Unud-57-197584832-Disertasi DR Yenny Kandarini SPPD-KGH PDF
Unud-57-197584832-Disertasi DR Yenny Kandarini SPPD-KGH PDF
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
(Suhardjono, 2006).
2.1.2 Batasan
Penyakit Ginjal Kronik menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes
(KDIGO) adalah abnormalitas fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih
dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan yang ditandai dengan adanya satu
atau lebih tanda kerusakan ginjal seperti yang terdapat pada Tabel 2.1 di bawah
ini (KDIGO, 2013).
10
Tabel 2.1 Kriteria PGK (kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan)
(KDIGO, 2013)
Penurunan LFG
Batasan
G1
G2
G3a
G3b
G4
G5
90
6089
4559
3044
1529
<15
2.2 Hemodialisis
Prevalensi penderita PGK yang mendapat terapi pengganti ginjal di negara
berkembang saat ini meningkat dengan cepat, seiring dengan kemajuan
ekonominya. Prevalensi penderita penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang
menjalani HD rutin meningkat dari tahun ke tahun. Di seluruh dunia saat ini
hampir
setengah
juta
penderita
GGK
menjalani
tindakan
HD
untuk
11
12
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
B. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien
yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini
(Daurgirdas et al., 2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
13
dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas
et al., 2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu
larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini
dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel
(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.
Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah
perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi
adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran
kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air
melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme
hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau
mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,
2007).
Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan
cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al., 2007).
14
Gambar 2.1
Skema Mekanisme Kerja Hemodialisis
(Bieber dan Himmelfarb, 2013)
15
reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat.
Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID)
(Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi
kronik (Daurgirdas et al., 2007).
emboli
udara,
neutropenia,
aktivasi
komplemen,
hipoksemia
16
Penyebab
Hipotensi
Hipertensi
Reaksi Alergi
Aritmia
Kram Otot
Emboli Udara
Dialysis disequilibirium
Penyakit jantung
Malnutrisi
Hipertensi / volume excess
Anemia
Renal osteodystrophy
Neurophaty
Disfungsi reproduksi
Komplikasi pada akses
Gangguan perdarahan
Infeksi
Amiloidosis
Acquired cystic kidney disease
17
18
2.3.2 Prevalensi
Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai
pada pasien yang menjalani HD rutin, dengan prevalensi 5-15% (Locatelli et al.,
2010). Pada penelitian kohort
19
20
peningkatan indeks jantung, COP dan tekanan darah. Dengan UF lebih jauh,
pasien pindah ke bagian yang bawah pada bagian kurva yang meningkat dengan
tekanan darah menjadi normal (Gunal et al., 2002).
Penemuan dari 2 penelitian ini mengindikasikan bahwa tekanan darah
meningkat paradoksal saat UF mungkin disebabkan oleh karena peningkatan COP
karena adanya overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan dilakukan UF yang
intensif untuk menurunkan berat badan kering pasien (Cirit et al., 1995; Gunal et
al., 2002; Chou et al., 2006). Peneliti lain mengemukakan bahwa HID mungkin
berhubungan dengan delayed post HD hypotension. Sehingga bila dilakukan UF
yang agresif pasien yang rawat jalan harus dimonitor ketat dengan mengunakan
ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) (Chou et al., 2006).
Hal yang penting harus dilakukan pasien adalah untuk menurunkan konsumsi
garam dan air, diantara sesi HD. Hal ini untuk menurunkan peningkatan BB antar
sesi HD, sehingga menurunkan kecepatan UF per jam saat HD berikutnya.
Meningkatkan waktu terapi HD mungkin sangat berguna untuk menurunkan
kecepatan UF per jam saat HD. Pembatasan dari konsumsi garam dan penurunan
dari volume cairan ekstrasel akan menormalkan tekanan darah saat HD pada
pasien dengan hipertensi. Penurunan konsumsi garam 100-120 mmol per hari
berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan menurunkan peningkatan BB
antar HD (Locatelli et al., 2010).
Pengontrolan terhadap volume overload adalah hal yang paling penting dalam
mencegah dan menangani pasien dengan HID (Locatelli et al., 2010).
21
22
terhadap HID (Chou et al., 2006). Evaluasi akurat dari aktivitas simpatis dengan
microneurografi pada pasien dengan HID belum dilakukan sehingga mekanisme
sympathetic overactivity dalam HID belum didukung oleh evidence-based
percobaan klinis (Locatelli et al., 2010).
Hipokalemia
dapat
mencetuskan
autonomic
dysfunction
dan
23
tidak ada perbedaan antara kadar kalium plasma pre dan post HD pada pasien
dengan HID maupun tanpa HID (Chou et al., 2006). Kalium tidak beperan dalam
kejadian HID, tapi perubahan kadar kalium yang tajam dapat memicu aritmia
(Locatelli et al., 2010).
Ion kalsium memegang peranan penting dalam proses kontraktilitas otot polos
dan miosit jantung. Beberapa penelitian pada pasien dengan HD memperlihatkan
bahwa perubahan kadar kalsium ion memiliki efek hemodinamik melalui
perubahan dalam kontraktilitas otot jantung dan perubahan dalam reaktifitas
vaskular (Felner, 1993).
Hemodialisis dengan konsentrasi dialisat kalsium yang rendah (1,25 mmol/l)
berhubungan dengan penurunan yang besar pada tekanan darah dibandingkan
dengan dialisis dengan konsentrasi kalsium dialisat yang tinggi (1,75 mmol/l).
Perbedaan ini berhubungan dengan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri pada
cairan dialisat dengan kadar kalsium yang rendah. Kadar kalsium dialisat yang
tinggi juga berhubungan dengan penurunan compliance arteri dan peningkatan
kekakuan arteri. Peranan dari dialisat dengan kalsium tinggi dalam patogenesis
HID belum sepenuhnya ditemukan (Locatelli et al., 2010). Penelitian lain tidak
menemukan perubahan yang relevan dalam konsentrasi kalsium plasma sebelum
dan sesudah dialisis pada pasien dengan maupun tanpa HID (Chou et al., 2006).
24
besar dari penghambat ACE secara komplit ditarik saat dialisis (Daugirdas et al.,
2007). Pengetahuan akan obat yang di tarik saat HD sangat penting, sehingga
terapi bisa disesuaikan pada pasien yang mengalami HID. Tetapi penting diingat
bahwa penarikan obat anti hipertensi saat HD, tidak berperan di dalam konsep dari
HID (Locatelli et al., 2010).
2.3.3.7 Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi merupakan salah satu komponen dari peresepan HD. Penentuan
besarnya UF harus optimal dengan tujuan untuk mencapai kondisi pasien
euvolemik dan normotensi Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang
berlebihan di darah, besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan
berat badan (BB) penderita antar waktu HD dan target BB kering penderita
(K/DOQI, 2006).
Berat badan kering didefinisikan sebagai berat badan dimana volume cairan
optimal. Penentuan BB kering ini harus akurat, tetapi pada klinik HD tidak selalu
tersedia alat untuk menentukan BB kering yaitu multiple frequency bioimpedance
spectroscopy. Oleh karena itu penentuan BB kering dilakukan secara klinis
25
melalui evaluasi tekanan darah, tanda-tanda overload cairan dan toleransi pasien
terhadap UF saat HD untuk mencapai target BB (K/DOQI, 2006).
Definisi berat badan kering menurut Argawal adalah berat badan setelah
dialisis yang terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien yang dicapai dengan
perubahan secara bertahap BB setelah dialisis, dan terdapat gejala yang minimal
dari hipovolemia atau hipervolemia (Agarwal dan Weir, 2010)
Pada penderita dengan HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar waktu
HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar 2
liter (Nissenson dan Fine, 2008). Tetapi umumnya kenaikan BB penderita antar
waktu HD melebihi 2 kg bahkan mencapai 5 kg. Guideline K/DOQI 2006
menyatakan bahwa kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8%
BB kering. Sebagai contoh pada pasien dengan BB 70 kg, kenaikan BB
interdialitik sebaiknya tidak lebih dari 3,4 kg (K/DOQI, 2006). Pada kondisi
kenaikan BB yang berlebih ini banyak timbul masalah saat tindakan HD, karena
saat HD akan dilakukan dilakukan UF yang melebihi 4,0% BB kering. Saat HD
bila dilakukan UF yang berlebihan akan timbul masalah baik gangguan
hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson and Fine, 2008). Pada
saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang aktivitas
RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot dan Jean, 2010).
Pasien dengan terapi hemodialisis memiliki morbiditas dan mortalitas
tinggi yang mungkin berhubungan dengan efek hemodinamik karena UF yang
cepat. Flyte dkk. meneliti efek kecepatan UF terhadap mortalitas dan
cardiovascular disease (CVD). Kecepatan UF dibagi menjadi 3 kategori yaitu
<10 /ml/jam/kgBB, 10-13 ml/jam/kgBB, dan >13 ml/jam/kgBB. Dari penelitian
26
ini didapatkan bahwa UF yang lebih cepat pada pasien HD berhubungan dengan
risiko yang lebih besar terhadap berbagai sebab kematian dan kematian karena
CVD (Flythe et al., 2011).
Tabel 2.5
Patofisiologi Hipertensi Intradialitik (Chazot dan Jean, 2010)
1.
2.
3.
4.
5.
Kelebihan volume
Overaktifitas sistem saraf simpatis
Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron
Kelainan sel endotel
Faktor spesifik hemodialisis
a. Net sodium gain
b. High ionized calcium
c. Hipokalemia
6. Obat-obatan
o Erythropoietin stimulating agents (ESA)
o Removal of antihypertensive medications
7. Vascular stiffness
27
dan banyak dikenal adalah nitric oxide (NO). Nitric oxide adalah gas pokok yang
menstimulasi relaksasi dan menghambat proliferasi otot polos pembuluh darah,
mencegah perlekatan dan migrasi leukosit ke dinding arteri, dan mencegah adhesi
dan
agregasi
platelet
ke
endotel.
Prostacyclin
endothelium-derived
endotel/Endothelial
cell
dysfunction
(ECD)
adalah
ketidakmampuan dari sel endotel untuk mengatur beberapa atau semua fungsinya.
Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan antara (Ding dan Triggle, 2005):
a. faktor relaksasi dan konstriksi
b. mediator prokoagulan dan antikoagulan
c. vascular growth-inhibiting and growth-promoting substances.
Disfungsi endotel bisa diduga dengan pemeriksaan secara tidak langsung,
yaitu dengan memeriksa berbagai marker atau petanda antara lain
melalui
28
29
30
sintesis NO. L-arginin disintesis terutama di tubulus proksimal ginjal dan sintesis
ini menurun dengan menurunnya massa ginjal. Gambar 2.3 Menunjukkan
mekanisme potensial terjadinya defisiensi L-arginin pada pasien PGK.
Gambar 2.3 Mekanisme potensial defisiensi L-arginin pada PGK (Martens dan
Edrwads, 2011)
31
hubungan antara ECD pada pembuluh darah perifer dan pembuluh darah ginjal
belum diteliti lebih jauh. Walaupun banyak penelitian meneliti mengenai
bioavaibilitas dari NO pada PGK, tetapi belum banyak yang meneliti
keseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator pada PGK (Fliser, 2011).
Pada Gambar 2.4 di bawah terlihat mekanisme penurunan NO karena peningkatan
dari assymetric N G, NG - dimethylarginine pada pasien dengan penyakit ginjal
kronik.
Gambar 2.4
Mekanisme dari penurunan nitric oxide karena peningkatan dari assymetric
N G, NG - dimethylarginine pada chronic kidney disease (Sibal et al., 2010)
32
Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih
banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang
sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik
(Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya menurun dengan
dilakukannya UFatau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi
pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler, namun sekitar 5-15% dari
pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi
intradialitik (HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal dan Light, 2010;
Agarwal et al., 2008).
Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya
variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik
maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan
kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah nitric
oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA)
yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide synthase dan endothelin-1
(ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting
terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah
khususnya termasuk kejadian HID (Locatelli et al., 2010).
Aktivitas dari sel endotel mungkin juga berperan penting di dalam variasi
tekanan darah saat HD. Perubahan volume cairan saat HD dan cetusan hormonal
menyebabkan produksi faktor-faktor yang terlibat di dalam kontrol tekanan darah
di dalam sel endotel (Raj et al., 2002; Flythe et al., 2011). Substansi vasoaktif
yang paling penting adalah nitric oxide (NO) suatu vasodilator otot polos,
asymmetric dimethylarginine (ADMA), suatu inhibitor endogen dari sintesis NO,
33
34
resistensi vaskular perifer, dan mungkin terlibat didalam konsep dari HID
(Bussemarker et al., 2002). Tidak ada data yang menunjukkan efek dari disfungsi
endotel pada pasien HID. Di bawah ini akan dibahas mengenai petanda ECD yaitu
NO, ADMA dan ET-1.
35
Gambar 2.5
Skema biosintesis nitric oxide (NO) dan berbagai mekanisme yang mungkin menyebabkan
defisiensi NO (Baylis, 2008)
36
Gambar 2.6
Biochemical pathway produksi dan degradasi ADMA (Baylis, 2008)
37
Pengeluaran yang lain adalah melalui sirkulasi paru, limpa dan ginjal. Penurunan
jumlah maupun blokade dari resoptor ETBR akan menurunkan ekskresi dari ET-1,
sehingga meningkatkan jumlah dari ET-1 tanpa peningkatan produksinya (Dhaun
et al., 2008).
Dalam pembuluh darah yang normal, ET-1 mempertahankan tonus vaskular
melalui ETAR, dengan keseimbangan aktifitas ETAR menyebabkan vasodilatasi.
Jika ada gangguan pembuluh darah ET-1 memicu hipertensi dan penyakit
kardiovaskular melalui berbagai mekanisme. Pada ginjal yang sehat, ETBR
memegang peranan dalam tonus vasodilatasi, ETAR mempunyai sedikit peran
dalam tonus pembuluh darah ginjal. Peningkatan aliran darah dalam medula dan
efek langsung dari ETBR menyebabkan natriuresis dan diuresis. Pada PGK, ETAR
menyebabkan vasokonstriksi renal menyebabkan retensi air dan garam sehingga
mengakibatkan hipertensi. Pada orang sehat insulin merangsang pengeluaran dari
ET-1 dan NO. Pada resistensi insulin terjadi gangguan pengeluaran NO, tetapi
produksi ET -1 meningkat. Selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 2.7 di
bawah ini (Dhaun et al., 2008; Shafei et al., 2008).
38
Gambar 2.7
Peranan ET-1 pada hipertensi, data dari penelitian pada manusia (Dhaun et al., 2008)
Sistem ET-1 secara luas berperan dalam CVD dan PGK. Endothelin-1
berperan dalam patogenesis hipertensi dan kekakuan pembuluh darah, dan
merupakan faktor risiko yang baru pada penyakit kardiovaskular (McIntyre,
2009).
Endothelin-1
berperan
dalam
terjadinya
disfungsi
endotel
dan
39
Gambar 2.8
Peranan Endothelin 1 pada PGK dan CVD. Ilustrasi oleh Josh Gramling-Gramling Medical
Illustration (Dhaun et al., 2006)
Sebagai respon terhadap UF saat HD, rangsangan hormonal dan mekanis, sel
endotel mensintesis dan mengeluarkan faktor humoral yang berperan terhadap
homeostasis tekanan darah (Mc Gregor et al., 2003). Ketidakseimbangan
endothelial-derived hormone seperti NO suatu vasodilator otot polos, dan ET-1,
suatu vasokonstriktor bisa menyebabkan hipotensi ataupun hipertensi saat HD
(Inrig, 2010a).
Berbagai mekanisme bertanggung jawab terhadap meningkatnya produksi
dari ET-1 pada PGK. Sintesis ET-1 oleh ginjal dipicu oleh sitokin, growthfactor,
kemokin, faktor vasoaktif, hormon dan reactive oxygen species (ROS), kolesterol
dan substansi lainnya. Intake protein berlebihan merangsang tubulus proksimalis
memproduksi ET-1, suatu kondisi yang sangat penting dalam progresi penyakit
40
ginjal. Gambar 2.9 di bawah ini menunjukkan pengaturan produksi ET-1 pada
pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010).
Gambar 2.9
Pengaturan produksi ET-1 di dalam pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010)
41
Gambar 2.10
Efek ET-1 pada pembuluh darah dan sel ginjal menyebabkan hipertensi, aterosklerosis dan CKD
(Kohan, 2010)
42
Gambar 2.11
Algoritma Penanganan HID Berdasarkan Derajat Hipertensi (Chazot dan Jean, 2010)
43
UFR yang tepat sangat diperlukan dalam penanganan HID (Chazot dan Jean,
2010; Weir dan Jones, 2010).
Penambahan sodium saat HD akan meningkatkan plasma refilling yang akan
meningkatkan COP, oleh karena itu peresepan cairan dialisat yang tinggi sodium
harus dihindari. Begitu juga peresepan dialisat yang tinggi kalsium akan
meningkatkan resistensi perifer dan COP sehingga harus dihindari (Inrig, 2010a).
Beberapa obat disarankan dalam penanganan HID untuk mencegah krisis
hipertensi antara lain calcium channel blockers (CCB) tetapi keamanan obat ini
pada kondisi HID belum diteliti (Chazot dan Jean, 2010). Minoxidil, merupakan
vasodilator yang kuat juga dapat diberikan pada kondisi ini. Obat ini bekerja
dengan efek pada c AMP, menghasilkan vasodilatasi dengan cara relaksasi
langsung otot polos arteriolar. Walaupun minoxidil diindikasikan pada HID, tetapi
obat ini sangat jarang digunakan (Rizzioli et al., 2009). Obat obat anti hipertensi
seperti ace inhibitor sudah digunakan dalam penanganan HID, obat ini tidak
difiltrasi saat HD sehingga bisa digunakan untuk pasien HID (Inrig, 2010b)
44
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
elektrolit saat HD, antara lain natrium, kalium dan kalsium. Faktor lain yang ikut
berperan dalam terjadinya HID adalah eliminasi obat antihipertensi saat HD,
terapi eritropoeitin, penyakit kardiovaskuler dan DM. Hubungan antara volume
overloaded, perubahan elektrolit saat HD, eliminasi obat antihipertensi saat HD,
terapi eritropoeitin dan kejadian HID sudah diteliti sebelumnya. Peranan besarnya
volume UF saat HD dan HID sampai saat ini belum diketahui. Belakangan ini
penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara disfungsi endotel dengan
kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi endotel pada pasien
dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Belum diketahui apakah ada
peranan dari UF yang berlebihan saat HD dengan disfungsi endotel. Pada
44
45
penelitian ini kami ingin meneliti mengenai peranan UF yang berlebih saat HD
dan HID melalui keterlibatan NO, ADMA dan ET-1.
46
ULTRAFILTRASI
BERLEBIH SAAT HD
Umur
Jenis Kelamin
Kadar Hb
Dialisat
Mesin HD
Membran dialiser
Obat-obat antihipertensi
Kadar Na, K, Ca serum
Terapi eritropoetin
NO , ADMA , ET-1
HIPERTENSI INTRADIALITIK
(HID)
Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian
47
48
BAB IV
METODE PENELITIAN
48
49
Penelitian
dimulai dari sini
Analisis secara
Retrospektif
HD reguler
HD
( lab. pre, dan
post HD: ET-1,
ADMA, NO)
HD 6 kali
berturutturut
( dicatat
UF dan TD
saat HD)
Gambar 4.1
Rancangan Penelitian Kasus- Kontrol
intradialitik yang
50
51
c. Penderita sudah mencapai berat badan kering yang ditentukan oleh dokter
konsultan ginjal dan hipertensi.
4.3.4 Sampel
Adalah semua penyandang HD reguler di unit HD di RSUP Sanglah
Denpasar, suku bangsa Indonesia, berumur antara 18-60 tahun. Sudah menjalani
HD minimal 3 bulan, dalam kondisi stabil serta memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
( z + z ) s
n1 = n 2 = 2
( X1 X 2 )
z = 1,96;
Z = 0,842;
n = 35
(X1-X2) = 0,5;
s = 0,75
52
Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Z = 1,96; Z = 0,842;
(X1-X2) = 0,5; simpang baku (s) = 0,75. Maka jumlah sampel yang diperlukan
untuk pemeriksaan ADMA adalah 35 sampel.
2. NO
2
( z + z ) s
n1 = n 2 = 2
( X1 X 2 )
z = 1,96;
Z = 0,842;
(X1-X2) = 0,5;
s = 0,75
n = 63
Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Z = 1,96; Z = 0,842;
(X1-X2) = 4; simpang baku (s) = 8. Maka jumlah sampel yang diperlukan untuk
pemeriksaan NO adalah 63 sampel.
3. Endothelin-1
n=
z 2{1 /[Q1 / P1 + 1 / Q2 / P2 ]}
[ln(1 e)]2
= 1,96
OR = 3
P1 = OR x P2 / ((1-P2) + (ORxP2)) = 0,6
P2 = 0,4
n = 110
Ditetapkan
sebesar 3 dengan rasio kelompok HID terhadap kontrol =1, proporsi Endothelin-1
yang meningkat sebesar 0,4 sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 110
orang.
53
Populasi
terjangkau adalah penderita HD reguler yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi, dipilih sebagai sampel penelitian, hingga jumlah
sampel minimal terpenuhi. Dari sampel yang dikehendaki disaring lagi penderita
yang tidak menolak mengikuti penelitian sehingga diperoleh subyek yang benarbenar diteliti (actual study subjects)
54
55
d. Ultrafiltrasi adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin HD selama satu
sesi HD, satuannya liter. Ultrafiltrasi terlihat pada monitor masing-masing
mesin HD.
e. Ultrafiltrasi Rate (UFR) adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin per
kilogram berat badan perjam (cc/kg/jam).
f. Ultrafiltrasi berlebih adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin HD
selama satu sesi HD lebih dari 4,8% BB kering (misal >3,4 kg pada
pasien dengan BB kering 70 kg) (K/DOQI, 2006).
g. Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan
atau lebih. Kerusakan ginjal ditandai dengan gangguan struktural atau
fungsional dari ginjal yang desertai atau tanpa disertai penurunan LFG
(K/DOQI, 2006).
h. Gagal ginjal kronik adalah menurunnya LFG kurang dari 15 ml/menit/1.73
2
m luas permukaan tubuh yang disertai dengan tanda dan gejala uremia
dan memerlukan terapi pengganti ginjal (K/DOQI, 2006)
i. Diabetes melitus ditegakkan dengan riwayat DM sebelumnya.
j. CHF adalah penyakit jantung kongestif yang didiagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan foto thorak. Diagnosis
ditetapkan oleh divisi Kardiologi RSUP Sanglah.
k. Hipertensi intradialitik didefinisikan bila terjadi peningkatan tekanan darah
sistolik (TDS) sesudah HD 10 mmHg dibandingkan dengan TDS
sebelum HD, pada minimal 4 kali dari 6 sesi HD berturut-turut. Tekanan
darah diukur dengan alat sphygmomanometer mercuri dan dilakukan oleh
perawat hemodialisis yang sudah terlatih.
56
57
58
59
pemeriksaan Na, K, Ca, BUN dilakukan sebelum dan sesudah satu kali sesi HD.
Sampel kemudian diikuti sebanyak 6 kali HD berturut-turut. Sebelum dan
sesudah HD dilakukan penimbangan berat badan. Saat HD dilakukan pengukuran
tekanan darah dan nadi setiap setengah jam, pencatatan besarnya UF, kecepatan
UF, kecepatan putaran mesin, obat yang diberikan dan semua kejadian saat HD
berlangsung. Setelah ke 6 sesi HD selesai, ditentukan kelompok yang mengalami
HID (kasus) dan kelompok yang tidak mengalami HID (kontrol). Kemudian
dilakukan analisis secara retrospektif untuk mencari faktor risiko, yaitu
membandingkan besarnya perubahan kadar ET-1, ADMA, NO pre dan post HD,
pada kelompok HID dan kontrol, membandingkan rerata UF pada kelompok HID
dan kontrol, kemudian dilakukan analisis statistik.
60
Populasi terjangkau
Kriteria inklusi & eksklusi
Sampel (consequtive)
Informed consent
Intended study subjek
Lab. Pre-HD
(NO, ET-1, ADMA)
(DL, BUN, SC, Na, K, Ca, BS, Alb)
Lab. Post HD
Hipertensi Intradialitik
TD
HD I
UF
TD
HD II
UF
TD
HD III
UF
TD
HD IV
UF
TD
HD V
UF
TD
HD VI
UF
HID (+)
Kasus
Analisis Statistik
HID (-)
Kontrol
Simpulan
Gambar 4.2
Alur Penelitian kasus-kontrol
Rerata UF
Selisih NO,
ET-1,
ADMA pre
dan post
HD
HD
61
kai-kuadrat,
menguji
perbedaan
variabel
dengan
skala
perancu terhadap
62
63
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini lakukan pada bulan Agustus sampai November 2012, setelah
mendapat persetujuan dari Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dengan Surat Kelaikan
Etik (Ethical Clearance) dan Surat Ijin Penelitian dari Direktur SDM dan
Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar.
Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang sudah menjalani HD
reguler minimal selama 3 bulan dan dalam kondisis stabil, yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 112 pasien HD reguler diikutkan dalam
penelitian ini. Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: UF sebagai
variabel bebas; NO, ADMA, ET-1 sebagai variabel antara dan kejadian HID
sebagai variabel tergantung.
Seratus dua belas subjek penelitian terdiri dari 54,5% (61/112) laki-laki
dengan rerata umur 44 tahun, diikuti sebanyak 6 kali HD berturut-turut dan
didapatkan 32,1% (36/112) mengalami HID. Semua subjek penelitian datanya
lengkap dan dapat dianalisis.
63
64
Karakteristik
HID (n=36)
Rerata SB
Nilai p
43,29,54
43,79,38
0.92
Laki
47,2
57,9
Perempuan
52,8
42,1
34,5033,15
34,8629,4
Chronic Pyelonephritis
61,1
57,9
Chronic Glomerulonephritis
38,9
39,5
Umur (tahun)
Jenis Kelamin (%)
Lama HD (bulan)
0.42
0.78
Etiologi (%)
Nefrosklerosis
0.75
Hemoglobin (g/dl)
8,21,6
8,31,31
0.43
3,90,6
3,80,53
0.60
86,710,2
56,2718,30
89,1620,12
54,817,3
0.49
155,728,41
157,86,4
0.06
54,3413,35
56,410,48
0.15
22,264,37
22,613,5
0.59
ACE Inhibitor
69,4
66,7
0.31
CCB
11,1
9,7
0.59
Beta Blocker
22,2
38,9
0.00
Clonidin
30,6
27,8
0.45
ARB
19,4
13,9
0.12
16,7
50,6
16,7
13,3
0.90
Dari Tabel 5.1 di atas terlihat bahwa rerata umur pasien adalah 43,759,39
tahun. Lama HD 34,7530,51 bulan. Etiologi dari PGK yang terbanyak adalah
pyelonefritis kronis. Rerata kadar Hemoglobin adalah 8,341,40 g/dl. Rerata
kadar albumin serum adalah 3,870,54 mg/dl. Hasil perkalian antara calsium dan
65
Tekanan
Darah
Pre HD
Kelompok
Post HD
Selisih
Kelompok
Nilai
p
HID
Non HID
(Rerata
SB)
(Rerata
SB)
Sistolik
142,522,89
143,2824,02
-0.79
Diastolik
84,7210,27
85,659,42
-0.10
Sistolik
140,5523,89
142,109,42
Diastolik
84,7210,27
86,849,26
HD-3
Sistolik
141,3819,29
141,9723,26
Diastolik
85,5512,05
85,529,14
0.02
0.98
HD-4
Sistolik
138,0521,20
141,2824,54
-3.13
0.51
Diastolik
85,2710,27
85,9211,33
-0.64
0.77
Sistolik
143,3329,17
141,4422,43
1.89
85,838,74
85,1310,39
0.70
138,3320,77
139,3420,74
83,339,85
85,138,71
140,6916,69
85,046,49
HD-1
HD-2
HD-5
Diastolik
HD-6
Sistolik
Diastolik
Rerata
Sistolik
Diastolik
Kelompok
Selisih
Kelompok
Nilai
p
HID
Non HID
(Rerata
SB)
(Rerata
SB)
0.87
147,224,56
144,2121,92
3.01
0.52
0.95
88,3312,07
85,658,3
2.68
0.17
-1.55
0.73
148,0523,52
144,7321,25
3.31
0.46
-2.12
0.28
87,2210,31
86,978,48
0.25
0.89
-0.58
0.89
148,0520,67
141,5719,73
6.48
0.11
87,512,27
86,848,82
0.66
0.75
140,5530,75
140,1525,86
0.39
0.94
86,388,3
86,9710,58
-0.58
0.77
0.71
144,4423,83
140,9220,86
3.52
0.42
0.72
87,2210,03
87,1010,04
0.11
0.95
-1.00
0.81
146,6624,14
138,5519,03
8.11
0.05
-1.79
0.33
86,669,56
85,528,06
1.14
0.51
141,5516,97
-0.86
0.80
145,8318,52
141,6916,11
4.14
0.23
85,706,13
-0.65
0.60
87,228,22
86,515,71
0.72
0.59
66
Pada pengamatan HD 1,2,4 dan 5 rerata TDS sampel baik pre HD maupun post
HD pada kelompok HID lebih tinggi daripada kelompok Non HID, sedangkan
pada pengamatan HD 3 dan HD 6 rerata TDS pre HD pada kelompok HID sedikit
lebih rendah pada kelompok HID. Setelah dilakukan analisis tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna antara TDS dan TDD pre HD maupun post HD antara
kelompok HID dan non HID.
Hemodialisis
(HD)
Volume UF (L)
Selisih
Kelompok
Nilai p
HID
(Rerata SB)
Non HID
(Rerata SB)
HD-1
3,371,00
2,541,16
0,83
0,00
HD-2
3,331,16
2,551,06
0,78
0,01
HD-3
3,511,05
2,541,15
0,98
0,00
HD-4
3,521,19
2,411,14
1,11
0,00
HD-5
3,681,03
2,471,23
1,20
0,00
HD-6
3,971,22
2,481,15
1,49
0,00
Rerata HD 1-6
3,560,91
2,500,98
1,27
0,00
Pada Tabel 5.3 di atas terlihat bahwa pada HD 1 sampai 6, dan secara
rerata UF pada kelompok HID lebih besar daripada kelompok non HID.
67
Natrium
(mmol/L)
Kalium
(mmol/L)
Kalsium
(mol/dL)
2,62
3,98
3,75
5,58
3,49
-2,08
0,97
0,87
1,04
8,92
11,03
2,1
0,94
1,08
1,49
2,76
3,61
3,78
5,11
3,40
-1,70
0,80
0,60
0,85
9,13
10,61
1,47
,05
1,07
1,46
Selisih
Kelompok
Nilai
p
0,37
0,63
-0,38
0,05
0,63
0,03
Dari Tabel 5.4 di atas terlihat bahwa selisih kadar serum Na, K dan Ca
post HD dan pre HD pada kelompok HID lebih besar daripada kelompok non
HID. Setelah dilakukan analisis, didapatkan bahwa selisih kadar Natrium tidak
berbeda antara kelompok HID dan non HID, sedangkan selisih kadar K dan Ca
pada kelompok HID dan non HID berbeda bermakna.Terjadi peningkatan kadar
serum kalsium post HD pada kedua kelompok yaitu HID dan non HID,
peningkatan yang lebih besar tampak pada kelompok HID. Hal yang sebaliknya
terjadi pada kadar kalium, terjadi penurunan kadar kalium post HD pada kedua
kelompok dengan penurunan lebih besar pada kelompok HID.
68
Kadar
serum
5,47
1,4
4,79
0,81
0,47
-0,33
0,23
0,14
0,22
2,14
2,37
0,18
1,25
1,12
0,41
NO (M)
ADMA
(m/L)
ET-1
(pq/ml)
3,27
2,22
2,77
0,78
0,95
0,27
0,24
0,51
0,20
2,39
2,58
0,18
1,19
1,35
0,70
Selisih
Kelompok
Nilai
p
-5.59
0,0
-0.06
0,16
0.00
0,99
Pada Tabel 5.5 di atas terlihat bahwa terjadi penurunan kad(Rerata SB)ar
NO post HD pada kedua kelompok. Penurunan NO lebih besar pada kelompok
HID dibandingkan dengan kelompok non HID (-9,84,79 vs -4,222,77 M).
Hal yang berbeda terjadi pada kadar serum ADMA, Pada kelompok HID terjadi
penurunan kadar serum ADMA post HD sedangkan pada kelompok non HID
terjadi peningkatan kadar serum ADMA (-0,330,22 vs 0,270,20 m/L), tetapi
selisih ADMA ini tidak berbeda antara kelompok HID dan non HID. Hal yang
berbeda terlihat pada kadar serum ET-1, terjadi peningkatan kadar serum ET-1
post HD yang hampir sama pada kelompok HID dan non HID (0,180,41 vs
0,180,70 pq/ml), tetapi peningkatan ini tidak berbeda antara kelompok HID dan
non HID.
69
5.6 Hubungan antara perubahan kadar NO, ET-1, ADMA dan HID
Untuk melihat hubungan antara perubahan kadar serum NO, ET-1, ADMA
saat HD dengan kejadian HID serta hubungan antara volume UF yang dilakukan
saat HD dengan kejadian HID, dilakukan analisis regresi, dan untuk
menghilangkan pengaruh
NO
(setiap peningkatan 1 m/L)
ADMA
(setiap peningkatan 1 m/L)
ET-1
(setiap peningkatan 1 pg/ml)
Volume UF (setiap 1 liter
meningkat)
UF berlebih ( Volume UF >
4,8% BB Kering)
Setiap 1% meningkat
Unadjusted
OR
IK 95%
Nilai
P
Adjusted
OR
IK 95%
Nilai
P
0,59
0,48-0,72
0,00
0,60
0,49-0,73
0,00
0,26
0,04-1,67
0,16
0,15
0,02-1,19
0,07
1,00
0,53-2,89
0,99
0,94
0,49-1,794
0,85
4,28
2,41-7,62
0,00
5,17
2,64-10,11
0,00
100,45
21,05-479,33
0,00
167,19
27,56-1013,91
0,00
Keterangan :
Adjusted OR setelah dilakukan pengontrolan terhadap:
1. Jumlah obat anti hipertensi yang dikonsumsi
2. Selisih natrium post - pre HD
3. Selisih Ca post - pre HD
Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi NO memiliki tingkat
signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian
yang menyatakan NO memiliki pengaruh yang signifikan terhadap HID diterima.
Nilai OR dari NO adalah 0,59, ini berarti bahwa jika variabel bebas lainnya tetap
atau tidak berubah, maka setiap peningkatan 1 mol/L NO akan menyebabkan
kejadian HID sebesar 59%. Pengaruh ini tetap signifikan setelah dilakukan
70
71
variabel bebas lainnya tetap atau tidak berubah, maka setiap peningkatan 1 liter
UF akan menyebabkan kejadian HID sebesar 4,28 kali. Pengaruh ini tetap
signifikan setelah dilakukan pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah
obat antihipertensi yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD
(nilai p=0,001, nilai adjusted OR = 5,17 (95% CI 2,64-10,11).
Dari Tabel 5.6 di atas terlihat pula bahwa koefisien regresi UF berlebih ( UF
>4,8% BB kering) memiliki tingkat signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari
0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan UF berlebih memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap HID diterima. Nilai OR dari UF berlebih
adalah 100,45 ini berarti bahwa jika variabel bebas lainnya tetap atau tidak
berubah, maka setiap peningkatan 1 persen UF diatas BB kering akan
menyebabkan kejadian HID sebesar 100 kali. Pengaruh ini tetap signifikan setelah
dilakukan pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi
yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD (nilai p=0,001, nilai
adjusted OR = 167,19 (95% CI 27,56-1013,91).
72
z2
NO
z1
Hipertensi
Intradialitik
Volume
Ultrafiltrasi
z3
Endothelin-1
z4
ADMA
Gambar 5.1
Model Struktural/Path Diagram
73
0.11
NO
-0.05
-1.37
z1
1.17
0.16
Volume
Ultrafiltrasi
0.06
Hipertensi
Intradialitik
0.38
0.02
z3
-0.03
Endothelin1
z4
-0.11
0.04
ADMA
Gambar 5.2
Hasil analisis jalur model struktural
sedangkan variabel yang paling kuat berpengaruh terhadap HID adalah UF. Efek
total yang paling kuat terhadap HID adalah efek dari UF (24%).
74
Tabel 5.7
Hubungan antara 2 variabel konstruk
No
1
2
3
4
5
6
7
Variabel
Vol. UF ADMA
Vol. UF ET-1
Vol. UF NO
Vol. UF HID
NO HID
ET-1 HID
ADMA HID
Regression weight
Estimate
CR
-0,26
0,04
-1,23
0,18
-0,06
-0,02
-0,14
-1,35
0,70
-3,70
5,74
-7,08
-0,25
-0,97
Standardize
regression
weight
0,18
0,48
***
***
***
0,80
0,33
-0,13
0,07
-0,34
0,40
-0,49
0,02
-0,06
75
Untuk melihat seberapa erat hubungan antar konstruk, dapat dilihat pada
nilai Standardized regression weight. Dari analisis didapatkan bahwa faktor
loading NO terhadap HID = 0,5. Hal ini berarti bahwa NO dapat menjelaskan
kejadian HID. Ada korelasi yang erat antara NO dengan HID. Faktor loading
volume UF terhadap NO serta faktor loading volume UF terhadap HID masingmasing 0,3 dan 0,4 berurutan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang cukup erat antara volume UF dengan NO serta volume UF dengan HID.
Tabel 5.8 di bawah ini menunjukkan besarnya hubungan antar variabel konstruk
(ADMA, NO, ET-1 dan UF) dengan HID sebagai variabel tergantung.
Tabel 5.8
Hubungan antar variabel konstruk dengan HID sebagai variabel tergantung
NO HID
ET-1 HID
ADMA HID
UF HID
Efek Total
-0,05
-0,02
-0,12
0,24
Efek langsung
-0,05
-0,02
-0,12
0,16
Efek tidak
langsung
0,00
0,00
0,00
0,07
Efek
Dari Tabel 5.8 di atas terlihat bahwa volume UF mempunyai efek total
dan efek langsung yang paling kuat terhadap kejadian HID.
76
Tabel 5.9
Hubungan antar variabel konstruk dengan UF sebagai variabel bebas
UF NO
UF ADMA
UF ET-1
UF HID
Efek total
-1,37
-0,03
0,06
0,24
Efek langsung
-1,37
-0,03
0,06
0,16
Efek tidak
langsung
0,00
0,00
0,00
0,07
Efek
Dari Tabel 5.9 di atas terlihat bahwa efek total dan efek langsung yang
paling kuat adalah efek volume UF terhadap NO, diikuti dengan efek volume UF
terhadap HID.
Dari Gambar 5.2 dan Tabel 5.9 di atas terlihat bahwa terdapat hubungan
langsung yang signifikan dan erat antara volume UF dengan HID (CR 5,74; p
<0,01, efek langsung 16% dan efek total 24%). Terdapat hubungan yang
signifikan antara
137%). Terdapat hubungan langsung antara NO terhadap HID (CR -7,08; p<0,01,
efek langsung 5%).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UF dan NO mempunyai efek
yang signifikan terhadap HID, NO mempunyai efek yang paling signifikan
terhadap HID (CR -7,08), dibandingkan dengan UF (CR 5,74). Sementara itu UF
juga mempunyai efek yang signifikan terhadap NO (CR -3,70). Jadi dari gambar
77
tersebut pula dapat dilihat hubungan tidak langsung antara volume UF dengan
HID melalui perubahan kadar NO serum.
78
BAB VI
PEMBAHASAN
mengalami HID terdapat disfungsi endotel (Inrig et al., 2011). Penelitian yang
kami lakukan mendukung penemuan tersebut yaitu terbukti adanya hubungan
antara penurunan kadar NO serum dengan kejadian HID. Penurunan NO serum
menunjukkan keterlibatan disfungsi endotel dalam kejadian HID. Temuan baru
dari penelitian ini adalah terbukti adanya hubungan antara UF yang berlebihan
saat HD dengan penurunan kadar NO dan kejadian HID. Pada penelitian ini juga
didapatkan hubungan langsung antara volume UF dan HID, penurunan kadar NO
dengan HID serta hubungan tidak langsung antara volume UF dengan HID
melalui penurunan kadar NO.
78
79
kemaknaan = 0,05. Hasil pengujian variabel ADMA pre dan post HD, NO pre
HD, UF berdistribusi normal oleh karena p>0,05. Sedangkan kadar NO post HD,
ET-1 pre dan post HD tidak berdistribusi normal karena nilai p<0,05.
80
definisi HID adalah bila terjadi peningkatan TDS post HD sebesar 10 mmHg
atau hipertensi yang resisten terhadap UF yang terjadi setelah HD (Rubinger et
al., 2012). Prevalensi yang berbeda-beda ini mungkin disebabkan karena
perbedaan metode pengamatan dan perbedaan definisi HID yang dipakai. Salah
satu kesulitan mendefinisikan HID adalah karena sampai saat ini belum ada target
tekanan darah saat HD yang pasti,
ahli (Levin et al., 2012).
81
sirkulasi. Pada penelitian in vitro didapatkan bahwa aktivitas NOS meningkat saat
darah diekspose pada membran dialiser (Fliser et al., 2003).
Dengan ditemukannya hubungan antara kadar NO serum dengan kejadian
HID, penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya. Penelitian oleh Chou
et al., membandingkan antara 30 pasien dengan HID dan 30 orang kontrol, pada
pasien yang prone terhadap hipertensi terdapat peningkatan resistensi pembuluh
darah sistemik dan penurunan signifikan NO relatif terhadap ET-1 pada saat akhir
HD (Chou et al., 2006).
Nitric oxide dibentuk di berbagai lokasi, produksi lokal menentukan
aktivitas fisiologisnya. Pada PGK terjadi disfungsi endotel yang ditandai dengan
82
83
84
85
pathogenesis dari rebound hipertensi dan hipotensi saat HD (Shafei et al., 2008).
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang kami lakukan yaitu tidak didapatkan
adanya hubungan yang signifikan antara perubahan kadar serum
ET-1 dan
kejadian HID. Hal ini mungkin disebabkan karena kadar ET-1 pre maupun post
HD kelompok HID justru lebih rendah daripada kelompok kontrol.
6.10 Hubungan antara volume UF dengan kadar ET-1, NO, dan ADMA
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mencari hubungan
antara volume UF saat HD dengan perubahan kadar ET-1, NO dan ADMA. Pada
penelitian ini dengan analisis jalur didapatkan hubungan yang signifikan antara
volume UF dengan NO (nilai p <0,01) dan tidak ada hubungan antara volume UF
dengan ADMA dan ET-1. Pada saat dilakukan UF yang berlebih terjadi
penurunan NO sehingga mungkin hal ini menyebabkan tidak terjadi respon
vasodelatasi yang diperantarai oleh NO, sehingga hal ini mungkin dapat
menjelaskan sebagian dari terjadinya HID melalui keterlibatan endotel. Penemuan
ini mendukung teori yang menyatakan disfungsi endotel sebagai salah satu
etiologi dari HID. Belum ada penelitian yang menjelaskan bagaimana mekanisme
UF yang berlebih menyebabkan penurunan NO.
86
berlebih, terjadi penarikan cairan dalam jumlah yang banyak dari kompartemen
darah, hal ini mungkin menyebabkan terjadi aktivasi simpatis yang menyebabkan
kenaikan tekanan darah saat HD.
Rubinger et al., pada penelitiannya terhadap 108 pasien dengan HD reguler
mendapatkan terjadi overaktivitas simpatis pada pasien yang mengalami HID.
Overaktivitas simpatis merupakan mekanisme yang penting yang menjelaskan
kejadian HID. Pencetus dari terjadinya peningkatan aktivitas simpatis pada pasien
dengan HD masih perlu di teliti lebih jauh (Rubinger et al., 2012).
Penelitian kohort retrospektif terhadap 22195 tindakan HD pada JanuariAgustus 2010, menghubungkan HID (didefinisikan sebagai peningkatan TDS pre
HD ke post HD sebesar 10 mmHg) dengan ultrafiltration rate yaitu volume UF
dibagi dengan lama sesi HD (menit) mendapatkan pada pasien dengan HID
mendapatkan kecepatan filtrasi yang lebih rendah daripada yang tanpa HID (10,4
vs 12,2 ml/menit, p 0,02) (Van Buren et al., 2012).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kovacik et al., terhadap 23 pasien
dengan HD reguler mendapatkan volume UF berhubungan kuat dengan tekanan
87
nadi postdialisis (Kovacik et al., 2003). Belum diteliti mengenai hubungan antara
volume UF dengan kejadian HID.
6.12
ADMA serta volume UF yang dilakukan terhadap kejadian HID, dibuat model
struktural dan dianalisis dengan analisis jalur menggunakan program AMOS.
Variabel eksogen atau independent adalah: NO, ADMA dan ET-1 sedangkan
variabel endogen atau dependent adalah HID. Setelah analisis didapatkan
hubungan yang signifikan antara volume UF saat HD dengan kadar serum NO,
antara volume UF saat HD dengan HID, dan antara kadar serum NO dengan
HID. Tidak ada hubungan antara, ET-1 dengan HID, antara ADMA dengan HID,
volume UF dengan ADMA, dan volume UF dengan ET-1.
Setelah dilakukan analisis keeratan hubungan (Standardized Regression
weight) didapatkan ada korelasi yang erat antara NO dengan HID, dan terdapat
hubungan yang cukup erat antara volume UF dengan NO serta volume UF dengan
HID. Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa volume UF saat HD memiliki
efek total dan efek langsung yang paling kuat terhadap kejadian HID.
Juga
didapatkan bahwa volume UF memiliki efek total dan langsung paling kuat
terhadap kadar serum NO dan kejadian HID berturutan. Sehingga dengan analisis
jalur dapat disimpulkan hubungan antara NO, ADMA, ET-1, UF dan HID sebagai
berikut: bahwa terdapat hubungan langsung yang signifikan dan erat antara
volume UF saat HD dengan kejadian HID. Terdapat hubungan yang signifikan
antara
volume UF saat HD
88
langsung antara kadar serum NO dengan kejadian HID dan terdapat hubungan
tidak langsung antara volume UF saat HD
89
6.13
Keterbatasan Penelitian
6.14
Kebaruan Penelitian
Dari penelitian yang telah kami lakukan, maka dapat diuraikan bahwa
90
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Ultrafiltrasi yang berlebih saat HD berperan terhadap kejadian HID, ini
dibuktikan dengan adanya hubungan yang signifikan antara UF yang
berlebih dengan kejadian HID.
2. Peranan UF yang berlebih terhadap kejadian HID diperantarai oleh
penurunan kadar NO serum saat HD. Hal ini terbukti dari adanya
hubungan langsung antara kadar NO serum dengan kejadian HID dan
hubungan tidak langsung antara volume UF saat HD dengan kejadian HID
melalui penurunan kadar NO.
3. Perubahan kadar ADMA dan ET-1 tidak berperan dalam kejadian HID.
Hal ini diperkirakan disebabkan karena rerata kadar ADMA dan ET-1
pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian-penelitian sebelumnya.
7.2 Saran
Dengan keterbatasan penelitian yang dilakukan, maka sebagai penelitian
lanjutan dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan antara HID dan disfungsi
endotel melalui pemeriksaan marker disfungsi endotel yang lebih akurat.
2. Usaha-usaha untuk menekan HID melalui penentuan UF yang tepat saat HD
dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.
90
91
DAFTAR PUSTAKA
Abedini, S., Meinitzer, A., Holme, I., Marz, M., Weihrauch, G., Fellstrm, B.,
Jardine, A., and Holdaas, H. 2010. Asymmetrical Dimethylarginine is
Associated with Renal and Cardiovascular Outcomes and All-cause Mortality
in Renal Transplant Recipients. Kid Int, 77: 4450.
Aird, W.C., 2007. Phenotypic Heterogeneity of the Endothelium : I. Structure,
Function, and Mechanisms. Circ Res,100:158-73.
Agarwal, R., and Light, R.P. 2010. Intradialytic Hypertension is a Marker of
Volume Excess. Nephrol Dial Transplant, 25(10): 335561.
Agarwal, R., and Weir, M.R. 2010. Dry-Weight: A Concept Revisyed in an Effort
to Avoid Medication-Directed Approaches for Blood Pressure Control in
Hemodialysis Patients. Clin J am Soc Nephrol, 5:1255-60.
Agarwal, R., Metiku, T., Tegegne, G., Light, R.P., Bunaye, Z., Bekele, D.M., and
Kelley, K. 2008. Diagnosing Hypertension by Intradialytic Blood Pressure
Recordings. Clin J Am Soc Nephrol, 3: 136472.
Agustriadi, O. 2009. Hubungan antara Perubahan Volume Darah Relatif dan
Episode Hipotensi Intradialitik Selama Hemodialisis pada Gagal Ginjal
Kronik (karya akhir). Denpasar: Universitas Udayana.
Amerling, R.C.G., Dubrow, A., Levin, N.W., Psheroff, R., 1995. Complications
During Hemodialysis. Stamford, CT: Appleton and Lange.
Balk, R.A., Casey, L.C. 2000. Sepsis and Septic Shock. Critical Care Clinics.
Bassenge, E., Zanzinger, J. 1992. Nitrates in different vascular beds, nitrate
tolerance, and interactions with endothelial function. Am J Cardiol; 70:23B9B.
Baylis, C. 2006. Arginine, arginine analogs and nitric oxide production in chronic
kidney disease, Nature Clinical Practice. Nephrology;2(4): 20920.
Baylis, C. 2008. Nitric Oxide Deficiency in Chronic Kidney Disease. Am J
Physiol Renal Physiol, 294:F1-F9.
Beiber, S.D. dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schriers Disease of the
Kidney. 9th edition. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C.,
Schrier, R.W. editors. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia:2473505.
Bussemarker, E., Passauer, J., Reimann, D., Schulze, B., Reichel, W., and Gross,
P. 2002. The Vascular Endothelin System is not Overactive in Normotensive
Hemodialysis Patients. Kid Int, 62: 940-48.
Chazot, C., and Jean, G. 2010. Intradialytic Hypertension: It Is Time to Act.
Nephron Clin Pract;115:c18288.
92
Chou, K.J., Lee, P.T., Chen, C.L., Chiou, C.W., Hsu, C.Y., Chung, H.M., Liu,
C.P., and Fang, H.C. 2006. Physiological changes during hemodialysis in
patients with intradialysis hypertension. Kid Int;69: 183338.
Cirit, M., Akicek, F., Terzioglu, E., Soydas, C., Ok, E., Ozbasli, C.F., Basci, A.,
Mees, D. 1995. Paradoxical rise in blood pressure during ultrafiltration in
dialysis patients. Nephrol Dial Transplant;10:1417-20.
Corretti, M.C., Anderson, T.J., Benjamin, E.T. 2002. Guidelines for the
ultrasound assessment of endothelial-dependent flow-mediated vasodilation
of the brachial artery: a report of the International Brachial Artery Reactivity
Task Force. J Am Coll Cardiol;39:257-65.
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysis. 4th ed.
Phildelphia. Lipincott William & Wilkins.
Dhaun, N., Goddard, J., Webb, D.J. 2006. The Endothelin System and Its
Antagonis in Chronic Kidney Disease. J Am Soc Nephrol;17:943-55
Dhaun, N., Goddard, J., Kohan, D.E., Pollock, D.M., Schiffrin, E.L., Webb, D.J.
2008. Role of Endothelin-1 in Clinical Hypertension : 20 Years On.
Hypertension; 52:452-59.
Ding, H., Triggle, C.R. 2005. Endothelial cell dysfunction and the vascular
complications associated with type 2 diabetes: assessing the health of the
ium. Vasc Health Risk Manag;1:55-71.
Felner, S.K. 1993. Intradialytic Hypertension: II. Semin Dial;6:371-73.
Fliser, D., Kielstein, J.T., Haller. H., BodeBoGer, S.M. 2003. Asymmetric
dimethylarginine: A cardiovascular risk factor in renal disease? Kid
Int;63(84):. S3740.
Fliser, D., Kronenberg, F., Kielstein, J.T., Morath, C., BodeBoger, S.M.,
Haller,H., and Ritz, E. 2004. Asymmetric Dimethylarginine and Progression
of Chronic Kidney Disease: The Mild to Moderate Kidney Disease Study. J
Am Soc Nephrol 16: 245661.
Fliser, D. 2011. The dysfunctional endothelium in CKD and in cardiovascular
disease: mapping the origin(s) of cardiovascular problems in CKD and of
kidney disease in cardiovascular conditions for a research agenda, Kid Int
Supplements;1: 69
Flythe, J.E., Kimmel, S.E., and Brunelli, S.M. 2011. Rapid fluid removal during
dialysis is associated with cardiovascular morbidity and mortality. Kid
Int;79:25057.
Gunal, A.I., Karaca, I., Celiker, H., Iikay. E., and Duman, S. 2002. Paradoxical
rise in blood pressure during ultrafiltration is caused by increased cardiac
output. J Nephrol.15, 42-7.
Guzik, T.J., dan Harrison, D.G. 2006. Vascular NADPH oxidases as drug targets
for novel antioxidant strategies. Drug Discovery Today; 11 (11-12): 52433.
Hansson, G.K. Inflammation, atherosclerosis, and coronary artery disease. N Engl
J Med 2005; 352: 168595
93
94
Levin NW, Kotanko P, Eckardt KU, et al. 2012. Blood pressure in chronic kidney
disease stage 5D-report from a Kidney Disease Improving Global Outcomes
controversies conference. Kidney Int; (77)273-84.
Locatelli, F., Cavalli, A., and Tucci, B. 2010. The growing problem of
intradialytic Hypertension. Nephrol; 6: 418.
Madiyono, B. 2010. In: Sastroasmoro S dan Ismael S., editors. Dasar-dasar
Metodologi Penelitian Klinis. 3rd. Ed. Sagung Seto.p 302-31.
Martens, C.R., dan Edwards, D.O. 2011. Peripheral Vascu;ar Dysfunction in
Chronic Kidney Disease. Cardiology Research and Practice;2011:1-9.
McGregor, D.O., Buttimore, A.L., Lynn, K.L., Yandle, T., and Nicholls, M.G.,
2003. Effects of long and short hemodialysis on endothelial function: A shortterm study. Kid Int(63); 70971.
McIntyre, C.W. 2009. Effects of hemodialysis on cardiac function. Kid Int : 76,
37175.
Mees, D. 1996. Rise in blood pressure during hemodialysis-ultrafiltration: a
paradoxical phenomenon? Int J Artif Organs;19:569-70.
Morris, S.T., McMurray, J., Spiers, A., and Jardine, A.G. 2001. Impaired
endothelial function in isolated human uremic resistance arteries. Kid Int; 60:
107782.
Nissenson, A.R., and Fine, R.N. 2008. Handbook of Dialysis Therapy. 4th ed.
Saunders Elsevier. Philadelphia.
Oberg, B.P., McMenamin, E, Lucas, F.L. 2004. Increased prevalence of oxidant
stress and inflammation in patients with moderate to severe chronic kidney
disease. Kid Int;. 65(3): 100916.
Peixoto AJ. 2007. Can diagnostic marker predict blood pressure response in
hypertensive dialysis patients? Semin Dial;20:411-15.
Pradhan, A.D., Manson, J.E., Rifai, N. 2001. C-ractive protein, interleukin-6 and
risk to developing type 2 diabetes mellitus. JAMA;286:327-34.
Raj, D., Vincent, B., Simpson, K., Sato, E., Jones, K.L., Welbourne, T.C., Levi,
M.V., Blandon, P., Zager, P., and Robbins, R.A. 2002. Hemodynamic
changes during hemodialysis: Role of nitric oxide and endothelin. Kid Int;61:
697704.
Raka, W.I.G., dan Suwitra, K. 2011. Paradoxical post dialytic blood pressure
reaction and association with dialysis modality. Buku Proceeding The 5th
Scientific meeting on hypertension - InaSH 2011.
Rizzioli, E., Incasa, E., Gamberini, S., and Manfredini, R. 2009. Management of
intradialytic hypertension: old problem, old drug? Intern Emerg Med; 4:271
72
Rubinger, D., Backenroth, R., Sapoznikov, D. 2012. Sympathetic Activation and
Baroreflex Fuction during Intradialytic Hypertensive Episodes. PloS ONE;
7(5): 1-12
95
96
97
Pendahuluan
Persetujuan (Informed Consent) pada hakekatnya adalah untuk menghargai hak
individu untuk memperoleh penjelasan yang cukup dan tepat berkaitan dengan
penelitian yang akan dilaksanakans ebelum yang bersangkutan / calon peserta
penelitian membuat keputusan yang benar.
Informed consent seyogyanya mengandung hal-hal penting sebagai berikut:
1. Penjelasan rinci dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti
berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan.
2. Adanyan
jaminan
bahwa
penderita
mendapatkan
kebebasan
untuk
memutuskan apakah ikut serta aau menolak, oleh karena secara moral maupun
legal penderita memiliki hak untuk itu.
98
99
saat HD dan
nitric oxide
dan endothelin-1
100
yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide synthase dan endothelin-1
(ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting
terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah
khususnya termasuk kejadian HID (Locatelli et al, 2010). Disfungsi endotel dapat
menyebabkan perubahan terhadap tekanan darah saat HD, baik hipotensi maupun
hipertensi intradialitik Perubahan ini
endotel, sistem saraf simpatis dan kontrol dari resistensi vaskular perifer (Raj et
al., 2002). Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 saat HD antara
kontrol dan penderita yang prone terhadap hipertensi. Pada saat HD berakhir
pada penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dan penurunan
signifikan pada rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006).
Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pada individu dengan HID terjadi
peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah HD (Shafey et al., 2008).
Pada penelitian Cohort case control 25 pasien HD reguler yang mengalami
episode HID, didapatkan hubungan antara HID dan disfungsi endotel. Pada
penelitian ini didapatkan bahwa disfungsi endotel dapat menjelaskan sebagian
penyebab kejadian HID (Inrig et al., 2011).
Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara
disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi
endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Banyak hal
yang belum dapat diterangkan baik patofisiologi, mekanisme dan strategi terapi
yang tepat pada HID. Dari uraian di atas kami ingin mencari hubungan antara UF
yang berlebih saat HD dengan terjadinya episode HID melalui keterlibatan
disfungsi endotel. Kami ingin mengetahui hubungan antara UF yang berlebih saat
HD dengan disfungsi endotel pada pasien yang mengalami
endotel
HID. Disfungsi
penurunan NO serum.
Rumusan Masalah :
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat
berikut yaitu:
101
Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah : Untuk mengetahui peranan UF dalam
patogenesis terjadinya HID
Tujuan khusus
Untuk membuktikan :
1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD
berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
102
Manfaat Penelitian
Manfaat akademis
Jika pada penelitian ini terbukti bahwa UF yang berlebih saat HD berperan
dalam terjadinya HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya
kadar ADMA atau meningkatnya ET-1 atau menurunnya NO) pada penyandang
HD reguler, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan dengan UF yang
berlebih sebagai dasar patogenesis HID melalui disfungsi endotel.
Manfaat praktis
Secara praktis, jika terbukti UF yang berlebih saat HD sebagai faktor risiko
kejadian HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya kadar
ADMA atau meningkatnya ET-1 atau menurunnya NO) pada pasien HD reguler
maka usaha-usaha untuk menekan disfungsi endotel melalui penentuan UF yang
tepat dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.
103
Tatalaksana penelitian :
1. Prosedur yang dilaksanakan pada penderita sesuai dengan protap rutin dan
penunjang lainnya maupun pengelolaan / perawatan
2. Prosedur tambahan pada penelitian ini adalah pengambilan darah vena untuk
pemeriksaan ADMA, NO dan ET-1
Pembiayaan terkait :
Poin 1 : adalah ditanggung penderita
Poin 2 : adalah ditanggung peneliti
Penutup :
Untuk dapat berlangsungnya penelitian dengan baik, maka mutlak diperlukan
kerjasama yang baik antara penderita / keluarga dan peneliti.
104
Surat Persetujuan
Ikut Serta dalam Penelitian
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: .....................................................................................
Umur
: .....................................................................................
Jenis Kelamin
: .....................................................................................
Etnia
: .....................................................................................
Pekerjaan
: .....................................................................................
Alamat
: .....................................................................................
No. KTP
: .....................................................................................
No.Telp/HP
: .....................................................................................
Nama Pendamping
: .....................................................................................
: .....................................................................................
Denpasar,
Mengetahui
Yang menyetujui
Peserta penelitian
( )
(.)
( )
( )
Lampiran 2
2012
105
Reagensia
: ADMA
Sampel
2. Prinsip
: Quantitative sandwich enzyme immunoassay technique
Monoclonal antibodi spesifik untuk ADMA di precoated ke dalam Microplate
precoated antibodi
Serum + enzyme linked poliklonal ( rabbit anti-ADMA antiserum )
Reaksi Ag Ab. Pencucian (untuk melepaskan ikatan antigen / free antigen
berlebih ) + anti-rabbit / peroxidase, inkubasi conjugate solution, Inkubasi
Pencucian, + Substrate TMB/peroxidaase komplek warna + Stop solution
Antibodi yang terikat pada solid phase ADMA dibaca pada panjang
gelombang 450 nm. Jumlah antibodi yang terikat pada phase solid ADMA
jumlahnya berbanding terbalik dengan konsentrasi ADMA dalam sampel.
3. Langkah Pemeriksaan:
a. Persiapkan reagen
-
b. Persiapan sampel
-
106
Standar, kontrol dan sampel yang telah dipreparasi dipipet masingmasing 50 L ke dalam sumur strip mikrotiter yang telah dilabel.
Setiap sumur reaksi diisi dengan 50 mL antiserum ADMA dan
dishaker sebentar.
Mikroteter strip ditutup dengan plastik perekat dan diinkubasi selama
15-20 jam pada suhu 2 8oC.
Larutan dalam mikrotiter dihisap dengan mesin pencuci atomatis
dengan menggunakan larutan pencuci yang telah dibuat dan dibilas
sebanyak 4 kali.
Setiap sumur reaksi ditambahkan 100 L enzim konjugat, selanjutnya
diinkubasi selama 60 menit pada temperatur ruang di atas orbital
shaker.
Dicuci dan dibilas 4 kali dengan larutan pencuci.
Setiap sumur reaksi diisi dengan 100 L substrat dan diinkubasi
selama 20 30 menit pada temperatur ruang dan di atas orbital shaker.
Ditambahkan 100 mL larutan stop ke dalam setiap sumur reaksi.
Larutan dibaca dengan reader ELISA (photometer) pada panjang
gelombang 450 nm dan panjang gelombang reference 620 nm.
d. Interprestasi
-
107
Lampiran 3
: Endothelin - 1
Sampel
2. Prinsip Pemeriksaan
Pemeriksaan ini
menggunakan teknik quantitatif sandwich enzyme
immuno-assay. Sebelumnya antibody monoklonal spesifik untuk ET 1 telah
di-coated dalam microplate. Standard, sample, control, dan conjugate dipipet
ke dalam well dan keberadaan ET 1 akan disandwich (dipasangkan) oleh
immobilized antibody dengan antibody enzyme-linked monoklonal spesifik
untuk ET 1. Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan substansisubstansi yang tidak terikat dan atau reagen antibody-enzyme, selanjutnya
larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan kemudian terbentuklah
pembentukan warna yang sebanding dengan jumlah ET 1 yang terikat.
Pembentukan warna dihentikan dan kemudian intensitas warna diukur.
3. Penanganan Reagen
- Wash Buffer
Encerkan 20 mL wash buffer konsentrat ke dalam Aquabidest untuk
persiapan 500 mL Wash Buffer.
-
Larutan Substrate
Color Reagen A dan Color Reagen B di campur dengan perbandingan
volume yang sama. Dibuat 15 menit sebelum digunakan. Lindungi dari
sinar matahari.
Endothelin-1 Standard
Larutkan Endothelin-1 Standard dengan 1 mL aquabidest. Larutan
tersebut merupakan Larutan stock standard dengan konsentrasi 250 pg/ml.
Biarkan minimal 15 menit dengan pengocokan.
108
4. Prosedur Kerja
1. Siapkan semua reagen, sampel, dan standard.
2. Tambahkan 150 l Assay Diluent RD1-105 ke dalam well.
3. Tambahkan 75 l standard, kontrol, dan sampel ke dalam masing-masing
well, campur dengan baik. Pastikan penambahan reagen tak terputus dan
selesai dalam waktu 10 menit.
4. Tutup plate dengan plate sealer yang tersedia dan inkubasi pada suhu
kamar selama 1 jam dengan shaker.
5. Buang isi dari tiap well dan cuci dengan menambahkan 400 l Wash Buffer
ke dalam masing-masing well. Ulangi proses tersebut sebanyak 3 kali (total
pencucian sebanyak 4 kali). Setelah pencucian terakhir, buang isi dari well,
buang sisa Wash Buffer dengan mengetuk-ngetukkan plate secara terbalik
pada lap kertas yang bersih.
6. Segera tambahkan 200 l Conjugate ke dalam masing-masing well. Tutup
plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar selama 3 jam
dengan shaker.
7. Ulangi proses no. 5
8. Segera tambahkan 200 l Substrate Solution ke dalam masing-masing
well. Tutup plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar
selama 30 menit, lindungi dari cahaya.
9. Tambahkan 50 l Stop Solution ke dalam masing-masing well.
10. Tentukan optical density dari tiap well dalam waktu 30 menit
menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm dan
panjang gelombang koreksi pada 540 nm atau 570 nm.
109
Lampiran 4
: Colorimetric Assay
: Micro reader panjang gelombang 450 nm
: Nitrate/Nitrite Cayman
Nitarte reductase
1.
Prinsip
: Nitrate( NO3- )
Nitrite ( NO2-)
Assay Buffer
Encerkan Assay Buffer vial sampai 100 ml dengan air Ultrapure.
2.
3.
4.
110
5.
6.
c. Prosedur Kerja
1. Tambahkan 200 l air atau Assay Buffer ke dalam well.
2. Tambahkan 80 l sampel/larutan sampel ke dalam well. Jumlah
volume final disesuaikan sampai 80 l dengan Assay Buffer
solution.
3. Tambahkan 10 l enzyme cofactor mixture (vial 3) ke dalam well.
4. Tambahkan 10 l Nitrate reduktase mixture (vial 2) ke dalam well.
5. Tutup plate dengan plate cover, inkubasi pada suhu kamar selama 1
jam.
6. Tambahkan 50 l Griess Reagent R1 (vial 6) ke dalam well.
7. Segera Tambahkan 50 l Griess Reagent R2 (vial 7) ke dalam well.
8. Biarkan terjadi perubahan warna selama 10 menit pada suhu ruang.
Plate tidak perlu ditutup.
9. Tentukan absorbansi pada panjang gelombang 540 nm atau 550 nm.
111
Kegiatan
Bulan
7
1.
Survey
Sosialisasi penelitian
Pelaksanaan Penelitian
10
11
12
x
x
112
Lampiran 6.
Rincian Biaya
Biaya yang akan dikeluarkan dalam penelitian ini adalah:
a. Biaya Bahan dan Alat
1) Kit pemeriksaan NO, ET-1, ADMA
Rp. 93.000.000,00@
Rp. 14.400.000,00
2) Pemeriksaan Na, K, Ca
Rp
42.000.000,00
Rp.
6.300.000,00
Rp.
600.000,00
2) Alat-alat tulis
Rp.
200.000,00
Rp.
200.000,00
b. Biaya Operasional
1) Honor Pembantu peneliti 6 orang
@ 50.000 selama 21 hari
c. Biaya ATK
Total biaya
Rp. 2.750.000,00
Rp. 145.050.000,00
Total biaya yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebesar Rp. 145.050.000,00
113
Lampiran 7.
KUESIONER PENELITIAN
I.
II.
IDENTITAS
1.
Nama
: ....................................................................
2.
Sex
: ....................................................................
3.
Umur
: ....................................................................
4.
Suku Bangsa
: ....................................................................
5.
Alamat
: ....................................................................
6.
Nomor telp.
: ....................................................................
7.
Pendidikan
: ....................................................................
8.
Pekerjaan
: ....................................................................
9.
Nama pendamping : ....................................................................
10.
No. Telp Pendamping .................................................................... :
ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit:
a. HD pertama kali : . (Tgl/Bln/Tahun)
b. Lama HD
: . (bulan)
c. Jadwal HD
: .
d. Riwayat Penyakit :
i. DM
: ya/tidak
ii. Penyakit Jantung
: ya/tidak
iii. Batu saluran kemih
: ya/tidak
iv. Hipertensi
: ya/tidak
v. MRS dalam 6 bulan terakhir
: ya/tidak
2. Riwayat sosial
a. Minum kopi
: ya/tidak
b. Merokok
: ya/tidak
c. Minum alkohol : ya/tidak
114
115
IV.
ELEKTROKARDIOGRAM
( ) Normal
( ) Q Waves, lokasi: ....................................................................................
( ) ST Elevasi, lokasi: ................................................................................
( ) ST Depresi, lokasi: ..................................................................................
( ) T Inversi, lokasi: ....................................................................................
V.
VI.
USG GINJAL
( ) contracted kidney
( ) Policystic kidney
VII.
( ) Batu Ginjal
( ) Hideonefrosis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8
9.
10.
11.
VIII.
Jenis Pemeriksaan
Nilai
Pre HD
Post HD
Hemoglobin (mg%)
BUN (mg/dl)
SC (mg/dl)
Albumin (mg/dl)
Gula Darah (mg/dl)
Natrium
Calsium ion
Kalium (meq/L)
ET-1 (pq/ml)
ADMA (mol/L)
NO (M)
DIAGNOSIS
116
IX. TERAPI
1. Asam Folat
2. Calsium carbonat
3. Lantanum
4. Keto acid
5. Captopril
6. Lisinopril
7. Ramipril
8. losartan
9. Irbesartan
10. Candesartan
11. Betabloker
12. Clonidin
13. Diuretik
14. CCB
15. Statin
16. Allupurinol
17. Eritropoetin
a. Ya
b. Tidak
18. Besi Parenteral
a. Ya
b. Tidak
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
) Ya
( ) Tidak
( ) Tidak
( ) Tidak
( ) Tidak
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
, Dosis ..
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
(
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
) Tidak
Jenis ..
Dosis
Jenis ..
Dosis .
X. PENGAMATAN PENDERITA
a. Data pengamatan 6 kali HD
HD
BERAT BADAN
PRE HD
1.
2.
3.
4.
5.
6.
POST HD
TEKANAN DARAH
PRE HD
POST HD
ULTRAFILTRASI
117
0 (Pre HD)
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
2.
Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
Berat
badan
UFR
UF
QD
QD
118
TINDAKAN PENGAMATAN
HD
(MENIT)
4.
Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
5.
Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
6.
Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
Berat
badan
UFR
UF
QD
QD
119
: ( ) Ya
( ) Tidak
Pemeriksaan
Endothelin-1
Nitric Oxide
ADMA
Natrium
Calsium ion
Tetap
Meningkat
Menurun
120
Lampiran 8.
Penelitian Yang Berhubungan dengan
HID Yang Memiliki Kemiripan Dengan Rencana
Penelitian
No.
Journal
Judul
Peneliti
Metode penelitian
Kesimpulan
1.
Clin J Am
Soc Nephrol
6: 2016
2024, 2011
Jula K.
Inrig,et al
Intradialytic
hypertension is
associated with
endothelial cell
dysfunction
2.
Kidney
International
(2006) 69,
18331838
Intradialytic
Hypertension
and its
Association
with
Endothelial
Cell
Dysfunction
Physiological
changes
during
hemodialysis
in patients
with
intradialysis
hypertension
K-J Chou
et al
3.
Kidney
International,
Vol. 63 (2003),
pp. 709715
Effects of long
and short
hemodialysis
on endothelial
function:
A short-term
study
David O.
Mcgregor
et al ,
randomized
crossovercontrolled trial
sampel : 8 pasien dengan HD
reguler
The physiological
changes in intradialysis
hypertension patients
were characterized by
inappropriately increased
PVR through
mechanisms that did not
involve sympathetic
stimulation or renin
activation but might be
related with altered
NO/ET1 balance.
hemodialysis caused a
temporary improvement
in endothelial dependent
vasodilation,
may have been due in
part to a reduction in
plasma ET-1
,and t Hcy and an
increase in
adrenomedullin
concentration across
hemodialysis
4.
Kidney
International,
Vol. 61 (2002),
pp. 697704
Hemodynamic
changes
during
hemodialysis:
Role of nitric
oxide and
endothelin
Dominic
S.C. Raj et
al
Pre-dialysis FENO is
elevated in patients with
dialysis-induced
hypotension and may be a
more reliable than NT as a
marker for endogenous
NOactivity in dialysis
patients. Altered NO/ET-1
balance may be involved in
the pathogenesis of rebound
hypertension and
hypotension during dialysis.
121
122