Anda di halaman 1dari 122

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari
fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik
(PGK) atau chronic kidney disease (CKD) stadium V atau gagal ginjal kronik
(GGK).
Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, di Amerika pada tahun 2009
diperkirakan terdapat 116395 orang penderita GGK yang baru. Lebih dari 380000
penderita GGK menjalani hemodialisis reguler (USRDS, 2011). Pada tahun 2011
di Indonesia terdapat 15353 pasien yang baru menjalani HD dan pada tahun 2012
terjadi peningkatan pasien yang menjalani HD sebanyak 4268 orang sehingga
secara keseluruhan terdapat 19621 pasien yang baru menjalanai HD. Sampai akhir
tahun 2012 terdapat 244 unit hemodialisis di Indonesia (IRR, 2013).
Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun
masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD.
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah
gangguan hemodinamik (Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi (UF) atau penarikan cairan saat HD.
Hipotensi intradialitik terjadi pada 20-30% penderita yang menjalani HD reguler
(Tatsuya et al., 2004). Penelitian terhadap pasien dengan HD reguler yang
dilakukan di Denpasar, mendapatkan kejadian hipotensi intradialitik sebesar
19,6% (Agustriadi, 2009).

Gangguan hemodinamik saat HD juga bisa berupa peningkatan tekanan


darah. Dilaporkan Sekitar 5-15% dari pasien yang menjalani HD reguler tekanan
darahnya justru meningkat saat HD. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik
(HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal and Light, 2010; Agarwal et al.,
2008). Pada penelitian kohort yang dilakukan pada pasien HD didapatkan 12,2%
pasien HD mengalami HID (Inrig et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di
Denpasar mendapatkan hasil yang berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD
mengalami paradoxical post dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka
Widiana dan Suwitra, 2011).
Hipertensi intradialitik adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan
tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada
saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD. Tekanan
darah penderita bisa normal saat memulai HD, tetapi kemudian meningkat
sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan pada akhir HD. Bisa juga terjadi pada
saat memulai HD tekanan darah pasien sudah tinggi dan meningkat pada saat HD,
hingga akhir dari HD. Peningkatan tekanan darah ini bisa berat sampai terjadi
krisis hipertensi (Chazot dan Jean, 2010).
Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi HD yang saat ini mendapat
perhatian, karena episode HID akan mempengaruhi adekuasi HD. Beberapa
penelitian mandapatkan bahwa HID mempengaruhi morbiditas dan mortalitas
pasien yang menjalani HD reguler. Mortalitas meningkat jika tekanan darah
pasca HD meningkat yaitu bila sistolik 180 mmHg dan diastolik 90 mmHg
(rr =1,96 dan 1,73 berturut-turut). Pada pasien yang mengalami peningkatan

tekanan darah sebesar 10 mmHg saat HD didapatkan peningkatan risiko rawat


inap di rumah sakit dan kematian (Inrig et al., 2009).
Pada pasien dengan gagal jantung biasanya dengan tekanan darah yang
rendah, saat HD juga terjadi peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan
darah pada pasien ini tidak mencapai level hipertensi seperti pada pasien yang
tidak gagal jantung. Peningkatan tekanan darah ini juga meningkatkan risiko
kematian dengan peningkatan 10 mmHg saat HD, walaupun tekanan darah sistolik
(TDS) pra HD 120 mmHg (Inrig et al., 2009).
Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini
belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID
seperti aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena
diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan ultrafiltrasi (UF), overaktif dari
simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat
karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), fluid overload, peningkatan
cardiac output (COP), obat antihipertensi yang ditarik saat HD dan vasokonstriksi
yang diinduksi oleh endothelin-1 (ET-1). Di antara berbagai faktor tersebut yang
paling umum diketahui sebagai penyebab HID adalah stimulasi RAAS oleh
hipovolemia yang disebabkan oleh UF yang berlebihan saat HD dan variasi dari
kadar elektrolit terutama kalsium dan kalium (Chazot dan Jean, 2010).
Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah,
besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB) antara
waktu HD dan target BB kering penderita. BB kering adalah BB di mana
penderita merasa nyaman, tidak ada sesak dan tidak ada tanda-tanda kelebihan
cairan. Pada penyandang HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar waktu

HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar 2


liter (Nissenson and Fine, 2008). Guideline K/DOQI 2006 menyatakan bahwa
kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8% BB kering
(K/DOQI, 2006). Umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi 2
kg bahkan mencapai 5 kg, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari 2 L.
Pada HD dengan excessive UF atau UF berlebih, banyak timbul masalah baik
gangguan hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson and Fine,
2008). Pada saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang
aktivitas RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot and Jean,
2010).
Asumsi yang berbeda dikemukakan oleh Chou et al., yang melakukan
penelitian terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dan 30 orang kontrol,
didapatkan bahwa pada kelompok HID tidak didapatkan perubahan yang
bermakna dari kadar katekolamin, dan renin tetapi didapatkan peningkatan dari
resistensi vaskular sistemik dan penurunan keseimbangan rasio nitric oxide dan
endothelin-1 (NO/ET-1) (Chou et al., 2006).
Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya
variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik
maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan
kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah NO
suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA) yang
merupakan inhibitor endogen dari NO synthase (NOS) dan ET-1 suatu
vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting terhadap
aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah khususnya

termasuk kejadian HID (Locatelli et al., 2010). Disfungsi endotel dapat


menyebabkan perubahan terhadap tekanan darah saat HD, baik hipotensi maupun
hipertensi intradialitik. Perubahan ini berhubungan dengan keterkaitan antara
endotel, sistem saraf simpatis dan kontrol dari resistensi vaskular perifer (Raj et
al., 2002). Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 saat HD antara
kontrol dan penderita yang prone terhadap hipertensi. Pada saat HD berakhir pada
penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dan penurunan
signifikan pada rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006).
Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pada individu dengan HID terjadi
peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah HD (Shafei et al., 2008).
Pada penelitian cohort case control 25 pasien HD reguler yang mengalami
episode HID, didapatkan hubungan antara HID dan disfungsi endotel. Pada
penelitian ini didapatkan bahwa disfungsi endotel dapat menjelaskan sebagian
penyebab kejadian HID (Inrig et al., 2011).
Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara
disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi
endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Banyak hal
yang belum dapat diterangkan baik patofisiologi, mekanisme dan strategi terapi
yang tepat pada HID. Dari uraian di atas kami ingin mencari hubungan antara UF
yang berlebih saat HD dengan terjadinya episode HID melalui keterlibatan
disfungsi endotel. Disfungsi endotel ditandai dengan peningkatan konsentrasi ET1, atau peningkatan kadar ADMA atau penurunan kadar NO serum saat HD.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?
2. Apakah perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?
3. Apakah penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?
4. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko
kejadian HID pada pasien dengan HD regular?
5. Apakah UF berlebih

saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum ?


6. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko
kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum?
7. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko
kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat
dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah: Untuk membuktikan UF berlebih
berperan dalam patogenesis terjadinya HID melalui disfungsi endotel yang

ditandai dengan peningkatan ET-1 atau peningkatan ADMA atau


penurunan NO, pada pasien GGK yang menjalani HD reguler.

1.3.2 Tujuan khusus


Untuk membuktikan bahwa:
1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD
berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD
berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
3. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD
berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
4. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan
dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum.
6. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum.
7. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan
dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar
ADMA serum.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat akademis
Jika pada penelitian ini terbukti bahwa UF yang berlebih saat HD
berperan dalam terjadinya HID melalui disfungsi endotel pada penyandang
HD reguler, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan dengan UF
yang berlebih sebagai dasar patogenesis HID melalui keterlibatan disfungsi
endotel.

1.4.2 Manfaat praktis


Secara praktis, jika terbukti UF yang berlebih saat HD berperan dalam
kejadian HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya
kadar ADMA, atau meningkatnya kadar ET-1 atau menurunnya kadar NO)
pada pasien HD reguler maka usaha-usaha untuk menekan HID melalui
penentuan UF yang tepat saat HD dapat digunakan oleh para klinisi dalam
penanganan kasus HID.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik


2.1.1 Epidemiologi
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD) menjadi
problem kesehatan yang besar di seluruh dunia. Perubahan yang besar ini
mungkin karena berubahnya penyakit yang mendasari patogenesis dari PGK.
Beberapa dekade yang lalu penyakit glomerulonefritis merupakan penyebab
utama dari PGK. Saat ini infeksi bukan merupakan penyebab yang penting dari
PGK. Dari berbagai penelitian diduga bahwa hipertensi dan diabetes merupakan
dua penyebab utama dari PGK (Zhang dan Rothenbacher, 2008).
Penyakit ginjal kronik tahap 5 (terminal) prevalensinya semakin meningkat di
seluruh dunia. Penderita PGK yang mendapat pengobatan terapi pengganti ginjal
diperkirakan 1,8 juta orang. Terapi pengganti ginjal
transplantasi ginjal dan

mencakup dialisis dan

lebih dari 90% di antaranya berada di negara maju

(Suhardjono, 2006).

2.1.2 Batasan
Penyakit Ginjal Kronik menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes
(KDIGO) adalah abnormalitas fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih
dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan yang ditandai dengan adanya satu
atau lebih tanda kerusakan ginjal seperti yang terdapat pada Tabel 2.1 di bawah
ini (KDIGO, 2013).

10

Tabel 2.1 Kriteria PGK (kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan)
(KDIGO, 2013)

Petanda kerusakan ginjal


(satu atau lebih))

Albuminuria (AER 30 mg/24 jam;


ACR 30 mg/g [ 3 mg/mmol])
Abnormalitas pada sedimen urin
Gangguan elektrolit dan abnormalitas yang berhubungan dengan
kerusakan tubulus
Abnormalitas pada pemeriksaan histologi
Abnormalitas struktural pada pemeriksaan imaging
Riwayat transplantasi ginjal

Penurunan LFG

LFG < 60 ml/min/1.73 m2 (kategori LFG G3aG5)

2.1.3 Stadium PGK


Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 6 stadium seperti Tabel 2.2 di bawah
ini (KDIGO, 2013).
Tabel 2.2 Kategori LFG pada PGK (KDIGO, 2013)
Kategori LFG

LFG (ml/min/1.73 m2)

Batasan

G1
G2
G3a
G3b
G4
G5

90
6089
4559
3044
1529
<15

Normal atau Tinggi


Penurunan ringan
Penurunan ringan sampai sedang
Penurunan sedang sampai berat
Penurunan berat
Gagal ginjal

2.2 Hemodialisis
Prevalensi penderita PGK yang mendapat terapi pengganti ginjal di negara
berkembang saat ini meningkat dengan cepat, seiring dengan kemajuan
ekonominya. Prevalensi penderita penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang
menjalani HD rutin meningkat dari tahun ke tahun. Di seluruh dunia saat ini
hampir

setengah

juta

penderita

GGK

menjalani

memperpanjang hidupnya (Nissenson and Fine, 2008).

tindakan

HD

untuk

11

Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi


darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan
sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK
stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan
terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).

2.2.1 Indikasi hemodialisis


Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD
kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5
mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum

12

i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
B. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien
yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini
(Daurgirdas et al., 2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

2.2.2 Prinsip dan cara kerja hemodialisis


Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian
masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis,
darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di

13

dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas
et al., 2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu
larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini
dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel
(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.
Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah
perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi
adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran
kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air
melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme
hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau
mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,
2007).
Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan
cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al., 2007).

14

Gambar 2.1
Skema Mekanisme Kerja Hemodialisis
(Bieber dan Himmelfarb, 2013)

2.2.3 Komplikasi hemodialisis


Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK)
stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini
mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita
yang mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering
terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik.
Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan
saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD

15

reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat.
Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID)
(Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi
kronik (Daurgirdas et al., 2007).

2.2.3.1 Komplikasi akut


Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual
muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil
(Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup
sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi
saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium,
reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,
hemolisis,

emboli

udara,

(Daurgirdas et al., 2007).

neutropenia,

aktivasi

komplemen,

hipoksemia

16

Tabel 2.3 Komplikasi Akut Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)


Komplikasi

Penyebab

Hipotensi

Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,


infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
Udara memasuki sirkuit darah
Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat

Hipertensi
Reaksi Alergi
Aritmia
Kram Otot
Emboli Udara
Dialysis disequilibirium

Masalah pada dialisat / kualitas air


Chlorine
Kontaminasi Fluoride
Kontaminasi bakteri / endotoksin

Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal


Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus, gejala
neurologi, aritmia
Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi dari
dialisat maupun sirkuti air

2.2.3.2 Komplikasi kronik


Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik.
Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.
(Bieber dan Himmelfarb, 2013).
Tabel 2.4 Komplikasi kronik hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)

Penyakit jantung
Malnutrisi
Hipertensi / volume excess
Anemia
Renal osteodystrophy
Neurophaty
Disfungsi reproduksi
Komplikasi pada akses
Gangguan perdarahan
Infeksi
Amiloidosis
Acquired cystic kidney disease

17

2.3 Hipertensi Intradialitik


2.3.1 Batasan
Hipertensi dialitik sering ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani HD
rutin, walaupun komplikasi HD ini sudah dikenal sejak beberapa tahun lalu
namun sampai saat ini belum ada batasan yang jelas mengenai HID. Berbagai
penelitian mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Beberapa penelitian
mendefinisikan HID adalah peningkatan mean arterial blood pressure (MABP)
15 mmHg atau lebih selama atau sesaat setelah HD selesai (Amerling et al., 1995;
Mees, 1996). Hipertensi intradialitik juga didefinisikan sebagai adanya hipertensi
yang mulai sejak jam kedua atau ketiga saat sesi HD, setelah dilakukan UF atau
peningkatan tekanan darah saat HD yang resisten terhadap UF (Cirit et al., 1995).
Sementara peneliti lain mengemukakan HID adalah suatu kondisi berupa
terjadinya peningkatan tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan
darah selama dan pada saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat
memulai HD (Chazot dan Jean, 2010). Berikut definisi HID pada beberapa
penelitian:
a. Suatu peningkatan mean arterial blood pressure (MAP) 15 mmHg selama
atau segera setelah HD (Amerling et al., 1995).
b. Suatu peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) >10 mmHg dari pre ke post
HD (Inrig et al., 2007; Inrig et al., 2009).
c. Suatu peningkatan tekanan darah yang resisten terhadap UF (Cirit et al.,
1995).
d. Perburukan dari hipertensi sebelumnya atau terjadinya hipertensi setelah terapi
ESA (Sarkar et al., 2005).

18

e. Peningkatan tekanan darah selama atau segera setelah HD dan menyebabkan


hipertensi post HD (post HD 130/80 mmHg (KDOQI, 2006).

2.3.2 Prevalensi
Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai
pada pasien yang menjalani HD rutin, dengan prevalensi 5-15% (Locatelli et al.,
2010). Pada penelitian kohort

pasien HD selama 2 minggu ditemukan HID

sebesar 8% (Amerling et al., 1995). Penelitian kohort yang terbaru mendapatkan


prevalensi HID sebesar 12,2% (Inrig et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di
Denpasar mendapatkan hasil yang berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD
mengalami Paradoxical post dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka
Widiana dan Suwitra, 2011).

2.3.3 Etiologi dan patofisiologi


Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini
belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID
seperti volume overload, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system
(RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan UF, overaktif dari
simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat
karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), UF yang berlebih saat HD, obat
antihipertensi terekskresikan saat HD dan adanya disfungsi endotel (Locatelli et
al., 2010).

19

2.3.3.1 Volume overload


Cairan ekstrasel yang berlebihan (overload) menyebabkan meningkatnya
cardiac output (COP) merupakan salah satu penyebab yang penting dari
meningkatnya tekanan darah. Hipervolumia (fluid overload) diyakini berperan
dalam patogenesis HID (Locatelli et al., 2010).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 7 pasien yang mengalami hipertensi
saat HD, di dapatkan gambaran dilatasi pada jantung. Pada pasien ini tekanan
darah meningkat saat dilakukan UF. Pasien ini kemudian diterapi dengan
melakukan UF berulang yang intensif untuk menurunkan berat badan keringnya
dan dilakukan monitor terhadap fungsi jantung. Semua pasien menunjukkan
perbaikan tekanan darah, tekanan darah menjadi normal tanpa pemberian obat
antihipertensi. Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan perbaikan dari
parameter fungsi jantung. Dari hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa
tekanan darah paradoksal meningkat dengan UF biasanya karena overhidrasi dan
dilatasi jantung, dan disarankan untuk melakukan UF yang intensif pada pasienpasien seperti ini (Cirit et al., 1995).
Peneliti lain melakukan penelitian terhadap 6 pasien yang mengalami HID
yang resisten terhadap obat antihipertensi. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan
sebelum dan saat HD. Pada saat dilakukan UF sedang didapatkan perbaikan
fungsi sistolik jantung, tetapi MABP dan indeks jantung juga meningkat. UF yang
lebih agresive menghasilkan tekanan darah yang normal pada semua pasien dan
indeks jantung juga menjadi normal. Peneliti menjelaskan fenomena ini dengan
kurva Frank-Starling. Pasien pada awalnya berada pada bagian yang menurun dari
kurva, dengan UF sedang pasien berpindah ke kiri dan ke atas kurva, dengan

20

peningkatan indeks jantung, COP dan tekanan darah. Dengan UF lebih jauh,
pasien pindah ke bagian yang bawah pada bagian kurva yang meningkat dengan
tekanan darah menjadi normal (Gunal et al., 2002).
Penemuan dari 2 penelitian ini mengindikasikan bahwa tekanan darah
meningkat paradoksal saat UF mungkin disebabkan oleh karena peningkatan COP
karena adanya overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan dilakukan UF yang
intensif untuk menurunkan berat badan kering pasien (Cirit et al., 1995; Gunal et
al., 2002; Chou et al., 2006). Peneliti lain mengemukakan bahwa HID mungkin
berhubungan dengan delayed post HD hypotension. Sehingga bila dilakukan UF
yang agresif pasien yang rawat jalan harus dimonitor ketat dengan mengunakan
ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) (Chou et al., 2006).
Hal yang penting harus dilakukan pasien adalah untuk menurunkan konsumsi
garam dan air, diantara sesi HD. Hal ini untuk menurunkan peningkatan BB antar
sesi HD, sehingga menurunkan kecepatan UF per jam saat HD berikutnya.
Meningkatkan waktu terapi HD mungkin sangat berguna untuk menurunkan
kecepatan UF per jam saat HD. Pembatasan dari konsumsi garam dan penurunan
dari volume cairan ekstrasel akan menormalkan tekanan darah saat HD pada
pasien dengan hipertensi. Penurunan konsumsi garam 100-120 mmol per hari
berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan menurunkan peningkatan BB
antar HD (Locatelli et al., 2010).
Pengontrolan terhadap volume overload adalah hal yang paling penting dalam
mencegah dan menangani pasien dengan HID (Locatelli et al., 2010).

21

2.3.3.2 RAAS activation


Mekanisme lain yang berperan terhadap kejadian HID adalah aktivasi dari
RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II yang diinduksi oleh UF saat HD.
Aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II menyebabkan
peningkatan yang tiba-tiba dari resistensi vaskular dan meningkatkan tekanan
darah (Chou et al., 2006).
Penelitian terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dengan 30 kontrol
pasien HD yang matched umur dan jenis kelamin, didapatkan kadar renin rata-rata
sebelum dan sesudah HD sama pada kelompok pasien yang prone tehadap HID.
Sebaliknya rata-rata kadar renin setelah HD meningkat signifikan pada kelompok
kontrol. Disimpukan bahwa aktivasi RAAS bukan merupakan penyebab utama
dari HID (Chou et al., 2006).

2.3.3.3 Sympathetic overactivity


Pasien dengan PGK umumnya sudah terjadi sympathetic overactivity,
ditandai dengan peningkatan konsentrasi katekolamin plasma pada pasien PGK.
Hal ini mungkin disebabkan oleh menurunnya kliren renal terhadap katekolamin
dan langsung oleh karena aktivitas saraf simpatis. Sympathetic overactivity pada
PGK menjadi normal setelah dilakukan nefrektomi, hal ini diduga karena signal
dari ginjal yang sakit berperan dalam aktivasi simpatis (Locatelli et al., 2010).
Hipertensi intradialitik berhubungan dengan peningkatan stroke volume dan
vasokonstriksi perifer, sehingga mungkin sympathetic overactivity berperan dalam
onset HID. Pada penelitian lain didapatkan kadar norepinefrin meningkat
signifikan setelah HD pada pasien kontrol, bukan pada pasien yang prone

22

terhadap HID (Chou et al., 2006). Evaluasi akurat dari aktivitas simpatis dengan
microneurografi pada pasien dengan HID belum dilakukan sehingga mekanisme
sympathetic overactivity dalam HID belum didukung oleh evidence-based
percobaan klinis (Locatelli et al., 2010).

2.3.3.4 Perubahan kadar elektrolit


Komposisi yang adekuat dari dialisat dan kontrol terhadap variasi kadar
elektrolit sangat penting pada terapi HD. Kadar elektrolit pasien seperti sodium,
kalium, kalsium dan perubahan dari elektrolit saat HD sangat penting sebab erat
hubungannya dengan kontraktilitas jantung, resistensi vaskular perifer dan kontrol
tekanan darah.
Penarikan sodium saat dialisis sangat penting karena berperan dalam menjaga
stabilitas kardiovaskular saat HD dan mencegah overhidrasi saat dialisis dan HID.
Penarikan sodium yang adekuat bisa dicapai dengan memilih kecepatan UF dan
konsentrasi sodium dialisat yang tepat. Untuk mempertahankan keseimbangan
sodium, berat badan kering dan konsentrasi sodium saat akhir dialisis harus
dipertahankan konstan (Locatelli et al., 2010).
Perubahan kadar kalium saat HD dapat memberikan dampak klinis yang
penting.

Hipokalemia

dapat

mencetuskan

autonomic

dysfunction

dan

mempengaruhi inotropik jantung. Walaupun hipokalemia dapat menyebabkan


vasokonstriktor secara langsung, tidak ada data yang mendukung pengaruh
konsentrasi kalium pada dialisat terhadap kejadian HID (Locatelli et al., 2010).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 30 pasien prone terjadi HID
didapatkan bahwa kadar kalium dialisat tidak berhubungan dengan kejadian HID,

23

tidak ada perbedaan antara kadar kalium plasma pre dan post HD pada pasien
dengan HID maupun tanpa HID (Chou et al., 2006). Kalium tidak beperan dalam
kejadian HID, tapi perubahan kadar kalium yang tajam dapat memicu aritmia
(Locatelli et al., 2010).
Ion kalsium memegang peranan penting dalam proses kontraktilitas otot polos
dan miosit jantung. Beberapa penelitian pada pasien dengan HD memperlihatkan
bahwa perubahan kadar kalsium ion memiliki efek hemodinamik melalui
perubahan dalam kontraktilitas otot jantung dan perubahan dalam reaktifitas
vaskular (Felner, 1993).
Hemodialisis dengan konsentrasi dialisat kalsium yang rendah (1,25 mmol/l)
berhubungan dengan penurunan yang besar pada tekanan darah dibandingkan
dengan dialisis dengan konsentrasi kalsium dialisat yang tinggi (1,75 mmol/l).
Perbedaan ini berhubungan dengan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri pada
cairan dialisat dengan kadar kalsium yang rendah. Kadar kalsium dialisat yang
tinggi juga berhubungan dengan penurunan compliance arteri dan peningkatan
kekakuan arteri. Peranan dari dialisat dengan kalsium tinggi dalam patogenesis
HID belum sepenuhnya ditemukan (Locatelli et al., 2010). Penelitian lain tidak
menemukan perubahan yang relevan dalam konsentrasi kalsium plasma sebelum
dan sesudah dialisis pada pasien dengan maupun tanpa HID (Chou et al., 2006).

2.3.3.5 Eliminasi obat saat hemodialisis


Beberapa obat termasuk obat anti hipertensi ditarik saat prosedur
hemodialisis. Penarikan dari obat anti hipertensi saat HD bisa menyebabkan HID.
Golongan obat CCB tidak ditarik saat prosedur hemodialisis, sedangkan sebagian

24

besar dari penghambat ACE secara komplit ditarik saat dialisis (Daugirdas et al.,
2007). Pengetahuan akan obat yang di tarik saat HD sangat penting, sehingga
terapi bisa disesuaikan pada pasien yang mengalami HID. Tetapi penting diingat
bahwa penarikan obat anti hipertensi saat HD, tidak berperan di dalam konsep dari
HID (Locatelli et al., 2010).

2.3.3.6 Terapi erythropoiesis-stimulating agents


Sejak diperkenalkannya erythropoiesis-stimulating agents (ESA) sebagai
terapi anemia pada pasien PGK lebih dari 20 tahun yang lalu, prevalensi
hipertensi pada pasien HD meningkat. Peningkatan dari hematokrit dan viskositas
darah serta peningkatan dari konsentrasi ET-1, dan peningkatan resistensi
vaskular perifer mungkin berperan dalam kondisi ini (Krapf dan Hulter, 2009).

2.3.3.7 Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi merupakan salah satu komponen dari peresepan HD. Penentuan
besarnya UF harus optimal dengan tujuan untuk mencapai kondisi pasien
euvolemik dan normotensi Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang
berlebihan di darah, besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan
berat badan (BB) penderita antar waktu HD dan target BB kering penderita
(K/DOQI, 2006).
Berat badan kering didefinisikan sebagai berat badan dimana volume cairan
optimal. Penentuan BB kering ini harus akurat, tetapi pada klinik HD tidak selalu
tersedia alat untuk menentukan BB kering yaitu multiple frequency bioimpedance
spectroscopy. Oleh karena itu penentuan BB kering dilakukan secara klinis

25

melalui evaluasi tekanan darah, tanda-tanda overload cairan dan toleransi pasien
terhadap UF saat HD untuk mencapai target BB (K/DOQI, 2006).
Definisi berat badan kering menurut Argawal adalah berat badan setelah
dialisis yang terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien yang dicapai dengan
perubahan secara bertahap BB setelah dialisis, dan terdapat gejala yang minimal
dari hipovolemia atau hipervolemia (Agarwal dan Weir, 2010)
Pada penderita dengan HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar waktu
HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar 2
liter (Nissenson dan Fine, 2008). Tetapi umumnya kenaikan BB penderita antar
waktu HD melebihi 2 kg bahkan mencapai 5 kg. Guideline K/DOQI 2006
menyatakan bahwa kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8%
BB kering. Sebagai contoh pada pasien dengan BB 70 kg, kenaikan BB
interdialitik sebaiknya tidak lebih dari 3,4 kg (K/DOQI, 2006). Pada kondisi
kenaikan BB yang berlebih ini banyak timbul masalah saat tindakan HD, karena
saat HD akan dilakukan dilakukan UF yang melebihi 4,0% BB kering. Saat HD
bila dilakukan UF yang berlebihan akan timbul masalah baik gangguan
hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson and Fine, 2008). Pada
saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang aktivitas
RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot dan Jean, 2010).
Pasien dengan terapi hemodialisis memiliki morbiditas dan mortalitas
tinggi yang mungkin berhubungan dengan efek hemodinamik karena UF yang
cepat. Flyte dkk. meneliti efek kecepatan UF terhadap mortalitas dan
cardiovascular disease (CVD). Kecepatan UF dibagi menjadi 3 kategori yaitu
<10 /ml/jam/kgBB, 10-13 ml/jam/kgBB, dan >13 ml/jam/kgBB. Dari penelitian

26

ini didapatkan bahwa UF yang lebih cepat pada pasien HD berhubungan dengan
risiko yang lebih besar terhadap berbagai sebab kematian dan kematian karena
CVD (Flythe et al., 2011).

Tabel 2.5
Patofisiologi Hipertensi Intradialitik (Chazot dan Jean, 2010)

1.
2.
3.
4.
5.

Kelebihan volume
Overaktifitas sistem saraf simpatis
Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron
Kelainan sel endotel
Faktor spesifik hemodialisis
a. Net sodium gain
b. High ionized calcium
c. Hipokalemia
6. Obat-obatan
o Erythropoietin stimulating agents (ESA)
o Removal of antihypertensive medications
7. Vascular stiffness

2.3.3.8 Fisiologi endotel


Endotel adalah satu lapisan sel yang paling dalam yang melapisi seluruh
pembuluh darah dalam tubuh. Fenotipe dari endotel bervariasi tergantung dari
struktur dan fungsi pembuluh darah di lokasi yang berbeda (Aird, 2007). Sebagai
contoh antara glomerulus dan kapiler peritubulus, fungsi endotel sangat berbeda
karena fungsi glomerulus dan peritubulus sangat berbeda. Karena itu integritas
dari lapisan endotel sangat penting dalam mempertahankan fungsi vaskular.
Sebagai contoh dalam pengontrolan tonus vasomotor dan permeabilitas.
Walaupun terdapat perbedaan fungsi endotel dalam kompartemen pembuluh darah
yang berbeda, tetapi umumnya endotel mampu mensintesis dan mensekresikan
berbagai faktor yang mempengaruhi tonus dan pertahanan pembuluh darah
(Fliser, 2011). Endotel memproduksi berbagai faktor relaksasi, yang paling utama

27

dan banyak dikenal adalah nitric oxide (NO). Nitric oxide adalah gas pokok yang
menstimulasi relaksasi dan menghambat proliferasi otot polos pembuluh darah,
mencegah perlekatan dan migrasi leukosit ke dinding arteri, dan mencegah adhesi
dan

agregasi

platelet

ke

endotel.

Prostacyclin

endothelium-derived

hyperpolarizing factor juga merupakan vasorelaksan yang penting, yang nantinya


berperan sebagai vasodilator pada hipertensi resisten (Fliser, 2011).

2.3.3.9 Disfungsi endotel


Disfungsi

endotel/Endothelial

cell

dysfunction

(ECD)

adalah

ketidakmampuan dari sel endotel untuk mengatur beberapa atau semua fungsinya.
Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan antara (Ding dan Triggle, 2005):
a. faktor relaksasi dan konstriksi
b. mediator prokoagulan dan antikoagulan
c. vascular growth-inhibiting and growth-promoting substances.
Disfungsi endotel bisa diduga dengan pemeriksaan secara tidak langsung,
yaitu dengan memeriksa berbagai marker atau petanda antara lain

melalui

pemeriksaan flow-mediated vasodilation setelah dilakukan iskemia transien


(Correti, 2002) dan evaluasi terhadap perubahan resistensi vaskuler pada arteri
besar maupun kecil setelah diberikan rangsangan fisiologis. Cara ini pada
dasarnya menganalisis kapasitas pengeluaran NO oleh endotel setelah berbagai
stimulus. Pemeriksaan indirek untuk estimasi dari disfungsi endotel yang lain
adalah dengan melakukan pengukuran permeabilitas vaskuler dari makromolekul
(Vervoort, 1999), pengukuran faktor vasoaktif (vasokontriktor/vasodilator) yaitu
NO, EDHF, endotelin-1, ROS, angiotensin-II (Bassenge dan Zanzinger, 1992;

28

Fliser, 2011), aktifitas protrombin prokoagulan, dan marker inflamasi (VCAM-1,


ICAM-1 dan E-selectin) (Hwang, 1997), dan pemeriksaan sitokin (IL-1beta, IL-6
dan TNF-alfa), serta pemeriksaan CRP (Spranger, 2003; Pradhan, 2001).
Disfungsi endotel akan menyebabkan berbagai komplikasi antara lain
meningkatkan ekspresi dari molekul adhesi, sehingga menyebabkan peningkatan
adhesi dari lekosit ke sel endotel dan akhirnya mengaktifkan status prokoagulan,
aktivasi trombosit dan faktor pembeku, menghambat pengeluaran NO. Hal ini
akan menyebabkan ketidaksempurnaan dari pertumbuhan pembuluh darah dan
remodelling di dalam dinding pembuluh darah (Fliser, 2011).
Penelitian yang luas pada ECD umumnya meneliti mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap penurunan bioafailibitas dari NO, dimana akan
menyebabkan penuruan dari produksi NO atau peningkatan dari degradasi NO.
Karena luasnya permukaan tubuh endotel memiliki peranan yang penting
pada penyakit hipertensi dan diabetes. Pada penyakit ini endotel bisa mengalami
perubahan stuktur dan fungsi sehingga menyebabkan kehilangan peranannya
sebagai barier proteksi. Disfungsi endotel pada awalnya menyebabkan
aterosclerosis dan gambaran yang utama dari kondisi ini adalah kerusakan dari
bioavailabilitas dari NO. Jika berlangsung lama disfungsi endotel akan
menyebabkan terjadinya apoptosis, yang pada akhirnya akan menyebabkan
disintegrasi dari struktur maupun fungsi endotel. Hal ini akan menyebabkan
aktivasi dari lekosit dan trombosit dan menyebabkan kerusakan dinding pembuluh
darah (Hansson, 2005).

29

2.3.3.10 Disfungsi endotel pada PGK


Pada pasien CKD terjadi disfungsi endotel tapi mekanismenya belum
sepenuhnya diketahui. Ada tiga mekanisme potensial yang berkontribusi terhadap
terjadinya disfungsi endotel yaitu : adanya stres oksidatif, defisiensi L-arginin
dan ADMA (Martens dan Edwards, 2011).
Salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel yang banyak diteliti
adalah stres oksidatif. Stres oksidatif adalah adanya gangguan dari keseimbangan
antara produksi radikal bebas dan ekskresinya oleh antioksidan endogen (Guzik
dan Harrison, 2006). Stres oksidatif menyebabkan terjadinya gangguan jalur NO
pada sel endotel dan akhirnya menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Stres
oksidatif sering ditemukan pada pasien dengan gangguan ginjal sedang sampai
berat (Oberg, 2004) dan juga pada pasien yang menjalani hemodialisis (Yilmaz,
2006). Mekanisme terjadinya disfungsi endotel melalui stres oksidatif pasien PGK
terutama terjadi melalui jalur eNOS dan NO (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Skema mekanisme reactive oxygen species (ROS) menurunkan NO


(Martens dan Edrwads, 2011)

Defisiensi L-arginin merupakan salah satu faktor yang berkontribusi


terhadap terjadinya disfungsi endotel pada pasien PGK. L-arginin diperlukan pada

30

sintesis NO. L-arginin disintesis terutama di tubulus proksimal ginjal dan sintesis
ini menurun dengan menurunnya massa ginjal. Gambar 2.3 Menunjukkan
mekanisme potensial terjadinya defisiensi L-arginin pada pasien PGK.

Gambar 2.3 Mekanisme potensial defisiensi L-arginin pada PGK (Martens dan
Edrwads, 2011)

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi endotel


pada pasien PGK terbentuknya inhibitor NOS endogen yaitu ADMA dan LNMMA (Kielstein, 2005, Baylis, 2006). Produksi ADMA 10 kali lipat dari LNMMA dan meningkat pada pasien PGK. Kadar plasma ADMA merupakan
predictor dari progression menjadi gagal ginjal pada pasien PGK. ADMA
diklasifikasikan sebagai toksin uremik dan ADMA juga dihubungkan dengan
terganggunya fungsi endotel. ADMA adalah suatu kompetitor inhibitor dari
eNOS.
Disfungsi endotel pada pasien PGK memiliki 2 peranan penting, pertama
DE merupakan tahap yang penting dalam perkembangan CVD, kedua DE pada
kapiler glomerulus menyebabkan progresivitas dari PGK. Pada pasien PGK

31

hubungan antara ECD pada pembuluh darah perifer dan pembuluh darah ginjal
belum diteliti lebih jauh. Walaupun banyak penelitian meneliti mengenai
bioavaibilitas dari NO pada PGK, tetapi belum banyak yang meneliti
keseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator pada PGK (Fliser, 2011).
Pada Gambar 2.4 di bawah terlihat mekanisme penurunan NO karena peningkatan
dari assymetric N G, NG - dimethylarginine pada pasien dengan penyakit ginjal
kronik.

Gambar 2.4
Mekanisme dari penurunan nitric oxide karena peningkatan dari assymetric
N G, NG - dimethylarginine pada chronic kidney disease (Sibal et al., 2010)

2.4 Disfungsi Endotel pada Pasien Hemodialisis


Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita PGK stadium V atau GGK.

32

Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih
banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang
sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik
(Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya menurun dengan
dilakukannya UFatau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi
pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler, namun sekitar 5-15% dari
pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi
intradialitik (HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal dan Light, 2010;
Agarwal et al., 2008).
Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya
variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik
maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan
kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah nitric
oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA)
yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide synthase dan endothelin-1
(ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting
terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah
khususnya termasuk kejadian HID (Locatelli et al., 2010).
Aktivitas dari sel endotel mungkin juga berperan penting di dalam variasi
tekanan darah saat HD. Perubahan volume cairan saat HD dan cetusan hormonal
menyebabkan produksi faktor-faktor yang terlibat di dalam kontrol tekanan darah
di dalam sel endotel (Raj et al., 2002; Flythe et al., 2011). Substansi vasoaktif
yang paling penting adalah nitric oxide (NO) suatu vasodilator otot polos,
asymmetric dimethylarginine (ADMA), suatu inhibitor endogen dari sintesis NO,

33

dan endothelin-1 (ET-1) suatu vasokonstriktor. Substansi ini mempunyai efek


penting pada aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah
(Locatelli et al., 2010).
Penelitianpenelitian yang baru menunjukkan adanya peranan dari disfungsi
endotel dalam terjadinya ketidakstabilan hemodinamik saat HD (Morris et al.,
2001). Disfungsi endotel dapat menyebabkan perubahan dalam tekanan darah
selama HD, termasuk HID atau hipotensi (Raj et al., 2002). Perubahan ini
berhubungan dengan interaksi antara endotel, sistem saraf simpatis dan
pengontrolan dari resistensi vaskular perifer (Locatelli et al., 2010).
Pada penelitian pasien PGK yang mengalami hipotensi saat HD, HID dan
tekanan darah stabil saat HD didapatkan penurunan kadar ADMA yang mirip
sebelum dan sesudah HD pada ketiga kelompok pasien tadi. Kadar NO tidak
berhubungan dengan perubahan tekanan darah saat HD. Sebaliknya kadar ET-1
menurun setelah dialisis pada kelompok pasien dengan hipotensi dan meningkat
pada kelompok pasien dengan HID (Raj et al., 2002).
Penelitian lain terhadap 30 pasien yang prone HID dengan kontrol didapatkan
hasil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Terdapat perbedaan perubahan
kadar NO dan ET-1 setelah HD antara kelompok kontrol dan kasus. Pada akhir
HD pasien dengan HID terjadi peningkatan yang bermakna dari ET-1 dan
penurunan yang bermakna dari rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan pasien
kontrol (Chou et al., 2006). Penelitian lain juga menemukan ET-1 meningkat
secara bermakna pada pasien dengan HID (Shafei et al., 2008).
Penemuan-penemuan ini mengindikasikan bahwa interaksi antara NO,
ADMA dan ET-1 memiliki peranan dalam mengontrol tekanan darah dan

34

resistensi vaskular perifer, dan mungkin terlibat didalam konsep dari HID
(Bussemarker et al., 2002). Tidak ada data yang menunjukkan efek dari disfungsi
endotel pada pasien HID. Di bawah ini akan dibahas mengenai petanda ECD yaitu
NO, ADMA dan ET-1.

2.4.1 Nitric oxide


Nitric oxide adalah antagonis natural dari katekolamin. Nitric oxide
merupakan agen yang labil, sangat aktif dengan masa hidup yang pendek. Nitric
oxide disintesis oleh enzim Nitric Oxide Synthase (NOS), dikeluarkan oleh sel
endotel ke sirkulasi (Fliser et al., 2003).
Pada penelitian in vitro didapatkan bahwa aktivitas NOS meningkat saat
darah diekspose pada membran dialiser. Kondisi uremia dilaporkan menghambat
sintesa NO. Aktivitas NOS juga berkurang dengan adanya ADMA (Shafei et al.,
2008; Xiao et al., 2001).
Nitric oxide dibentuk di berbagai lokasi, produksi lokal menentukan aktifitas
fisiologisnya. Pada PGK terjadi disfungsi endotel yang ditandai dengan
menurunnya produksi NO oleh endotel. Ada berbagai mekanisme terjadinya
penurunan NO pada gangguan ginjal seperti defisiensi L-arginin, peningkatan
NOS inhibitor seperti ADMA, dan menurunnya aktifitas dari enzim NOS. Berikut
ini skema dari pembentukan NO dan berbagai mekanisme yang menyebabkan
defisiensi NO pada PGK (Baylis, 2008).

35

Gambar 2.5
Skema biosintesis nitric oxide (NO) dan berbagai mekanisme yang mungkin menyebabkan
defisiensi NO (Baylis, 2008)

2.4.2 Asymmetric dimethylarginine (ADMA)


Asymmetric Dimethylarginine adalah inhibitor kompetitif endogen dari NOS.
ADMA menurunkan produksi dari NO, menyebabkan meningkatnya resistensi
perifer dan meningkatnya tekanan darah. Pada PGK terjadi akumulasi ADMA.
Konsentrasi ADMA dalam plasma berbanding terbalik dengan GFR. Peningkatan
kadar

ADMA dihubungkan dengan disfungsi endotel dan sebagai prediktor

progresivitas PGK dan kematian pada pasien dengan PGK. Penelitian


epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara ADMA dan hipertensi,
hiperkolesterol, dan DM. Adanya disfungsi endotel unumnya ditandai dengan
penurunan bioavaibilitas NO (Abedini et al., 2010).
Gambar 2.6 di bawah ini menunjukkan skema produksi dan degradasi ADMA
(Baylis, 2008).

36

Gambar 2.6
Biochemical pathway produksi dan degradasi ADMA (Baylis, 2008)

2.4.3 Endothelin-1 (ET-1)


Endothelin-1 pertama kali ditemukan oleh Yanasigawa pada tahun 1988.
Endothelin-1 di produksi oleh sel endotel, merupakan famili peptida yang terdiri
dari 21 asam amino. Endothelin 1 merupakan vasokonstriktor endogen yang
paling kuat dan predominan pada sistem kardiovaskular. Aktifitas ET-1 terjadi
melalui ikatan dengan reseptor. Ada 2 jenis reseptor, yaitu ETAR (Endothelin A
Receptor) dan ETBR (Endothelin B Receptor). Reseptor ET-1 tersebar pada
berbagai jaringan dan sel. Di dalam pembuluh darah ETAR dan ETBR terletak di
dalam otot polos pembuluh darah, menyebabkan efek vasokonstriksi pembuluh
darah. ETBRS juga ditemukan ditemukan dalam sel endotel pembuluh darah,
diaktifasi terutama oleh NO menyebabkan vasodilatasi. Sebagai tambahan ETBRS
mempunyai peran penting dalam ekskresi ET-1 di sirkulasi. Waktu paruh plasma
dari ET-1 adalah 1 menit, dengan pengeluaran melaui reseptor dan bukan reseptor.
ET-1 berikatan dengan reseptor ETBR dan mengalami internalisasi dan degradasi.

37

Pengeluaran yang lain adalah melalui sirkulasi paru, limpa dan ginjal. Penurunan
jumlah maupun blokade dari resoptor ETBR akan menurunkan ekskresi dari ET-1,
sehingga meningkatkan jumlah dari ET-1 tanpa peningkatan produksinya (Dhaun
et al., 2008).
Dalam pembuluh darah yang normal, ET-1 mempertahankan tonus vaskular
melalui ETAR, dengan keseimbangan aktifitas ETAR menyebabkan vasodilatasi.
Jika ada gangguan pembuluh darah ET-1 memicu hipertensi dan penyakit
kardiovaskular melalui berbagai mekanisme. Pada ginjal yang sehat, ETBR
memegang peranan dalam tonus vasodilatasi, ETAR mempunyai sedikit peran
dalam tonus pembuluh darah ginjal. Peningkatan aliran darah dalam medula dan
efek langsung dari ETBR menyebabkan natriuresis dan diuresis. Pada PGK, ETAR
menyebabkan vasokonstriksi renal menyebabkan retensi air dan garam sehingga
mengakibatkan hipertensi. Pada orang sehat insulin merangsang pengeluaran dari
ET-1 dan NO. Pada resistensi insulin terjadi gangguan pengeluaran NO, tetapi
produksi ET -1 meningkat. Selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 2.7 di
bawah ini (Dhaun et al., 2008; Shafei et al., 2008).

38

Gambar 2.7
Peranan ET-1 pada hipertensi, data dari penelitian pada manusia (Dhaun et al., 2008)

Sistem ET-1 secara luas berperan dalam CVD dan PGK. Endothelin-1
berperan dalam patogenesis hipertensi dan kekakuan pembuluh darah, dan
merupakan faktor risiko yang baru pada penyakit kardiovaskular (McIntyre,
2009).

Endothelin-1

berperan

aterosklerosis (Dhaun et al., 2008).

dalam

terjadinya

disfungsi

endotel

dan

39

Gambar 2.8
Peranan Endothelin 1 pada PGK dan CVD. Ilustrasi oleh Josh Gramling-Gramling Medical
Illustration (Dhaun et al., 2006)

Sebagai respon terhadap UF saat HD, rangsangan hormonal dan mekanis, sel
endotel mensintesis dan mengeluarkan faktor humoral yang berperan terhadap
homeostasis tekanan darah (Mc Gregor et al., 2003). Ketidakseimbangan
endothelial-derived hormone seperti NO suatu vasodilator otot polos, dan ET-1,
suatu vasokonstriktor bisa menyebabkan hipotensi ataupun hipertensi saat HD
(Inrig, 2010a).
Berbagai mekanisme bertanggung jawab terhadap meningkatnya produksi
dari ET-1 pada PGK. Sintesis ET-1 oleh ginjal dipicu oleh sitokin, growthfactor,
kemokin, faktor vasoaktif, hormon dan reactive oxygen species (ROS), kolesterol
dan substansi lainnya. Intake protein berlebihan merangsang tubulus proksimalis
memproduksi ET-1, suatu kondisi yang sangat penting dalam progresi penyakit

40

ginjal. Gambar 2.9 di bawah ini menunjukkan pengaturan produksi ET-1 pada
pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010).

Gambar 2.9
Pengaturan produksi ET-1 di dalam pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010)

Endothelin-1 bisa menginduksi terjadinya memberikan efek ke pembuluh


darah dan sel ginjal menyebabkan terjadinya hipertensi dan penyakit ginjal kronik,
dapat dilihat pada Gambar 2.10 di bawah ini:

41

Gambar 2.10
Efek ET-1 pada pembuluh darah dan sel ginjal menyebabkan hipertensi, aterosklerosis dan CKD
(Kohan, 2010)

Endothelin1 bisa menginduksi kehilangan nefron dari podosit. Diet tinggi


protein melalui induksi asidosis metabolik menyebabkan penurunan LFG pada
tikus dengan penurunan massa ginjal. Diet tinggi protein menyebabkan kerusakan
tubulointerstitial. Penelitian yang terbaru menemukan bahwa kromogranin A yang
dikeluarkan oleh saraf simpatis dan sel kromafin merangsang sel glomerulus
mengeluarkan ET-1 dan menurunkan LFG (Kohan, 2010).

42

2.5. Penanganan Hipertensi Intradialitik


Penanganan dari HID dapat dilihat pada Gambar 2.11 di bawah ini.

Gambar 2.11
Algoritma Penanganan HID Berdasarkan Derajat Hipertensi (Chazot dan Jean, 2010)

Penanganan pertama terhadap HID adalah membatasi peningkatan berat


badan antar dialisis dan menurunkan secara bertahap berat badan kering. Hal ini
bisa dicapai melalui konseling melalui diet, pembatasan konsumsi garam dan UF
yang agresif saat HD. Penentuan cairan yang akan ditarik saat HD memerlukan
panduan dengan alat yang non invasif seperti bioimpedance, inferior vena cava
ultrasonography, atau monitor volume darah (Peixoto, 2007). Penarikan cairan
ini harus hati-hati untuk menghindari instabilitas hemodinamik. Diperlukan HD
yang lebih lama dan sering untuk untuk menghindari komplikasi dari UF yang
berlebihan saat HD. Secara teori memperpanjang waktu dialisis dan penentuan

43

UFR yang tepat sangat diperlukan dalam penanganan HID (Chazot dan Jean,
2010; Weir dan Jones, 2010).
Penambahan sodium saat HD akan meningkatkan plasma refilling yang akan
meningkatkan COP, oleh karena itu peresepan cairan dialisat yang tinggi sodium
harus dihindari. Begitu juga peresepan dialisat yang tinggi kalsium akan
meningkatkan resistensi perifer dan COP sehingga harus dihindari (Inrig, 2010a).
Beberapa obat disarankan dalam penanganan HID untuk mencegah krisis
hipertensi antara lain calcium channel blockers (CCB) tetapi keamanan obat ini
pada kondisi HID belum diteliti (Chazot dan Jean, 2010). Minoxidil, merupakan
vasodilator yang kuat juga dapat diberikan pada kondisi ini. Obat ini bekerja
dengan efek pada c AMP, menghasilkan vasodilatasi dengan cara relaksasi
langsung otot polos arteriolar. Walaupun minoxidil diindikasikan pada HID, tetapi
obat ini sangat jarang digunakan (Rizzioli et al., 2009). Obat obat anti hipertensi
seperti ace inhibitor sudah digunakan dalam penanganan HID, obat ini tidak
difiltrasi saat HD sehingga bisa digunakan untuk pasien HID (Inrig, 2010b)

44

BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir


Berdasarkan kajian kepustakaan di atas maka dapat dibuat kerangka
berpikir sebagai berikut: Pada pasien HD yang menjalani HD reguler sering
terjadi volume overloaded, kelebihan cairan dalam tubuh ini akan dikeluarkan saat
HD melalui preses ultrafiltrasi (UF). UF yang berlebihan saat HD bisa
meninbulkan komplikasi saat HD, yaitu HID. Ultrafiltrasi ini mempengaruhi
keseimbangan antara NO, ET-1, dan ADMA. Ultrafiltrasi yang berlebihan saat
HD akan menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi RAAS,
peningkatan COP sehingga bisa menyebabkan kenaikan tekanan darah saat HD.
Hipertensi intradialisis juga dipengaruhi oleh

beberapa hal yaitu perubahan

elektrolit saat HD, antara lain natrium, kalium dan kalsium. Faktor lain yang ikut
berperan dalam terjadinya HID adalah eliminasi obat antihipertensi saat HD,
terapi eritropoeitin, penyakit kardiovaskuler dan DM. Hubungan antara volume
overloaded, perubahan elektrolit saat HD, eliminasi obat antihipertensi saat HD,
terapi eritropoeitin dan kejadian HID sudah diteliti sebelumnya. Peranan besarnya
volume UF saat HD dan HID sampai saat ini belum diketahui. Belakangan ini
penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara disfungsi endotel dengan
kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi endotel pada pasien
dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Belum diketahui apakah ada
peranan dari UF yang berlebihan saat HD dengan disfungsi endotel. Pada

44

45

penelitian ini kami ingin meneliti mengenai peranan UF yang berlebih saat HD
dan HID melalui keterlibatan NO, ADMA dan ET-1.

3.2 Konsep Penelitian


Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antar variabel.
Hubungan ini mencerminkan fenomena yang akan dicari jawabannya melalui
penelitian. Manifestasi konsep adalah variabel, sehingga menjadi lebih konkret
dan dapat diukur. Pada penelitian ini dicari hubungan antara besarnya UF saat
hemodialisis dengan kejadian HID. Penelitian ini terfokus pada peran UF saat HD
sebagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian HID melalui perubahan
kadar ET-1, ADMA dan NO serum. Peningkatan kadar ET-1 serum, peningkatan
kadar ADMA serum dan penurunan kadar NO serum merupakan petanda dari
disfungsi endotel.
Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep penelitian sebagai
berikut:

46

ULTRAFILTRASI
BERLEBIH SAAT HD

Umur
Jenis Kelamin
Kadar Hb

Dialisat
Mesin HD
Membran dialiser

Obat-obat antihipertensi
Kadar Na, K, Ca serum
Terapi eritropoetin

NO , ADMA , ET-1

HIPERTENSI INTRADIALITIK
(HID)

Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian


Hipotesis-hipotesis penelitian disusun berdasarkan kajian pustaka secara
deduktif dan konsep dasar penelitian yang diwujudkan dalam suatu kerangka
konsep penelitian di atas. Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara
terhadap masalah-masalah penelitian dan dirumuskan seperti di bawah ini:
1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD
berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD
berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

47

2. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD


berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
3. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan
dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
4. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum.
5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1
serum.
6. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan
dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar
ADMA serum.

48

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian kasus-kontrol digunakan dalam penelitian ini untuk
mengetahui hubungan antara UF saat HD terhadap kejadian HID, dan hubungan
antara perubahan ET-1, NO dan ADMA pre dan post HD dengan besarnya UF
yang dilakukan saat HD. Pasien PGK stadium V yang menjalani HD reguler yang
memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi, dilakukan
pemeriksaan NO, ET-1, ADMA sebelum dan sesudah tindakan satu sesi HD.
Untuk menentukan kasus dan kontrol seluruh sampel diikuti secara prospektif
sebanyak 6 kali sesi HD. Setiap HD dilakukan pencatatan UF yang dilakukan.
Ultrafiltrasi dicatat dari 6 sesi HD berturutan dan dicari rata-ratanya. Tekanan
darah pre HD, selama HD dan post HD selama 6 sesi HD dicatat. Sampel
kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kasus dan kontrol.
Kelompok kasus yaitu kelompok penyandang HD reguler yang mengalami HID,
dan kelompok kontrol yaitu kelompok penyandang HD reguler yang tidak
mengalami

kejadian HID. Hipertensi intradialitik didefinisikan bila terjadi

peningkatan tekanan darah sistolik sesudah HD 10 mmHg dibandingkan dengan


TDS pre HD, pada minimal 4 dari 6 sesi HD berturut-turut. Faktor risiko, yaitu
adanya disfungsi endotel yang ditandai dengan peningkatan ET-1 atau
peningkatan ADMA atau penurunan NO post HD, serta volume UF saat HD
ditelusuri dan dianalisis secara retrospektif. Rancangan penelitian digambarkan
(Gambar 4.1) sebagai berikut:

48

49

Penelitian
dimulai dari sini

Penentuan kasus dan kontrol

Analisis secara
Retrospektif

Faktor Risiko (+)


Kasus
HID (+)
Sampel
Penyandang

HD reguler

HD
( lab. pre, dan
post HD: ET-1,
ADMA, NO)

HD 6 kali
berturutturut
( dicatat
UF dan TD
saat HD)

Faktor Risiko (-)

Faktor Risiko (+)


Kontrol
HID (-)

Faktor Risiko (-)

Gambar 4.1
Rancangan Penelitian Kasus- Kontrol

Penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan sampel penelitian, pada HD


yang pertama dilakukan pemeriksaan laboratorium dan fisik pre dan post HD.
Sampel kemudian diikuti secara prospektif selama 6 kali HD berturut-turut.
Setelah HD yang ke enam ditentukan kelompok dengan efek (kelompok kasus)
dan mencari subjek yang tidak mengalami efek (kelompok kontrol). Yang
dimaksud dengan efek positif adalah kejadian hipertensi

intradialitik yang

didefinisikan dengan peningkatan tekanan darah sistolik lebih sesudah HD 10


mmHg dibandingkan dengan TDS sebelum HD, pada minimal 4 kali dari 6 sesi
HD berturut-turut. Faktor risiko positif adalah peningkatan ET-1, peningkatan
ADMA-1, penurunan NO dan UF yang berlebih (> 4,8% BB) saat hemodialisis.
Faktor risiko dianalisis secara retrospepektif pada kedua kelompok kemudian
dibandingkan.

50

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Unit Hemodialis, RSUP Sanglah Denpasar.
Pemeriksaan bahan penelitian dilakukan di laboratorium yang terakreditasi.
Dengan menggunakan protokol penelitian diperkirakan memerlukan waktu sekitar
6 bulan untuk mencapai jumlah sampel pemeriksaan, analisis dan penulisan.

4.3 Penentuan Sumber Data


4.3.1 Populasi penelitian
a. Populasi target (target population) penelitian ini adalah semua penyandang
HD reguler yang menjalani HD di Unit HD rumah sakit di Bali.
b. Populasi terjangkau (accessible population) penelitian ini adalah semua
penyandang HD reguler yang menjalani HD di RSUP Sanglah Denpasar.
c. Sampel (intended sampling) adalah sampel yang dipilih dengan teknik
consecutive sampling dari populasi terjangkau penelitian.
d. Subjek yang benar-benar diteliti (actual study subjects) adalah subjek yang
benar-benar mau ikut penelitian dan mengisi formulir informed consent.

4.3.2 Kriteria inklusi


Penderita GGK berumur antara 18-60 tahun yang menjalani HD reguler di
unit HD di Denpasar.
a. Penderita adalah penduduk suku bangsa Indonesia serta bersikap kooperatif.
b. Penderita dalam kondisi stabil, dan sudah menjalani HD reguler minimal 3
bulan.

51

c. Penderita sudah mencapai berat badan kering yang ditentukan oleh dokter
konsultan ginjal dan hipertensi.

4.3.3 Kriteria eksklusi:


a. Penyakit gagal jantung tak terkompensasi.
b. Anemia berat.
c. Sepsis
d. Keganasan
e. Diabetes mellitus

4.3.4 Sampel
Adalah semua penyandang HD reguler di unit HD di RSUP Sanglah
Denpasar, suku bangsa Indonesia, berumur antara 18-60 tahun. Sudah menjalani
HD minimal 3 bulan, dalam kondisi stabil serta memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.

4.3.5 Besaran sampel


Besaran sampel ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Madiyono dkk.,
2010)
1. ADMA
2

( z + z ) s
n1 = n 2 = 2

( X1 X 2 )
z = 1,96;
Z = 0,842;

n = 35

(X1-X2) = 0,5;

s = 0,75

52

Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Z = 1,96; Z = 0,842;
(X1-X2) = 0,5; simpang baku (s) = 0,75. Maka jumlah sampel yang diperlukan
untuk pemeriksaan ADMA adalah 35 sampel.

2. NO
2

( z + z ) s
n1 = n 2 = 2

( X1 X 2 )
z = 1,96;
Z = 0,842;

(X1-X2) = 0,5;

s = 0,75

n = 63
Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Z = 1,96; Z = 0,842;
(X1-X2) = 4; simpang baku (s) = 8. Maka jumlah sampel yang diperlukan untuk
pemeriksaan NO adalah 63 sampel.

3. Endothelin-1
n=

z 2{1 /[Q1 / P1 + 1 / Q2 / P2 ]}
[ln(1 e)]2

= 1,96
OR = 3
P1 = OR x P2 / ((1-P2) + (ORxP2)) = 0,6
P2 = 0,4
n = 110
Ditetapkan

z =1,96, sehingga besarnya dan rasio odds yang diperkirakan

sebesar 3 dengan rasio kelompok HID terhadap kontrol =1, proporsi Endothelin-1
yang meningkat sebesar 0,4 sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 110
orang.

53

Dengan demikian jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam


penelitian ini adalah 110 orang untuk kedua kelompok penelitian.

4.3.6 Teknik penentuan sampel


Sampel dipilih dengan teknik consecutive sampling dari populasi terjangkau
penelitian yang menjalani HD reguler di rumah sakit di Denpasar.

Populasi

terjangkau adalah penderita HD reguler yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi, dipilih sebagai sampel penelitian, hingga jumlah
sampel minimal terpenuhi. Dari sampel yang dikehendaki disaring lagi penderita
yang tidak menolak mengikuti penelitian sehingga diperoleh subyek yang benarbenar diteliti (actual study subjects)

4.4 Variabel Penelitian


4.4.1 Identifikasi variabel
Variabel penelitian adalah karakteristik sampel penelitian yang diukur, baik
secara numeric atau katagorikal. Variabel-variabel tersebut ditentukan menurut
rancangan penelitian yang direncanakan.

4.4.2 Klasifikasi variabel


a. Variabel bebas adalah volume UF saat HD, perubahan kadar NO, ET-1
dan ADMA serum.
b. Variabel tergantung adalah efek yaitu HID.
c. Variabel kendali adalah umur, jenis kelamin, penyakit ginjal dasar,
penyakit penyerta, obat-obatan, faktor HD (dialisat, lama sesi HD, lama
terapi HD, dan KT/V, kecepatan aliran darah), faktor membran (luas

54

permukaan, volume priming, koefisien UF, kliren in-vitro). Variabel


variabel di atas memenuhi kriteria sebagai variabel perancu sehingga harus
dikendalikan (disebut variabel kendali).
d. Variabel rambang adalah suku bangsa asli Indonesia, variabel ini secara
biomedik dianggap sama pengaruhnya terhadap kelompok kasus maupun
kontrol.

4.4.3 Definisi operasional variabel


a. Konsentrasi ADMA adalah kadar ADMA

dalam serum yang diukur

dengan quantittatif sandwich enzyme immunoassay (ELISA) satuannya


mol/l. Pengukuran 2 kali, pre dan post HD. Pemeriksaan dilakukan di
laboratorium Prodia Denpasar dengan reagen Cat. No. 17 EA 201-96. Alat
: Microplate reader produk Biorad 680, tahun 2008.
b. Konsentrasi NO adalah kadar nitric oxide dalam serum yang diukur
dengan Colory metri/ Cayman satuannya M. Pengukuran 2 kali, pre dan
post HD. Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar dengan
reagen Cat. No. 780001. Alat: Microplate reader produk Biorad 680,
tahun 2008.
c. Konsentrasi ET-1 adalah kadar endotelin 1 dalam serum yang diukur
dengan ELISA satuannya pq/ml. Pengukuran 2 kali, pre dan post HD.
Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar dengan reagen
Cat. No.: DET 100. Alat: Microplate reader produk Biorad 680, tahun
2008.

55

d. Ultrafiltrasi adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin HD selama satu
sesi HD, satuannya liter. Ultrafiltrasi terlihat pada monitor masing-masing
mesin HD.
e. Ultrafiltrasi Rate (UFR) adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin per
kilogram berat badan perjam (cc/kg/jam).
f. Ultrafiltrasi berlebih adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin HD
selama satu sesi HD lebih dari 4,8% BB kering (misal >3,4 kg pada
pasien dengan BB kering 70 kg) (K/DOQI, 2006).
g. Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan
atau lebih. Kerusakan ginjal ditandai dengan gangguan struktural atau
fungsional dari ginjal yang desertai atau tanpa disertai penurunan LFG
(K/DOQI, 2006).
h. Gagal ginjal kronik adalah menurunnya LFG kurang dari 15 ml/menit/1.73
2

m luas permukaan tubuh yang disertai dengan tanda dan gejala uremia
dan memerlukan terapi pengganti ginjal (K/DOQI, 2006)
i. Diabetes melitus ditegakkan dengan riwayat DM sebelumnya.
j. CHF adalah penyakit jantung kongestif yang didiagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan foto thorak. Diagnosis
ditetapkan oleh divisi Kardiologi RSUP Sanglah.
k. Hipertensi intradialitik didefinisikan bila terjadi peningkatan tekanan darah
sistolik (TDS) sesudah HD 10 mmHg dibandingkan dengan TDS
sebelum HD, pada minimal 4 kali dari 6 sesi HD berturut-turut. Tekanan
darah diukur dengan alat sphygmomanometer mercuri dan dilakukan oleh
perawat hemodialisis yang sudah terlatih.

56

l. Kadar Hb diperiksa di laboratorium RSUP Sanglah dengan alat technicon


H-1 dengan metode flow-cytometry.
m. Usia ditentukan dari tanggal kelahiran sampai saat penelitian berdasarkan
kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu keluarga.
n. Jenis kelamin, penduduk suku bangsa Indonesia dan tempat tinggal
penderita atau kontrol ditentukan dengan pemeriksaan badan (kalau
diperlukan) dan KTP atau kartu keluarga.
o. Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal dengan cara memisahkan
darah dari bahan-bahan uremik melalui membran dialisat, dengan
memakai mesin HD merk Nipro.
p. Lama terapi hemodialisis adalah waktu antara terapi HD pertama dan HD
saat penelitian.
q. Lama sesi HD adalah waktu yang diperlukan saat dilakukan 1 sesi HD,
satuannya menit.
r. Hemodialisis stabil adalah bila HD telah dijalani selama 3 bulan atau
lebih. Pada periode ini, pasien umumnya mengalami komplikasi yang
minimal selama HD, berat badan kering sebagai berat badan target
umumnya telah tercapai dan kualitas hidup pasien umumnya telah pulih.
s. Infeksi akut: adanya gejala dan tanda infeksi akut yang dapat diketahui
dari klinis dan pemeriksaan fisik, serta adanya peningkatan sel darah putih.
t. Sepsis: penderita yang memenuhi kriteria Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS) dengan sumbert infeksi yang jelas. Kriteria
terpenuhi bila didapatkan 2 atau lebih kriteria di bawah ini (Balk dan
Casey, 2000):

57

a) Demam (temperature >380C) atau hipotermi (temperature <360C).


b) Takipneu (frekuensi nafas >24 kali / menit.
c) Takikardia (denyut jantung >90 kal / menit).
d) Leukositosis (hitung sel darah putih >12000/uL).
e) Leukopenia (hitung sel darah putih <4000/uL).
u. Keganasan: penderita diketahui menderita keganasan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan melihat catatan medis
pasien.

4.5 Bahan Penelitian


Bahan atau materi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah untuk
pemeriksaan laboratorium yaitu darah (plasma dan serum, bahan antikoagulan
disesuaikan dengan masing-masing metode pemeriksaan). Sebelum pengambilan
darah, pasien puasa selama 10 jam. Darah diambil sesaat sebelum HD untuk
pemeriksaan NO, ADMA, ET-1, DL, albumin, gula darah, Na, K, Ca, BUN dan
SC dan 2 menit sebelum HD berakhir (setelah kecepatan aliran darah diturunkan
50 ml/menit) untuk pemeriksaan: NO, ADMA, ET-1, Na, K, Ca, BUN dan SC.
Metode pemeriksaan selengkapnya seperti di bawah ini:
a. Darah lengkap:
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan alat technicon H-1 dengan
metode flow-cytometry.
b. Gula darah
Pemeriksaan gula darah menggunakan alat Hitachi 911 automated analayzer
(Boehringer Mannheim), dengan metode hexokinase.

58

c. Albumin diperiksa dengan bromocresol purple.


d. Pemeriksaan kalium, natrium dengan metode selective elektroda direk,
kalsium dengan metode kalorimetri.
e. Pemeriksaan NO dengan metode pemeriksaan: calorimetri/cayman.
f. Pemeriksaan ET-1
Prinsip pemeriksaan:

Menggunakan teknik kuantitatif sandwich enzyme

immunoassay Antibodi monoclonal spesifik untuk ET-1. Metode pemeriksan :


ELISA/R & D system.
g. Pemeriksaan ADMA dengan enzyme immunoassay, ELISA/DBL.

4.6 Instrumen Penelitian


a. Kuesioner dan rekaman medis yang dipakai untuk mendapatkan data-data
tentang faktor demografi, etiologi penyakit, penyakit penyerta, data
laboratorium dan terapi pasien.
b. Timbangan badan dan tinggi badan menggunakan skala tinggi badan dan
timbangan digital merk Seca Digital Scale.
c. Alat ukur tekanan darah yaitu sphygmomanoter mercuri merk Riester.
d. Stetoscope untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah menggunakan
merk Riester.
e. Mesin HD menggunakan mesin merk Nipro jenis Surdial 55.
f. Membran dialiser yang dipakai jenis Selulosa (diasetat hollow fiber)
dengan ukuran FB130-150 TGA tahun produksi 2009, dengan luas
permukaan membran sebesar 1,5 m2.

59

4.7 Prosedur Penelitian


Semua sampel

diberikan penjelasan rinci dan menandatangani informed

consent. Sebelum dilaksanakan penelitian, dikonsultasikan lebih dahulu dengan


Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan FK UNUD-RSUP Sanglah untuk
mendapat surat keterangan kelaikan etik. Kuesioner diisi setelah penentuan
intended study subject. Sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium diambil
setelah pasien puasa 10 jam. Pemeriksaan ET-1, NO dan ADMA, dilakukan
sebelum dan sesudah 1 sesi HD, Pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu DL,
albumin, gula darah dan SC,

dilakukan sebelum satu sesi HD, sedangkan

pemeriksaan Na, K, Ca, BUN dilakukan sebelum dan sesudah satu kali sesi HD.
Sampel kemudian diikuti sebanyak 6 kali HD berturut-turut. Sebelum dan
sesudah HD dilakukan penimbangan berat badan. Saat HD dilakukan pengukuran
tekanan darah dan nadi setiap setengah jam, pencatatan besarnya UF, kecepatan
UF, kecepatan putaran mesin, obat yang diberikan dan semua kejadian saat HD
berlangsung. Setelah ke 6 sesi HD selesai, ditentukan kelompok yang mengalami
HID (kasus) dan kelompok yang tidak mengalami HID (kontrol). Kemudian
dilakukan analisis secara retrospektif untuk mencari faktor risiko, yaitu
membandingkan besarnya perubahan kadar ET-1, ADMA, NO pre dan post HD,
pada kelompok HID dan kontrol, membandingkan rerata UF pada kelompok HID
dan kontrol, kemudian dilakukan analisis statistik.

60

Populasi terjangkau
Kriteria inklusi & eksklusi

Sampel (consequtive)
Informed consent
Intended study subjek
Lab. Pre-HD
(NO, ET-1, ADMA)
(DL, BUN, SC, Na, K, Ca, BS, Alb)

Lab. Post HD

Hipertensi Intradialitik

(NO, ET-1, ADMA)


(BUN, Ca, K, Na)

TD

HD I

UF

TD

HD II

UF

TD

HD III

UF

TD

HD IV

UF

TD

HD V

UF

TD

HD VI

UF

HID (+)

Kasus
Analisis Statistik

HID (-)

Kontrol
Simpulan
Gambar 4.2
Alur Penelitian kasus-kontrol

Rerata UF

Selisih NO,
ET-1,
ADMA pre
dan post
HD

HD

61

4.8 Analisis Data


Setelah data terkumpul, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kelengkapan
data. Data yang tidak lengkap, dicoba dilengkapi dengan menghubungi kembali
penderita. Analisis yang dilakukan adalah prospektifretrospektif path analysis.
Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan serangkaian tahapan analisis
data sebagai berikut:
a. Uji normalitas Kosmogorov-Smirnov, digunakan menguji apakah data-data
penelitian berdistribusi normal atau tidak.
b. Analisis deskriptif, menggambarkan karakteristik umum dan distribusi
frekuensi berbagai variabel yaitu: umur, jenis kelamin, tekanan darah, BB,
kadar Na, K, Ca, NO, ADMA, dan ET-1 serum.
c. Uji

kai-kuadrat,

menguji

perbedaan

variabel

dengan

skala

nominal/kategorikal pada kedua kelompok tsb, yaitu jenis kelamin, dll


d. Analisis regresi logistik, menghitung risiko, yaitu rasio odds dari variabel
UF terhadap HID, dan mengendalikan variabel

perancu terhadap

hubungan tersebut. Rasio odds yang dihasilkan merupakan adjusted rasio


odds yang sudah terbebas dari efek perancu.
e. Taksiran rasio odds ( odd ratio/OR) yang disajikan dalam bentuk interval
keyakinan 95%, diharapkan diperoleh nilai rasio odds dari UF lebih dari 1,
dengan interval keyakinan ( Convidance Interval/CI) melewati 1.
f. Untuk melihat hubungan langsung antara UF dan HID serta hubungan
tidak langsung antara UF dan HID melalui perubahan kadar NO, ADMA,
ET-1 serum saat HD dilakukan analisis jalur (path analysis).

62

g. Analisis statistik di atas menggunakan nilai p<0,05 sebagai batas


kemaknaan dan memakai perangkat lunak statistika, yaitu SPSS for
Window version 15.

63

BAB V
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini lakukan pada bulan Agustus sampai November 2012, setelah
mendapat persetujuan dari Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dengan Surat Kelaikan
Etik (Ethical Clearance) dan Surat Ijin Penelitian dari Direktur SDM dan
Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar.
Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang sudah menjalani HD
reguler minimal selama 3 bulan dan dalam kondisis stabil, yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 112 pasien HD reguler diikutkan dalam
penelitian ini. Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: UF sebagai
variabel bebas; NO, ADMA, ET-1 sebagai variabel antara dan kejadian HID
sebagai variabel tergantung.
Seratus dua belas subjek penelitian terdiri dari 54,5% (61/112) laki-laki
dengan rerata umur 44 tahun, diikuti sebanyak 6 kali HD berturut-turut dan
didapatkan 32,1% (36/112) mengalami HID. Semua subjek penelitian datanya
lengkap dan dapat dianalisis.

63

64

5.1 Karakteristik data


Tabel 5.1
Karakteristik dasar subjek penelitian dari kelompok HID dan Non HID

Karakteristik

HID (n=36)
Rerata SB

Non HID (n=76)


Rerata SB

Nilai p

43,29,54

43,79,38

0.92

Laki

47,2

57,9

Perempuan

52,8

42,1

34,5033,15

34,8629,4

Chronic Pyelonephritis

61,1

57,9

Chronic Glomerulonephritis

38,9

39,5

Umur (tahun)
Jenis Kelamin (%)

Lama HD (bulan)

0.42
0.78

Etiologi (%)

Nefrosklerosis

0.75

Hemoglobin (g/dl)

8,21,6

8,31,31

0.43

Albumin serum (mg/dl)

3,90,6

3,80,53

0.60

Gula Darah Puasa (mg/dl)


CaP product

86,710,2
56,2718,30

89,1620,12
54,817,3

0.49

Tinggi Badan (cm)

155,728,41

157,86,4

0.06

54,3413,35

56,410,48

0.15

22,264,37

22,613,5

0.59

ACE Inhibitor

69,4

66,7

0.31

CCB

11,1

9,7

0.59

Beta Blocker

22,2

38,9

0.00

Clonidin

30,6

27,8

0.45

ARB

19,4

13,9

0.12

16,7
50,6

16,7
13,3

0.90

Berat Badan Kering (kg)


2

Indeks Massa Tubuh (kg/m )


Terapi Anti Hipertensi (%)

Terapi Erythropoetin (%)


Ya
Tidak

Dari Tabel 5.1 di atas terlihat bahwa rerata umur pasien adalah 43,759,39
tahun. Lama HD 34,7530,51 bulan. Etiologi dari PGK yang terbanyak adalah
pyelonefritis kronis. Rerata kadar Hemoglobin adalah 8,341,40 g/dl. Rerata
kadar albumin serum adalah 3,870,54 mg/dl. Hasil perkalian antara calsium dan

65

phosphat (CaP product) rata-rata adalah 55,2917,59. Setelah dihitung didapatkan


rata-rata IMT pasien adalah 22,493,78 kg/m2. Pada kelompok pasien dengan
HID maupun kontol sebagian besar pasien mendapat terapi ace inhibitor sebagai
obat anti hipertensi. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terapi dengan
betabloker dimana pada kelompok yang tidak mengalami HID lebih banyak yang
mendapat terapi betabbloker dibandingkan dengan kelompok HID (38,9 vs 22,2; p
=0,00). Tidak terdapat perbedaan dalam terapi erythropoietin pada kedua
kelompok.

5.2 Profil tekanan darah selama HD


Pada pengamatan subjek penelitian, dilakukan pengukuran tekanan darah
selama HD pada 6 sesi HD berturut-turut. Profil tekanan darah sampel selama
pengamatan 6 kali HD berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 5.2 di bawah ini.
Tabel 5.2
Profil tekanan darah subyek penelitian dari kelompok HID dan Non HID
Sesi
HD

Tekanan
Darah

Pre HD
Kelompok

Post HD
Selisih
Kelompok

Nilai
p

HID

Non HID

(Rerata
SB)

(Rerata
SB)

Sistolik

142,522,89

143,2824,02

-0.79

Diastolik

84,7210,27

85,659,42

-0.10

Sistolik

140,5523,89

142,109,42

Diastolik

84,7210,27

86,849,26

HD-3

Sistolik

141,3819,29

141,9723,26

Diastolik

85,5512,05

85,529,14

0.02

0.98

HD-4

Sistolik

138,0521,20

141,2824,54

-3.13

0.51

Diastolik

85,2710,27

85,9211,33

-0.64

0.77

Sistolik

143,3329,17

141,4422,43

1.89

85,838,74

85,1310,39

0.70

138,3320,77

139,3420,74

83,339,85

85,138,71

140,6916,69
85,046,49

HD-1
HD-2

HD-5

Diastolik
HD-6

Sistolik
Diastolik

Rerata

Sistolik
Diastolik

Kelompok

Selisih
Kelompok

Nilai
p

HID

Non HID

(Rerata
SB)

(Rerata
SB)

0.87

147,224,56

144,2121,92

3.01

0.52

0.95

88,3312,07

85,658,3

2.68

0.17

-1.55

0.73

148,0523,52

144,7321,25

3.31

0.46

-2.12

0.28

87,2210,31

86,978,48

0.25

0.89

-0.58

0.89

148,0520,67

141,5719,73

6.48

0.11

87,512,27

86,848,82

0.66

0.75

140,5530,75

140,1525,86

0.39

0.94

86,388,3

86,9710,58

-0.58

0.77

0.71

144,4423,83

140,9220,86

3.52

0.42

0.72

87,2210,03

87,1010,04

0.11

0.95

-1.00

0.81

146,6624,14

138,5519,03

8.11

0.05

-1.79

0.33

86,669,56

85,528,06

1.14

0.51

141,5516,97

-0.86

0.80

145,8318,52

141,6916,11

4.14

0.23

85,706,13

-0.65

0.60

87,228,22

86,515,71

0.72

0.59

66

Pada pengamatan HD 1,2,4 dan 5 rerata TDS sampel baik pre HD maupun post
HD pada kelompok HID lebih tinggi daripada kelompok Non HID, sedangkan
pada pengamatan HD 3 dan HD 6 rerata TDS pre HD pada kelompok HID sedikit
lebih rendah pada kelompok HID. Setelah dilakukan analisis tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna antara TDS dan TDD pre HD maupun post HD antara
kelompok HID dan non HID.

5.3 Profil Ultrafiltrasi selama HD


Pada pengamatan selama 6 kali HD berturutan dilakukan pencatatan
volume UF selama HD pertama sampai ke enam. Rata-rata besaran UF yang
dilakukan dapat dilihat pada Tabel 5.3 di bawah ini.
Tabel 5.3
Volume UF kelompok HID dan Non HID

Hemodialisis
(HD)

Volume UF (L)

Selisih
Kelompok

Nilai p

HID
(Rerata SB)

Non HID
(Rerata SB)

HD-1

3,371,00

2,541,16

0,83

0,00

HD-2

3,331,16

2,551,06

0,78

0,01

HD-3

3,511,05

2,541,15

0,98

0,00

HD-4

3,521,19

2,411,14

1,11

0,00

HD-5

3,681,03

2,471,23

1,20

0,00

HD-6

3,971,22

2,481,15

1,49

0,00

Rerata HD 1-6

3,560,91

2,500,98

1,27

0,00

Pada Tabel 5.3 di atas terlihat bahwa pada HD 1 sampai 6, dan secara
rerata UF pada kelompok HID lebih besar daripada kelompok non HID.

67

5.4 Perubahan kadar Na, K dan Ca saat HD


Pada subjek penelitian dilakukan pemeriksaan kimia darah sebelum dan
sesudah HD, pada sesi HD 1. Hasil pemeriksaan kadar kalium, natrium dan
kalsium serum sebelum dan sesudah HD I, dapat dilihat pada Tabel 5.4 di bawah
ini.
Tabel 5.4
Kadar Natrium, Kalium dan Kalsium pre dan post HD 1

Natrium
(mmol/L)
Kalium
(mmol/L)
Kalsium
(mol/dL)

Kelompok HID (Rerata SB)


Pre
Post HD
Selisih
HD
(postpre HD)
136,33
137,08
0,75

2,62
3,98
3,75
5,58
3,49
-2,08

0,97
0,87
1,04
8,92
11,03
2,1

0,94
1,08
1,49

Kelompok Non HID (Rerata SB)


Pre HD
Post HD
Selisih
(Postpre HD)
135,84
136,22
0,38

2,76
3,61
3,78
5,11
3,40
-1,70

0,80
0,60
0,85
9,13
10,61
1,47

,05
1,07
1,46

Selisih
Kelompok

Nilai
p

0,37

0,63

-0,38

0,05

0,63

0,03

Dari Tabel 5.4 di atas terlihat bahwa selisih kadar serum Na, K dan Ca
post HD dan pre HD pada kelompok HID lebih besar daripada kelompok non
HID. Setelah dilakukan analisis, didapatkan bahwa selisih kadar Natrium tidak
berbeda antara kelompok HID dan non HID, sedangkan selisih kadar K dan Ca
pada kelompok HID dan non HID berbeda bermakna.Terjadi peningkatan kadar
serum kalsium post HD pada kedua kelompok yaitu HID dan non HID,
peningkatan yang lebih besar tampak pada kelompok HID. Hal yang sebaliknya
terjadi pada kadar kalium, terjadi penurunan kadar kalium post HD pada kedua
kelompok dengan penurunan lebih besar pada kelompok HID.

68

5.5 Perubahan kadar NO, ADMA dan ET-1 saat HD


Hasil pemeriksaan kadar NO, ADMA dan ET-1 serum pre dan post HD 1
dapat dilihat pada Tabel 5.5 di bawah ini.
Tabel 5.5
Kadar NO, ADMA, dan ET-1 sebelum dan sesudah HD 1

Kadar
serum

Kelompok HID (Rerata SB)


Pre HD
Post HD
Selisih
(Post-pre
HD)
13,62
3,80
-9,8

5,47
1,4
4,79
0,81
0,47
-0,33

0,23
0,14
0,22
2,14
2,37
0,18

1,25
1,12
0,41

NO (M)
ADMA
(m/L)
ET-1
(pq/ml)

Kelompok Non HID (Rerata SB)


Pre HD
Post HD
Selisih
(Post-pre
HD)
8,15
3,93
-4,22

3,27
2,22
2,77
0,78
0,95
0,27

0,24
0,51
0,20
2,39
2,58
0,18

1,19
1,35
0,70

Selisih
Kelompok

Nilai
p

-5.59

0,0

-0.06

0,16

0.00

0,99

Pada Tabel 5.5 di atas terlihat bahwa terjadi penurunan kad(Rerata SB)ar
NO post HD pada kedua kelompok. Penurunan NO lebih besar pada kelompok
HID dibandingkan dengan kelompok non HID (-9,84,79 vs -4,222,77 M).
Hal yang berbeda terjadi pada kadar serum ADMA, Pada kelompok HID terjadi
penurunan kadar serum ADMA post HD sedangkan pada kelompok non HID
terjadi peningkatan kadar serum ADMA (-0,330,22 vs 0,270,20 m/L), tetapi
selisih ADMA ini tidak berbeda antara kelompok HID dan non HID. Hal yang
berbeda terlihat pada kadar serum ET-1, terjadi peningkatan kadar serum ET-1
post HD yang hampir sama pada kelompok HID dan non HID (0,180,41 vs
0,180,70 pq/ml), tetapi peningkatan ini tidak berbeda antara kelompok HID dan
non HID.

69

5.6 Hubungan antara perubahan kadar NO, ET-1, ADMA dan HID
Untuk melihat hubungan antara perubahan kadar serum NO, ET-1, ADMA
saat HD dengan kejadian HID serta hubungan antara volume UF yang dilakukan
saat HD dengan kejadian HID, dilakukan analisis regresi, dan untuk
menghilangkan pengaruh

beberapa variabel pengganggu terhadap hubungan

tersebut, dilakukan pengontrolan terhadap variabel tersebut, yaitu variabel jumlah


obat antihipertensi yang diminum, dan perubahan kadar Na dan kalsium post dan
pre HD. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.6 di bawah ini.
Tabel 5.6
Hubungan antara NO, ADMA, ET-1, volume UF dengan kejadian HID
Variabel Bebas

NO
(setiap peningkatan 1 m/L)
ADMA
(setiap peningkatan 1 m/L)
ET-1
(setiap peningkatan 1 pg/ml)
Volume UF (setiap 1 liter
meningkat)
UF berlebih ( Volume UF >
4,8% BB Kering)
Setiap 1% meningkat

Unadjusted
OR

IK 95%

Nilai
P

Adjusted
OR

IK 95%

Nilai
P

0,59

0,48-0,72

0,00

0,60

0,49-0,73

0,00

0,26

0,04-1,67

0,16

0,15

0,02-1,19

0,07

1,00

0,53-2,89

0,99

0,94

0,49-1,794

0,85

4,28

2,41-7,62

0,00

5,17

2,64-10,11

0,00

100,45

21,05-479,33

0,00

167,19

27,56-1013,91

0,00

Keterangan :
Adjusted OR setelah dilakukan pengontrolan terhadap:
1. Jumlah obat anti hipertensi yang dikonsumsi
2. Selisih natrium post - pre HD
3. Selisih Ca post - pre HD

Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi NO memiliki tingkat
signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian
yang menyatakan NO memiliki pengaruh yang signifikan terhadap HID diterima.
Nilai OR dari NO adalah 0,59, ini berarti bahwa jika variabel bebas lainnya tetap
atau tidak berubah, maka setiap peningkatan 1 mol/L NO akan menyebabkan
kejadian HID sebesar 59%. Pengaruh ini tetap signifikan setelah dilakukan

70

pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi yang


diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD ( nilai p=0,001, nilai
adjusted OR = 0,6 (95% CI 0,49-0,73).
Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi ADMA memiliki
tingkat signifikansi 0,16, nilai ini lebih besar dari 0,05, ini berarti hipotesis
penelitian yang menyatakan ADMA memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
HID ditolak. Pengaruh ini tetap tidak signifikan setelah dikontrol dengan terhadap
variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi yang di minum dan perubahan
kadar Na dan Ca selama HD (nilai p=0,07) dengan adjusted OR 0,15 (95% CI
0,02-1,19). Walaupun pengaruh ini tidak signifikan tetapi terdapat kecenderungan
bahwa setiap peningkatan 1 m/L ADMA akan menyebabkan kejadian HID
sebanyak 15%.
Hal yang sama terlihat pada kadar serum ET-1. Dari Tabel 5.6 di atas terlihat
bahwa koefisien regresi ET-1 memiliki tingkat signifikansi 0,99, nilai ini lebih
besar dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan ET-1 memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap HID ditolak. Pengaruh ini tetap tidak
signifikan setelah dikontrol terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat
antihipertensi yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD (nilai
p=0,85 adjusted OR 0,94 (95% CI 0,49-1,79)).
Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi volume UF memiliki
tingkat signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari 0,05, ini berarti hipotesis
penelitian yang menyatakan volume UF memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap HID diterima. Nilai OR dari volume adalah 4,28, ini berarti bahwa jika

71

variabel bebas lainnya tetap atau tidak berubah, maka setiap peningkatan 1 liter
UF akan menyebabkan kejadian HID sebesar 4,28 kali. Pengaruh ini tetap
signifikan setelah dilakukan pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah
obat antihipertensi yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD
(nilai p=0,001, nilai adjusted OR = 5,17 (95% CI 2,64-10,11).
Dari Tabel 5.6 di atas terlihat pula bahwa koefisien regresi UF berlebih ( UF
>4,8% BB kering) memiliki tingkat signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari
0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan UF berlebih memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap HID diterima. Nilai OR dari UF berlebih
adalah 100,45 ini berarti bahwa jika variabel bebas lainnya tetap atau tidak
berubah, maka setiap peningkatan 1 persen UF diatas BB kering akan
menyebabkan kejadian HID sebesar 100 kali. Pengaruh ini tetap signifikan setelah
dilakukan pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi
yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD (nilai p=0,001, nilai
adjusted OR = 167,19 (95% CI 27,56-1013,91).

5.7 Analisis Jalur (Path analysis)


Untuk melihat hubungan kausal efek dari perubahan kadar NO, ET-1 dan
ADMA serta volume UF yang saat HD terhadap kejadian HID, dilakukan analisis
jalur. Pada analisis jalur ini variabel eksogen adalah: NO, ADMA, ET-1 dan
volume UF sedangkan variabel endogen adalah kejadian HID. Berdasarkan dari
teori dan telaah kepustakaan yang ada maka dibuatkan model seperti di bawah ini
(Gambar 5.1).

72

z2

NO
z1

Hipertensi
Intradialitik

Volume
Ultrafiltrasi
z3

Endothelin-1

z4

ADMA

Gambar 5.1
Model Struktural/Path Diagram

Setelah dilakukan analisis terhadap model struktural/path diagram


didapatkan df (Degree of freedom) = 3, artinya overidentified, maka estimasi dan
penilaian model dapat dilakukan, atau model struktural dapat diproses lebih lanjut.
Pada result terdapat kalimat minimum was achieved, dan probability level=0,28,
menunjukkan bahwa AMOS telah berhasil mengestimasi varians dan kovarians
yang ada. Pada bagian CMIN terlihat P = 0,3 menunjukkan model dapat dianggap
fit dengan data yang ada. Pada bagian RMR dan GFI, terlihat bahwa angka GFI
0,9 dan AGFI 0,9 mendekati 1, juga disertai dengan angka RMR 0,1 yang relatif
kecil (mendekati 0), semua ini mendukung pernyataan bahwa model struktural
sudah fit dengan data yang ada,

secara keseluruhan model struktural dapat

dianggap fit sehingga dapat dilakukan analisis jalur.

73

5.7.1 Hasil Analisis Jalur


16.97
z2

0.11

NO

-0.05

-1.37

z1

1.17
0.16

Volume
Ultrafiltrasi
0.06

Hipertensi
Intradialitik

0.38
0.02

z3

-0.03

Endothelin1
z4

-0.11

0.04

ADMA

Gambar 5.2
Hasil analisis jalur model struktural

Berdasarkan Gambar 5.2 di atas maka didapatkan efek langsung terhadap


HID sebagai berikut; efek UF terhadap HID adalah 0,16 (16%), efek NO terhadap
HID adalah 0,05 (5%), efek ET-1 terhadap HID adalah 0,02 (2%), efek ADMA
terhadap HID adalah 0,11 (11%). Sementara itu efek langsung dari UF terhadap
variabel lain adalah sebagai berikut: efek UF terhadap NO adalah 1,37 (137%),
efek UF terhadap ADMA adalah 0,03 (3%), efek UF terhadap ET-1 adalah 0,06
(6%).

Di sini terlihat bahwa UF memiliki efek paling kuat terhadap NO,

sedangkan variabel yang paling kuat berpengaruh terhadap HID adalah UF. Efek
total yang paling kuat terhadap HID adalah efek dari UF (24%).

74

5.7.2 Hubungan antar konstruk


Besarnya efek masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantung
dinyatakan dengan critical ratio (CR). Nilai CR didapatkan dari nilai estimasi
yang dibagi dengan standard errornya (SE). Semakin tinggi nilai CR maka
efeknya semakin signifikan. Setelah dilakukan analisis dengan AMOS, hubungan
antar konstruk dapat dilihat pada Tabel 5.7 berikut ini.

Tabel 5.7
Hubungan antara 2 variabel konstruk
No

1
2
3
4
5
6
7

Variabel

Vol. UF  ADMA
Vol. UF  ET-1
Vol. UF  NO
Vol. UF  HID
NO  HID
ET-1  HID
ADMA  HID

Regression weight
Estimate
CR

-0,26
0,04
-1,23
0,18
-0,06
-0,02
-0,14

-1,35
0,70
-3,70
5,74
-7,08
-0,25
-0,97

Standardize
regression
weight

0,18
0,48
***
***
***
0,80
0,33

-0,13
0,07
-0,34
0,40
-0,49
0,02
-0,06

Dari Tabel 5.7 di atas dapat disimpulkan bahwa:


a) Terdapat hubungan yang signifikan antara volume UF dengan NO (CR 3,70; p <0,01).
b) Terdapat hubungan yang signifikan antara volume UF dengan HID (CR
5,74; p <0,01).
c) Terdapat hubungan yang signifikan antara NO dengan HID (CR -7,08; p
<0,01).

75

d) Tidak ada hubungan yang signifikan antara volume UF dengan ADMA,


antara volume UF dengan ET-1, antara ET-1 dengan HID, antara ADMA
dengan HID.

Untuk melihat seberapa erat hubungan antar konstruk, dapat dilihat pada
nilai Standardized regression weight. Dari analisis didapatkan bahwa faktor
loading NO terhadap HID = 0,5. Hal ini berarti bahwa NO dapat menjelaskan
kejadian HID. Ada korelasi yang erat antara NO dengan HID. Faktor loading
volume UF terhadap NO serta faktor loading volume UF terhadap HID masingmasing 0,3 dan 0,4 berurutan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang cukup erat antara volume UF dengan NO serta volume UF dengan HID.
Tabel 5.8 di bawah ini menunjukkan besarnya hubungan antar variabel konstruk
(ADMA, NO, ET-1 dan UF) dengan HID sebagai variabel tergantung.
Tabel 5.8
Hubungan antar variabel konstruk dengan HID sebagai variabel tergantung
NO  HID

ET-1  HID

ADMA  HID

UF  HID

Efek Total

-0,05

-0,02

-0,12

0,24

Efek langsung

-0,05

-0,02

-0,12

0,16

Efek tidak
langsung

0,00

0,00

0,00

0,07

Efek

Dari Tabel 5.8 di atas terlihat bahwa volume UF mempunyai efek total
dan efek langsung yang paling kuat terhadap kejadian HID.

76

Tabel 5.9 di bawah ini menunjukkan menunjukkan besarnya hubungan


antara variabel konstruk UF sebagai variabel bebas dan ADMA, NO, ET-1sebagai
variabel tergantung.

Tabel 5.9
Hubungan antar variabel konstruk dengan UF sebagai variabel bebas
UF  NO

UF  ADMA

UF  ET-1

UF  HID

Efek total

-1,37

-0,03

0,06

0,24

Efek langsung

-1,37

-0,03

0,06

0,16

Efek tidak
langsung

0,00

0,00

0,00

0,07

Efek

Dari Tabel 5.9 di atas terlihat bahwa efek total dan efek langsung yang
paling kuat adalah efek volume UF terhadap NO, diikuti dengan efek volume UF
terhadap HID.
Dari Gambar 5.2 dan Tabel 5.9 di atas terlihat bahwa terdapat hubungan
langsung yang signifikan dan erat antara volume UF dengan HID (CR 5,74; p
<0,01, efek langsung 16% dan efek total 24%). Terdapat hubungan yang
signifikan antara

volume UF dengan NO (CR -3,70; p<0,01, efek langsung

137%). Terdapat hubungan langsung antara NO terhadap HID (CR -7,08; p<0,01,
efek langsung 5%).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UF dan NO mempunyai efek
yang signifikan terhadap HID, NO mempunyai efek yang paling signifikan
terhadap HID (CR -7,08), dibandingkan dengan UF (CR 5,74). Sementara itu UF
juga mempunyai efek yang signifikan terhadap NO (CR -3,70). Jadi dari gambar

77

tersebut pula dapat dilihat hubungan tidak langsung antara volume UF dengan
HID melalui perubahan kadar NO serum.

78

BAB VI
PEMBAHASAN

Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai


pada pasien yang menjalani HD reguler. Pada penelitian ini ditemukan hampir
sepertiga pasien yang menjalani HD reguler mengalami HID. Mekanisme
terjadinya HID sampai sekarang belum jelas, sehingga menyulitkan dalam
penatalaksanaan HID dan selanjutnya menyebabkan HD menjadi tidak adekuat
serta akhirnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Penelitian yang dilakukan
oleh Inrig et al.,

menemukan bahwa pada pasien dengan HD reguler yang

mengalami HID terdapat disfungsi endotel (Inrig et al., 2011). Penelitian yang
kami lakukan mendukung penemuan tersebut yaitu terbukti adanya hubungan
antara penurunan kadar NO serum dengan kejadian HID. Penurunan NO serum
menunjukkan keterlibatan disfungsi endotel dalam kejadian HID. Temuan baru
dari penelitian ini adalah terbukti adanya hubungan antara UF yang berlebihan
saat HD dengan penurunan kadar NO dan kejadian HID. Pada penelitian ini juga
didapatkan hubungan langsung antara volume UF dan HID, penurunan kadar NO
dengan HID serta hubungan tidak langsung antara volume UF dengan HID
melalui penurunan kadar NO.

6.1 Normalitas Data


Data karakteristik variabel pada populasi penelitian ini meliputi : NO,
ADMA, ET-1, dan UF sebagai variabel bebas. Variabel tersebut telah diuji
normalitasnya dengan Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov pada tingkat

78

79

kemaknaan = 0,05. Hasil pengujian variabel ADMA pre dan post HD, NO pre
HD, UF berdistribusi normal oleh karena p>0,05. Sedangkan kadar NO post HD,
ET-1 pre dan post HD tidak berdistribusi normal karena nilai p<0,05.

6.2 Karakteristik pasien dengan HID


Pada penelitian ini karakteristik subjek yang mengalami HID tidak jauh
berbeda dengan kelompok non HID, tetapi pada kelompok HID didapatkan BB
kering pasien lebih rendah daripada kontrol. Penelitian pada tahun 1995
mendapatkan bahwa pasien dengan HD reguler yang mengalami peningkatan
tekanan darah saat UF umumnya pasien dengan overhidrasi dan dilatasi jantung
(Cirit et al., 1995). Pada penelitian kohort yang dilakukan oleh Inrig tahun 2009,
didapatkan bahwa pada pasien yang mengalami HID memiliki BB kering yang
lebih rendah, peningkatan BB interdialitik lebih rendah, serum albumin, phospor
lebih rendah daripada pasien yang tidak mengalami HID (Inrig et al., 2009). Tidak
terdapat perbedaan pemakaian antihipertensi ace inhibitor, CCB, clonidine dan
ARB pada kedua kelompok. Pada penelitian ini kami dapatkan pada kelompok
kontrol lebih banyak yang memakai obat betabloker dibandingkan dengan
kelompok HID. Pada kedua kelompok ini obat betabloker yang digunakan adalah
bisoprolol. Bisoprolol merupakan obat yang sebagian besar tidak terdialisis,
sehingga pada pasien yang memakai obat ini tekanan darah saat HD lebih
terkontrol. Pemakaian obat ini dapat sebagai pilihan terapi pada pasien yang
mengalami HID.

80

6.3 Prevalensi pasien HID


Proporsi dari kejadian HID pada pasien dengan HD reguler tidak diketahui
dengan pasti (Rubinger et al., 2012). Penelitian-penelitian sebelumnya
melaporkan dalam jumlah yang bervariasi. Belakangan ini proporsi kejadian HID
cenderung meningkat. Pada penelitian ini ditemukan kejadian HID sebesar 32,1%.
Pada penelitian lain dilaporkan kejadian HID Sekitar 5-15% dari pasien yang
menjalani HD reguler. Pada penelitian kohort yang dilakukan pada 1748 pasien
HD dimana HID didefinisikan bila terdapat peningkatan TDS post dialisis > 10
mmHg dan dilakukan pengamatan pada 3 sesi HD berturutan, didapatkan 12,2%
pasien HD mengalami HID (Inrig et al., 2009). Penelitian kohort retrospektif
terhadap 22.955 tindakan HD didapatkan prevalensi HID sebesar 21,3 per 100
tindakan, dengan median prosentase sebesar 17,8% (Van Buren et al., 2012).
Pada penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2012, Rubinger et al., melaporkan
kejadian HID

yang tinggi, yaitu sebesar 52% (57/108). Pada penelitian ini

definisi HID adalah bila terjadi peningkatan TDS post HD sebesar 10 mmHg
atau hipertensi yang resisten terhadap UF yang terjadi setelah HD (Rubinger et
al., 2012). Prevalensi yang berbeda-beda ini mungkin disebabkan karena
perbedaan metode pengamatan dan perbedaan definisi HID yang dipakai. Salah
satu kesulitan mendefinisikan HID adalah karena sampai saat ini belum ada target
tekanan darah saat HD yang pasti,
ahli (Levin et al., 2012).

masalah ini masih menjadi perdebatan para

81

6.4 Perubahan kadar NO pada HD


Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar NO pre HD pada kelompok
HID lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Post HD terjadi penurunan NO pada
kedua kelompok. Pada kelompok HID didapatkan penurunan NO yang lebih
banyak daripada kelompok kontrol. Hasil ini menyerupai hasil yang didapatkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Chou et al., 2006 didapatkan kadar NO yang
jauh lebih tinggi yaitu pada kelompok yang prone hipertensi. Post HD juga
didapatkan penurunan NO pada kedua kelompok. Pada penelitian ini juga
didapatkan penurunan NO yang jauh lebih besar pada kelompok hipertensi
dibandingkan kelompok kontrol (Chou et al., 2006).

6.5 Hubungan antara kadar NO serum dan HID


Nitric oxide adalah antagonis natural dari katekolamin. Nitric oxide disintesis
oleh enzim Nitric Oxide

Synthase (NOS), dikeluarkan oleh sel endotel ke

sirkulasi. Pada penelitian in vitro didapatkan bahwa aktivitas NOS meningkat saat
darah diekspose pada membran dialiser (Fliser et al., 2003).
Dengan ditemukannya hubungan antara kadar NO serum dengan kejadian
HID, penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya. Penelitian oleh Chou
et al., membandingkan antara 30 pasien dengan HID dan 30 orang kontrol, pada
pasien yang prone terhadap hipertensi terdapat peningkatan resistensi pembuluh
darah sistemik dan penurunan signifikan NO relatif terhadap ET-1 pada saat akhir
HD (Chou et al., 2006).
Nitric oxide dibentuk di berbagai lokasi, produksi lokal menentukan
aktivitas fisiologisnya. Pada PGK terjadi disfungsi endotel yang ditandai dengan

82

menurunnya produksi NO oleh endotel. Penelitian ini juga mendukung teori


bahwa salah satu mekanisme terjadinya HID adalah karena adanya disfungsi
endotel yang salah satunya ditandai dengan penurunan kadar serum NO.
Penurunan kadar serum NO pada pasien saat HID, dan adanya hubungan
antara NO dan kejadian HID menunjukkan peranan disfungsi endotel dalam
patogenesis HID. Penurunan NO menyebabkan terjadi gangguan vasodelatasi otot
polos, sehingga terjadi vasokonstriksi yang berperan dalam peningkatan tekanan
darah saat HD.

6.6 Perubahan kadar ADMA serum saat HD


Pada penelitian ini didapatkan rata-rata kadar ADMA predialisis lebih
tinggi pada kelompok HID dibandingkan kelompok kontrol. Post HD terjadi
penurunan ADMA pada kelompok HID, sedangkan pada kelompok kontrol justru
terjadi peningkatan ADMA.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Young et al., terhadap pasien CKD
stadium 3 dan 4 didapatkan kadar ADMA 0.70 0.25 mol/L (Young et al.,
2009). Hasil ini sedikit lebih tinggi daripada kadar ADMA pada pasien dengan
HD reguler yang kami dapatkan (0,330,22 M/L). Pada penelitian terhadap 227
pasien CKD didapatkan kadar ADMA serum 0.46 0.12 mol/L (Fliser et al.,
2004).
Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian oleh Raj et al., didapatkan
kadar ADMA pada pasien dengan HD reguler jauh lebih tinggi daripada pada
penelitian ini yaitu 105.3 25.2 M/L. Tidak jelas mengapa pada penelitian ini
didapatkan kadar ADMA serum pasien dengan HD reguler sangat tinggi.

83

6.7 Hubungan antara kadar ADMA dan HID


Pada penelitian ini tidak terbukti adanya hubungan yang signifikan antara
ADMA dan kejadian HID. Pengaruh ini tetap tidak signifikan setelah dilakukan
adjusted terhadap jumlah obat antihipertensi yang di minum dan perubahan kadar
Na dan Ca saat HD.
Penelitian epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara ADMA
dan hipertensi, hiperkolesterol, dan DM (Abedini et al., 2010). Asymmetric
Dymethylarginine adalah inhibitor kompetitif endogen dari NOS, menyebabkan
meningkatnya resistensi perifer dan meningkatnya tekanan darah. Pada penelitian
ini tidak terbukti adanya hubungan antara ADMA dan kejadian HID, bahkan
terjadi hal yang sebaliknya yaitu kecenderungan setiap peningkatan ADMA
menyebabkan penurunan kejadian HID, walaupun hubungan ini tidak signifikan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Raj et al., terhadap 27 pasien dengan
HD reguler, dievaluasi peranan NO dan ADMA terhadap variasi tekanan darah
intradialisis. Pada penelitian ini didapatkan kadar NO tidak signifikan berkorelasi
dengan perubahan MAP, dan kadar ADMA tidak berbeda pada kelompok pasien
dengan hipotensi intradialisis maupun hipertensi intradialisis (Raj et al., 2002).
Pada penelitian ini ADMA tidak terbukti berperan terhadap kejadian HID
mungkin disebabkan oleh kadar ADMA yang ditemukan pada penelitian ini lebih
rendah daripada penelitian-penelitian sebelumnya. Rerata ADMA pada penelitian
ini adalah 0,330,25 M/L sedangkan Raj et al menemukan kadar ADMA adalah
105,325,2 M/L.

84

6.8 Perubahan kadar ET-1 pada HD


Pada penelitian ini didapatkan rata-rata kadar ET-1 predialisis maupun
post HD lebih rendah pada kelompok HID dibandingkan kelompok kontrol. Post
HD terjadi peningkatan kadar serum ET-1 yang hampir sama pada kelompok HID
dan non HID. Hasil ini sedikit berbeda dengan yang didapatkan pada penelitian
sebelumnya. Pada saat HD berakhir pada penderita HID terjadi peningkatan
signifikan dari kadar ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 44 pasien HD reguler ditemukan
bahwa kadar ET-1 pada pasien HD lebih tinggi daripada kontrol orang sehat. Pada
individu dengan HID terjadi peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah
HD (Shafei et al., 2008). Hasil ini berbeda dengan yang kami dapatkan dimana
kadar ET-1 baik pre maupun post HD pada semua kelompok jauh lebih rendah.

6.9 Hubungan antara kadar ET-1 dan HID


Pada penelitian yang kami lakukan terjadi peningkatan kadar ET-1 post
HD pada kedua kelompok, dan tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara
kadar ET-1 dan kejadian HID. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Chou et al., didapatkan kadar ET-1 pre maupun post HD lebih tinggi pada
kelompok yang prone terhadap hipertensi (Chou et al., 2006). Penelitian lain
mendapatkan kadar ET-1 menurun secara signifikan pada kelompok hipotensi
intradialisis, dan meningkat signifikant pada kelompok HID (Raj et al., 2002).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Shafei et al., 2008 didapatkan peningkatan
yang signifikan kadar ET-1 post HD pada kelompok pasien dengan rebound
hipertensi saat HD, disimpulkan bahwa perubahan ET-1 mungkin terlibat pada

85

pathogenesis dari rebound hipertensi dan hipotensi saat HD (Shafei et al., 2008).
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang kami lakukan yaitu tidak didapatkan
adanya hubungan yang signifikan antara perubahan kadar serum

ET-1 dan

kejadian HID. Hal ini mungkin disebabkan karena kadar ET-1 pre maupun post
HD kelompok HID justru lebih rendah daripada kelompok kontrol.

6.10 Hubungan antara volume UF dengan kadar ET-1, NO, dan ADMA
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mencari hubungan
antara volume UF saat HD dengan perubahan kadar ET-1, NO dan ADMA. Pada
penelitian ini dengan analisis jalur didapatkan hubungan yang signifikan antara
volume UF dengan NO (nilai p <0,01) dan tidak ada hubungan antara volume UF
dengan ADMA dan ET-1. Pada saat dilakukan UF yang berlebih terjadi
penurunan NO sehingga mungkin hal ini menyebabkan tidak terjadi respon
vasodelatasi yang diperantarai oleh NO, sehingga hal ini mungkin dapat
menjelaskan sebagian dari terjadinya HID melalui keterlibatan endotel. Penemuan
ini mendukung teori yang menyatakan disfungsi endotel sebagai salah satu
etiologi dari HID. Belum ada penelitian yang menjelaskan bagaimana mekanisme
UF yang berlebih menyebabkan penurunan NO.

6.11 Hubungan antara volume UF dengan HID


Volume UF selama HD 1 sampai HD 6 pada kelompok HID lebih besar
daripada dan non HID. Pada kelompok HID saat terjadi peningkatan TDS post
HD pada hampir semua sesi HD. Sedangkan pada kelompok non HID pada
sebagian besar sesi HD terjadi penurunan TDS post HD, yaitu pada sesi HD (HD

86

3,4,5,dan 6), sedangkan pada HD 1 dan HD 2 terjadi sedikit peningkatan TDS


post HD. Umumnya dengan ultrafiltrasi terjadi penurunan tekanan darah, pada
sebagian kasus justru terjadi peningkatan tekanan darah. Penelitian ini merupakan
penelitian pertama yang mencari hubungan antara volume UF dan UF yang
berlebih terhadap kejadian HID.
Pada penelitian ini didapatkan volume UF dan UF yang berlebih memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kejadian HID.

Saat dilakukan UF yang

berlebih, terjadi penarikan cairan dalam jumlah yang banyak dari kompartemen
darah, hal ini mungkin menyebabkan terjadi aktivasi simpatis yang menyebabkan
kenaikan tekanan darah saat HD.
Rubinger et al., pada penelitiannya terhadap 108 pasien dengan HD reguler
mendapatkan terjadi overaktivitas simpatis pada pasien yang mengalami HID.
Overaktivitas simpatis merupakan mekanisme yang penting yang menjelaskan
kejadian HID. Pencetus dari terjadinya peningkatan aktivitas simpatis pada pasien
dengan HD masih perlu di teliti lebih jauh (Rubinger et al., 2012).
Penelitian kohort retrospektif terhadap 22195 tindakan HD pada JanuariAgustus 2010, menghubungkan HID (didefinisikan sebagai peningkatan TDS pre
HD ke post HD sebesar 10 mmHg) dengan ultrafiltration rate yaitu volume UF
dibagi dengan lama sesi HD (menit) mendapatkan pada pasien dengan HID
mendapatkan kecepatan filtrasi yang lebih rendah daripada yang tanpa HID (10,4
vs 12,2 ml/menit, p 0,02) (Van Buren et al., 2012).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kovacik et al., terhadap 23 pasien
dengan HD reguler mendapatkan volume UF berhubungan kuat dengan tekanan

87

nadi postdialisis (Kovacik et al., 2003). Belum diteliti mengenai hubungan antara
volume UF dengan kejadian HID.

6.12

Analisis Jalur (Path analysis)


Untuk melihat hubungan kausal efek dari perubahan kadar NO, ET-1 dan

ADMA serta volume UF yang dilakukan terhadap kejadian HID, dibuat model
struktural dan dianalisis dengan analisis jalur menggunakan program AMOS.
Variabel eksogen atau independent adalah: NO, ADMA dan ET-1 sedangkan
variabel endogen atau dependent adalah HID. Setelah analisis didapatkan
hubungan yang signifikan antara volume UF saat HD dengan kadar serum NO,
antara volume UF saat HD dengan HID, dan antara kadar serum NO dengan
HID. Tidak ada hubungan antara, ET-1 dengan HID, antara ADMA dengan HID,
volume UF dengan ADMA, dan volume UF dengan ET-1.
Setelah dilakukan analisis keeratan hubungan (Standardized Regression
weight) didapatkan ada korelasi yang erat antara NO dengan HID, dan terdapat
hubungan yang cukup erat antara volume UF dengan NO serta volume UF dengan
HID. Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa volume UF saat HD memiliki
efek total dan efek langsung yang paling kuat terhadap kejadian HID.

Juga

didapatkan bahwa volume UF memiliki efek total dan langsung paling kuat
terhadap kadar serum NO dan kejadian HID berturutan. Sehingga dengan analisis
jalur dapat disimpulkan hubungan antara NO, ADMA, ET-1, UF dan HID sebagai
berikut: bahwa terdapat hubungan langsung yang signifikan dan erat antara
volume UF saat HD dengan kejadian HID. Terdapat hubungan yang signifikan
antara

volume UF saat HD

dengan kadar serum NO. Terdapat hubungan

88

langsung antara kadar serum NO dengan kejadian HID dan terdapat hubungan
tidak langsung antara volume UF saat HD

dengan kejadian HID melalui

perubahan kadar serum NO.


Penelitian sebelumnya meneliti mengenai keterlibatan endotel dalam
patofisiologi terjadinya HID. Penelitian ini menganalisis fungsi endotel pada
pasien dengan HID didapatkan penurunan sel progenitor endoter dan fase dilatasi
dari arteri brakial lebih rendah dibandingkan dengan kontrol , hal ini menegaskan
bahwa disfungsi endotel terjadi pada pasien HID (Inrig et al., 2011)
Pada penelitian yang kami lakukan mendapatkan keterlibatan salah satu
marker disfungsi endotel yaitu NO, dalam terjadinya HID. Penemuan ini
mendukung penelitian sebelumnya mengenai keterlibatan disfungsi endotel dalam
terjadinya HID. Dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan penurunan NO adalah UF yang berlebihan saat hemodialisis.
Dengan path analysis ini dapat dijelaskan patogenesis terjadinya HID
yaitu melalui perubahan kadar NO dan UF yang berlebihan saat HD.
Dari temuan ini sangat bermanfaat bagi penderita yang sering mengalami
HID untuk penentuan UF yang tepat saat HD sehingga dapat mencegah kejadian
HID. Disarankan pula untuk pasien-pasien yang overload tidak dilakukan
penurunan atau penarikan cairan yang berlebihan dalam satu sesi HD, disarankan
penurunan BB bertahap dalam beberapa kali HD. Dengan menurunnya kejadian
HID nantinya akan meningkatkan adekuasi HD dan selanjutnya akan menurunkan
mortalitas dan morbiditas pasien yang menjalani HD reguler.

89

6.13

Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan di ruang hemodialisis Divisi Ginjal dan Hipertensi,


Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSUP Sanglah Denpasar, dengan merekrut
penderita secara konsekutif, bukan secara random.
2. Penentuan berat kering penderita adalah secara klinis, tidak menggunakan
alat yang dapat mengukur volume cairan dalam tubuh.
3. Pengukuran tekanan darah penderita adalah secara manual, bukan
automatik.
4. Penentuan kelompok kasus dan kontrol hanya berdasarkan pengamatan
hanya 6 kali HD berturut-turut.

6.14

Kebaruan Penelitian
Dari penelitian yang telah kami lakukan, maka dapat diuraikan bahwa

kebaruan dari penelitian ini adalah:


1. Ultrafiltrasi mempunyai peranan terhadap kejadian HID.
2. Peran itu mungkin diperantarai oleh penurunan kadar NO serum.
Mekanisme HID ini belum pernah didapatkan pada penelitian sebelumnya.

90

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Ultrafiltrasi yang berlebih saat HD berperan terhadap kejadian HID, ini
dibuktikan dengan adanya hubungan yang signifikan antara UF yang
berlebih dengan kejadian HID.
2. Peranan UF yang berlebih terhadap kejadian HID diperantarai oleh
penurunan kadar NO serum saat HD. Hal ini terbukti dari adanya
hubungan langsung antara kadar NO serum dengan kejadian HID dan
hubungan tidak langsung antara volume UF saat HD dengan kejadian HID
melalui penurunan kadar NO.
3. Perubahan kadar ADMA dan ET-1 tidak berperan dalam kejadian HID.
Hal ini diperkirakan disebabkan karena rerata kadar ADMA dan ET-1
pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian-penelitian sebelumnya.

7.2 Saran
Dengan keterbatasan penelitian yang dilakukan, maka sebagai penelitian
lanjutan dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan antara HID dan disfungsi
endotel melalui pemeriksaan marker disfungsi endotel yang lebih akurat.
2. Usaha-usaha untuk menekan HID melalui penentuan UF yang tepat saat HD
dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.

90

91

DAFTAR PUSTAKA
Abedini, S., Meinitzer, A., Holme, I., Marz, M., Weihrauch, G., Fellstrm, B.,
Jardine, A., and Holdaas, H. 2010. Asymmetrical Dimethylarginine is
Associated with Renal and Cardiovascular Outcomes and All-cause Mortality
in Renal Transplant Recipients. Kid Int, 77: 4450.
Aird, W.C., 2007. Phenotypic Heterogeneity of the Endothelium : I. Structure,
Function, and Mechanisms. Circ Res,100:158-73.
Agarwal, R., and Light, R.P. 2010. Intradialytic Hypertension is a Marker of
Volume Excess. Nephrol Dial Transplant, 25(10): 335561.
Agarwal, R., and Weir, M.R. 2010. Dry-Weight: A Concept Revisyed in an Effort
to Avoid Medication-Directed Approaches for Blood Pressure Control in
Hemodialysis Patients. Clin J am Soc Nephrol, 5:1255-60.
Agarwal, R., Metiku, T., Tegegne, G., Light, R.P., Bunaye, Z., Bekele, D.M., and
Kelley, K. 2008. Diagnosing Hypertension by Intradialytic Blood Pressure
Recordings. Clin J Am Soc Nephrol, 3: 136472.
Agustriadi, O. 2009. Hubungan antara Perubahan Volume Darah Relatif dan
Episode Hipotensi Intradialitik Selama Hemodialisis pada Gagal Ginjal
Kronik (karya akhir). Denpasar: Universitas Udayana.
Amerling, R.C.G., Dubrow, A., Levin, N.W., Psheroff, R., 1995. Complications
During Hemodialysis. Stamford, CT: Appleton and Lange.
Balk, R.A., Casey, L.C. 2000. Sepsis and Septic Shock. Critical Care Clinics.
Bassenge, E., Zanzinger, J. 1992. Nitrates in different vascular beds, nitrate
tolerance, and interactions with endothelial function. Am J Cardiol; 70:23B9B.
Baylis, C. 2006. Arginine, arginine analogs and nitric oxide production in chronic
kidney disease, Nature Clinical Practice. Nephrology;2(4): 20920.
Baylis, C. 2008. Nitric Oxide Deficiency in Chronic Kidney Disease. Am J
Physiol Renal Physiol, 294:F1-F9.
Beiber, S.D. dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schriers Disease of the
Kidney. 9th edition. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C.,
Schrier, R.W. editors. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia:2473505.
Bussemarker, E., Passauer, J., Reimann, D., Schulze, B., Reichel, W., and Gross,
P. 2002. The Vascular Endothelin System is not Overactive in Normotensive
Hemodialysis Patients. Kid Int, 62: 940-48.
Chazot, C., and Jean, G. 2010. Intradialytic Hypertension: It Is Time to Act.
Nephron Clin Pract;115:c18288.

92

Chou, K.J., Lee, P.T., Chen, C.L., Chiou, C.W., Hsu, C.Y., Chung, H.M., Liu,
C.P., and Fang, H.C. 2006. Physiological changes during hemodialysis in
patients with intradialysis hypertension. Kid Int;69: 183338.
Cirit, M., Akicek, F., Terzioglu, E., Soydas, C., Ok, E., Ozbasli, C.F., Basci, A.,
Mees, D. 1995. Paradoxical rise in blood pressure during ultrafiltration in
dialysis patients. Nephrol Dial Transplant;10:1417-20.
Corretti, M.C., Anderson, T.J., Benjamin, E.T. 2002. Guidelines for the
ultrasound assessment of endothelial-dependent flow-mediated vasodilation
of the brachial artery: a report of the International Brachial Artery Reactivity
Task Force. J Am Coll Cardiol;39:257-65.
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysis. 4th ed.
Phildelphia. Lipincott William & Wilkins.
Dhaun, N., Goddard, J., Webb, D.J. 2006. The Endothelin System and Its
Antagonis in Chronic Kidney Disease. J Am Soc Nephrol;17:943-55
Dhaun, N., Goddard, J., Kohan, D.E., Pollock, D.M., Schiffrin, E.L., Webb, D.J.
2008. Role of Endothelin-1 in Clinical Hypertension : 20 Years On.
Hypertension; 52:452-59.
Ding, H., Triggle, C.R. 2005. Endothelial cell dysfunction and the vascular
complications associated with type 2 diabetes: assessing the health of the
ium. Vasc Health Risk Manag;1:55-71.
Felner, S.K. 1993. Intradialytic Hypertension: II. Semin Dial;6:371-73.
Fliser, D., Kielstein, J.T., Haller. H., BodeBoGer, S.M. 2003. Asymmetric
dimethylarginine: A cardiovascular risk factor in renal disease? Kid
Int;63(84):. S3740.
Fliser, D., Kronenberg, F., Kielstein, J.T., Morath, C., BodeBoger, S.M.,
Haller,H., and Ritz, E. 2004. Asymmetric Dimethylarginine and Progression
of Chronic Kidney Disease: The Mild to Moderate Kidney Disease Study. J
Am Soc Nephrol 16: 245661.
Fliser, D. 2011. The dysfunctional endothelium in CKD and in cardiovascular
disease: mapping the origin(s) of cardiovascular problems in CKD and of
kidney disease in cardiovascular conditions for a research agenda, Kid Int
Supplements;1: 69
Flythe, J.E., Kimmel, S.E., and Brunelli, S.M. 2011. Rapid fluid removal during
dialysis is associated with cardiovascular morbidity and mortality. Kid
Int;79:25057.
Gunal, A.I., Karaca, I., Celiker, H., Iikay. E., and Duman, S. 2002. Paradoxical
rise in blood pressure during ultrafiltration is caused by increased cardiac
output. J Nephrol.15, 42-7.
Guzik, T.J., dan Harrison, D.G. 2006. Vascular NADPH oxidases as drug targets
for novel antioxidant strategies. Drug Discovery Today; 11 (11-12): 52433.
Hansson, G.K. Inflammation, atherosclerosis, and coronary artery disease. N Engl
J Med 2005; 352: 168595

93

Hwang, S.J., Ballantyne, C.M., Sharrett, A.R.1997. Circulating adhesion


molecules VCAM-1, ICAM-1, and E-selectin in carotid atherosclerosis and
incident coronary heart disease cases: the Atherosclerosis Risk in
Communities (ARIC) study. Circulation;96:4219-25.
Indonesian Renal Registry (IRR), 2013. 5th Report of Indonesian Renal Registry
2011. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI).
Inrig, J.K., Oddone, E.Z., Hasselblad, V., Gillespie, B., Patel, U.D., Reddan, D.,
Toto, R., Himmelfarb, J., Winchester, J.F., Stivelman, J., Lindsay, R.M., and
Szczech, L.A. 2007. Association of intradialytic blood pressure changes with
hospitalization and mortality rates in prevalent ESRD patients. Kid Int : 71;
45461.
Inrig, J.K., Patel, U.D., Toto, R.D., Szczech, L.A. 2009. AssLeeociation of Blood
Pressure Increases During Hemodialysis With 2-Year Mortality in Incident
Hemodialysis Patients: A Secondary Analysis of the Dialysis Morbidity and
Mortality Wave 2 Study. Am J Kidney Dis, November ; 54(5): 88190.
Inrig JK. 2010a. Intradialytic Hypertension: A Less-Recognized Cardiovascular
Complication of Hemodialysis. Am J Kidney Disease;55:580-89.
Inrig, JK. 2010b. Antihypertensive agents in hemodialysis patients; a current
perspective. Semin Dial;23:290-97.
Inrig, J.K., Buren, P.V., Kim, C.,Vongpatanasin, W., Povsic, T.J., Toto, R.D.,
2011. Intradialytic Hypertension and its Association with Endothelial Cell
Dysfunction. Clin J Am Soc Nephrol (8): 2016-24.
K/DOQI: Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive
Agent in Chronic Kidney Disease. In Guideline 2 In: Evaluation of Patient
with CKD or Hypertension. CKD 2006: 1-18.
KDIGO, 2013. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Kid Int Supplements (3); 18-27.
Kielstein, J.T., dan Zoccali, C. 2005. Asymmetric dimethylarginine: a
cardiovascular risk factor and a uremic toxin coming of age?. Am J Kid Dis;
46(2): 186202.
Krapf, R., Hulter, H.N. 2009. Arterial hypertension induced by erythropoietin and
erythropoiesis-stimulating agents (ESA). Clin J Am Soc Nephrol.
Feb;4(2):470-80
Kohan, D.E. 2010. Endothelin, Hypertension, and Chronic Kidney Disease: New
Insight. Curr Opin Nephrol Hypertens; 19(2):134-39.
Kovacic, L., Roguljic, V., Kovacic, B., Bacic, T., Bosnjak. 2003. Ultrafiltration
Volume is Associated with Changes in Different Blood Pressure Clinical
Parameters in Chronically Hemodialyzed Patients. The Internet Journal of
Internal Medicine. 3; 2:10.5580/2f3
Landry, D.W., and Oliver, J.A. 2006. Blood pressure instability during
hemodialysis. Kid Int: 69, 171011.

94

Levin NW, Kotanko P, Eckardt KU, et al. 2012. Blood pressure in chronic kidney
disease stage 5D-report from a Kidney Disease Improving Global Outcomes
controversies conference. Kidney Int; (77)273-84.
Locatelli, F., Cavalli, A., and Tucci, B. 2010. The growing problem of
intradialytic Hypertension. Nephrol; 6: 418.
Madiyono, B. 2010. In: Sastroasmoro S dan Ismael S., editors. Dasar-dasar
Metodologi Penelitian Klinis. 3rd. Ed. Sagung Seto.p 302-31.
Martens, C.R., dan Edwards, D.O. 2011. Peripheral Vascu;ar Dysfunction in
Chronic Kidney Disease. Cardiology Research and Practice;2011:1-9.
McGregor, D.O., Buttimore, A.L., Lynn, K.L., Yandle, T., and Nicholls, M.G.,
2003. Effects of long and short hemodialysis on endothelial function: A shortterm study. Kid Int(63); 70971.
McIntyre, C.W. 2009. Effects of hemodialysis on cardiac function. Kid Int : 76,
37175.
Mees, D. 1996. Rise in blood pressure during hemodialysis-ultrafiltration: a
paradoxical phenomenon? Int J Artif Organs;19:569-70.
Morris, S.T., McMurray, J., Spiers, A., and Jardine, A.G. 2001. Impaired
endothelial function in isolated human uremic resistance arteries. Kid Int; 60:
107782.
Nissenson, A.R., and Fine, R.N. 2008. Handbook of Dialysis Therapy. 4th ed.
Saunders Elsevier. Philadelphia.
Oberg, B.P., McMenamin, E, Lucas, F.L. 2004. Increased prevalence of oxidant
stress and inflammation in patients with moderate to severe chronic kidney
disease. Kid Int;. 65(3): 100916.
Peixoto AJ. 2007. Can diagnostic marker predict blood pressure response in
hypertensive dialysis patients? Semin Dial;20:411-15.
Pradhan, A.D., Manson, J.E., Rifai, N. 2001. C-ractive protein, interleukin-6 and
risk to developing type 2 diabetes mellitus. JAMA;286:327-34.
Raj, D., Vincent, B., Simpson, K., Sato, E., Jones, K.L., Welbourne, T.C., Levi,
M.V., Blandon, P., Zager, P., and Robbins, R.A. 2002. Hemodynamic
changes during hemodialysis: Role of nitric oxide and endothelin. Kid Int;61:
697704.
Raka, W.I.G., dan Suwitra, K. 2011. Paradoxical post dialytic blood pressure
reaction and association with dialysis modality. Buku Proceeding The 5th
Scientific meeting on hypertension - InaSH 2011.
Rizzioli, E., Incasa, E., Gamberini, S., and Manfredini, R. 2009. Management of
intradialytic hypertension: old problem, old drug? Intern Emerg Med; 4:271
72
Rubinger, D., Backenroth, R., Sapoznikov, D. 2012. Sympathetic Activation and
Baroreflex Fuction during Intradialytic Hypertensive Episodes. PloS ONE;
7(5): 1-12

95

Sarkar, SR., Kaitwatcharachai, C., Levin, N.W. 2005. Complications during


hemodialysis. McGraw-Hill Professional.
Shafei, E.M., El-Nagar, G.F., Selim, M.F., Sorogy. 2008. Is There a role for
Endothelin-1 in the hemodynamic changes during hemodialysis? Clin Exp.
Nephrol. 12.370-5.
Sibal, L., Agarwal, S.C., Home, P.D. 2010. The role of asymmetric
dimethylarginine (ADMA) in endothelial dysfunction and cardiovascular
disease . C urr Cardiol Rev; 6 : 82 90.
Spranger, J., Kore, A., Mohlig, M. Inflammatory cytokines and the risk to develop
type 2 diabetes: results of the the prospective population-based European
Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC)-Postdam Study.
Diabetes;52:812-7.
Suhardjono. 2006. Proteinuria Pada Penyakit Ginjal Kronik: Mekanisme dan
Pengelolaannya. Peranan Stres Oksidatif dan Pengendalian Faktor Risiko
pada Progresi Penyakit Ginjal Kronik serta Hipertensi, JNHC 2006; 1-7.
Tatsuya, S., Tsubakihara, Y., Fujii, M., Imai, E. 2004. Hemodialysis-associated
hypotension as an independent risk factor for two-year mortality in
hemodialysis patients. Kidney Int; 66:121220.
United States Renal Data System (USRDS). 2011. Annual Data Report: Atlas of
Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease in the United States,
National Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Diseases, Bethesda, MD, 2011.
Van Buren, P.N., Kim ,C., Toto, R.D., Inrig, J.K. 2012. The Prevalance of
Persistent Intradialytic Hypertension in a Hemodialysis Population with
Extended Follow up. Int J Artif Organs. 2012;35(12):1031-8
Vervoort, G., Lutterman, J.A., Smits, P. 1999. Transcapillary escape rate of
albumin is increased and related to haemodynamic changes in normoalbuminuric type 1 diabetic patients. J Hypertens; 17(12):1911-6.
Weir, M.R., and Jones, H. 2010. Drug Therapy for Hypertension in Hemodialysis
Patients. US Nephrology:5(1):457
Xiao, S., Wagner, L., Schmidt, R.J., and Baylis, C. 2001. Circulating endothelial
nitric oxide synthase inhibitory factor in some patients with chronic renal
disease. Kid Int; 59: 146672.
Yilmaz, M.I., Saglam, M., Caglar, K. 2006. The determinants of endothelial
dysfunction in CKD: oxidative stress and asymmetric dimethylarginine. Am J
Kid Dis; 47(1):4250.
Young, J.M., Terrin, N., Wang, X., Greene., T., Beck., G.J., Kusek, J.W, Collins.,
A.J, Sarnak, M.J., and Menon, V. 2009. Asymmetric Dimethylarginine and
Mortality in Stages 3 to 4 Chronic Kidney Disease. Clin J Am Soc Nephrol;4:
111520.

96

Zhang, Q.L., and Rothenbacher, D. 2008. Prevalence of chronic kidney disease in


population-based studies: Systematic review. BMC Public Health; 8:117;113.

97

Lampiran 1. Persetujuan (Informed Consent)

PENJELASAN YANG DISAMPAIKAN KEPADA PENDERITA SEBELUM


MENANDATANGANI FORMULIR PERSETUJUAN IKUT SERTA
DALAM PENELITIAN

Pendahuluan
Persetujuan (Informed Consent) pada hakekatnya adalah untuk menghargai hak
individu untuk memperoleh penjelasan yang cukup dan tepat berkaitan dengan
penelitian yang akan dilaksanakans ebelum yang bersangkutan / calon peserta
penelitian membuat keputusan yang benar.
Informed consent seyogyanya mengandung hal-hal penting sebagai berikut:
1. Penjelasan rinci dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti
berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan.
2. Adanyan

jaminan

bahwa

penderita

mendapatkan

kebebasan

untuk

memutuskan apakah ikut serta aau menolak, oleh karena secara moral maupun
legal penderita memiliki hak untuk itu.

Penelitian ini tentang :

PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP


HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA
DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1,
ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE
Latar Belakang
Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari
fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik
(PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK).
Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, tahun 2005 diperkirakan
mengenai 2 juta orang, dan tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi 2,5 juta
orang.

Saat ini hampir setengah juta penderita GGK menjalani tindakan

hemodialisis (HD) untuk memperpanjang hidupnya (Nissenson dan Fine, 2008).

98

Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun


masih banyak

penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD.

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah


gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya
ultrafiltrasi (UF) atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi
pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler, namun sekitar 5-15% dari
pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi
intradialitik atau intradialytic hypertension /HID (Agarwal dan Weir, 2010;
Davenport et al., 2008).
Hipertensi intradialitik adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan
tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada
saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD (Chazot,
2010). Tekanan darah penderita bisa normal saat memulai HD, tetapi kemudian
meningkat sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan pada akhir HD. Bisa juga
terjadi pada saat memulai HD tekanan darah pasien sudah tinggi dan meningkat
pada saat HD hingga akhir dari HD. Peningkatan tekanan darah ini bisa berat
sampai terjadi krisis hipertensi. Frekuensi dari HID dilaporkan sekitar 10% pada
pasien HD. Pada penelitian kohort yang dilakukan pada pasien HD didapatkan
12,2% pasien HD mengalami HID. Episode HID mempengaruhi survival pasien,
mortalitas meningkat jika tekanan darah post HD meningkat yaitu sistolik 180
mmHg dan diastolik 90 mmHg (rr =1,96 dan 1,73 berturut-turut). Pada pasien
dengan peningkatan tekanan darah 10 mmHg saat HD didapatkan peningkatan
risiko rawat inap di rumah sakit dan kematian (Inrig et al., 2009).
Pada pasien dengan gagal jantung biasanya dengan tekanan darah yang
rendah, saat HD juga terjadi peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan
darah pada pasien ini tidak mencapai level hipertensi seperti pada pasien yang
tidak gagal jantung. Peningkatan tekanan darah ini juga meningkatkan risiko
kematian dengan peningkatan 10 mmHg saat HD, walaupun tekanan darah sistolik
pra HD 120 mmHg (Inrig et al., 2009).
Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini
belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID
seperti

aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena

99

diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan ultrafiltrasi (UF), overaktif dari


simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat
karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), fluid overload, peningkatan
cardiac output (COP), obat antihipertensi yang ditarik

saat HD dan

vasokonstriksi yang diinduksi oleh endothelin-1 (ET-1). Di antara berbagai faktor


tersebut yang paling umum diketahui sebagai penyebab HID adalah stimulasi
RAAS oleh hipovolemia yang disebabkan oleh UF yang berlebihan saat HD dan
variasi dari kadar elektrolit terutama kalsium dan kalium (Chazot, 2010).
Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah,
besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB)
penderita antar waktu HD dan target BB kering penderita yaitu BB di mana
penderita merasa nyaman, tidak ada sesak dan tidak ada tanda-tanda kelebihan
cairan. Pada penderita dengan HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar
waktu HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD
sekitar 2 liter. Tetapi umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi
2 kg malah sampai 5 kg. Ultrafiltrasi yang dilakukan sesuai dengan kenaikan BB
interdialitik, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari 2 kg. Pada HD
dengan excessive UF atau UF berlebih banyak timbul masalah baik gangguan
hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson dan Fine, 2008). Pada
saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang

kemudian merangsang aktivitas

RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot, 2010).


Asumsi yang berbeda dikemukan oleh Chou dkk yang melakukan penelitian
terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dan 30 orang kontrol, didapatkan
bahwa pada kelompok HID tidak didapatkan perubahan yang bermakna dari kadar
katekolamin, dan renin tetapi didapatkan peningkatan dari resistensi vaskular
sistemik dan penurunan kesimbangan rasio

nitric oxide

dan endothelin-1

(NO/ET-1) (Chou et al., 2006).


Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya
variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik
maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan
kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah nitric
oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA)

100

yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide synthase dan endothelin-1
(ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting
terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah
khususnya termasuk kejadian HID (Locatelli et al, 2010). Disfungsi endotel dapat
menyebabkan perubahan terhadap tekanan darah saat HD, baik hipotensi maupun
hipertensi intradialitik Perubahan ini

berhubungan dengan keterkaitan antara

endotel, sistem saraf simpatis dan kontrol dari resistensi vaskular perifer (Raj et
al., 2002). Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 saat HD antara
kontrol dan penderita yang prone terhadap hipertensi. Pada saat HD berakhir
pada penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dan penurunan
signifikan pada rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006).
Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pada individu dengan HID terjadi
peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah HD (Shafey et al., 2008).
Pada penelitian Cohort case control 25 pasien HD reguler yang mengalami
episode HID, didapatkan hubungan antara HID dan disfungsi endotel. Pada
penelitian ini didapatkan bahwa disfungsi endotel dapat menjelaskan sebagian
penyebab kejadian HID (Inrig et al., 2011).
Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara
disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi
endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Banyak hal
yang belum dapat diterangkan baik patofisiologi, mekanisme dan strategi terapi
yang tepat pada HID. Dari uraian di atas kami ingin mencari hubungan antara UF
yang berlebih saat HD dengan terjadinya episode HID melalui keterlibatan
disfungsi endotel. Kami ingin mengetahui hubungan antara UF yang berlebih saat
HD dengan disfungsi endotel pada pasien yang mengalami
endotel

HID. Disfungsi

ditandai dengan peningkatan konsentrasi ET-1 dan ADMA serta

penurunan NO serum.

Rumusan Masalah :
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat
berikut yaitu:

dirumuskan masalah sebagai

101

1. Apakah peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan


meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?
2. Apakah perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?
3. Apakah penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?
4. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko
kejadian HID pada pasien dengan HD regular?
5. Apakah UF berlebih

saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum ?


6. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko
kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum?
7. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko
kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum?

Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah : Untuk mengetahui peranan UF dalam
patogenesis terjadinya HID

melalui disfungsi endotel (ditandai dengan

menurunnya NO atau meningkatnya ET-1 atau meningkatnya ADMA) pada


pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis reguler.

Tujuan khusus
Untuk membuktikan :
1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD
berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

102

2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD


berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
3. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD
berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
4. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan
dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum.
6. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum.
7. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan
dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar
ADMA serum.

Manfaat Penelitian
Manfaat akademis
Jika pada penelitian ini terbukti bahwa UF yang berlebih saat HD berperan
dalam terjadinya HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya
kadar ADMA atau meningkatnya ET-1 atau menurunnya NO) pada penyandang
HD reguler, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan dengan UF yang
berlebih sebagai dasar patogenesis HID melalui disfungsi endotel.

Manfaat praktis
Secara praktis, jika terbukti UF yang berlebih saat HD sebagai faktor risiko
kejadian HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya kadar
ADMA atau meningkatnya ET-1 atau menurunnya NO) pada pasien HD reguler
maka usaha-usaha untuk menekan disfungsi endotel melalui penentuan UF yang
tepat dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.

103

Tatalaksana penelitian :
1. Prosedur yang dilaksanakan pada penderita sesuai dengan protap rutin dan
penunjang lainnya maupun pengelolaan / perawatan
2. Prosedur tambahan pada penelitian ini adalah pengambilan darah vena untuk
pemeriksaan ADMA, NO dan ET-1
Pembiayaan terkait :
Poin 1 : adalah ditanggung penderita
Poin 2 : adalah ditanggung peneliti

Risiko selama prosedur penelitian berlangsung :


Akibat langsung dari penelitian ini (pengambilan darah vena) tidak ada, hanya
berupa rasa sakit saat pengambilan sampel darah

Hal-hal lain yang juga perlu mendapatkan perhatian :


1. Meskipun prosedur penelitian telah dilaksanakan secara cermat, apabila terjadi
risiko atau ketidaknyamanan selama penelitian berlangsung yang diakibatkan
langsung oleh pengambilan darah maka akan dirundingkan bersama.
2. Penelitian ini bersifat sukarela maka penderita dapat mengundurkan diri jika
terdapat hal-hal lain yang dirasakan merugikan.
3. Hasil penelitian sepenuhnya akan dipakai untuk kepentingan keilmuan, tidak
untuk kepentingan publikasi (media masa).
4. Penjelasan ini, serta surat persetujuan dibuat rangkap dua; satu untuk penderita
dan satu untuk peneliti.

Penutup :
Untuk dapat berlangsungnya penelitian dengan baik, maka mutlak diperlukan
kerjasama yang baik antara penderita / keluarga dan peneliti.

104

Surat Persetujuan
Ikut Serta dalam Penelitian
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama

: .....................................................................................

Umur

: .....................................................................................

Jenis Kelamin

: .....................................................................................

Etnia

: .....................................................................................

Pekerjaan

: .....................................................................................

Alamat

: .....................................................................................

No. KTP

: .....................................................................................

No.Telp/HP

: .....................................................................................

Nama Pendamping

: .....................................................................................

No. Tel/HP Pendamping

: .....................................................................................

Setelah mendapatkan keterangan secukupnya dan memahami serta menyadari manfaat


maupun risiko penelitian tentang :

PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP


HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA
DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1,
ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE
Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian tersebut serta mematuhi
segala ketentuan penelitian yang sudah dipahami, dengan catatan apabila suatu saat
merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini.

Denpasar,
Mengetahui

Yang menyetujui

Penanggung jawab penelitian

Peserta penelitian

( )

(.)

Saksi Pihak Peneliti

Saksi Pihak Peserta Penelitian

( )

( )

Lampiran 2

2012

105

Prosedur pemeriksaan ADMA (Asymmetric Dimethylarginine) produk DLD


Diagnostics) Cat. No. 17 EA 201-96
Konsentrasi ADMA adalah kadar ADMA dalam serum yang diukur
dengan quantittatif sandwich enzyme immunoassay (ELISA) satuannya mol/l.
1. Metode
Alat

: ELISA ( Enzym Link Immuno Assay)


: Micro reader panjang gelombang 450 nm

Reagensia

: ADMA

Sampel

: Serum 0.5 CC , Stabilitas sampel 6 bulan pada suhu 70 o C

2. Prinsip
: Quantitative sandwich enzyme immunoassay technique
Monoclonal antibodi spesifik untuk ADMA di precoated ke dalam Microplate
precoated antibodi
Serum + enzyme linked poliklonal ( rabbit anti-ADMA antiserum ) 
Reaksi Ag Ab. Pencucian (untuk melepaskan ikatan antigen / free antigen
berlebih ) + anti-rabbit / peroxidase, inkubasi conjugate solution, Inkubasi
Pencucian, + Substrate TMB/peroxidaase  komplek warna + Stop solution
Antibodi yang terikat pada solid phase ADMA dibaca pada panjang
gelombang 450 nm. Jumlah antibodi yang terikat pada phase solid ADMA
jumlahnya berbanding terbalik dengan konsentrasi ADMA dalam sampel.

3. Langkah Pemeriksaan:
a. Persiapkan reagen
-

Larutan Pencuci: 50 ml larutan buffer pencuci diencerkan dengan


aqua dest hingga 500 ml.

Reagen penyeimbang : reagen penyeimbang dilarutkan dengan 5 mL


aquadest, dicampur perlahan dan diletakkan di atas roll mixer selama
30 menit. Selama pencampuran diusahakan agar tidak terbentuk
gelembung.

Reagen Asilasi : satu botol reagen ini dilarutkan dengan


dimetilformamida (DMF) dan dikocok selama 5 menit di atas orbital
shaker. Reagen yang dibuat harus baru sebelum digunakan.

b. Persiapan sampel
-

Ke dalam plate reaksi dimasukkan 20 L larutan standar A sampai F,


20 L kontrol 1 dan 2 serta 20 L sampel pasien.

106

Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 L larutan penyangga


asilasi.
Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 L larutan
penyeimbang.
Plate reaksi diletakkan di atas shaker selama 10 menit.
Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 L larutan asilasi yang
baru dibuat.
Inkubasi dilakukan di atas shaker selama 30 menit pada suhu ruang
(20oC).
Sebanyak 1.5 mL larutan penyeimbang dilarutkan ke dalam 9 mL
aquadest, dicampur dan dipipet 100 L ke dalam setiap sumur reaksi.
Inkubasi dilakukan selama 45 menit pada suhu ruang di atas shaker.

c. Prosedur ELISA ADMA.

Standar, kontrol dan sampel yang telah dipreparasi dipipet masingmasing 50 L ke dalam sumur strip mikrotiter yang telah dilabel.
Setiap sumur reaksi diisi dengan 50 mL antiserum ADMA dan
dishaker sebentar.
Mikroteter strip ditutup dengan plastik perekat dan diinkubasi selama
15-20 jam pada suhu 2 8oC.
Larutan dalam mikrotiter dihisap dengan mesin pencuci atomatis
dengan menggunakan larutan pencuci yang telah dibuat dan dibilas
sebanyak 4 kali.
Setiap sumur reaksi ditambahkan 100 L enzim konjugat, selanjutnya
diinkubasi selama 60 menit pada temperatur ruang di atas orbital
shaker.
Dicuci dan dibilas 4 kali dengan larutan pencuci.
Setiap sumur reaksi diisi dengan 100 L substrat dan diinkubasi
selama 20 30 menit pada temperatur ruang dan di atas orbital shaker.
Ditambahkan 100 mL larutan stop ke dalam setiap sumur reaksi.
Larutan dibaca dengan reader ELISA (photometer) pada panjang
gelombang 450 nm dan panjang gelombang reference 620 nm.

d. Interprestasi
-

Hasil Bisa diinterpretasikan setelah data hasil pemeriksaan ADMA


diolah SPSS sesuai spesimen dari subyek yang diteliti

107

Lampiran 3

Prosedur Pemeriksaan Human Endothelin-1 (R&D systems)


Cat No. : BBE 5
Konsentrasi ET-1 adalah kadar endotelin satu dalam serum yang diukur
dengan ELISA satuannya pq/ml. Pemeriksaan Human Endothelin 1 (R&D
systems) dengan menggunakan Cat. No. : DET 100.
1. Metode : ELISA
Alat
: Micro reader panjang gelombang 450 nm
Reagensia

: Endothelin - 1

Sampel

: Serum 0.5 CC , Stabilitas sampel 6 bulan pada suhu - 70 o C

2. Prinsip Pemeriksaan
Pemeriksaan ini
menggunakan teknik quantitatif sandwich enzyme
immuno-assay. Sebelumnya antibody monoklonal spesifik untuk ET 1 telah
di-coated dalam microplate. Standard, sample, control, dan conjugate dipipet
ke dalam well dan keberadaan ET 1 akan disandwich (dipasangkan) oleh
immobilized antibody dengan antibody enzyme-linked monoklonal spesifik
untuk ET 1. Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan substansisubstansi yang tidak terikat dan atau reagen antibody-enzyme, selanjutnya
larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan kemudian terbentuklah
pembentukan warna yang sebanding dengan jumlah ET 1 yang terikat.
Pembentukan warna dihentikan dan kemudian intensitas warna diukur.
3. Penanganan Reagen
- Wash Buffer
Encerkan 20 mL wash buffer konsentrat ke dalam Aquabidest untuk
persiapan 500 mL Wash Buffer.
-

Calibrator Diluent RD5-48


Larutkan 5 ml calibrator diluent RD5-48 dalam Aquabidest sehingga
larutan akhir 25 ml.

Larutan Substrate
Color Reagen A dan Color Reagen B di campur dengan perbandingan
volume yang sama. Dibuat 15 menit sebelum digunakan. Lindungi dari
sinar matahari.

Endothelin-1 Standard
Larutkan Endothelin-1 Standard dengan 1 mL aquabidest. Larutan
tersebut merupakan Larutan stock standard dengan konsentrasi 250 pg/ml.
Biarkan minimal 15 menit dengan pengocokan.

108

Pipet 900 L Calibrator Diluent masukkan ke dalam masing-masing tabung.


Gunakan larutan stok untuk mendapatkan serial larutan seperti gambar di
bawah ini.

4. Prosedur Kerja
1. Siapkan semua reagen, sampel, dan standard.
2. Tambahkan 150 l Assay Diluent RD1-105 ke dalam well.
3. Tambahkan 75 l standard, kontrol, dan sampel ke dalam masing-masing
well, campur dengan baik. Pastikan penambahan reagen tak terputus dan
selesai dalam waktu 10 menit.
4. Tutup plate dengan plate sealer yang tersedia dan inkubasi pada suhu
kamar selama 1 jam dengan shaker.
5. Buang isi dari tiap well dan cuci dengan menambahkan 400 l Wash Buffer
ke dalam masing-masing well. Ulangi proses tersebut sebanyak 3 kali (total
pencucian sebanyak 4 kali). Setelah pencucian terakhir, buang isi dari well,
buang sisa Wash Buffer dengan mengetuk-ngetukkan plate secara terbalik
pada lap kertas yang bersih.
6. Segera tambahkan 200 l Conjugate ke dalam masing-masing well. Tutup
plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar selama 3 jam
dengan shaker.
7. Ulangi proses no. 5
8. Segera tambahkan 200 l Substrate Solution ke dalam masing-masing
well. Tutup plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar
selama 30 menit, lindungi dari cahaya.
9. Tambahkan 50 l Stop Solution ke dalam masing-masing well.
10. Tentukan optical density dari tiap well dalam waktu 30 menit
menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm dan
panjang gelombang koreksi pada 540 nm atau 570 nm.

109

Lampiran 4

Pemeriksaan NITRIC OXIDE (NO) (Cayman)


Konsentrasi NO adalah kadar nitric oxide dalam serum yang diukur
dengan Colory metri/ Cayman satuannya M.
Prosedur pemeriksaan Nitrate / Nitrite, Cat. No. 7 80001
1 . Metode
Alat
Reagensia

: Colorimetric Assay
: Micro reader panjang gelombang 450 nm
: Nitrate/Nitrite Cayman
Nitarte reductase

1.

Prinsip

: Nitrate( NO3- )

Nitrite ( NO2-)

di + Sulfanilamide(Griess Reagen I) & N-ethylenediamine (Gries Regaenn


II)  Azo compound product ( deep purple).
Ukur absorbent dari azo compound secara photomethrik pada panjang
gelombang 450 nm. Konsentrasi Nitrite (NO2-) yg terukur sebanding dengan
azo compound yg terbentuk.
2. Langkah Pemeriksaan:
a. Pengambilan spesimen
5 cc darah vena tanpa antikogulan yang diambil secara aseptic, biarkan
darah membeku. Kemudian disentrifuse 3000 RPM/10 menit. Pisahkan
serum dimasukkan ke dalam 3 cup fezer masing masing 500 ul,
kemudian diberi label dan disimpan di frezer (-20 oC). Sampel serum
dikirim ke LITBANG Laboratorium Riset Eksoterik Pusat Prodia Pusat di
Jakarta disimpan di suhu 70 o C.
b. Penanganan Reagen
1.

Assay Buffer
Encerkan Assay Buffer vial sampai 100 ml dengan air Ultrapure.

2.

Nitrate Reductase (vial #2)


Larutkan isi vial dengan 1.2 ml Assay Buffer. Tetap dalam ice
selama digunakan. Simpan di -20C jika tidak digunakan.

3.

Enzyme Cofactors (vial #3)


Larutkan isi vial dengan 1.2 ml Assay Buffer. Tetap dalam ice
selama digunakan. Simpan di -20C jika tidak digunakan.

4.

Nitrate Standard (vial #4)


Larutkan isi vial dengan 1.0 ml Assay Buffer. Simpan di 4C jika
tidak digunakan (jangan dibekukan).

110

5.

Nitrite Standard (vial 5)


Larutkan isi vial dengan 1.0 ml Assay Buffer. Simpan di 4C jika
tidak digunakan (jangan dibekukan).

6.

Griess reagent R1 and R2 (vial 6 dan 7)


Tidak perlu penambahan air atau Assay Buffer. Vial sudah siap
untuk digunakan. Simpan di 4C jika tidak digunakan (jangan
dibekukan).

c. Prosedur Kerja
1. Tambahkan 200 l air atau Assay Buffer ke dalam well.
2. Tambahkan 80 l sampel/larutan sampel ke dalam well. Jumlah
volume final disesuaikan sampai 80 l dengan Assay Buffer
solution.
3. Tambahkan 10 l enzyme cofactor mixture (vial 3) ke dalam well.
4. Tambahkan 10 l Nitrate reduktase mixture (vial 2) ke dalam well.
5. Tutup plate dengan plate cover, inkubasi pada suhu kamar selama 1
jam.
6. Tambahkan 50 l Griess Reagent R1 (vial 6) ke dalam well.
7. Segera Tambahkan 50 l Griess Reagent R2 (vial 7) ke dalam well.
8. Biarkan terjadi perubahan warna selama 10 menit pada suhu ruang.
Plate tidak perlu ditutup.
9. Tentukan absorbansi pada panjang gelombang 540 nm atau 550 nm.

111

Lampiran 5. Uraian Jadwal Kegiatan


Jadwal Penelitian dilakukan pada bulan September 2012 sampai Oktober 2012

Uraian Jadwal kegiatan Rencana Penelitian


NO.

Kegiatan

Bulan
7

1.

Survey

Sosialisasi penelitian

Persiapan alat-alat penelitian

Persiapan subyek penelitian

Pelaksanaan Penelitian

Pengolahan dan Analisis Data

Pembuatan laporan hasil penelitan

10

11

12

x
x

112

Lampiran 6.
Rincian Biaya
Biaya yang akan dikeluarkan dalam penelitian ini adalah:
a. Biaya Bahan dan Alat
1) Kit pemeriksaan NO, ET-1, ADMA

Rp. 93.000.000,00@

Rp. 14.400.000,00
2) Pemeriksaan Na, K, Ca

Rp

42.000.000,00

Rp.

6.300.000,00

1) 20 rim kertas A4 berat 80 gram

Rp.

600.000,00

2) Alat-alat tulis

Rp.

200.000,00

3) Foto kopi kuesioner

Rp.

200.000,00

b. Biaya Operasional
1) Honor Pembantu peneliti 6 orang
@ 50.000 selama 21 hari
c. Biaya ATK

d. Biaya tidak terduga

Total biaya

Rp. 2.750.000,00

Rp. 145.050.000,00

Total biaya yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebesar Rp. 145.050.000,00

113

Lampiran 7.

KUESIONER PENELITIAN

PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP


HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA
DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1,
ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE

I.

II.

IDENTITAS
1.
Nama
: ....................................................................
2.
Sex
: ....................................................................
3.
Umur
: ....................................................................
4.
Suku Bangsa
: ....................................................................
5.
Alamat
: ....................................................................
6.
Nomor telp.
: ....................................................................
7.
Pendidikan
: ....................................................................
8.
Pekerjaan
: ....................................................................
9.
Nama pendamping : ....................................................................
10.
No. Telp Pendamping .................................................................... :
ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit:
a. HD pertama kali : . (Tgl/Bln/Tahun)
b. Lama HD
: . (bulan)
c. Jadwal HD
: .
d. Riwayat Penyakit :
i. DM
: ya/tidak
ii. Penyakit Jantung
: ya/tidak
iii. Batu saluran kemih
: ya/tidak
iv. Hipertensi
: ya/tidak
v. MRS dalam 6 bulan terakhir
: ya/tidak
2. Riwayat sosial
a. Minum kopi
: ya/tidak
b. Merokok
: ya/tidak
c. Minum alkohol : ya/tidak

114

III. PEMERIKSAAN FISIK Pre HD


Diperiksa tanggal :
Oleh :
BB Kering
: ..Kg
BB saat ini
: . Kg
Tinggi Badan
: . cm
Lingkar Pinggang : .. cm
Tekanan Darah : .. mmHg
Frekuensi Pernafasan
: .. x/mnt
Denyut nadi
: .. x/menit
Keadaan Umum : ( ) Baik
( ) Sedang
( ) Buruk
Sianosis
: ( ) ada
( ) Tidak ada
Anemia
: ( ) ada
( ) Tidak ada
Telinga
: ( ) ada kelainan
( ) Tidak ada kelainan
Hidung
: ( ) ada kelainan
( ) Tidak ada kelainan
Gigi mulut
: ( ) ada kelainan
( ) Tidak ada kelainan
Tenggorokan
: ( ) ada kelainan
( ) Tidak ada kelainan
Leher
: ( ) ada kelainan
( ) Tidak ada kelainan
JVP
: ..
JANTUNG
Auskultasi :
a. S1
: ( ) ada kelainan
( ) Tidak ada kelainan
b. S2
: ( ) ada kelainan
( ) Tidak ada kelainan
c. Murmur : ( ) ada
( ) Tidak ada
Thrill
: ( ) ada
( ) Tidak ada
Ictus cordis
: intercostals .. kiri / kanan, garis ..
PARU
Suara nafas
: /..
Ronchi
: /..
Whexxing
: /..
ABDOMEN
Hepar
: ( ) Tidak teraba
( ) Teraba
Limpa
: ( ) Tidak teraba
( ) Teraba
Asites
: ( ) ada
( ) Tidak ada
EKSTREMITAS
Edema
: ( ) ada
( ) Tidak ada
AV shunt
: ( ) ada
( ) Tidak ada
Bila ada, Lokasi : .

115

IV.

ELEKTROKARDIOGRAM
( ) Normal
( ) Q Waves, lokasi: ....................................................................................
( ) ST Elevasi, lokasi: ................................................................................
( ) ST Depresi, lokasi: ..................................................................................
( ) T Inversi, lokasi: ....................................................................................

V.

FOTO ROTGENT THORAK


( ) Normal
( ) sembab paru
( ) Kardiomegali
( ) Efusi Pleura

VI.

USG GINJAL
( ) contracted kidney
( ) Policystic kidney

VII.

( ) Batu Ginjal
( ) Hideonefrosis

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8
9.
10.
11.

VIII.

Jenis Pemeriksaan

Nilai
Pre HD

Post HD

Hemoglobin (mg%)
BUN (mg/dl)
SC (mg/dl)
Albumin (mg/dl)
Gula Darah (mg/dl)
Natrium
Calsium ion
Kalium (meq/L)
ET-1 (pq/ml)
ADMA (mol/L)
NO (M)

DIAGNOSIS

116

IX. TERAPI
1. Asam Folat
2. Calsium carbonat
3. Lantanum
4. Keto acid
5. Captopril
6. Lisinopril
7. Ramipril
8. losartan
9. Irbesartan
10. Candesartan
11. Betabloker
12. Clonidin
13. Diuretik
14. CCB
15. Statin
16. Allupurinol
17. Eritropoetin
a. Ya
b. Tidak
18. Besi Parenteral
a. Ya
b. Tidak

(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(

) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya

( ) Tidak
( ) Tidak
( ) Tidak
( ) Tidak
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..

(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(

) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak

Jenis ..

Dosis

Jenis ..

Dosis .

X. PENGAMATAN PENDERITA
a. Data pengamatan 6 kali HD
HD

BERAT BADAN
PRE HD

1.
2.
3.
4.
5.
6.

POST HD

TEKANAN DARAH
PRE HD

POST HD

ULTRAFILTRASI

117

b. Data kejadian selama HD (pengamatan 6 kali HD)


TINDAKAN PENGAMATAN
HD
(MENIT)
1

0 (Pre HD)
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD

2.

Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD

Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD

Berat
badan

UFR

UF

QD

QD

118

TINDAKAN PENGAMATAN
HD
(MENIT)
4.

Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD

5.

Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD

6.

Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD

Berat
badan

UFR

UF

QD

QD

119

XI. Hipertensi Intradialitik

: ( ) Ya

( ) Tidak

XII. Perubahan hasil laboratorium pre post HD


No

Pemeriksaan

Endothelin-1

Nitric Oxide

ADMA

Natrium

Calsium ion

Tetap

Meningkat

Menurun

120

Lampiran 8.
Penelitian Yang Berhubungan dengan
HID Yang Memiliki Kemiripan Dengan Rencana
Penelitian

No.

Journal

Judul

Peneliti

Metode penelitian

Kesimpulan

1.

Clin J Am
Soc Nephrol
6: 2016
2024, 2011

Jula K.
Inrig,et al

Penelitian case-control cohort


study , sampel 25 pasien
hemodialisis
(HD) tanpa HID (kontrol ) dan
25 pasien HD dengan HID

Intradialytic
hypertension is
associated with
endothelial cell
dysfunction

2.

Kidney
International
(2006) 69,
18331838

Intradialytic
Hypertension
and its
Association
with
Endothelial
Cell
Dysfunction
Physiological
changes
during
hemodialysis
in patients
with
intradialysis
hypertension

K-J Chou
et al

Penelitian case control.


Sampel 30 pasien HD yang
prone terhadap HID, dan
kontrol 30 pasien HD yang
tidak prone terhadap HID

3.

Kidney
International,
Vol. 63 (2003),
pp. 709715

Effects of long
and short
hemodialysis
on endothelial
function:
A short-term
study

David O.
Mcgregor
et al ,

randomized
crossovercontrolled trial
sampel : 8 pasien dengan HD
reguler

The physiological
changes in intradialysis
hypertension patients
were characterized by
inappropriately increased
PVR through
mechanisms that did not
involve sympathetic
stimulation or renin
activation but might be
related with altered
NO/ET1 balance.
hemodialysis caused a
temporary improvement
in endothelial dependent
vasodilation,
may have been due in
part to a reduction in
plasma ET-1
,and t Hcy and an
increase in
adrenomedullin
concentration across
hemodialysis

4.

Kidney
International,
Vol. 61 (2002),
pp. 697704

Hemodynamic
changes
during
hemodialysis:
Role of nitric
oxide and
endothelin

Dominic
S.C. Raj et
al

The serumnitrate_nitrite (NT),


fractional exhaled
NOconcentration (FENO), larginine (L-Arg), NGNG-dimethyll-arginine (ADMA) and
endothelin (ET-1) profiles were
stud ied in 27 end-stage renal
disease (ESRD) patients on HD
and- 6 matched controls.

Pre-dialysis FENO is
elevated in patients with
dialysis-induced
hypotension and may be a
more reliable than NT as a
marker for endogenous
NOactivity in dialysis
patients. Altered NO/ET-1
balance may be involved in
the pathogenesis of rebound
hypertension and
hypotension during dialysis.

121

Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian

122

Lampiran 10. Ethical Clearance

Anda mungkin juga menyukai