Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

HUBUNGAN POLIMORFISME RAAS DENGAN


HIPERTENSI DENGAN CKD STAGE 5

Oleh :
Benazier Marcella B

G99142088

Elita Rahmi

G99131004

Pembimbing
dr. Agung Susanto, Sp.PD., FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi
morbiditas

dan

merupakan
mortalitas

faktor
akibat

risiko

meningkatnya

penyakit

kardiovaskular

serebrovaskular dan gagal ginjal tahap akhir (Kaplan, 2006).


Hipertensi adalah salah satu gangguan kesehatan yang dapat
disebabkan oleh faktor genetik. Faktor genetik diketahui sekitar
30%-40% berperan dalam menentukan variasi tekanan darah
setiap individu. Hal ini dapat terjadi akibat adanya polimorfisme
yang terjadi pada gen yang mengkode molekul atau komponen
yang berperan dalam RAAS (Neel et al., 1998; Meneton et al.,
2005). Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai keluarga
menderita hipertensi memiliki risiko yang tinggi untuk menderita
hipertensi karena adanya peran faktor genetika yang diwariskan
dari orang tua kepada anaknya.
Hipertensi merupakan hasil interaksi komplek dari faktor
genetik dan lingkungan. Kejadian perubahan genetik sangat
jarang, bila perubahan genetik terjadi lebih dari 1% populasi
disebut polimorfisme. Polimorfisme gen-gen yang mengkode
komponen Reninangiotensin- aldosteron system (RAAS) berperan
timbulnya hipertensi esensial karena RAAS merupakan salah satu
mekanisme

penting

pada

pengaturan

tekanan

darah.

Polimorfisme yang paling populer adalah insersi/delesi (I/D) genACE. Dalam beberapa penelitian didapatkan genotip DD dan alelD berhubungan dengan hipertensi esensial (Karnajaya, 2011).
Sistem RAAS tidak hanya berperan dalam penyakit
kardiovaskular,

namun juga

dalam patofisiologi

ginjal

dan

progresi penyakit ginjal (Martinez, 2002). Chronic Kidney Disease


(CKD) merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan
angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis
buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. Di negaranegara berkembang CKD lebih kompleks lagi masalahnya karena
berkaitan dengan sosio-ekonomi dan penyakit-penyakit yang
mendasarinya. Perjalanan penyakit CKD tidak hanya terjadi gagal
ginjal tetapi juga dapat terjadi komplikasi lainnya karena
menurunnya fungsi ginjal dan penyakit Kardiovaskular (Sharon,
2006; Levey et al., 2003). Peningkatan prevalensi penderita CKD
dari 13,8% menjadi 15,8% pada populasi dewasa dilaporkan oleh
US Renal Data System tahun 2007 (Menon et al, 2009). CKD
tahap akhir sering diderita oleh pasien dengan resiko hipertensi
dan diabetes, akan tetapi ada juga penyakit ginjal yang beronset
saat usia dewasa yang dikarenakan adanya resiko bermacam alel
dan interaksi gen (Braliou et al., 2014).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. HIPERTENSI
A. DEFINISI
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik
lebih besar dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari
90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5
menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang) (KepMenkes,
2003). Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee
on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90
mmHg (Sudoyo, 2009). Hipertensi merupakan penyakit yang
timbul akibat adanya interaksi berbagai faktor resiko yang
dimiliki

seseorang.

Faktor

pemicu

hipertensi

dibedakan

menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga,


jenis kelamin, dan umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti
obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola
konsumsi makanan yang mengandung natrium dan lemak
jenuh (Brashers, 2004).

Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti


stroke, kelemahan jantung, penyakit jantung koroner (PJK),
gangguan ginjal dan lain-lain yang berakibat pada kelemahan
fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung yang
dapat berakibat kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau
yang disebut the silent killer yang merupakan salah satu
faktor resiko paling berpengaruh penyebab penyakit jantung
(cardiovascular) (Soedirjo, 2008; WHO, 2007)
B. KLASIFIKASI
Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu
hipertensi

sistolik,

hipertensi

diastolik,

dan

hipertensi

campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension)


merupakan

peningkatan

tekanan

sistolik

tanpa

diikuti

peningkatan tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada


usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya
tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut
jantung). Tekanan sistolik merupakan tekanan maksimum
dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan
darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan
peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan
tekanan sistolik, biasanya ditemukan pada anak-anak dan
dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh
darah

kecil

memperbesar

menyempit
tahanan

secara

tidak

terhadap

normal,

aliran

sehingga

darah

yang

melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan


darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung
berada dalam keadaan relaksasi di antara dua denyutan.

Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan


sistolik dan diastolik (Gunawan, 2001; Fitriana, 2010)
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi
dua golongan, yaitu:
1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik.
Terdapat

sekitar

mempengaruhinya
hiperaktivitas

95

kasus.

seperti

susunan

saraf

Banyak
genetik,

simpatis,

faktor

yang

lingkungan,
sistem

renin-

angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan


Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan
risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.
2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar
5%

kasus.

Penyebab

spesifiknya

diketahui,

seperti

penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular


renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing,
feokromositoma,

koartasio

aorta,

hipertensi

yang

berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain (Smeltzer &


Bare, 2002).
Menurut The Seventh Report of The Joint National
Committee

on

Prevention,

Detection,

Evaluation,

and

Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi


hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok
normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II.
(Tabel 1.)
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII (Yogiantoro,
2009)

C. PATOFISIOLOGI
Tubuh

memiliki

sistem

yang

berfungsi

mencegah

perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh


gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk mempertahankan
kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek
kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol
yang bereaksi segera. Kestabilan tekanan darah jangka
panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah
cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama
ginjal.
1. Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah
yang ditandai dengan penebalan dan hilangnya elastisitas
arteri.

Aterosklerosis

Terjadi

inflamasi

merupakan

pada

dinding

proses

multifaktorial.

pembuluh

darah

dan

terbentuk deposit substansi lemak, kolesterol, produk


sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi lainnya
dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut
7

plak. Pertumbuhan plak di bawah lapisan tunika intima


akan

memperkecil

lumen

pembuluh

darah,

obstruksi

luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen


pada organ atau bagian tubuh tertentu (Gofir, 2009;
Tugasworo, 2010)
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran
penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung
dengan cara memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu
molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi
endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer
(Anggie, 2010)
2. Sistem renin-angiotensin
Mekanisme
terbentuknya

terjadinya

angiotensin

hipertensi
II

dari

adalah

angiotensin

melalui
I

oleh

angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II inilah


yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan
darah melalui dua aksi utama.
a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan
rasa haus. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit
urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis),
sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya.
Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler
akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari
bagian

intraseluler.

Akibatnya,

volume

darah

meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan


tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Untuk

mengatur

volume

cairan

ekstraseluler,

aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)

dengan

cara

mereabsorpsinya

dari

tubulus

ginjal.

Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali


dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler
yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan
tekanan darah (Guyton, 2007).
3. Sistem saraf simpatis
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula
di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di
toraks

dan

abdomen.

Rangsangan

pusat

vasomotor

dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah


melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini,
neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh
darah,

dimana

dengan

dilepaskannya

norepinefrin

mengakibatkan konstriksi pembuluh darah (Smeltzer &


Bare, 2002).
D. FAKTOR RESIKO HIPERTENSI
Faktor resiko terjadinya hipertensi antara lain:
1. Usia
Tekanan

darah

cenderung

meningkat

dengan

bertambahnya usia. Pada laki-laki meningkat pada usia


lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat
pada usia lebih dari 55 tahun.
2. Ras/etnik

Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa


sering muncul pada etnik Afrika Amerika dewasa daripada
Kaukasia atau Amerika Hispanik.
3. Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita
hipertensi daripada wanita.
4. Kebiasaan Gaya Hidup tidak Sehat
Gaya

hidup

tidak

sehat

yang

dapat

meningkatkan

hipertensi, antara lain minum minuman beralkohol, kurang


berolahraga, dan merokok (National Heart Lung and Blood
Institute, 2009)
a. Merokok
Merokok
berhubungan

merupakan
dengan

salah

satu

hipertensi,

faktor
sebab

yang
rokok

mengandung nikotin. Menghisap rokok menyebabkan


nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil dalam paruparu dan kemudian akan diedarkan hingga ke otak. Di
otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepas epinefrin atau adrenalin yang
akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa
jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan darah
yang lebih tinggi (Lam, 2011)
Tembakau

memiliki

efek

cukup

besar

dalam

peningkatan tekanan darah karena dapat menyebabkan


penyempitan pembuluh darah. Kandungan bahan kimia
dalam tembakau juga dapat merusak dinding pembuluh
darah (Sianturi, 2004).

10

Karbon

monoksida

dalam

asap

rokok

akan

menggantikan ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut


mengakibatkan tekanan darah meningkat karena jantung
dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang
cukup ke dalam organ dan jaringan tubuh lainnya (Lam,
2011).
Karbon

monoksida

dalam

asap

rokok

akan

menggantikan ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut


mengakibatkan tekanan darah meningkat karena jantung
dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang
cukup ke dalam organ dan jaringan tubuh lainnya
(Sianturi, 2004)
b. Kurangnya aktifitas fisik
Aktivitas

fisik

sangat

mempengaruhi

stabilitas

tekanan darah. Pada orang yang tidak aktif melakukan


kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut
jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan
otot jantung bekerja lebih keras pada setiap kontraksi.
Makin keras usaha otot jantung dalam memompa darah,
makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding
arteri sehingga meningkatkan tahanan perifer yang
menyebabkan

kenaikkan

tekanan

darah.

Kurangnya

aktifitas fisik juga dapat meningkatkan risiko kelebihan


berat badan yang akan menyebabkan risiko hipertensi
meningkat.
Studi epidemiologi membuktikan bahwa olahraga
secara

teratur

memiliki

efek

antihipertensi

dengan

menurunkan tekanan darah sekitar 6-15 mmHg pada


penderita

hipertensi. Olahraga

banyak

dihubungkan
11

dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik


dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang
akan

menurunkan

dikaitkan

dengan

tekanan
peran

darah.

obesitas

Olahraga
pada

juga

hipertensi

(Sugiarto, 2007).
E. DIAGNOSIS HIPERTENSI
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling
akurat

menggunakan

sphygmomanometer

air

raksa.

Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran dalam


posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja
dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas dan posisi
lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran dilakukan
dalam

keadaan

mengonsumsi

tenang.

makanan

Pasien
dan

diharapkan

minuman

yang

tidak
dapat

mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi, soda, makanan


tinggi kolesterol, alkohol dan sebagainya (Tohaga, 2008).
F. KOMPLIKASI HIPERTENSI
Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama
akan

berbahaya

sehingga

menimbulkan

komplikasi.

Komplikasi tersebut dapat menyerang berbagai target organ


tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri, serta
ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi hipertensi,
kualitas hidup penderita menjadi rendah dan kemungkinan
terburuknya adalah terjadinya kematian pada penderita
akibat komplikasi hipertensi yang dimilikinya (Prasetyorini &
Prawesti, 2012)
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa

12

penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organorgan tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan
tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung,
antara

lain

adanya

autoantibodi

terhadap

reseptor

angiotensin II, stress oksidatif, down regulation, dan lain-lain.


Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam
dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam
timbulnya

kerusakan

organ

target,

misalnya

kerusakan

pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming


growth factor- (TGF-) (Yogiantoro, 2009).
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan
organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada pasien
hipertensi adalah: (Yogiantoro, 2009)
1. Jantung
- hipertrofi ventrikel kiri
- angina atau infark miokardium
- gagal jantung
2. Otak
- stroke atau transient ishemic attack
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati

II. CHRONIC KIDNEY DISEASE


Chronic kidney disease (CKD) dapat terjadi karena
kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler
ginjal

dan

glomerolus.

Kerusakan

glomerulus

akan

mengakibatkan darah mengalir ke unit-unit fungsional ginjal,

13

sehingga nefron akan anggu dan berlanjut menjadi hipoksia


dan

kematian

ginjal.

Pengurangan

massa

ginjal

akan

mengakibatkan nefron yang masih hidup akan melakukan


kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Proses maladaptasi ini berlangsung
singkat sehingga terjadi peningkatan LFG mendadak yang
akhirnya mengalami penurunan. Hiperfiltrasi yang terjadi juga
akibat

peningkatan

aktivitas

aksis

rennin-angiotensin-

aldosteron intrarenal. Kerusakan progresif nefron akan terjadi


dan

berlangsung

lama

(kronik).

Kerusakan

membran

glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar melalui urin


sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan
osmotik koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama
terjadi pada hipertensi kronik (Suwitra, 2009)
A. DEFINISI
CKD adalah suatu keadaan dimana
bertahap

dan

progresif

kehilangan

ginjal secara

fungsi

nefronnya.

Penurunan fungsi ginjal ini bersifat kronis dan irreversibel.


Berbagai penyakit yang mengakibatkan kehilangan nefron
secara progresif dapat menyebabkan CKD. Gejala-gejala klinis
yang serius seringkali tidak muncul sampai jumlah nefron
fungsional berkurang sedikitnya 70-75 persen di bawah
normal. Hal ini disebabkan karena nefron yang tersisa masih
dapat melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi
dan reabsorbsi zat terlarut (Guyton, 2007; Suwitra, 2009).
Sayangnya keadaan ini justru menyebabkan nefron yang
tersisa akan lebih mudah rusak sehingga mempercepat
kehilangan nefron (OCallaghan, 2009).

14

Tabel 2. Batasan CKD: (Suwitra, 2009)


1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi
ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3


bulan

dan

LFG

sama

dengan

atau

lebih

dari

60

ml/menit/1,73m, tidak termasuk kriteria CKD.


Klasifikasi CKD atas dasar derajat penyakit dibuat
berdasarkan LFG yang dihitung dengan menggunakan rumus
Kockcorft-Gault sebagai berikut:

Tabel 3. Klasifikasi CKD atas Dasar Derajat Penyakit (Suwitra,


2009)
Derajat
1

Penjelasan
Kerusakan ginjal dengan LFG normal

LFG
>90

2
3

atau
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang

60-89
30-59

15

4
5

Kerusakan ginjal dengan LFG berat


Gagal ginjal

15-29
<15

B. PATOFISIOLOGI CKD
Patofisiologi

penyakit

ginjal

kronik

pada

awalnya

tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam


perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Jika terdapat kerusakan nefron, ginjal mempunyai
kemampuan kompensasi untuk mempertahankan LFG dengan
cara meningkatkan daya filtrasi dan reabsorbsi zat terlarut
dari

nefron

yang

tersisa.

Pengurangan

masa

ginjal

menyebabkan hipertrofi secara struktural dan fungsional


nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi.
Hipertrofi kompensatori ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang
diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat yang
selanjutnya

diikuti

proses

maladaptasi

berupa

sklerosis

nefron yang masih tersisa dan akhirnya terjadi penurunan


fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi (Suwitra, 2009).
Penurunan

fungsi

ginjal

yang

progresif

tetap

berlangsung terus meskipun penyakit primernya telah diatasi


atau

telah

terkontrol.

Hal

ini

menunjukkan

adanya

mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada


kerusakan yang sedang berlangsung pada penyakit ginjal
kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme
tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang
sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh
penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang
tersisa

setelah

kerusakan

ginjal

yang

awal

akan
16

menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan


nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini
berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan
gagal ginjal terminal (Suwitra, 2009)
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap
terjadinya

progresifitas

albuminuria,

penyakit

hipertensi,

ginjal

kronik

hiperglikemia,

adalah

dislipidemia.

Kemungkinan mekanisme progresi gagal ginjal di antaranya


akibat peningkatan tekanan glomerulus (akibat peningkatan
tekanan darah sistemik, atau kontriksi arteriolar eferen akibat
peningkatan

kadar

angiotensin

II),

kebocoran

protein

glomerulus, kelainan lipid (Rubenstein et al., 2007)


Stadium yang paling dini, dimana gejala-gejala klinis
yang serius, seringkali tidak muncul. Secara perlahan tapi
pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum
(Guyton, 2007).
Tabel 4. Komplikasi CKD (Sukandar, 2006)
Deraja

Penjelasan

LFG

t
1

Kerusakan ginjal

>90

Komplikasi

dengan penurunan
2

LFG normal
Kerusakan ginjal

60-89

dengan penurunan
3

LFG ringan
Kerusakan ginjal
dengan penurunan
LFG sedang

- Tekanan darah mulai


meningkat

30-59

- Hiperfosfatemia
- Hipokalsemia
- Anemia

17

- Hiperparatiroid
- Hipertensi
4

Kerusakan ginjal

- Hiperhomosistinemia
- Malnutrisi

15-29

dengan penurunan

- Asidosis metabolik

LFG berat

- Cenderung
hiperkalemia

Gagal ginjal

- Dislipidemia
- Gagal jantung

<15

- Uremia

Komplikasi penyakit ginjal kronik disebabkan oleh


akumulasi berbagai zat yang normalnya diekskresi oleh ginjal,
serta produksi eritopoietin dan vitamin D yang tidak adekuat
oleh ginjal.
C. DIAGNOSIS (Suwitra, 2009)
1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari
diabetes
traktus

mellitus,
urinarius,

infeksi

traktus

hipertensi,

seperti

urinarius,

batu

hiperurikemi,

dan

sebagainya
b. Sindrom uremia, yang terdiri atas lemah, letargi,
anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume
cairan,

neuropati

perifer,

pruritus,

uremicfrost,

perikarditis, kejang-kejang sampai koma


c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia,
osteodistrofi ginjal, payah jantung, asidosis metabolic,
gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
klorida).
2. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratoris penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Sesuai penyakit yang mendasarinya

18

b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar


ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG
c. Kelainan biokimiawi darah yang meliputi penurunan
kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper
atau

hipokalemia,

hiponatremia,

hiper

atau

hipokloremia, hipofosfatemia, hipokalsemia, asidosis


metabolik.
d. Kelainan
urinalisis

yang

meliputi

proteinuria,

hematuria, leukosuria, cast, isotenuria


3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Foto polos abdomen, bias tampak radio opak.
b. Pielografi intravena. Jarang dikerjakan karena kontras
sering tidak bias melewati filter glomerulus, di samping
kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai
indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran
ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya
hidronefrosis atau batu ginjal, massa, kalsifikasi.
e. Pemeriksaan
pemindaian
ginjal
atau
renografi
dikerjakan bila ada indikasi.
4. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan dilakukan dengan cara biopsi pada
ginjal yang masih mempunyai ukuran mendekati normal.
Tujuan pemeriksaan ini untuk mengetahui etiologi, terapi,
prognosis dan evaluasi terapi. Kontraindikasinya adalah
pada keadaan ginjal yang sudah mengecil (contracted
kidney), ginjal polikistik, hipertensi tak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan
obesitas.
19

III. SISTEM RENIN ANGIOTENSIN ALDOSTERON (RAAS)


A. KOMPONEN RAAS
Peranan renin-angiotensin sangat penting

pada

hipertensi renal atau yang disebabkan karena gangguan pada


ginjal. Apabila terjadi gangguan pada ginjal, maka ginjal akan
banyak mensekresikan sejumlah besar renin. Nama renin
pertama kali diberikan oleh Tigerstredt dan Bergman (1898)
untuk suatu zat presor yang diekstraksi dari ginjal kelinci
(Basso dan Terragno, 2001). Pada tahun 1975 Page dan
Helmer mengemukakan bahwa renin merupakan enzim yang
bekerja

pada

suatu

protein,

angiotensinogen

untuk

melepaskan Angiotensin.
Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif
yang disebut prorenin di dalam sel-sel juxtaglomerular di
ginjal. Sel juxtaglomerular merupakan modifikasi dari sel-sel
otot polos yang terletak di dinding arteriol aferen, tepat di
proksimal glomeruli. Bila tekanan arteri turun, reaksi intrinsik
di dalam ginjal itu sendiri menyebabkan banyak molekul
prorenin di dalam sel juxtaglomerular terurai dan melepaskan
renin.
Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma
lain,

yaitu

globulin

yang

disebut

substrat

renin

(atau

angiotensinogen) untuk melepaskan peptida 10 asam amino,


yaitu

angiotensin

I.

Angiotensin

memiliki

sifat

vasokonstriktor ringan. Renin menetap dalam darah selama


30

menit

sampai

jam

dan

terus

menyebabkan

pembentukan angiotensin I yang lebih banyak selama waktu


tersebut (Guyton, 2007)
Dalam beberapa detik hingga beberapa menit setelah
pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam amino yang
dipecah dari angiotensin I untuk pembentukan angiotensin II,
20

yaitu peptida dengan 8 asam amino. Perubahan ini hampir


seluruhnya terjadi di paru sementara darah yang mengalir
melalui pembuluh kecil di paru, dikatalisis oleh suatu enzim
yaitu angiotensin converting enzyme (ACE), yang terdapat
pada endotelium pembuluh paru.
Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat
dan dapat mempengaruhi fungsi sirkulasi. Angiotensin II
hanya menetap dalam darah selama 1 atau 2 menit karena
angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai
enzim darah dan jaringan yang secara bersama-sama disebut
angiotensinase.
Selama angiotensin II ada di dalam darah, maka
angiotensin II memiliki dua pengaruh utama yang dapat
meningkatkan tekanan arteri, yaitu vasokontriksi di berbagai
daerah di tubuh terutama di arteriol dan jauh lebih lemah di
vena, dan dengan meurunkan ekskresi garam dan air oleh
ginjal.

Gambar 1. Proses pengeluaran renin dari ginjal, pembentukan


dan fungsi angiotensin II (Klabunde, 2007)

21

Angiotensin II terbentuk dari angiotensin I dibantu oleh


angiotensin converting enzyme (ACE), sehingga salah satu
pengobatan hipertensi adalah menghambat ACE dengan
menggunakan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI). Secara teori ACE-I berfungsi menghambat pembentukan
angiotensin II, namun penelitian pada pasien hipertensi yang
menggunakan ACE-I secara terus-menerus dengan dosis
efektif, menunjukkan bahwa kadar angiotensin II tetap tidak
berkurang. Hal ini menimbulkan pemahaman baru adanya
jalur

lain

selain

jalur

ACE

yang

dapat

menghasilkan

angiotensin II, yang disebut sebagai jalur non-ACE (Becari et


al, 2011).
Akhir-akhir ini, beberapa studi menunjukkan bahwa RAS
merupakan sistem yang lebih kompleks daripada yang telah
diketahui. Banyak peptida yang awalnya dianggap metabolit
inaktif, ternyata memiliki aktivitas biologis. Angiotensin III
yang terbentuk dari angiotensin II dengan bantuan enzim
aminopeptidase

ternyata

merangsang

pelepasan

aldosteron.3 Angiotensin IV yang terbentuk dari angiotensin


III

dengan

bantuan

enzim

aminopeptidase

ternyata

memiliki peran penting pada sistem saraf pusat terutama


dalam hal memori.4 Angiotensin 1-7 yang terbentuk dari
aktivasi reseptor MAS sepertinya memiliki efek berlawanan
dengan angiotensin II (Becari et al, 2011).
Nagata, et al, di Jepang pada tahun 2006 menemukan
jenis angiotensin baru yang ditemukan dari usus halus tikus,
yang

dinamai

angiotensin

1-12.

Hipotesis

kemampuan

angiotensin 1-12 sebagai substrat endogen untuk produksi


angiotensin II muncul ketika efek vasokonstriksi angiotensin
1-12 pada aorta dan sirkulasi sistemik hilang saat pemberian
22

captopril atau antagonis reseptor angiotensin 1 (AT1).7


Angiotensin 1-12 diekspresikan paling banyak di miosit
jantung dan tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus
distal, dan tubulus koledokus ginjal tikus Wistar-Kyoto (WKY)
dan tikus spontaneuously hypertensive (SHR). Studi lain juga
menunjukkan

bahwa

pembentukan

angiotensin

II

dari

angiotensin 1-12 tidak memerlukan renin (Ahmad et al,


2011).

Gambar 3. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (Flack et al,


2007)
B. PENGARUH RAAS TERHADAP SISTEM GINJAL
Peningkatan pembentukan angiotensin II membantu
mengembalikan tekanan darah dan volume ekstrasel menjadi
normal dengan meningkatkan reabsorpsi natrium dan air dari

23

tubulus ginjal melalui tiga efek utama, yaitu: (Campbell et al,


2014).
1. Angiotensin II merangsang sekresi aldosteron yang dapat
meningkatkan reabsorpsi natrium, yaitu dengan cara
merangsang pompa natrium kalium ATPase pada sisi
basolateral dari membran tubulus koligentes kortikalis.
Aldosteron juga meningkatkan permeabilitas natrium pada
sisi luminal membran.
2. Angiotensin II mengkonstriksikan arteriol, termasuk pada
ginjal, dengan demikian menurunkan aliran darah yang
melalui ginjal. Sebagai hasilnya, lebih sedikit cairan yang
disaring melalui glomerulus masu ke dalam tubulus. Selain
itu aliran darah yang lambat menurunkan tekanan di
kapiler peritubulus, yang menyebabkan reabsorpsi cairan
yang cepat yang berasal dari tubulus.
3. Angiotensin II secara langsung merangsang reabsorpsi
natrium di tubulus proksimal, lengkung Henle, tubulus
distal dan tubulus koligentes. Salah satu efek langsung dari
angiotensin II adalah merangsang pompa natrium kalium
ATPase pada membran basolateral sel epitel tubulus. Efek
kedua adalah merangsang pertukaran natrium hidrogen
dalam

membran

luminal,

terutama

dalam

tubulus

proksimal.
IV. HUBUNGAN POLIMORFISME RAAS DENGAN HIPERTENSI
DENGAN CKD STAGE 5
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap tekanan darah.
Sistem renin-angiotensin (RAS) merupakan salah satu faktor
yang berperan penting dalam mengontrol tekanan darah dan
homeostasis natrium. Hipertensi merupakan penyakit yang
multifaktorial dan dapat dipengaruhi oleh faktor genetik (Lifton

24

et al., 2001). Faktor genetik telah banyak dilaporkan sebagai


salah

satu

faktor

penyebab

hipertensi.

Susunan

genetik

seseorang menentukan berapa besar kecenderungan untuk


menderita hipertensi (Sidabutar, 1999). Penelitian epidemiologi
telah menegaskan bahwa varian genetik termasuk gen pada
angiotensinogen (AGT), renin (REN), angiotensin-converting
enzyme (ACE), angiotensin II receptor type I (AGTR1) dan
aldosterone synthase (CYP11B2) meningkatkan risiko hipertensi
esensial (Freitas et al., 2007).
Polimorfisme RAAS telah banyak dilaporkan sebagai faktor
risiko hipertensi esensial dan faktor risiko kerusakan organ
target (Giner et al, 2000). Angiotensinogen merupakan protein
awal dalam RAAS yang memicu timbulnya hipertensi. Diketahui
bahwa populasi skala besar ras Amerika dan Afrika yang terkena
hipertensi, terjadi polimorfisme pada daerah 5untranslated
region di titik -217 A/G. Variasi basa pada titik -217 guanine
atau adenine meningkatkan laju ekspresi gen angiotensinogen.
Peningkatan ini terjadi akibat dari interaksi kuat antara faktor
transkripsi GR dan C/EBP- yang berikatan dengan daerah
enhanser
polimerase

kemudian
III

di

mempengaruhi

daerah

promoter

laju

transkripsi

RNA

gen

angiotensinogen

(Rahmah et al., 2013).


Renin memainkan peran penting dalam sistem renin
angiotensin aldosteron. Polimorfisme pada gen renin yang
mempengaruhi ekspresi akan mempengaruhi kadar angiotensin
I dan II , akibatnya kinerja sistem renin angiotensin aldosteron
akan diubah. Selain Renin, salah satu polimorfisme yang
berhubungan dengan hipertensi adalah gen CYP11B2 varian T(
344)C sebagai gen penyandi aldosterone synthase (Sundari et
al., 2013). Polimorfisme gen CYP11B2 varian T(344)C lebih
25

sering ditemukan pada ras Asia daripada ras kulit putih maupun
kulit hitam. Penelitian yang dilaksanakan di Jepang terhadap
gen CYP11B2 varian T(344)C menunjukkan hubungan positif
antara gen ini dengan hipertensi esensial. Beberapa mutasi
CYP11B2 pada manusia dapat meningkatkan aldosteron karena
berhubungan dengan kadar sekresi aldosteron (Ichiro et al.,
2000).
Kompleks Angiotensin II dan reseptor Angiotensin II tipe 1
mempengaruhi

tekanan

darah,

sedangkan

angiotensin

converting enzyme (ACE) dilaporkan sebagai enzim yang


berperan dalam patogenesis hipertensi ((Dinh et al., 2001; Aziza
et al, 2010).
Hubungan

polimorfisme

gen

ACE

insersi/delesi

(I/D)

dengan hipertensi maupun dengan respons OAH golongan ACE


inhibitor (ACEI) telah banyak dilaporkan di dunia. Rigat et al
melaporkan bahwa polimorfisme tipe insersi/delesi dari gen ACE
mempengaruhi

konsentrasi

ACE

dalam

darah

dan

mempengaruhi tekanan darah. Polimorfisme yang terjadi pada


gen ACE ini diketahui memiliki karakteristik insersi (I) dan delesi
(D)

secara

menghasilkan

berulang
tiga

pada

jenis

sekuens

genotip

287

yaitu

II

bp

sehingga

homozigot,

DD

homozigot, dan ID heterozigot (Rigat et al., 1992; Dzida et al.,


2001).

Polimorfisme

yang

terjadi

pada

gen

ACE

dapat

mempengaruhi kadar ACE dan tekanan darah. Perubahan


tekanan darah dipengaruhi perubahan angiotensin II, aldosteron
atau zat vasoaktif lain. Orang dengan genotip DD mempunyai
kadar ACE dua kali lebih tinggi dibandingkan orang dengan
genotip II, sedangkan genotip ID mempunyai kadar ACE plasma
intermediate atau sedang. Peningkatan kadar ACE serum yang
sangat tinggi akan menyebabkan peningkatan Ang II yang
26

diketahui sebagai vasokonstriktor potensial, menginaktivasi


bradikinin, dan memicu pelepasan aldosteron dari korteks
adrenal di ginjal sehingga terjadi reabsorbsi garam dan air dari
urin

yang

memicu

terjadinya

hipertensi

dan

penyakit

kardiovaskular (Sayed-Tabatabaei et al., 2006; Brewster &


Parazella. 2004).
RAAS memiliki peran yang kuat dalam homeostasis
kardiovaskular pada orang dengan genotip DD atau alel D (Rigat
et al, 1990). Pada penelitian yang dilakukan Aziza et al (2010),
alel D menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik
terhadap hipertensi.
Angiotensin II Type 1 Receptor (AGTR1) merupakan
reseptor angiotensin pada mamalia yang terdiri dari AGTR1 dan
Angiotensin II Type 2 Receptor (AGTR2). Angiotensin II Type 1
Receptor merupakan salah satu reseptor yang sangat spesifik
dan selektif untuk ligan angiotensin II dan memperantarai peran
angiotensin II dalam pengendalian tekanan darah dan hipertensi
(Dinh et al., 2001). Angiotensin II sebagai vasokonstriktor yang
potensial dalam menaikkan tekanan darah dan sebagai ligan
untuk AGTR1 yang sangat berperan dalam menaikkan tekanan
darah melalui 2 jalur:
1. AGTR1 meningkatkan sekresi hormon antidiuretik dan rasa
haus

serta

berperan

pada

ginjal

dalam

mengatur

osmolaritas dan volume urin (Kasper et al., 2005).


2. AGTR1 memicu sekresi hormon aldosteron dari korteks
adrenal yang berperan penting dalam mengurangi ekskresi
NaCl sehingga volume cairan ekstraseluler dapat diatur
dengan

cara

mereabsorpsinya

dari

tubulus

ginjal.

27

Tingginya konsentrasi NaCl akan meningkatkan volume dan


tekanan darah (Kumar et al., 2004).
Angiotensin II melalui sitokin dan growth factors dapat
menyebabkan cell growth dan proliferasi sel. Selain itu,
Angiotensin II juga dapat menginduksi disfungsi endotel dengan
mereduksi bioavabilitas nitric oxide (Carluccio et al., 2001;
Mulvany, 2002). Kompleks Ang II dan reseptor Ang II tipe 1 ini
mempengaruhi

tekanan

darah

dan

beberapa

proses

neuroendokrin sehinggal hal ini terkait dengan perkembangan


penyakit kardiovaskular, stroke, aterosklerosis, dan jantung
(Dinh et al., 2001; Saab et al., 2004).
Salah satu mekanisme patogenesis terjadinya CKD adalah
glomerulosklerosis. Kerusakan sel mesangium primer maupun
sekunder dapat menyebabkan glomerulosklerosis. Misalnya
setelah terjadi mikroinflamasi, monosit menstimulasi proliferasi
sel mesangium melalui pelepasan mitogen (seperti platelet
derived

growth

mesangium

factor

tersebut

atau

PDGF).

mendahului

Hiperselularitas
terjadinya

sel

sklerosis

mesangium. Akibat pengaruh dari growth factor seperti TGF-1,


sel mesangium yang mengalami proliferasi dapat mejadi sel
miofibroblas,

yang

mensintesis

komponen

ECM

termasuk

kolagen interstisial tipe III, yang bukan merupakan komponen


normal ECM glomerulus. Resolusi sklerosis mesangial dan
glomerular tergantung pada keseimbangan antara sintesis ECM
yang

meningkat

dengan

pemecahan

oleh

glomerular

kolagenase atau metaloproteinase (Rachmadi, 2010).


Banyak aktivitas profibrotik RAAS diperantarai langsung
oleh Angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan migrasi endotel
vaskular dan sel-sel otot polos, serta hipertrofi dan hiperplasia

28

sel otot polos dan sel-sel mesangial. Semua komponen RAAS


ada dalam makrofag, dengan demikian dapat berfungsi sebagai
sumber lain dari Angiotensin II. Kadar angiotensin II yang
meningkat menyebabkan vasokonstriksi arteriol efferent dan
meningkatkan hipertensi glomerulus, hal ini akan mempercepat
terjadinya kerusakan ginjal (Chasani, 2007). Seperti telah
disebutkan sebelumnya, angiotensin II adalah efektor utama
RAAS dan menggunakan efek vasokonstriktornya terutama
pada arteriol postglomerular, sehingga meningkatkan tekanan
hidrolik gromerular dan ultrafiltrasi plasma protein, yang pada
akhirnya mempengaruhi onset dan progresi dari kerusakan
ginjal kronis. RAAS juga secara langsung dapat meningkatkan
kerusakan ginjal melalui cell growth, inflamasi, dan fibrosis
(Remuzzi, 2005). Pada penelitian yang dilakukan Perez-Oller et
al (1999) ditemukan bahwa orang dengan genotip DD memiliki
prognosis gagal ginjal yang lebih buruk dalam hal rendahnya
median survival time ginjal dan persentase yang lebih besar
untuk mencapai end-stage dari gagal ginjal secara signifikan,
tanpa memiliki prevalensi hipertensi.
Studi Buraczynska (2006) menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara polimorfisme AGTR1 A/C dengan progresi
penyakit ginjal, sedangkan genotip CC/AC menjadi prediktor dari
CKD stage 5 dan dapat digunakan sebagai strategi perencanaan
terapi untuk pasien.
Hipertensi sistemik sering menyertai penyakit ginjal dan
mungkin dapat diakibatkan dari CKD atau justru menyebabkan
CKD. Perkembangan CKD dipercepat oleh hipertensi, dan
pengontrolan tekanan darah adalah kunci dalam pengobatan
CKD. Selain itu, glomerulus memiliki struktur yang unik, baik
arteriole aferen dan eferen, yang memungkinkan modulasi
29

perfusi glomerular dan tekanan tanpa perubahan tekanan darah


sistemik yang sesuai.
Bagan 1. Hubungan polimorfisme RAAS dengan hipertensi dan
Inflamasi
Fibrosis

gagal ginjal
Angiotensinogen
Angiotensin I

Sklerosis mesa-ngium
Cell growth
Disfungsi endotel

Re-nin

Glomerulo-sklerosis

Arteriol postglomerolus
Tek. Hidrolik glomerolus
Insersi gen ACE

POLIMORFISME

ACE

Vasokontriksi

Angiotensin II

GAGAL GINJAL
H. anti diuretik, haus
HIPERTENSI
AGTR1

Delesi gen ACE


Osmolaritas & vol urin pada ginjal

Aldosteron

Reabsorbsi garam dan air


Aldosterone synthase
(CYP11B2)

30

BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan di atas, tampak adanya hubungan yang signifikan


antara polimorfisme RAAS dengan hipertensi dan CKD stage 5. Berbagai macam
polimorfisme RAAS beresiko terhadap terjadinya hipertensi dan CKD. Terbukti
bahwa varian genetik termasuk gen pada angiotensinogen (AGT),
renin (REN), angiotensin-converting enzryme (ACE), angiotensin
II receptor type I (AGTR1) dan aldosterone synthase (CYP11B2)
meningkatkan risiko hipertensi esensial.
Hipertensi sendiri juga menjadi salah satu faktor resiko dari CKD.
Namun polimorfisme RAAS dapat secara langsung meningkatkan progresivitas
dari kerusakan ginjal sampai menjadi CKD stage 5 (gagal ginjal).

31

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad S, Simmons T, Varagic J, Moniwa N, Chappell MC, Ferrario


CM. Chymase-dependent generation of angiotensin II
from angiotensin-(1-12) in human atrial tissue. PLoS
ONE. 2011;6(12): e28501.
Aziza L, Mochammad S, Sofia MH, Marsetyawan HNE, Ahmad HS.
Hubungan Polimorfisme Gen Angiotensin-Converting
Enzyme Insersi/Delesi dengan Hipertensi pada Penduduk
Mlati, Sleman, Yogyakarta, Indonesia. Maj. Kedokt Indon,
2010;Vol: 60, No: 4.
Becari

C, Teixeira FR, Oliveira EB, Salgado MCO. 2011.


Angiotensin-converting enzyme inhibition augments the
expression of rat elastase-2, an angiotensin II-forming
enzyme. Am J Physiol Heart Circ Physiol; 301:565-70.

Becari C, Oliveira EB, Salgado MCO. 2011. Alternative pathways


for angiotensin II generation in the cardiovascular
system. Brazilian J. Medical and Biological Res; 44:914-9.
Braliou GG , Grigoriadou AG , Kontou PI ,Bagos PG. 2014. The role
of genetic polymorphisms of the ReninAngiotensin
System
in
renal
diseases:
A
meta-analysis.
Computational and Structural Biotechnology Journal
Volume 10, Issue 16, June 2014, Pages 17.
Brashers,
Valentina.
2004.
Aplikasi
Klinis
Patofisiologi:
Pemeriksaan & Manajemen, Ed 2 (Terjemahan). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Brewster, U,C., Perazella, M,A. 2004. The renin-angiotensinaldosterone system and the kidney: effects on kidney
disease. Am J Med. 116: 263272.
Buraczynska M1, Ksiazek P, Drop A, Zaluska W, Spasiewicz
D, Ksiazek A. 2006. Genetic polymorphisms of the renin32

angiotensin system in end-stage renal disease. Nephrol


Dial Transplant. Apr;21(4):979-83. Epub 2005 Dec 29.
Carluccio, M., Soccio, M., De Caterina, R. 2001. Aspects of gene
polymorphisms in cardiovascular disease: the reninangiotensin system. Eur J Clin Invest. 31: 476488.
Chasani S. Nefropati Diabetika. In: Darmono, Suhartono T,
Pemayun TG, Padmomartono FS, editors. Naskah
Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek
Penyakit Dalam. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro; 2007. p. 181-7.
Dinh, D.T., Frauman, A.G., Johnston, C.I., Fabiani, M.E. 2001.
Angiotensin receptors: distribution, signalling and
function. The Biochemical Society and the Medical
Research Society. Clinical Science. 100: 481-484.
Dzida, G., Sobstyl, J., Puzniak, A., Golon, P., Mosiewicz, J., Hanzilik,
J. 2001. Polymorphisms of angiotensin-converting
enzyme and angiotensin II receptor type 1 genes in
essential hypertension in Polish population. Med Sci
Monit.7(6): 1236-41.
Efendi Sianturi. 2004. Strategi Pencegahan Hipertensi Esensial
Melalui Pendekatan Faktor Risiko di RSU dr. Pirngadi Kota
Medan.
Fitriana, Nurlaely. 2010. Hipertensi pada Lansia..
Flack J, Steven A, Pool J L, White W B. Renin-Angiotensin
Aldosterone
System
and
Hypertension:
Current
Approaches and Future Directions. Journal of Managed
Care Pharmacy. 2007;vol.13(8):S-b
Freitas SRS, Cabello RS, Dolinsky AB, Barros M, Bittencourt J,
Cordova. Analysis renin angiotensin aldosteron system
gene polymorphisms in resistant hypertension. Braz J
Med Biol Res' 2007;4A(3):3o9 -36
Giner V, Poch E, Bragulat E, Oriola J, Gonzalez D, Coca A, et al.
Renin-angiotensin system genetic polymorphism and salt
sensitivity in essential hypertension. Hypertension.
2000;35:512-7

33

Ichiro K, Takashi Y, Masaki T, et al. Lys 173 Arg and - 344T/C


Variants of CYP11B2 in Japanese Patients with Low Renin
Hypertension. Hypertension. 2000; 35: 699-703.
Kaplan NM. 2006. Primary hypertension: pathogenesis. In:
Kaplan's Clinical Hypertension 9th ed. Phitadelpia:
Lippincot Williams & Wilkins.
Karnajaya, Sutarso. 2011. Polimorfisme Gen Angiotensin I
Converting Enzyme (ACE) Insersi/ Delesi (I/D) dan
Hipertensi pada Penduduk Mlati Sleman. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L.,
Jameson, J.L. 2005. Harrisons Principles of Internal
Medicine ed 16th. Mc. GrawHill. New York.
Kep.Menkes RI No. 1479/MenKes/SK/X/2003. Tentang Pedoman
Penyelenggaraan
Sistem
Surveilans
Epidemiologi
Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular. Jakarta.
Kimbrough HM Jr, Vaughan ED Jr, Carey RM, Ayers CR: Effect of
intrarenal angiotensin II blockade on renal function in
conscious dogs. Circ Res 1977; 40: 1748
Kobori H, Nangaku M, Navar LG, Nishiyama. 2007. A: The
intrarenal reninangiotensin system: from physiology to
the pathobiology of hypertension and kidney disease.
Pharmacol Rev; 59: 25187.
Kumar, V., Abbas, A., and Fausto, N. 2004. Pathologic Basis of
Disease. Philadelphia : Elsevier Saunders. 1006-1008.
Leny

Gunawan. 2001. Hipertensi : Tekanan


Yogyakarta: Percetakan Kanisus.

darah

tinggi.

Levey AS, Coresh J, Balk E, Kautz T, Levin A, Steves M et al.


National Kidney Foundation Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
Ann Intern Med. 2003;139:137-47.
Levey, A.S. Nondiabetic Kidney Disease. New England Journal of
Medicine. 2002; 347(19):1505-11.
Lifton,

RP.; Gharavi, AG. & Geller, DS. 2001. Molecular


mechanisms of human hypertension. Cell. 104:545-556.

34

Martnez Vea A. 2002. Polymorphism of the renin-angiotensin


system and renal failure. Nefrologia. 22 Suppl 1:89-94.
Meneton, P., Jeunemaitre, X., de Wardener, H,E., MacGregor, G,A.
2005. Links between dietary salt intake, renal salt
handling, blood pressure, and cardiovascular diseases.
Physiol Rev. 85:679-715.
Menon S, Valentini RP, Kapur G, Layfield S, Mattoo TK.
Effectiveness of a multidisciplinary clinic in managing
children with chronic kidney disease. Clin J Am Soc
Nephrol. 2009;4:1170-1175.
Mulvany, M.J. 2002. Small artery remodeling in hypertension
(abstract). Curr Hypertens Rep. 4:49-55.
Neel, J.V., Weder, A.B, Julius, S. 1998. Type II diabetes, essential
hypertension and obesity as syndromes of impaired
genetic homeostasis. The thrifty genotype hypothesis
enters the 21st century. Perspect Biol Med. 42:44-74.
OCallaghan C. 2009. At a Glance Sistem Ginjal (Terjemahan).
2nd ed. Safitri A, Astikawati R, editors. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Prez-Oller L, Torra R, Badenas C, Mil M, Darnell A. 1999.
Influence of the ACE gene polymorphism in the
progression of renal failure in autosomal dominant
polycystic
kidney
disease.
Am
J
Kidney
Dis. Aug;34(2):273-8.
Rachmadi, Dedi. 2010. Chronic Kidney Disease. Unpad: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Prasetyorini HT & Prawesti, Dian. 2012. Stress Pada Penyakit
Terhadap Kejadian Komplikasi Hipertensi Pada Pasien
Hipertensi. Jurnal STIKES;5(1).
Rahmah SF, Widodo, Jayarani FP, Mifetika L, MS Rahman. 2013.
Analisis Single Nucleotide Polymorphism (SNP) -217 Gen
Human
Angiotensinogen
(hAGT)
pada
Penderita
Hipertensi di Rumah Sakit Syaiful Anwar secara PCRSekuensing. Jurnal Biotropika, ed. 1, no. 2.

35

Remuzzi G, Perico N, Macia M, Ruggenenti P. 2005. The role of


renin-angiotensin aldosterone system in the progression
of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl. Dec;
(99):S57-65.
Rigat B, Hubert C, Alhenc-Gelas F, Cambien F, Corvol P, Soubrier
F. 1990. An insertion/deletion polymorphism in the
angiotensin I-converting enzyme gene accounting for
half the variance of serum enzyme levels. J Clin Invest ;
86:1343-6.
Rigat, B., Hubert, C., Covrol, P., Soubrier, F. 1992. PCR detection
of theInsertion/Deletion polymorphism of the human
Angiotensin Converting Enzyme Gene (DCP1) (Dipeptidyl
Carboxypeptidase 1). Nucleis Acids Res. 20: 1433.
Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. 2007. Lecture Notes:
Kedokteran Klinis (Terjemahan). In: Rahmalia A, Safitri
A.Penyakit Ginjal. 6th ed. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Saab, Y.B., Mrouch, M.A., Gard, P.R. 2004. Renin Angiotensin
System Polymorphisms and Associated Diseases. PAM.
11:44-48.
Sayed-Tabatabaei, F, A., Oostra, B, A., Isaacs, C, M., Van Duijin.,
Witteman, J, C, M. 2006. ACE polymorphism. Circ Res. 98:
1123-1133.
Sharon

K. Chronic kidney
2006;14:17-22.

disease.

Critical

Care

Nurse.

Soedirjo. 2008. Hipertensi dan Klinis. Jakarta: Farmacia.


Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Sudoyo, Aru W., et. al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
Kelima Jilid 1. Jakarta: Interna Publishing.
Sugiarto, Aris. 2007. Faktor-faktor Risiko Hipertensi Grade II pada
Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar), p:
29-50, 90-126.
Sukandar E. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis.
Bandung: Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RS Dr.
Hasan Sadikin Bandung.

36

Sundari , Aulani'am , Djoko Wahon. 2013. Faktor Risiko Non


Genetik dan Polimorfisme Promoter Region Gen CYP11B2
Varian T(-344)C Aldosterone Synthase pada Pasien
Hipertensi Esensial di Wilayah Pantai dan Pegunungan.
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 27, No. 3.
Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, K MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 1ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departeman Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006. P. 570-3
Tapan, Erik MHA. 2004. Penyakit Ginjal dan Hipertensi. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.
Tessy, Agus. Hipertensi Pada Penyakit Ginjal. In: Aru W. Sudoyo,
Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata,
Siti Setiati, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departeman Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2009. P. 1086.
Tohaga E. 2008. Hipertensi, Gejala dan Komplikasi.
WHO. 2007. Hypertension Report. Geneva: WHO Technical Report
Series.
Yogiantoro, Mohammad. 2009. Hipertensi Essensial. In: Sudoyo
AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departeman Ilmu Penyakit Dalam FKUI. P.
1079

37

Anda mungkin juga menyukai