Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Obat


Obat adalah zat aktif berasal dari nabati, hewani, kimiawi alam maupun
sintetis dalam dosis atau kadar tertentu dapat dipergunakan untuk preventif
(profilaksis), rehabilitasi, terapi, diagnosa terhadap suatu keadaan penyakit pada
manusia maupun hewan. Namun zat aktif tersebut tidak dapat dipergunakan
begitu saja sebagai obat, terlebih dahulu harus dibuat dalam bentuk sediaan pil,
tablet, kapsul, sirup, suspensi, supositoria, salep, dan lain-lain (Jas, 2007).
Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tapi banyak kejadian yang
mengakibatkan seseorang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai
racun. Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam
pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat
salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan
menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan
memperoleh penyembuhan (Anief, 2007).

2.2 Pengertian Tablet


Tablet adalah bentuk sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau
tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat digolongkan
sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan

massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam lubang cetakan. Tablet
kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul
menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk
dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan (Ditjen POM, 1995).
Komposisi utama dari tablet adalah zat berkhasiat yang terkandung di
dalamnya, sedangkan bahan pengisi yang sering digunakan dalam pembuatan tablet
yaitu bahan penghancur, bahan penyalut, bahan pengikat, bahan pemberi rasa dan
bahan tambahan lainnya (Ansel, 1989).

Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya
dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika yang sesuai. Tablet dapat
berbeda-beda ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancur, dan aspek
lainnya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya.
Umumnya tablet digunakan pada pemberian obat secara oral (Ansel, 1989).
2.2.1 Syarat-Syarat Tablet
Syarat-syarat tablet adalah sebagai berikut:
1. Keseragaman bobot dan keseragaman kandungan
Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot jika zat aktif
merupakan bagian terbesar dari tablet dan cukup mewakili keseragaman
kandungan. Keseragaman bobot bukan merupakan indikasi yang cukup
dari keseragaman kandungan jika zat aktif merupakan bagian terkecil dari
tablet atau jika tablet bersalut gula. Oleh karena itu, umumnya farmakope
mensyaratkan tablet bersalut dan tablet mengandung zat aktif 50 mg atau
kurang dan bobot zat aktif lebih kecil dari 50 % bobot sediaan, harus

memenuhi syarat uji keseragaman kandungan yang pengujiannya


dilakukan pada tiap tablet (Syamsuni, 2007).

2. Uji kekerasan
Kekerasan tablet dan ketebalannya berhubungan dengan isi die dan
gaya kompresi yang diberikan. Bila tekanan ditambahkan, maka
kekerasan tablet meningkat sedangkan ketebalan tablet berkurang.
Selain itu metode granulasi juga menentukan kekerasan tablet.
Umumnya kekuatan tablet berkisar 4 - 8 kg, bobot tersebut dianggap
sebagai batas minimum untuk menghasilkan tablet yang memuaskan.
Alat yang digunakan untuk uji ini adalah hardness tester, alat ini
diharapkan dapat mengukur berat yang diperlukan untuk memecahkan
tablet (Lachman, 1994).
3. Uji keregasan
Cara lain untuk menentukan kekuatan tablet ialah dengan mengukur
keregasannya. Gesekan dan goncangan merupakan penyebab tablet
menjadi hancur. Untuk menguji keregasan tablet digunakan alat Roche
friabilator. Sebelum tablet dimasukkan ke alat friabilator, tablet
ditimbang terlebih dahulu. Kemudian tablet dimasukkan ke dalam alat,
lalu alat dioperasikan selama empat menit atau 100 kali putaran. Tablet
ditimbang kembali dan dibandingkan dengan berat mula-mula. Selisih
berat dihitung sebagai keregasan tablet. Persyaratan keregasan harus
lebih kecil dari 0,8% (Ansel, 1989).

4. Waktu hancur

Waktu hancur penting dilakukan jika tablet diberikan peroral, kecuali


tablet yang harus dikunyah sebelum ditelan. Uji ini dimaksudkan untuk
menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang ditetapkan pada
masing-masing monografi. Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa
sediaan atau bahan aktifnya terlarut sempurna.
Pada pengujian waktu hancur, tablet dinyatakan hancur jika tidak ada
bagian tablet yang tertinggal di atas kasa, kecuali fragmen yang berasal
dari zat penyalut. Kecuali dinyatakan lain, waktu yang diperlukan untuk
menghancurkan keenam tablet tidak lebih dari 15 menit untuk tablet tidak
bersalut dan tidak lebih dari 60 menit untuk tablet bersalut (Syamsuni,
2007).

5. Disolusi
Disolusi adalah suatu proses perpindahan molekul obat dari bentuk
padat ke dalam larutan suatu media. Uji ini dimaksudkan untuk
mengetahui banyaknya zat aktif yang terlarut dan memberikan efek
terapi di dalam tubuh. Kecepatan absorbsi obat tergantung pada
pemberian yang dikehendaki dan juga harus dipertimbangkan
frekuensi pemberian obat (Syamsuni, 2007).
6. Penetapan kadar zat aktif
Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat
aktif yang terkandung didalam suatu sediaan sesuai dengan yang
tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada
masing-masing monografi. Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat

maka obat tersebut tidak akan memberikan efek terapi dan juga tidak
layak untuk dikonsumsi (Syamsuni, 2007).

2.3 Batuk
Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh dalam menghadapi
penyakit atau gangguan pada saluran pernafasan. Batuk dapat disebabkan oleh
rangsangan, radang, atau ganguan pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh
lendir (Sartono, 1993).
Batuk terjadi secara reflektoris karena rangsangan pada reseptor batuk
yang dialirkan melalui serabut aferen (serabut sensorik) ke pusat batuk dan
kemudian diteruskan ke serabut eferen (serabut motorik). Batuk terdapat baik
pada orang sakit maupun pada orang sehat dan sering merupakan gejala berbagai
keadaan patologis yang ringan sampai berat (Munaf, 1994).
Menurut Munaf (1994), terdapat dua jenis batuk, antara lain:
a. Batuk produktif atau batuk yang bermanfaat, yaitu batuk yang
menghasilkan pengeluaran sekret/dahak.
b. Batuk tidak produktif atau batuk kering dan disebut juga batuk tidak
bermanfaat karena batuk tidak menghasilkan apa-apa.
Obat batuk merupakan salah satu cara penanganan batuk di samping cara
lainnya seperti minum banyak cairan. Obat-obat ini berfungsi meredakan gejala
penyakit saja (Widodo, 2004).

Menurut Anief (2007), obat yang digunakan untuk mengobati penyakit


batuk dibagi dalam dua golongan besar, yaitu:
1. Ekspektoransia, yaitu mempertinggi sekresi dari saluran pernapasan dan
atau mencairkan riak sehingga mudah dikeluarkan.
2. Zatzat pereda batuk (antitusif), yaitu zatzat ini mengerem rangsangan
batuk, dan titik tangkapnya dapat sentral, dapat perifer.

2.4 Ekspektoran
Menurut Sartono (1993), Ekspektoran adalah obat yang bekerja dengan
cara meningkatkan jumlah cairan sehingga lendir menjadi encer, dan juga
merangsang pengeluaran lendir dari saluran pernafasan.
Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Setiabudy (2007), yaitu
ekspektoran ialah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran
napas (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran didasarkan pengalaman empiris.
Belum ada data yang membuktikan efektivitas ekspektoran dengan dosis yang
umum digunakan. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa
lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran napas
lewat N. Vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran
dahak.

2.5 Gliseril Guaiakolat


Menurut Ditjen POM (1995), sifat fisika dan kimia gliseril guaiakolat
adalah sebagai berikut:

OH
OCH2CHCH2OH
OCH3

3-(o-Metoksifenoksi)-1,2-propanadiol [93-14-1]

Sinonim

: Guaifenesin

Rumus molekul

: C10H14O4

Berat molekul

: 198,22

Pemerian

: Serbuk hablur, putih sampai agak kelabu; bau khas lemah;


rasa pahit

Kelarutan

: Larut dalam air, dalam etanol, dalam kloroform, dan


dalam propilen glikol; agak sukar larut dalam gliserin.

2.5.1 Indikasi
Gliseril guaiakolat termasuk jenis obat batuk basah. Obat batuk ini
digunakan untuk batuk yang memiliki ciri berlendir, dahak mudah dikeluarkan
dan terasa ringan dan tidak begitu sering intensitas batuknya. Khasiat obat ini
adalah mengeluarkan lendir batuk agar jalan napas terbebas dari zat asing
(Widodo, 2004).

Menurut Widodo (2004), hal-hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan


gliseril guaiakolat:
a. Jangan gunakan lebih dari 7 hari tanpa izin dokter.
b. Minumlah 1 gelas air setiap minum obat ini.
c. Tidak diperbolehkan untuk alergi.
2.5.2 Farmakologi
Guaifenesin (gliseril guaiakolat, toplexil) adalah derivat guaiakol yang
banyak digunakan sebagai ekspektoran dalam berbagai jenis sediaan batuk
populer. Pada dosis tinggi bekerja merelaksasi otot, seperti mefenesin (Tjay,
2007).
Gliseril guaiakolat penggunaan obat ini hanya didasarkan tradisi dan kesan
subjektif pasien dan dokter. Belum ada bukti bahwa obat bermanfaat pada dosis
yang diberikan. Efek samping yang mungkin timbul dengan dosis besar, berupa
kantuk, mual dan muntah (Setiabudy, 2007).

2.6 Uji Disolusi


Uji disolusi merupakan suatu prosedur pengendalian mutu tetap dalam
praktik Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Uji disolusi merupakan suatu
indikator sederhana dan tidak mahal untuk ketetapan fisik produk. Jika suatu bets
sangat berbeda dari yang lain dalam karakteristik disolusinya, atau jika waktu
disolusi bets produk menunjukkan kecenderungan tetap menaik atau menurun, hal
tersebut diduga suatu peringatan pasti bahwa beberapa faktor dalam bahan baku,
formulasi atau proses berada di luar kendali (Siregar, 2010).

2.6.1 Alat Uji Disolusi


Alat uji disolusi berfungsi melepaskan dan melarutkan zat aktif dari
sediaannya. Pada dasarnya alat ini berfungsi mengekstraksi zat aktif dari
sediaannya dalam satuan waktu di bawah antar permukaan cairan solid, suhu, dan
komposisi media yang dibakukan (Siregar, 2010).
Pada prinsipnya, alat uji disolusi terdiri atas bejana dan tutup, yang
berfungsi sebagai wadah yang mendisolusi zat aktif; pengaduk, motor pemutar
pengaduk; termometer; penangas air yang dilengkapi dengan thermostat (Siregar,
2010).
Menurut Ditjen POM (1995), ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan
yang tertera dalam masing-masing monografi:
a. Alat 1 (Tipe Keranjang)
Alat terdiri dari wadah bertutup yang terbuat dari kaca, suatu motor, suatu
batang logam yang digerakkan oleh motor dan wadah disolusi (keranjang)
berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 mm
175 mm,
diameter 98 mm106 mm dan kapasitas nominal 1000 ml. Batang logam
berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm
pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus dan
tanpa goyangan. Sebuah tablet diletakkan dalam keranjang saringan kawat
kecil yang diikatkan pada bagian bawah batang logam yang digerakkan
oleh motor yang kecepatannya dapat diatur. Wadah dicelupkan sebagian di
dalam suatu tangas air yang sesuai sehingga dapat mempertahankan suhu
dalam wadah pada 37o 0,5oC selama pengujian dan menjaga agar

gerakan air halus dan tetap. Pada bagian atas wadah ujungnya melebar,
untuk mencegah penguapan digunakan suatu penutup yang pas.
b. Alat 2 (Tipe Dayung)
Alat ini sama dengan alat 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang
terdiri dari daun dan batang logam sebagai pengaduk. Daun melewati
diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi
spesifikasi dengan jarak 25 mm 2 mm antara daun dan bagian dasar
wadah yang dipertahankan selama pengujian berlangsung. Sediaan obat
dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah sebelum dayung mulai
berputar. Gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk
mencegah mengapungnya sediaan.
2.6.2 Kriteria Sediaan Tablet yang Diuji dan Tidak Diuji Disolusi
Menurut Farmakope Indonesia Ed. IV (FI. Ed. IV), suatu sediaan tablet
diuji disolusinya jika dinyatakan dalam monografinya. Hal ini berarti prosedur
dan persyaratan uji disolusi hanya berlaku untuk sediaan tablet yang tertera dalam
monografi tersebut. Sediaan tablet yang tidak tertera dalam FI. Ed. IV tentu saja
dapat diuji disolusinya dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan sendiri
oleh pabriknya atau laboratorium pengendalian mutu pabrik tersebut (Siregar,
2010).
Tablet kunyah tidak diuji disolusinya sebab harus dikunyah sebelum
ditelan. Untuk tablet salut enterik, digunakan cara pengujian untuk sediaan lepas
lambat, kecuali dinyatakan lain (Siregar, 2010).

2.6.3 Prosedur Pengujian Disolusi


Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi (seperti
yang tertera dalam masing-masing monografi) ke dalam wadah, pasang alat dan
dibiarkan media disolusi mencapai temperatur 37oC. Satu tablet dicelupkan dalam
keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah, kemudian pengaduk
diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada interval
waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daerah pertengahan
antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau
daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk analisis
penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Tablet harus memenuhi syarat
seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ditjen POM,
1995).
2.6.4 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi
Farmakope Indonesia Ed. IV menyatakan, kecuali dinyatakan lain dalam
masing-masing monografi, persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut
dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan (Siregar, 2010). Pengujian
dilanjutkan sampai tiga tahap, Pada tahap 1 (S 1 ), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini
tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2
(S 2 ). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat,
maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S 3 ). Pada tahap ini 12 tablet
tambahan diuji lagi (Lachman, 1994).

Tabel 1. Tabel Penerimaan Hasil Uji Disolusi


Tahap

Jumlah Sediaan
yang diuji

Kriteria Penerimaan

S1

Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%

Rata-rata dari 12 unit (S1+ S2) adalah sama


dengan atau lebih besar dari Q dan tidak
satu unit sediaan yang lebih kecil dari
Q 15%

12

Rata-rata dari 24 unit (S1+ S2+ S3 ) adalah


sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak
lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil
dari Q 15% dan tidak satupun unit yang
lebih kecil dari Q 25%

S2

S3

Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut, seperti yang tertera dalam
masing-masing monografi, dinyatakan dalam persen dari jumlah yang tertera pada
etiket. Angka 5% dan 15% adalah persen dari jumlah yang tertera pada etiket
sehingga mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali ditetapkan lain dalam
masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal
ialah terdisolusi 75% dalam 45 menit dengan menggunakan Alat 1 pada 100 rpm
atau Alat 2 pada 50 rpm (Siregar, 2010).

2.6.5 Faktor yang Mempengaruhi Disolusi Zat Aktif


Menurut Siregar (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi zat
aktif antara lain:
1. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia zat aktif meliputi
karakteristik fase solid, polimorfisa, karakteristik partikel, kelarutan zat
aktif dan pembentukan garam.
2. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan meliputi eksipien atau zat
tambahan, zat pengisi, desintegran, pengikat, lubrikan, antiadherent,
glidan, pengaruh surfaktan dan pengaruh zat pewarna larut-air pada laju
disolusi.
3. Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan meliputi metode granulasi/
prosedur pembuatan, ukuran granul, interaksi zat aktif-eksipien, pengaruh
gaya kempa, dan pengaruh penyimpanan pada laju disolusi.
4. Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi meliputi eksentrisitas gerakan
pengaduk, vibrasi/getaran, intensitas pengadukan, dan kesejajaran unsur
pengadukan.
5. Faktor yang berkaitan dengan parameter uji disolusi yaitu pH media
disolusi, suhu media disolusi, viskositas media disolusi dan tegangan
permukaan media disolusi.

2.7 Penetapan Kadar


Setelah pengambilan sampel uji disolusi, dilanjutkan dengan proses
analisis penetapan kadar zat aktif dalam sampel. Prosedur penetapan konsentrasi

zat aktif dan sampel uji disolusi mencakup titrasi asam-basa, titrasi
kompleksometri, titrasi iodometri, spektrofotometri, spektrofluorometri, dan
kromatografi cair kinerja tinggi (Siregar, 2010). Dalam hal ini, metode yang
dipilih dalam penetapan kadar sampel uji disolusi yaitu Spektrofotometri UV.
Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran berapa banyak radiasi yang
diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan untuk molekul dan ion
anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk
yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang didapatkan, tetapi
spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif (Dachriyanus,
2004).
Analisis spektrofotometri cukup teliti, cepat dan sangat cocok untuk
digunakan pada kadar yang kecil. Senyawa yang dianalisis harus mempunyai
gugus kromofor. Pengamatan spektrum bermanfaat, karena dapat membandingkan
spektrum sebelum dan sesudah partisi (Sardjoko, 1993).

Anda mungkin juga menyukai