PENDAHULUAN
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
sebagai sub-sistim pemerintahan negara,
dimaksudkan untuk meningkatkan
efektifitas
dan
efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan masyarakat (UU No. 33
tahun 2004). Sebagai daerah otonomi
daerah mempunyai wewenang dan
tanggungjawab
menyelenggarakan
kepentingan masyarakat. Prinsip dasar
pemberian otonomi daerah didasarkan
atas pertimbangan bahwa daerahlah
yang mengetahui kebutuhan dan standar
pelayanan
bagi
masyarakat
di
daerahnya. Atas dasar pertimbangan ini,
maka pemberian otonomi daerah
diharapkan
mampu
memacu
pertumbuhan
ekonomi
dan
kesejahteraan
masyarakat
pada
akhirnya.
Salah satu sektor yang berperan
dalam perekonomian secara global
adalah sektor industri, oleh karena itu
pembangunan kawasan industri di
daerah diharapkan dapat meningkatkan
perekonomian daerah setempat yang
berdampak
pada
peningkatan
perekonomian nasional.
Berawal dari pemikiran tersebut,
maka Pemerintah Kabupaten Brebes
dalam hal ini melalui Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah
merencanakan
Kawasan
Industri
Terpadu
(KIT)
sebagai
upaya
peningkatan pendapatan daerah dalam
mendukung
pelaksanaan
otonomi
daerah yang akan berdampak pada
79
d.
KAJIAN TEORI
1). LANDASAN HUKUM
Landasan hukum dalam penyusunan
Perencanaan Kawasan Industri Terpadu
Kabupaten Brebes antara lain :
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian;
b. Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997
tentang
Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
c. Undang-undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung;
d. Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah;
e. Undang-undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang;
f. Undang-undang Nomor 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah;
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah;
h. Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1986 tentang Kewenangan
Pengaturan,
Pembinaan
dan
Pengembangan Industri;
i. Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan;
j. Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 1995 tentang Izin Usaha
Industri;
k. Peraturan Daerah Kabupaten Brebes
Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Evaluasi dan Revisi Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Brebes;
l. Peraturan Daerah Kabupaten Brebes
Tahun Nomor 5 Tahun 2006
tentang Kemitraan Daerah;
m. Keputusan
Menteri
Negara
Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun
80
81
penerapan
industri.
dari
standar
82
Dengan
dibangunnya
kawasan industri terpadu
diharapkan akan mampu
menampung tenaga kerja
sesuai
dengan
yang
dibutuhkan oleh kawasan
industri tersebut. Di samping
itu, pencemaran dari limbah
industri yang berada disekitar
kawasan dapat dilokalisir dan
dipantau
tingkat
pencemarannya,
sehingga
tidak merugikan masyarakat
sekitarnya.
(Pengertian
Kawasan
Industri Terpadu diolah,
bersumber pada Depkominfo,
Depdagri dan Disperindag,
Tahun 2008)
C. KLASIFIKASI INDUSTRI
SECARA UMUM
1. Klasifikasi
Industri
Berdasarkan
Hubungan
Vertikal
Hubungan vertikal adalah
adanya hubungan dalam
bentuk
penggunaan
produk hasil akhir suatu
kelompok
perusahaan
sebagai bahan baku pada
kelompok
perusahaan
lain. Misalnya
hasil
barang yang dibuat suatu
perusahaan X dijadikan
bahan
baku
oleh
perusahaan lain. Dalam
hal ini, antara perusahaan
X dengan perusahaan Y
mempunyai
hubungan
vertikal.
Hubungan
vertikal tersebut terdiri
dari: Industri Hulu dan
Industri Hilir.
a. Industri Hulu
Perusahaan
yang
membuat produk yang
dapat
dipergunakan
83
berubah
sesuai
dengan
perubahan
nilai uang)
Berdasarkan
jumlah
tenaga
kerja,
penggolongan
industri
dapat
dikelompokkan
sebagai berikut :
Industri
Rumah
Tangga adalah usaha
kerajinan
rumah
tangga
yang
mempunyai pekerja
antara 1-4 orang.
Industri Kecil adalah
perusahaan
yang
mempunyai pekerja 519 orang
Industri
Sedang
adalah
perusahaan
yang
mempunyai
pekerja 20-99 orang
Industri Besar adalah
perusahaan
yang
mempunyai pekerja
100 orang atau lebih
D. TUJUAN
PEMBANGUNAN
INDUSTRI
Menurut
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1984
Pembangunan
industri
bertujuan untuk :
a. Meningkatkan
kemakmuran
dan
kesejahteraan
rakyat
secara adil dan merata
dengan
memanfaatkan
dana, sumber daya alam,
dan/atau hasil budidaya
serta
dengan
memperhatikan
keseimbangan
dan
kelestarian
lingkungan
hidup;
b. Meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
84
g. Mengembangkan
pusatpusat
pertumbuhan
industri yang menunjang
pembangunan
daerah
dalam rangka pewujudan
Wawasan Nusantara;
h. Menunjang
dan
memperkuat
stabilitas
nasional yang dinamis
dalam
rangka
memperkokoh ketahanan
nasional.
E. PENGEMBANGAN
KAWASAN INDUSTRI
1. Konsep Pengembangan
Kawasan
Perwujudan
strategi
pembangunan
daerah
bertujuan
untuk
meningkatkan
kinerja
pembangunan
dan
memperoleh hasil yang
lebih optimal terletak
pada
kemampuan
aktualisasi
konsep
pembangunan
wilayah
secara utuh dan terpadu
(comprehensive
and
integrated
area
development
concept).
Pendekatan
pembangunan
wilayah
yang utuh dan terpadu
akan
mampu
mewujudkan
efisiensi
dan efektivitas fungsi
perencanaan
pembangunan
daerah.
Dengan
kata
lain,
pendekatan
tersebut
menganut
azas
keseluruhan
sektor
(comprehensive) secara
terpadu, bukan lagi
penjumlahan (agregatif)
masing-masing
sektor
secara terpisah.
85
Untuk
menghadapi
persaingan
di
pasar
global maupun pasar
domestik
serta
memanfaatkan
keunggulan
lokasional
(locational advantage),
pengembangan industri
kita harus diarahkan dan
dipersiapkan
melalui
pembentukan
kawasan
industri guna mendorong
peningkatan kemampuan
bersaing
secara
menyeluruh,
dari
kemampuan
bersaing
berdasarkan factor driven
ke arah investment driven
dan innovation driven.
Untuk
itu,
semua
stakeholders
dalam
industri
harus
dikelompokkan
dalam
suatu
lokasi
untuk
memfasilitasi
dan
mendukung
proses
investasi dan inovasi. Ini
berarti
harus
ada
interaksi antara industri
utama (core industry),
penyedia bahan baku,
industri pendukung, serta
fasilitas
pendukung
lainnya, seperti layanan
Riset dan Pengembangan
(R & D), layanan diklat,
layanan distribusi dan
transpotasi,
layanan
finansial, dan sebagainya.
Untuk
mengakomodasikan
semua
ini,
Kluster
Industri
(industrial
cluster) adalah salah satu
konsep
yang
dapat
digunakan. Industri dan
stakeholders berada pada
satu
lokasi geografi
86
untuk
menghadapi
globalisasi
dan
memanfaatkan
efek
keterkaitan (linkage) dan
networking
secara
interaktif.
Sehingga
pengertian
kluster industri adalah
pengelompokan industri
yang saling berhubungan
secara interaktif yang
merupakan aglomerasi
perusahaan-perusahaan
yang
membentuk
patnership, baik sebagai
industri
pendukung
maupun sebagai industri
terkait.
Manfaatnya
untuk
mendorong spesialisasi
produksi pada suatu
daerah/wilayah
dan
mendorong keunggulan
komparatif
menjadi
keunggulan kompetitif.
Keunggulan dibentuknya
kluster industri adalah
meningkatkan efisiensi,
mengurangi
biaya
transpotasi dan transaksi,
mengurangi biaya sosial,
menciptakan aset secara
kolektif,
dan
meningkatkan
terciptanya inovasi.
3.
87
88
adalah
kumpulan
dari
perusahaan pada industri yang
terspesialisasi
dan
terkonsentrasi secara spasial
dalam
suatu
wilayah
(Marshal,1920).
Pandangan
Marshal mengenai industrial
district masih relevan sampai
saat ini dan secara empiris
masih dapat dijumpai. Dalam
perpektif
lebih
modern
(Krugman,1991; Porter,1990),
industrial
district
cluster
berbasis pada eksternalitas
sebagai berikut:
a) Penurunan biaya transaksi
(misalnya,
biaya
komunikasi
dan
transportasi).
b) Tenaga
kerja
yang
terspesialisasi
(misalnya,
penurunan
biaya
rekruitment tenaga kerja
yang terspesialisasi dan
penurunan biaya untuk
pengembangan sumber daya
manusia).
c) Ketersediaan sumber daya,
input dan infrastruktur yang
spesifik dan terspesialisasi
(misalnya pelayanan spesial
dan tersedia sesuai dengan
kebutuhan lokal).
d) Ketersediaan
ide
dan
informasi yang maksimal
(misalnya mobilitas tenaga
kerja, knowledge spillover,
hubungan informal antar
perusahaan).
Intinya, industrial district,
terjadi secara alamiah dan
bersifat open membership.
Dalam industial district tidak
memerlukan investasi dalam
membangun relationship. Hal
ini menunjukkan bahwa jenis
kluster ini dapat muncul tanpa
memerlukan
usaha
untuk
89
90
91
92
93
4.
94
B.
95
C.
tersebut.
Pemerintah
Daerah
dalam pengertian kerja sama
Pemerintah Daerah termasuk di
dalamnya
BUMD/Perusahaan
Daerah.
Oleh
karena
itu
perusahaan daerah mempunyai
peluang untuk mengembangkan
dan meningkatkan usaha melalui
kerjasama dengan pihak swasta.
Pihak
ketiga
menurut
Permendagri Nomor 3 Tahun
1986 adalah instansi atau badan
usaha atau perorangan yang
berada
di
luar
organisasi
Pemerintah Daerah, antara lain
Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah lainnya, BUMN, BUMD,
Koperasi, Swasta Nasional atau
Swasta Asing yang tunduk pada
hukum Nasional
Bentuk Kerja sama secara garis
besar dikelompokkan adalam 2
bentuk, yaitu
1. Kerjasama Pengelolaan (Joint
Operation). Kerja sama ini
dapat
dilakukan
melalui
berbagai model, yaitu :
a. Sewa Tambah Guna (
Contract Add and Operate
/CAO)
b. Rehabilitasi Guna Serah
(Rehabilitate, Operate and
Transfer/ROT)
c. Bangun Serah (Built and
Transfer/ BT)
d. Bangun Guna Serah (
Built,
Operate
and
Transfer/BOT)
e. Bangun Serah Sewa (
Built, Transfer and Rent
/BTR)
f. Bangun Sewa Serah (
Built,
Rent
and
Transfer/BRT)
g. Bangun Kelola Miliki (
Built,
Operate
and
Own/BOO)
h. Kerjasama Operasi
96
D.
suatu
kerangka
strategis.
Sebagaimana
dilakukan
oleh
perusahaan dalam rangka menjalin
kerjasama
strategis
untuk
mengembangkan
bisnisnya.
Kerangka pikir yang biasa dipakai
adalah
menggunakan
model
manajemen strategis. Menurut
Usman ( 1996 ) beberapa kekuatan
dan kelemahan pemanfaatan dana
sektor swasta dapat dilihat sebagai
berikut:
Tabel 1
KEKUATAN DAN KELEMAHAN KERJA SAMA DENGAN SEKTOR SWASTA
Aspek
Kekuatan
Kelemahan
Efisiensi
Dengan Masuknya Kantor
Tidak ada kelemahan yang
Swasta maka perusahaan akan menonjol
beroperasi dengan lebih
efisien
Persiapan
Pendanaan
Pembagian
Resiko
Desentralisasi
Dilakukan bersama-sama
dengan pihak swasta,
sehingga mudah
memperhatikan berbagai
aspek
Pemda/Perusda tidak perlu
menyediakan dana dalam
jumlah yang besar dalam
penyertaan modal
Terjadi pembagian resiko
antara Pemda/Perusda dengan
swasta
Meningkatkan kewenangan
Pemda
Patyisipasi
Swasta
Penentuan Tarif
Alih Teknologi
Makro Ekonomi
97
komersiilnya
serta
mendayagunakan bangunan dan
fasilitas tersebut untuk suatu jangka
waktu tertentu.
Biasanya pada awal kerjasama
Pemda juga akan menerima
kompensasi berupa uang dari pihak
swasta dan mempunyai hak untuk
memanfaatkan suatu area dari
bangunan
tersebut
tanpa
pembayaran apapun ke pihak
swasta.
BOT
Transfer Resiko
Pemerintah
Swasta
100%
dari resiko
resiko
rendah
Resiko
tinggi
Resiko
Konstruksi
100%
dari resiko
resiko
rendah
Resiko
tinggi
Resiko
Operasi
100%
dari resiko
Resiko
sangat
rendah
Resiko
sangat
tinggi
Resiko
Pembangunan
98
e.
f.
g.
h.
i.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil analisis
pada pembahasan sebelumnya adalah
sebagai berikut L
1). Pembangunan Kawasan Industri
Terpadi di Desa Cimohong
dinyatakan layak secara finansial.
Hal ini bisa dilihat dari hasil
perhitungan, didapatkan hasil :
o
NPV
Df = 10 %
=
Rp
291.723.259.253.575,Df = 12 %
=
Rp
98.236.030.931.190,Df =
14 % =
(Rp
50.159.980.993.680)
o
IRR
= 13,266
o
B/C Ratio
Df = 10 % = 1,32
Df = 12% = 1,11
Df = 14 % = 0,94
o
Pay Back Period = 15 tahun
Proyek dikatakan layak secara
finansial, jika NPV positif, B/C
ratio di atas 1, dan IRR di atas
tingkat bunga yang berlaku.
Dengan hasil perhitungan, proyek
dinyatakan layak untuk dibangun.
99
di Kabupaten Sukoharjo,
Surakarta : FE UMS.
Agus
Wantara,
1995,
Analisis
Pendapatan Asli Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun
1970-1980 (tesis yang tidak
dipublikasikan), Yogyakarta
: UGM
Alfian Lians, 1985, Pendapatan Daerah
Dalam Ekonomi Orde Baru,
Prisma No. 4 Tahun XIV.
Andi Mustari, 1999, Otonomi Daerah
dan
Kepala
Daerah
Memasuki Abad XXI, Jakarta
: Gaya Media Pratama
Asnafiah Yulianti, 2001, Kemandirian
dan Pertumbuhan Ekonomi
Dalam
Menyongsong
Otonomi Daerah, Kajian
Ekonomi dan Bisnis Stiekers,
Vo. 5 , No. 29, Tahun 2001.
B.Usman, 1977, Pajak-pajak Indonesia,
Jakarta : Majalah Mingguan Pajak.
Bagus Santosa, 1995, Evaluasi Peran
Retribusi Pasar Terhadap
Pendapatan Daerah : Studi
Kasus Kabupaten Sleman
(laporan penelitian yang
tidak
dipublikasikan),
Yogyakarta : UGM
Bahl, Roy, 1999, Implementation Rule
Fiscal
Desentralisation,
Atlanta
:
International
Studies Program School of
Policy Studies, Georinia
State University.
Balai Penerbitan Panca Usaha, 2001,
Undang-Undang No. 34
Tahun
2000
Tentang
Perubahan Atas Undangundang Nomor 18 Tahun
1997 Tentang Pajak dan
Retribusi Daerah, Bandung :
CV. Laksana Mandiri
Caroline, 2004, Analisis Penerimaan
Retribusi
Pasar
Kota
Salatiga, Semarang : UNDIP
100
(tesis
yang
tidak
dipublikasikan)
Dadang Solihin, 2001, Kamus Istilah
Otonomi Daerah, Jakarta :
Lembaga
Pemberdayaan
Ekonomi Kerakyatan
Davey, 1988, Pembiayaan Pemerintah
Daerah,
Terjemahan
Amanullah, Jakarta : UI
Press
Deddy Supriady, 2001, Otonomi
Penyelenggara Pemerintah
Daerah, Jakarta : Gramedia
Fisher,Ronald, 1996, State and Local
Publik Finance, A Time
Higher Education Group,
Inc. Company.
Guritno
Mangkoesoebroto,
1995,
Ekonomi Publik, Yogyakarta
: BPFE
Harry Waluya, 2001, Analisis Rasio
PAD/APBD
Terhadap
Kebijakan
Kemandirian
Keuangan Daerah Otonom,
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
FE Universitas Katolik
Indonesia Atmajaya, Vol. 1,
No. 2, Edisi Agustus 2001
Husein
Umar,
2003,
Strategic
Management In Action,
Percetakan : PT. SUN
Jakarta
Ibnu Syamsi, 1993, Dasar-dasar
Kebijakan
Keuangan
Negara, Jakarta : Bima
Aksara.
Indah
Susantun,
2000,
Fungsi
Keuntungan Cobb Douglas
Dalam Pendugaan Efisiensi
Ekonomi Relatif, Jurnal
Ekonomi
Pembangunan,
Vol. 5, No. 2, Edisi 2000.
J.B. Kristiadi, 1985, Masalah Sekitar
Peningkatan
Pendapatan
Daerah, Prisma No. 12,
Tahun XIV, Jakarta : LP3ES
John Suprihanto, 1997, Pengukuran
Tingkat
Kepuasan
101
Daerah,
Yogyakarta
:
Penerbit Andi.
Marzuki, 1995,
Metodologi Riset,
Yogyakarta : FE-UII
Moh. Nazir, 1999, Metode Penelitian,
Penerbit : Ghalia Indonesia
Mudrajat Kuncoro, 1995, Desentralisasi
Fiskal di Indonesia, Prisma,
No. 4 Tahun. XXIV
Mulyanto, 2002, Potensi Pajak dan
Retribusi
Daerah di
Kawasan
Subosuko
Wonosraten Propinsi Jawa
Tengah, Kerjasama IRIS dan
LPEM UI, Jakarta.
Musgrave, 1990, Keuangan Negara
Dalam Teori dan Praktek
(Edisi 5), Jakarta : PT.
Erlangga
Nick Devas, Brian Binder, Anne Booth,
Kennet Davey dan Roy
Kelly, 1989, Keuangan
Pemerintah
Daerah
di
Indonesia,
Terjemahan
Masri Maris, Jakarta :
Penerbit UI Press.
Pontjowinoto,
Didit,
MP,1991,
Alternatif
Reformasi
Kebijakan dan Manajemen
Keuangan Daerah, Prisma,
Jakarta : LP3ES
Rustian Kamaludin, 1992, Bunga
Rampai
Pembangunan
Nasional dan Pembangunan
Daerah, Jakarta : FE-UI.
S.
Pamudji,
1980,
Pembinaan
Perkotaan di Indonesia,
Jakarta : Ichtiar
S. Pamudji, 1990, Makna Dati II
Sebagai
Titik
Berat
Pelaksanaan
Otonomi
Daerah, Jakarta : CSIS
Sadono Sukirno, 1982, Pengantar Teori
Ekonomi Mikro, Jakarta :
Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi
Universitas
Indonesia.
102
Tjahya
103