Anda di halaman 1dari 15

IV.

HASIL
4.1.

Hasil

4.1.1. Distribusi Frekuensi Lebar Karapas Kepiting Bakau (Scylla sp.) di


Teluk Bintuni
Distribusi frekuensi lebar karapas dapat digunakan untuk mengetahui
modus, ukuran karapas tertinggi dan terendah dari Kepiting Bakau yang
tertangkap di Kawasan Perairan Teluk Bintuni. Berdasarkan hasil pengukuran
lebar karapas Kepiting Bakau diperoleh 3 kelas ukuran lebar karapas. Pembagian
kelas ukuran lebar karapas berdasarkan jarak interval ukuran panjang terendah
yang didapatkan yaitu 12,1 cm dan ukuran tertinggi sebesar 14,7 cm dengan jarak
0,9 cm untuk tiap ukuran kelas, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Lebar Karapas Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Teluk
Bintuni
Lebar Karapas (cm)

Berat (g)

Jumlah (individu)

12,1 13

740 770

24

13,1 14

780 810

41

14,1 15

820 850

15

Data Tabel 1. menunjukkan bahwa distribusi frekuensi kelas ukuran lebar


karapas tertinggi Kepiting Bakau hasil tangkapan di Kawasan Teluk Bintuni
secara keseluruhan terdapat pada selang kelas 13,1 14 cm dengan modus 41
individu dari total 80 individu yang tertangkap. Distribusi frekuensi kelas ukuran
lebar karapas terendah terdapat pada selang kelas ukuran 14,1 15 cm dengan
modus 15 individu yang terdapat pada bulan Desember, dan dapat dilihat
disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 1 dan 2.

36

37

Frekuensi (Individu)

60
50
40
30
20

10
0
12.1 - 13

13.1 - 14

14.1 - 15

Kelas lebar karapas (cm)

Gambar 1. Sebaran Frekuensi Distribusi Kelas Lebar Karapas Kepiting Bakau


(Scylla sp.). Hasil Tangkapan di Kawasan Perairan Teluk Bintuni
4.1.2. Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau (Scylla sp.)
4.1.2.1. Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau (Scylla sp.) di
Teluk Bintuni
Hasil analisis hubungan lebar karapas dan berat Kepiting Bakau di
perairan Teluk Bintuni diperoleh persamaan regresi linear. Hasil persamaan
hubungan lebar dan berat Kepiting Bakau dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hubungan Lebar dan Berat Kepiting Bakau di Teluk Bintuni


Lokasi

Nilai b

Pola Pertumbuhan

Teluk Bintuni

1.387

0.921

Allometrik Negatif

Hasil persaman regresi linear diperoleh hubungan lebar dan berat Kepiting
Bakau di Teluk Bintuni (Tabel 2) yaitu nilai b < 3 menunjukkan pola
pertumbuhan allometrik negatif yaitu pertumbuhan lebar karapas lebih cepat
dibanding dengan berat. Pada hasil Uji t menunjukkan bahwa thitung lebih besar
dari ttabel. Pola pertumbuhan dan nilai koefisien korelasi (r) Tabel 2 secara jelas
digambar dalam grafik sebagai berikut:

38

Log W

3.0

y = 0.7056x + 1.3877
r = 0.921

2.9

2.8
2.0

2.2

2.4

2.6

2.8

3.0

Log L

Gambar 2. Grafik Hubungan Lebar dan Berat Kepiting Bakau di Teluk Bintuni.

4.1.3. Parameter Lingkungan Perairan yang Mempengaruhi Kehidupan


Kepiting Bakau (Scylla sp).
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam siklus kehidupan
berbagai jenis biota dalam suatu ekosistem, hal ini juga berlaku pada kehidupan
Kepiting Bakau. Parameter lingkungan yang dapat mempengaruhi kehidupan
Kepiting Bakau antara lain adalah salinitas, suhu, kandungan oksigen terlarut
(DO), dan pH. Berdasarkan hasil pengukuran parameter lingkungan perairan
didapatkan data seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Kisaran Rata rata Parameter Lingkungan Perairan di Teluk
Bintuni
Parameter
Kisaran
Lingkungan
Salinitas (g/L) 28,9 29,3
27,9 29,1
Suhu (0C)
7,5 7,8
DO (mg/L)
8
pH
(Sumber: Hasil Penelitian, 2014)

Referensi
10 30 (Kasry, 1996)
25 30 (Cholik, 2005)
>4,0 (Susanto dan Murwani, 2006)
7,0 8,5 (Kasry, 1996)

Data pada Tabel 3. menunjukkan bahwa hasil rata rata pengukuran


parameter lingkungan di perairan Teluk Bintuni memiliki salinitas sebesar
28,9 29,3 g/L. Suhu rata rata perairan adalah 27,9 29,1 0C. Kandungan

39

oksigen terlarut rata rata sebesar 7,5 7,8 mg/L. Sedangkan rata rata pH
sebesar 8.

4.1.4. Analisis Produktivitas dan Kerentanan (PSA) Kepiting Bakau (Scylla


sp.)
Data hasil atribut produktivitas dan kerentanan kemudian diberi skor agar
dapat diketahui nilai kepentingan dari setiap parameter. Setiap parameter akan
dinilai dan diberi skor dengan parameter atribut dan kualitas data. Pemberian skor
pada parameter produktivitas. Penilaian atribut Kepiting Bakau (Scylla sp.)
memberikan nilai produktivitas rendah pada atribut rata rata umur matang gonad
dan rata rata umur maksimum. Begitu pula dengan penilaian untuk atribut
fekunditas, rata rata ukuran maksimum dan rata rata ukuran matang gonad
memberikan nilai produktivitas yang rendah. Sedangkan penilaian terhadap atribut
strategi reproduksi dan trophic level memberikan resiko menengah. Atribut
produktivitas Kepiting Bakau (Scylla sp.) berdasarkan hasil dari literatur tersaji
pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai atribut produktivitas Kepiting Bakau (Scylla sp.)
Karakteristik
Rata-rata umur matang gonad
Rata-rata umur maksimum
Fekunditas
Rata-rata ukuran matang gonad
Rata-rata ukuran maksimum
Strategi reproduksi
Trofik Level

Scylla sp.
12 - 14 bulan (Bonine, 2008)
3 - 4 tahun (Bonine, 2008)
1.840.984 telur (Muna, 2010)
90 110 mm (Rangka, 2007)
150 - 200 mm (Kordi, 2012)
Demersal egg layer
2.75 3.25 (sumbernya apa?
Maksudnya apa pula??)

40

Tabel 6. Pemberian Skor Parameter Kerentanan pada Kepiting Bakau (Scylla sp.)
yang tertangkap dengan Alat Tangkap Bubu.
Parameter
Ketersediaan
Kemampuan tertangkap
Selektivitas
Kematian pasca tangkap

Hasil
>50% berada pada daerah
penangkapan
Sedang tumpang tindih
dengan alat tangkap
>2 kali mata jarring
0%

Atribut
Skor
3

Kualitas
Data
1

3
1

1
1

Kepiting Bakau hasil tangkapan bubu memiliki nilai kerentanan tinggi


untuk atribut ketersediaan dan selectivitas alat tangkap, nilai kerentanan
menengah untuk atribut kemampuan tertangkap dan rendah untuk atribut kematian
pasca tangkap.
Tabel 7. Pemberian Skor Parameter Kerentanan pada Kepiting Bakau (Scylla sp.)
yang tertangkap dengan Alat Tangkap Rakkang 2 Lapis.
Parameter
Ketersediaan
Kemampuan tertangkap
Selektivitas
Kematian pasca tangkap

Hasil
<10% tumpang tindih
Sedang tumpang tindih
dengan alat tangkap
>2 kali mata jaring
0%

Atribut
Skor
1
2

Kualitas
Data
1
1

3
1

1
1

Kepiting Bakau hasil tangkapan rakkang 2 lapis memiliki nilai kerentanan


tinggi untuk atribut selektivitas alat tangkap, nilai kerentanan menengah untuk
atribut kemampuan tertangkap dan rendah untuk atribut ketersediaan dan
kematian pasca tangkap.

41

Tabel 8. Pemberian Skor Parameter Kerentanan pada Kepiting Bakau (Scylla sp.)
yang tertangkap dengan menggunakan tangan (Handpicking).
K
Ketersediaan
Kemampuan tertangkap
Selektivitas
Kematian pasca tangkap

Hasil
<10% tumpang tindih
Kecil tumpang tindih
dengan alat tangkap
0%

Atribut
Skor
1
1

Kualitas
Data
1
1

1
1

1
1

Kepiting Bakau hasil tangkapan handpicking memiliki nilai kerentanan


rendah untuk atribut ketersediaan, kemampuan tertangkap, selektivitas dan
kematian pasca tangkap.
Hasil perhitungan skor productivity Kepiting Bakau target di Teluk
Bintuni berkisar antara 1.29. Sementara itu total susceptability berkisar antara
1.00 1.43. Hasil perhitungan tersebut diperoleh nilai PSA berkisar antara
1.63 1.92. Hasil interpolasi ke dalam variable MSC untuk memperoleh nilai
MSC skor diperoleh hasil antara 96.1 99.1. Hasil ini menunjukkan kriteria
populasi ini termasuk ke dalam resiko kategori tinggi. Skor akhir MSC lebih besar
dari 80 yang tergolong beresiko rendah. Hasil pengelompokkan nilai atribut
produktivitas dan susceptibilitas disajikan pada Gambar 4. Untuk yang beerwarna
biru yaitu menggunakan bubu dan rakkang 2 lapis sedangkan yang berwarna ungu
yaitu dengan menggunakan tangan/handpicking.

42

PSA Graph

(<- Rendah) Kerentanan (Tinggi ->)

3.0

2.5

2.0

1.5

1.0
1.0

1.5

(<-Tinggi)

2.0

Produktivitas

2.5

3.0

(Rendah->)

Gambar 3. Kurva PSA Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Teluk Bintuni yang di
tangkap dengan Bubu, Rakkang 2 lapis dan handpicking
(menggunakan tangan)

43

4.2.

Pembahasan

4.2.1. Distribusi Frekuensi Lebar Karapas Kepiting Bakau (Scylla sp.)


Distribusi frekuensi lebar karapas digunakan untuk mengetahui modus,
ukuran karapas tertinggi dan terendah dari Kepiting Bakau yang diperoleh selama
penelitian. Berdasarkan kisaran ukuran lebar karapas Kepiting Bakau yang
tertangkap, dapat diketahui bahwa ukuran yang paling banyak tertangkap berkisar
antara 13,1 14 cm (Tabel 1). Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga
dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses
reproduksi, dimana proses reproduksi Kepiting Bakau berlangsung sepanjang
tahun dan puncaknya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas
perairan pesisir yang tinggi terjadi pada musim penghujan (Le Vay, 2001). Pada
berat tubuh yang sama ukuran kepiting jantan cenderung lebih kecil dari pada
kepiting betina, hal ini dikarenakan pada kepiting jantan dewasa memiliki ukuran
capit yang lebih besar bila dibandingkan dengan kepiting betina (Rangka, 2007).
Menurut Murdiyanto (2003), di daerah subur seperti delta sungai, bakau dapat
menyumbangkan bahan organik dalam jumlah besar ke dalam rangkaian rantai
makanan sehingga daerah di Teluk Bintuni banyak ditempati Kepiting Bakau
untuk berkembangbiak. Menurut Salam (2014) Kepiting Bakau yang tertangkap di
Teluk Bintuni berjenis kelamin jantan, hal ini disebabkan oleh peraturan adat yang
melarang menangkap Kepiting Bakau betina yang dapat membuat berkurangnya
stok Kepiting di Teluk Bintuni, tetapi ada saja nelayan yang tetap melanggar
peraturan dari ketua adat setempat. Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 1/PERMEN KP/2015 bahwa Kepiting Bakau berukuran kecil
tidak boleh ditangkap dan Kepiting Bakau dalam kondisi bertelur.

44

4.2.2. Hubungan Lebar dan Berat Kepiting Bakau (Scylla sp.)


Pertumbuhan secara sederhana adalah perubahan ukuran baik panjang,
atau berat dalam satuan waktu tertentu. Nilai b dalam penelitian ini yaitu untuk
mengetahui pola pertumbuhan Kepiting Bakau dengan metode regresi. Pola
pertumbuhan Kepiting Bakau di perairan Teluk Bintuni bersifat allometrik
negatif, yang berarti nilai b kurang dari 3 sehingga pertumbuhan yang terjadi
adalah pola allometrik negatif (Tabel 2) yang artinya pertambahan lebar karapas
lebih cepat dari pertambahan bobot, hal ini serupa dengan yang dinyatakan Tanod
(2000) di Segara Anakan, Cilacap yang meneliti pertumbuhan reproduksi
Kepiting Bakau (Scylla serrata, Scylla tranqubarica, dan Scylla oceanica) dan
menyimpulkan bahwa pola pertumbuhan dari tiga spesies tersebut adalaha
allometrik negatif atau pertumbuhan lebar karapas lebih dominan dari berat. Hal
ini di sebabkan karena setiap terjadi pelapasan cangkang (moulting) tubuh
kepiting akan bertambah berat sekitar 1/3 kali dari sebelumnya dan panjang
karapas meningkat 5 10 mm (sekitar dua kali dari ukuran semula) pada kepiting
dewasa. Menurut Wijaya (2010) bahwa Kepiting Bakau jantan molting lebih
jarang terjadi dan asupan makanan banyak digunakan untuk memanjangkan dan
membesarkan chela (capit), berbeda dengan Kepiting Bakau betina cenderung
menggunakan asupan makanannya untuk molting dan proses kematangan goand
(bertelur). Selanjutnya berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat diperoleh
nilai koefisien determinasi r pada lokasi penelitian yaitu 0,921 yang artinya model
regresi tersebut menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 92,1 %.

45

4.2.3. Parameter Lingkungan


Hasil pengukuran salinitas yang dilakukan di perairan Teluk Bintuni
adalah 28,9 29,3 ppt. Kisaran salinitas 23 30 ppt sesuai dengan baku mutu air
laut bagi biota menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun
2004 yaitu 10 3- ppt, artinya kisaran salinitas yang dapat ditoleransi oleh
Kepiting Bakau untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya kepiting. Hasil
pengukuran suhu yang terdapat di perairan Teluk Bintuni adalah 27,9 29,1 0C.
menurut Pratiwi (2009), kisaran tersebut tergolong normal untuk kehidupan
krustasea khususnya kepiting.
Kisaran suhu ini dapat ditoleransi bagi pertumbuhan dan keberadaan
Kepiting Bakau. Hasil pengukuran di dapat bahwa kandungan oksigen terlarut
pada perairan di Teluk Bintuni adalah 7,5 7,8 ppm. Menurut Fujaya (2008),
oksigen terlarut sangat esensial dibutuhkan oleh Kepiting Bakau untuk respirasi
yang selanjutnya dimanfaatkan untuk kegiatan metabolisme. Secara umum,
apabila kandungan oksigen terlarut rendah (< 3 ppm) akan menyebabkan nafsu
makan Kepiting Bakau menurun. Hasil pengukuran pH di perairan Teluk Bintuni
adalah 8. Menurut Fujaya (2008), pH yang cocok berkisar antara 7 9.

4.2.4. Analisis Produktivitas dan Kerentanan (PSA) Kepiting Bakau (Scylla


sp.)
Kolom rata rata umur matang (dewasa) (Tabel 1) (Lampiran 5) di situ di
isi dengan nilai 1 yang artinya produktivitas tinggi resiko rendah. Ini artinya
bahwa Kepiting Bakau dapat dengan cepat dewasa di bawah 5 tahun, dan
memiliki produktivitas yang tinggi. Kepiting Bakau dewasa berumur 12 bulan dan
mempunyai lebar karapas 170 mm (Kordi, 1997).

46

Kolom rata rata umur maksimal (Tabel 1) (Lampiran 5) di situ di isi


dengan nilai 1 yang artinya pada produktivitas tinggi resiko rendah. Ini artinya
bahwa Kepiting Bakau rata rata umur maksimalnya adalah <10 tahun. Kolom
fekunditas/kesuburan (Tabel 1) di situ di isi dengan nilai 1 yang artinya Kepiting
Bakau dapat bertelur >20.000 telur. Fekunditas Kepiting Bakau di daerah Bintuni
Papua dengan nilai rata rata fekunditasnya 1.840.984 telur sedangkan di daerah
Babo Papua dengan fekunditas rata rata 1.194.496 telur (Muna, 2010).
Fekunditas yang tinggi pada Kepiting Bakau diharapkan akan menghasilkan
keturunan yang lebih besar untuk mengimbangi tekanan lingkungan dan untuk
melestarikan populasinya (Muna, 2010).
Kolom rata rata ukuran maksimal (Tabel 1) (Lampiran 5) di isi dengan
nilai 1 yang artinya bahwa ukuran rata rata maksimal Kepiting Bakau adalah
<100 cm. Ukuran maksimal Kepiting Bakau yang terdapat di Teluk Bintuni
adalah 160 mm 171 mm (Muna, 2010). Kolom rata rata ukuran
kematangan/dewasa (Tabel 1) di isi dengan nilai 1 yang artinya ukuran Kepiting
Bakau <40 cm. Ukuran Kepiting Bakau yang sudah dewasa 85 mm 129 mm (Le
vay, 2001). Kolom strategi reproduksi (Tabel 1) (Lampiran 5) di isi dengan nilai
2 yang artinya bahwa Kepiting Bakau memiliki strategi reproduksi dengan
membawa telur pada lapisan demersalnya. Kolom tingkat tropik (Tabel 1)
(Lampiran 5) di isi dengan nilai 2 yang artinya bahwa Kepiting Bakau hidup
diantara 2.75 3.25. Menurut Patrik et al. (2009) nilai trophic level lebih dari 3.5
menandakan produktivitasnya rendah, sedangkan trophic level dibawah 2.5
termasuk dalam produktivitas yang tinggi, sedangkan semakin rendah nilai

47

trophic level Kepiting Bakau menandakan tingkat produktivitasnya semakin besar


Total produktivitas rata rata nilai yang dihasilkan adalah 1.29.
Pada kolom Kerentanan (Tabel 1) (Lampiran 5) terdapat kolom
ketersediaan, di kolom ini di isi dengan nilai 3 yang artinya area penangkapannya
di atas 30%. Pada kolom seberapa sering ditemukan (Tabel 1) (Lampiran 5) di isi
dengan nilai 1 yang artinya bahwa Kepiting Bakau masih sering ditemukan di
perairan Teluk Bintuni.
Pada kolom selektivitas (Tabel 1) (Lampiran 5) di isi dengan 3 untuk bubu
dan rakkang 2 lapis dan 1 untuk handpicking (menggunakan tangan) yang artinya
bahwa Kepiting Bakau yang masuk dengan mudah ke dalam perangkap dan sulit
untuk keluar dari perangkap yang di pasang dengan baik, sedangkan handpicking
(menggunakan tangan) diberi nilai 1 karena teknik menangkap langsung dengan
tangan memiliki kemampuan yang berbeda dengan alat tangkap bubu dan rakkang
2 lapis. Bubu dan rakkang 2 lapis memiliki ukuran mata jarring (mesh size) 3 cm.
Hal ini membuat bubu dan rakkang sebagai alat tangkap khusus untuk menangkap
Kepiting Bakau di Teluk Bintuni.
Dalam penelitian ini penilaian produktivitas dan kerentanan dilakukan
pada Kepiting Bakau (Scylla sp.) hasil tangkapan Bubu, Rakkang 2 Lapis dan
Handpicking (menggunakan tangan). Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat
pasif atau menetap dan alat tangkap ini menjadikan Kepiting Bakau sebagai
tangkapan utama (spesies target). Secara geografis pengeoperasian alat tangkap
ini lebih luas dibandingkan dengan Rakkang 2 Lapis dan handpicking. Dalam
sekali trip, nelayan membawa hingga 100 buah Bubu. Sedangkan Rakkang 2
Lapis merupakan alat tangkap yang bersifat pasif juga dan menetap untuk

48

sementara waktu. Biasanya nelayan dalam sekali trip membawa 10 30 buah


Rakkang 2 Lapis. Secara geografis alat tangkap ini tidak seluas bubu dalam
pengoperasiannya. Berbeda dengan teknik Handpicking (menggunakan tangan)
dengan langsung mencari keberadaan Kepiting Bakau di daerah lumpur dekat
kawasan hutan mangrove.
Pada kolom Kematian Pasca Tangkap (Tabel 1) (Lampiran 5) di isi dengan
nilai 1 pada saat di tangkap dalam keadaan hidup. Kepiting Bakau mampu
bertahan hidup dalam waktu relatif lama setelah ditangkap (Zonggonao, 2005).
Total Susceptibility berkisar antara 1.00 1.43. Ini menunjukkan bahwa
kerentanan Kepiting Bakau di Teluk Bintuni rendah (low). Hasil perhitungan
tersebut diperoleh nilai PSA berkisar antara 1.63 1.92. Ini menunjukkan bahwa
produktivitas Kepiting Bakau di Teluk Bintuni tinggi (high). Hasil interpolasi
kedalam variable MSC untuk memperoleh nilai MSC skor diperoleh hasil antara
96.1 99.1. Hasil ini menunjukkan kriteria populasi ini termasuk kedalam resiko
kategori tinggi. Skor akhir MSC lebih besar dari 80 yang tergolong beresiko
rendah. Analisis Produktivitas dan Kerentanan (PSA) adalah sebuah cara yang
dapat digunakan untuk mengevaluasi kerentanan stok dengan dasar produktivitas
biologi dan kerentanan perikanan yang mengeksploitasinya. PSA dapat digunakan
sebagai upaya penelitian utama dengan memfokuskan pada jenis biota yang
memiliki kerentanan tinggi namun memiliki informasi biologi yang minim, atau
dengan identifikasi dan pengecualian jenis biota dengan kerentanan yang kecil
untuk data kajian intensif (Triharyuni, 2013).
Bubu yang biasanya digunakan untuk menangkap Kepiting Bakau di
Teluk Bintuni memiliki spesifikasi panjang 80 cm, lebar 50 cm, tinggi 30 cm, dan

49

ukuran mata jaring 3 cm. Dalam satu trip perjalanan nelayan dapat membawa 10
50 buah Bubu, namun ada beberapa yang membawa hingga 200 buah Bubu,
tergantung dari ukuran perahu dan modal yang dibawa oleh nelayan untuk satu
trip perjalanan. Cara operasi alat tangkap ini cukup sederhana, yaitu umpan yang
telah dibawa dikaitkan kepada perangkap yang terdapat di dalam Bubu tersebut
kemudian Bubu tersebut di letakkan di muara sungai dan di sekitar perairan
Kabupaten Teluk Bintuni. Biasanya nelayan melaut ada yang satu hari ada juga
yang 3 4 hari baru kembali ke darat. Biasanya dalam 1 buah Bubu terdapat 3 4
ekor Kepiting Bakau. Rakkang dua lapis alat ini memiliki ukuran yaitu diameter
50 cm, tinggi 20 cm dan ukuran mata jaringnya 3 cm. Tongkat yang digunakan
untuk menancapkan Rakkang ini memiliki panjang 2 3 m. Daerah operasi
penangkapannya hampir sama dengan Bubu. Perbedaannya yaitu apabila
membawa Bubu nelayan biasanya bermalam 3 4 hari di laut sedangkan apabila
membawa Rakkang dua lapis ini nelayan hanya beberapa jam saja. Biasanya
hingga 6 jam tidak lebih dari 6 jam. Nelayan biasanya dalam satu trip perjalanan
membawa 10 30 buah Rakkang dua lapis, sambil menunggu hasil dari alat
tangkap Bubu nelayan juga menebarkan Rakkang dua lapis. Mengoperasikan alat
ini dengan menaruh umpan dan ditancapkan di dalam Rakkang dua lapis,
kemudian ditancapkan di daerah muara atau daerah yang berlumpur di sepanjang
sungai.
Selain menggunakan alat tangkap, beberapa nelayan menggunakan perahu
dan menangkap kepiting menggunakan tangan. Biasanya nelayan handpicking ini
lebih di dominasi oleh nelayan perempuan, karena demi membantu suami yang
juga notabennya adalah nelayan Kepiting Bakau. Dalam satu trip perjalanan

50

nelayan handpicking ini berangkat pagi pulang siang atau sore, karena
keterbatasan dana dan lampu penerangan sehingga tidak bisa sampai pada malam
hari. Hasil tangkapan tidak terlalu banyak seperti yang menggunakan Bubu dan
Rakkang dua lapis, dalam sekali trip perjalanan dari pagi sampai sore maksimal
tangkapan adalah 10 ekor Kepiting Bakau. Daerah penangkapan Kepiting Bakau
dengan teknik Handpicking yaitu di daerah muara dan daerah yang berlumpur.
Dalam bahasa papuanya yaitu di pecek-pecek yang artinya di lumpur-lumpur.

Anda mungkin juga menyukai