Pada tanggal 14 Mei 1914 ada suatu peristiwa, yaitu Taha dihadapkan ke pengadilan. Dia petani
dari Batuampar. Dia diputuskan pengadilan harus membayar pajak sebesar 7 gulden. Kalau tidak
bisa membayar, rumahnya akan segera disita.
Kemudian, Taha bercerita kepada kawan-kawannya. Mereka berkumpul di kebun Jaimin, tidak
jauh dari rumah Taha, Orang-orang itu diberi semangat oleh Entong Gendut. Lalu, mereka
berteriak bahwa putusan itu tidak adil.
Kenyataannya, tiga hari kemudian rumah Taha disita, Tuan tanah hanya membayar 4 1/2 gulden.
Untuk melunasi utang pajak saja masih kurang. Gema tidak puas melanda Batuampar, Entong
Gendut dan kawan-kawannya marah sekali. Namun, untuk melakukan perlawanan terhadap tuan
tanah, Para mandor, dan centengnya, masih dirasa berat bagi Entong Gendut. Dia dan kawankawannya harus mempersiapkan din terlebih dulu, antara lain dengan belajar dan berlatih silat.
Entong Gendut sebagai pelatih karena sejak dulu dia dikenal sebagai pendekar.
Entong Gendut dibantu Modin dan Maliki. Mereka dari Batuampar juga. Anggota perkumpulan
silatnya semula hanya beberapa gelintir orang, tetapi akhirnya bertambah, mencapai lebih dari
400 orang. Di antaranya yang bersungguh-sungguh adalah Haji Amat Awab, Said Keramat, Nadi,
dan Dullah. Orang-orang Arab ada juga yang ikut, antara lain Ahmad Alhadat, Said Muksin
Alatas dari Cawang, dan Alaidrus dari Cililitan.
Peristiwa berikutnya terjadi di Vila Nova, rumah mewah milik Lady Rollinson di Cililitan Besar.
Malam itu tanggal 5 April 1916 berlangsung pesta amat meriah. Hiburan untuk rakyat sekitar
juga semarak. Tuan Ament pemilik tanah luas di Tanjung Timur datang dengan mobilnya.
Sebelum sampai di jembatan, sekelompok orang tidak dikenal melempari mobilnya dengan batu.
Tuan Ament tidak mempersoalkan kaca belakang mobilnya yang pecah dan
penyok-penyok itu. Dia bergegas masuk ke pelataran rumah Lady Rollinson. Di situ dia
bergabung dengan tamu-tamu terhormat lainnya. Dia ikut menyaksikan hidangan seni berupa
musik dan tari-tarian yang menyenangkan. Dia merasakan nikmatnya wiski, gurihnya daging
kalkun, dan semerbaknya panggang babi. Dia bertukar pengalaman dengan kawan-kawannya
yang sederajat. Ada tuan tanah Kemayoran, tuan tanah Pondok Gede, para wedana, serta tidak
ketinggalan pula noni-noni bermata biru berambut pirang dan sinyo-sinyo yang tertawa-tawa
kecil dan agak malu-malu.
Di luar halaman berpagar tinggi itu rakyat menonton hiburan gratis seperti topeng dan wayang
kulit. Mereka berjubel. Sekali-sekali mereka yang berada di luar pagar itu memperhatikan
pemandangan pesta di halaman rumah Lady Rollinson.
Pesta di dalam makin menghangat. Pasangan-pasangan berdansa diiringi musik. Lalu,
mendekatlah seorang pelayan kepada Lady Rollinson.
tanah. Mereka telah membakar rumah penduduk miskin. Apa salah mereka? Hanya karena
mereka petani miskin dan tidak mampu membayar pajak serta sewa tanah yang mahal, lalu
rumah mereka dihanguskan? Amat disayangkan!
Para pengikut Entong Gendut lainnya keluar dari semak-semak. Mereka bersenjatakan panah dan
tombak. Wedana dan para pengawalnya kaget sekali. Dia lalu memerintahkan untuk melepaskan
tembakan, ramailah kampung Batuampar. Tidak sedikit polisi kena bacok dan tertembus anak
pariah. Entong Gendut bersuara lantang. Teriakan-teriakan Allahu Akbar menggema.
Amuk, amuk! teriak anak buah Entong Gendut sambil melemparkan tombak dan
mengayunkan pedang. Serdadu Bala bantuan datang. Anak buah Entong Gendut banyak yang
bergelimpangan. Beberapa rumah terbakar, penduduk yang tua, kaum perempuan, dan anak-anak
diungsikan. Akan tetapi, korban warga Batuampar semakin banyak juga.
Entong Gendut terluka. Dadanya tertembus peluru, darah segar mewarnai jubahnya yang putih.
Anak buahnya mengerumuninya. Wedana Meester Cornelis memerintahkan komandan pasukan
untuk mengikat tangan Entong Gendut. Lalu, dia dinaikkan ke tandu dan diangkut ke Rumah
Sakit Kwini. Namun, di tengah perjalanan, Entong Gendut tidak bernapas lagi. Para pengikutnya
dikejar-kejar polisi. Mereka terus dicari sampai ke Condet dan Tanjung Timur. Setelah
tertangkap, mereka dimasukkan ke penjara.