Anda di halaman 1dari 11

EKOLOGI DAN POTENSI BENCANA

DI WILAYAH PANTAI UTARA JAWA


Disusun oleh:
Ajeng Swariyanatar Putri (19310853)
Nova Dwi Gandini (19310902)
Nurina Yasin (19310903)

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah Pantai Utara Pulau Jawa dikenal melalui Jalur Pantura (Pantai Utara) yang
merupakan jalan nasional sepanjang 1.316 km antara Merak hingga Ketapang,
Banyuwangi di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, khususnya antara Jakarta dan
Surabaya. Pada Oktober 2013, Dahlan Iskan yang merupakan menteri BUMN (Badan
Usaha Milik Negara) mencetuskan ide pembangunan jalan tol di atas laut Jakarta
Surabaya. Salah satu alasannya adalah untuk mengimbangi pertumbuhan laju jumlah
kendaraan. Untuk mengetahui kelayakan pembangunan tersebut maka akan dilakukan
Feasibility Study yang ditargetkan memakan waktu enam bulan. Jalan tol tersebut
diprediksi memiliki panjang 775 kilometer dengan investasi sebesar 150 triliun rupiah
dan tol atas laut tersebut diproyeksikan akan dibangun di atas laut dan darat sepanjang
Pantai Utara Jawa (http://dahlaniskan.net, 2013).
Rencana pembangunan ini bertolak belakang dengan ekosistem di wilayah Pantura
yang memiliki kondisi memprihatinkan, tidak hanya laut yang terdiri dari terumbu
karang dan biota laut lainnya namun hutan mangrove pun tidak lagi tertanam rapi.
Potensi bencana di sekitar Pantura pun begitu mengkhawatirkan, mulai dari banjir rob,
abrasi pesisir pantai hingga pencemaran air sungai dan laut yang dilakukan oleh
pabrik di sekitar Pantura.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PANTURA (PANTAI UTARA)
Jalur Pantura (Jalur Pantai Utara) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jalan
nasional sepanjang 1.316 km antara Merak hingga Ketapang, Banyuwangi di

sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, khususnya antara Jakarta dan Surabaya. Jalur ini
sebagian besar pertama kali dibuat oleh Daendels yang membangun Jalan Raya Pos
(De Grote Postweg) dari Anyer ke Panarukan pada tahun 1808-an. Tujuan
pembangunan Jalan Raya Pos adalah untuk mempertahankan pulau Jawa dari serbuan
Inggris. Pada era perang Napoleon, Belanda ditaklukkan oleh Perancis dan dalam
keadaan perang dengan Inggris.

Sumber: http://humaspdg.wordpress.com
Jalur Pantura melintasi 5 provinsi: Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan

Jawa

Timur.

Ujung

paling

barat

terdapat

Pelabuhan

Merak,

yang

menghubungkannya dengan Pelabuhan Bakauheni di Pulau Sumatra, ujung paling


selatan dari Jalan Trans Sumatera. Ujung paling timur terdapat Pelabuhan Ketapang
yang menghubungkannya dengan Pelabuhan Gilimanuk di Pulau Bali. Jalur Pantura
merupakan jalan yang menghubungkan bagian barat Pulau Jawa dan bagian timurnya.
Jalur Pantura melintasi sejumlah kota-kota besar dan sedang di Jawa, selain Jakarta,
antara lain Cilegon, Tangerang, Bekasi, Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu,
Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak,
Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo,
Situbondo, dan Banyuwangi.
2.2 EKOLOGI
Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi
antara makhluk hidup dan lingkungannya. Pembahasan ekologi tidak lepas dari

pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik


dan biotik.
Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan
faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan
mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi
makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi
dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.

3. PEMBAHASAN
3.1 Krisis Ekologi Kelautan
Dewasa ini, kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin tambah mengkhawatir-kan.
Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) ekosistem terumbu karang dan
pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya yang dapat berfungsi
sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan,
setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang
rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi tanaman pantai
yang dapat menahan laju gelombang pasang. (http://lakspedamtuban.com, 2009).
Berikut merupakan beberapa krisis ekologi-kelautan Pantura:
a) Rusaknya Hutan Mangrove

Sumber: http://www.rimanews.com/sites
Hutan bakau merupakan ekosistem ideal yang berfungsi sebagai habitat dari
berbagai jenis fauna yang khas hidup di daerah pesisir. Pohon-pohon
bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya yang dapat berfungsi sebagai

penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan, setiap
kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang
rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi tanaman pantai
yang dapat menahan laju gelombang pasang. Runyamnya lagi, banyak kawasan
hutan bakau yang jadi gundul karena ulah para pemodal yang melakukan konversi
lahan, apakah untuk kepentingan industri, property ataupun bisnis pariwisata yang
sebenarnya menyalahi peraturan tata ruang kelautan daerah. Yang lebih aneh,
perbuatan tersebut justru malah dibiarkan oleh penguasa setempat karena dianggap
bisa menambah pemasukan bagi pihak-pihak yang memegang otoritas atau
menaikan angka pendapatan asli daerah (PAD).
b) Biota Laut
Kehidupan biota laut terancam punah dan ikan-ikan menjauh ke lepas pantai
sehingga tidak terjangkau oleh nelayan kecil. Ikan-ikan di laut Jawa ini sudah
menjauh ke lepas pantai yang susah dijangkau oleh para nelayan dengan perahu
kecil di samping itu juga seringnya gelombang tinggi terjadi di pantai sehingga
para nelayan ini takut melaut.
Untuk di daerah Pekalongan permasalahan terberat adalah pencemaran industri
batik yang zat pewarnanya langsung dialirkan sungai yang akhirnya masuk ke laut
sehingga biota laut di daerah Pekalongan secara perlahan-lahan tidak bisa
berkembang dan mati. Sedangkan untuk industri garam yang kebanyakan digarap
oleh masyarakat Jawa Tengah di sebelah timur di daerah Rembang tidak mungkin
ditutup, karena daerah tersebut adalah penyuplai garam yang tergolong besar di
Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian, kerang di sejumlah kawasan Pantai Utara (Pantura),
Jawa Tengah, terindikasi banyak mengadung logam berat. Kondisi itu disebabkan
pencemaran dari limbah industri dan rumah tangga. Seperti diketahui, seluruh
aktivitas masyarakat mengalirkan limbah tanpa melakukan pengolahan. Ita
Sulistyawati dari Lecturer Food Safety and Environment mengemukakan, kerang
yang hidup di muara sungai kawasan Pantura Jawa Tengah, rata-rata melebihi
ambang batas dari kandungan timbal dan cadmium. Beberapa lebih dari empat
sampai lima kali batas ambang yang diperbolehkan. Jadi, bisa dipastikan sebagian
besar kerang melebihi batas ambang. Jika dibandingkan dengan manusia, kerang
lebih resisten bisa melindungi dirinya dengan mengakumulasi logam berat. Kerang
mampu bertahan hidup meskipun kandungan logam beratnya lebih tinggi dari berat

tubuh atau dagingnya. Kerang tinggal di muara sungai, dan cara hidup kerang
memakan sedimen tanah dengan menyaring air di bagian dasar. Kerang menjadi
indikator biologis lingkungan jika terjadi pencemaran di muara sungai. Indikator
itu dapat dilihat dari kerang yang mampu menyimpan logam berat dalam jumlah
tinggi. Namun, kerang yang mengandung logam berat, dan tidak mengandung
logam

berat,

pada

umumnya

tidak

bisa

dilihat

kasat

mata

(http://indonesiamaritimeinstitute.com, 2012).
Tak hanya kerang, sebagian besar terumbu karang di pesisir pantai utara Jawa
Tengah dari Kabupaten Brebes hingga Kabupaten Pemalang telah musnah. Kalau
pun ada itu masih sedikit hanya terumbu karang buatan yang baru dibuat belum
lama ini, ujar Arif Hermawan, Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan Tegalsari.

Sumber: http://www.tempo.co

Kondisi ini menimbulkan persoalan bagi nelayan yang makin kesulitan untuk
menangkap ikan. Musnahnya terumbu karang yang terjadi sejak sekitar tahun 1990
lalu ini akibat penggunaan alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan sehingga
merusak

karang

di

dasar

pantai

(http://www.tempo.co/read/news/2010/

10/19/177285739/Sebagian-Besar-Terumbu-Karang-di-Pantai-Utara-Musnah).
c) Abrasi Pesisir Pantai
Menurut survei Kementerian Kelautan dan Perikanan, abrasi pesisir pantai terparah
terjadi di Pulau Jawa. Abrasi telah mengikis 10 meter dari bibir pantai dan hutan
mangrove yang berfungsi sebagai pelindung biota laut dan tempat peminjahan ikan

sudah hampir punah. Kerusakan Mangove di Pantura telah mencapai sekitar 67


persen.
Di Jawa Tengah yang wilayah pantainya sepanjang 325 km atau lebih 50 persen
panjang pantai Pantai Jawa sungguh mengkhawatirkan jika dibiarkan terus terjadi.
Sebelah barat Kabupaten Brebes dan Timur hingga Kabupaten Rembang pesisir
pantainya rusak berat akibat sampah dan limbah pabrik. Begitu juga pantai selatan
Jawa Tengah, hutan mangrove hanya terdapat di daerah Segara Anakan di
Kabupaten Cilacap. Selain di daerah Segara Anakan pohon mangrove tidak bisa
tumbuh karena selain tanahnya mengandung pasir juga ombaknya yang besar
sehingga mangrove susah tumbuh.
Kota Jepara merupakan daerah pesisir pantai yang berada di sebelah utara Jawa.
Keberadaan pesisir pantai Jepara terhampar dari kecamatan Kedung di ujung
selatan sampai kecamatan Keling di ujung utara Jepara. Sebagian daerah di dekat
pantai setiap tahun mengalami abrasi maksimal sampai 10 - 50 meter. Hal ini
terjadi di sepanjang pantai di kecamatan Kedung, yaitu desa Kedung Malang,
Surodadi, Panggung, Tanggul Telare, Semat, Teluk Awur. Desa diatas, batas
dengan pantai hanya beberapa puluh meter saja.
Jika hal ini terjadi selama kurun sepuluh tahun abrasi akan meningkat menjadi 100
- 500 meter, sehingga beberapa desa yang letaknya hanya beberapa puluh meter
dari bibir pantai akan hilang.
Menurut data yang didapat penulis dari berbagai sumber, Kerusakan pantai utara
(pantura) akibat abrasi di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, kian parah dan hingga
kini mencapai 610.527 meter persegi daratan hilang. Bahkan, kini air laut Jawa
telah menggerus Pulau Panjang, Jepara. Jika tak segera ditangani dalam beberapa
tahun lagi, pulau ini akan hilang.
Pemantauan kerusakan pantai akibat abrasi di Jepara tersebar pada lima kecamatan
yakni Kedung 97.179 meter persegi, Jepara Kota 73.742 meter persegi, Mlonggo
55.175 meter persegi, Kembang 5.589 meter persegi, dan Keling 378.842 meter
persegi. Ini merusakkan garis pantai sepanjang 15,3 kilometer (Media Indonesia,
2011).
d) Padat Tangkap
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menilai ekosistem dan pantai di Kota
Cirebon khususnya dan pantura umumnya, sudah sangat kritis. Kondisinya sudah
padat tangkap dan mengkhawatirkan. Rumponisasi ( tempat tinggal atau tempat

berkumpulnya ikan yangg sengaja dibuat orang untuk memudahkan penangkapan


ikan) dan aturan tentang zonasi dianggap menjadi solusi persoalan tersebut.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap KKP, DR Lilik Supriadi APi MM
mengatakan, ekosistem di Kota Cirebon sudah mulai kritis dan padat tangkap.
Sudah membahayakan ikan dan kehidupan laut. Perlu ada solusi aktif, ujarnya
kepada Radar, kemarin.
Kondisi seperti itu, ujar Lilik, dapat dilihat dari hasil tangkapan ikan yang
menurun. Selain itu, ikan ukuran kecil dengan berat di bawah 1 ons, banyak yang
tertangkap. Termasuk pula, ikan hamil muda menunjukan masa reproduksi dan
regenerasi semakin cepat (http://radarcirebon.com).
3.2 POTENSI BENCANA WILAYAH PANTURA
Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia,
lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Kondisi tersebut sangat berpotensi
sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir
dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat
kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986).
Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan
hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup
ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan
dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan
kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat
buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah

longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Berikut ini merupakan beberapa potensi
bencana di wilayah Pantura:
a) Banjir Rob
Umumnya di seluruh Pantai Utara Jawa mempunyai curah hujan tinggi, sedangkan
di Pantai Selatan relatif bervariasi, dengan curah hujan tinggi di Jawa Barat dan
semakin ke timur semakin rendah.
Di Pantura, kondisi hidrologi dikontrol oleh aliran sungai-sungai dengan debit
aliran dan beban sedimen yang tinggi, khususnya pada musim penghujan, dan
kondisi airtanah pada umumnya berasa payau hingga asin, yang hampir merata di
seluruh satuan dataran pantai yang berlumpur (endapan aluvium). Kondisi
hidrologi seperti ini merupakan faktor penyebab bahaya banjir fluvial (saat musim
hujan) dan banjir rob (saat musim kemarau). Pantai Utara Jawa memililki
kerawanan lingkungan relatif rentan terhadap pencemaran perairan sungai akibat
limbah domestik (perkotaan) dan industri. Curah hujan yang tinggi pada daerah
hulu (hinterland), sedangkan daerah hilir (low land) berupa dataran dengan
material lempung dan sedimentasi yang intensif, dapat menyebabkan banjir
musiman dan genangan (http://ppejawa.com/ekoregion/dataran/).

Sumber: http://www.tempo.co

Banjir air laut pasang (rob) pernah merendam beberapa daerah pantura seperti
Pekalongan, Batang, Semarang, Demak, dan Jepara dengan ketinggian air 20 - 80
cm (http://www.sigapbencana-bansos.info/pantauan-media/10837-rob-setinggi-80cm-landa-pantai-utara-jawa-tengah.html, 2010).

b) Pembuangan Limbah Berbahaya


Perkembangan industri-manufaktur memang diakui telah mampu menjawab
persoalan kesejahteraan dan kesenjangan sosial, tetapi buah akibatnya ternyata
harus dibayar amat mahal karena berdampak negatif terhadap kelestarian
lingkungan.
Akselerasi pertumbuhan industi di kawasan daratan dan pesisir Pantai Utara telah
mengakibatkan

gundulnya

hutan

mangrove

disekitarnya.

Ditambah

pula

pembangunan pelabuhan industri terpadu, dan tempat-tempat wisata tepi pantai di


Kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban banyak mengahasilkan limbah buangan
yang mengakibatkan, pendangkalan sungai, sedimen laut dan semakin rusaknya
ekosistem terumbu karang (http://lakspedamtuban.com, 2009).
Pantura semakin parah kondisinya dengan

melimpahnya limbah industri di

perairan tersebut. Sebelah barat Kabupaten Brebes dan Timur hingga Kabupaten
Rembang pesisir pantainya rusak berat akibat sampah dan limbah pabrik.
(http://www.antaranews.com/print/179854/).
Sementara itu, di wilayah DKI Jakarta rusaknya ekosistem laut di Pantai Utara
selain akibat aktivitas pelabuhan, industri dan limbah rumah tangga, juga karena
reklamasi pantai (http://indonesiamaritimeinstitute.com, 2012).
c) Gempa Bumi
Gempa bumi tektonik berskala 7,0 pada Skala Richter yang terjadi pada 9 Agustus
2012 dini hari di Laut Jawa (100 km timur Jakarta) tidak memberikan pengaruh
terhadap aktifitas gunung api sehingga saat ini status gunung api tetap 12 gunung
api berstatus Waspada dan 1 gunung api berstatus Siaga.
Demikian dijelaskan Kepala Badan Geologi, Bambang Dwiyanto, menyusul
terjadinya gempa bumi tektonik Kamis, dini hari tadi di pantai utara Laut Jawa.
Meskipun demikian, untuk mengantisipasi kemungkinan adanya peningkatan
aktifitas gunung api berkaitan dengan gempa bumi, Badan Geologi telah
menyiagakan Pengamat Gunung Api dalam radius 200 km dari sumber gempa
yaitu G. Papandayan, G. Guntur, G. Galunggung, G. Ciremai, G. Tangkuban
Perahu, G. Gede, G. Salak, G. Anak Krakatau (Lampung) dan G. Slamet (jawa
Tengah).
Gempa ini sendiri terjadi karena bergeraknya lempeng Australia yang menunjam di
bawah Lempeng Eurasia di bawah Pulau Jawa. Lempeng Australia bergerak ke

utara dengan kecepatan sekitar 58 mm/tahun. Pergerakan ini menyebabkan


terjadinya patahan naik di Palung Jawa.
Gempa dirasakan di wilayah Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Lampung dan Jawa
Tengah. Menurut hasil perhitungan USGS Amerika Serikat, gempa bumi di Jawa
Barat memiliki intensitas IV-V MMI, di Jawa Timur dan Bali sekitar III-IV MMI.
Menurut data dari BMG, kedalaman gempa mencapai 286 km sedangkan menurut
USGS, kedalaman gempa adalah 289,2 km. Gempa ini tidak menimbulkan tsunami
karena meskipun terjadi di laut namun pusat gempa sangat dalam sehingga kecil
kemungkinan menyebabkan dislokasi dasar laut (http://www.esdm.go.id/berita/42geologi/724-gempa-bumi-di-utara-laut-jawa-tidak-berpengaruh-terhadap-aktifitasgunung-api.html, 2012).
d) Penurunan Permukaan Tanah
Guru Besar Oseanografi Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor Safwan Hadi
menjelaskan Berdasarkan hasil penelitian, pada saat ini terjadi penurunan
permukaan tanah di Jakarta sebesar 12 centimeter per tahun karena beban
bangunan dan pengambilan air tanah. Dengan demikian, kata dia, diharapkan
kekhawatiran terhadap akan tenggelamnya ibukota Jakarta bisa diminimalisir atau
dihilangkan sama sekali. Dia mengatakan, berdasarkan hasil penelitian yang
dihimpun oleh ISOI pada 2100 seluruh wilayah di Jakarta terancam terendam air
dengan

ketinggian

antara

40

hingga

50

cm

(http://www.menkokesra.go.id/content/tahun-2050-jakarta-tenggelam, 2013).
Pantai Utara Jawa pada daerah hulu dan daerah hilir berupa dataran dengan
material lempung yang bersifat plastis dengan daya dukung rendah, sehingga
apabila terlalu besar mendapatkan beban di atasnya, dapat menyebabkan amblesan
(subsidence), yang dapat memicu kejadian banjir pasang (banjir rob).
Ahli Kelautan dan Pesisir Institut Pertanian Bogor (IPB), Alan Koropitan
menuturkan mulai dari Jakarta hingga Surabaya kawasan Pantura rentan terjadi
penurunan tanah. Selain karena kondisi alam yang rapuh juga pembangunannya
sudah melebihi daya dukung. Menurut Alan, di sepanjang pantai utara rata-rata
terjadi penurunan tanah 5-10 cm setiap tahunnya. Namun, yang terparah terjadi di
Jakarta yang mencapai 25 cm setiap tahun. Pembangunan yang terus dipacu, serta
penyedotan air tanah yang terus-menerus menjadikan tanah semakin rapuh
(http://indonesiamaritimeinstitute.com, 2012).

4. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
a) Kondisi ekologi di wilayah Pantura perlu direvitalisasi.
b) Pantura tidak memerlukan reklamasi karena hanya akan menambah bencana ekologis.
c) Di daerah pesisir pantai dan sekitarnya sebaiknya tidak terdapat bangunan besar karena
akan membuat penurunan muka tanah akibat beban bangunan dan pengambilan air dari
dalam tanah.
d) Pabrik-pabrik di sepanjang Pantura beresiko menjadi penyumbang terbesar limbah.
e) Pembangunan tol atas laut Jakarta Surabaya sebaiknya tidak dilaksanakan karena
hanya akan semakin merusak ekosistem laut Pantura dan sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA
Arnold, 1986
(http://dahlaniskan.net, 2013
(http://lakspedamtuban.com, 2009
http://humaspdg.wordpress.com
http://indonesiamaritimeinstitute.com, 2012
http://ppejawa.com/ekoregion/dataran/
http://radarcirebon.com
http://www.antaranews.com/print/179854/
http://www.esdm.go.id/berita/42-geologi/724-gempa-bumi-di-utara-laut-jawa-tidakberpengaruh-terhadap-aktifitas-gunung-api.html, 2012
http://www.menkokesra.go.id/content/tahun-2050-jakarta-tenggelam, 2013
http://www.rimanews.com/sites
http://www.sigapbencana-bansos.info/pantauan-media/10837-rob-setinggi-80-cm-landapantai-utara-jawa-tengah.html, 2010
http://www.tempo.co/read/news/2010/ 10/19/177285739/Sebagian-Besar-Terumbu-Karangdi-Pantai-Utara-Musnah
Media Indonesia, 2011

Anda mungkin juga menyukai