Penyu Hijau ( Chelonia mydas, Linnaeus
1758 ) di Pantai Pengumbahan Kabupaten Sukabumi. Bogor : Skripsi
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Setyawatiningsih, Sri Catur ., Dewi Marniasih, dan Wijayanto. 2011. Karakteristik
Biofisik Tempat Peneluran Penyu Sisik (Eretmochelys Imbricata) di
Pulau Anak Ileuh Kecil, Kepulauan Riau. Riau: Jurnal Teknobiologi
Lembaga Penelitian Universitas Riau.
Sukada, I Ketut. 2006. Pengaruh Letak Sarang dan Kerapatan Telur Terhadap Laju
Tetas Telur Penyu Hijau ( Chelonia mydas ). Bali : Fakultas Peternakan
Universitas Udayana.
Susilowati, Tri. 2002. Studi Parameter Biofisik Pantai Peneluran Penyu Hijau
( Chelonia mydas, L) di Pantai Pangumbahan Sukabumi-Jawa Barat.
Bogor : Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor.
Suwelo, Ismu Sutanto ., Widodo Sukohadi Ramono dan Ating Somantri. 1992.
Penyu Sisik di Indonesia. Bogor : Oseana, Volume XVII, Nomor 3 : 97109.
Triantoro, Richard Gatot Nugroho. 2008. Karakteristik Biologi Penyu Belimbing
(Dermochelys coriacea Vandelli) di Suaka Margasatwa Jamursba Medi,
Papua Barat. Papua : Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.

Anda mungkin juga menyukai