Anda di halaman 1dari 18

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA

PERUNDANG-UNDANGAN MENURUT TEMPAT


RANGKUMAN MATERI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan, Mata Kuliah Hukum
Pidana, Semester II, Tahun Akademik 2013 - 2014
Disusun Oleh :
YADI SUPRIATNA
131000303
KELAS G

Dibawah Bimbingan :
Ibu Gialdah Tapiansari, S.H., M.H
Ibu Tien S Hulikati, S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2014

KATA PENGATAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang mana atas rahmat dan
karunianya kami diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas ramgkuman materi Hukum
Pidana ini mengenai PENGULANGAN TINDAK PIDANA dengan lancar.
Dalam penyusunan makalah ini kami berterimakasih kepada para pihak yang memberikan
saran dan kritiknya. Terimakasih juga kepada para penulis buku dan penulis artikel website
yang telah kami kutip pendapatnya dalam isi makalah ini.
Akhir kata semoga rangkuman materi ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh
dari sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi
perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Bandung, 18 Mei 2014
Penyusun
Yadi Supriatna

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.. 2
DAFTAR ISI.... 3
BAB I PENDAHULUAN4
A. LATAR BELAKANG.. 4
B. TUJUAN... 4
BAB II RANGKUMAN MATERI. 5
A.
B.
C.
D.
E.

ASAS TERITORIAL... 5
PERLUASAN ASAS TERITORIAL. 8
ASAS NASIONAL AKTIF. 9
ASAS NASIONAL PASIF...10
ASAS UNIVERSALITAS... 12

BAB III PERTANYAAN DAN JAWABAN.. 14


A. PERTANYAAN... 14
B. JAWABAN... 15
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN... 16
A. SIMPULAN.. 16
B. SARAN/.... 17
DAFTAR PUSTAKA... 18

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ruang lingkup berlakunya Undang-undang pidana suaatu Negara dapat dapat
kita jumpai dalam pasal 2,3,4,5,6,7,8 dan 9 KUHP. Diberlakukanya lex loci delicti atau
undang-undang yang berlaku di tempat tindak pidana itu telah dilakukan terhadap
pelakunya, telah dikenal orang sejak abad tersebut diberlakukanya undang-undang
pidana suatu Negara, baik terhadap orang-orang asing maupun warga negaranya yang
diketahui telah melakukan suatu tindak pidana didalam wilayahnya.
Dengan adanya pasal-pasal tersebut kita selaku subyek hukum harus
mengetahui apakah kita dapat dipidana berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia
atau tidak serta WNA yang berada di Indonesia bias dipidana juga dengan undangundang yang berlaku di Indonesia atau undang-undang pidana yang berlaku di Negara
WNA tersebut.
Dengan adanya hukum pidana, maka setiap orang baik itu warga negara
indonesia sendiri, maupun bangsa asing dengan tidak membedakan kelamin atau
agama, kedudukan atau pangkat yang berbuat pidana dalam wilayah Republik
Indonesia, maka hukum pidana itu di berlakukan kepada mereka. namun dalam hal ini,
ada juga yang di kecualikan bagi orang-orang bangsa asing yang menurut hukum
internasional diberi hak exterritorialiteit tidak boleh diganggu gugat. Sehingga
ketentuan-ketentuan pidana Indonesia tidak berlaku kepadanya, mereka itu hanya
tunduk kepada undang-undang pidana sendiri.
Di indonesia ini berarti seluruh wilayah Indoesia baik diudara, daratan maupun
di lautan yang masing-masing mempuyai batas-batas berbeda.
Maka untuk mentukan tempat dimanakah peristiwa itu terjadi, maka dalam hal
ini, kami akan membahasnya mengenai hukum pidana menurut tempat ada 4 (empat)
macam asas yaitu sbb:
1. Asas tentorialteit/ asas wilayah negara
2. Asas personaliteit/ asas kebagsaan
3. Asas perlindungan /asas nasional pasif
4. Asas universaliteit/ asas persamaan

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui asas hukum pidana
2. Untuk memenuhi tugas ringkasan materi

BAB II
RANGKUMAN MATERI
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN MENURUT TEMPAT
Asas-asas hukum pidana merupakan hal-hal yang mendasari terjadinya suatu perbuatan
akan dikenakan sanksi hukum apabila melanggar ketentuan hukum pidana dimanapun ia
berada dan tidak melihat status orang itu berbuat tindak pidana apabila melanggar ketentuan
hukum pidana akan terkena sanksi sesuai dengan sanksiperbuatannya. Asas-asas hukum pidana
ini bersumber dalam bagian Buku I menyangkut asas-asas hukum pidana dan uraian umum dari
ketentuan Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 KUHP. Berikut penjelasan mengenai Asas-asas
Hukum Pidana, yaitu : Asas Teritorialitas, Asas Nasional Pasif, Asas Nasional Aktif dan Asas
Universalitas.1
1. ASAS TERITORIAL2
Asas territorial terdapat dalam ketentuan undang-undang yang diatur dalam
pasal 2 K.U.H.Pidana.
Pasal 2 K.U.H.Pidana menentukan :
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
melakukan perbuatan pidana di Indonesia.
Undang-undang pidana Indonesia itu tidak hanya berlaku bagi warga Negara
Indonesia saja melainkan bagi setiap warga Negara asing yang telah diketahui
melakukan suatu tindak pidana di wilayah Negara Indonesia.
Berlakunya asas territorial ini didasarkan pada asas kedaulatan suatu Negara
atau sovereignty. Setiap warga Negara wajib menjamin keamanan dan ketertiban
didalam wilayah Negaranya masing-masing. Kekuasaan suatu Negara meliputi seluruh
wilayah daratan yang terdapat dalam Negara tersebut, yang batas-batasnya di darat
dimana di dunia ini ditentukan dalam perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh Negara
tersebut dengan Negara-negara tetangganya.
1. Penerapan Pasal 2 KUHP3
Contoh kasus :
a. A seorang W.N.I melakukan pencurian di Bandung. A akan dituntut dan
mendapatkan hukuman menurut perundang-undangan pidana yang berlaku di
Indonesia.
1.

2.
3.

Diennisa Putriyanda, Asas-asas hukum pidana dan pengertian perbuatan pidana menurut para ahli,
http://www.slideshare.net/icadienica/asas-asas-hukum-pidana-pengertian-perbuatan-pidana-menurutpara-ahli, diakses pada 22 Februari 2014 Pukul 08:12
Tien S. Hulukati, Hukum Pidana, Bandung, 2014, hlm. 41
Ibid. hlm. 42

b. B. seorang W.N.A (Malaysia) melakukan penganiayaan terhadap seorang WNI


di Bandung. B akan dituntut dan dihukum menurut undang-undang pidana yang
berlaku di Indonesia. Karena kedua Negara tersebut telah melakukan perjanjian
ekstradisi, dan perbuatan penganiayaan tersebut telah ditetapkan sebagai
kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisi. Bisa juga ia B menghadapi
tuntutan atau penghukuman menurut undang-undang pidana yang berlaku di
Malaysia.
Dalam kasus tersebut merupakan penerapan dari Asas lex loci delicti dimana
asas lex loci delicti ini memberlakukan hukum Indonesia bagi warga Negara asing.
Dari asas lex loci delicti, kita juga mengenal apa yang Mayer sebut sebagai
elementar princip atau oleh Van Hamel disebut grondbeginsel. Keduanya
diartikan sebagai asas dasar, yang menentukan bahwa pada waktu mengadili
seorang yang dituduh telah melakukan tindak pidana, hakim tidak dibenarkan
memberlakukan undang-undang pidana lain kecuali yang berlaku di negaranya
sendiri.
Mengenai keharusan memperhatikan undang-undang pidana yang berlaku di
Negara-negara lain, dapat kita jumpai secara tersirat dalam Pasal 5 ayat (1) angka 2,
Pasal 6, dan pasal 76 ayat (2) KUHP.
Selain pasal-pasal tersebut, sebetulnya dalam pasal 2 KUHP bila kita
hubungkan dengan masalah perjanjian ekstradisi, tersirat juga keharusan
memperhatikan memperhatikan undang-undang yang berlaku di Negara-negara
lain. Karena bilamana nanti dalam wilayah Indonesia telah terjadi tindak pidana
yang dilakukan oleh seorang W.N.A. dari yang telah melakukan perjanjian
ekstradisi dengan Indonesia, maka bias kita katakana bahwa pelaksanaan asas dasar
telah sedikit menyimpang.
Apabila keharusan memperhatikan undang-undang pidana yang berlaku di
Negara-negara lain ini, dianggap sebagai penyimpangan terhadap asas dasar, maka
sebetulnya di Negara kita penyimpangan ini diperluas lagi dengan keharusan
memperhatikan pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum antar
bangsa, seperti yang diatur dalam Pasal 9 KUHP.
Artinya ketika mengadili beberapa tindak pidana tertentu , hakim bukan saja
diharuskan memperhatikan undang-undang pidana yang berlaku dinegara-negara
lain, tetapi juga diwajibkan memperhatikan hukum antar bangsa.
Jadi ketika membaca Pasal 5 ayat (1) angka 2, Pasal 6, Pasal 9 dan Pasal 76 ayat
(2) KUHP, maka jelas bahwa di Negara kita ini , dalam mengadili beberapa tindak
pidana tertentu , hakim harus memperhatikan undang-undang pidana yang berlaku
di negara-negara lain.
Dalam contoh kasus bagian (b), jika Malaysia meminta Indonesia untuk
mengekstradisi B, tetapi setelah mempertimbangkan permintaan tersebut ternyata
Indonesia tidak melakukan ekstradisi, maka dalam hal ini asas territorial telah

diterapkan. Sedangkan apabila sebaliknya Indonesia menentukan untuk


mengekstradisi, maka asas territorial ini tidak diterapkan.
Tidak menerapkan asas territorial ini bukan berart tidak menegakan hukum.
Hukum tetap ditegakan melainkan pengalihan penanganannya. Meskipun dalam
kasus tersebut tidak menerapkan asas territorial, tetapi Malaysia sedang
menerapkan asas nasional aktifnya.
2. Laut territorial Indonesia dan perairan territorial4
Menurut pasaal 1 ayat (1) ordonansi tanggal 18 Agustus 1939 :
Laut territorial Indonesia adalah wilayah laut hingga jarak 3 mil dari pulau-pulau
atau bagian-bagian dari pulau-pulau yang termasuk ke wilayah daratan Indonesia,
diukur dari batas air laut yang mencapai daratan pada waktu air surut. Sedangkan
Perairan Teritorial Adalah laut territorial berikut laut sepanjang pantai, daerah
perairan teluk-teluk, muara-muara sungai dan terusan-terusan.
Menurut pengumuman pemerintah tanggal 13 Desember tahun 1957 No.
S.2351/12/57 atas pertimbangan, bahwa bentuk geografis Indonesia mempunyai
corak dan sifat tersendiri, dan bagi kebutuhan territorial untuk melindungi kekayaan
Indonesia, penentuan batas 3 mil laut diatas sebagaiman termaktub dalam L.N.
1939 No. 442, tidak sesuai lagi dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka
pemerintah menyatakan, bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang
menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia, tidak dengan
memandang luas atau lebamnya adalah bagian-bagian yang wajar dan pada wilayah
daratan Negara Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari dari pada
perairan pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak
Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi kapal-kapal asing
dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan atau mengganggu
kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia, juga ditentukan batas territorial yang
lebarnya 12 mill diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar
pada pulau-pulau Negara Indonesia. Ketentuan ini sudah diatur dengan UU No. 4
Tahun 1960.
Dengan demikian laut territorial Indonesia berdasarkan UU No. 4 Tahun 1960
adalah wilayah laut hingga jarak 12 mil. Sehingga wilayah kekuasaan Negara
itubukan hanya meliputi wilayah darat dan laut territorial Negara yang
bersangkutan, melainkan juga meliputi wilayah udara yang tidak terbatas tingginya
diatas wilayah darat dan wilayah laut territorial. Sebab jika tidak meliputi wilayah
udara, maka diatas bumi ini akan terdapat suatu wilayah yang tidak terbatas dimana
orang dapat melakukan segala macam tindak pidana tanpa dapat dihukum.

4. Tien S. Hulukati, Hukum Pidana, Bandung, 2014, hlm. 43

2. PERLUASAN ASAS TERITORIAL5


Pasal 2 KUHP yang di dalamnya terdapat asas territorial, ternyata diperluas lagi
dengan pasal 3 KUHP. Dimana pasal 3 KUHP menentukan :
Aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang di luar Indonesia, melakukan perbuatan pidana didalam perahu
Indonesia.
Interpretasi mengenai perahu Indonesia itu sendiri, ada pada pasal 95 KUHP.
Pasal 95 KUHP menentukan :
Yang dimaksud perahu Indonesia adalah perahu yang mempunya surat laut pas
kapal, atau surat izin sebagai pengganti sementara, menurut aturan-aturan umum
mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia.
Undang-undang yang mengatur masalah pemberian surat laut dan pemberian
izin mempergunakan bendera Indonesia seperti yang dimaksud dalam pasal 95 KUHP
adalah zeebrieven en scheepspassen besluit 1934 atau keputusan tentang surat-surat
Laut dan pas-pas kapal Tahun 1934, staatsblaad Tahun 1934 No. 78 jo. Staatsblaad
Tahun 1935 No. 565.
Menurut pasal 1 dari keputusan tersebut, yang dimaksud dengan kapal laut
adalah setiap alat pelayaran yang dipergunakan untuk berlayar di laut atau yang dibuat
untuk maksud yang sama. Pasal 2 ayat (1) menentukan, bahwa yang dimaksud dengan
kapal laut Indonesia adalah kapal laut yang dimiliki seseorang atau lebih warga
Negara Indonesia atau dua pertiganya dimiliki oleh seorang atau warga Negara
Indonesia dan selebihnya dimiliki oleh orang-orang lain yang berdiam di Indonesia.
1. Penerapan Pasal 3 KUHP6
Berikut ini adalah contoh kasus dimana A seorang awak kapal diatas kapal
dagang atau kapal penumpang bendera Indonesia, melakukan tindak pidana, pada
saat kapal tersebut sedang berlabuh, di sebuah pelabuhan Perancis. Ia A
berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHP, akan menghadapi suatu penuntutan atau
penghukuman menurut undang-undang pidana yang berlaku di Negara Indonesia.
Terhadap pasal 3 KUHP, Moeljatno menyatakan :
Orang-orang jepang tidak tunduk kepada perundang-undangan hokum pidana
yang berlaku di Indonesia, tetapi tunduk kepada KUHP Jepanng.
Menurut Moeljatno hal ini karena Mereka Jepang mempunyai hak
eksekutorial, artinya mereka dipandang berada di luar territorial Negara dimana
mereka berdiam, sehingga tidak dapat dikenakan peraturan-peraturan Negara itu.
Hak eksekutorial itu diakui dalam Hukum Internasional.

5. Tien S. Hulukati, Hukum Pidana, Bandung, 2014, hlm. 44


6.Ibid. hlm. 44

2. Perubahan Redaksi Pasal 3 KUHP


Di Indonesia dalam tahun 1972 pernah terjadi Pembajakan Pesawat Udara,
yang dilakukan oleh seorang pemuda yang bernama Hermawan. Dalam
penerbangan Antara Surabaya ke Yogyakarta . hernawan yang katanya membawa
granat tangan itu, meminta uang tebusan sebesar Rp. 1.000.000;. malang baginya,
ketika pesawat tersebut mendarat di lapangan Adi Sucipto ia ditembak mati oleh
pilot pesawat tersebut.
Kejadian ini mengandung segi-segi hokum yaitu diantaranya : Yaitu tindak
pidana apakah yang dilakukan oleh Hernawan? Jawabanya adalah pembajakan
udara. Sebelumnya dalam KUHP tidak ada yang namanya pembajakan udara dan
akhirnya dikeluarkan UU No. 4 Tahun 1976.
3. ASAS NASIONA AKTIF /ASAS PERSONALITAS / ASAS KEBANGSAAN7
Asas ini terdapat dalam ketentuan undang-undang seperti yang diatur dalam
pasal 5 K.U.H.Pidana.
Pasal 5 ayat (1) K.U.H.Pidana menentukan:
(1) Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara
yang diluar Indonesia melakukan:
Ke-1. Salah satu kejahatan tersebut dalam bab I dan II Buku kedua dan pasal-pasal:
160,161,240,279,450, dan 451.
Ke-2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia dipandang sebagai kejahatan sedangkan menurut perundang-undangan
negara dimana perbuatan dilakukan, diancam dengan pidana.
(2) penuntutan karena tindak pidana seperti dimaksud dalam no 2 diatas itu dapat juga
dilakukan, apabila tertuduh setelah melakukan tindak pidana tersebut kemudian baru
menjadi warga negara Indonesia
Pasal 5 ini tentang asas kebangsaan disebut juga sebagai asas nasional aktif.
Menurut asas ini, undang-undang pidana suatu negara tetap dapat diberlakukan
terhadap warga negaranya dimana pun mereka itu berada diluar negeri.
Pasal 5 K.U.H.Pidana ini tidak berbicara lagi tentang teritorial. Dari rumusan
Pasal 5 ayat (1) angka I K.U.H.Pidana diketahui bahwa terhadap warga Negara
Indonesia yang bersalah melakukan tindak pidana tertentu diluar negeri, tidak
digantungkan pada suatu ketentuan pidana menurut UU negara dimana tindak pidana
tersebut dilakukan.

7.

Tien S. Hulukati, Hukum Pidana, Bandung, 2014, hlm. 47

Sedangkan dari rumusan pasal 5 ayat (1) angka 2 K.U.H.Pidana diketahui


bahwa dapat diberlakukannya undang-undang pidana Indonesia terhadap warga negara
Indonesia yang bersalah melakukan tindak pidana di luar negeri, tergantung pada
kenyataan apakah tindak pidana tersebut juga telah diancam dengan suatu hukuman
oleh undang-undang pidana negara dimana tindak pidana yang bersangkutan dilakukan.
Artinya prinsip double criminality dalam pasal 5 ayat (1) angka 2
K.U.H.Pidana, baru terpenuhi apabila dinegara tempat tindak pidana dilakukan, dan
tindak pidana tersbut merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana dan di
Indonesia tindak pidana tersebut merupakan kejahatan.
Pasal 5 K.U.H.Pidana ini melindungi W.N.I., sehingga kemanapun W.N.I
berada UU Indonesia mengikuti. Terhadap pasal ini berlaku Asas Ne bis in idem,
sehingga apapun keputusannya, kalau seseorang sudah diadili, maka tidak boleh diadili
lagi. Ne bis in idem itu berlaku universal. Tanpa pasal 5 K.U.H.Pidana, kita tidak
memiliki argumen untuk mempertahankan W.N.I, kita apabila W.N.I, melakukan
tindak pidana di luar negeri.
Berkaitan dengan asas nasional aktif/asas personalitas, penulis juga pasal 6
K.U.H.Pidana, karena dengan pasal ini, berlakunya pasal 5 ayat (1) ke-2 K.U.H.Pidana
dibatasi sedemikian rupa hingga tidak dijatuhkan pidana mati.
Pasal 6 K.U.H.Pidana ini, penting untuk argumentasi. Pasal ini penting dalam
rangka ekstradisi. Pasal 6 merupakan garansi yang paling kuat terhadap negara yang
akan mengijinkan ekstradisi. Karena dalam mengekstradisi harus ada jaminan yang
ampuh, bahwa tidak akan ada hukuman mati. Seandainya kedepannya Indonesia tidak
lagi mengenal hukuman mati, maka ketentuan pasal 6 K.U.H.Pidana ini tidak berlaku
lagi.
Selain pasal 5 K.U.H.Pidana, asas personalitas ini , dapat juga kita jumpai
dalam pasal 7 K.U.H.Pidana. Pasal 7 K.U.H.Pidana menentukan:
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat
yang diluar Indonesia melakukan salah satu perbuatan pidana tersebut dalam bab
XXVIII Buku Kedua.
Dari ketentuan Pasal 7 K.U.H.Pidana diatas dapat diketahui, bahwa dimana pun
seorang pegawai negeri Indonesia itu berada, apabila ia bersalah telah melakukan salah
satu tindak pidana seperti yang dirumuskan dalam Bab XXVIII dari buku II
K.U.H.Pidana tentang kejahatan jabatan, maka terhadap dirinya tetap diberlakukan
undang-undang pidana yang berlaku di negaranya
4. ASAS NASIONAL FASIF / ASAS PERLINDUNGAN8
Asas nasional pasif adalah asas yang menyatakan berlakunya undang-undang
hukum pidana Indonesia di luar wilayah Negara bagi setiap orang, warga Negara
Indonesia atau orang asing yang melangar kepentingan hukum Indonesia, atau
melakukan perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan nasional Indonesia di
luar negeri. Asas nasional pasif diatur dalam Pasal 4.

Pasal 4 menyatakan : Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia


diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia.
1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111,
pada
ke-1, 127 dan 131.
2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang di keluarkan oleh
Negara atau bank, ataupun mengenai materai dan merek yang di gunakan oleh
pemerintah Indonesia.
3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas
tanggungan daerah atau bagian daerah Indonesia termasuk pula pemalsuan talon,
tanda deviden atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu dan tanda
yang di keluarkan sebagai tanda pengganti tersebut atau menggunakan surat-surat
tersebut diatas, yang palsu atau di palsukan seolah-olah tidak palsu.
4. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438,344 sampai 446 tentang
pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan
bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan
hukum dan pasal 479 huruf I,m,n dan o tentang kejahatan yang mengancam
keselamatan penerbangan sipil.
Pasal 8
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhkoda dan
penumpang perahu Indonesia yang diluar Indonesia.
Dasar hukum dari asas nasional pasif adalah, tiap-tiap Negara yang berdaulat
pada umumnya berhak untuk melindungi kepentingan hukumnya, walpun kepentingan
hukum. Dengan demikian, undang-undang hukum pidana Indonesia dapat diperlukan
terhadap siapapun, baik warga Negara maupun bukan warga Negara yang melakukan
pelanggaran terhadap kepentingan hukum Negara Indonesia dimanapun dan terutama di
luar negeri.
Misalnya melakukan kejahatan penting. Undang-undang Indonesia juga
berkuasa melakukan penuntutan terhadap siapapun juga di luar negara Indonesia juga
terhadap orang asing di luar Indonesia. Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan
adalah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya
atau kepentingan nasionalnya.
Ciri utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga
negara saja, selain itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan
yang dirasakan sangat merugikan kepentingan nasional Indonesia yang karenanya harus
dilindungi.
Kepentingan nasional tersebut ialah:
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada
waktu perang, keamanan Martabat kepala negara RI.
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara.

3.
4.
5.
6.

Keamanan perekonomian.
Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI.
Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan.
Asas Universalitas Undang-undang pidana dapat juga diperlakukan terhadap
kejahatan-kejahatan yang bersifat merugikan kesalamatan internasional yang
terjadi di dalam daerah yang tak bertuan (daerah kutub, lautan terbuka).
Dalam hukum internasional diakui kesamaan hak dari setiap negara yang
berdaulat dan seakan-akan adanya satu negara dunia. Selanjutnya dalam
hukum internasional diakui pula suatu asas bahwa terhadap mereka yang
melakukan tugas perwakilan kenegaraan diluar negrinya, kebal terhadap hukum
dimana ia bertugas.

5. ASAS UNIVERSALITAS9
Asas universalitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap
perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk
merugikan kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di
daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara mana pun. Jadi yang diutamakan oleh
asas tersebut adalah keselamatan internasional.
Contoh: pembajakan kapal di lautan bebas, pemalsuan mata uang negara
tertentu bukan negara Indonesia.
Jadi di sini mengenai perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam daerah
yang tidak termasuk kedaulatan sesuatu negara mana pun, seperti: di lautan terbuka,
atau di daerah kutub.
Yang dilindungi di sini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang diancam
pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia
tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal (menyeluruh di seantero dunia) jenis
kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang
Jerman menamakan asas ini weltrechtsprinzip (asas hukum dunia). Di sini kekuasaan
kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada
tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.
Hal ini diatur dalam KUHP pasal 4 ayat 4. Asas ini didasarkan atas
pertimbangan, seolah-olah di seluruh dunia telah ada satu ketertiban hukum.
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian
dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas
universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut
melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
8

Tedi Franggeos Andri Siburian, tugas pengantar hukum indonesia tentang asas hukum pidana,
http://franggeos.blogspot.com/2011/12/tugas-pengantar-hukum-indonesia, diakses pada 22
Februari 2014 pukul 20.05
Surahman, Belajar Hukum,
http://orpalhukum.blogspot.com/2011/08/asas-asas-hukumpidana.html, Diakses pada 22 Februari 2014 pukul 18.36

Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :


1. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka
mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak
berlaku bagi mereka.
2. Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga
mempunyai hak ekssteritorial.
3. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara,
sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal
peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya.
4. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan
persetujuan Negara itu.
Penerapan Asas Universal10
Contoh : seorang diplomat luar negeri yang membeli foto-foto Negara kita. Perbuatan
diplomat tersebut bersangkutan dengan kepentingan tentara. Berdasarkan K.U.H.P pidana
perbuatan diplomat tersebut melanggar pasal 118 K.U.H pidana.
Terhadap diplomat tersebut,Negara kita berhak berbuat dengan cara lazim di
pergunakan dalam hukum Antara bangsa dengan memajukan pengaduan kepada pemenrintah
dari diplomat tersebut melalui jalan diplomatic. Pengaduan mana dapat disertai tuntutan untuk
memerintahkan diplomat tersebut meninggalkan Negara kita atau dengan meminta kepada
Negara yang telah mengirimkan diplomatnya ke indonesia untuk memanggil kembali diplomat
tersebut atau menuntut pidana di negaranya sendiri nya sendiri(menuntut agar diplomat
tersebut diadili di Negara nya) atau dengan menuntut ganti rugi kepada Negara yang telah
mengirimkan diplomat itu ke indonesia.
Dalam kebiasaan-kebiasaan antar bangsa atau yang biasa juga disebut hukum antar
bangsa,terdapat pengakuan bahwa hak eksteritorial itu dimiliki oleh:
1.seorang kepala Negara yang dengan persetujuan suatu Negara lain telah dating berkunjung ke
Negara tersebut atau seinggah di Negara tersebut dalam rangka perjalanan ke Negara atau
Negara-negara lain,kecuali apabila kepala Negara itu atas kemauan nya sendiri telah
melepaskan hak nya,misalnya karena perjalanan atau kunjungan nya itu bersifat
incognito(secara menyamar/diam-diam). Hak eksteritorial ini tidak dimiliki oleh anggota
keluarga atau lain-lain orang yang menyertai kepala Negara tersebut dalam perjalanan atau
kunjungan nya.
2.seorang duta yang oleh Negara yang satu telah di tempatkan di Negara lain tanpa
memandang sebutan atau tingkatan berikut anggota-anggota keluarga nya dan pegawaipegawai.
3.kapal perang suatu Negara dan seluruh awak kapal nya yang berada di Negara lain dengan
persetujuan dari pemerintah Negara yang dikunjungi.
10. Tien S. Hulukati, Hukum Pidana, Bandung, 2014, hlm. 56

BAB III
PERTANYAAN DAN JAWABAN
A. PERTANYAAN
1. Bagaimana kronologi atau proses asas territorial?
2. Berkaitan dengan pembicaraan tentang pasal 3 K.U.H.Pidana muncul sebuah
pertanyaan,; Apakah orang-orang yang pada hakikatnya bukan warga Negara Indonesia
itu dapat melakukan suatu tindak pidana, yang menurut undang-undang pidana yang
berlaku di indonesia telah dinyatakan sebagai tindak pidana yang hanya dapat
dilakukan oleh WNI, yaitu seperti yang telah diatur dalam pasal 450 atau 451
K.U.H.Pidana?
3. Bagaimana bila terjadi suatu peristiwa (terbunuh/diserang) terhadap orang-orang PBB
dalam menjalankan tugasnya di negara yang berbeda pula?. Saya mengerucutkan dari
banyak kasus dan memilih kasus pembunuhan yang terjadi terhadap Count Folke
Bernadotte (seorang yang berasal dari negara Swedia dan bekerja sebagai pejabat sipil
Internasional di PBB) oleh penduduk Israel di negara Israel itu sendiri. Pemahaman
yang sulit saya dapatkan dari kasus ini adalah, bagaimana penyelesaian kasus ini dalam
kacamata hukum internasional?11
4. Berkenaan dengan kasus di atas, Sekjen PBB (pada masa itu) Trygve Lie
mempersiapkan memorandum, dan disampaikan pada Sidang Majelis Umum PBB pada
tahun 1948. Memorandum tersebut berisi 3 permasalahan pokok :12
1. Apakah suatu negara mempunyai tanggung jawab terhadap PBB atas musibah
atau kematian dari salah seorang pejabatnya?
2. Kebijaksanaan secara umum mengenai kerusakan dan usaha-usaha untuk
mendapatkan ganti rugi.
3. Cara-cara yang akan ditempuh untuk penyampaian dan penyelesaian mengenai
tuntutan-tuntutan.
Setelah mendengarkan memorandum dari Sekjen PBB, Majelis Umum kemudian
meminta pendapat dari ICJ, dengan mengajukan permasalahan hukum sebagai
berikut :
1. Apakah PBB sebagai sebuah organisasi mempunyai kapasitas untuk dapat
mengajukan gugatan terhadap pemerintah de jure maupun de facto untuk
mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh :
a) PBB;
b) Korban atau orang-orang yang menerima dampak dari kejadian yang menimpa
korban.
2. Apabila pertanyaan 1(b) dapat diterima, apakah tindakan yang harus dilakukan
PBB untuk mengembalikan hak Negara tempat korban menjadi warganya ?
11.
Elfriza
Sibarani,
Masalah
Hukum
Internasional
http://elfriza.blogspot.com/2013/09/masalah-hukum-internasional-yang-sulit.html,
Februari 2014 pukul 18.30

Yang
Sulit,
diakses pada 23

B. JAWABAN
1. Asas teritorial (kekuasaan Negara atas wilayahnya) artinya setiap barang dan manusia
yang berada disuatu wilayah suatu Negara secara otomatis terikat pada hukum Negara
tersebut.
2. Perkataan tindak pidana dalam pasal 3 K.U.H.Pidana itu haruslah diartikan sebagai
tindak pidana menurut undang-undang pidana yang berlaku di Indonesia. Agar
seseorang dapat dikatakan bersalah telah melakukan tindak pidana menurut suatu pasal
K.U.H.Pidana maka orang itu haruslah memenuhi setiap unsur seperti yang terdapat
dalam rumusan tindak pidana pasal 450 dan 451 K.U.H.Pidana itu, jelas bahwa keadaan
sebagai warga Negara Indonesia merupakan suatu unsur dari tindak pidana seperti yang
dimaksud dalam pasal tersebut.
3. Setelah meneliti dan mencari jawabannya sendiri, saya menemukan kasus hukum
ini diselesaikan oleh Mahkamah Internasional (ICJ). Dari kasus tersebut,
terdapat empat permasalahan hukum yang muncul :
1. Count Folke Bernadotte adalah pejabat sipil internasional yang bekerja untuk PBB
2. Count Folke Bernadotte adalah warga negara Swedia
3. Pembunuh Bernadotte, Yehoshua Cohen, adalah warga negara Israel
4. Pembunuhan terhadap Bernadotte terjadi di wilayah pengawasan Israel.
4. Pada akhirnya, terhadap permasalahan hukum yang diajukan oleh Majelis
Umum, ICJ memberikan jawaban sebagai berikut :
1. Untuk pertanyaan 1(a), ICJ secara mutlak sepakat bahwa PBB dapat melakukan hal
tersebut.
2. Untuk pertanyaan 1(b), ICJ memberikan pendapat dengan 11 suara melawan 4
bahwa PBB dapat mengajukan gugatan meskipun pemerintah yang diminta
pertanggungjawabannya bukanlah anggota PBB.
3. Untuk pertanyaan 2, ICJ memberikan pendapat dengan 10 suara melawan 5 bahwa
apabila PBB membawa gugatan karena kerugian yang dialami pejabatnya, tindakan
tersebut hanya dapat dilakukan apabila gugatannya didasarkan pada pelanggaran
kewajiban kepada PBB.
Dengan adanya kasus ini, organisasi internasional yang ada di dunia mendapatkan
penegasan mengenai status yuridiknya. Meskipun sebenarnya status yuridik dari
organisasi internasional telah ada, namun sampai sebelum adanya kasus ini, masih
belum ada kepastian hukum mengenai bisa atau tidaknya sebuah organisasi
internasional untuk bisa berperkara sebagaimana layaknya subyek hukum internasional
lainnya. ICJ telah membuat suatu terobosan hukum dengan mengeluarkan advisory
opinion berkenaan dengan kasus ini.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
RUANG LINGKUP
MENURUT TEMPAT

BERLAKUNYA

PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Asas-asas hukum pidana merupakan hal-hal yang mendasari terjadinya suatu perbuatan
akan dikenakan sanksi hukum apabila melanggar ketentuan hukum pidana dimanapun ia
berada dan tidak melihat status orang itu berbuat tindak pidana apabila melanggar ketentuan
hukum pidana akan terkena sanksi sesuai dengan sanksi perbuatannya.
ASAS TERITORIAL
Berlakunya asas territorial ini didasarkan pada asas kedaulatan suatu Negara
atau sovereignty. Setiap warga Negara wajib menjamin keamanan dan ketertiban
didalam wilayah Negaranya masing-masing. Kekuasaan suatu Negara meliputi seluruh
wilayah daratan yang terdapat dalam Negara tersebut, yang batas-batasnya di darat
dimana di dunia ini ditentukan dalam perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh Negara
tersebut dengan Negara-negara tetangganya.
PERLUASAN ASAS TERITORIAL
Pasal 2 KUHP yang di dalamnya terdapat asas territorial, ternyata diperluas lagi dengan
pasal 3 KUHP. Dimana pasal 3 KUHP menentukan :
Aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang di luar Indonesia, melakukan perbuatan pidana didalam perahu
Indonesia.
ASAS NASIONAL AKTIF
Asas ini terdapat dalam ketentuan undang-undang seperti yang diatur dalam pasal 5
K.U.H.Pidana.
Pasal 5 ayat (1) K.U.H.Pidana menentukan:
(1) Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara
yang diluar Indonesia melakukan:
Ke-1. Salah satu kejahatan tersebut dalam bab I dan II Buku kedua dan pasal-pasal:
160,161,240,279,450, dan 451.
Ke-2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia dipandang sebagai kejahatan sedangkan menurut perundang-undangan
negara dimana perbuatan dilakukan, diancam dengan pidana.

(2) penuntutan karena tindak pidana seperti dimaksud dalam no 2 diatas itu dapat juga
dilakukan, apabila tertuduh setelah melakukan tindak pidana tersebut kemudian baru
menjadi warga negara Indonesia
Akan tetapi ada juga aturan yang dimuat dalam pasal 6 dan pasal 7.
ASAS NASIONAL PASIF
Asas nasional pasif adalah asas yang menyatakan berlakunya undang-undang hukum
pidana Indonesia di luar wilayah Negara bagi setiap orang, warga Negara Indonesia atau
orang asing yang melangar kepentingan hukum Indonesia, atau melakukan perbuatan
pidana yang membahayakan kepentingan nasional Indonesia di luar negeri. Asas nasional
pasif diatur dalam Pasal 4.
ASAS UNIVERSALITAS
Asas universalitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan
pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan
kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang
tidak termasuk kedaulatan negara mana pun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut
adalah keselamatan internasional.

C. SARAN
Semoga dengan adanya pemaparan materi yang telah kami sampaikan sekiranya dapat
menjadi suatu pembelajaran dan dapat mengambil manfaat dari materi ini. Dengan
adanya pemaparan materi ini semoga kawan-kawan semua dapat memahami lebih lanjut
mengenai asas-asas dalam pemberlakuan peraturan perundang-undangan berdasarkan
tempat ini. Semoga apa yang kami sampaikan dapat menjadi sebuah pengantar untuk
memahami kasus-kasus yang marak terjadi dalam kehidupan kita ini.

DAFTAR PUSTAKA
Hulukati, Tien S. 2014. Hukum Pidana. Bandung.
Putriyanda, Diennisa.2011. Asas-asas Hukum Pidana dan Pengertian Perbuatan Pidana
Menurut Para Ahli, http://www.slideshare.net/icadienica/asas-asas-hukum-pidana
pengertian-perbuatan-pidana-menurut-para-ahli. diakses pada 22-02-2014 Pukul 08:12
Siburian, Tedi Franggeos Andri. Tugas Pengantar Hukum Indonesia tentang Asas Hukum
Pidana.http://franggeos.blogspot.com/2011/12/tugas-pengantar-hukum-indonesia.
diakses pada 22 Februari 2014 pukul 20.05
Surahman. 2011. Belajar Hukum. http://orpalhukum.blogspot.com/2011/08/asas-asashukum-pidana.html. Diaskses pada 22 Februari 2014 Pukul 18:36
Sibarani,
Elfriza.
2013.
Masalah
Hukum
Internasional
Yang
Sulit.
http://elfriza.blogspot.com/2013/09/masalah-hukum-internasional-yang-sulit.html,
diakses pada 23 Februari 2014 pukul 18.30

Anda mungkin juga menyukai