Anda di halaman 1dari 44

Referat

Dengue Shock Syndrome

Pembimbing
dr. Dyah Kurniati, Sp.A

Penyusun
Zuki Saputra
030.07.283

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


RSPAU dr. Esnawan Antariksa
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Periode 3 September 10 November 2012

Lembar pengesahan
Dengan hormat ,
Presentasi referat pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPAU dr. Esnawan
Antariksa periode 3 September 10 November 2012 dengan judul Dengue Shock Syndrom
yang disusun oleh :
Nama

: Zuki Saputra

NIM

: 030.07.283

Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth :


Pembimbing :
dr. Dyah Kurniati, Sp.A

Menyetujui ,

( dr. Dyah Kurniati, Sp.A )

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat mengenai Dengue Shock
Syndrome guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Anak RSPAU dr. Esnawan Antariksa periode 3September 10 November
2012. Disamping itu, makalah ini ditunjukan untuk menambah pengetahuan bagi yang
membacanya.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan penulis agar referat ini dapat menjadi lebih baik.
Penulis mohon maaf yang sebesar besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri maupun pembaca umumnya.

Jakarta, Oktober 2012


Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
6
9
9
10
12
17
27
28
31
32
41
43
44
45

Isi
Pendahuluan
Etiologi
Vektor
Epidemiologi
Patogenesis
Manifestasi Klinis
Derajat DBD
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Penatalaksanaan
Komplikasi
Prognosis
Kesimpulan
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyebab penyakit pada anak-anak di Asia
Tenggara yang perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit. Infeksi mungkin tanpa gejala
4

atau mungkin menimbulkan berbagai sindroma klinis mulai dari demam berdarah
(DF), suatu nonspesifik penyakit demam, demam berdarah dengue (DHF), dan dengue
syok sindrom (DSS). (4)
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam
dengue, demam berdarah dengue, sampai demam berdarah dengue disertai syok (dengue
shock syndrome). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah
fenomena gunung es yang terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan
(silent dengue infection dan demam dengue) merupakan dasarnya.
Tanda patognomonik antara demam dengue dan demam berdarah dengue
adalah peningkatan permeabilitas kapiler darah yang menyebabkan adanya kebocoran
dari intravaskuler ke kompartemen ekstravaskuler. Pada DBD yang parah hilangnya
plasma sangat penting, pasien menjadi hipovolemik, tanda-tanda

circulatory

compromise, dan dapat menjadi syok. Demam berdarah dengue mempunyai


kemungkinan 5% menyebabkan kematian, tetapi bila berkembang menjadi sindrom
syok dengue akan meningkatkan kematian hingga 40%.
Sindrom syok dengue merupakan salah satu kegawatan di bidang infeksi. Masalah
yang berkembang di Indonesia belakangan ini adalah kecenderungan pasien yang menderita
demam berdarah dengue jatuh pada keadaan yang lebih berat, yaitu sindrom syok dengue .
Berbagai faktor ikut menggiring terjadi sindrom syok dengue yaitu faktor genetik, ketahanan
host, virulensi virus dengue, intensitas infeksi, vektor Aedes aegypti, tatanan lingkungan yang
masih ramah terhadap vektor serta penatalaksanaan yang masih perlu dioptimalkan. (2)
Penanganan DSS adalah resusitasi dengan pemberian cairan secara parenteral,
dengan tujuan untuk memulihkan dan mempertahankan kebutuhan cairan selama
periode meningkatnya permeabilitas kapiler. Perawatan khusus diperlukan untuk
menghindari overload cairan dengan semua komplikasinya. Bila resusitasi cairan
dimulai sejak tahap awal, syok biasanya reversibel, dan setelah masalah kebocoran
plasma teratasi, pasien dapat sembuh dengan baik. Rekomendasi dari WHO adalah
pergantian volume inisial dengan cairan kristaloid diikuti dengan plasma atau koloid
pada pasien dengan syok. (6)
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan
karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya
prilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir
di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang
5

tahun. Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus
ini. pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui
pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke
tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai
sekarang belum memeperlihatkan hasil yang memuaskan. Titik berat upaya pemberantasan
vektor demam berdarah oleh masyarakat dengan melaksanakan pemberantasan sarang
nyamuk ( PSN ). (2)

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

DEFINISI
Sindrom syok dengue adalah derajat terberat dari DBD yang terjadi karena
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari intravaskuler ke
ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volume intravaskuler dan hipoksemia.
Syok yang biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari
ke 3 sampai hari sakit ke 7 disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular sehingga
terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritonium,
hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia yang mengakibatkan berkurangnya
aliran balik vena, preload miokard, volume sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi
disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ. (1,2)
Pada fase awal sindrom syok dengue fungsi organ vital dipertahankan dari
hipovolemia oleh sistem homeostasis dalam bentuk takikardi, vasokonstriksi, penguatan
kontraktilitas miokard, takipnea , hiperpnea, dan hiperventilasi. Vasokonstriksi perifer
mengurangi perfusi non esensial di kulit yang menyebabkan sianosis, penurunan suhu
permukaan tubuh dan pemanjangan waktu pengisian kapiler (>2detik). Perbedaan suhu
kulit dan suhu tubuh yang >2oC menunjukkan mekanisme homeostasis masih utuh. Pada
6

tahap sindrom syok dengue kompensasi, curah jantung dan tekanan darah normal
kembali.
Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat sindrom syok dengue,
berarti sistem homeostasis sudah terganggu dan kelainan hemodinamik sudah berat,
sudah terjadi dekompensasi.
Pasien awalnya terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang
ditandai dengan kulit dingin lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat lemah, tekanan
nadi 20 mmhg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih dalam keadaan sadar sekalipun
sudah mendekati stadium akhir. (2)
Sindrom syok dengue berlanjut dengan kegagalan mekanisme homeostasis.
Efektivitas dan intregitas sistem kardiovaskular rusak, perfusi miokard dan curah jantung
menurun, sirkulasi makro dan mikro terganggu, dan terjadi iskemia jaringan dan
kerusakan fungsi sel secara progresif dan ireversibel, terjadi kerusakan sel dan organ dan
pasien akan meninggal dalam 12-24jam. (11)

2.2

ETIOLOGI (2,4,5)
Virus dengue merupakan small single stranded RNA. Infeksi dengue disebabkan
oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arbovirus) yang
sekarang dikenal dengan genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sehingga tidak memberikan perlindungan memadai terhadap serotipe lain
tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi 3-4 serotipe
selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia. Di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan
dan versirkulasi sepanjang tahun di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang
dominan dan diasumsikan banyak menimbulkan manifestasi klinis yang berat.
Virus
Virusdengue
dengue

2.3

VEKTOR (4,16)
7

Aedes aegypti adalah vektor utama nyamuk demam beradrah.


Nyamuk ini merupakan nyamuk yang berada di daerah tropis dan
subtropis. Nyamuk dewasa biasanya berada di ruangan tertutup dan
menggigit pada siang hari. Mereka beradaptasi dan berkembang biak di
sekitar tempat tinggal manusia, dalam kemasan air,vas, kaleng, ban bekas, dll.
Virus berkembang di nyamuk selama 8-10 hari (extrinsic incubation period)
sebelum menularkan kembali ke manusia. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu
masa tunas 4-7 hari (intrinsic incibation period) sebelum menimbulkan penyakit.
Penularan dari manusia ke nyamuk hanya terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari sebelum timbul
demam. (2)

2.4

TRANSMISI (4,5,15)
Virus DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti betina
yang infektif. Nyamuk medapatkan virus saat menghisap darah manusia yang terinfeksi
virus dengue. Setelah masa inkubasi, nyamuk yang terinfeksi dapat menularkan virus
selama sisa hidupnya. Bahkan nyamuk betina yang terinfeksi juga dapat menularkan
virus kepada anak-anak mereka dengan transovarial (melalui telur) transmisi, tetapi
peran penularan virus ke manusia belum didefinisikan.

Manusia yang terinfeksi virus adalah pembawa utama dan pengganda virus, karena
sebagai sumber infeksi bagi nyamuk yang tidak terinfeksi. Virus beredar dalam darah
manusia yang terinfeksi selama dua sampai tujuh hari, sekitar waktu yang sama mereka
mengalami demam, nyamuk Aedes bisa mendapatkan virus saat periode ini.

2.5

EPIDEMIOLOGI (3,4,5,13)
Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue secara simultan
atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia tropik, dimana suhu panas
dan praktik penyimpanan air dirumah menyebabkan populasi Aedes aegypti besar dan
permanen. Pada keadaan ini infeksi dengan virus dengue dari semua semua tipe sering
ada, dan infeksi kedua dengan tipe heterolog sering terjadi. Sesudah umur 1 tahun
hampir semua penderita dengan sindrom syok dengue mempunyai kenaikan sekunder
antibodi terhadap virus dengue, yang menunjukkan infeksi sebelumnya dengan virus
yang terkait erat.
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad 18. Pada masa itu infeksi
virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah
menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, penyakit ini menimbulkan manifestasi
klinis yang berat. Dalam kurun waktu lebih dari 35 tahun terjadi peningkatan yang pesat,
baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit. Sampai akhir tahun
2005, DBD sudah ditemukan di seluruh profinsi di Indonesia dan 35 kabupaten/kota
telah melaporkan adanya kejadian luar biasa (KLB). Incidence rate meningkat dari 0,005
per 100.00 penduduk pada tahun 1968, menjadi 43,42 per 100.000 pendududuk pada
akhir tahun 2005.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

peningkatan dan penyebaran kasus DBD

sangat kompleks, yaitu :

Pertumbuhan penduduk yang tinggi


Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
Peningkatan sarana transportasi

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara
lain status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Pola berjangkit virus
dengue dipengaruhi iklim dan kelembaban udara. Pada suhu panas (28-32 oC) dengan
kelembaban tinggi, nyamuk aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu
yang lama. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi
kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki.
Di Indonesia pengaruh musim terhadap demam berdarah dengue tidak begitu jelas,
namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari
dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.

10

2.6

PATOGENESIS (2,3,5)
Patogenesisnya belum dimengerti secara sempurna; penelitian epidemiologi
memberi kesan bahwa biasanya disertai dengan infeksi dengue tipe 2,3, dan 4 sekunder.
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama kali mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi tubuh memberikan
reaksi yang berbeda ketika seseorang mendapat infeksi yang berulang masuk ke dalam
tubuh melalui gigitan nyamuk. Hal ini merupakan dasar teori yang disebut the secondary
heterologous infection atau the sequential infection hypothesis. Infeksi virus yang
berulang ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga
menimbulkan kompleks antigen-antibodi dengan konsentrasi tinggi.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang
akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena
antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasi oleh tubuh sehingga akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antbodi
dependent enchancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan
replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi
tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemik dan syok.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada tiap
pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang kaan mengaktifkan sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien yang syok berat volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan
plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan hematokrit, penurunan kadar natrium,
dan terdapatnya cairan pada rongga serosa (efusi pleura,ascites). Syok yang tidak
ditangani secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia.
Selain aktifkan komplemen, reaksi ini pun menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivisasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel pembuluh darah. Kedua
11

faktor tersebut menyebabkan perdarahan oada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai
akibat

dari

perlekatan

kompleks

antigen-antibodi

pada

membran

trombosit

mengakibatkan pengeluaran ADP, sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini
membuat trombosit dihancurkan oleh RES sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi
trombosit ini menyebabkan pengeluaran platelet faktor III sehingga terjadi koagulopati
konsumtif (KID), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product)
sehingga ada penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Disisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehinga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan pada DBD akibat trombositopenia,
penurunan faktor pembekuan akibat KID, kelainan fungsi trombosit, kerusakan dinding
endotel kapiler. Akhirnya perdarahan memperberat syok yang terjadi.
Dampak metabolik lain yang terjadi pada infeksi virus dengue ialah memposisikan
tubuh host dalam kondisi hipermetabolik. Pada kondisi hipermetabolik tubuh menuntut
mitokondria untuk meningkatkan produksi ATP. Dampak sampingnya ialah peningkatan
produksi Reactive Oxygen Species (ROS). ROS bersama sitokin proinflamatori
menyebabkan penurunan elastisitas otot polos kapiler, miokard dan berpengaruh pada
sistem konduksi jantung terutama pada sindrom syok dengue. Dapat dipahami bahwa
syok pada infeksi DBD dapat terjadi akibat perpindahan plasma, perdarahan,
kelumpuhan otot polos vaskuler, kelumpuhan miokard.9
a. Volume plasma10
Penyelidikan volume plasma pada kasus demam berdarah dengue dengan
menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa
plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan
mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai
hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding
pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan bahwa syok
terjadi akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular melalui kapiler yang rusak. Bukti
yang mendukung ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium, pleura, dan perikardium.
12

b. Trombositopenia
Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada
masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai
normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya
masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme
lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyebab peningkatan destruksi
trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus
dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem
pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Trombositopenia dan gangguan
fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada demam
berdarah dengue 10
Tabel mengenai hubungan jumlah trombosit dengan risiko perdarahan11
Trombositopenia dan Risiko Perdarahan
Jumlah Trombosit (sel/l)
Risiko
>100.000
Tidak ada risiko tinggi
50.000-100.000
Risiko trauma mayor
20.000-50.000
Risiko trauma minor
<20.000
Risiko perdarahan spontan
<10.000
Risiko perdarahan yang mengancam nyawa

c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis10


Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan demam berdarah dengue.
Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang
teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII,
VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation
products. Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas
Antitrombin III. Kelainan fibrinolisis pada demam berdarah dengue dibuktikan dengan
penurunan aktifitas -2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen.
Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa pada demam berdarah dengue stadium
akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis. Koagulasi Intravaskular Diseminata juga
secara potensial dapat terjadi pada demam berdarah dengue tanpa syok. Pada masa dini
demam berdarah dengue, peran Koagulasi Intravaskular Diseminata tidak menonjol
13

dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi
syok dan asidosis maka syok akan memperberat Koagulasi Intravaskular Diseminata. Syok
dan Koagulasi Intravaskular Diseminata akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan
memasuki syok ireversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang
biasanya diakhiri dengan kematian.
Karena adanya faktor-faktor etiologi dari DIC maka terjadilah pelepasan bahan-bahan
mediator yaitu zat-zat yang dapat memacu secara terus menerus sistem protombotik
(koagulasi primer dan koagulasi sekunder) hingga terjadilah trombosis yang luas di organorgan tubuh hingga menimbulkan Multipel Organ Dysfunction (MOD) dan faktor-faktor
koagulasi ( trombosit dan plasma faktor) akan terpakai hingga terjadi juga defisiensi faktorfaktor tersebut dan dapat menimbulkan perdarahan.
Mediator-mediator itu dapat langsung dilepas oleh penyakit dasarnya maupun melalui
kerusakan endotel pembuluh darah yang merupakan pusat kendali sistem hemostasis.
Faal anti trombosis mengimbangi proses koagulasi di atas dengan memacu :
1. Subsistem antikoagulasi (AK) untuk mencegah terjadinya trombus, hingga terjadi
juga konsumsi dan defisisiensi faktor-faktor dalam sub sistem ini (AT.III, prot C dan
S) dan lain-lain
2. Subsistem fibrinolisis juga dipacu untuk melisis trombus yang telah terjadi hingga
menyebabkan defisiensi trombosit.
Jadi pada DIC, terjadi defisiensi trombosit dan faktor-faktor koagulasi plastin (faktor
VIII, fibrinogen dan lain-lain) yang dapat menyebabkan perdarahan disertai juga
dengan defisiensi AT III, prot C danS dan plasminogen yang dapat menyebabkan
trombosis. Jadi perdarahan dan trombosis terjadi bersama-sama.
d. Sistem komplemen10
Penelitian sistem komplemen pada demam berdarah dengue memperlihatkan
penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok
maupun tidak. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar
serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk
melepas histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan
permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita demam
berdarah dengue ialah ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam 24 jam, adanya
14

kompleks imun yang bersirkulasi, dan adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks
imun dengan derajat berat penyakit.

Secondary heterologus infection

Komplek virus - antibody

XII

XIIa

Fibrinolisis

Kinin

Komplemen

koagulasi
Peningkatan
Permeabilitas

plasmin

Fibrin

FDP

Perdarahan

2.7

Syok

MANIFESTASI KLINIK
Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik dan dinamis. Penyakit ini memiliki
spektrum klinis yang. Setelah masa inkubasi, dilanjutkan dengan 3 fase yaitu fase
demam, kritis dan resolusi/pemulihan.
Fase pertama yang relatif ringan dengan demam mendadak , malaise, mual,
muntah, nyeri kepala, anoreksia. Pada fase kedua, biasanya terdapat ekstremitas dingin,
lembab, badan panas, muka merah, keringat banyak, gelisah, iritabel, nyeri mid
epigastrium. Seringkali ptekie tersebar pada dahi dan tungkai. Pernafasan cepat dan
sering berat. Nadi lemah, cepat, kecil dan suara jantung halus. Hati mungkin membesar
dibawah tepi kosta dan biasanya keras dan agak nyeri. Kurang dari 10% penderita
menderita ekimosis atau perdarahan saluran cerna yang nyata, biasanya pasca masa syok
yang tidak terkoreksi.
1.

Fase demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun tidak
berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40oC dan dapat
15

terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah, eritema, myalgia,
arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada gejala nyeri
tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga
dikeluhkan. Sulit membedakan demam karena infeksi dengua dengan demam
non dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket
meningkatkan kemungkinan demam dengue.

2.

Fase kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis , anak terlihat seakan sehat, hati-hati
karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Hari ke 3-7 adalah fase
kritis. Dimana kebocoran plasma bisa terjadi kurang dari 24-48 jam.
Progresif leukopenia diikuti penurunan jumlah trombosit mendahului terjadinya
kebocoran plasma. Pada fase ini, pasien yang tidak mengalami kebocoran plasma
akan membaik keadaannya, sedangkan yang mengalami kebocoran plasma
sebaliknya karena kehilangan volume plasma. Ascites dan efusi pleura bisa

terdeteksi tergantung dari keparahan kebocoran plasma dan volume terapi cairan.
3. Fase resolusi
bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis, keadaan umum
dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil.
Semua nilai lab kembali normal secara perlahan.

16

Demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun tidak
berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40oC dan dapat
terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah, eritema, myalgia,
arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada gejala nyeri
tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga
dikeluhkan. Sulit membedakan demam karena infeksi dengua dengan demam non
dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket
meningkatkan kemungkinan demam dengue. (5)
Tanda-tanda perdarahan
Ptekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva. Ptekie merupakan tanda
perdarahan yang paling sering ditemukan. Ptekie muncul pada hari pertama tetapi
dapat juga pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain seperti epistaksis,
perdarahan gusi, melena dan hematemesis. Kadang terdapat juga hematuria.
Hepatomegali
Umumnya dapat ditemukan apada permulaan penyakit. Pembesaran hepar
bervariasi dari yg hanya teraba sampai 2-4cm di bawah arkus kosta.
Nyeri sendi
Pada demam berdarah dengue terdapat gejala pada nyeri pada tulang disebabkan
replikasi virus dan dekstruksi seluler pada sumsum tulang.14 Pada kira-kira sepertiga
kasus, setelah demam berlangsung beberapa hari, keadaan umum pasien tiba-tiba
memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari
sakit ke 3-7.
Syok
Adanya gangguan permeabilitas vaskular yang terus menerus, memicu terjadinya
hipovolemi dan syok. Hal ini terjadi dimana suhu tubuh mulai menurun hingga
normal, yaitu rata-rata pada hari ke 3-7. Pada tahap awal syok, mekanisme
kompensasi yang mempertahankan tekanan darah normal sistolik juga
menyebabkan takikardi dan vasokontriksi perifer dengan penurunan perfusi pada
kulit menyababkan akral menjadi dingin dan lambatnya cappilary reffill.
Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan
tekanan darah, akral dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini menandakan
gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat
bersifat ringan atau sementara. Terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis disekitar mulut,

17

pasien menjadi gelisah, nadi cepat dan lemah dan kecil sampai tidak teraba.
Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut.
Syok ditandai dengan :
Denyut nadi cepat dan lemah
Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan
sirkulasi serebral

Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi


cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi.

Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)


Hipotensi Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau
kurang

Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan
hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi
yang insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara
refleks.

Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi


arteri renalis

Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal dalam waktu
12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian cairan yang memadai. Pasien
seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok timbul. Nyeri abdomen
seringkali menonjol pada anak besar yang menderita sindrom syok dengue. Gejala ini patut
diwaspadai oleh karena kemungkinan besar terjadi perdarahan gastrointestinal. Syok yang
terjadi selama periode demam, biasanya mempunyai prognosis buruk.

18

1. Patofisiologi Syok Hipovolemik


(Respon tubuh terhadap kehilangan darah sampai dengan 20%)
Suplai darah
otak menurun
Penurunan volume
& tekanan darah

Respon Jangka
Panjang
2.

Osmolalitas
plasma darah
meningkat

haus

Respon Jangka
Pendek

Saraf

Hormonal:
ADH
Angiotensin II

Hormonal:
ADH
3.
Angiotensin II
Aldosteron
4.
EPO

pusing

SSP

Stimulasi
baroreseptor
&
kemoreseptor

5.
6.

Urin
pekat,
oliguria

Perangsanga
n sistem
kardiovaskule
r

Kenaikan
volume darah

Aktivasi saraf
simpatis

7.

RR meningkat
Denyut jantung
meningkat
Nadi lemah
Bibir kering

Hormonal:
Adrenalin &
noradrenalin

Vasokonstriks
i perifer,
peningkatan
aliran balik
vena

Pucat
Ekstremitas terasa
dingin
Pengisian kapiler
memanjang

Peningkatan curah jantung

Peningkatan volume
& tekanan darah

19

(Respon tubuh terhadap kehilangan darah lebih dari 30%)


Kompensasi
hipovolemik
gagal

Penurunan sangat
besar pada volume
darah

Peningkata
n
permeabilit
as kapiler

Curah jantung
menurun

Penurunan
aliran balik
vena

Jantun
g

Kerusakan
miokardiu
m

Aliran darah ke
jantung
menurun
Tekanan arteri
menurun

Penggumpalan
darah pada
pembuluh darah
Peningkatan asam
laktat, pH, CO2

Asidosis
metabolik

Jaring
an
Jaringan
kekurangan
O2

Aktivasi simpatis &


respon iskemik
sentral
Aliran daraf
perifer menurun

Kulit
pucat &
dingin

Kerusakan
SSP
ireversibel

Disorientasi
penurunan
kesadaran

kematia
n

Sirkulas
i kolaps

Vasodilatasi
general

Kerusakan
ireversibel
miokardiu
m

Aktivitas
simpatis
menurun

Otak

Penurunan curah
jantung bertahap

Tekanan
arteri
menurun

Aliran darah
ke SSP
menurun

Perubahan kimia
yang drastis
pada jaringan

Aliran darah
perifer
sangat
rendah

20

Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat
ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel
(tidak dapat pulih).
Fase1 : kompensasi
Pada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan melalui mekanisme
kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek simpatis, yaitu meningkatnya resistensi
sistemik dimana terjadi distribusi selektif aliran darah dari organ perifer non vital ke organ
vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah sistolik tetap normal sedangkan tekanan
darah diastolik meningkat akibat peninggian resistensi arteriol sistemik (tekanan nadi
menyempit).
Untuk mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi secara temporer dengan
meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu terdapat peningkatan sekresi vasopressin dan
renin angiotensin aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk menahan natrium dan
air dalam sirkulasi.
Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit pucat dan dingin
dengan pengisian kapiler (capillary refilling) yang melambat > 2 detik.
Fase II : Dekompensasi.
Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah jantung
yang adekuat dan system sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan dengan perfusi yang
buruk tidak lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga metabolisme berlangsung secara
anaerobic yang tidak efisien. Alur anaerobic menimbulkan penumpukan asam laktat dan
asam-asam lainnya yang berakhir dengan asidosis. Asidosis akan bertambah berat dengan
terbentuknya asam karbonat intra selular akibat ketidak mampuan sirkulasi membuang CO2.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons terhadap
katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme energy
dependent NaK-pump ditingkat selular, akibatnya integritas membrane sel terganggu, fungsi
lisosom dan mitokondria akan memburuk yang dapast berakhir dengan kerusakan sel.
Lambatnya aliran darah dan kerusakan reaksi rantai kinin serta system koagulasi dapat
memperburuk keadaan syok dengan timbulnya agregasi tombosit dan pembentukan trombos
disertai tendensi perdarahan.
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin, serotonin,
sitokin (terutama TNF=tumor necrosis factor dan interleukin 1), xanthin, oxydase yang dapat
membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin factor). Pelepasan mediator oleh
21

makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan stress atau injury, pada keadan syok
yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol dan
peningkatan permeabilitas kapiler dengan akibat volume intravaskular yang kembali
kejantung (venous return) semakin berkuarang diserai timbulnya depresi miokard.
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah, tekanan darah
mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled, capillary refilling bertambah
lama), oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah cepat dan dalam) dengan depresi susunan
syaraf pusat (penurunan kesadaran).
Fase III : Irreversible
Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus berlanjut, sehingga
terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi system multi organ lainnya. Cadangan fosfat
berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar, sintesa ATP yang baru
hanya 2% / jam dengan demikian tubuh akan kehabisan energi. Akibat dari hipoksia dan
berkurangnya nutrisi kejaringan maka metabolisme menjadi metabolisme anaerobic yang
tidak efektif dan hanya menghasilkan 2 ATP dari setiap molekul glukosa. Pada metabolism
oerobik dengan oksigen dan nutrisi yang cukup dengan pemecahan 1 molukel glukosa akan
menghasilkan 36 ATP. Akibat dari metabolism anaerobic ini akan terjadi penumpukan asam
laktat dan pada khirnya metabolism tidak akan mampu lagi menyediakan energy yang cukup
untuk mempertahan homeostasis seluler, terjadi kerusakan popma ionic dinding sel, natrium
masuk ke dalam sel dan kalium keluar sel sehingga terjadi akumulasi kalsium dalam sitosol,
terjadi edema dan kematian sel. Pada akhirnya terjadi banyak kerusakan sel organ-organ
tubuh atau terjadi kegagalan organ multiple dan renjatan yang ireversibel. Kematian akan
terjadi walaupun system sirkulasi dapat dipulihkan kembali. Manifestasi klinis berupa
tekanan darah tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (soporkoma), anuria dan tanda-tanda kegagalan system organ lain.

Tanda klinis
Blood loss ( %)

Tabel 3.2 Manifestasi Klinis Syok Hipovolemik


Kompensasi
Dekompensasi
I reversible
Sampai 25
25 40
> 40

Heart rate

Takikardia +

Takikardia ++

Taki/bradikardia

Tekanan
Sistolik

Normal

Normal/menurun

Tidak terukur

Nadi/volume

Normal/menurun

Menurun +

Menurun ++

22

Capillary refill

Normal/meningkat
3-5 detik

Meningkat > 5
detik

Meningkat ++

Kulit

Dingin, pucat

Dingin/mottled

Dingin+/deadly
pale

Pernafasan

Takipneu

Takipneu +

Sighing
respiration

Kesadaran

Gelisah

Lethargi
bereaksi

Reaksi -/ hanya
terhadap nyeri

Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer dari syok. Namun secara umum
bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan respon untuk
mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat pada organ-organ vital melalui reflex
neurohumoral. Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah yang beredar, tonus
pembuluh darah dan sistem pompa jantung. Gangguan dari salah satu fungsi tersebut dapat
menyebabkan terjadinya syok. Bila terjadi syok hipovolemik maka mekanisme kompensasi
yang terjadi adalah melalui:
-

.Baroreseptor
Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tagangan dalam pembuluh darah.

Bila terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap baroreseptor akan menurun,
sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor ke pusat juga berkurang sehingga akan
terjadi:
-

Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibiotor centre


Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor

Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia. Baroreseptor
ini terdapat di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan kanan, ventrikel kiri dan dalam
sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus merupakan baroreseptor perifer yang paling
berperan dalam pengaturan tekanan darah.
-

Kemoreseptor

Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun sampai
60mmHg, maka yang bekerja adalah kemoreseptor, yang terangsang bila terjadi hipoksia dan
asidosis jaringan. Akibat rangsangan kemoreseptor ini adalah vasokonstriksi yang luas dan
rangsangan pernafasan.
23

Cerebral ischkemic reseptor

Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg maka akan terjadi sympathetic
discharge massif. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari pada reseptor-reseptor
perifer .
-

Reseptor humoral

Bila terjadi hipovolemik/ hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormone-hormon stress
seperti epinefrin, glucagon, dan kortisol yang merupakan hormone yang mempunyai efek
kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran dari hormone ini adalah terjadinya takikardia,
vasokonstriksi dan hiperglikemi. Vasokonstriksi diharapkan akan meningkatkan tekanan
darah perifer dan preload, isi sekuncup dan curah jantung. Sekresi ADH aleh hipofisee
posteriosr juga meningkat sehingga pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi.
-

Retensi air da garam oleh ginjal

Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran rennin oleh apparatus
yukstaglomerulus yang merubah angiotensin menjadi angiotensin I. angiotensin I ini oleh
converting enzyme dirubah menjadi angiotensin II yang mempunyai sifat:
-

Vasokonstriksi kuat
Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorbsi natrium di

tubulus ginjal.
Meningkatkan sekresi vasopressin.
Volume sirkulasi
Preload
Volume sekuncup

Baroreseptor, kemoreseptor, cerebral ischemic


reseptor
Cardio inhibitor center
dihambat

Aktivasi cardiostimulator
center

Output simpatetik
meningkatkat,output
parasimpatetik menurun
HR, kontraktilitas otot jantung
, vasokonstriksi
24
Ginjal
Angiotensi, vasopressin, aldosteron

Gambar 3.1 Refleks kardiovaskular pada hipotensi

1.
2.
3.
4.
2.8

WHO mempunyai kriteria diagnosis DBD yang semuanya harus terpenuhi, yaitu:
Demam tinggi atau kontinyu selama 2- 7 hari
Adanya perdarahan spontan atau uji torniket positif
Trombositopenia ( 100.000/ul)
Hemokonsentrasi atau adanya tanda kebocoran plasma (efusi pleura, ascites)
DERAJAT/GRADE DEMAM BERDARAH MENURUT WHO (9)

Grade I
Demam dan gejala konstitusional
Uji torniket +
Grade II
Grade 1 + Perdarahan spontan (pada kulit ataupun perdarahan lainnya)
Grade III
Kegagalan sirkulasi, tekanan nadi < 20mmhg
Tekanan Sistolik normal
Grade IV
Syok mendalam
Hipotensi, tekanan darah tidak terdeteksi
Grade III dan IV adalah sindrom syok dengue
Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah yang membedakan DBD grade I dan II
dengan Demam dengue

25

2.9

PEMERIKSAAN PENUNJANG (1,2)


Laboratorium
a. Leukosit
normal, biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Akhir fase
demam jumlah leukosit dan neutofil menurun, sehingga jumlah limfosit
relatif meningkat. Peningkatan jumlah limfosit atipikal atau limfosit
plasma biru (LPB >4%) di daerah tepi dijumpai pada hari sakit ke 3-7.
b. Trombosit
jumlah trombosit 100.000/ul atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb.
Pada hari ke 3-7
c. Hematokrit
gambaran hemokonsentrasi. Merupakan indikator yang peka akan
terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
secara berkala. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20%
atau lebih mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
perembesan plasma. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh pergantian cairan
atau perdarahan.
d. Kadar albumin menurun sedikit dan besifat sementara
e. Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan
f. Penurunan faktor koagulasi dan fibrinotik yaitu fibrinogen, protrombin
g.
h.
i.
j.

seperti faktor V, VII, IX, X


Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang
Hipoproteinemia
Hiponatremia
SGOT/SGPT sedikit meningkat
26

k. Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen terdapat


pada syok yang berkepanjangan.
Radiologi
Pada foto thoraks DBD grade III / IV dan sebagian grade II didapatkan efusi
pleura, biasanya sebelah kanan. Posisi foto adalah lateral dekubitus kanan.
Ascites dan efusi pleura dapat di deteksi dengan pemeriksaan USG.
Serologis
1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan sering dipakai dan
dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis.
Meskipun begitu, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini :
(a) Uji HI sensitif tetapi tidak spesifik, artinya tidak dapat menunjukkan
tipe virus apa yang menginfeksi, (b) antibodi HI bertahan sangat lama
dalam tubuh (sampai > 48 tahun), sehingga sering dipakai dalam studi
sero-epidemiologi, (c) untuk diagnosis membutuhkan kenaikan titer
konvalesens 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik
pada serum akut atau konvalesens dianggap sebagai positif infeksi dengue
yang baru terjadi (recent dengue infection).
2. Uji Komplemen fiksasi (CF test)
Uji komplemen fiksasi jarang digunakan sebagai uji diagnostik rutin,
oleh karena cara pemeriksaan yang rumit dan memerlukan tenaga yang
berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi CF hanya bertahan
beberapa tahun saja (2-3 tahun).
3. Uji Neutralisasi (NT test)
Merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik untuk virus dengu. Uji
neutralisasi memakai cara yang disebut Plague reduction Neutralization
Test (PRNT) yang berdasarkan adanya reduksi dari plak yang terjadi.
Antibodi neutralisasi dideteksi hampir bersamaan dengan HI antibodi dan
bertahan lama (> 4-8 tahun). Tetapi uji neutralisasi juga rumit dan
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgG dan IgM Elisa
Setelah satu minggu terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang
diikuti oleh pembentukan IgM antidengue. IgM hanya berada dalam
waktu yang relatif singkat dan akan disusul dengan pembentukan igG.
Pada kira-kira hari ke 5 terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisasi
27

virus. Imunoserologi berupa IgM (merupakan penanda infeksi saat ini)


dan IgG (merupakan penanda infeksi masa lalu). IgM akan terdeteksi
mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3 dan menghilang setelah
60-90 hari setelahnya. Sedangkan IgG terdeteksi pada hari ke-14 pada
infeksi primer dan hari ke-2 pada infeksi sekunder.

5. NS1-Ag tes
tes yang dapat mendiagnosis

DBD dalam waktu demam 8 hari

pertama yaitu antigen virus dengue yang disebut dengan antigen NS1.
Keuntungan mendeteksi antigen NS1 yaitu untuk mengetahui adanya
infeksi dengue pada penderita tersebut pada fase awal demam, tanpa perlu
menunggu terbentuknya antibodi.
Pemeriksaan antigen NS1 diperlukan untuk mendeteksi adanya infeksi
virus dengue pada fase akut, dimana pada berbagai penelitian
menunjukkan bahwa NS1 lebih unggul sensitivitasnya dibandingkan
kultur virus dan pemeriksaan PCR maupun antibodi IgM dan IgG
antidengue. Spesifisitas antigen NS1 100% sama tingginya seperti pada
gold standard kultur virus maupun PCR.
Antigen NS1 merupakan glikoprotein tersekresi 48 kDa yang tidak
terdapat pada partikel virus yang terinfeksi namun terakumulasi di dalam
supernatan dan membran plasma sel selama proses infeksi. NS1
merupakan gen esensial di dalam sel yang terinfeksi dimana fungsinya
sebagai ko-faktor untuk replikasi virus, yang terdapat bersama di dalam
bentuk replikasi RNA double-stranded (Mackenzie, 1996). Immune
recognition dari permukaan sel NS1 pada sel endotel dihipotesiskan
berperan dalam mekanisme kebocoran plasma yang terjadi selama infeksi
28

virus dengue yang berat. Sampai saat ini, bagaimana NS1 berhubungan
dengan membran plasma, yang tidak berisi motif sekuens membranespanning masih belum jelas.
NS1 terikat secara langsung pada permukaan berbagai tipe sel epitelial
dan sel mesensimal, juga menempel secara kurang lekat terhadap berbagai
sel darah tepi. NS1-Ag tes adalah tes untuk deteksi protein non struktur
NS-1 Ag yang ada dalam sirkulasi dan dapat mendeteksi ke empat
serotipe. Keunggulannya dapat mendeteksi virus lebih awal, mulai dari
hari ke-1 demam sampai demam hari ke-9 dan mempunyai sensitivitas
DEN-1 : 88,9%, DEN-2 : 87,1%, DEN-3 : 100%, DEN-4 : 93,35%.
2.10

DIAGNOSIS (1,2,3)
Definisi kasus untuk sindrom syok dengue ialah harus memenuhi kriteria
demam berdarah dengue ditambah bukti gagal sirkulasi. Kriteria demam berdarah
dengue yaitu:
Gejala klinis

Demam berlangsung 2-7 hari, kadang bifasik

Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal berikut ini:


-tes tornikuet positif
-ptekie, ekimosis atau purpura
-perdarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi atau lokasi
lain
-hematemesis atau melena

Hepatomegali

Syok

Laboratorium

Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)

Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit sama atau lebih besar dari

20%diatas rata-rata, atau ditandai dengan hipoproteinemia)


Isolasi virus di serum dan deteksi imunoglobulin (IgM dan IgG) dengan
enzym-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi moniklonal, atau tes
hemaglutinasi

29

Kimia darah: ketidakseimbangan elektrolit, asidemia, peningkatan basa urea


nitrogen
Tes fungsi hati: transaminase yang meningkat
Tes Guaiac sebagai pemeriksaan darah samar pada tinja
Pemeriksaan penunjang lain:
Radiografi dada: efusi pleura
CT-Scan kepala tanpa kontras: Perdarahan intrakranial, edema serebri.
2.11

PENATALAKSAAN (5,10)
Sindroma syok dengue merupakan keadaan darurat dalam bidang medis, setiap
menit menentukan prognosis pada pasien. Pemberian cairan yang adekuat sangat
diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Pemberian
cairan adekuat yang terlambat dapat menyebabkan multisistem disfungsi organ yang
dapat

menyebabkan

kematian.

Gangguan

elektrolit

(natrium

dan

kalsium),

ketidakseimbangan asam-basa dapat terjadi dan meningkatkan potensi terjadinya


disseminated intravascular coagulopathy (DIC).
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama, yang
berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami
syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam.2
Indikasi perawatan:

Takikardi

Capillary refill yang lebih lama dari normal (>2detik)

Dingin dan pucat

Perubahan status neurologik

Oliguria

Hematokrit mendadak tinggi

Tekanan nadi menyempit (<20 mmHg)

Hipotensi

Mengingat sindrom syok dengue merupakan keadaan kritis, maka penyebab langsungnya
harus segera ditentukan apakah akibat perdarahan atau akibat perpindahan plasma.9
30

Obat pertama yang diberikan pada kegawatan DBD ialah oksigen. Hipoksemia
harus dicegah dan dikoreksi. Lalu buatlah akses vena dan ambil contoh darah untuk
analisa gas darah, kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit, golongan darah, dan
crossmatch, ureum, kreatinin, elektrolit Na, K, Cl, Ca, Mg, dan asam laktat. Lalu pasang
kateter urin dan lakukan penampungan urin , urinalisis dan pengukuran berat jenis urin.
Jumlah diuresis dihitung setiap jam (normal 2-3 ml/kgBB/jam). Bila diuresis kurang 1
ml/kgBB/jam maka terdapat hipoperfusi ginjal. Pemasangan pipa oro/nasogastrik pada
anak sakit gawat berguna untuk dekompresi, memantau perdarahan saluran cerna dan
melakukan bilasan lambung dengan garam fisiologik.
Tabel perbandingan cairan kristaloid dengan cairan koloid
Cairan Kristaloid

Cairan Koloid

Mengandung zat dengan berat

molekul rendah (<8000 dalton)

Cairan kristaloid dengan atau

Mengandung

zat

dengan

berat

molekul tinggi (>8000 dalton)

Tekanan osmotik tinggi, sebagian

tanpa dekstrosa

besar akan tetap tinggal di ruang

Larutan RL atau dekstrosa 5%

intravaskuler

dalam larutan RL. Larutan RA


atau

dekstrosa

5%

dalam

larutan RA. Larutan NaCl 0,9%


atau

dekstrosa

5%

dalam

larutan garam faali

Tekanan onkotik rendah, cepat


terdistribusi

ke

ruang

ekstraseluler

Menurunkan tekanan osmotik

Respon

metabolik

adalah

koloid plasma dan cenderung

meningkatkan pengiriman oksigen

menimbulkan edema

ke jaringan dan konsumsi O2 serta


menurunkan laktat serum

Koloid isoonkotik mengisi ruang


intravaskuler

tanpa

mengurangi
31

volume interstisial

Mempertahankan tekanan osmotik


koloid plasma dan menurunkan
akumulasi cairan interstisial

Larutan

yang

mempunyai

efek

menyumpal, paling baik koloid


dengan BM 100.000-300.000 dalton
Cairan koloid yang dapat dipakai adalah :
1. DEKSTRAN:larutan 10% dekstran 40 dan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik dan
hiperonkotik, maka cairan ini akan menambah volume plasma karena menarik cairan dari
ekstravaskular ke intravaskular.efeknya dipertahankan masing - masing 3,5-4,5 jam dan 6-8
jam.Efek samping meggangu mekanisme pembekuaan darah dengan cara menurunkan jumlah
fibrinogen dan menggangu fungsi trombosit.Tidak boleh diberikan pada DIC
2. Gelatin : haemasel dan gelofusin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat isotonik
dan isoonkotik.efeknya menetap sekitar 2-3 jam dan tidak menggangu pembekuan darah.
3. Hydroxy Ethyl Starch (HES) : 6% hes 200/0,5;6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonik
dan isoonkotik, sedangkan 10 % HES 200/0,5 isotonik dan hipoonkotik.gangguan
pembekuan darah tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24jam

32

Diagram5
Tatalaksana Sindrom Syok Dengue

1.
2.

oksigenasi (berikan O2 2-4 l/menit)


penggantian volume plasma segera
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi?


Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balans cairan selama pemberian cairan
intravena

syok teratasi

syok tidak teratasi

kesadaran membaik
nadi teraba kuat
tekanan nadi>20 mmHg
tidak sesak nafas/sianosis
ekstremitas hangat
diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam
cairan dan tetesan disesuaikan
10 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda perdarahan
Diuresis
Hb, Ht, trombosit

kesadaran menurun
nadi lembut/tidak teraba
tekanan nadi <20mmHg
distres pernapasan/sianosis
ekstremitas dingin
periksa kadar gula darah
lanjutkan cairan
20 ml/kgBB/jam

tambahkan koloid/plasma
dekstran/FPP
10-20 (max 30) ml/kgBB/jam
Koreksi asidosis

Syok belum teratasi

33

Evaluasi 1 jam
Stabil dalam 24 jam/Ht <40
Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Syok teratasi
Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Infus stop tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi

Ht turun
tranfusi darah segar 10 ml/kgBB
diulang sesuai kebutuhan
Pertimbangkan
pemakaian inotropik
dan koloid HES BM
100.000-300.000 D

6.

Ht tetap tinggi/naik
10-20ml/kgBB koloid

Syok belum teratasi

Penatalaksaan pasien dengan syok yang terkompensasi:


Berikan cairan isotonik kristaloid secara intravena dengan dosis 5-10 ml/kgBB/jam,
habis dalam 1 jam. Lalu periksa tanda vital, cappilary refill time, hematokrit, dan
produksi urin.
Jika keadaan pasien membaik, cairan kristaloid diturunkan secara perlahan. Turunkan 5-7
ml/kgBB/jam dalam waktu 1-2 jam. Lalu 3-5 ml/kgBB/jam dalam waktu 2-4 jam. 2-3
ml/kgBB/jam dalam waktu 2-4 jam. Jika keadaan terus membaik, maka cairan dapat
terus dikurangi.
Bila keadaan pasien tidak membaik, dimana tanda vital tetap tidak stabil, periksa
hematokrit setelah pemberian bolus pertama. Bila hematokrit meningkat atau tetap tinggi
( 50%), berikan bolus kristaloid kedua dengan dosis 10-20 ml/kgBB/jam dalam 1 jam.
Bila setelah pemberian cairan kedua ini ada perbaikan, kurangi dosis cairan kristaloid
menjadi 7-10 ml/kgBB/jam dalam 1-2 jam, dan terus kurangi dosis seperti yang telah
dijelaskan di atas. Bila nilai hematokrit menurun dari nilai hematokrit awal (< 40% pada
anak dan wanita dewasa, < 45% pada pria dewasa), ini menunjukan adanya perdarahan,
lakukan cross match, dan memerlukan transfusi darah secepatnya.
Selanjutnya bolus larutan kristaloid ataupun koloid mungkin perlu diberikan
selama 24-48 jam berikutnya.

34

7.

Penataksaan pasien dengan syok yang tidak terkompensasi


Beri cairan isotonik ataupun kristaloid (bila tersedia) secara intravena
dengan dosis 20 ml/kgBB/jam selama 15 menit
Bila keadaan pasien membaik, berikan cairan kristaloid/koloid 10
ml/kgBB/jam dalam 1 jam. Lalu lanjutkan dengan pemberian cairan
kristaloid dan kurangi dosis secara perlahan, 5-7 ml/kgBB/jam dalam 1-2
jam. Lalu 2-5 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam. Dan 2-3 ml/kgBB/jam atau
kurang, yang dapat dipertahankan selama 24-48 jam.
Bila tanda vital masih tidak stabil, periksa nilai hematokrit sebelum
pemberian cairan pertama. Jika nilai hematokrit rendah (< 40% pada anak
dan dewasa muda, <45% pada pria dewasa), ini menunjukan adanya
perdarahan, lakukan cross match, dan memerlukan transfusi darah
secepatnya.
Bila nilai hematokrit lebih tinggi dari nilai hematokrit awal, maka danti
cairan dengan berikan cairan koloid 10-20 ml/kgBB dalam waktu 30 menit
sampai 1 jam. Bila keadaan pasien membaik, turunkan dosis 7-10
ml/kgBB/jam dalam 1-2 jam, lalu ganti cairan dengan cairan kristaloid dan
turunkan dosis seperti yang telah disebutkan diatas. Jika masih belum stabil,
periksa kembali hematokrit.

35

Bila nilai hematokrit turun dari nilai sebelumnya (< 40% pada anak dan
dewasa muda, <45% pada pria dewasa), ini menunjukan adanya
perdarahan, lakukan cross match, dan memerlukan transfusi darah
secepatnya. Bila nilai hematokrit meningkat dari nilai sebelumnya atau
tetap tinggi (> 50%), lanjutkan pemberian koloid 10-20 ml/kgBB sebagai
bolus ketiga dalam waktu 1 jam. Lalu ganti cairan dengan cairan kristaloid
dan turunkan dosis seperti yang telah disebutkan diatas saat keadaan pasien
mulai membaik.
Bolus cairan mungkin perlu diberikan selama 24 jam ke depan.
Pasien dengan sindrom syok dengue harus dimonitor rutin hingga tanda-tanda
bahaya berkurang atau menghilang. Saat pemberian cairan, tanda vital dan perfusi perifer
harus dimonitor setiap 15-30 menit sampai pasien terlepas dari keadaan syok, lalu
monitor setiap 1-2 jam. Secara umum, semakin tinggi tingkat cairan infus, pasien lebih
sering harus dipantau dan ditinjau untuk menghindari overload cairan sementara
memastikan penggantian volume yang memadai.
Produksi urin harus dipantau juga. Kateter dipasang untuk memudahkan
menghitung produksi urin. Hematokrit harus dipantau sebelum dan sesudah bolus cairan
samapi keadaan pasien stabil, lalu setelah itu setiap 4-6 jam. Terkadang diperlukan juga
pemeriksaan analisis gas darah , laktat, karbondioksida/bikarbonat (setiap 30 menit
sampai 1 jam hingga pasien stabil, lalu diperiksa kembali sesuai kebutuhan), gula darah
(sebelum dan sesudah pemberian cairam,periksa kembali sesuai indikasi), dan
pemeriksaan fungsi organ lainnya ( ginjal, hepar, koagulasi, dll).

36

Indikasi pemberian darah:2

terdapat perdarahan secara klinis

Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit turun,
diduga telah terjadi perdarahan. Berikan darah segar 10 ml/kgBB

Apabila kadar hematokrit tetap > 40vol%, maka berikan darah dalam volume kecil.

37

Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi gangguan
koagulopati atau koagulasi intravaskular diseminata pada syok berat yang
menimbulkan perdarahan masif.

Pemberian tranfusi suspensi trombosit pada Koagulasi Intravaskular Diseminata harus


selalu disertai plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk
mencegah perdarahan lebih hebat.
Pencatatan sering terhadap tanda vital dan penentuan hematokrit penting dalam

mengevaluasi hasil pengobatan. Bila pasien menunjukkan tanda-tanda syok, terapi cermat
harus diberikan segera. Pasien kemudian harus dibawah observasi konstan dan cermat sampai
ada ketentuan bahwa bahaya telah lewat. Tindakan berikut harus dilakukan rutin pada situasi
tersebut:
Nadi, tekanan darah dan pernapasan harus dicatat setiap 30 menit sampai syok

teratasi.11 Dinilai juga apakah terdapat pembesaran hati, tanda ensefalopati.14


Kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit tiap 6 jam, minimal 12 jam.

Lembar periksa keseimbangan cairan harus dipertahankan, pencatatan tipe cairan dan
kecepatan serta volume pemberiannya untuk evaluasi keadekuatan penggantian
cairan.Frekuensi dan volume keluaran urin juga harus dicatat, dan kateter urin
mungkin diperlukan pada kasus syok sulit teratasi.

Pada demam berdarah dengan syok dilakukan cross match darah untuk persiapan tranfusi
darah apabila diperlukan.11
Pasien demam berdarah dengue perlu dirujuk ke ICU Anak atas indikasi:16

Syok berkepanjangan (syok tak teratasi lebih dari 60 menit)

Syok berulang (pada umumnya disebabkan oleh perdarahan internal)

Perdarahan saluran cerna hebat

Demam berdarah dengue ensefalopati

Kriteria pasien pulang:1

Bebas panas sedikitnya 24 jam tanpa pemakaian obat antipiretik

Nafsu makan membaik


38

Tampak perubahan klinis

Output urin baik

Hematokrit stabil

Melewati 2 hari setelah syok

Tidak ada distres pernafasan karena efusi pleura atau asites

Trombosit >50.000/mm3

2.11

KOMPLIKASI (5,9)

Overload cairan
Kelebihan cairan dengan efusi pleura yang luas dan ascites merupakan penyebab
distress pernafasan akut tersering pada dengue berat. Penyebab kelebihan cairan
pada dengue adalah :
Pemberian cairan intravena yang berlebihan dan atau yang terlalu cepat
Salah penggunaan cairan. Dimana lebih memakai cairan hipotonik

daripada cairan isotonik.


Pemberian dosis cairan intravena yang kurang tepat pada pasien dengan

perdarahan masif yang tidak diketahui


Pemberian yang tidak tepat pada transfusi fresh frozen plasma, trombosit

konsentrat, dan kriopresipitat


Pemberian cairan intravena lanjutan setelah kebocoran plasma telah

membaik (24-48 jam setelah suhu kembali normal)


Keadaan komorbid
Berikan oksigen, lalu hentikan pemberian cairan secara intravena karena selama
masa penyembuhan cairan pada pleura dan rongga peritoneum akan kembali ke

intravaskuler.
Perdarahan (biasanya gastrointestinal)
Biasanya muncul pada fase penyembuhan. Pasien dengan trombositopenia yang
cukup rendah harus istirahat di tempat tidur dan hindari dari trauma untuk
mencegah perdarahan. Tidak semua pasien mengalami perdarahan yang cukup
banyak. Hanya pada keadaan-keadaan tertentu. Pemberian transfusi darah harus
dilakukan sesegera mungkin begitu diketahui atau terlihat adanya tanda-tanda
perdarahan yang masif. Tetapi pada pemberian transfusi darah pun harus di
monitor sebaik mungkin untuk menghindari kelebihan cairan pada pasien. Jangan
menunggu nilai hematokrit terlalu rendah untuk memutuskan pemberian transfusi

darah. Berikan 5-10 ml/kgBB PRC atau 10-20 ml/kgBB whole blood.
Hiperglikemia dan hipoglikemia
39

Hiponatremi, hipokalemi, hiperkalemi, ketidakseimbangan serum kalsium


Asidosis metabolik
Disfungsi hepar, biasanya bisa akibat dari virus dengue hepatitis atau syok
DIC
Secara klinis, DIC sering kali menyertai proses penyakit sistemik yang berat, tanda-tanda

perdarahan sering terjadi pada bekas tusukan jarum yang dimasukkan ke dalam
pembuluh darah atau sayatan pembedahan. Di kulit dapat ditemukan tanda petekie dan
ekimosis. Nekrosis jaringan dapat terjadi pada banyak organ dan terlihat tanda infark
yang luas di kulit, di jaringan subkutan atau ginjal.

Ensefalopati, biasanya muncul sebelum onset kebocoran plasma


Ensefalopati adalah komplikasi yang jarang dari infeksi virus dengue dan mungkin
terjadi sebagai konsekuensi dari perdarahan intrakranial, edema serebri, hiponatremia,
anoksia serebri, perdarahan mikrokapiler atau pelepasan produk toksik.9
Pada umumnya ensefalopati terjadi pada DBD dengan komplikasi syok yang
berkepanjangan disertai perdarahan, namun dapat juga terjadi pada DBD yang tanpa
disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan
dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Hal ini mungkin pula disebabkan oleh
thrombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular
menyeluruh. Adapun perihal yang menyatakan bahwa ensefalopati dengue berhubungan
dengan kegagalan hati akut.
Pada ensefalopati dengue, kesadaran menurun menjadi apatis atau somnolen dan dapat
disertai atau tanpa disertai kejang. Pada DSS, keadaan syok harus diatasi terlebih dahulu
untuk melihat ada tidaknya kondisi ensefalopati.

Kelainan ginjal (akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut).
Kelainan ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal akibat kondisi syok yang
tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom hemolitik uremikum yang jarang
terjadi. Pada keadaan syok berat dapat ditemukan nekrosis tubular akut yang ditandai
dengan oligouria/anuria disertai peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
Oedem paru

Keadaan ini mungkin terjadi pada pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan
yang tidak dikurangi pada masa terjadinya reabsorpsi cairan pada sekitar hari sakit ke
7 dapat menimbukan keadaan ini. Ditandai dengan sesak napas, kelopak mata sembab,
dan ditunjang dengan gambaran oedem paru pada pemeriksaan radiologi toraks.

2.12

Co-infection dan infeksi nosokomial


PROGNOSIS
40

Prognosis tergantung pada pengenalan, pengobatan tepat segera dan


pemantauan ketat syok. Tanda prognosis baik adalah membaiknya takikardi, takipneu,
dan kesadaran, munculnya diuresis dan kembalinya nafsu makan. (8)
Demam berdarah dengue mempunyai kemungkinan 5% menyebabkan
kematian, tetapi bila berkembang menjadi sindrom syok dengue akan
meningkatkan kematian hingga 40%. (7)
Prognosis buruk pada koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom syok
dengue dengan renjatan berulang atau berkepanjangan. (1)

BAB III
KESIMPULAN
Sindrom syok dengue adalah derajat terberat dari DBD yang terjadi karena
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari intravaskuler ke
ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volume intravaskuler dan hipoksemia.
Syok yang biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari
ke 3 sampai hari sakit ke 7 disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular sehingga
terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritonium,
hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia yang mengakibatkan berkurangnya
41

aliran balik vena, preload miokard, volume sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi
disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ.
Syok ditandai dengan :
Denyut nadi cepat dan lemah
Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi

serebral
Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)
Hipotensi Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang
Kulit dingin dan sembab
Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri
renalis
Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal dalam

waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian cairan yang memadai.
Sindroma syok dengue merupakan keadaan darurat dalam bidang medis, setiap
menit menentukan prognosis pada pasien. Pemberian cairan yang adekuat sangat
diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Pemberian
cairan adekuat yang terlambat dapat menyebabkan multisistem disfungsi organyang
dapat

menyebabkan

kematian.

Gangguan

elektrolit

(natrium

dan

kalsium),

ketidakseimbangan asam-basa dapat terjadi dan meningkatkan potensi terjadinya


disseminated intravascular coagulopathy (DIC).

DAFTAR PUSTAKA
1. Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010. Hal.155181
2. Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam Berdarah
Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 1-43
3. Hardiono D., Sri Rezeki. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2004.

42

4. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Demam Berdarah
Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol. II. E/15.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.20001. Hal 1134-1135
5. WHO. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever, Degue Shock Syndrome In The Context
Of The Integrated Management Of Childhood Illness. 2005. Hal 1-34
6. WHO. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. 2009.
Hal 3-147
7. Wills Bridget. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome. 2001. Dengue
buletin vol 25. Hal 50-55
8. Fitri Sari A. Gejala Awal Klinis dan Laboratorium Sebagai Faktor Prediktor Syok
Pada Demam Berdarah Dengue di Instalasi Kesehatan Anak RS Dr. Sardjito. 2004.
Hal 10-11
9. Tim Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Draft Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM. Jakarta: Balai Penerbit RSCM. 2007.
10. Sri Rezeki, Hindra Irawan. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.2005
11. Sungkar Saleha. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter
Indonesia. 2002.
12. Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. Didapat dari :
http://www.unboundmedicine.com/medline/ebm/record/19445771/full_citation/D
engue_haemorrhagic_fever_or_dengue_shock_syndrome_in_children_ diunduh
pada tanggal 5 Juli 2012
13. Fluid Solutions in Dengue Shock Syndrome. Didapat dari :
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM200512083532317 diunduh pada 5 Juli
2012
14. Dengue Shock Syndrome. didapat dari :
http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=6628 diunduh pada 5
Juli 2012
15. Sri Rezeki H.H., Hindra Irawan. Demam Berdarah Dengue. Didapat dari :
http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/dengue-shock-syndrome.html
diunduh pada tanggal 10 Juli 2012
16. Dengue Fever, Dengue haemorrhagic fever, Dengue shock Syndrome. Didapat dari :
http://www.bhj.org/journal/2001_4303_july01/review_380.htm diunduh pada 10
Juli 2012
17. Dengue Virus Fusion Pathway. Didapat dari :
http://www.microbiologybytes.com/blog/tag/dengue/ diunduh pada tanggal 10 Juli
2012
43

18. Dengue Fever and Dengue haemorrhagic fever. Didapat dari :


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ diunduh pada tanggal 10 Juli
2012
19. Dengue Haemorrhagic Fever. Didapat dari :
http://www.denguevirusnet.com/dengue-haemorrhagic-fever.html diunduh pada
tanggal 10 Juli 2012

44

Anda mungkin juga menyukai