Anda di halaman 1dari 19

1.

MATERI METODE

1.1.

Alat & Bahan


Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum Kecap Ikan ini adalah tulang
dan kepala ikam, enzim papain komersial, garam, gula kelapa, serta bawang
putih. Alat yang digunakan antara lain yaitu blender, pisau, panci, pengaduk
kayu, toples, kain saring, dan botol.

1.2.

Metode
Dalam pembuatan kecap ikan dengan menggunakan enzim, langkah kerja yang
dilakukan adalah sebagai berikut.
Tulang dan kepala ikan dihancurkan

Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air

Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1),
konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8%
(kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5)

Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Hasil fermentasi disaring

Filtrat direbus sampai mendididh selama 30 menit

Setelah filtrat mendidih, ditambahkan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 3 butir
gula kelapa. Filtrat tetap diaduk diatas kompor selama 30 menit.

Setelah dingin hasil perebusan disaring

Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap

2.

HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan


Kel
A1
A2
A3
A4
A5

Perlakuan
Enzim papain 0,2 %
Enzim papain 0,4 %
Enzim papain 0,6 %
Enzim papain 0,8 %
Enzim papain 1 %

Keterangan:
Warna
+
: Tidak Coklat Gelap
++
: Kurang Coklat Gelap
+++
: Agak Coklat Gelap
++++ : Coklat Gelap
+++++ : Sangat Coklat Gelap

Warna
++++
++++
++++
++++
++++
Rasa
+
++
+++
++++
+++++

Rasa Aroma
++++
+++
+++++
+++
+++++
+++
++++
++
++++ +++++

: Sangat Tidak Asin


: Kurang Asin
: Agak Asin
: Asin
: Sangat Asin

Penampakan
++++
++++
++++
++++
+++
Aroma
+
++
+++
++++
+++++

Salinitas %
-

: Sangat Tidak Tajam


: Kurang Tajam
: Agak Tajam
: Tajam
: Sangat Tajam

Penampakan
+
:Sangat cair
++
:Cair
+++
:Agak kental
++++ :Kental
+++++ :Sangat tajam

Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa warna kecap ikan pada semua kelompok dari
kelompok A1 hingga A5 adalah coklat gelap. Rasa kecap ikan yang sangat asin
didapatkan dari kelompok A2 dan A3, sedangkan pada kelompok A1, A4, dan A5 rasa
kecap ikan yang dihasilkan yaitu asin. Aroma kecap ikan yang sangat kuat dan tajam
didapat dari kelompok A5, pada kelompok A1, A2, dan A3 aroma yang dihasilkan agak
tajam, sedangkan pada kelompok A4 aroma kecap ikan yang dihasilkan kurang tajam.
Pada penampakan kecap ikan, rata-rata pada semua kelompok dari A1 hingga A4 adalah
kental, namun pada kelompok A5 penampakan kecap ikan adalah agak kental. Dari
derajat salinitas pada semua kelompok tidak didapatkan hasil apapun.

3.

PEMBAHASAN

Pada praktikum ini, praktikan melakukan percobaan membuat kecap ikan. Tujuan dari
praktikum yaitu untuk mempelajari proses pembuatan kecap ikan secara enzimatis dan
untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi enzim papain yang digunakan
terhadap karakteristik kecap ikan yang meliputi rasa, aroma, warna, dan salinitas dan
penampakan. Bahan yang praktikan gunakan dalam praktikum ini yaitu tulang, kepala,
duri, dan ekor ikan. Menurut Shih et al. (2003), kepala dan isi perut ikan adalah limbah
ikan yang mengambil bagian yang cukup besar dari keseluruhan porsi ikan. Dengan
mengolah kepala dan isi perut ikan maka akan dihasilkan produk kecap ikan. Selain
bahan tersebut ditambahkan juga bahan lain seperti garam, bawang putih, dan gula
jawa. Hal ini sesuai dengan teori Hariyono et al. (2005) yang mengatakan bahwa pada
umumnya bahan utama untuk pembuatan kecap ikan yaitu ikan dan garam.

Ikan merupakan sumber protein penting, namun ikan sangat mudah mengalami
kerusakan. Oleh karena itu, cara pengawetan ikan antara lain perebusan, pendinginan,
pengasapan, penggaraman, maupun dengan difermentasikan. Dengan cara tersebut
maka nilai gizi dari ikan dapat dijaga dan umur simpan produk dapat diperpanjang
(Olubunmi F. et al., 2010). Pada praktikum ini, digunakan ikan yang masih segar, oleh
karena itu sebelum digunakan ikan tersebut disimpan di dalam refrigerator untuk
menjaga kesegarannya. Menurut Jay (1986), suhu refrigerator berkisar antara 0-2oC dan
5-7oC sehingga dapat mempertahankan kesegaran ikan karena suhunya yang rendah
akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

Kecap ikan adalah air maupun sari dari ikan yang telah diekstraksi selama proses yang
berkepanjangan dari penggaraman dan fermentasi, dimana nama kecap ikan di setiap
negara berbedabeda (Malaysia : budu, Filipina : patis, Thailand : nampla, Perancis :
pissala, Hong Kong : yeesui, Asia Selatan : nouc-nam). Kecap ikan ini biasanya dibuat
dari ikan kecil yang memiliki nilai konsumsi rendah (Olubunmi F. et al., 2010). Kecap
ikan pada umumnya berupa cairan berwarna coklat bening yang merupakan hasil
hidrolisat ikan asin. Kecap ini memiliki rasa yang berbeda jika dibandingkan dengan
kecap kedelai, yaitu agak asin, berwarna kekuningan sampai coklat muda, dan banyak

mengandung senyawa nitrogen. Kecap ikan digemari oleh masyarakat karena selain
rasanya gurih, proses pembuatannya juga mudah dan murah. Kecap ikan berfungsi
sebagai penambah rasa atau sebagai pengganti garam dalam memasak dan membawa
rasa khas untuk makanan, serta digunakan pula dalam industri pengolahan pangan
(Ritthiruangdej & Thongchai, 2006).

Kecap ikan mudah dicerna dan diserap oleh tubuh manusia. Hal ini disebabkan karena
komposisi dari kecap ikan memiliki berat molekul yang rendah. Kelarutannya di dalam
air dapat mencapai 90% dimana rasio nitrogen amino dan nitrogen total ialah sebesar
45%. Meskipun kandungan gizi dalam kecap ikan terbatas, karena kandungan garam
tinggi, namun kandungan protein dalam kecap ikan cukup tinggi. Protein yang
terkandung dalam kecap ikan paling banyak adalah dalam bentuk peptida-peptida
sederhana serta asam-asam amino (Kasmidjo, 1990). Kecap ikan mengandung sekitar
20 g/L nitrogen dimana sekitar 80% dalam bentuk asam amino (Zaman M. Z. et al.,
2010). Kadar air kecap ikan yaitu sekitar 81-83% (Yuli W. et al., 2014).

Menurut (Olubunmi F. et al., 2010), kecap ikan ialah cairan yang mengandung garam
yang tinggi dimana protein dari ikan didegradasi menjadi asam-asam amino bebas dan
basa nitrogen selama proses fermentasi sebagai hasil dari aktivitas enzim proteolitik dan
mikroorganisme yang hadir karena konsentrasi garam yang tinggi. Namun, M. Zarei et
al. (2011) mengatakan bahwa amina biogenik sering ditemukan pada produk-produk
makanan, terutama produk makanan fermentasi. Amina biogenik ini dapat diproduksi
karena adanya dekarboksilasi dari asam amino oleh mikroba. Salah satu yang termasuk
amina biogenik adalah histamin, dimana histamine ini termasuk hazard atau bahan
kimia berbahaya. Zaman M.Z. et al. (2010), menambahkan bahwa amina biogenik dapat
hadir dalam produk makanan, terutama makanan fermentasi seperti kecap ikan, keju,
bir, dan asinan. Amina biogenik memiliki berat molekul senyawa nitrogen yang rendah,
contoh amina biogenik selain histamine yaitu putrescine, cadaverine, dan tyramine.
Kehadiran senyawa tersebut dapat mengakibatkan efek toksikologi kepada konsumen
seperti hipertensi, sakit kepala, diare, ruam, dan peradangan jika tertelan dalam jumlah
berlebihan. Jika senyawa amina terbentuk, maka akan sangat sulit untuk memisahkan

maupun menghilangkan senyawa tersebut dari produk pangan sekalipun diberi


perlakuan pemanasan seperti autoclaving.

Produk ikan fermentasi dapat diperoleh dengan cara hidrolisis alami oleh enzim
endogen dan mikroorganisme. Proteolisis protein ikan menyebabkan meningkatnya
protein larut selama fermentasi. Selama proses fermentasi, jaringan ikan akan hancur
secara bertahap sehingga produk akhir yang dihasilkan adalah berupa cairan. Jaringan
ikan yang hancur terdegradasi oleh enzim protease secara endogen dan eksogen. Enzim
protease ini dapat menghidrolisis protein menjadi unit-unit peptida yang lebih kecil atau
dikenal dengan asam amino bebas. Enzim ini penting dalam fermentasi kecap ikan
karena merupakan enzim pengkatalis degradasi asam amino. Perubahan aktivitas
protease berhubungan dengan konsentrasi garam dan faktor lain selama fermentasi,
dimana aktivitas ini bergantung pada konsentrasi garam. Konsentrasi garam yang tinggi
dapat menghambat aktivitas enzim, tekanan osmotik meningkat, sehingga jaringan pada
ikan mengeras dan aktivitas enzim protease terhambat. Produk cair pada kecap ikan
disebabkan karena garam dengan konsentrasi tinggi dan adaya hidrolisis ikan (Ng, Y.F.
et al. 2011).

Kecap ikan dapat dibuat dengan dua cara yaitu dengan fermentasi menggunakan garam
maupun dengan fermentasi secara enzimatis. Olubunmi F. et al. (2010), mengatakan
bahwa fermentasi merupakan salah satu metode pengawetan ikan yang murah dan
mudah untuk dilakukan. Menurut Astawan & Astawan (1988), fermentasi menggunakan
garam membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu lebih dari 7 bulan. Prinsip dari
fermentasi kecap ikan menggunakan garam yaitu adanya penarikan komponen ikan,
terutama komponen protein oleh garam. Hal ini dapat terjadi karena penambahan garam
dalam jumlah tinggi akan menyebabkan naiknya tekanan osmotik sehingga air dari
tubuh ikan akan keluar. Garam dengan konsentrasi tinggi akan memiliki tekanan
osmotik yang tinggi, sehingga air dapat ditarik keluar dari dalam tubuh ikan. Selain itu,
dengan konstentrasi garam yang tinggi, dapat melindungi ikan dari kontaminasi oleh
lalat, belatung, maupun pembusukan. Semakin tingginya kandungan garam, maka
pertumbuhan dari bakteri patogen dan bakteri putrefactive dapat dicegah sehingga umur
simpan dapat diperpanjang (Olubunmi F. et al., 2010).

Kelebihan dari fermentasi dengan garam yaitu terdapat cairan supernatant yang
dihasilkan mengandung nitrogen terlarut seperti protein, peptida, dan asam amino yang
ketika semakin lama disimpan akan semakin meningkat akibat pemecahan protein ikan
oleh enzim dari ikan tersebut dan akan dihasilkan flavor yang enak (Shih et al., 2003).
Konsentrasi garam yang terkandung dalam kecap ikan tinggi (sekitar 25-30%, w/v
NaCl), sehingga mikroorganisme yang ditemukan pada produksi kecap ikan umumnya
diklasifikasikan sebagai bakteri halofilik (Somboon Tanasupawat et al., 2009). Flavor
kecap ikan dihasilkan oleh mikroba halofilik seperti Saccharomyces, Torulopsis, dan
Pediococcus selama fermentasi garam berlangsung (Astawan & Astawan, 1988). Proses
fermentasi

yang

dilakukan

dengan

cara

tradisional,

menggunakan

garam,

mengahasilkan rasa dan aroma yang khas, lebih disukai dan dapat diterima dibanding
dengan menggunakan metode enzimatis (Jin-jin Jiang et al., 2007). Menurut M. Zarei et
al., (2011), konsentrasi garam (NaCl) yang tinggi, dapat memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan mikroba dan laju fermentasi, sehingga berpengaruh pula terhadap kualitas
sensori dan keamanan dari produk.

Pembuatan kecap ikan secara enzimatis dilakukan dengan penambahan enzim protease.
Enzim protease tersebut misalnya enzim papain yang berasal dari getah pepaya muda
atau bromelin yang berasal dari nanas muda. Enzim ini mampu menguraikan protein
menjadi beberapa komponen seperti peptide, peptone, dan komponen asam amino yang
saling berinteraksi sehingga menciptakan rasa yang khas. Fungsi dari penambahan
enzim yaitu dapat mempercepat penguraian protein sehingga proses pembuatan kecap
ikan dapat dipersingkat menjadi 3 hari (Afrianto & Liviawaty, 1989). Kelebihan dari
fermentasi dengan menggunakan enzim yaitu memerlukan waktu yang jauh lebih
singkat jika dibandingkan fermentasi dengan menggunakan garam. Selain itu,
kandungan protein yang terkandung dalam kecap juga lebih tinggi. Namun
kelemahannya, fermentasi kecap ikan dengan enzim mempunyai aroma dan cita rasa
yang kurang dapat diterima / disukai masyarakat yang telah terbiasa mengkonsumsi
kecap ikan yang diolah secara fermentasi dengan garam (Astawan & Astawan, 1988).

Pembuatan kecap ikan yang praktikan lakukan menggunakan cara enzimatis. Fermentasi
dengan penggunaan enzim harus memperhatikan karakteristik enzim protease. Enzim
protease hanya tahan terhadap konsentrasi garam yang relatif tidak terlalu tinggi, yaitu
sekitar 10-20%, sehingga penambahan garam tidak boleh dilakukan sebelum fermentasi
berlangsung (Tri & Cn, 2006). Langkah-langkah yang dilakukan yaitu menghancurkan
tulang ikan, kepala ikan, dan ekor ikan, kemudian dihaluskan dan ditimbang sebanyak
50 gram. Tujuan penghancuran yaitu untuk meningkatkan efektivitas ekstraksi karena
sel yang rusak akan mudah dikeluarkan senyawa flavor-nya. Senyawa-senyawa
pembentuk flavor tersebut biasanya terdistribusi pada bahan yang terikat sebagian
dengan lemak, protein, atau air. Penghancuran yang dilakukan oleh praktikan
menyebabkan permukaan bahan menjadi luas, sehingga dengan meningkatnya luas
permukaan bahan maka rasio luas permukaan terhadap volume bahan semakin
meningkat dan menyebabkan kemampuan pelepasan komponen flavor semakin besar
(Saleh et al., 1996).

Setelah dihancurkan, bahan tersebut dimasukkan ke dalam toples dan ditambahkan


enzim papain dalam bentuk serbuk ke dalam tolpes dengan konsentrasi 0,2% untuk
kelompok A1; 0,4% untuk kelompok A2; 0,6% untuk kelompok A3; 0,8% untuk
kelompok A4; dan 1% untuk kelompok A5. Selanjutnya enzim papain dicampur dengan
pengadukan hingga rata, lalu campuran tersebut diinkubasikan selama 4 hari. Enzim
papain merupakan enzim protease. Menurut Sangjindayvong et al (2009), enzim
protease adalah enzim yang berperan dalam pembuatan kecap ikan. Enzim papain
berasal dari getah buah pepaya muda. Penambahan enzim papain dalam praktikum ini
yaitu untuk mempercepat penguraian protein sehingga pembuatan kecap ikan dapat
dipersingkat menjadi beberapa hari saja, dimana pada praktikum ini fermentasi hanya
membutuhkan waktu 4 hari (Afrianto & Liviawaty, 1989). Hal ini dapat terjadi karena
enzim papain dapat menghidrolisis protein dengan memecah ikatan peptida pada
substrat dengan kondisi yang memungkinkan menjadi peptide, peptone, dan asam amino
yang saling berinteraksi. Peristiwa pemecahan protein ini akan menghasilkan rasa dan
aroma kecap ikan yang khas (Lay, 1994). Namun, aktivitas enzim papain dapat
terhambat bahkan berhenti akibat suhu yang tinggi (61C hingga 81). Hal ini

10

disebabkan karena enzim merupakan protein sehingga rentan terhadap suhu tinggi
(Sangjindayvong et al, 2009)

Hasil fermentasi enzimatik kecap ikan yang dihasilkan kemudian disaring dan diperoleh
filtrat. Penyaringan dilakukan supaya jumlah filtrat yang diambil dapat maksimal.
Selanjutnya, filtrat yang dihasilkan lalu direbus hingga mendidih selama 30 menit
dimana selama perebusan, ditambahkan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan, bumbu
tersebut antara lain yaitu 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 3 butir gula
kelapa. Penambahan bumbu-bumbu selama perebusan digunakan untuk menambah
aroma dan cita rasa kecap ikan. Semua bumbu yang ditambahkan dalam praktikum ini
memiliki kemampuan sebagai pengawet. Bawang putih mengandung allicin dan alliin
yang efektif sebagai antimikroba (Fachruddin, 1997). Garam juga dapat berfungsi
sebagai pengawet, memberi rasa asin, dan menguatkan rasa. Kemampuan garam sebagai
pengawet dikarenakan dengan penambahan garam membuat Aw menurun, menurunkan
kelarutan oksigen, dan mengganggu keseimbangan ionik sel mikroba karena
peningkatan proton di dalam sel (Desrosier & Desrosier, 1977). Garam dengan asam
glutamat yang terkandung dalam ikan ketika berinteraksi akan membentuk flavor yang
enak. Sedangkan penambahan gula dapat memberikan flavor spesifik pada kecap ikan
dan menyebabkan warna kecap ikan yang dihasilkan menjadi coklat karamel serta
meningkatkan viskositas kecap ikan (Kasmidjo, 1990). Setelah campuran tersebut
mendidih dan agak dingin, dilakukan penyaringan kedua dengan tujuan supaya pada
filtrat kecap ikan tidak terdapat pengotor yang tidak diinginkan, kemudian diamati
secara sensoris yang meliputi warna, aroma, rasa dan penampakan.

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa warna kecap ikan pada semua
kelompok dari A1 hingga A5 adalah coklat gelap. Hal ini sesuai dengan teori Astawan
& Astawan (1991), bahwa aktivitas enzim proteolitik pada ikan menyebabkan
terbentuknya cairan yang berwarna coklat. Apabila penambahan enzim papain semakin
banyak, maka aktivitas protease akan semakin tinggi sehingga menghasilkan cairan
hasil hidrolisa semakin gelap. Namun, hasil yang praktikan dapatkan kurang sesuai
dengan teori tersebut. Seharusnya, kecap ikan yang berwarna paling terang adalah kecap
ikan kelompok A1 dengan konsentrasi penambahan papain paling sedikit yaitu 0,2%

11

dan yang paling gelap adalah kecap ikan kelompok A5, karena konsentrasi papain yang
ditambahkan paling banyak, yaitu 1%. Yuli W. et al. (2014) menambahkan bahwa
warna kecap ikan sangat penting karena berhubungan dengan rasa yang dihasilkan,
dimana penambahan gula dapat menyebabkan warna coklat dan meningkatnya
viskositas yang merupakan sifat khusus dari kecap ikan.

Berdasarkan hasil pengamatan rasa kecap ikan, didapatkan bahwa pada kelompok A1,
A4, dan A5 kecap asin yang dihasilkan memiliki rasa asin, sedangkan pada kelompok
A2 dan A3 kecap asin yang dihasilkan memiliki rasa sangat asin. Berdasarkan teori
Astawan & Astawan (1991), apabila konsentrasi enzim yang ditambahkan semakin
tinggi, maka rasa kecap ikan akan semakin lemah (tidak tajam). Seharusnya, rasa yang
paling asin diperoleh dari kelompok A1 dengan konsentrasi papain terendah (0,2%) dan
rasa yang paling tidak asin diperoleh dari kelompok A5 dengan konsentrasi papain
tertinggi (1%). Kesalahan pada praktikum ini dapat disebabkan karena penambahan
bumbu yang dilakukan praktikan untuk menambah rasa dan aroma. Rasa dan bau kecap
ikan sangat ditentukan dengan jenis bumbu yang ditambahkan (Astawan & Astawan,
1991). Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena kualitas kecap ikan sangat
ditentukan oleh jumlah penggunaan garam dan lamanya proses fermentasi. Karena pada
praktikum ini digunakan fermentasi enzimatis dengan lama waktu yang sama,
perbedaan rasa kecap ikan tersebut disebabkan karena jumlah penambahan garam oleh
praktikan yang terlalu banyak atau terlalu sedikit (Afrianto & Liviawaty, 1989). Selain
itu, dapat juga disebabkan karena perbedaan lama waktu dan suhu pemanasan yang
praktikan gunakan. Apabila suhu semakin tinggi dengan waktu pemanasan yang lebih
lama, kecap ikan akan menjadi kental sehingga konsentrasi garam meningkat dan
membuat rasa menjadi asin (Astawan & Astawan, 1991).

Perubahan aroma dan bau pada kecap ikan setelah fermentasi disebabkan oleh senyawasenyawa yang berperan dalam pembentukan bau dan aroma kecap ikan antara lain 2methylpropanal, 2-methylbutanal, 2-pentanone, 2-ethylpyridine, dimethyl trisulfide, 3(methylthio)-proppanal, and 3-methylbutanoic acid (Ritthiruangdej & Thongchai,
2006). Dari praktikum ini, diperoleh hasil bahwa aroma kecap ikan pada kelompok A1
hingga A3 adalah agak tajam, pada kelompok A4 aroma yang dihasilkan kurang tajam

12

dan pada kelompok A5 aroma yang dihasilkan sangat tajam. Tajam menurut panelis
disebabkan karena panelis maupun orang pada umumnya tidak terbiasa dengan kecap
ikan yang dibuat secara enzimatis sehingga aroma maupun cita rasa dari kecap ikan
dengan penambahan enzim kurang disukai masyarakat (Astawan & Astawan, 1988).
Astawan & Astawan (1991) berpendapat bahwa semakin banyak enzim papain yang
digunakan menyebabkan semakin banyak protease yang menghidrolisa protein ikan
sehingga aktivitas hidrolisa semakin tinggi. Dengan tingginya aktivitas hidrolisa,
komponen penyusun aroma yang dihasilkan akan semakin banyak dan membuat aroma
kecap ikan semakin tajam. Selain itu, Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan
bahwa semakin banyak enzim papain yang ditambahkan akan menutupi aroma amis dari
ikan akibat terekstraknya senyawa yang menimbulkan aroma khas pada kecap ikan.
Berdasarkan teori tersebut, seharusnya aroma kecap ikan yang paling lemah adalah
aroma kecap ikan yang dihasilkan pada kelompok A1 dengan papain konsentrasi paling
sedikit yaitu 0,2%. Ketidaksesuaian antara praktikum yang dilakukan dengan teori yang
ada kemungkinan disebabkan akibat perbedaan lama waktu dan suhu pemanasan karena
dengan semakin tinggi suhu dan waktu pemanasan yang semakin lama akan membuat
aroma menjadi tidak tajam karena penguapan yang lebih besar terhadap senyawa volatil
kecap ikan (Afrianto & Liviawaty, 1989).

Berdasarkan hasil pengamatan, penampakan kecap ikan pada kelompok A1 hingga A4


adalah kental, sedangkan penampakan kecap ikan pada kelompok A5 adalah agak
kental. Menurut Astawan & Astawan (1988) enzim papain akan menguraikan protein
menjadi peptida, pepton, dan asam amino lainnya. Penguraian ini akan menurunkan
viskositas kecap ikan, sehingga kecap ikan menjadi semakin cair. Walter (1991)
mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas antara lain, yaitu
konsentrasi, rantai silang dan keadaan lain yang terlihat, pH, dan elektrolit. Jadi,
seharusnya dengan semakin banyaknya enzim papain yang ditambahkan, maka kecap
ikan akan semakin cair. Kecap asin yang dihasilkan kelompok A5 seharusnya paling
cair, dan kecap asin yang dihasilkan kelompok A1 seharusnya sangat kental. Menurut
Yuli W. et al. (2014), viskositas atau kekentalan kecap ikan dapat dipengaruhi oleh
bahan yang digunakan dan proses pemasakan yang dilakukan. Bahan yang digunakan
meliputi penambahan gula. Proses pemanasan dapat meningkatkan bahan kering dalam

13

kecap ikan karena adanya penguapan air, sehingga akan meningkatkan viskositas kecap.
Meningkatnya viskositas karena protein yang terdapat dalam bumbu akan didenaturasi
dengan pemanasan sehingga kelarutan akan menurun. Viskositas berbanding lurus
dengan konsentrasi larutan. Penambahan gula akan menyebabkan air terikat ke dalam
makanan. Meningkatkan konsentrasi padatan terlarut dalam larutan, maka aktivitas air
(Aw) semakin rendah. Penambahan gula juga mempengaruhi gel yang dibentuk karena
gula dicampur dengan air maka akan gula tersebut akan meleleh. Protein dan gula
mengikat air, sehingga dapat meningkatkan viskositas kecap ikan. Viskositas larutan
juga dapat dipengaruhi oleh suhu, tekanan, berat molekul, dan konsentrasi larutan dan
bahan yang terlarut (Winarno, 1995).

Namun yang paling penting adalah ketidak sesuaian antara hasil pengamatan dengan
teori disebabkan karena analisa yang dilakukan adalah analisa secara sensoris. Dimana
analisa terhadap warna, rasa, aroma, dan penampakan kecap ikan ini bersifat subjektif,
sesuai dengan persepsi panelis. Oleh karena itu, penerimaan tiap individu satu dengan
individu lain dapat berbeda-beda. Meritt et al. (1982), mengatakan bahwa kelemahan
metode sensorik adalah sulit untuk menstandarisasi hasil.

Untuk pengukuran salinitas kadar garam kecap ikan, dilakukan pemasakan kecap ikan
yang sudah jadi dan diteteskan pada hand refractometer, kemudian dibaca skala
salinitasnya. Astawan & Astawan (1991), mengatakan bahwa apabila konsentrasi enzim
yang ditambahkan semakin tinggi, salinitas kecap ikan akan semakin rendah. Menurut
Shadily et al., (1984), refraktometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur indeks
bias suatu medium, baik yang zat cair, padat, maupun gas dan pada praktikum ini
digunakan untuk mengukur kadar garam. Namun berdasarkan hasil pengamatan yang
diperoleh, persen salinitas kecap ikan pada semua kelompok tidak muncul. Hal ini
menurut Sears (1994), dapat disebabkan karena larutan memiliki indeks bias tertentu.
Selain itu, suhu dan konsentrasi larutan juga dapat mempengaruhi dalam penentuan
indeks bias. Indeks bias bergantung bukan hanya pada macam zat tetapi juga pada
panjang gelombang cahaya. Kecepatan merambat gelombang cahaya tidak sama dalam
semua media. Indeks bias bergantung pada berat jenis, temperatur, dan macam media
yang dilewati serta panjang gelombang cahaya datang. Faktor lain yang dapat

14

mempengaruhi indeks bias medium tidak bisa terdeteksi dengan alat refraktometer,
yaitu kesalahan praktikum, misalnya larutan pada permukaan prisma tertumpah atau
menyentuh bagian refraktometer tertentu, maka akan mengganggu pada saat pembacaan
skala pada refraktometer sehingga persen salinitas tidak dapat terbaca.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap ikan adalah tidak adanya
kontaminasi pada adonan kecap, kondisi fermentasi yang sesuai, penyimpanan yang
tepat saat fermentasi berlangsung, pemanasan yang sesuai dimana dapat mempengaruhi
viskositas kecap yang dihasilkan serta bumbu-bumbu yang digunakan sehingga dapat
menunjang rasa, aroma, warna, dan penampakan kecap yang baik. Pada faktor pertama
dikatakan kontaminasi adonan kecap karena kontaminasi dapat menghambat proses
fermentasi yang berlangsung. Jenis kontaminasi fisik, yaitu hewan seperti serangga
yang masuk ke dalam adonan kecap dan mikrobiologi, yaitu timbulnya gelembung pada
adonan yang menyebabkan mikroorganime dapat tumbuh. Akibat dari kontaminasi ini,
adonan kecap mengeluarkan warna orange kekuningan hingga coklat muda,
mengeluarkan aroma tape yang menyengat, dan muncul jamur yang berwarna putih,
berserabut seperti kapas pada permukaan adonan kecap. Kontaminasi dapat terjadi
karena wadah yang digunakan kurang bersih, tutup wadah kurang rapat atau terlalu
rapat yang mengakibatkan lubang pada plastik, karena proses fermentasi menghasilkan
gelembung yang dapat menekan tutup plastik, sehingga kontaminan dari luar dapat
masuk. Kemungkinan besar mikroba yang tumbuh pada adonan kecap dalam praktikum
ini merupakan jenis bakteri Achromobacter dan Flavobacterium serta Pseudomonas
maupun Clostridium. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moeljanto (1992), bahwa pada
ikan yang telah mati maka autolisis masih berjalan sehingga memungkinkan bagi
pertumbuhan bakteri pembsusuk. Selain itu bisa juga karena enzim yang digunakan.
Semakin tinggi aktivitas enzim, maka proses fermentasi pun berjalan cepat sehingga
menghasilkan gas yang terlalu banyak dan terjadi over fermentation yang
mengakibatkan adonan kecap busuk. Selain itu pemanasan yang mepengaruhi hasil
akhir kecap yang baik salah satunya digambarkan dengan viskositas yang baik pula.

15

Menurut Ng, Y.F. et al., (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi dan
kualitas gizi dari kecap ikan adalah kadar garam, suhu fermentasi, jenis ikan, dan bahan
tambahan yang digunakan. M. Zarei et al., (2011) menambahkan bahwa kombinasi dari
pH yang rendah, asam-asam organik (terutama asam laktat), dan garam adalah faktor
utama yang mempengaruhi produk fermentasi ikan. Produk kecap ikan fermentasi
biasanya memiliki pH yang rendah karena adanya pertumbuhan dari bakteri asam laktat.
Bakteri asam laktat adalah mikroorganisme yang paling dominan ditemukan pada
produk fermentasi ikan. pH produk kecap ikan dari mackerel-nukazuke (produk ikan
fermentasi Jepang), momoni (kecap ikan fermentasi Ghana) dan bakasang (kecap ikan
fermentasi Indonesia) memiliki range berturut-turut yaitu 5.26 - 6.37, 6.47 - 6.56 dan
5.9 - 6.3. Olubunmi F. et al., (2010), mengatakan bahwa sifat dari produk akhir
tergantung pada besarnya suhu dan pH fermentasi.

4.

KESIMPULAN

Bahan utama pembuatan kecap ikan yaitu ikan dan garam.

Kecap ikan berupa cairan berwarna coklat bening hasil hidrolisat ikan asin.

Kecap ikan dapat dibuat dengan fermentasi garam dan fermentasi enzimatis.

Fermentasi kecap ikan dengan garam melibatkan bakteri halofilik.

Fermentasi kecap ikan secara enzimatis menggunakan penambahan enzim protease.

Tujuan penambahan enzim protease yaitu untuk mempercepat penguraian protein.

Waktu yang dibutuhkan fermentasi enzimatis kecap ikan relatif singkat dengan nilai
protein tinggi, namun memiliki aroma dan rasa yang kurang disukai.

Tujuan penghancuran untuk meningkatkan efektivitas ekstraksi flavor kecap ikan.

Warna kecap ikan terbentuk karena reaksi asam-asam amino dengan gula reduksi.

Aroma dan rasa kecap ikan ditimbulkan karena adanya hidrolisa protein.

Aktivitas enzim papain dapat terganggu akibat suhu tinggi dan konsentrasi garam
yang tinggi.

Penyaringan pertama dilakukan supaya jumlah filtrat yang diambil dapat maksimal.

Penambahan bumbu berfungsi untuk menambah aroma dan cita rasa kecap ikan.

Penyaringan kedua bertujuan untuk memisahkan pengotor dari kecap ikan.

Aktivitas enzim proteolitik pada ikan membentuk cairan berwarna coklat.

Semakin banyak penambahan enzim papain menyebabkan warna kecap ikan


semakin coklat (semakin gelap), rasa sangat tidak asin, salinitas (kadar garam)
rendah, penampakan sangat cair serta aroma semakin tajam.

Lama waktu pemanasan, suhu pemanasan, dan penambahan bumbu mempengaruhi


warna, rasa, penampakan dan aroma kecap ikan.

Semarang, 21 September 2015

Asisten Dosen,
-

Elsa Olivia
13.70.0088
16

Michelle Darmawan

5.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.


Yogyakarta.
Astawan M.W. & M.W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan, M.W & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat
Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.
Hariyono, I; Yeap S.E; Kok T.N; dan Ang G.T. (2005). Use of Koji and Protease in
Fish Sauce Fermentation. J Pri Ind 32: 19-29 2005/06. Singapore.
Jay, J. M. (1986). Modern Food Microbiology 3rd Edition. Van Nastrand Reinhold
Company. New York.
Jin-jin jiang et al., (2007). Chemical and Sensory Changes Associate Yu-lu
Fermentation Traditional Chinese fish sauce. Food chemistry 104 (2007) 16291634.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba dalam Laboraturium. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Mehdi Zarei, Hossein Najafzadeh, Mohammad Hadi Eskandari, Marzieh Pashmforoush,
Ala Enayati, Dariush Gharibi, Ali Fazlara. (2011). Chemical and microbial
properties of mahyaveh, a traditional Iranian fish sauce. Food Control 23 (2012)
511-514.
Merit, J. H, M. L. Windsor, A. Aitken, I. M. Mackie. (1982). Fish Handling and
Processing Second Edition. Her Majestys Stationery Office. Edinburgh.

Ng, Y.F., Afiza T.S., Lim, Y.K., Muhammad Afif, A.G., Liong, M.T., Rosma, A. and
Wan Nadiah, W.A. (2011). Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha
melastoma for fish sauce production. Asian Journal of Food and Agro-Industry.
2011, 4(04), 247-254.
17

18

Olubunmi Fakunle, Sadiku Suleman, Ibanga Uche, and Babinisi Olumide. (2010).
Preliminary Production Of Sauce From Clupeids. New York Science Journal.
2010;3(3):45-49]. (ISSN: 1554-0200).
Ritthiruangdej, Pitiporn; dan Thongchai Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of
Thai Fish Sauces and Their Categorization. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 40 (Suppl.) :
181 - 191 (2006).
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi
Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
Sangjindayvong, Mathana; Juta Mookdasanit, Pongtep Wilaipun, Pranisa Chuapoehuk
and Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce
from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 - 795 (2009).
Zaman M.Z., Bakar F.A., Selamat J., Bakar J.. (2010): Occurrence of biogenic amines
and amines degrading bacteria in fish sauce. Czech J. Food Sci., 28: 440449.
Zemansky, Sears. 1994. Fisika untuk Universitas 3 Optika. Jakarta: Bina cipta.
Shadily, Hasan. (1984). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.
Shih, I.L.; L.G. Chen; T.S. Yu; W.T. Chang; & S.L. Wang. (2003). Microbial
reclamation of fish processing wastes for the production of fish sauce. Enzyme
and Microbial Technology 33 (2003) 154-162.
Somboon Tanasupawat et al., (2009). Indetification of Halophilic Bacteria from Fish
Sauce (Nam-pla) in Thailand. Journal of Culture Collections.Volume 6, 20082009, pp. 69-75.
Tri, Tap Chi Phat; dan Cn Tap. (2006). Characterization of Protease from Aspergillus
Oryzae Surface Culture and Application in Fish Sauce Processing. Department of
Food Technology, University of Technology, VNU-HCM.
Winarno, F. G, Food Enzymes. Jakarta: PT Gramedia. 1995.
Yuli Witono, Wiwik Siti Windrati, Iwan Taruna, Asmak Afriliana, Ahib Assadam.
(2014). Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce Products from
"Bibisan" Fish Hydrolyzate. American Journal of Food Science and Technology,
2014, Vol. 2, No. 6, 203-208.

6.

LAMPIRAN

6.1.

Perhitungan

6.2.

Laporan Sementara

6.3.

Diagram alir

6.4.

Abstrak Jurnal

6.5.

Viper

19

Anda mungkin juga menyukai