Anda di halaman 1dari 11

KELOMPOK 5

Ardina Dwi Lestari

4002140071

Iis Siti Saadah

4002140123

Nining Fatimah

4002140020

Siska Siti Mulyani

4002140154
METABOLISME PORFIRIN

A. Pengertian Porfirin

Porfirin adalah suatu senyawa organik yang mengandung empat cincin pirol, suatu
cincin segi lima yang terdiri dari empat atom karbon dengan atom nitrogen pada satu
sudut. Senyawa ini ditemukan pada sel hidup hewan dan tumbuhan, dengan berbagai
macam fungsi biologis. Empat atom nitrogen di tengah molekul porfirin dapat mengikat
ion logam seperti magnesium, besi, seng, nikel, kobal, tembaga, dan perak. Tiap-tiap
logam yang diikat akan memberikan sifat yang berbeda-beda. Jika logam yang diikat di
pusat adalah besi, maka kompleks porfirin disebut ferroporfirin, atau heme.
Empat gugus heme ini dapat bergabung menyusun hemoglobin, molekul dalam sel darah
merah yang berfungsi mengikat oksigen. Sementara vitamin B12 mengandung molekul porfirin
dengan ion kobal di tengahnya. Pada klorofil yang merupakan molekul penting pada tanaman
yang menangkap energi matahari dan memberi warna hijau, molekul porfirin mengikat ion
logam pusat magnesium (Mg).
Sifat khas porfirin: pembentukan kompleks dengan ion-ion logam yang terikat pada

atom N cincin-cincin pirol. Contoh:


Heme = Porfirin + Fe2+
(porfirin besi/heme)
Klorofil = Porfirin + Mg2+
(porfirin magnesium/klorofil)
Di alam, metaloporfirin terkonjugasi dengan protein membentuk senyawa-senyawa antara
lain:

1. Hemoglobin (Hb) merupakan porfirin besi yang terikat pada protein globin yang
berfungsi untuk mengangkut O2 di darah.

2. Eritrokruorin terdapat pada beberapa invertebrata yang berfungsi: hampir sama dengan
3.
4.
5.
6.

Hb.
Mioglobin. Pengangkut O2 di jaringan otot (pigmen pernafasan).
Sitokrom berfungsi sebagai pemindah elektron pada proses redoks .
Katalase. Heme + protein. Pemecah 2H2O2 2H2O + O2

Triptofan pirolase. Mengkatalisa oksidasi triptofan menjadi formil kinurenin

B. Fungsi Porfirin:
Fungsi porfirin adalah sebagai berikut:
1. Membentuk senyawa sebagai pengangkutan O2
2. Membentuk senyawa sebagai pengangkutan elektron
3. Membentuk senyawa sebagai enzim enzim tertentu
Perbedaan antara porfirin satu dengan yang lain adalah jenis senyawa yang
mensubstitusinya
C. Struktur porfirin

Menyingkat rumus porfirin dengan menghilangkan jembatan metenil dan setiap


cincin pirol yang diperlihatkan sebagai tanda kurung dengan 8 tanda substituent.
D. Metabolisme Porfirin
1. Heme sebagai metaloporfirin
Heme adalah kompleks senyawa protoporfirin IX dengan logam besi yang
merupakan gugus prostetik berbagai protein seperti hemoglobin, mioglobin,
katalase, peroksidase, sitokrom c dan triptophan pirolase. Kemampuan hemoglobin
dan mioglobin mengikat oksigen tergantung pada gugus prostetik ini yang sekaligus
memberi warna khas pada kedua hemeprotein tersebut.
Heme terdiri atas bagian organik dan suatu atom besi. Bagian organik
protoporfirin tersusun dari empat cincin pirol. Keempat nya terikat satu sama lain
melalui jembatan metenil, membentuk cincin tetrapirol. Empat rantai samping metil,
dua rantai samping vinil dan dua rantai samping propionil terikat kecincin tetrapirol
tersebut .
Atom besi didalam heme mengikat keempat atom nitrogen dipusat cincin
protoporfirin. Atom besi dapat berbentuk fero (Fe 2+) atau feri (Fe3+) sehingga
untuk hemoglobin yang bersangkutan disebut juga sebagai ferohemoglobin dan

ferihemoglobin atau methemoglobin. Hanya bila besi dalam bentuk fero, senyawa
tersebut dapat mengikat oksigen.
2. Biosintesa porfirin dan heme
Langkah awal biosintesa porfirin pada mamalia ialah kondensasi suksinil
ko-A yang berasal dari siklus asam sitrat dalam mitokondria dengan asam amino
glisin membentuk asam amino ketoadipat, dikatalisis oleh amino levulenat
sintase dan memerlukan piridoksal phosfat untuk mengaktifkan glisin. Asam diatas
segera mengalami dekarboksilasi membentuk amino levulenat atau sering
disingkat ALA. Enzym ALA sintase merupakan enzym pengendali kecepatan reaksi.
Didalam sitosol 2 molekul ALA berkondensasi dan mengalami reaksi
dehidrasi membentuk porfobilinogen/PBG yang dikatalisis oleh ALA dehidratase.
4 molekul PBG berkondensasi membentuk hidroksi metil bilana, suatu
tetrapirol linier oleh enzym uroporfirinogen I sintase atau disebut juga PBG
deaminase kemudian terjadi reaksi siklisasi spontan membentuk uroporfirinogen,
suatu tetrapirol siklik. Pada keadaan normal uroporfirinogen I sintase adalah
kompleks enzym dengan uroporfirinogen III kosintase sehingga kerja kedua
kompleks enzym tersebut akan membentuk uroporfirinogen III, yang mempunyai
susunan rantai samping asimetris. Bila kompleks enzym abnormal atau hanya
terdapat enzym sintase saja, di bentuk uroporfirinogen I yaitu suatu bentuk isomer
simetris yang tidak fisiologis.
Rangka porfirin sekarang telah terbentuk, uroporfirinogen I atau III
mengalami dekarboksilasi membentuk koproporfirinogen I atau III dengan melepas
4 molekul CO2 hingga rantai samping asetat pada uroporfinogen menjadi metil,
reaksi ini dikatalisis oleh uroporfirinogen dekarboksilase. Hanya koproporfirinogen
III yang dapat kembali masuk kemitokondria, mengalami dekarboksilasi dan
oksidasi membentuk protoporfirinogen III oleh enzym koproporfirinogen oksidase,
dimana dua rantai samping propionat koproporfirinogen menjadi vinil.

Protoporfirinogen
protoporfirinogen

III

oksidase

dioksidasi
yang

menjadi

memerlukan

protoporfirin

oksigen.

III

Protoporfirin

oleh
III

diidentifikasi sebagai isomer porfirin seri IX dan disebut juga dengan protoporfirin
IX. Porfirin tipe I dan III dibedakan berdasar simetris tidaknya gugus substituen
seperti asetat, propionat dan metil pada cincin pirol ke IV.
Penggabungan besi (Fe2+) ke protoporfirin IX yang dikatalisa oleh Heme
sintase atau Ferro katalase dalam mitokondria akan membentuk heme.
3. Porfiria
Penyakit turunan atau bisa berupa penyakit yang didapat yang disebabkan oleh
defisiensi salah satu enzym pada jalur biosintesa heme dan mengakibatkan penumpukan
dan peningkatan porfirin atau prazatnya dijaringan atau didalam urine. Kelainan ini jarang
dijumpai tapi perlu dipikirkan dalam keadaan tertentu misalnya sebagai diagnosa banding
pada penyakit dengan keluhan nyeri abdomen, fotosensitivitas dan gangguan psikiatri .
Porfiria dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu :
a. Porfiria eritropoetik
b. Porfiria hepatik
c. Protoporfiria (gabungan)
Porfiria eritropoetik, merupakan kelainan kongenital. Terjadi karena ketidak
seimbangan enzym kompleks uroporfirinogen sintase dan kosintase. Pada jenis porfiria ini
dibentuk uroporfirinogen I yang tidak diperlukan dalam jumlah besar. Juga terjadi
penumpukan uroporfirin I, koproporfirin I dan derivat simetris lainnya. Penyakit ini
diturunkan secara otosomal resesif dan memunculkan fenomena berupa eritrosit yang
berumur pendek, urine pasien merah karena ekskresi uroporfirin I dalam jumlah besar, gigi
yang berfluoresensi merah karena deposisi porfirin dan kulit yang hipersensitif terhadap
sinar karena porfirin yang diaktifkan cahaya bersifat sangat reaktif. Porfiria hepatik dibagi
menjadi beberapa jenis antara lain :
a. Intermitten acute porfiria ( IAP )

b. Koproporfiria herediter
c. Porfiria variegata
d. Porfiria cutanea tarda
e. Porfiria toksik
IAP terjadi karena defisiensi partial uroporfirinogen I sintase, diturunkan secara
otosomal dominan. Pada penyakit ini dijumpai ekskresi porfobilinogen dan asam amino
levulenat yang meningkat menyebabkan urine berwarna gelap.
Koproporfiria herediter terjadi karena defisiensi partial koproporfirinogen oksidase,
diturunkan secara otosomal dominan. Terdapat peningkatan ekskresi koproporfirinogen dan
menyebabkan urine berwarna merah.
Porfiria variegata terjadi karena defisiensi partial protoporfirinogen oksidase,
diturunkan secara otosomal dominan. Terdapat peningkatan ekskresi hampir seluruh zat-zat
antara sintesa heme.
Porfiria

cutanea

tarda

terjadi

karena

defisiensi

partial

uroporfirinogen

dekarboksilasi, diturunkan secara otosomal dominan. Terdapat peningkatan ekskresi


uroporfirin yang bila terpapar cahaya menyebabkan urine berwarna merah. Porfiria ini
paling sering dijumpai dibanding yang lainnya . Porfiria toksik atau akuisita disebabkan
oleh obat atau zat toksik seperti griseofulvin, barbiturat, heksachlorobenzene, Pb dan
sebagainya.
Protoporfiria atau protoporfiria gabungan dikarenakan terjadinya defisiensi partial
ferrokatalase, diturunkan secara autosomal dominan. Terdapat peningkatan ekskresi
protoporfirin dalam urine.
Gejala klinis yang dapat muncul dapat dikelompokkan dalam dua patogenesa yaitu
bila kelainan enzym sintesa heme menyebabkan penumpukan asam amino levulenat dan
porfobilinogen disel atau cairan tubuh akan menghambat kerja ATP ase dan meracuni
neuron sehingga menimbulkan gejala-gejala neuro-psikiatri sedangkan bila kelainan enzym

sintesa heme menyebabkan penumpukan porfirinogen dikulit dan dijaringan lain akan
teroksidasi spontan membentuk porfirin yang apabila terpapar dengan cahaya, porfirin akan
bereaksi dengan O2 molekuler membentuk suatu radikal bebas yang sangat reaktif dan
merusak jaringan atau kulit dimana porfirin terdeposisi, peristiwa ini memunculkan gejalagejala fotosensitivitas.
Therapi yang dapat diberikan hanyalah bersifat symptomatik karena therapi kausal
yang bersifat genetik masih sulit dikerjakan. Obat yang dapat dipakai dan beberapa
tindakan yang dianjurkan seperti misalnya hindari preparat atau obat yang merangsang
aktifitas sitokrom P- 450 seperti obat anestesia, alkohol, steroid dan lain-lain. Hindari zatzat toksik penyebab porfiria. Pemberian zat-zat seperti glukosa dan hematin yang menekan
kerja ALA sintase untuk menghambat pembentukan pra zat porfirin.
Pemberian anti oksidan seperti karoten, vitamin E dan C juga dapat dianjurkan
pemakaian tabir surya guna menggurangi pemaparan terhadap cahaya.

4. Katabolisme heme
Dalam keadaan fisiologis, masa hidup erytrosit manusia sekitar 120 hari,
eritrosit mengalami lisis 1-2108 setiap jamnya pada seorang dewasa dengan berat
badan 70 kg, dimana diperhitungkan hemoglobin yang turut lisis sekitar 6 gr per
hari. Sel-sel eritrosit tua dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh limpa.
Apoprotein dari hemoglobin dihidrolisis menjadi komponen asam-asam aminonya.
Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam fraksi mikrosom
sel retikuloendotel oleh sistem enzym yang kompleks yaitu heme oksigenase yang
merupakan enzym dari keluarga besar sitokrom P450. Langkah awal pemecahan
gugus heme ialah pemutusan jembatan metena membentuk biliverdin, suatu
tetrapirol linier. Besi mengalami beberapa kali reaksi reduksi dan oksidasi, reaksireaksi ini memerlukan oksigen dan NADPH. Pada akhir reaksi dibebaskan Fe 3+
yang dapat digunakan kembali, karbon monoksida yang berasal dari atom karbon
jembatan metena dan biliverdin. Biliverdin, suatu pigmen berwarna hijau akan
direduksi oleh biliverdin reduktase yang menggunakan NADPH sehingga rantai

metenil menjadi rantai metilen antara cincin pirol III IV dan membentuk pigmen
berwarna kuning yaitu bilirubin. Perubahan warna pada memar merupakan petunjuk
reaksi degradasi ini.
Bilirubin bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin.
Pada reptil, amfibi dan unggas hasil akhir metabolisme heme ialah biliverdin dan
bukan bilirubin seperti pada mamalia. Keuntungannya adalah ternyata bilirubin
merupakan suatu anti oksidan yang sangat efektif, sedangkan biliverdin tidak.
Efektivitas bilirubin yang terikat pada albumin kira-kira 1/10 kali dibandingkan
asam askorbat dalam perlindungan terhadap peroksida yang larut dalam air. Lebih
bermakna lagi, bilirubin merupakan anti oksidan yang kuat dalam membran,
bersaing dengan vitamin E.
5. Bilirubin dirubah menjadi bentuk larut
Dalam setiap 1 gr hemoglobin yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin.
Perhari bilirubin dibentuk sekitar 250350 mg pada seorang dewasa, berasal dari
pemecahan hemoglobin, proses erytropoetik yang tidak efekif dan pemecahan
hemprotein lainnya. Bilirubin dari jaringan retikuloendotel adalah bentuk yang
sedikit larut dalam plasma dan air. Bilirubin ini akan diikat nonkovalen dan
diangkut oleh albumin ke hepar. Dalam 100 ml plasma hanya lebih kurang 25 mg
bilirubin yang dapat diikat kuat pada albumin. Bilirubin yang melebihi jumlah ini
hanya terikat longgar hingga mudah lepas dan berdiffusi kejaringan.
Bilirubin yang sampai dihati akan dilepas dari albumin dan diambil pada
permukaan sinusoid hepatosit oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin. Sistem
transport difasilitasi ini mempunyai kapasitas yang sangat besar tetapi
penggambilan bilirubin akan tergantung pada kelancaran proses yang akan dilewati
bilirubin berikutnya.
Bilirubin nonpolar akan menetap dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk
larut. Hepatosit akan mengubah bilirubin menjadi bentuk larut yang dapat
diekskresikan dengan mudah kedalam kandung empedu. Proses perubahan tersebut
melibatkan asam glukoronat yang dikonjugasikan dengan bilirubin, dikatalisis oleh
enzym bilirubin glukoronosiltransferase. Hati mengandung sedikitnya dua isoform

enzym glukoronosiltransferase yang terdapat terutama pada retikulum endoplasma.


Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap, memerlukan UDP asam glukoronat
sebagai

donor

glukoronat.

Tahap

pertama

akan

membentuk

bilirubin

monoglukoronida sebagai senyawa antara yang kemudian dikonversi menjadi


bilirubin diglukoronida yang larut pada tahap kedua.
Ekskresi bilirubin larut kedalam saluran dan kandung empedu berlangsung
dengan mekanisme transport aktif yang melawan gradien konsentrasi. Dalam
keadaan fisiologis, seluruh bilirubin yang diekskresikan ke kandung empedu berada
dalam bentuk terkonjugasi.
6. Pembentukan urobilin
Bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum terminal dan kolon dihidrolisa
oleh enzym bakteri glukoronidase dan pigmen yang bebas dari glukoronida
direduksi oleh bakteri usus menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak
berwarna.
Sejumlah urobilinogen diabsorbsi kembali dari usus ke perdarahan portal
dan dibawa keginjal kemudian dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna
kuning pada urine. Sebagian besar urobilinogen berada pada feces akan dioksidasi
oleh bakteri usus membentuk sterkobilin yang berwarna kuning kecoklatan.
7. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana konsentrasi bilirubin darah
melebihi 1 mg/dl. Pada konsentrasi lebih dari 2 mg/dl, hiperbilirubinemia akan
menyebabkan gejala ikterik atau jaundice. Ikterik atau jaundice adalah keadaan
dimana jaringan terutama kulit dan sklera mata menjadi kuning akibat deposisi
bilirubin yang berdiffusi dari konsentrasinya yang tinggi didalam darah.
Hiperbilirubinemia dikelompokkan dalam dua bentuk berdasarkan
penyebabnya yaitu hiperbilirubinemia retensi yang disebabkan oleh produksi yang
berlebih dan hiperbilirubinemia regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin
kedalam darah karena adanya obstruksi bilier.
Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada kasus-kasus haemolisis berat
dan gangguan konjugasi. Hati mempunyai kapasitas mengkonjugasikan dan
mengekskresikan lebih dari 3000 mg bilirubin perharinya sedangkan produksi

normal bilirubin hanya 300 mg perhari. Hal ini menunjukkan kapasitas hati yang
sangat besar dimana bila pemecahan heme meningkat, hati masih akan mampu
meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut. Akan tetapi lisisnya eritrosit
secara massive misalnya pada kasus sickle cell anemia ataupun malaria akan
menyebabkan

produksi

bilirubin

lebih

cepat

dari

kemampuan

hati

mengkonjugasinya sehingga akan terdapat peningkatan bilirubin tak larut didalam


darah. Peninggian kadar bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi didalam
urine sehingga disebut juga dengan ikterik acholuria.
Pada neonatus terutama yang lahir premature peningkatan bilirubin tak larut
terjadi biasanya fisiologis dan sementara, dikarenakan haemolisis cepat dalam
proses penggantian hemoglobin fetal ke hemoglobin dewasa dan juga oleh karena
hepar belum matur, dimana aktivitas glukoronosiltransferase masih rendah. Apabila
peningkatan bilirubin tak larut ini melampaui kemampuan albumin mengikat kuat,
bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia pada otak dan menyebabkan
ensephalopaty toksik yang disebut sebagai kern ikterus.
Beberapa kelainan penyebab hiperbilirubinemia retensi diantaranya seperti
Syndroma Crigler Najjar I yang merupakan gangguan konjugasi karena glukoronil
transferase tidak aktif, diturunkan secara autosomal resesif, merupakan kasus yang
jarang, dimana didapati konsentrasi bilirubin mencapai lebih dari 20 mg/dl.
Syndroma Crigler Najjar II, merupakan kasus yang lebih ringan dari tipe I,
karena kerusakan pada isoform glukoronil transferase II, didapati bilirubin
monoglukoronida terdapat dalam getah empedu.
Syndroma Gilbert, terjadi karena haemolisis bersama dengan penurunan
uptake bilirubin oleh hepatosit dan penurunan aktivitas enzym konjugasi dan
diturunkan secara autosomal dominan.
Hiperbilirubinemia regurgitasi paling sering terjadi karena terdapatnya
obstruksi pada saluran empedu, misalnya karena tumor, batu, proses peradangan dan
sikatrik. Sumbatan pada duktus hepatikus dan duktus koledokus akan menghalangi
masuknya bilirubin keusus dan peninggian konsentrasinya pada hati menyebabkan
refluks bilirubin larut ke vena hepatika dan pembuluh limfe. Bentuknya yang larut

menyebabkan bilirubin ini dapat terdeteksi dalam urine dan disebut sebagai ikterik
choluria. Karena terjadinya akibat sumbatan pada saluran empedu disebut juga
sebagai ikterus kolestatik. Bilirubin terkonjugasi dapat terikat secara kovalen pada
albumin dan membentuk bilirubin yang memiliki waktu paruh (T 1/2) yang
panjang mengakibatkan gejala ikterik dapat berlangsung lebih lama dan masih
dijumpai pada masa pemulihan.
Beberapa kelainan lain yang menyebabkan hiperbilirubinemia regurgitasi
adalah Syndroma Dubin Johnson, diturunkan secara autosomal resesif, terjadi
karena adanya defek pada sekresi bilirubin terkonjugasi dan estrogen ke sistem
empedu yang penyebab pastinya belum diketahui.
Syndroma Rotor, terjadi karena adanya defek pada transport anion an
organik termasuk bilirubin, dengan gambaran histologi hati normal, penyebab
pastinya juga belum dapat diketahui.
Hiperbilirubinemia toksik adalah gangguan fungsi hati karena toksin seperti
chloroform, arsfenamin, asetaminofen, carbon tetrachlorida, virus, jamur dan juga
akibat cirhosis. Kelainan ini sering terjadi bersama dengan terdapatnya obstruksi.
Gangguan konjugasi muncul besama dengan gangguan ekskresi bilirubin dan
menyebabkan peningkatan kedua jenis bilirubin baik yang larut maupun yang tidak
larut.
Terapi phenobarbital dapat menginduksi proses konjugasi dan ekskresi
bilirubin dan menjadi preparat yang menolong pada kasus ikterik neonatus tapi
tidak pada sindroma Crigler najjar. Phototerapi dengan cahaya dapat merubah
bilirubin menjadi lebih polar dan merubahnya menjadi beberapa isomer yang larut
dalam air meskipun tampa konjugasi dengan asam glukoronida sehingga dapat
diekskresikan keempedu. Kasus obstruksi umumnya ditangani dengan tindakan
bedah.
Pemeriksaan
laboratorium
sebagai petunjuk

UROBILINOGEN
URINE
FESES
mg/hari

mg/hari

URINE

BILIRUBIN
PLASMA
mg/hari
indirect
direct

diagnostik
NORMAL
KLINIS
HEPATITIS
HEMOLITIK
OBSTRUKSI

0-4

(-)

40-280

(-)

(-)
(+)
(-)
(+)

0,2-0,7

0,1-0,4

Anda mungkin juga menyukai