Anda di halaman 1dari 40

MS5041 ENERGI BARU TERBARUKAN

STUDI LITERATUR:
POTENSI GREEN LIVING DI INDONESIA

Oleh:
BEYRRA TRIASDIAN (23115015)
CHANDRA SALIM (23114304)

FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA


PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK MESIN
DESEMBER 2015

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 1
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................................. 2
DAFTAR TABEL................................................................................................................................... 4
EXECUTIVE SUMMARY........................................................................................................................ 1
I.

KAJIAN PUSTAKA ...................................................................................................................... 3


I.1

Energi Matahari Untuk Listrik & Air Panas ........................................................................... 3

I.1.1 Evacuted Tube Solar Collector (ETSC).................................................................................. 5


I.1.2 Hybrid Photovoltaic Thermal (PV/T) ................................................................................ 13
I.2

Kebutuhan Pendingin Rumah Tangga .................................................................................. 19

I.2.1 Sistem Pendingin Bawah Tanah ........................................................................................... 20


I.3

Pemanfaatan Limbah Rumah Tangga ................................................................................... 23

I.3.1 Aplikasi Biodigester.............................................................................................................. 23


I.3.2 Perlakuan Greywater ............................................................................................................ 25
I.3.3 Pemanfaatan Teknologi Biodigester dan Greywater Treatment ........................................... 27
II.

INTEGRASI SYSTEM GREEN LIVING ..................................................................................... 29

III. KESIMPULAN............................................................................................................................. 31
IV. REFERENSI ................................................................................................................................. 33

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kurva populasi dunia dulu, sekarang dan masa depan [1] ....................................... 1
Gambar 2. Konsumsi energi sektor rumah tangga menurut jenis [2]. ....................................... 2
Gambar 3. Jenis solar kolektor [12] ........................................................................................... 5
Gambar 4. Efisiensi (ordinat) vs. temperatur (absis), berbagai jenis collector [13] .................. 6
Gambar 5. Berbagai contoh bentuk ETSC (penampang melintang) [13]. ................................. 7
Gambar 6. Skematik komponen ETSC dengan heat pipe [17]. ................................................. 7
Gambar 7. Skematik cara kerja heat pipe [17][20]. ................................................................... 8
Gambar 8. Ilustrasi cara kerja heat pipe [21]. ............................................................................ 9
Gambar 9. Komponen utama ETSC [20] ................................................................................. 10
Gambar 10. Aluminium manifold [20] ..................................................................................... 10
Gambar 11. Contoh ETSC yang ada di pasaran [20] ............................................................... 11
Gambar 12. Kurva efisiensi hasil percobaan ETSC [22]. ........................................................ 12
Gambar 13. Ilustrasi aplikasi ETSC pada perumahan [13]. ..................................................... 12
Gambar 14. Skematik berbagai jenis PV/T kolektor air [4]..................................................... 14
Gambar 15. Klasifikasi berbagai solar collector [4] ................................................................ 14
Gambar 16. Struktur sistem hybrid PV/T [26] ......................................................................... 15
Gambar 17. Absorber berbentuk (a) web (b) direct (c) spiral [27] .......................................... 15
Gambar 18. Potongan melintang desain PV/T kolektor air oleh J. Yazdanpanahi, dkk [28] .. 17
Gambar 19. Ilustrasi penerapan PV/T [29] .............................................................................. 19
Gambar 20. Prinsip kerja sistem AC terbuka [32] ................................................................... 21
Gambar 21. Pendinginan sistem tertutup [32] ......................................................................... 22
Gambar 22. Grafik perbedaan suhu pada perbedaan kedalaman [34] ..................................... 22
Gambar 23. Proses pemisahan greywater & blackwater dengan urine separating toilet [36] 24
Gambar 24. Pemisahan sampah cair & proses recycle menggunakan disinfektan [38] ........... 24
Gambar 25. Reed bed yang dikembangkan di Perancis pada tahun 1997 [36] ........................ 27
Gambar 26. Ilustrasi pemanfaatan greywater, blackwater, dan sampah dapur [41] ................ 28

ii

Gambar 27. Sistem biogass perumahan [42] ........................................................................... 28


Gambar 28. Ilustrasi integrasi sistem secara keseluruhan [43] ................................................ 29

iii

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Radiasi matahari (kWh/m2) bulanan di kota-kota Indonesia [9] .................................. 4
Tabel 2. Pengaruh temperatur terhadap efisiensi berbagai jenis PV [10] .................................. 4
Tabel 3. Temperatur air dan efisiensi listrik dari PV/T dengan absorber web [27] ................. 16
Tabel 4. Temperatur air dan efisiensi listrik dari PV/T dengan absorber direct [27] .............. 16
Tabel 5. Temperatur air dan efisiensi listrik dari PV/T dengan absorber spiral [27] .............. 16
Tabel 6. Beberapa proses penyerapan penting dalam sistem reed bed [36] ............................ 26

iv

EXECUTIVE SUMMARY
Kebutuhan energi di dunia akan terus menerus meningkat karena jumlah penduduk di dunia
yang terus bertambah. Dalam hal teknis pemenuhan kebutuhan energi tersebut, semua negara
bertanggung jawab terhadap penduduknya masing-masing sehingga nantinya dapat diperhitungkan
secara global bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan energi.

Gambar 1. Kurva populasi dunia dulu, sekarang dan masa depan [1]

Pada tahun 2013, jumlah penduduk di Indonesia adalah 245,4 juta jiwa dengan tingkat
kebutuhan total konsumsi energi rumah tangga sebesar 47,11 juta TOE (tonne of oil equivalent) atau
setara 547.889,3 juta kWh [2], dengan kata lain untuk pemenuhan total kebutuhan energi rumah
tangganya penduduk Indonesia mengkonsumsi energi sebesar 2.153,65 kWh per tahun per kapita. Jika
asumsi dalam satu rumah terdiri dari 4 jiwa, maka total kebutuhan energi satu rumah dalam sehari
adalah sebesar 23,6 kWh per hari. Perlu diperhatikan bahwa dalam hal ini total kebutuhan energi adalah
pemenuhan kebutuhan di seluruh aspek rumah tangga.

Halaman 1 dari 35

Gambar 2. Konsumsi energi sektor rumah tangga menurut jenis [2].

Pemenuhan kebutuhan energi rumah tangga ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan
diversifikasi yang sumbernya dari energi terbarukan, sehingga integrasi dari berbagai sumber energi
terbarukan tersebut menghasilkan optimalisasi manajemen energi. Selain dapat menghemat biaya
pemenuhan energi, aspek berkelanjutan pemenuhan energi serta aspek ramah terhadap lingkungan pun
didapatkan.
Paper ini menitikberatkan pada pengkajian potensi-potensi yang telah diteliti oleh berbagai ahli
untuk dapat diterapkan menjadi satu sistem yang saling berkesinambungan. Batasan pembahasan paper
ini adalah pada rumah tinggal dengan pemanfaatan sistem energi matahari untuk menghasilkan listrik
dan air panas, sistem pendinginan pasif untuk kebutuhan temperatur ruang, serta sistem pemanfaatan
energi dari limbah rumah tangga. Paper ini tidak membahas control integrasi dan efisiensi pemakaian
berbagai sumber energi itu sendiri.

Halaman 2 dari 35

I. KAJIAN PUSTAKA
I.1

Energi Matahari Untuk Listrik & Air Panas


Matahari menjadi sumber energi utama bagi setiap makhluk hidup di bumi. Potensi

pemanfaatan energi matahari untuk kebutuhan hidup manusia telah banyak diteliti [3], penelitian yang
lebih mendalam terhadap suatu topik khusus terkait pemanfaatannya pun telah banyak dilakukan.
Beberapa di antara penelitian tentang pemanfaatan energi matahari yang berpotensi besar dan dapat
diterapkan pada rumah tinggal Indonesia di adalah terkait hybrid photovoltaic thermal, dan solar
energy collector. Penilitian-penelitian dinilai pantas untuk diterapkan di Indonesia mengingat besarnya
potensi radiasi matahari di Indonesia seperti ditunjukkan oleh Tabel 1. Dengan mengambil nilai ratarata iradiasi matahari penyinaran matahari sebesar 1.000 W/m2, maka Indonesia mendapatkan
penyinaran matahari rata-rata sebesar 5,12 jam per hari sepanjang tahunnya.
Energi matahari yang sampai di bumi adalah sebesar 3 x 1024 J per tahun, atau sekitar 10.000
kali lipat dari kebutuhan energi total seluruh populasi di dunia. Jika kita dapat memanfaatkan 0,1% dari
luas permukaan bumi untuk mendapatkan energi matahari, misalnya dengan modul photovolataic (PV)
yang memiliki efisiensi cukup 10% saja, maka kita dapat memenuhi semua kebutuhan energi seluruh
populasi dunia tersebut [4].
Modul PV merupakan salah satu teknologi yang paling efektif, berkelanjutan dan ramah
terhadap lingkungan dalam hal memanfaatkan energi matahari menjadi listrik. Namun memanfaatkan
modul PV masih menghadapi permasalahan, yakni semakin lama sel PV terpapar matahari maka
temperaturnya dapat mencapai 40C di atas temperatur ambien [5]. Hanya sebagian kecil dari iradiasi
langsung yang datang yang diubah menjadi listrik dan selebihnya akan menjadi energi panas, nilai
bervariasi tergantung jenis PV yang dipakai. Kenaikan temperatur ini menyebabkan penurunan efisiensi
modul PV dalam mengubah energi matahari menjadi energi listrik [6]. Pada level iradiasi matahari
sebesar 1.000 W/m2 tanpa sistem pendingin, efisiensi modul PV dapat turun ke 3,13% [7].
Dengan kata lain, jika kita dapat menjaga temperatur dari modul PV tetap rendah, maka nilai
efisiensi dapat dijaga. Untuk menjaga temperatur tetap rendah, penelitian mengenai penggunaan
material pendingin pada modul PV telah banyak dilakukan untuk mendapatkan efisiensi yang baik
sekaligus mendapatkan manfaat dari panas yang terkumpulkan [4]. Dengan menggunakan material PV
berupa thin film Copper Indium Selenium (CuInSe2) yang dipadukan dengan sistem pendingin, maka
kita bisa mendapatkan efisiensi termal sebesar 85,68% dan efisiensi listrik sebesar 19,22% [8]. Sistem
PV yang memadukan sistem pendingin ini disebut dengan hybrid photovoltaic thermal (PV/T)

Halaman 3 dari 35

Tabel 1. Radiasi matahari (kWh/m2) bulanan di kota-kota Indonesia [9]

City
Aceh
Medan
Padang
Riau
Jambi
Palembang
Bengkulu*
Lampung
Belitung
Jakarta*
Bandung
Semarang
Yogyakarta
Surabaya
Banten
Bali
Lombok
Kupang
Pontianak
Palangkaraya
Banjarmasin
Samarinda*
Manado*
Palu
Makasar
Kendari
Gorontalo
Ambon*
Ternate
Jayapura

Jan
4.76
4.65
4.89
5.41
4.85
4.57
4.54
4.64
4.74
4.57
4.57
4.85
4.37
4.64
4.74
5.21
4.99
5.56
5.17
4.97
5.04
4.66
5.61
5.24
5.3
4.64
5.26
5.52
5.73
4.95

Feb
4.91
4.77
4.82
5.85
4.86
4.57
4.69
4.77
4.79
4.65
4.75
5.04
4.72
4.84
4.96
5.5
5.29
5.96
5.17
4.92
5.05
4.88
5.77
5.34
5.47
4.8
5.38
5.57
6
5

Mar
4.94
4.83
4.82
6.06
4.88
4.78
4.69
4.94
4.69
4.85
4.87
5.14
4.8
4.9
4.94
5.64
5.46
6.37
5.11
4.86
5.03
4.99
6.04
5.43
5.74
4.66
5.43
5.49
6.08
4.97

Apr
4.88
4.6
4.93
5.54
4.69
4.66
4.71
4.85
4.42
4.95
4.95
5.15
4.65
4.81
4.77
5.14
5.04
5.78
5.08
4.81
4.92
4.98
6.24
5.28
5.99
4.63
5.31
5.37
5.73
4.9

May
4.84
4.42
4.94
4.87
4.69
4.73
4.7
4.92
4.37
4.96
5.02
5.21
4.52
4.64
4.88
5
5.05
5.96
5.03
4.8
4.84
4.89
6
5.46
5.96
4.44
5.1
5.17
5.36
4.8

Jun
4.68
4.34
4.87
5.02
4.61
4.49
4.73
4.87
4.75
5
4.97
5.59
4.56
4.71
4.98
5.29
5.33
5.88
4.98
4.77
4.88
4.76
5.65
5.2
5.92
4.27
5.15
5.16
5.4
4.76

Jul
4.58
4.22
4.94
5.21
4.71
4.79
4.83
5.06
5.18
5.07
5.17
6.1
4.93
5.24
5.43
5.84
5.82
6.7
5.31
5.01
5.29
4.76
5.87
5.7
6.41
4.69
5.48
5.3
6.04
4.89

Aug
4.62
4.38
4.78
5.15
4.88
4.8
5.24
5.12
5.14
5.21
5.35
6.64
5.4
5.81
5.77
6.11
6.16
7.16
5.3
4.96
5.51
4.87
6.53
5.84
6.74
6.05
5.6
6
6.32
4.99

Sept
4.56
4.38
4.69
4.75
4.85
4.6
5.13
5
4.84
5.42
5.11
6.21
5.61
5.83
5.52
6.1
6.19
7.54
5.2
4.95
5.27
4.92
6.61
5.6
6.65
6.3
5.42
6.02
6.23
5

Oct
Nov
Dec
4.32
4.19
4.74
4.23
4.09
4.37
4.57
4.54
4.34
4.39
3.99
4.63
4.59
4.18
4.64
4.46
4.39
4.47
4.8
4.47
4.52
4.67
4.48
4.43
4.54
4.46
4.44
5.4
4.84
4.74
4.77
4.7
4.96
5.05
4.9
5.15
5.13
4.98
4.52
5.03
4.85
4.79
4.88
4.8
4.95
5.55
5.29
4.9
5.66
5.4
4.67
7.41
6.68
4.6
4.99
4.85
5.27
4.7
4.64
5.01
4.66
4.75
4.77
5.04
4.8
4.42
6.19
5.69
5.59
5.22
4.98
5.67
5.51
4.92
5.36
5.46
4.8
5.61
5.13
5
4.7
6.25
6.2
6.04
6
5.75
5.14
4.93
4.87
4.57
Average of all area

Avr
4.67
4.44
4.76
5.07
4.70
4.61
4.75
4.81
4.70
4.97
4.93
5.42
4.85
5.01
5.05
5.46
5.42
6.30
5.12
4.87
5.00
4.83
5.98
5.41
5.83
5.03
5.25
5.67
5.82
4.89
5.12

*prediksi menggunakan model Artificial Neural Networks (ANNs)

Tabel 2. Pengaruh temperatur terhadap efisiensi berbagai jenis PV [10]

Time
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

(c-Si)
39.01
45.93
52.21
55.24
57.35
61.05
60.39
58.1
51.98
47.02

(p-Si)
39.31
46.52
53.06
56.22
58.39
62.17
61.4
58.92
52.52
47.31

Tc (C)
(a-Si)
39.99
47.84
54.99
58.43
60.76
64.68
63.67
60.78
53.75
47.95

(CdTe)
39.82
47.51
54.51
57.88
60.17
64.05
63.1
60.31
53.45
47.79

(CIGS)
39.65
47.18
54.02
57.32
59.57
63.42
62.53
59.85
53.14
47.63

(c-Si)
14.51
14.08
13.68
13.48
13.39
13.37
13.59
13.96
14.4
14.84

(p-Si)
12.68
12.29
11.92
11.74
11.66
11.63
11.84
12.17
12.57
12.97

(%)
(a-Si)
5.62
5.5
5.39
5.34
5.31
5.3
5.36
5.46
5.58
5.7

(CdTe)
7.62
7.49
7.38
7.33
7.3
7.29
7.36
7.45
7.58
7.7

(CIGS)
8.93
8.59
8.28
8.13
8.07
8.04
8.21
8.49
8.82
9.16

Halaman 4 dari 35

PV/T dapat menggunakan fluida berupa air sebagai pendinginnya, sehingga air hangat yang
didapatkan dari pendinginan PV/T tersebut kemudian dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai feeder
ke sistem lanjutan yakni pemanas air tenaga matahari. Pemanas air yang memanfaatkan konsep
pemusatan/pengkonsentrasian energi matahari (solar energy collector) salah satunya adalah evacuated
tube solar collector (ETSC). ETSC adalah alat sederhana di mana energi matahari dapat ditangkap oleh
absorbing tube dan dimanfaatkan untuk memanaskan fluida [11].

I.1.1

Evacuted Tube Solar Collector (ETSC)


Pada dasarnya terdapat 2 macam solar collector, yakni stasioner dan tracking. Pembagian

kelompok ini dijelaskan oleh Gambar 3 [12].


Solar Collector

Stationary

Flat Plate

Evacuated Tube

Tracking

Compound
Parabolic
Concentrating

Parabolic trough
collector

Glazed

Linear fresnel
reflector

Unglazed

Parabolic dish

Central receiver

Gambar 3. Jenis solar kolektor [12]

Berbagai macam konfigurasi kolektor dapat memberikan rentang temperatur pemanasan yang
besar, contohnya rentang operating temperature di 20-80 C untuk flat plate collector (FPC) dan 50200 C untuk ETSC. Kolektor yang paling banyak dipakai adalah FPC mengingat kesederhanaan
desainnya serta biaya perawatan yang rendah, namun FPC memiliki efisiensi yang lebih rendah karena
gejala konveksi, serta menghasilkan panas yang lebih rendah pula [13].

Halaman 5 dari 35

Gambar 4. Efisiensi (ordinat) vs. temperatur (absis), berbagai jenis collector [13]

I.1.1.1

Tipe ETSC
ETSC sendiri dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori, yakni single walled evacuated tube dan

yang kedua adalah Dewar tube [14]. Single walled evacuated tube memiliki efisiensi yang lebih rendah
dibandingkan dengan Dewar tube, hal ini dikarenakan efek rumah kaca pada Dewar tube yang memiliki
kaca lapis dua sehingga meminimalisir gejala konveksi secara maksimal. Untuk absorbing tube-nya
sendiri, yang dipakai di dalam ETSC terdapat beberapa macam bentuk: direct liquid contact, tabung U
dan heat pipe [13].
ETSC memiliki cara kerja yang sama dengan kolektor matahari plat datar yakni mengumpulan
radiasi langsung maupun radiasi difus [15], namun ETSC memiliki performansi yang lebih baik pada
temperatur yang tinggi [16]. Gambar skematik dari komponen ETSC ditunjukkan oleh Gambar 6.

Halaman 6 dari 35

Gambar 5. Berbagai contoh bentuk ETSC (penampang melintang) [13].

Gambar 6. Skematik komponen ETSC dengan heat pipe [17].

Halaman 7 dari 35

Untuk lebih memperjelas komponen - komponen utama yang dipakai pada ETSC, ambil contoh
adalah Dewar tube dengan heat pipe, maka berikut ini adalah penjelasan terhadap komponennya:
1. Heat Pipe, merupakan tabung tembaga peng-evaporasi-kondensasi yang berfungsi sebagai super
konduktor kalor. Konduktivitas termal dari heat pipe tergantung dari panjangnya, namun dapat
mencapai 4,8 13 kW/m.K, sebagai perbandingannya, konduktivitas termal dari tembaga adalah
0.4 kW/m.K [18]. Heat pipe berupa tabung dengan ruang vacuum udara di dalamnya dan berisi
sejumlah fluida kerja khusus. Fluida kerja khusus ini dipilih berdasarkan kebutuhan pemakaian
dari heat pipe itu sendiri. Fluida dipilih berdasarkan sifatnya yang mudah terevaporasi jika berada
di kondisi di atas operating temperatur, dan mudah terkondensasi jika berada di rentang operating
temperatur [19].

Gambar 7. Skematik cara kerja heat pipe [17][20].

Halaman 8 dari 35

Gambar 8. Ilustrasi cara kerja heat pipe [21].

2. Double-Walled Vacuum Insulation Tube, merupakan tabung kaca yang dindingnya dibuat dua lapis
di mana ruang antar kacanya berupa ruang vakum. Tujuan ruang antar kacanya dibuat vakum
adalah untuk meminimalisir gejala konveksi menuju ke lingkungan luar oleh udara di dalam ruang
kaca tersebut. Kaca tabung sisi dalam biasanya dibuat berwarna hitam untuk memperbesar
penyerapan cahaya matahari yang datang.
3. Rubber Seal / Sealing Plug / Centering Tube Stopper, merupakan tutup karet yang berfungsi
menjaga ruang udara di tengah tabung kaca supaya panas yang dihasilkan tidak bocor melalui
pangkal tabung. Alasan pemilihan bahan karet adalah untuk fleksibilitas pemasangan /
pembongkaran tabung kaca vakum.
4. Aluminium Fin, merupakan plat yang berfungsi untuk menangkap panas yang terjadi di dalam
tabung kaca. Dengan menangkap panas melalui konveksi udara di dalam tabung kaca ke
permukaan aluminium fin, maka panas dalam ruang tabung kaca akan lebih efektif dikonduksikan
ke heat pipe.

Halaman 9 dari 35

Gambar 9. Komponen utama ETSC [20]

5. Header Pipe, merupakan pipa utama untuk mengalirkan fluida yang diinginkan untuk dipanaskan.
Fluida yang dialirkan di dalam Header Pipe akan melewati ujung gas reservoir dari Heat Pipe,
sehingga panas yang telah terkonsentrasi di Heat Pipe diserap oleh fluida di dalam Header Pipe.
Dengan demikian proses kondensasi fluida kerja di dalam Heat Pipe akan terus terjadi selama
fluida di dalam Header Pipe masih lebih dingin.
6. Insulation Layer, merupakan bagian insulasi yang berfungsi untuk mencegah panas yang
didapatkan di dalam Header Pipe terbuang ke lingkungan. Material yang biasa dipakai adalah rock
wool.
7. Aluminium Manifold, merupakan bagian terluar yang menyelubungi Header Pipe. Berfungsi untuk
menjaga supaya Insulation Layer tetap terjaga dari kondisi lingkungan yang berubah-ubah.

Gambar 10. Aluminium manifold [20]

I.1.1.2

Keunggulan ETSC
Berdasarkan berbagai penelitian, ETSC memiliki efisiensi yang jauh lebih tinggi dibandingkan

dengan FPC, ETSC dapat mengumpulkan radiasi langsung maupun radiasi difus. Selain memiliki
performansi termal yang sangat baik, ETSC mudah dalam pemasangan dan mobilisasi. ETSC juga
mampu untuk dioperasikan pada aplikasi yang membutuhkan temperatur tinggi seperti instantaneous
gas heater, boost element integrated single solar tank system, dan boost tank incorporated solar preheater [13].
Halaman 10 dari 35

Gambar 11. Contoh ETSC yang ada di pasaran [20]

Perawatan ETSC sangat mudah dan murah. Jika tabung rusak, maka keseluruhan tidak serta
merta menjadi tidak berfungsi, namun hanya akan menurunkan efisiensi. Tabung yang rusak dapat
diganti secara individual per tabungnya. Hanya dalam hal jika kolektor panasnya yang rusak, maka
sistem harus dimatikan terlebih dahulu untuk penggantiannya, namun tetap sifatnya individual per
kolektor saja yang diganti [13].
I.1.1.3

Efisiensi ETSC
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Teknikum Rapperswill of Switzerland (Test Report No.

264, August 1997) menunjukkan bahwa efisiensi yang dihasilkan oleh ETSC dapat dimodelkan dengan
pendekatan rumus berikut: [22]
= 0.84

2.02( )
2
0.0046 [
]

Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Florida Solar Energy Center of USA (FSEC
Solar Collector Test Report No. 97005, May 1998) menunjukkan hasil yang konsisten dengan
percobaan oleh Teknikum Rapperswill, yakni: [22]
Linear:
= 0.82

2.19( )

Second Order:
1.23( )
2
= 0.81
0.0122 [
]

Di mana:
Tm

= Temperatur rata-rata dari collector; (Toutlet + Tinlet)/2 [C]

Ta

= Temperatur ambient dari udara; [C]


Halaman 11 dari 35

= Iradiasi matahari [Wh/m2]

Hasil penelitian dari kedua lembaga tersebut jika diilustrasikan di dalam bentuk kurva efisiensi,
maka hasilnya adalah seperti pada Gambar 12.

Gambar 12. Kurva efisiensi hasil percobaan ETSC [22].

I.1.1.4

Skematik penerapan ETSC


Penerapan ETSC untuk mendapatkan air panas dari energi matahari dapat dilakukan dengan

menggunakan controller untuk mengatur aliran suplai air serta menggunakan penampungan untuk air
panas hasil dari ETSC itu sendiri. Gambar 13 menunjukkan ilustrasi skematik penerapan pemanfaatan
ETSC untuk pemanas air panas di perumahan.

Gambar 13. Ilustrasi aplikasi ETSC pada perumahan [13].

Halaman 12 dari 35

I.1.1.5

Feasibilitas ETSC di Indonesia


Mengingat besarnya nilai lama penyinaran matahari rata-rata di Indonesia, maka ETSC sangat

layak untuk diterapkan di Indonesia. Dari sisi harga produk yang ditawarkan [23], rentangnya adalah di
kisaran USD 200-600 (belum termasuk biaya pengiriman) tergantung merk dagang. Sementara dari sisi
umur pakai, beberapa merk dagang memberikan keterangan umur tabung vacuum pada rentang 15-20
tahun [24].
Dengan menimbang faktor-faktor kelayakannya, yakni ketersediaan sumber matahari,
kemudahan dalam perawatan, biaya investasi yang relatif terjangkau, biaya perawatan yang rendah serta
umur pakai yang relatif panjang, maka ETSC sangat layak untuk diterapkan di Indonesia.
Dengan melakukan perhitungan sederhana menggunakan rumus efisiensi second order yang
diterapkan pada kondisi Indonesia, mengasumsikan efisiensi yang dimiliki oleh ETSC berpenampang
luas total 1 m2 adalah sebesar 79%, T ambient 28 C, T air masuk 25 C dan G optimis hanya di
4800Wh/m2, maka akan didapatkan temperatur air keluaran di 100 C sejumlah ~43 kg (~43 liter) per
hari rata-rata. Potensi jumlah air panas yang bisa didapatkan ini cukup untuk kebutuhan air panas seharihari sebagai campuran air mandi dan kebutuhan lainnya dalam rumah tinggal. Berdasarkan data dari
WHO [25], total kebutuhan air manusia adalah berkisar 7,5-15 liter per hari, dengan asumsi 30% dari
kebutuhan tersebut memakai air panas yang dihasilkan oleh ETSC, maka perhitungan simulasi instalasi
ETSC pada paragraf ini cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tinggal yang berjumlah 9-10 orang.

I.1.2

Hybrid Photovoltaic Thermal (PV/T)


PV/T yang merupakan modul PV dengan memperpadukan sistem pendinginan untuk

meningkatkan efisiensi penghasilan listrik ketika intensitas irasiadi matahari yang sedang tinggi, dapat
dikelompokkan seperti pada Gambar 15. Sama halnya dengan FPC untuk memanaskan air, PV/T dapat
digunakan untuk memanaskan air sekaligus menghasilkan listrik dengan penerapan di berbagai aplikasi.
Skematik berbagai konfigurasi PV/T dapat dilihat dari Gambar 14 [4].

Halaman 13 dari 35

Gambar 14. Skematik berbagai jenis PV/T kolektor air [4]

Gambar 15. Klasifikasi berbagai solar collector [4]

Penelitian dilakukan oleh E. Erdil [26] terhadap PV/T hybrid system yang mengkombinasikan
modul PV dengan koletor panas matahari seperti pada Gambar 16, membandingkan PV modul
konvensional tanpa sistem pendinginan dengan sistem PV/T yang sekaligus untuk menghasilkan air
panas. Pada PV konvensional, untuk menghasilkan energi listrik untuk konsumsi perumahan sehari

Halaman 14 dari 35

adalah sebesar 7 kWh/day membutuhkan instalasi PV seluas 10 m2. Pengujian yang dilakukan oleh
Erdil adalah untuk menghasilkan 2,8 kWh/day (40% kebutuhan energi perumahan), dengan
menggunakan sistem PV/T hybrid hanya membutuhkan instalasi seluas 1,2 m2 (12% kebutuhan lahan
modul PV konvensional). Dengan kata lain, menggunakan PV/T hybrid system hanya membutuhkan
30% luasan lahan modul PV konvensional untuk menghasilkan jumlah energi yang sama.

Gambar 16. Struktur sistem hybrid PV/T [26]

Cara kerja PV/T hybrid system ini adalah dengan memanfaatkan suplai air temperatur yang
lebih rendah untuk dipakai sebagai pendingin modul PV. Caranya adalah dengan mengalirkan air
tersebut melalui pipa-pipa pendingin yang terintgrasi dengan modul PV, sehingga selain menghasilkan
listrik PV/T hybrid system juga menghasilkan air hangat dari hasil pendinginan modul PV tersebut..
Fudholi [27] melakukan penelitian terhadap sistem PV/T hybrid dengan 3 macam bentukan
pipa absorber berbahan stainless steel yakni berbentuk web, direct dan spiral seperti pada Gambar 17
dengan konfigurasi susunan modul PV/T hybrid yang sama namun divariasikan bentukan pipa
absorbernya. Hasil penelitiannya memberikan hasil efisiensi seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 17. Absorber berbentuk (a) web (b) direct (c) spiral [27]

Halaman 15 dari 35

Tabel 3. Temperatur air dan efisiensi listrik dari PV/T dengan absorber web [27]

(kg/s)
0.011
0.013
0.016
0.02
0.024
0.027
0.029
0.032
0.035
0.038
0.041

500 (W/m2)
TPV (C) (%)
50.24
11.07
49.93
11.12
49.65
11.18
49.26
11.22
48.83
11.27
48.58
11.3
48.46
11.32
48.27
11.35
48.09
11.38
47.9
11.4
47.88
11.42

600 (W/m2)
TPV (C) (%)
51.65
11.55
51.04
11.62
50.63
11.69
50.26
11.75
49.76
11.8
49.59
11.84
49.27
11.87
49.09
11.9
48.87
11.92
48.76
11.93
48.57
11.94

700 (W/m2)
TPV (C) (%)
52.85
11.71
52.33
11.78
51.95
11.82
51.37
11.93
50.89
11.98
50.69
12.01
50.45
12.02
50.22
12.04
50.01
12.07
49.82
12.1
49.65
12.13

800 (W/m2)
TPV (C) (%)
53.54
11.91
53.03
12
52.65
12.07
52.06
12.15
51.69
12.2
51.17
12.22
51.05
12.26
50.84
12.28
50.55
12.32
50.14
12.35
50.03
12.37

Tabel 4. Temperatur air dan efisiensi listrik dari PV/T dengan absorber direct [27]

(kg/s)
0.011
0.013
0.016
0.02
0.024
0.027
0.029
0.032
0.035
0.038
0.041

500 (W/m2)
TPV (C) (%)
50.15
11.41
50.04
11.45
49.56
11.5
48.84
11.56
48.53
11.6
48.17
11.62
48.35
11.65
48.06
11.68
47.85
11.7
47.67
11.74
47.28
11.78

600 (W/m2)
TPV (C) (%)
51.75
11.76
51.34
11.84
50.86
11.9
50.47
11.96
49.95
12.01
49.63
12.05
49.46
12.09
49.38
12.12
48.99
12.14
48.76
12.15
48.5
12.18

700 (W/m2)
TPV (C) (%)
52.95
11.93
52.54
11.99
51.93
12.04
51.36
12.13
50.74
12.18
50.57
12.23
50.15
12.25
49.94
12.26
49.63
12.31
49.47
12.35
49.22
12.38

800 (W/m2)
TPV (C) (%)
53.64
12.19
53.25
12.24
52.86
12.3
52.13
12.41
51.56
12.49
51.04
12.52
51.03
12.55
50.66
12.59
50.23
12.62
50.06
12.66
49.89
12.69

Tabel 5. Temperatur air dan efisiensi listrik dari PV/T dengan absorber spiral [27]

(kg/s)
0.011
0.013
0.016
0.02
0.024
0.027
0.029
0.032
0.035
0.038
0.041

500 (W/m2)
TPV (C)
(%)
50.86
11.99
49.94
12.06
49.33
12.15
48.72
12.22
48.05
12.27
47.82
12.32
47.4
12.36
47.07
12.4
46.74
12.44
46.43
12.49
46.24
12.52

600 (W/m2)
TPV (C)
(%)
51.95
12.49
51.13
12.53
50.44
12.66
49.53
12.75
48.76
12.84
48.43
12.9
48.06
12.92
47.82
12.94
47.58
13
47.15
13.05
46.84
13.07

700 (W/m2)
TPV (C)
(%)
52.83
12.84
52.15
12.9
51.23
13
50.26
13.14
49.73
13.22
49.21
13.29
48.86
13.31
48.48
13.36
48.28
13.42
47.86
13.44
47.64
13.47

800 (W/m2)
TPV (C)
(%)
53.35
13.01
52.73
13.2
52.05
13.33
50.83
13.44
50.25
13.56
49.73
13.63
49.26
13.66
48.97
13.71
48.68
13.75
48.34
13.79
48.03
13.81

Halaman 16 dari 35

I.1.2.1

Efisiensi PV/T Hybrid

Gambar 18. Potongan melintang desain PV/T kolektor air oleh J. Yazdanpanahi, dkk [28]

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Javad Yazdanpanahi, dkk [28] dengan desain PV/T
hybrid system dengan skematik seperti ditunjukkan pada Gambar 18, maka efisiensi termal yang
didapatkan oleh sistem PV/T hybrid dapat dikalkulasi dengan menggunakan rumus berikut:
=

(, )

= [()
]

Di mana,
= (, , ) = [() (, )]
Dengan:

= Thermal efficiency (%)

= Heat transfer rate (W)

= Solar radiation intensity (W/m2)

= Area of PVT water collector (m2)

= Heat removal factor

() = Product of effective absorptivity and transmissivity

= Overall heat loss coefficient from PVT collector to the environment (W/m2.K)

= Temperature of fluid, inlet (K)

= Temperature of fluid, outlet (K)

= Temperature of ambient (K)

= Mass flow rate of water (kg/s)

= Specific heat capacity of water (J/kg.K)


Halaman 17 dari 35

= Width of PVT water collector (m)

= Length of PVT water collector (m)

Sementara itu, masih pada penelitian yang sama, efisiensi listrik yang dihasilkan oleh PV/T
hybrid system dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
=

Di mana,
=

Dengan:

I.1.2.2

= Electrical efficiency (%)

= Maximum power point circuit voltage (V)

= Maximum power point circuit current (A)

= Pump power (W)

= Pressure difference (Pa)

= Fluid density (kg/m3)

= Pump efficiency (%)

Feasibility PV/T hybrid


Dari sisi efisiensi pemakaian lahan, PV/T hibryd water collector yang hanya membutuhkan

lahan 30% dari modul PV konvensional untuk mendapatkan jumlah energi yang setara. Sementara dari
sisi ketersediaan sumber matahari sebagai sumber energi, Indonesia sangat mumpuni.
Dari sisi harga, PV/T hybrid masih tergolong mahal untuk produk komersial yang beredar di
pasaran dan baru sedikit yang memproduksinya. Di Indonesia sendiri produsen yang berfokus pada
sistm PV/T hybrid masih belum ada, untuk itu peluang Indonesia mengembangkan produk pembuatan
perakitan modul PV/T memiliki potensi yang sangat besar mengingat manfaat yang didapatkan sangat
bagus.

Halaman 18 dari 35

Gambar 19. Ilustrasi penerapan PV/T [29]

Dengan hasil air keluaran di temperatur sekitar 49 C, output air yang keluar dari PV/T hybrid
ini dapat menjadi feeder ke ETSC sehingga jumlah air panas yang dapat dihasilkan oleh ETSC
berpotensi ditingkatkan sampai dengan ~64 liter air panas 100 C per hari rata-rata dengan ukuran yang
tetap. Sementara, kita tetap mendapatkan energi listrik sejumlah ~1,2 kWh per hari rata-rata jika
menggunakan 1 buah modul PV kapasitas 260Wp dengan luas penampang sekitar 1,6 m2 [30].

I.2

Kebutuhan Pendingin Rumah Tangga


Indonesia dengan suhu berkisar antara 2035 C memiliki ketergantungan yang kuat terhadap

tersedianya alat pendingin ruangan. Di kota-kota besar yang memiliki kepadatan penduduk lebih
banyak, air conditioning (AC) menjadi kebutuhan wajib setiap rumah terlebih di gedung perkantoran
dan industri. Hal ini sangat wajar mengingat suhu ambien ideal yang diterima manusia adalah 23-27 C
di musim panas dan 20-25 C. Isu global warming dan climate change yang berkembang di masyarakat
dunia dewasa ini menuntut manusia untuk memanfaatkan segala cara yang lebih ramah lingkungan.
Dengan penggunaan AC yang menghasilkan beberapa refrigerant yang dapat merusak lapisan ozon dan
membutuhkan aliran listrik yang tidak sedikit, diperlukan alternatif lain untuk dapat tetap mendinginkan
ruangan dalam suhu yang dapat ditoleran oleh manusia dan lingkungan.
Tanah memiliki variasi temperatur yang menarik dan berbeda dengan suhu ambien yang kita
rasakan. Penelitian yang dilakukan di Santorini dan Israel [31] yang dikemukakan oleh menemukan
bahwa suhu tanah pada kedalaman 60 cm memiliki suhu yang relatif stabil yakni 22 C. Pada penelitian
tersebut terdapat suhu yang sangat ekstrem mencapai 40 C, dan dinyatakan bahwa suhu pada
kedalaman tersebut tidak terpengaruh banyak. Sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan di
Nicosia, Republik Siprus [32], suhu tanah pada kedalaman di bawah 5 meter memiliki suhu yang

Halaman 19 dari 35

konstan di sekitar 22 C, ketika suhu udara di luar sedang sangat panas di atas 30 C ataupun sedang
bersalju di bawah 0 C.
Distribusi suhu yang dideskripsikan [33] memisahkan tiga zona suhu kedalaman tanah yaitu:
1. Zona permukaan: hingga kedalaman 1 meter suhu tanah ditentukan dan sangat terpengaruh
dengan perubahan suhu yang terjadi di permukaan akibar perubahan cuaca yang bisa berubah
sangat cepat.
2. Zona landai: kedalaman berkisar 1-8 meter (untuk tanah kering) atau 20 meter (untuk tanah
berat dan lembab) memiliki suhu yang sangat stabil dan mendekati suhu rata-rata tahunan udara
di bumi.
3. Zona dalam: yakni kedalaman antara 8-20 meter, di keadaan ini suhu tanah tidak berubah dan
hanya akan mengalami perubahan kecil terhadap gradien geothermal.
Beberapa penelitian yang telah dijabarkan memberikan pengetahuan yang konkret bahwa
perbedaan suhu di dalam tanah dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk memberikan suhu ideal
manusia. Tidak hanya dapat mendinginkan ruangan, suhu tersebut dapat juga dimanfaatkan untuk
menghangatkan di negara-negara bermusim dingin untuk mengurangi pemakaian mesin pemanas.

I.2.1

Sistem Pendingin Bawah Tanah


Sistem pendingin bawah tanah memanfaatkan perpindahan panas dari udara yang sengaja

dimasukkan ke dalam pipa yang dikuburkan pada kedalaman tertentu. Udara akan didinginkan oleh
tanah yang memiliki suhu di bawah suhu permukaan yang masuk ke dalam pipa yang ditarik kipas
sehingga menghasilkan udara paksa ke dalam pipa pendingin yang menghasilkan udara dingin untuk
disalurkan ke dalam ruangan yang ingin didinginkan.
Pemanfaatan sistem ini juga memberikan keuntungan lebih yaitu udara yang dihasilkan akan
terproteksi dari debu, radiasi, badai, maupun suara bising dari luar ruangan. Tanah memiliki suhu
konstan yang dapat dimanfaatkan baik untuk pemanasan ketika musim dingin atau penghangat ruangan
ketika musim dingin. Studi mengenai suhu konstan dalam tanah sudah dibuktikan oleh banyak peneliti
Teknik pendinginan dengan memanfaatkan pendinginan bawah tanah ini sangat popular di Amerika
dan Eropa karena dapat mengurangi penggunaan energi listrik dan kerusakan lain yang disebabkan AC
dan alat pendingin buatan lainnya.
Pendingin bawah tanah dibagi atas dua sistem, yakni sistem terbuka dan sistem tertutup. Dalam
sistem terbuka, udara masuk ke dalam pipa yang terbenam di dalam tanah dan bergerak ke dalam rumah
melewati sistem ventilasi. Pada aplikasi tersebut tetap dibutuhkan sistem ventilasi yang baik ketika
pendinginan sedang berlangsung. Sedangkan pada sistem tertutup, udara bergerak berputar dalam
sistem tersebut. Keadaan ini jauh lebih baik karena pendinginan berlangsung efektif karena udara
Halaman 20 dari 35

bergerak ke dalam pipa yang dikubur dalam tanah terus-menerus sehingga pendinginan tidak
terpengaruh oleh udara luar.
Pada sistem terbuka, udara di luar bergerak melalui pipa yang terkubur di dalam tanah untuk
didinginkan sebelum masuk ke dalam AC konvensional.

Gambar 20. Prinsip kerja sistem AC terbuka [32]

Proses pendinginan dengan sistem tertutup memindahkan udara dengan cara yang sedikit
berbeda. Pipa-pipa pendingin di bawah tanah dapat diletakkan secara vertikal maupun horizontal yang
terhubung secara seri maupun paralel. Cara ini dianggap sebagai sistem yang lebih mudah dalam
pembangunannya dan lebih efisien. Tipe pipa horizontal pada sistem tertutup, setiap 35 meter pipa
memiliki kapasitas pendinginan hingga 1 kW. Cara penanaman pipa horizontal terbaru memiliki sistem
yang lebih baik karena dianggap tidak akan mempengaruhi kualitas tanah bagian akibat transfer panas
yang dihasilkan oleh proses pendinginan.
Percobaan yang dilakukan di Australia menyatakan bahwa pendingin bawah tanah dengan
sistem tertutup menghasilkan temperature berbeda di kedalaman berbeda [34]. Penelitian tersebut
bertujuan melihat perbedaan lima kedalaman (0,61 m, 0,73 m, 0,85 m, 0,97 m and 1,10 m) dan
menemukan perbandingan suhu yang signifikan terhadap suhu permukaan. Waktu pengambilan data
merupakan musim panas di Australia (data diambil pada bulan April 2013). Suhu rata-rata yang diambil
antara jam 10 pagi hingga jam 5 sore, hal ini menimbang suhu tertinggi diperkirakan terjadi pada
rentang waktu tersebut. Gambar 22 di bawah ini memberikan gambaran jelas bahwa suhu turun seiring
bertambahnya kedalaman.

Halaman 21 dari 35

Gambar 21. Pendinginan sistem tertutup [32]

Gambar 22. Grafik perbedaan suhu pada perbedaan kedalaman [34]

Gambar 22 menunjukkan perbedaan suhu yang signifikan, yaitu suhu terdingin terdapat pada
daerah terdalam yakni pada 1,1 meter dengan suhu konstan di 22 C. Apabila udara di dalam ruangan
atau yang ingin disalurkan ke dalam ruangan tertentu dimasukkan ke dalam pipa di kedalaman tersebut,
suhu ruangan yang dihasilkan akan berkurang beberapa derajat akibat perpindahan panas yang terjadi
di dalam tanah.

Halaman 22 dari 35

Penelitian lain yang dilakukan di Malaysia juga memberikan kesimpulan yang sama pada
model numeric yang mereka lakukan di daerah tropis. Sistem pendingin bawah tanah di daerah kajian
dapat menurunkan temperatur hingga 2,8 C atau setara dengan 5 F [35]. Pada model tersebut
digambarkan bahwa pipa yang paling baik diaplikasikan pada sistem pendingin tertutup ini adalah pipa
berbentuk persegi yang terbuat dari bahan aluminium.
Pada penelitian yang dilakukan di Republik Siprus memberikan rincian lain bahwa kedalaman
ideal yang diperlukan untuk mendinginkan udara sebaiknya berada di kedalaman antara 1 hingga 2 m
dengan jarak minimal antara pipa ganda setidaknya 30 cm. Kapasitas pendinginan dapat dihitung sesuai
kebutuhan yakni panjang pipa diantara 3560 meter per kW.

I.3

Pemanfaatan Limbah Rumah Tangga


Konsep green building tidak hanya menciptakan energi baru,tetapi juga melakukan optimalisasi

terhadap semua hal yang digunakan untuk mengurangi beban kebutuhan manusia. Terdapat beberapa
hal yang dapat dimanfaatkan ke dalam bentuk energi yang lain yang dihasilkan dari sisa atau
pembuangan limbah domestik, diantaranya sampah organik, blackwater dan greywater.

I.3.1

Aplikasi Biodigester
Teknologi biodigester sudah cukup umum digunakan oleh masyarakat Indonesia. Beberapa

daerah telah lama memanfaatkan kotoran sapi untuk diolah kembali sehingga dapat menghasilkan gas
metan yang dapat digunakan untuk menggantikan gas (LPG). Dengan menggunakan teknologi yang
sama, sumber lain dapat digunakan untuk menghasilkan manfaat yang tidak berbeda dalam skala
perumahan yang terencana. Blackwater dan sampah dapur dapat diolah dengan cara tersebut. Hal ini
tidak hanya akan mengurangi beban penggunanya karena jumlah sampah yang dibuang akan berkurang
secara kuantitas, tetapi juga membantu pemilahan sampah sehingga lebih ramah lingkungan dan
mendukung program green energy.
Proses pemisahan akan mempermudah proses selanjutnya yakni fermentasi di dalam tabung
digester dengan bahan-bahan tertentu. Dalam kasus ini yang digunakan adalah kotoran manusia dan
sampah dapur. Pada Gambar 23 diilustrasikan jenis toilet yang dikembangkan di Britania Raya yakni
urine separating toilet. Jenis ini sangat memudahkan proses pembuatan biogas, sedangkan urin akan
disalurkan ke proses pengolahan greywater terpisah.

Halaman 23 dari 35

Gambar 23. Proses pemisahan greywater & blackwater dengan urine separating toilet [36]

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Marsono dan Wardhani (2006), pemanfaatan kotoran
manusia dan urin harus dilakukan secara terpisah karena akan memberikan manfaat yang berbeda pula
pada lingkungan [37]. Kotoran manusia yang masuk dalam kategori blackwater akan dikumpulkan pada
suatu tabung besar yang diperuntukkan untuk pembuatan biogas. Proses ini tidak hanya mengurangi
limbah, tetapi juga memberi manfaat lainnya dengan energi yang dihasilkan. Di beberapa negara seperti
Cina dan India, biogas seperti ini digunakan untuk membangkitkan listrik. Sedangkan penelitian
Marsono dan Wardani memberikan contoh nyata pemanfaatan blackwater untuk memenuhi kebutuhan
masak yang biasanya dipenuhi LPG.

Gambar 24. Pemisahan sampah cair & proses recycle menggunakan disinfektan [38]

Urin yang disalurkan pada saluran greywater bisa dimanfaatkan kembali menjadi air pembasuh
toilet (flush) dan keperluar penyiraman tanaman. Hal ini tidak saja mengurangi jumlah konsumsi air,
tetapi juga memberikan nutrient penting yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh subur.
Pemanfaatan biodigester terbilang cukup sederhana. Hal ini mengingat sampah organik apapun
dapat digunakan untuk menghasilkan energi asalkan memenuhi beberapa kriteria tertentu. Syarat yang
Halaman 24 dari 35

dibutuhkan diantaranya memiliki pH antara 6-7 dan memiliki kandungan Karbon, Hidrogen, maupun
Nitrogen dalam tingkatan tertentu sehingga dapat menghasilkan gas metan di suhu tertentu. Suhu yang
paling ideal dalam proses fermentasi gas metan dalam proses biodigester adalah 35 C, dengan hasil
akhir biogas memiliki suhu berkisar 25-30 C [38]

I.3.2

Perlakuan Greywater
Greywater merupakan bagian dari limbah cair domestik yang proses pengalirannya tidak

melalui toilet. Hal ini dapat ditemukan dari air yang biasanya dipakai dari air bekas mandi maupun
cucian. Dikutip dari Dini Widianti dan Marisa Handajani [39], sekitar 60-85% dari total volume
kebutuhan air bersih akan menjadi limbah cair domestik dengan 75% dari total volume tersebut adalah
yang kita sebut sebagai greywater [39].
Pengolahan greywater di Indonesia dapat dikatakan sangat tidak umum. Biasanya penanganan
yang dilakukan adalah langsung dibuang ke saluran drainase tanpa pengolahan sebelumnya. Greywater
dapat dimanfaatkan untuk mengurangi penggunaan air di beberapa sektor, seperti subtitudi kebutuhan
air rumah tangga maupun pertanian. Pemenuhan air yang dapat dilakukan di rumah tangga misalnya
mengganti air yang digunakan untuk cuci atau flush pada toilet. Sebuah studi menunjukkan bahwa pada
sistem pengolahan air perumahan, unsur-unsur seperti karbon, nitrogen, fosfat dan potassium akan
disaring dan menghasilkan air yang layak untuk dipakai lagi untuk keperluan tertentu. Pemanfaatan air
pada sistem penyaringan seperti itu dapat menghemat penggunaan air hingga 72% [40].
Unsur nitrogen, fosfat, dan potasium merupakan nutrien bagi tumbuhan, sehingga jika
greywater dialirkan begitu saja ke badan air permukaan maka akan menyebabkan eutrofikasi pada
badan air tersebut. Hal ini dapat menjadi masalah baru karena eutrofikasi akan menyulut pertumbuhan
ganggang sehingga menurunkan kadar oksigen terlarut di dalam badan air tersebut. Hal ini sangat tidak
diinginkan karna dampaknya dapat merusak keberlangsungan hidup makhluk hidup tertentu atau
bahkan kematian di alam. Pengolahan greywater sangat dibutuhkan mengingat persediaan air sangatlah
terbatas. Keperluan perkebunan dan pertanian yang membutuhkan jumlah air yang sangat besar
sehingga pemanfaatan greywater adalah solusi yang sangat menguntungkan karena akan memberikan
nutrisi yang baik di saat yang bersamaan.
Reed bed adalah suatu sistem pemurnian air yang dilakukan dengan cara membuat lahan basah
khusus sebagai penyaring alami. Beberapa bahan yang umum digunakan adalah tumbuhan dengan
beberapa lapisan tanah dan bebatuan. Pembangunan filter air dengan cara ini sudah dikembangkan di
beberapa negara besar seperti Amerika, Kanada, beberapa negara di Eropa bagian utara dan timur.
Dengan lahan basah tersebut beberapa nutrien penting yang terkandung dalam limbah air perumahan
dan membersihkan sebagian besar bakteri koliform. Pelakuan yang diberikan pada sistem ini
melibatkan banyak reaksi kimia dan biologi. Tabel 6 di bawah ini adalah proses dan tempat di mana
Halaman 25 dari 35

proses tersebut berlangsung pada sistem reed bed yang melibatkan tiga contaminant penting yaitu BOD5
(sebagai penentu karbon), Nitrogen (NH4 atau NO3), dan Fosfor.
Tabel 6. Beberapa proses penyerapan penting dalam sistem reed bed [36]

Tanaman, tanah, bebatuan dan alga mampu menyerap beberapa senyawa tertentu. Pada Tabel
6 di atas tiga contaminant yang umum ditemukan pada greywater dapat dibersihkan pada bagian-bagian
tertentu tanaman, beberapa jenis pasir, ataupun tanah. Sistem reed bed dikembangkan besar-besaran di
Perancis dengan beberapa tipe sesuai kebutuhan. Tipe ini yang paling biasa digunakan di dunia saat ini.
Pada dasarnya ini adalah jebis reed bed horizontal dengan memberikan lapisan-lapisan tertentu untuk
memaksimalkan proses pemurnian air untuk layak digunakan kembali untuk beberapa kegiatan tertentu
yang menggunakan air (paling umum untuk air bilas dan tanaman).
Tiga tipe penyaringan pada sistem reed bed digambarkan pada gambar di bawah merupahan
cara yang paling umum digunakan hingga saat ini. Dengan cara yang paling sederhana yakni
menggelontorkan greywater pada tanaman seperti pada tipe A, pemurnian air yang didapat bisa
dikatakan sudah sangat baik. Penelitian Fujita [36] menyebutkan bahwa dengan tipe tersebut bahwa air
dapat dibersihkan dari 87,5% pengotor. Pemurnian memerlukan waktu 3-4 hari dan didiamkan selama
6-8 hari setelahnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan beberapa material padat
tersuspensi dan menjadikannya dalam kondisi aerob sehingga bakteri-bakteri jahat dapat hilang dan
akan menaikan kualitas air yang dibersihkan

Halaman 26 dari 35

Gambar 25. Reed bed yang dikembangkan di Perancis pada tahun 1997 [36]

Tipe A, tipe B, maupun tipe C menyiratkan beberapa alternatif yang digunakan sesuai dengan
kebutuhan penyaringan air. Tipe-tipe tersebut membedakan jumlah air yang dapat dibersikan sekaligus
dalam suatu penyaringan. Tipe A dapat menerima limbah cair hingga menutupi 2 cm di atas permukaan
tanah sekali proses, sedangkan tipe lainnya memiliki kapasitas yang lebih kecil. Penanganan di Swiss
dengan metode yang sama menghasilkan kualitas yang jauh lebih baik. Perlakuan berbeda dilakukan
sebelum sampai reed bed yaitu dengan menampung greywater pada suatu wadah besar sehingga air
yang mengalir ke permukaan penyaring tersebut menjadi lebih tenang. Hal ini mempengaruhi jumlah
endapan yang mungkin terbawa oleh arus air sehingga menjadi pengotor baru. Pemurnian dengan cara
ini dianggap sangat berhasil dan terbukti dapat membersihkan air hingga 91,4%.

I.3.3

Pemanfaatan Teknologi Biodigester dan Greywater Treatment


Baik biodigester maupun perlakuan greywater dapat dilakukan bersamaan pada perumahan

berbasis eco-living. Hal ini juga mendukung program green-energy yang akan mengurangi konsumsi
air dan energi panas yang biasa digunakan sehari-hari. Sistem ini mengadaptasi pemilahan sampah
organik dengan menggunakan urine separating toilet dan biodigester dari sampah organik maupun
blackwater.

Halaman 27 dari 35

Gambar 26. Ilustrasi pemanfaatan greywater, blackwater, dan sampah dapur [41]

Gambar 27. Sistem biogass perumahan [42]

Teknologi ini lebih mudah digunakan dalam suatu kelompok rumah (komunal). Hal ini menimbang
energi yang dihasilkan setiap rumah membutuhkan waktu dan biaya yang tidak jauh berbeda dengan
pemanfaatan air dan pengolahan biodigester secara massal. Kedua sistem ini dapat diintegrasikan
sehingga memberikan keuntungan ganda yakni tersedianya kelebihan air dan energi untuk pemanas
maupun listrik.

Halaman 28 dari 35

II. INTEGRASI SYSTEM GREEN LIVING


Pengembangan rumah tinggal bertema green-living mungkin sudah familiar di dunia, sekalipun belum
terlalu banyak di Indonesia. Dengan beberapa aplikasi energi baru terbarukan, rumah tinggal ecofriendly tidak hanya akan mengurangi jumlah karbon dioksida, tetapi juga optimalisasi jumlah
pemakaian energi komersial yang juga ramah lingkungan.

Gambar 28. Ilustrasi integrasi sistem secara keseluruhan [43]

Pemanfaatan energi matahari dapat mengurangi emisi dan konsumsi energi listrik. Dengan penggunaan
solar PV/T, kebutuhan listrik akan berkurang karena sebagian dipenuhi oleh listrik dari PV/T yang akan
selalu memberikan asupan listrik selama matahari bersinar. Pemenuhan kebutuhan listrik dalam
keadaan normal dapat dupenuhi oleh PV/T hingga 50% - 60%. Kebutuhan pemanas air dapat terpenuhi
tanpa gas maupun listrik dengan solar thermal water heater yakni menggunakan ETSC. Kebutuhan
listrik yang biasanya memerlukan energi cukup besar, dapat dipenuhi separuhnya dari aplikasi 1-2 m2
untuk memenuhi kebutuhan 4 - 5 anggota keluarga dalam satu rumah.
Sistem pendingin udara yang biasanya dipenuhi dengan mesin air conditioning (AC) juga dapat
digantikan dengan aplikasi pendingin bawah tanah yang lebih rendah pemakaian energinya, alami, dan
ramah lingkungan. Pendinginan suatu ruangan tidak akan mencapai suhu sedingin AC, tetapi dengan
Halaman 29 dari 35

penyesuaian tertentu suhu udara kamar ideal manusia pasti bisa terpenuhi. Aplikasi ini dapat
menghemat listrik hingga 1 kW untuk setiap rumah.
Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan untuk mencapai green-energy adalah melakukan pengolahan
limbah domestik secara mandiri. Hal ini tidak hanya bermanfaat untuk mengurangi jumlah sampah,
tetapi juga dapat mengurangi jumlah pemakaian air bersih dan gas / listrik yang digunakan untuk
memasak. Pengolahan mandiri greywater akan mensubtitusi pemakaian bilas kamar mandi maupun
penyiraman tanaman. Sedangkan pada pengolahan sampah dapur dan blackwater akan meghasilkan
biogas yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan dapur.
Baik pemanfaatan sel surya PV/T, solar thermal water heater, pendingin udara bawah tanah, greywater
treatment, dan biodigester memberikan keuntungan masing-masing yang sangat menguntungkan tidak
hanya untuk pemilik rumah, tetapi juga peduli pada keseimbangan alam. Di bawah ini merupakan
ilustrasi rumah yang memanfaatkan semua aplikasi energi baru-terbarukan yang telah disebutkan di atas

Halaman 30 dari 35

III.

KESIMPULAN

1. Pemenuhan kebutuhan energi rumah tangga di Indonesia dapat dimaksimalkan dengan


diversifikasi sumber energinya mengingat potensi yang dimiliki secara geografis.
2. Pemenuhan kebutuhan air panas rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga 4-5
orang dengan potensi iradiasi matahari di Indonesia yang berjumlah 5,2 kWh/m2 ratarata per hari.
3. Dengan ETSC berpenampang total 1 m2, jika diterapkan dengan potensi yang ada di
Indonesia maka dapat menghasilkan air bertemperatur sampai dengan 100 oC sampai
dengan 43 liter per hari, cukup untuk memenuhi kebutuhan air panas sampai dengan 9
anggota keluarga dalam 1 rumah.
4. ETSC dapat memberikan efisiensi sampai dengan 80%, hal ini dikarenakan ETSC
sangat meminimalkan efek konveksi terhadap udara lingkungan.
5. ETSC sangat tepat untuk diterapkan karena perawatannya yang murah dan jika butuh
perbaikan pada tabung dapat diperbaiki secara parsial. Kecuali jika yang rusak adalah
pipa manifold, biaya perbaikan terbesar ada pada komponen pipa manifold.
6. Untuk perumahan yang memiliki keterbatasan lahan penempatan ETSC dan PV
sekaligus, maka dapat menerapkan PV/T kolektor air.
7. Dengan kebutuhan luasan lahan sekitar 1,6 m2, PV/T dengan modul PV kapasitas
260Wp dapat memenuhi kebutuhan sampai dengan ~1,2 kWh (50-60%) kebutuhan
energi listrik per hari sekaligus menghasilkan air bertemparatur sampai dengan 50 oC
sebanyak ~58 liter.
8. PV/T kolektor air merupakan sistem yang sangat baik karena menggunakan air sebagai
pendingin sistem modul PV sehingga menghasilkan efisiensi listrik yang relatif stabil,
sementara air yang telah menjadi panas dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan seharihari.
9. PV/T koletktor air belum banyak diproduksi secara masal dan dipasarkan, baru ada
beberapa merk non Indonesia. Peluang untuk mengembangkan produk ini di Indonesia
sangat baik mengingat potensi Indonesia yang sangat baik untuk ketersediaan energi
matahari.
10. Pendingin udara bawah tanah dapat menurunkan suhu ambien hingga 2,7 oC dengan
memanfaatkan suhu konstan di kedalaman minimal 60 cm.
11. Saluran pipa pendingin bawah tanah terbaik adalah pipa dengan bentuk persegi dan
berasal dari aluminium yang setara dengan 1kW setiap 35 meter bentangan.
Halaman 31 dari 35

12. Pemanfaatan biodigester digunakan untuk dekomposisi blackwater dan sampah dapur
untuk dijadikan biogas.
13. Perlakuan khusus pada greywater dimaksudkan untuk mengurangi jumlah konsumsi air
bersih dan dapat menghemat air hingga 72%.
14. Penggunaan urine separating toilet akan memberikan manfaat lebih, sehingga unsur-

unsur baik dalam limbah (Natrium, Potasium, Fosfor) tersebut dapat memberikan
manfaat lebih untuk tanaman sekitar.

Halaman 32 dari 35

IV.

REFERENSI

[1]

Worldometers, World Population. 2014.

[2]

Badan Pusat Statistik, Proyeksi Penduduk Indonesia Indonesia Population Projection 20102035, no. 6. 2013.

[3]

M. Jefferson, There s nothing much new under the Sun: The challenges of exploiting and
using energy and other resources through history, Energy Policy, vol. 86, pp. 804811, 2015.

[4]

V. V Tyagi, S. C. Kaushik, and S. K. Tyagi, Advancement in solar photovoltaic / thermal (


PV / T ) hybrid collector technology, Renew. Sustain. Energy Rev., vol. 16, no. 3, pp. 1383
1398, 2012.

[5]

A. Luque and S. Hegedus, Handbook of Photovoltaic Science and Engineering, 2nd ed. 2011.

[6]

J. a Cueto, Comparison of Energy Production and Performance From Flat-Plate Photovoltaic


Module Technologies Deployed At Fixed Tilt, no. May, pp. 15231526, 2002.

[7]

M. M. Rahman, M. Hasanuzzaman, and N. A. Rahim, Effects of various parameters on PVmodule power and efficiency, Energy Convers. Manag., vol. 103, pp. 348358, 2015.

[8]

H. Haloui, K. Touafek, M. Zaabat, H. Ben, and A. Khelifa, The Copper Indium Selenium (
CuInSe 2 ) thin films solar cells for Hybrid Photovoltaic Thermal Collectors ( PVT ), Energy
Procedia, vol. 74, pp. 12131219, 2015.

[9]

M. Rumbayan, A. Abudureyimu, and K. Nagasaka, Mapping of solar energy potential in


Indonesia using artificial neural network and geographical information system, Renew.
Sustain. Energy Rev., vol. 16, no. 3, pp. 14371449, 2012.

[10]

R. K. Mishra and G. N. Tiwari, Energy matrices analyses of hybrid photovoltaic thermal


(HPVT) water collector with different PV technology, Sol. Energy, vol. 91, pp. 161173,
2013.

[11]

S. Ataee and M. Ameri, ScienceDirect Energy and exergy analysis of all-glass evacuated
solar collector tubes with coaxial fluid conduit, Sol. Energy, vol. 118, pp. 575591, 2015.

[12]

S. Kalogirou, Solar Energy Engineering: Processes and Systems, 1st ed. Elsevier Inc., 2009.

[13]

M. A. Sabiha, R. Saidur, S. Mekhilef, and O. Mahian, Progress and latest developments of


evacuated tube solar collectors, Renew. Sustain. Energy Rev., vol. 51, pp. 10381054, 2015.

[14]

Y. Gao, Q. Zhang, R. Fan, X. Lin, and Y. Yu, ScienceDirect Effects of thermal mass and
flow rate on forced-circulation solar hot-water system: Comparison of water-in-glass and Upipe evacuated-tube solar collectors, Sol. Energy, vol. 98, pp. 290301, 2013.

[15]

J. A. D. Deceased and W. A. Beckman, of Thermal Processes Solar Engineering. .

[16]

P. Selvakumar, P. Somasundaram, and P. Thangavel, Performance study on evacuated tube


solar collector using therminol D-12 as heat transfer fluid coupled with parabolic trough,
Energy Convers. Manag., vol. 85, pp. 505510, 2014.
Halaman 33 dari 35

[17]

Heat Pipe Manifold. [Online]. Available: http://www.sltenergy.com/heat-pipe-manifold/.


[Accessed: 27-Nov-2015].

[18]

D. Xu, L. Li, and H. Liu, Experimental investigation on the thermal performance of helium
based cryogenic pulsating heat pipe, Exp. Therm. Fluid Sci., vol. 70, pp. 6168, 2016.

[19]

I. Sauciuc, A. Akbarzadeh, and P. Johnson, Temperature Control Using Variable


Conductance Closed Two-Phase Heat Pipe, vol. 23, no. 3, pp. 427433, 1996.

[20]

Solar Panels Plus. [Online]. Available: http://www.solarpanelsplus.com/. [Accessed: 27Nov-2015].

[21]

Shuttle. [Online]. Available: http://www.shuttle.eu/_archive/old/en/www.shuttle.eu/index3002.html. [Accessed: 27-Nov-2015].

[22]

F. Mahjouri, Vacuum Tube Liquid-Vapor (Heat-Pipe) Collectors.

[23]

No Title. [Online]. Available: www.aliexpress.com. [Accessed: 27-Nov-2015].

[24]

No Title. [Online]. Available: www.apricus.com. [Accessed: 27-Nov-2015].

[25]

World Health Organization and Wedc, How much water is needed in emergencies, Tech.
Notes Drink. Sanit. Hyg. Emergencies., no. 9, pp. 14, 2013.

[26]

E. Erdil, M. Ilkan, and F. Egelioglu, An experimental study on energy generation with a


photovoltaic ( PV ) solar thermal hybrid system, vol. 33, pp. 12411245, 2008.

[27]

A. Fudholi, K. Sopian, M. H. Yazdi, M. Hafidz, A. Ibrahim, and H. A. Kazem, Performance


analysis of photovoltaic thermal ( PVT ) water collectors, Energy Convers. Manag., vol. 78,
pp. 641651, 2014.

[28]

J. Yazdanpanahi, F. Sarhaddi, and M. M. Adeli, ScienceDirect Experimental investigation of


exergy efficiency of a solar photovoltaic thermal ( PVT ) water collector based on exergy
losses, Sol. Energy, vol. 118, pp. 197208, 2015.

[29]

No Title. [Online]. Available: http://www.bosssolar.com/combination-hot-water-pv/.


[Accessed: 09-Dec-2015].

[30]

No Title. [Online]. Available: http://www.len.co.id/len-260-wp-monocrystalline/.


[Accessed: 27-Nov-2015].

[31]

B. Givoni, Cooled soil as a cooling source for buildings, Sol. Energy, vol. 81, no. 3, pp.
316328, 2007.

[32]

G. Florides and S. Kalogirou, Ground heat exchangersA review of systems, models and
applications, Renew. Energy, vol. 32, no. 15, pp. 24612478, 2007.

[33]

C. O. Popiel, Measurements of temperature distribution in ground, vol. 25, pp. 301309,


2001.

Halaman 34 dari 35

[34]

S. F. Ahmed, M. M. K. Khan, M. T. O. Amanullah, M. G. Rasul, and N. M. S. Hassan,


Performance assessment of earth pipe cooling system for low energy buildings in a
subtropical climate, Energy Convers. Manag., vol. 106, pp. 815825, 2015.

[35]

M. R. Alam, Energy Efficient Green Building Based on Geo Cooling System in Sustainable
Construction of, Int. J. Sustain. Constr. Eng. Technol., vol. 3, no. 2, pp. 96105, 2012.

[36]

No Title. [Online]. Available: http://www.fujitaresearch.com/reports/wastewater.html.


[Accessed: 27-Nov-2015].

[37]

S. Kecamatan, N. Open, D. Free, and H. Departement, Perencanaan biodigester tinja manusia


dan kotoran ternak skala komunal rumah tangga di kecamatan ngancar, kabupaten kediri, pp.
113.

[38]

No Title. [Online]. Available: http://abettertoilet.org/tag/liquid-waste-processing/.


[Accessed: 27-Nov-2015].

[39]

D. Widianti and M. Handajani, Greywater Characterisation to Know the Potential Utilization


of Greywater Reuse in Bandung City.

[40]

C. Makropoulos, S. Liu, D. Butler, W. Han, L. M. Avery, F. a. Memon, and M. Pidou,


Economic assessment tool for greywater recycling systems, Proc. ICE - Eng. Sustain., vol.
158, no. 3, pp. 155161, 2005.

[41]

No Title. [Online]. Available: http://www.kellyplumbing.com.au/septic-treatmentplants.html. [Accessed: 27-Nov-2015].

[42]

No Title. [Online]. Available: http://greennewworld.org/Waste.html. [Accessed: 27-Nov2015].

[43]

No Title. [Online]. Available: http://www.ecofriendlyhouses.net/. [Accessed: 27-Nov-2015].

Halaman 35 dari 35

Anda mungkin juga menyukai