Anda di halaman 1dari 11

NILAI-NILAI HUKUM HINDU DALAM MASYARAKAT HINDU

Oleh : I Made Kastama*

Abstrak
Penegakan Hukum Hindu pernah mencapai masa jaya berlakunya yaitu sebelum
dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 melalui Pengadilan
Agama Hindu (Peradilan Raad Kerta) dengan menggunakan sumber-sumber Hukum
seperti Sruti, Smrti, Acara sila, Atmanahstuti serta Manawadharmasastra dan Manusmrti
sebagai sumber hukum yang masih ada sampai saat ini. Pentingnya kedudukan kitab ini
karena sejak jaman dahulu hingga sekarang dianggap sebagai kitab yang memuat ajaranajaran pokok dari Agama Hindu. Kitab ini memuat dasar-dasar umum mengenai Hukum
Hindu yang kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat
Hindu.
Hukum Hindu mengandung nilai-nilai yang sangat tepat diberlakukan dalam
kehidupan masyarakat Hindu sebab hukum ini mencerminkan keadilan dan perasaan
masyarakat Hindu. Hukum Hindu merupakan konkritisasi nilai-nilai yang hidup dan
berkembang dalam tingkah laku umat Hindu yang terjadi sebagai dasar untuk menimbang
segala kegiatan manusia yang diyakini secara bersama. Nilai-nilai ini telah melembaga
dan dianggap sebagai pematut di dalam mengambil keputusan atau kesimpulan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman pasal 10 ayat 2 yang menetapkan Badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Melalui Peradilan
Agama inilah semestinya Hukum Agama Hindu dapat diterapkan dan ditegakkan
berlakunya sehingga keadilan yang mencerminkan perasaan Hukum masyarakat Hindu
dapat diwujudkan.
Walaupun demikian, tindakan sekarang jangan sampai nilai-nilai yang ada dalam
Hukum Hindu ternodai apalagi sampai dilanggar oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Amalkan nilai-nilai Hukum Hindu dalam kehidupan sehari-hari
untuk mencapai keseimbangan dunia cosmos dan cosmis (Skala dan Niskala).

Kata Kunci : Nilai-Nilai, Hukum Hindu dan Peradilan

*Penulis adalah Dosen pada Jurusan Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangka Raya

A. Pendahuluan
Hukum Hindu merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku bagi
masyarakat/umat Hindu di Indonesia berdasarkan dasar falsafah negara Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal I
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam rangka memupuk kecintaan kita kepada negara Proklamasi 17 Agustus
1945 yang berdasar falsafah Pancasila, pengertian yang terkandung dalam Aturan
Peralihan UUD 1945 yaitu Segala Peraturan perundang-undangan yang ada masih
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini,
adalah memberi arah untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadian bangsa yang
cukup lama terkukung dalam alam kolonialisme Belanda demikian juga penjajah
Jepang yang pernah menekan pertumbuhan tata kehidupan kepribadian bangsa kita.
Dengan jiwa pasal I Aturan Peralihan ini menghidupkan kembali kebiasaankebiasaan luhur yang pernah tertekan di dalam masyarakat, termasuk norma-norma
hukum Hindu, memberi wadah yang cukup kuat untuk memupuk serta
mengembangkan kehidupan norma-norma hukum yang ada. Dengan demikian boleh
dikatakan bahwa pertumbuhan hukum Nasional itu tidak dapat mengabaikan begitu
saja kenyataan-kenyataan yang ada dalam mayarakat, yang tumbuh sejalan dengan
kehidupan hukum itu sendiri yang beridentitaskan :
- Hukum di dalam peraturannya mengandung cita-cita keseimbangan lahir dan
bhatin atau keseimbangan materiil dan spirituil, dalam suasana adem dalam
kehidupan masyarakat religius.
- Hukum yang di dalam perumusannya atau aturan-aturannya berhubungan dengan
dasar-dasar dan suasana masyarakat setempat yang azasnya dapat diberlakukan
secara umum.
Bersamaan dengan penyebaran agama Hindu di Indonesia, terbawalah ajaranajarannya yang kemudian di dalam masa kerajaan Hindu telah banyak pula
diturunkan dalam bentuk terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Jawa Kuno yang
isinya diresapi dan dipraktekkan sebagai undang-undang di dalam mengatur
pemerintahanya. Perlu disadari bahwa ketentuan-ketentuan Hukum Hindu tampaknya
tersebar dimana-mana, walaupun ketentuan-ketentuan hukum dimaksud sudah ada
dikodifikasikan,
namun
belum
dikelompokkan.
Pengelompokan
atau
pengklasifikasian ketentuan hukum Hindu sangatlah penting guna memudahkan
dalam menemukan dan menerapkan serta menegakkan ketentuan-ketentuan hukum
dimaksud. Pentingnya pengklsifikasian atau pengelompokan ketentuan-ketentuan
hukum ini juga lebih mempercepat dan memudahkan untuk menentukan seseorang
dalam pemeriksaan, apakah orang tersebut bersalah atau tidak bersalah dalam arti
apakah orang tersebut melanggar suatu larangan/keharusan yang telah ditentukan atau
diatur didalam ketentuan Hukum Hindu.
Semua ketentuan-ketentuan hukum dimaksud sudah pernah diterapkan dalam
rangka penyelenggaraan negara maupun dalam rangka penyelenggaraan Peradilan
pada kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia sebagaimana yang telah diuraikan di atas
bahwa hukum Hindu secara sadar atau tidak disadari masih tetap berlaku dan
berpengaruh di dalam hukum positif di Indonesia. Hukum Hindu sebagai hukum
Agama patut digali untuk memperkaya pengetahuan kita terhadap eksistensi Hukum

Hindu dimasa yang lalu dan mungkin dapat diproyeksikan ke masa depan berkaitan
dengan aspek moralitas yang menjadi landasan hukum agama Hindu.

B. Persoalan Hukum Hindu


Tata kehidupan masyarakat umat Hindu diatur oleh hukum-hukum agama
yang bersumber pada ajaran tata-susila agama Hindu. Hukum-hukum keagamaan itu
yang berkaitan dengan tata kemasyarakatan disebut sesana artinya disiplin diri
masing-masing. Dari sesana inilah berkembang menjadi awig-awig, paswara dan
lekita sebagai landasan hukum-adat Hindu. (Pedoman Penerangan Agama Hindu dan
Bhuda 1984 : 15)
Hukum Hindu adalah hukum yang bersumber pada ajaran-ajaran agama yang
kemudian bagian-bagian tertentu ada yang diundangkan menjadi Undang-Undang dan
ada pula karena sifatnya dibiarkan sebagaimana halnya dengan kewenangan dan
kebebasan hakim untuk menafsirkannya.
Hukum Hindu adalah hukum agama dalam arti kata yang sebenar-benarnya.
Sebagai hukum agama hukum Hindu diyakini oleh umatnya mengandung
kebenaran-kebenaran abadi, karena itu menegakkan hukum bagi umat Hindu
merupakan suatu kepastian. Sebab menegakan hukum agama berarti sebagian telah
melakukan ajaran agamanya (Dharma Agama). Hukum dalam Weda adalah Rta dan
Dharma, baik Rta maupun Dharma, kedua-duanya berarti hukum dalam ilmu Hukum
Hindu. Rta adalah hukum alam yang bersifat abadi sedangkan Dharma adalah hukum
duniawi, baik diterapkan maupun tidak. Sebagai hukum, Rta merupakan tertib alam
semesta, hukum alam yang abadi ditentukan oleh Tuhan yaitu semacam sifat
kekuasaan Tuhan yang diperlihatkan dengan bentuk yang dapat dilihat manusia.
Berdasarkan Panaturan bahwa permulaan segala masa yang ada adalah Awal
Segala Kejadian, Ia yang Maha Sempurna memperlihatkan kebesaranNya dan
menentukan segala kejadian yang ada. Ranying Hatalla Lagit menciptakan bumi,
langit, bulan, matahari beserta segala isinya dan membagi gelap dan terang dengan
segala hukumnya yang mengatur kehidupan berdasarkan hukumnya yang abadi.
Dengan penyatuan sinar kemahakuasaan dan kemuliaanNya terjadilah menjadi tujuh
wujud kekuatanNya yang disebut dengan Raja Uju.(Panaturan 2001: 9)
Ranying Hatalla Langit dan Jatha Balawang Bulau menyebutkan Raja Uju
tersebut yaitu Raja Uju Hakanduang, Kanaruhan Hanya Basakati yang masingmasing mempunyai tugas mengatur dan menjaga alam semesta beserta isinya,
begitulah seterusnya hukum abadi itu berjalan sesuai hukumnya.
Hukum Agama Hindu/Hindu Kaharingan di dunia (Pantai Danum Kalunen)
secara eksis ditaati berlakunya oleh keturunan Raja Bunu yang telah ditentukan
kehidupannya oleh Ranying Hatalla Langit. Berasal dari Hukum Rta yang kemudian
menjadi hukum kebenaran (Dharma) yang dilaksanakan secara berulang-ulang yaitu
manusia yang ada di Pantai Danum Kalunen bisa kembali menyatu dengan Ranying
Hatalla Langit telah diatur melalui hukumnya/tata aturannya yang telah ditentukan
yaitu melaksanakan Tiwah yang merupakan aturan yang harus diikuti sebagaimana
contoh yang telah dilaksanakan yaitu Tiwah Suntu di Lewu Bukit Batu Nindan
Tarung yang dalam kehidupan masyarakat Hindu Kaharingan dijadikan aturan
pedoman hidup (Pasal 33 Panaturan), begitu juga contoh dalam pasal 19 Pananturan

melaksanakan upacara perkawinan bagi Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut


dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan yang dilaksanakan sebagai jalan
kebenaran (Dharma).
Dharma yang merupakan bentuk hukum yang dijabarkan ke dalam kelompok
manusiawi yang bersifat relatif karena selalu dikaitkan dengan pengalaman manusia,
sehingga bersifat mengatur tingkah laku manusia untuk mencapai kebahagiaan di
dalam kehidupannya. Begitu juga dalam Santi Parwa didapatkan keterangan bahwa
Dharma dikatakan datangnya dari kata Dharma yang berarti mengatur atau
menyangga. (Ketut Pasek 1982 : 69)
Dharma sebagai hukum tidak sama bentuknya di semua tempat, melainkan
selalu dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasaan setempat dan disamakan pula
dengan pengertian yang terkandung dalam istilah Dresta. (Wayan Surpha 2005 :3)
Dewasa ini Hukum Hindu diharapkan dapat tampil sesuai dengan kepentingan
hukum umat Hindu agar dapat mengatur interaksi sosial masyarakat pendukungnya
di dalam menciptakan ketertiban bersama.
Masalah-masalah berlakunya Hukum Hindu dan sumber-sumber Hukum
Hindu merupakan masalah yang patut mendapatkan perhatian. Masalah-masalah
berlakunya Hukum Hindu secara historis yaitu menyangkut masalah penerapan nilainilai hukum Hindu dalam masyarakat, yang diakui sebagai nilai pembenar sudah
mulai dikenalnya Hukum Hindu pada jaman Manu terutama dalam menerapkan
peradilan Agama. Peradilan Agama Hindu sebenarnya dari sejak jaman kerajaankerajaan Hindu berkuasa di Indonesia, sudah ada yang dikenal dengan istilah
Peradilan Krtha.
Dalam Negarakertagama pupuh 73/1 dinyatakan dengan tegas bahwa; Prabu
Hayam Wuruk berusaha keras untuk dapat bertindak dengan bijaksana. Dalam
menjalankan pengadilan orang tidak boleh bertindak sembarangan, harus patuh
mengikuti segala apa yang telah dinyatakan dalam kitab perundang-undangan yang
disebut agama. (Lukman Hakim, 2004 : viii)
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951,
sudah ada peradilan-peradilan yang menengahi perkara-perkara yang terjadi pada
masyarakat Indonesia diantaranya Peradilan Swapraja, Peradilan Adat dan Peradilan
Kertha (Raad Kertha) dan peradilan lainnya. Pada dasarnya peradilan Swapraja dan
peradilan Adat yang ada di Indonesia adalah bersumber dari Hukum Agama Hindu
akan tetapi lama kelamaan Peradilan ini meninggalkan identitasnya (hukum Agama
Hindu) tetapi Peradilan Kertha adalah Peradilan Agama Hindu yang tidak pernah
meninggalkan identitas Agama Hindu.
Setelah diundangkannya UU Darurat tersebut merupakan satu setback dalam
pembinaan Hukum Agama Hindu karena dengan demikian sendi yang merupakan
ketentuan hukum bagi agama Hindu tidak lagi diterima sebagai suatu keharusan,
sedangkan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari umat Hindu bersandar pada
Hukum Agama namun dalam pemutusan perkara-perkara dilaksanakan oleh Hakim
Pengadilan Negeri. (Pudja 2003 : 11)
Pengadilan Kerta yang merupakan satu-satunya adalah Pengadilan Agama
Hindu sebagai tempat untuk menangani suatu perkara yang berada di bawah
kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama Hindu akhirnya dialihkan kepada
Pengadilan Negeri, sehingga dampaknya perkara-perkara yang diputuskan tidaklah

tepat dan tidak dapat memenuhi kebutuhan keadilan masyarakat Hindu, sebab ada
norma-norma hukum Hindu yang seyogyanya diaplikasikan malah tidak mendapatkan
perhatian oleh para penegak hukum.
Apabila kita perhatikan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Darurat nomor 1
Tahun 1951 yang bunyinya sebagai berikut :
.dihapuskan..: a. Segala Pengadilan Swapraja..dalam Negara
Sumatra Timur dahulu, Kerisedanan Kalimantan Barat dahulu dan Negara
Indonesia Timur dahulu, kecuali Peradilan Agama jika peradilan itu
menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari
peradilan Swapraja; b. Segala Pengadilan Adat, kecuali Peradilan Agama,
jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian
tersendiri dari peradilan Adat.
Begitu pula dalam pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Darurat menetapkan,
Pelanjutan Peradilan Agama tersebut di atas dalam ayat 2.a dan b akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah
Melihat pasal tersebut maka Peradilan Kertha seyogyanya tidak ikut terhapus,
sebab Peradilan Kertha ini tidak di bawah kekuasaan dari Peradilan Swapraja maupun
Peradilan Adat. Memperhatikan pasal 1 ayat 2 UU Darurat No. 1 Tahun 1951 dan
dihubungkan dengan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun
1970 yang dirubah dengan UU No.4 Tahun 2004 maka Peradilan Kertha dapat
dikatakan tetap ada.
Masalah-masalah Sumber Hukum Hindu sangat perlu mendapatkan perhatian
sehubungan dengan keberadaan Hukum Hindu itu sendiri. Hukum Hindu maupun
hukum Acaranya bersifat fleksibel (elastis atau luwes), sehingga dalam penerapannya
selalu menyesuaikan dengan Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (kondisi atau
keadaan) mengenai sifat fleksibelitas dari Hukum Acara Hindu sebagai sumber
hukum dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 6 juncto pasal 10 Dvityo Dhyayah
(Buku II) Veda Smrti, yaitu :
1. Sruti. Sumber hukum berisi cara-cara untuk mendapatkan kebenaran hukum,
untuk mengetahui baik tidaknya tingkah laku seseorang dan untuk menentukan
apa yang harus dan tidak boleh dilakukan, yang dihimpun dalam buku yang
dinamakan Mantra Samhita yang terdiri dari empat buku masing-masing Rg.
Weda, Yajur Weda, Sama Weda dan Atharwa Weda kemudian Brahmana dan
Aranyaka.
2. Smrti. Sumber hukum yang mengatur mengenai kebiasaan-kebiasaan atau hukum
berdasarkan adat agama tertulis, yang menurut Manawa Dharmasastra disebut
juga Dharmasastra.
Kalau dibandingkan dengan bentuk perundang-undangan Negara, maka Sruti itu
mempunyai persamaan dengan Undang-Undang Dasar sebagai sumber atau asal
dari ketentuan-ketentuan lainnya, sedangkan Smrti yang memuat peraturanperaturan, pedoman pelaksanaan dan ajaran-ajaran berdasarkan Sruti, dapat
disamakan dengan Undang-Undang, baik Organik maupun Anorganik.
3. Sila. Sumber hukum mengenai asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab atau ajaran tentang tingkah laku orang-orang beradab.
4. Acara. Adalah adat istiadat yang hidup dalam masyarakat serta merupakan hukum
positifnya.

5. Atmanastuti yaitu dari suatu keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh suatu


majelis yang didasarkan pada kebenaran yang mendekati kebenaran yang paling
benar, sehingga timbul rasa puas menerima keputusan dimaksud.
Disamping itu, kitab-kitab Hindu yang terkenal dapat dianggap memuat ajaran hukum
Hindu yang terdapat di Indonesia adalah kitab-kitab Agama, Adigama, Rajapati
Gundala, Sasana-sasana (antara lain Ciwasasana, Rajasasana, Putrasasana, Rsi Sasana
dan sebagainya), Kutaramanawa dan Purwadhigama. (G. Pudja dan Rai Sudharta
2003 : 9).
Masalah-masalah penyelesaian permasalahan yang terjadi terkait dengan
Hukum Hindu. Permasalahan yang terjadi semestinya diselesaikan lewat Peradilan
Agama (Peradilan Agama yang berjalan sampai saat ini adalah Peradilan Agama yang
merupakan peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam). Sejak pertengahan
April 2003 dalam kehidupan masyarakat Hindu berkembang wacana tentang perlu
tidaknya Peradilan Hindu. Semenjak mulainya berlaku UU Darurat tahun 1951
wacana seperti ini mulai bermunculan dikalangan praktisi hukum Hindu Kenapa
wacana ini kembali muncul, itu tak lain karena Ketua Mahkamah Agung
melemparkan pendapat bahwa mungkin, sekali lagi mungkin, di Bali bisa diterapkan
Peradilan Agama. Tentunya yang dimaksudkan adalah Peradilan Agama Hindu, tak
mungkin yang lain. Wacana ini yang bisa memberikan harapan apalagi dalam upaya
menegakkan keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum tersebut adalah melalui
lembaga-lembaga peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 ayat 2
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (dulu UU No.
14 /1970) yang menetapkan Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Keempat peradilan tersebut masing-masing mempunyai lingkungan
wewenang mengadili yang meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan
tingkat banding. Peradilan Umum adalah peradilan yang mempunyai lingkungan
wewenang mengadili bagi rakyat pada umumnya baik yang menyangkut perkara
pidana maupun perkara perdata. Sedangkan peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara adalah merupakan peradilan khusus yang mempunyai
lingkungan wewenang mengadili perkara-perkara tertentu.
Kenapa wacana seperti ini muncul, itu karena kebetulan salah satu propinsi di
Indonesia, yaitu Nangroe Aceh Darussalam telah mendirikan Mahkamah Syahriah.
Karena itulah embel-embel untuk Peradilan Agama di Bali dikaitkan dengan otonomi
khusus. (Raditya 2003 : 4)
Disamping itu adanya tuntutan Hukum Hindu perlu ditegakkan kembali
karena banyak kasus-kasus yang dianggap merugikan Hindu, wacana ini kemudian
berkembang, keseriusan untuk memperjuangkan peradilan Hindu dikarenakan
diketemukan beberapa persoalan, misalnya, menyangkut masalah perkawinan dan
perceraian yang belum diatur dalam undang-undang yang ada, karena dalam Hindu
kaitannya pada masalah Ritual. Masalah lain soal simbul-simbul Hindu yang konon
sudah banyak dilecehkan tidak diakomodir di Pengadilan Negeri. Semua ini belum
dilindungi oleh Hukum Nasional. Misalnya pencurian Pratima, pelakunya hanya
dikenakan sanksi pidana seperti halnya pencurian biasa. Sementara nilai magisnya

atau kesuciannya tidak terakomodasi, umat Hindu jadi tidak puas dengan hukum
seperti ini.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, adanya
kemungkinan peradilan Agama dalam arti seluas-luasnya akan terbuka pula
kemungkinan adanya hakim-hakim agama Hindu disamping hakim-hakim agama
Islam. Hukum Hindu sebagai salah satu cabang hukum dalam bidang hukum agama,
adalah merupakan hukum yang masih hidup di kalangan rakyat Indonesia yang
beragama Hindu sehingga dalam menegakkan rasa keadilan itu, hakim setidaktidaknya memerlukan pengetahuan Hukum Hindu dalam menyelesaikan masalah
Hukum Hindu. (Pudja, 1977 : 16).

C. Nilai-Nilai Hukum Hindu Dalam Masyarakat Hindu


Hukum Hindu diharapkan dikenal dengan baik oleh setiap umat Hindu, dapat
mengenal nilai-nilai Hukum Hindu yang dapat dilakukan melalui beberapa indra
manusia dengan melihat kenyataan yang ada di dalam masyarakat. Dalam tahap
pengenalan nilai-nilai Hukum Hindu ini, belum tentu orang langsung mengakui
kebenaran norma Hukum Hindu tersebut, maka diperlukan tahap pengakuan yaitu
dapat mengakui kebenaran adanya nilai-nilai Hukum Hindu dengan menghayati
bahwa nilai-nilai Hukum Hindu dirasakan sebagai miliknya yang tersimpan dalam
hati nurani yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana Bhagawad Gita
menyatakan bahwa :
Tasmac chastram pramanam te
Karyakarya-vyavasthitu
Jnatva sastra-vidhanoktam
Karma kartum iharhasi
Artinya :
Karena itu, biarlah kitab-kitab suci menjadi petunjukmu untuk menentukan
apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh; setelah mengetahui apa
yang dikatakan dalam aturan kitab suci engkau hendaknya mengerjakannya
disini.
Demikian juga ditegaskan dalam Manawadharmasastra II pasal 1 sebagai
berikut :
Widwidbhih sewitah sadbhir
Nityamadowesa ragibhih
Hrdayenabhyanujnato yo
Dharmastam nibodhata
Artinya :
Pelajarilah hukum-hukum suci yang diikuti oleh orang yang mendalami ajaran
Weda, hukum-hukum yang diresapkan dalam hati oleh orang-orang budiman,
orang-orang yang tidak pernah punya rasa benci maupun cinta yang
berlebihan.
Melalui tahapan-tahapan tersebut maka nilai-nilai Hukum Hindu di dalam
masyarakat merupakan nilai Hukum Hindu yang terjadi karena dasar untuk
menimbang segala kegiatan manusia yang diyakini secara bersama. Nilai-nilai ini

telah melembaga dan dianggap sebagai pematut di dalam mengambil keputusan


atau kesimpulan.
Adapun nilai-nilai Hukum Hindu yang ada dalam masyarakat Hindu dapat
diuraikan sebgai berikut :
1. Nilai Kebenaran
Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal manusia ratio, budhi dan cipta.
Nilai ini sama dengan kenyataan. Kelahiran menjadi manusia itu merupakan
suatu kesempatan yang terbaik untuk memperbaiki diri, oleh karena hanya
manusialah yang dapat memperbaiki segala tingkah lakunya yang dipandang tidak
baik agar menjadi baik. Untuk mencapai tujuan baik tersebut Dharma (Hukum
Hindu) patut dijadikan dasar dan pedoman untuk mengubah tingkah laku tersebut.
Disamping itu keinginan manusia itu tidak ada batasnya dan pada umumnya
cenderung untuk memenuhi semua keinginannnya, oleh karena itu Hukum Hindu
memberi ukuran sebagai dasar kebenaran untuk membatasi usaha-usaha manusia
untuk memenuhi keinginan agar tidak berbenturan dengan keinginan-keinginan
orang lain. Nilai kebenaran dalam Hukum Hindu adalah sebagai kaidah-kaidah
atau norma-norma hukum yang mengatur umatnya dalam segala bidang
kehidupan, baik yang menyangkut bidang etika, sosial, politik, filsafat,
kebudayaan dan lain-lain, termasuk juga mengatur tata hubungan antar manusia
dengan Tuhan.
2. Nilai Material
Nilai Material segala sesuatu yang berguna bagi manusia. Hukum Hindu dari nilai
materialnya adalah isi dari kekuatan Hukum Hindu tersebut untuk dapat
mempertimbangkan, isi yang sifatnya mengatur kehidupan bermasyarakat.
Kehidupan manusia dalam bermasyarakat, tentunya memiliki keinginan dan
kebutuhan Hidup. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia tentu
memerlukan pengaturan-pengaturan dalam mendapatkan suatu kebutuhan dalam
bentuk material yang memang sebagai haknya. Nilai Material dalam Hukum
Hindu adalah mengandung isi dari kekuatan hukum Hindu yang dapat memberi
kesebandingan dan hak-haknya.
3. Nilai Kebaikan
Nilai Kebaikan yang bersumber pada unsur kehendak manusia (karsa etika).
Hubungan antar manusia dalam masyarakat telah mempunyai aturan-aturan yang
melembaga, terutama dalam kepercayaan dan keyakinannya. Membimbing umat
dan masyarakat kita dalam mengembalikan nilai-nilai moral dan budaya dengan
jalan menjaga moral para penganut agamanya. Jika moralitas mereka baik, maka
baiklah jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebaliknya
jika moral runtuh, akan runtuh pula sendi kehidupan bangsa kita.
Secara sosiologi manusia memiliki kehidupan dalam bentuk-bentuk masyarakat
juga kebiasaan dan moral masyarakat di dalam perkembangannya, juga
mempengaruhi bentuk-bentuk Hukum Hindu sesuai dengan bentuk tata
kemasyarakatan dari dulu sampai sekarang. Namun demikian sampai saat ini
bentuk- bentuk Hukum Hindu tidak mempengaruhi niai-nilai kebaikan yang tetap
terkandung di dalamnya sebagai suatu azas dan moral. Nilai kebaikan yang
terkandung didalam Hukum Hindu yaitu untuk tercapainya keadilan dan
kedamaian yang abadi.

Untuk mencapai tingkat kebahagiaan, kebaikan dan keadilan tersebut Penegakan


Hukum Hindu harus didasarkan pada Dharma
4. Nilai Religius
Nilai Religius yang merupakan nilai ketuhanan bersumber pada kepercayaan dan
keyakinan manusia. Hukum Hindu ketika ditegakkan dan diberlakukan oleh para
penegak Hukum Hindu semestinya memperhatikan keseimbangan dunia cosmos
dan cosmis (skala dan niskala). Penjatuhan keputusan oleh hakim bukan hanya
dikenakan hukuman fisik saja namun untuk mendapatkan keadilan niskala
diperlukan keputusan yang intinya harus menebus dengan usaha prayascita
(pensucian), bila terjadinya hal-hal yang dapat menyebabkan ternodanya
kesucian.
Agar terakomodir sifat magis dan kesucian simbul Hindu di Pengadilan Negeri
perlu diatasi dengan memperbanyak saksi ahli di bidang agama dan meminta agar
Pengadilan menggunakan kesaksian ini.
5. Nilai Keindahan
Nilai Keindahan yang bersumber pada unsur rasa manusia (perasaan dan estetika)
pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat dalam suatu
hal. Kualitas yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keseimbangan
(balance) dan kebalikan (contrast). (Joko Tri Prasetya 1998 : 77)
Hukum Hindu yang kita yakini dan kita percaya adalah hukum yang diciptakan
oleh Hyang Widhi dalam Weda dalam bentuk hukum Murni (Rta) yang kemudian
dijabarkan ke dalam tingkah laku manusia yang disebut Dharma yang selalu
dikaitkan dengan pengalaman manusia dalam mengatur tingkah laku untuk
mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya. Nilai keindahan dalam Hukum
Hindu adalah adanya perasaan keadilan yang terkandung di dalamnya dan dapat
diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
6. Nilai Vital
Nilai Vital segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan dan aktivitas. Dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, umat Hindu
memerlukan sesuatu yang berguna dalam melakukan kegiatan dan aktivitasnya
yaitu Hukum Hindu. Kenapa ? karena Hukum Hindu adalah hukum yang
menghendaki suatu sikap ketegasan untuk mencegah adanya keraguan-keraguan
pada diri kita. Selama kita ragu dan tidak dapat membeda-bedakan kenyataan,
selama itu pula kita akan hanyut terbawa ke dalam arus perbedaan yang tidak
berkesudahan dan akan membawa kita pada sikap yang bertentangan.
D. Simpulan
Kebutuhan akan pengetahuan mengenai Hukum Hindu ini sangat dirasakan
terutama oleh masyarakat yang pada umumnya beragama Hindu, oleh karena
kenyataan membuktikan bahwa kebudayaan lebih banyak bersumber pada ajaranajaran Agama Hindu. Ajaran-ajaran agama Hindu melalui Hukum Hindu
mengandung nilai-nilai yang sangat berguna bagi kehidupan umat Hindu. Bagi umat
Hindu arti dari pada hidup itu adalah mendapat kesempatan berbuat baik
(Cubhakarma) untuk menebus perbuatan yang tidak baik (Acubhakarma) pada masa

kehidupan yang dahulu. Manusia dapat mengubah nasibnya dengan berkarma yang
baik sebagaimana dinyatakan dalam Sarasamuccaya 2 sebagai berikut :
Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken
ikang cubhacubhakarma, kuneng panentasakena ring cubhakarma juga
ikangacubhakarma, phalaning dadi wwang.
Artinya :
Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia
sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke
dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya
(pahalanya) menjadi manusia.
Patuhilah nilai-nilai Hukum Hindu yang ada dalam masyarakat Hindu karena
menjelma menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama, karena ia dapat menolong
dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik. Terakhir pergunakanlah
nilai-nilai Hukum Hindu sebagai dasar pedoman hidup atau petunjuk hidup untuk
memperoleh Dharma.

DAFTAR PUSTAKA
Hakim Lukman, Konstitusi Majapahit, Universitas Muhammadiyah, Malang, 2004
Pudja G., Bhagawad Gita, Paramita, Surabaya, 2003
Pudja G. Dan Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra (Manu Dharmasastra) atau
Weda Smrti Compendium Hukum Hindu, Pustaka Mitra Jaya, Jakarta, 2003
______, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresipir Ke Dalam Hukum Adat di Bali dan
Lombok, CV. Junasco, Jakarta, 1977
______, Apakah Hukum Itu, Mayasari. Jakarta, 1977
Prasetya Joko Tri, Ilmu Budaya Dasar, Rineka Cipta, 1998
Pasek I Ketut, Niti Sastra, Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Budha
Departemen Agama RI, 1982
Surpha I Wayan, Pengantar Hukum Hindu, Paramita, Surabaya, 2005
Sarasamuccaya, dengan teks Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna, Hanuman Sakti, 1993
Panaturan, Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan , 2001
Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Fokusmedia.

Pedoman Penerangan Agama Hindu dan Budha, Agama Hindu dan Lingkungan Hidup,
1984
Raditya Nomor 70 terbitan Mei 2003

Anda mungkin juga menyukai