PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Uji disolusi dan difusi in vitro memiliki peran penting dalam
pengembangan formulasi obat dan kontrol kualitas. Hal ini tidak hanya dapat
digunakan sebagai alat utama untuk memantau konsistensi dan stabilitas produk
obat tetapi juga sebagai teknik yang relatif cepat dan murah untuk memprediksi
penyerapan in vivo suatu sediaan obat (Zhang et al., 2010). Uji disolusi
memberikan gambaran perubahan jumlah zat aktif yang terlarut di dalam medium
(Fudholi, 2013). Uji difusi dapat digunakan untuk memperoleh parameter kinetik
transpor obat melalui membran usus, serta mempelajari pengaruh komponen
penyusun sediaan terhadap profil transpor obat (Deferme, 2008). Kedua uji
tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi sistem penghantaran obat yang
sedang berkembang yaitu SNEEDS.
Self Nano Emulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) adalah campuran
isotropik minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan yang secara spontan membentuk
emulsi minyak dalam air (O/W) ketika dimasukkan ke dalam medium air dengan
penggojogan ringan (Patel et al., 2008). Komponen penyusun obat dapat
meningkatkan ketersediaan hayati relatif obat-obat yang bersangkutan sebagai
akibat dari modifikasi membran tempat absorbsi (Sudjaswadi, 1995). Komponen
penyusun SNEDDS yang digunakan dalam penelitian ini adalah olive oil (minyak
zaitun) sebagai minyak, Tween 80 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai
kosurfaktan.
1
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 terhadap disolusi
SNEDDS simvastatin.
2. Mengetahui pengaruh variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 terhadap difusi
SNEDDS simvastatin.
3. Mengetahui formula SNEDDS simvastatin yang akan memberikan parameter
disolusi dan difusi paling baik.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh
variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 terhadap parameter disolusi dan difusi
sediaan SNEDDS simvastatin sehingga dapat membantu meningkatkan efektifitas
penggunaan simvastatin secara peroral sebagai obat anti kolesterol.
E. Tinjauan Pustaka
1. Simvastatin
Simvastatin merupakan obat yang berkhasiat menurunkan kadar
kolesterol dan merupakan hasil sintesa fermentasi Aspergillus terreus. Simvastatin
termasuk kedalam BCS kelas II dengan karakteristik kelarutan yang rendah
namun memiliki permeabilitas yang tinggi (Abdelbary, 2012). Koefisien partisi
simvastatin adalah 4,68. Simvastatin bersifat asam lemah dengan nilai pKa 5,5.
Kelarutan simvastatin didalam air adalah 0.03 g/L (Katy and Magdassi, 2009).
Karakteristik tersebut berdampak pada rendahnya ketersediaan hayati simvastatin
didalam tubuh.
seperti susunan misel mampu mencegah terjadinya presipitasi obat karena adanya
pengaruh cairan gastro intestinal sehingga merubah sistem menjadi emulsi dan
meningkatkan absorpsi obat. Kemudian adanya pengaruh fase minyak yang akan
secara selektif memudahkan obat melalui sirkulasi limfatik sehingga menurunkan
kemungkinan obat melalui first-pass effect (Raesuddin, 2011).
Pembentukan emulsi O/W terbentuk secara spontan ketika fase minyak
menemui fase air di dalam lambung. SNEDDS akan secara langsung menyebar di
dalam saluran GI dan karena pengaruh motilitas lambung maka secara langsung
memfasilitasi terjadinya self emulsification. Sistem ini memberikan keuntungan
obat yang terlarut dalam sistem memiliki ukuran droplet yang lebih kecil serta
memberikan luas permukaan yang besar untuk bersentuhan dengan area absorpsi
obat sehingga absorbsi obat dapat lebih cepat terjadi (Raesuddin, 2011).
Dibandingkan dengan sistem emulsi biasa yang sangat mudah
terpengaruh kondisi pH dan kurang stabil, SNEDDS memberikan formula yang
lebih stabil serta mudah dibuat. Untuk obat yang bersifat lipofil dengan dibuat
kedalam sistem SNEDDS akan memberikan disolusi yang baik serta
karbon nomor 9 dan karbon nomor 10 (Win, 2005). Struktur asam oleat dapat
dilihat pada gambar 2.
Secara
struktur
kimia,
Asam
oleat
memiliki
rumus
struktur
dapat mengiritasi saluran usus. Oleh karena itu aspek keamanan dari surfaktan
perlu dipertimbangkan (Rahman et al., 2012). Surfaktan yang berasal dari alam
lebih aman dalam penggunaannya dibanding surfaktan sintetis. Namun, surfaktan
alami mempunyai kemampuan self-emulsification yang lebih rendah sehingga
jarang digunakan untuk formulasi SNEDDS (Singh et al., 2009).
Surfaktan bekerja dengan cara menurunkan tegangan permukaan antara
fase minyak dan fase air. Zat ini akan berada dipermukaan cairan atau antar muka
2 cairan dengan cara teradsorpsi. Gugus hidrofil akan berada pada bagian air
sedangkan gugus lipofil akan berada pada bagian minyak. Surfaktan bersifat
amfifilik di alam dan dapat melarutkan kebanyakan obat hidrofobik (Raesuddin,
2011). Fungsi lain dari surfaktan yaitu untuk mencegah terjadinya presipitasi
didalam lumen saluran usus dan untuk memperpanjang keberadaan obat dalam
bentuk molekul terlarut sehingga proses absorpsi dapat berjalan secara efektif
(Patel et al., 2008).
Pemilihan surfaktan harus mampu mengurangi tegangan permukaan yang
dapat memfasilitasi proses dispersi selama preparasi SNEDDS (Rahman et al.,
2012). Polioksietilen-20-sorbitan monooleat (Tween 80) adalah salah satu
surfaktan yang umum digunakan. Tween 80 mampu melarutkan obat-obat dengan
kelarutan rendah dalam air sehingga dijadikan pertimbangan dalam formulasi
SNEDDS.
konsentrasi dari
surfaktan yang digunakan. Dilaporkan bahwa droplet dengan ukuran yang lebih
kecil dapat diperoleh dengan meningkatkan konsentrasi surfaktan. Ukuran droplet
merupakan faktor kritis didalam performa self emulsification karena hal tersebut
menentukan kecepatan dan tingkat obat yang terlepas hingga berpengaruh
terhadap absorbsinya (Abdelbary et al, 2012).
5. Ko-surfaktan
Ko-surfaktan ditambahkan dengan tujuan meningkatkan drug loading,
mempercepat emulsification time, dan mengatur ukuran tetesan emulsi
(Wulandari, 2013). Pelarut organik yang sesuai untuk penggunaan secara peroral
(ethanol, propilen glikol, polietilen glikol, dll) dapat menolong pelarutan surfaktan
hidrofilik atau obat didalam pembawa minyak dalam jumlah yang besar. Namun
10
gelatin
sehingga menyebabkan presipitasi obat. Disisi lain, kelarutan obat lifofilik dalam
formula yang tidak menggunakan alkohol menjadi terbatas. Pelepasan obat dari
formula meningkat dengan meningkatkan jumlah kosurfkatan. (Patel et al., 2008).
11
zat pembasah, agen pelarut, atau surfaktan untuk media disolusi (Singla et al.,
2009). Penggunaan surfaktan dalam media disolusi obat lipofilik, secara fisiologis
relevan dan telah dilakukan penelitian sebelumnya. medium disolusi yang
mengandung Surfaktan
pencernaan daripada
dapat
saluran
12
DDSolver
merupakan
program
yang
dikembangkan
untuk
13
14
Kinetika orde nol (K0) menjelaskan disolusi obat dari sediaan terjadi
secara perlahan. Model ini memperlihatkan grafik fraksi disolusi obat terbentuk
linier terhadap waktu jika kondisi yang ditetapkan telah terpenuhi. Kinetika orde
nol digunakan untuk menggambarkan disolusi obat pada beberapa jenis sediaan
seperti sistem transdermal, tablet matriks dengan obat kelarutan rendah, bentuk
salut, sistem osmosis, dan lain-lain. Sediaan tersebut melepaskan obat dengan
jumlah yang sama tiap unit waktu dan metode ini ideal untuk menggambarkan
efek terapi prolonged (Costa and Lobo, 2000).
Qt = Q0 + K0t
(2)
terdisolusi
terhadap
waktu
yang
linier.
Kinetika
orde
satu
menggambarkan disolusi obat sebanding dengan jumlah obat yang tersisa pada
sediaan atau dengan kalimat lain, jumlah obat yang terdisolusi per satuan
waktu semakin berkurang (Costa and Lobo, 2000).
ln Qt = ln Q0 + K1t
(3)
15
16
didefinisikan di bawah tergantung pada besarnya data serta jumlah titik data.
Persamaan AIC sebagai berikut :
AIC = n.ln (WSS) + 2.p
(5)
n adalah jumlah titik data , WSS adalah weighted sum of square, dan p
adalah jumlah parameter dalam model.
Ketika membandingkan dua model dengan jumlah parameter yang
berbeda, model dengan nilai AIC yang lebih rendah dapat dianggap sebagai
model yang lebih baik, namun seberapa rendah nilai yang diperlukan untuk
membuat perbedaan diantara model disolusi secara signifikan, tidak dapat
ditentukan karena distribusi dari nilai-nilai AIC yang tidak diketahui (Zhang et
al., 2010).
b. Disolusi efisiensi (DE)
Disolusi efisiensi (DE) adalah perbandingan luas dibawah kurva disolusi
dengan luas segi empat seratus persen zat aktif larut dalam medium pada saat
tertentu. Untuk sediaan kapsul, waktu pengamatan DE bisa dilakukan setelah
kapsul dimasukkan dalam wadah, termasuk lag time-nya (waktu yang
diperlukan untuk hancurnya kapsul dalam medium), dan dapat pula waktu
yang dipilih diluar lag time-nya. Walaupun demikian, penggunaan waktu
termasuk lag time, akan menunjukkan hasil yang lebih mendekati gambaran
proses yang sebenarnya. Penggunaan disolusi efisiensi (DEt %) dalam
pengungkapan hasil uji disolusi zat aktif dalam suatu medium, mempunyai
banyak keuntungan sebagai berikut :
17
1. Dengan satu ekspresi dapat terungkap semua titik yang ada didalam kurva
uji disolusi, sehingga dapat digunakan untuk membandingkan hasil uji
disolusi antara banyak formula uji.
2. Hasil/data yang diungkapkan identik dengan pengungkapan data secara invivo. Dasar pertimbangannya adalah diasumsikan bahwa :
a. Tingkat absorbsi obat yang terjadi secara in vivo sebandingan dengan
konsentrasi obat yang terlarut dalam medium gastrik.
b. Tingkat absorbsi obat yang terjadi secara in vivo sebanding dengan
waktu kontak larutan zat aktif dalam medium gastro intestinal.
Untuk mengukur besarnya luas dibawah kurva zat aktif terlarut, dapat
dilakukan dengan metode trapesium. Metode trapesium diwujudkan dengan
menjumlahkan luas trapesium-trapesium yang terbentuk, ditambah dengan
luas segitiga yang ada, apabila kurva dipotong-potong sebagai daerah-daerah
kecil dengan alas yang sejajar dari kurva yang ada (Fudholi, 2013).
18
Tabel I. Keunggulan dan keterbatasan metode side by side diffusion (Deferme, 2008)
Keunggulan
Model skrining yang baik
Korelasi yang baik dengan data
permeabilitas in vivo
Memungkinkan untuk mengevaluasi semua
saluran GI
Mengevaluasi mekanisme transpor
Keterbatasan
Viabilitas jaringan
Ketersediaan jaringan
(manusia)
Terdapat lapisan otot
melingkar
Kesulitan pada proses
pengadukan
Mengevaluasi enhancer
Usus tikus yang terisolasi digunakan sebagai sel difusi pada Ussing
chamber tipe horizontal yang terbagi dalam dua kompartemen yaitu kompartemen
mukosal (donor) dan kompartemen serosal (akseptor). Penggunaan tikus dengan
ras dan jenis kelamin yang sama, serta usia yang kurang lebih sama pada uji difusi
bertujuan untuk mengendalikan variasi absorpsi melalui membran usus. Pengujian
terhadap daya absorpsi obat dengan isolasi usus tikus dilakukan sebagai studi
pendahuluan obat yang tertranspor di usus dan untuk mengestimasi level first pass
metabolism melewati kompartemen pada sel epitel usus.
9. Analisa uji in vitro difusi
Difusi melalui membran biologis merupakan langkah penting bagi obat
untuk memasuki (absorpsi) atau meninggalkan (eliminasi) tubuh. Difusi dapat
terjadi secara transeluler melalui sel-sel lipoid dua lapis (lipoidal bilayer) dan
paraseluler melalui ruang antarsel yang berdekatan. Gaya penggerak terjadinya
difusi diantaranya adalah difusi pasif. Difusi pasif adalah suatu proses
perpindahan massa molekul individual suatu substrat yang dilakukan dengan
gerakan molekul acak & berhubungan dengan gradien konsentrasi. Untuk obatobat yang ditransport secara difusi pasif peranan membran usus dalam transfer
obat hanya sebagai membran difusi. Tenaga pendorong pada difusi pasif yaitu
19
perbedaan konsentrasi pada kedua sisi membran sel. Menurut hukum Fick I,
molekul obat berdifusi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (Shargel and
Yu, 1999).
J=
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
C2 = Ca x K
(11)
20
(12)
Proses difusi dalam tubuh ke saluran sistemik selalu dalam kondisi sink
dimana kadar obat dalam akseptor (pembuluh darah) selalu jauh lebih kecil
dibanding kadar obat dalam donor (Ca < 0,1 Cd), sehingga Ca dapat diabaikan
(Ca = 0). Jika permeabilitas, P = DK/h, maka:
(13)
(15)
21
22
lain: mudah dioperasikan, untuk sistem linier dan nonlinier dikerjakan dengan
perintah umum, otomatis fitting data tanpa perlu menerjemahkan model
konstruksi, secara otomatis menentukan parameter linier atau nonlinier sesuai
model konstruksi, fleksibel untuk berbagai model, fasilitas spreadsheet
memungkinkan output hasil pengolahan data dapat diekspor secara langsung ke
excel atau sistem spreadsheet lainnya (Linares and Boston, 2010).
Analisis data menggunakan WinSAAM dimulai dengan membuat
prediksi model kompartemen. Evaluasi goddnes of fit dilakukan terhadap prediksi
model kompartemen apakah sudah mampu memberikan gambaran proses difusi
melewati membran usus. Analisis selanjutnya adalah listing yang terdiri dari
estimasi nilai awal, batas minimum, dan maksimum, serta penulisan parameterparameter model yang disusun secara sistematis sesuai dengan konvensi yang ada.
Tahapan setelah listing adalah decking yang merupakan proses penerjemahan
listing program ke dalam bahasa WinSAAM. Tahapan selanjutnya adalah solve
yang merupakan pemecahan model dan persamaan diferensial terkait. Proses
pencarian parameter model terbaik dilakukan dengan proses pencarian berulang
(iteration).
F. Landasan Teori
Uji in vitro disolusi dan difusi dapat dilakukan untuk mengevaluasi
sistem penghantaran yang saat ini sedang berkembang yaitu self emulsifying drug
delivery system (SNEDDS). SNEDDS adalah campuran isotropik minyak,
surfaktan, dan ko-surfaktan, yang secara spontan membentuk emulsi minyak
dalam air (O/W) ketika dimasukkan ke dalam medium air dengan penggojogan
23
Dengan
emulsification
time
yang
cepat
diharapkan
dapat
24
G. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini berupa :
1. Self Nano emulsifying drug delivery system (SNEEDS) simvastatin dengan
variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 dapat meningkatkan disolusi
simvastatin.
2. Self Nano emulsifying drug delivery system (SNEEDS) simvastatin dengan
variasi kadar Tween 80 dan PEG 400 dapat meningkatkan difusi simvastatin.
3. Formula Self Nano emulsifying drug delivery system (SNEEDS) simvastatin
dengan kadar Tween 80 sebanyak 70 % dan PEG 400 sebanyak 20 % akan
memberikan parameter disolusi dan difusi yang paling baik.