Anda di halaman 1dari 11

1.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Terasi adalah produk olahan udang atau ikan yang diproses melalui penjemuran,
penggilingan (penumbukkan) dan penambahan garam yang kemudian difermentasi.
Proses fermentasi berlangsung selama kurang lebih 1-4 minggu. Garam yang
ditambahkan dalam pembuatan terasi berfungsi sebagai pengawet atau penyeleksi
mikrobia yang tumbuh. Dalam dunia pengolahan pangan, terasi bermanfaat sebagai
penyedap rasa dalam berbagai jenis masaka seperti sambal, nasi goreng dan tumis sayur.
Pada umumnya, sebelum terasi digunakan, terasi dipanggang atau digoreng terlebih
dahulu. Pemanggangan atau penggorengan akan menghasilkan aroma yang lebih sedap
dan mendukung higienitasnya. Penggorengan atau pemanggangan juga dapat
menurunkan kadar air sehingga menjadi lebih awet. Terasi yang telah diberi perlakuan
tersebut siap digunakan langsung dan disebut sebagai terasi udang instan. Terasi udang
instan ini berbentuk serbuk sehingga akan lebih mudah dalam mengaplikasikan karena
sifatnya yang mudah larut.
Produk terasi udang instan memiliki kadar air yang berkisar antara 3-5%. Dengan kadar
air tersebut menyulitkan mikroorganisme untuk tumbuh. Karena kadar air yang rendah
atau sifatnya yang higroskopis mengakibatkan terasi udang instan sangat rentan
terpengaruh dengan kelembaban lingkungan. Ketika kelembaban meningkat akan
mengakibatkan terasi udang instan menjadi mudah menggumpal dan penurunan mutu.
Untuk mengatasi permasalah tersebut, kemasan yang tepat memainkan peranan yang
penting. Jenis material dan bentuk kemasan harus disesuaikan dengan sifat dan
karakteristik produk agar efektifitas dari kemasan dapat maksimal. Oleh karena itu
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemasan yang tepat untuk terasi udang instan
yang ditinjau dari karakteristik fisik berupa kemampuan pembasahan, karakteristik
kimia berupa kadar air, bilangan thiobarbituric acid (TBA), kadar abu tidak larut asam
dan kandungan protein serta karakteristik mikrobiologi berupa Total Plate Count (TPC).

1.2. Tinjauan Pustaka


1.2.1. Terasi
Terasi umumnya dibuat dari udang kecil (Atya sp) yang di Indonesia sering disebut
dengan udang rebon dan dari ikan kecil atau teri (Stolephorus sp). Proses pembuatan
terasi ini dilakukan secara fermentasi. Selama fermentasi, protein dihidrolisis oleh
enzim protease menjadi turunan-turunannya seperti pepton, peptida, atau asam-asam
amino. Dengan demikian, produk terasi ini menjadi lebih mudah dicerna oleh manusia.
Fermentasi juga menghasilkan amonia. Gas inilah yang mengkibatkan terasi mentah
mempunyai aroma yang kurang sedap. Tetapi di dalam masakan, justru terasi ini yang
digunakan sebagai penyedap dan menimbulkan cita rasa (flavoring agent) (Astawan dan
Astawan, 1988). Selama proses fermentasi udang berlangsung, protein akan terhidrolisis
menjadi peptida dan asam-asam amino kemudian akan terurai lebih lanjut menjadi
komponen yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk (Rahayu, 1992).
Menurut Standar Industri Indonesia (SNI) tahun 1992 terasi adalah suatu jenis penyedap
makanan berbentuk padat, berbau khas hasil fermentasi udang/ikan atau campuran
keduanya dengan garam atau bahan tambahan lainnya. Terasi merupakan produk
fermentasi udang yang diolah dengan cara pencucian bahan, penjemuran, dan
penggilingan diikuti dengan proses fermentasi yang berlangsung secara spontan
(Anonim,2009). Bahan yang biasa digunakan untuk terasi berkualitas baik berasal dari
udang atau rebon. Sedangkan terasi dengan mutu rendah biasanya dibuat dari limbah
ikan, sisa ikan sortiran dengan campuran bahan tambahan tepung tapioka atau tepung
beras, dan berbagai jenis ikan kecil (teri) serta udang kecil (rebon) (Adawyah, 2007).
Produk terasi secara tradisional memiliki kualitas yang bervariasi karena terasi termasuk
dalam golongan fermentasi spontan karena dalam pembuatannya tidak ditambahkan
ragi, sehingga pertumbuhan bakteri asam laktat, serta aktivitasnya dapat dirangsang
(Edam, 2003). Dalam proses pembuatan terasi ikan-ikan kecil atau rebon diawetkan
dengan melalui proses penggaraman, pemeraman aatau fermentasi, penggilingan atau
penumbukan, dan penjemuran yang berlangsung selama 20 hari. Garam memiliki
fungsi ganda, yaitu untuk memantapkan cita rasa terasi yang dihasilkan dan pada
konsentrasi 20% (200 gram/kg bahan baku), garam mampu berperan sebagai bahan

pengawet. Namun apabila lebih dari 20%, justru akan mengganggu proses fermentasi
karena tidak adanya air bebas (Aw) yang tersedia bagi pertumbuhan mikrobia yang
berperan dalam proses fermentasi (Suprapti, 2002). Mutu terasi sangat dipengaruhi oleh
mutu bahan baku, pengolahan dan penanganan produk akhir.
Penambahan garam dalam fermentasi akan mempengaruhi populasi organism, yaitu
organism yang dapat tumbuh, sehingga kadar garam dapat digunakan untuk
mengendalikan aktivitas fermentasi. Garam memiliki sifat antimikroba yang mampu
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Rahayu, 1992). Konsentrasi
garam diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme yang membutuhkan konsentrasi
garam NaCl untuk pertumbuhannya (halofilik) dan mikroorganisme yang dapat tumbuh
tanpa garam atau dengan adanya garam sampai konsentrasi 12% (halotoleran) (Fardiaz,
1992). Mikroba yang tumbuh selama fermentasi sangat mempengaruhi mutu produk
hasil fermentasi. Mikroba yang berperan dalam fermentasi terasi adalah bakteri asam
laktat, bakteri asam acetat, kamir dan jamur. Strain dari bakteri asam laktat adalah
Leuconostoc mesenteroides, Pediococcus cereviceae,

Lactobacillus plantarum dan

Streptococcus feacalis (Pederson, 1971).


Tabel 1. Komposisi Nutrisi terasi segar per 100 gram Bahan
Zat gizi
Komposisi
Energi (kal)
155
Protein (gram)
22,3
Lemak (gram)
2,9
Karbohidrat (gram) 9,9
Serat (gram)
2,7
Abu (gram)
31,1
Kalsium (mg)
38,2
Fosfor (mg)
726
Besi (mg)
78,5
Karoten (mkg)
0
Vitamin A (SI)
0
Vitamin B (mg)
0,24
Vitamin C (mg)
0
Air (gram)
33,8
b.d.d (%)
100
Sumber : Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia 1995 (Suprapti,2002)

Terasi mengandung protein 22,3 %, karbohidrat 9,9 % dan lemak 2,9 %. Selain itu,
terasi mengandungan vitamin dan mineral. Komposisi nilai nutrisi yang terkandung
dalam 100 gram terasi segar dapat dilihat pada Tabel 1. Mutu dari terasi udang basah
terdapat pada SNI 01-2716.1-2009. Persyaratan mutu terasi udang SNI 01-2716.1-2009,
tersaji dalam tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan Mutu Terasi Udang Menurut SNI Nomor 01-2716.1-2009
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
I. Organoleptik
Angka (1-9)
Minimal 7
II. Cemaran Mikroba *
APM / g
Minimal < 3
- Escherichia coli
Per 25 g
Negatif
- Salmonella
Koloni / g
1 x 103
- Staphylococcus aureus
Per 25 g
Negatif
- Vibrio cholerae
III. Kimia
- Kadar Air
% Fraksi Massa
30 - 50
- Kadar Abu Tak Larut dalam Asam
% Fraksi Massa
Maksimal 1,5
- Kadar Garam
% Fraksi Massa
Maksimal 10
- Kadar Protein
% Fraksi Massa
Maksimal 15
- Kadar Karbohidrat
% Fraksi Massa
Maksimal 2
*) bila diperlukan
Terasi bubuk atau terasi udang instan diolah dari terasi mentah dilanjutkan dengan
proses pemanasan hingga kering kemudian dihaluskan. Ciri khas dari terasi udang
instan adalah praktis dalam pemakaiannya dan juga praktis dalam penyimpanannya
(Marihati et al., 2004). Pembuatan terasi udang instan siap saji atau dengan kata lain
terasi udang instan tersebut dapat langsung dikonsumsi tanpa perlakuan pemasakan
lainya. Untuk itu dalam prosesnya perlu dilakukan pemanasan oven pada suhu 1500C
selama 30 menit (Suprapti, 2002). Pemanasan dilakukan sebelum proses penghalusan,
dimana proses pemanasan pada suhu tinggi dapat mematikan mikroba. Dengan
perlakuan yang demikian diharapkan terasi udang instan yang dihasilkan lebih higienis
dan aman untuk dikonsumsi langsung oleh manusia (siap saji) tanpa melalui proses
pemasakan lagi (Azwardi, 2004).
Terasi yang akan diolah menjadi terasi udang instan pertama-tama perlu dilakukan
pengecilan ukuran. Hal ini penting untuk membantu proses pengeringan dalam oven
agar merata. Dengan semakin kecilnya partikel bahan yang dikeringkan, maka proses

pengeringan pun menjadi lebih cepat. Kecilnya ukuran bahan yang dikeringkan
menjadikan luas permukaan bahan meningkat sehingga proses transfer panas menjadi
lebih efisien. Setelah terasi dikeringkan dengan pengovenan, dilakukan penggilingan.
Dengan penggilingan maka produk akan dihancurkan menjadi partikel yang lebih kecil.
Untuk mendapatkan keseragaman ukuran partikel terasi udang instan, maka dilakukan
pengayakan dengan menggunakan ayakan 170 mesh. Mesh adalah banyaknya lubang
yang terdapat pada 1 inchi linier.
Mutu terasi udang instan akan menurun seiring dengan bertambahnya umur produk.
Selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi, mutu produk
pangan akan mengalami perubahan karena adanya interaksi dengan berbagai faktor.
Reaksi penurunan mutu suatu produk makanan dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik
dan faktor intrinsik. Faktor ekstrinsik (lingkungan) meliputi udara, oksigen, uap air,
cahaya, suhu dan mikroorganisme, sedangkan faktor intrinsik meliputi komposisi
produk. Mutu terasi udang instan dari segi fisik yaitu kemampuan pembasahan sebagai
produk instan mengacu pada pustaka Hartomo & Widiatmoko (1993) yang mengatakan
bahwa Proses pembasahan pada produk instan yang baik memiliki waktu yang singkat
dengan langsung turun ke dasar. Pada segi kimia yaitu kadar air mutu terasi udang
instan mengacu pada SNI 01-4281-1996 untuk bumbu penyedap makanan dan SNI
7690.1:2013 untuk abon ikan, bilangan thiobarbituric acid (TBA) mengacu pada SNI
01-2352-1991 untuk batas bilangan thiobarbituric acid (TBA) untuk produk pangan,
kandungan protein

mengacu pada SNI 01-4281-1996 mengenai bumbu penyedap

makanan dan SNI 7690.1:2013 untuk abon ikan serta untuk kadar abu tidak larut asam
mengacu pada SNI 01-2716.1-2009 mengenai terasi udang. Pada segi mikrobiologi,
mutu terasi udang instan mengacu pada SNI 01-4281-1996 untuk bumbu penyedap
makanan dan SNI 7690.1:2013 untuk abon ikan. Tabel penjelas untuk acuan referensi
mutu terasi udang instan dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Acuan Referensi Mutu Terasi Udang Instan


Karakteristik Terasi udang instan
Referensi
I. Fisik
Kemampuan Pembasahan
Hartomo & Widiatmoko (1993)
II. Kimia
Kadar Air
SNI 01-4281-1996; SNI 7690.1:2013
Bilangan TBA
SNI 01-2352-1991
Kadar Protein
SNI 01-4281-1996; SNI 7690.1:2013
Kadar Abu Tidak Larut Asam
SNI 01-2716.1-2009
III. Mikrobiologi
SNI 01-4281-1996; SNI 7690.1:2013
Total Plate Count
Terasi udang instan yang berbentuk serbuk memiliki sifat higroskopis. Suatu bahan
yang bersifat higroskopis sensitif oleh kondisi lingkungan seperti kelembaban (Marseno
et al., 1995). Kelembaban tersebut dapat menurunkan mutu terasi udang instan karena
uap air dari lingkungan dapat terserap oleh terasi udang instan dan terasi udang instan
menjadi menggumpal. Penggumpalan akan memperbesar partikel dari terasi udang
instan sehingga luas permukaan menjadi lebih kecil dan hal ini mengakibatkan terasi
udang instan yang menggumpal larus di dalam air (Sari, 2011). Proses pembasahan pada
produk instan yang baik memiliki waktu yang singkat dengan langsung turun
(tenggelam) ke dasar tanpa menggumpal di permukaan (Hartomo & Widiatmoko 1993).
Kadar air juga mempengaruhi mutu terasi karena kadar air dalam bahan makanan
berperan menentukan daya terima dan umur simpan bahan pangan (Winarno, 1982).
Kadar air yang semakin tinggi juga dapat berpengaruh pada karakteristik mikrobiologi
dari produk terasi udang instan.
Proses pengeringan yang dilakukan selama pembuatan terasi udang instan berpengaruh
terhadap kandungan lemak terasi udang instan yang dihasilkan. Perlakuan panas yang
diberikan dengan suhu tertentu juga menyebabkan keluarnya lemak bersamaan dengan
keluarnya cairan atau komponen lain yang tidak terikat dengan air dari dalam bahan
(Winarno, 1982). Kadar lemak dalam bahan yang ikut teruapkan, yang menyebabkan
kadar lemak berkurang. Adanya kadar lemak yang semakin rendah membuat produk
tidak mudah teroksidasi dan tidak mudah menjadi tengik. Proses ketengikan terjadi
karena adanya reaksi trigliserida tidak jenuh dan oksigen dari udara, molekul oksigen
akan bergabung pada ikatan ganda molekul trigliserida yang menyebabkan timbulnya
rasa tengik yang tidak sedap (Gaman & Sherrington, 1994). Ketengikan pada produk

dapat dianalisa dengan mengunakan perhitungan bilangan Thiobarbituric Acid (TBA).


Bilangan TBA merupakan cara pengujian untuk menentukan tingkat ketengikan lemak
pada suatu bahan pangan yang ditunjukkan oleh jumlah malonaldehid per kg bahan
sebagai hasil reaksi oksidasi lemak (Siswina, 2011).
Proses pemanasan dapat meningkatkan daya cerna protein karena terjadinya denaturasi,
sehingga daya cerna oleh enzim protease menjadi lebih mudah. Denaturasi protein dapat
diartikan sebagai suatu proses terpecahnya ikatan hydrogen, interaksi hidrofobik, ikatan
garam,dan terbentuknya lipatan atau wiru molekul (Winarno, 1992). Dalam analisanya,
protein dipengaruhi oleh kandungan nitrogen (Arpah, 1993). Metode analisa protein
yang sering digunakan adalah metode kjeldahl.
Terasi udang instan terbuat dari udang rebon yang kebanyakan rebon hidup di laut,
beberapa spesies hidup di laut atau muara sungai (Suwignyo, 2005). Analisa kadar abu
tidak larut asam digunakan untuk mengetahui adanya kontaminasi mineral atau logam
yang tidak larut asam dalam suatu produk. Abu tidak larut asam dapat pula digunakan
untuk mengetahui salah satu kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses
pengolahan (Basmal et al., 2003).

1.2.2. Bahan Pengemas Produk Pangan


Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau
tempat yang dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya (Syarief et al.,
1989). Adanya kemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan,
melindungi bahan yang ada di dalamnya dari pencemaran serta gangguan fisik seperti
gesekan, benturan dan getaran. Tujuan pengemasan makanan adalah untuk
mengawetkan makanan, yaitu mempertahankan kondisi kering dari produk, memberikan
kemudahan penyimpanan dan yang lebih penting lagi dapat menekan peluang terjadinya
kontaminasi dari udara, air, dan tanah baik oleh mikroorganisme pembusuk,
mikroorganisme yang dapat membahayakan kesehatan manusia, maupun bahan kimia
yang bersifat merusak atau racun (Winarno dan Jenie, 1983).

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat
bahan pangan, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling
umum terjadi pada bahan pangan adalah perubahan kadar air, pengaruh gas, dan cahaya.
Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri,
pengerasan atau penggumpalan pada produk bubuk (Syarief et al., 1989). Bahan pangan
mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau
pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air
dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus
rendah terhadap gas tersebut (barrier) (Purnomo dan Adiono, 1987). Produk terasi
udang instan yang bersifat kering harus dilindungi terhadap masuknya uap air, oleh
sebab itu harus dikemas dengan kemasan yang memiliki permeabilitas air yang rendah
(Syarief et al., 1989).

1.2.2.1.

Polyethylene Tetraphthalat (PET)

PET adalah hasil kondensasi polimer etilen glikol dan asam tetraptalat,dan dikenal
dengan nama dagang mylar. Jenis plastik ini banyak digunakan dalam laminasi terutama
untuk meningkatkan daya tahan kemasan terhadap kikisan dan sobekan sehingga
banyak digunakan sebagai kantung-kantung makanan. Sifat-sifat plastik PET adalah
tembus pandang (transparan), bersih dan jernih, tahan terhadap suhu tinggi (3000C),
permeabilitasnya terhadap uap air dan gas rendah, tahan terhadap senyawa organik
seperti asam-asam organik (asam sitrat) dari buah-buahan sehingga dapat digunakan
untuk mengemas minuman sari buah,tidak tahan terhadap asam kuat, fenol dan benzil
alkohol, kuat dan tidak mudah sobek, tidak mudah dikelim dengan pelarut (Mega,
2012).

1.2.2.2.

Polypropylene (PP)

Polipropilen adalah polimer dari propilen dan termasuk jenis plastik olefin. Sifat-sifat
dan penggunaannya sangat mirip dengan polietilen, yaitu : ringan (densitas 0.9 g/cm3),
mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film, tapi tidak transparan
dalam bentuk kemasan kaku, lebih kuat dari PE (Robertson, 1993). Pada suhu rendah
akan rapuh, dalam bentuk murninya mudah pecah pada suhu - 300C sehingga perlu
ditambahkan PE atau bahan lain untuk memperbaiki ketahanan terhadap benturan.

Tidak dapat digunakan untuk kemasan beku. PP juga lebih kaku dari PE dan tidak
mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi. Daya tembus
(permeabilitasnya) PP terhadap uap air rendah, permeabilitas terhadap gas sedang, dan
tidak baik untuk bahan pangan yang mudah rusak oleh oksigen. PP tahan terhadap suhu
tinggi sampai dengan 1500C, sehingga dapat dipakai untuk mensterilkan bahan pangan.
PP mempunyai titik lebur yang tinggi, sehingga sulit untuk dibentuk menjadi kantung
dengan sifat kelim panas yang baik. Polipropilen juga tahan lemak, asam kuat dan basa,
sehingga baik untuk kemasan minyak dan sari buah. Pada suhu kamar tidak terpengaruh
oleh pelarut kecuali oleh HCl. Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, siklen,
toluen, terpentin dan asam nitrat kuat (Syarief et al., 1989).

1.2.2.3.

Polyethylene (PE)

Polietilen adalah polimer dari monomer etilen yang dibuat dengan proses polimerisasi
adisi dari gas etilen yang diperoleh dari hasil samping industri minyak dan batubara.
Polietilen merupakan film yang lunak, transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan
benturan dan kekuatan sobek yang baik. Pemanasan polietilen akan menyebabkan
plastik ini menjadi lunak dan cair pada suhu 110oC. Sifat permeabilitasnya yang rendah
dan sifat mekaniknya yang baik, maka polietilen dengan ketebalan 0.001 0.01 inchi
banyak digunakan unttuk mengemas bahan pangan. Plastik polietilen termasuk
golongan termoplastik sehingga dapat dibentuk menjadi kantung dengan derajat
kerapatan yang baik (Syarief et al., 1989).

1.2.2.4.

Metalized

Metallized plastic atau kemasan laminasi adalah kemasan kombinasi antara plastik
dengan aluminium. Kemasan ini cocok digunakan sebagai pengemas produk instan
seperti kopi, makanan kering dan bumbu penyedap rasa. Metallized plastic bersifat tidak
meneruskan cahaya, menghambat masuknya oksigen, menahan bau, memberikan efek
mengkilap, dan mampu menahan gas (Brown, 1992). Selain itu, metallized plastic
mudah disobek sehingga memudahkan konsumen membuka kemasan.
Plastik laminasi biasanya terdiri dari 3 lapisan yaitu plastik OPP, CPP dan Aluminuim
foil. Plastik OPP (Oriented Polypropilene) merupakan modifikasi dari polipropilen yang

10

dalam pembuatannya ditarik ke satu arah. Jika propilen ditarik ke dua arah disebut
BOPP (Biaxially Oriented Polypropilene). OPP mempunyai sifat tahan terhadap suhu
tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak, tetapi rapuh terhadap suhu rendah.
OPP digunakan untuk produk-produk yang memerlukan sifat penahanan terhadap uap
air tinggi (Robertson, 1993).
Aluminium foil merupakan jenis kemasan yang juga sering dipakai. Foil merupakan
bahan kemas dari logam, berupa lembaran dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15
mm. Foil mempunyai sifat hermetis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Pada umumnya
digunakan sebagai bahan pelapis yang ditempatkan pada bagian dalam (lapisan dalam)
atau bagian tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan (Syarief et al.,
1989). Jenis pengemas yang dilapisi dengan Aluminium foil akan meningkatkan daya
barrier nya. Hal ini disebabkan oleh karena lapisan aluminium memiliki ketahanan
yang tinggi terhadap gas dan uap air serta memiliki ketahanan terhadap sinar ultraviolet
(Coles & McDowell, 2003). Untuk pengemas metallized lapisan aluminium yang
digunakan di bawah 7 m (Kadoya, 1990).

Bentuk dari kemasan menyesuaikan jenis produk yang akan dikemas. Produk instan
biasa dikemas dengan menggunakan botol dengan ukuran kecil dan kemasan sachet.
Kemasan botol merupakan salah satu contoh pengemas pastik kaku. Dalam penggunaan
kemasan botol harus diperhatikan adanya head space yang merupakan ruang kosong
antara permukaan produk dengan tutup. Besarnya head space bervariasi tergantung
jenis produk dan jenis wadah (Muchtadi, 1994). Tinggi head space pada botol berkisar
antara 2,5 -3,5 cm (AFRC Institute of Food Research, 1989).
Kemasan sachet atau kantung terbuat dari plastik film yang bersifat fleksibel. Pada
industri skala kecil (rumah tangga) dan menengah, penggunaan kemasan sachet berupa
kantung (setengah jadi). Kantung kemudian diisi dengan produk lalu diseal sesuai
dengan kebutuhan (Syarief, 1989).

11

Tabel 4. Permeabilitas Oksigen dan Uap Air Pada Beberapa Jenis Kemasan
H2O x 1011
O2 x 1011
Jenis
mL cm cm-2 s-1 (cm Hg)-1
mL cm cm-2 s-1 (cm Hg)-1
Kemasan
0
pada 23 C, 0% RH
pada 230C, 100% RH
LDPE
15-30
5-10
PP
9-16
4-10
PET
0,14
4-6a
Keterangan: a 400C, 90% RH

(Robertson, 2009)
Dalam pemilihan jenis bahan pengemas harus diketahui terlebih dahulu sifat dari bahan
pengemas tersebut, terutama permeabilitas (barrier). Permeabilitas mempengaruhi
terjadinya perpindahan molekul-molekul baik dari lingkungan eksternal masuk ke
dalam kemasan atau sebaliknya dari produk dalam kemasan keluar ke lingkungan
sekitar melalui lapisan kemasan (Cooksey, 2004). Permeabilitas beberapa kemasan
pangan dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 5. Permeabilitas Oksigen dan Uap Air Pada Kemasan Laminasi Metalized
Water Vapor Transmission Rate
Oxygen Transmission Rate
Jenis Kemasan
(cm3/m2/atm/24 hour)
(g/m2/24 hour)
OPP25/Met/CPP30
120
0,7
Sumber: Technical Information PT Argha Karya Prima Industry

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan jenis material
dari kemasan yang berbeda terhadap karakteristik fisik (kemampuan pembasahan),
kimia (kadar air, bilangan TBA, protein dan abu tidak larut asam) dan mikrobiologi
(Total Plate Count) terasi udang instan selama penyimpanan.

Anda mungkin juga menyukai