Anda di halaman 1dari 46

TUGAS RADIOLOGI

GAMBARAN RADIOLOGIS TUBERKULOSIS TULANG

OLEH :
Luh Ratna Oka Rastini
H1A 010 059
PEMBIMBING :
dr. H. Hasan Amin, Sp.Rad

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSU PROVINSI NTB
2015

BAB I
PENDAHULUAN

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh


Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan
98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian
juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan,
persalinan dan nifas.1
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan
rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB,
maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat.
Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan
banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan
dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal
tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan
dunia(global emergency).1
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB.
Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada
saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug
resistance =MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil
disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi
TB yang sulit ditangani.1,2
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah
pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina
dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan

pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang.
Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.2
Pemeriksaan radiologik toraks merupakan pemeriksaan yang sangat penting.
Kemajuan pesat selama dasawarsa terakhir dalam teknik pemeriksaan radiologic
toraks dan pengetahuan untuk menilai suatu rontgenogram toraks menyebabkan
pemeriksaan toraks dengan sinar rontgen ini suatu keharusan rutin. Pemeriksaan paru
tanpa pemeriksaan rontgen saat ini dianggap tidak lengkap. Suatu penyakit paru
belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum dilakukan pemeriksaan radiologic.
Selain itu, berbagai kelainan dini dalam paru juga sudah dapat dilihat dengan jelas
pada foto rontgen sebelum timbul gejala-gejala klinis.2
Tuberkulosis paru dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Hal ini
dapat dilihat dari pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam yaitu bayangan berawan/nodular, kavitas, atau bayangan
bercak

milier

pada

parenkim

paru.

Gambaran

foto

toraks

juga

dapat

menginformasikan sejauh mana tuberkulosis telah merusak paru dan jaringan lain.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

TUBERKULOSIS
A. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberkulosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.1
B. ETIOLOGI
Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium Tuberkulosis, Mycobacterium
bovis, sangat jarang disebabkan oleh Mycobacterium avium. Mycobacterium
merupakan kuman batang tahan asam, yang dapat hidup selama berminggu-minggu
dalam keadaan kering, tapi mati dengan suhu 60C dalam cairan suspensi selama 1520 menit. Mycobacterium memiliki ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um.2
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (Lipid). Lipid inilah
yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam sehinnga disebut bakteri tahan asam
(BTA). Kuman dapat tahan hidup pada keadaan kering maupun dingin, karena kuman
berada dlam keadaan dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali
dan menjadi aktif kembali.2
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyukai jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen
pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal
paru-paru merupakan tempat predileksi tuberkulosis.2

C. PERJALANAN PENYAKIT
1. Cara penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.3
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.3
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.3
2. Risiko penularan
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Infeksi TB
dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberkulosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang
diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi
antara 1-3%.3
3. Risiko menjadi sakit TB
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan
ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap
tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.3
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan

malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi
yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan
luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi
infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan
akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah
orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat,
dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.3
Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan: 50% meninggal, 25%
akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi
kasus kronis yang tetap menular.
D. PATOGENESIS
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.3

Fokus primer Gohn merupakan daerah kecil konsolidasi perifer

Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran
limfe yang meradang (limfangitis).3

Pembesaran nodus limfatik pada tuberkulosis


7

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.3,4
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji
tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang
berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan.4
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.3,4
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
8

bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe


hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan
ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak
dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.3
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.3
Di

dalam

koloni

yang

sempat

terbentuk

dan

kemudian

dibatasi

pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB
9

ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang, dan lain-lain.3
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita.3
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang
secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan
menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak
dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi
secara berulang.3
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik.
Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau
meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat
10

terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat
bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi
sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan
dewasa muda.3
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi
TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak
terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi
5 25 tahun setelah infeksi primer.3
E. GEJALA3,4,5
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.
A. Gejala sistemik/umum:
a. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
c. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
B. Gejala khusus:
a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara mengi,
suara nafas melemah yang disertai sesak.
b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.

11

c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat
terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa.
Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa
memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan 5 tahun
yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA
positif,

dilaporkan

30%

terinfeksi

berdasarkan

pemeriksaan

serologi/darah.
F. DIAGNOSIS1,2
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:

Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.


Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
Rontgen dada (thorax photo).
Uji tuberkulin.
1. Anamnesa
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut
diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat

12

prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang
datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada
pasien anak.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pasien TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk
membedakan TB dengan penyakit paru lainnya. Tanda fisik tergantung pada
lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tandatanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara nafas bronkial, amforik,
ronki basah. Pada efusi pleura yang merupakan komplikasi dari TB dapat
didapatkan gerak nafas tertinggal, keredupan dan suara nafas menurun sampai
tidak terdengar (Alsagaff, Hood, et al. 2010).
3. Pemeriksaan dahak (bakteriologis)
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
o S (sewaktu)
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
o P(Pagi)
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
o S(sewaktu)
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.

13

Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru
tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
4. Foto toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan
dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada
kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan
indikasi sebagai berikut:
o Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB
paru BTA positif.
o Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (non fluoroquinolon).
o Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan

penanganan

khusus

(seperti:

pneumotorak,

pleuritis

eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang


mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma).
5. Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling
bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium
Tuberkulosis dan sering digunakan dalam Screening TBC. Efektifitas dalam
menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji
tuberkulin positif 100%, umur 12 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46 tahun

14

75%, dan umur 612 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa
semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang
cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux
umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi:
a) Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium Tuberkulosis.
b) Pembengkakan (Indurasi) : 59mm, uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium
atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
c) Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium Tuberkulosis.
6. Diagnosis TB Ekstra Paru
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung
pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat
diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks,
dan lain-lain.
G. KLASIFIKASI
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien Tuberkulosis memerlukan suatu
definisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau
BTA negatif;

15

3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.


4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati.
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:
1.
2.
3.
4.

Menentukan paduan pengobatan yang sesuai.


Registrasi kasus secara benar.
Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif.
Analisis kohort hasil pengobatan.

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


1. Kasus TB: Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif): pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
Tuberkulosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat
diperlukan untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah
timbulnya resistensi.
2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective).
3. Mengurangi efek samping.
I. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena
a. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru

adalah tuberkulosis yang menyerang organ

tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
II.

saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.


Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis
a. Tuberkulosis paru BTA positif

16

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.


1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB

positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.


b. Tuberkulosis paru BTA negative
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
- Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
- Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
III.
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif, dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.
b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
- TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
-

kelenjar adrenal.
TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB

usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.


Catatan: Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB
paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus
dicatat sebagai pasien TB paru. Sedangkan bila seorang pasien
dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
17

IV.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi
menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
a. Kasus Baru adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus Kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan
atau kultur).
c. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) adalah pasien TB yang
telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan.
e. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK
yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan yang perlu diingat yaitu TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru,
dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik.
Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik
(biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI TB TULANG4,5,6


Pemeriksaan radiologik pada penyakit tuberculosis dapat dilakukan foto
toraks PA, lateral, fluoroskopi) masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi, ini
dilakukan pada pasien yang dicurugai adanya infeksi TB paru. Untuk menegakkan

18

diagnosis pada penyakit TB tulang dapat dilakukan foto polos tulang dan CT-Scan
tulang.

a. Tuberkulosis pada Tulang Panjang


Pada tulang panjang, lesi paling sering terdapat di daerah metafisis yang pada foto
roentgen terlihat sebagai lesi destruktif berbentuk bulat atau lonjong. Pada permulaan,
batas-batasnya tidak tegas tetapi pada proses yang sudah kronis batasnya menjadi
tegas. Kadang-kadang dengan sclerosis pada tepinya. Sequestra mengecil dan diserap
oleh jaringan granulasi. Dapat ditemukan reaksi periosteal jika lesi lokal di dalam
subkortikal, ini bukan merupakan bentuk yang menonjol Lesi cepat menyeberangi
garis epifiser dan mengenai epifisis dan selanjutnya mengenai sendi. Proses dapat
juga bermula pada epifisis tulang panjang. Lesi pada diafisis jarang, dan lebih jarang
lagi pada bentuk lesi multiple cystic.3,4

b. Tuberkulosis pada Tulang Belakang


Lesi biasanya pada korpus vertebra dan proses dapat bermula di 3 tempat, yaitu:

Dekat diskus intervertebra atas atau bawah, disebut tipe marginal, yang sesuai
dengan tipe metafiseal pada tulang panjang.

Di tengah korpus, disebut tipe sentral.

Di bagian anterior korpus, disebut tipe anterior atau subperiosteal

19

Pada tipe marginal, lesi destruktif biasanya terdapat di bagian depan korpus vertebra
dan cepat merusak diskus. Proses dapat terjadi pada dua atau lebih vertebra yang
berdekatan. Karena bagian depan korpus vertebra paling banyak mengalami destruksi
disertai adanya kolaps, maka korpus vertebra akan berbentuk baji dan pada tempat
tersebut timbul gibbus.4
Abses paravertebral timbul cepat dan paling mudah dilihat di daerah torakal karena
adanya kontras paru-paru. Bila sudah lama akan timbul kalsifikasi pada abses. Tidak
terlihat adanya pembentukan tulang baru pada proses yang aktif.4
Bila pengobatan berhasil, tanda-tanda penyembuhan pada vertebra yang terkena dapat
dilihat dari:

Densitas tulang yang kembali normal

Rincian tulang terlihat lebih jelas

Batas tulang yang menjadi lebih tegas

Pada tipe sentral, abses timbul pada bagian tengah korpus vertebra dan diskus lambat
terkena proses. Bila lesi meluas ke tepi tulang maka proses selanjutnya adalah seperti
pada tipe marginal.
Pada tipe anterior, proses berlangsung di bawah periost dan meluas di bawah ligamen
longitudinal anterior. Kerusakan pada diskus terjadi lambat. 4

c. Tuberkulosis pada Trokanter Mayor

20

Salah satu tulang yang sering terkena tuberculosis adalah trokanter mayor, terutama
pada anak-anak dan dewasa muda. Lesi dapat bermula pada tulang atau bursa. Bila
lesi bermula pada bursa, maka erosi pada tulang kadang-kadang hanya superficial dan
akan sukar dilihat. Baik pada proses yang dimulai pada tulang maupun bursa, dapat
meluas ke sendi panggul. Gambaran radiologik tuberculosis pada trokanter mayor
sama dengan pada tulang panjang.3,4

d. Daktilis Tuberkulosis
Kelainan ini disebut juga spina ventosa (lesi pertama menjadi gambaran radiology
pada anak-anak), menghasilkan gambaran yang khas. Spina ventosa dalam arti kata
sebenarnya adalah tulang pendek yang dipompa dengan udara(a short bone inflated
with air) Tulang falangs yang terkena melebar karena ekspansi medulla. Biasanya
bisa dibedakan dari daktilis karena sifilis, dimana tulang melebar karena penebalan
tulang akibat pembentukan kortikal tulang baru.3,4
e. Artritis Tuberkulosis
Proses bisa bermula pada sinovium atau pada tulang.
a. Proses mulai pada sinovium
Pada stadium dini tanda-tanda tidak khas, yang tampak ialah:

Penebalan kapsul sendi,

Sendi tampak suram dan sela sendi agak melebar karena efusi intra-artikuler,

Osteoporosis pada tulang-tulang sekitar sendi karena hyperemia.4

21

Sebaiknya dibuat foto sendi sebelahnya yang sehat untuk perbandingan. Kemudian,
hyperemia yang terjadi akan menyebabkan percepatan maturasi ujung akhir tulang
dan epifisis apabila infeksi ini terjadi pada anak-anak. Trabekula tulang menjadi
samar dan korteksnya menipis.3,4
Ujung akhir tulang terkena juga. Begitu juga seluruh artikular kortek akan menjadi
samar, local marginal atau erosi permukaan akan terlihat. Pada stadium lebih lanjut
timbul erosi pada tulang dekat sendi yang bersifat local atau luas. Puncaknya
kehilangan ruang sendi akan terjadi tapi ini tidak semenonjol seperti yang terjadi pada
pyogenik artritis. Kerusakan pada tulang rawan relatif lambat dibandingkan dengan
arthritis purulenta dan bila ini terjadi sela sendi akan menyempit.3,4
Kadang-kadang setengah dari sendi akan terinfeksi dan erosi tulang terlihat pada
permukaan tulang contigous. Fokus utama disini adalah tulang, sebuah kombinasi
tanda infeksi sinovial dan metafiseal dan focus destruksi epifiseal akan terjadi.3,4
b. Proses mulai pada tulang.
Pada proses yang bermula pada tulang gambaran radiologiknya adalah kombinasi dari
proses tuberculosis pada metafisis-epifisis dan tanda-tanda infeksi sinovium.4

f. Koksitis Tuberkulosis
Sering pada anak-anak. Proses dapat dimulai di asetabulum, sinovium, epifisis femur,
metafisis femur, atau trokanter mayor. Kadang-kadang infeksi menyebar ke panggul
dari focus di dalam trochanter mayor atau ischium. Lesi pada panggul mempunyai
karakteristik dengan destruksi yang banyak tetapi suatu perubahan yang tidak wajar
sekarang jarang terlihat. Semua tingkat kehilangan tulang dari kaput dan colum femur
dapat ditemukan. Penemuan yang sering adalah gambaran tonjolan bernama birds
22

beak. Ekspansi dan destruksi didalam asetabulum kadang-kadang membawa ke


protrusio intrapelvik dari sendi panggul. Destruksi tulang biasanya banyak, baik pada
asetabulum maupun pada kaput femur. Kadang-kadang kaput femur tidak dapat
dilihat lagi. Bila destruksi pada asetabulum banyak dapat menimbulkan protusio
asetabuli. Diagnosis diferensial yang penting adalah penyakit perthes, yaitu nekrosis
avaskular dari kaput femur.3,4
g. Tuberkulosis Sendi Lutut
Gonitis tuberculosis termasuk sering dan gambaran radiologiknya sesuai seperti yang
diuraikan di atas.4

h. Tuberkulosis Sendi Bahu


Kadang-kadang lesi pada kaput humerus besar dan berbentuk kistik sehingga
menyerupai giant cell tumor. Bila terdapat juga lesi pada glenoid, maka maka kedua
penyakit ini mudah dibedakan karena giant cell tumor tidak menyeberangi sendi.
Kadang-kadang lesi tuberculosis pada kaput humeri kecil dan tanpa pembentukan pus
serta gejalanya ringan dan dikenal sebagai caries sicca.4

i. Tuberkulosis Sendi Siku


Destruksi tulang terutama pada olekranon dan ujung distal humerus. Fossa olekrani
menjadi dalam disebabkan erosi. Biasanya destruksi pada kaput radius kurang
dibandingkan dengan kedua tulang tadi. Diagnosis diferensial yang penting adalah
rheumatoid arthritis.4

23

SPONDILITIS TUBERKULOSA
2.1 Definisi
Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberculosis ekstra pulmonal yang
bersifat kronis berupa infeksi granulamatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu
Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat
menyebabkan destruksi tulang, deformitas, dan paraplegia.6
2.2 Epidemiologi
Sekitar 1-2% dari semua kasus tuberkulosis menyebabkan penyakit Pott. Di
Belanda antara tahun 1993 dan 2001, TBC tulang dan sendi menyumbang 3,5% dari
semua kasus tuberkulosis (0.2-1.1% pada pasien asal Eropa dan 2,3-6,3% pada pasien
asal non-Eropa). Menurut WHO, Indonesia adalah Negara yang menduduki peringkat
ketiga dalam jumlah penderita TB setelah India dan Cina. Tuberkulosis (TB) adalah
penyebab utama kematian di seluruh dunia yang dapat dikaitkan dengan agen infeksi
tunggal. Lebih dari 40% kasus TB di seluruh dunia terjadi di bagian Selatan Asia
Timur. Di wilayah ini, diperkirakan 3 juta kasus baru TB setiap tahun. Diperkirakan
140.000 orang meninggal akibat TB setiap tahun atau setiap 4 menit ada satu
penderita yang meninggal di negara negara tersebut , dan setiap 2 detik terjadi
penularan. TB ekstraparu hanya terdapat 10% sampai 15% dari semua kasus TB. TB
skeletal terjadi 1% hingga 3% dari kasus TB ekstraparu dan biasanya melibatkan
tulang belakang. Dalam TB muskuloskeletal, infeksi paru aktif terlibat sekitar kurang
dari 50% kasus. Tulang belakang terlibat pada hingga 50% kasus TB
muskuloskeletal.1,2,5,6
Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70%
dan Sanmugasundarm juga menemukan presentase yang sama dari seluruh
tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada
kelompok 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara wanita dan pria.
TB tulang belakang, yang berperan dalam lebih dari setengah dari semua tuberculosis
tulang dan sendi, biasanya terjadi selama awal masa kanak-kanak.3,7
2.3 Etiologi
24

Penyakit spondilitis tuberculosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.


Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acidfastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang
konvensional.Teknik Ziehl-Nielson digunakan untuk memvisualisasikannya. Bakteri
ini tumbuh secara lambat dalam media egg-en riched dengan periode 6-8 minggu.
Spesies Mycobacterium yang lain dapat juga bertanggung jawab sebagai
penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovine, ataupun
non-tuberculous mycobacteria yang banyak ditemukan pada penderita HIV. Produksi
niasin merupakan karakteristikMycobacterium tuberculosis dan dapat membantu
untuk membedakannnya dengan spesies lain.6,7
2.4 Patofisiologi
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius.
Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi
basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru,
hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons
imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian
menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat
yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang
korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra.
Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus
vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis
dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus
intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini
akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan
infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis
akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya 6,7
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini

25

dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis


ligament yang lemah.6,7,8
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai
abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea,
esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal
pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang
menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis
sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk
mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian
medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat
mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea 6
Abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan
tengah, tetapi yang paling sering pada vertebra torakalis XII. Bila dipisahkan antara
yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra
torakalis X sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai
hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen
torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal VIII sampai lumbal I sisi kiri.
Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu
diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis
vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra
torakalis X, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra
lumbalis I, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan
ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra
torakal. Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4
faktor yaitu:

26

1.
2.
3.
4.

Penekanan oleh abses dingin


Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.

Perjalanan penyakit ini terbagi dalam 5 stadium yaitu


a. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan
pada anak- anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
b. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
c. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi
2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk
sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk
tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan
korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
d. Stadium gangguan neurologist
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan
ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra
torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan
neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu:
Derajat I: kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah
melakukan

aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini

belum terjadi gangguan

saraf sensoris.

27

Derajat II: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita

masih dapat melakukan pekerjaannya.


Derajat III: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang

membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.
Derajat IV: terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai
gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott
paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan
penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh
karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat
kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi
jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi
oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh
pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi
tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat
terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler
vertebra.6,7,8

e. Stadium deformitas residual


Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan
vertebra yang massif di sebelah depan.

Patofisiologi berkembangnya penyakit spondylitis.

28

Gambar 2.1 Patofisiologi Spondilitis Tuberkulosa5,6


2.5 Gejala Klinis 6
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta
sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam
hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,

29

kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas,
klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski bilateral (Hidalgo, 2006).
Pada stadium awal belum ditemukan deformitas tulang vertebra dan belum
terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap,
terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya
destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus,
termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia,
paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya
adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda
defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas (Craig, 2009).
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri dan kekakuan di
daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya
abses retrofaring. Harus diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior
sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik
pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat
(Wheeles, 2011).
2.6 Pemeriksaan Penunjang6,7
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan Laboratorium
Peningkatan laju endap darah (LED) dan mungkin disertai leukositosis,
tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis. Newanda (2009)
melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis didapatkan 33%

anak dengan laju endap darah yang normal.


Uji Mantoux positif
Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin

ditemukan mikobakterium
Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat
menembus masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan

30

didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test Queckenstedt


menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu
kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara

spontan membeku.
Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis

tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses.


Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam

sirkulasi.
Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay)
dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini
menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi
dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit

mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.


Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) masih terus
dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman
tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA,
amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA
utuh yang dapat diidentifikasi dengan gel. Pada pemeriksaan mikroskopik
dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil permililiter
spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil permililiter spesimen.
Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah
lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6
minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.Saat ini
mulai dipergunakan system BATEC (Becton Dickinson Diagnostic
Instrument System). Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan dalam
7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain,
masih tingginya harga alat dan juga karena system ini memakai zat
radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa

radioaktifnya (Newanda, 2009).


2. Pemeriksaan Radiologis

31

Untuk pemeriksaan radiologis akan dibahas pada bab 3.


3. Bakteriologis
Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis. Tantangan
yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis dan
radiologis secara mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana mendapatkan
spesimen dengan jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan mikroskopis dengan
pulasan Ziehl-Nielsen membutuhkan 104 basil per mililiter spesimen, sedangkan
kultur membutuhkan 103 basil per mililiter spesimen. Kesulitan lain dalam
menerapakan pemeriksaan bakteriologis adalah lamanya waktu yang diperlukan.
Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4
minggu sesudahnya. Saat ini mulai dipergunakan sistem BACTEC (Becton Dickinson
Diagnostic Intrument System). Dengan sistem ini identifikasi dapat dilakukan dalam
7-10 hari. Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih
tingginya harga alat dan juga karena sistem ini memakai zat radioaktif. Untuk itu
dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda, 2009).
Pada negara di mana terdapat prevalensi tuberkulosis yang tinggi atau tidak
terdapat sarana medis yang mencukupi, penderita dengan gambaran klinis dan
radiologis yang sugestif spondilitis tuberkulosis tidak perlu dilakukan biopsi untuk
memastikan diagnosis dan memulai pengobatan (Newanda, 2009).
4.Histopatologis
Infeksi tuberkulosis pada jaringan akan menginduksi reaksi radang
granulomatosis dan nekrosis yang cukup karakteristik sehingga dapat membantu
penegakan diagnosis. Ditemukannya tuberkel yang dibentuk oleh sel epiteloid, giant
cell dan limfosit disertai nekrosis pengkejuan di sentral memberikan nilai diagnostik
paling tinggi dibandingkan temuan histopatologis lainnnya. Gambaran histopatologis
berupa tuberkel saja harus dihubungkan dengan penemuan klinis dan radiologis
(Newanda, 2009).

32

2.7 Diagnosis Banding6,7


Diagnosis banding dari spondylisis tuberculosa antara lain:
1. Spondylitis non-tuberculosis
a. Infeksi piogenik dan enterik (contoh: karena staphylococcal/suppurative
spondylitis, typhoid, parathypoid). Adanya sclerosis atau pembentukan tulang
baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu,
keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih
menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain. Pada
infeksi enterik, perbedaan dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium.
b. Spondylitis ankilosa
Suatu penyakit inflamasi progresif, biasanya mengenai pria dewasa muda,
sering disertai riwayat penyakit keluarga; (95% pasien membawa antigen
leukosit manusia; HLA-B27).
Gambaran radiologis: sakroilitis biasanya ditemukan sebelum pemeriksaan
radiograf dengan pengaburan dan batas tidak tegas pada tepi sendi, kemudian
terjadi erosi dan sclerosis tulang yang menyebabkan kecenderungan terjadinya
penyatuan sendi sakro-iliaka complete. Biasanya mengenai dua sendi
(bilateral) dibedakan dengan TB yang unilateral.Selain, pada region lumbar
akan berlanjut pada verterbrae torakaldan cervical. Gambaran yang paling
sering adalah squaring pada badan vertebrae pada pembentukan tulang baru
pada corpus vertebrae anterior, dan terisinya kecekungan bagian anterior yang
normal oleh kalsifikasi ligament longitudinal; kalsifikasi ligament spinal
lateral dan anterior untuk menghasilkan gambaran bamboo spine yang klasik.
c. Scheuermanns disease
Penyakit ini mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak
adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan
inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
2. MetastaseTulang
Metastase tulang merupakan tumor tulang ganas yang paling sering.
Metastase terutama menyebar ke tulang-tulang yang mengandung sumsum sehingga

33

lebih sering ditemukan pada tulang-tulang axial. Setiap tumor primer dapat
bermetastase ke tulang, namun metastase yang paling sering adalah:

Payudara: memiliki insidensi yang tinggi untuk deposit tulang, biasanya


bersifat litik namun dapat sklerotik atau campuran, merupakan penyebab

deposit sklerotik yang paling sering pada wanita.


Prostat: hampir selalu sklerotik, deposit litik jarang ditemukan; merupakan

penyebab deporitsklerotik pada pria.


Paru: deposit litik; deposit perifer di tangan dan kaki jarang, namun jika ada

cenderung berasal dari karsinoma bronkus.


Ginjal dan tiroid: Litik dan dapat sangat vaskuler dengan terjadinya perluasan

tulang.
Kalenjar adrenal: Secara dominan bersifat litik.

Gambaran radiologis dari metastase tulang dapat litik atau sklerotik:

Deposit litik: gambaran utama berupa destruksi tulang dengan batas yang
tidak jelas dan dapat menyebabkan fraktur patologis. Reaksi periosteal lebih

jarang jika dibandingan tumor ganas primer.


Deposit sklerotik: terlihat sebagai peningkatan densitas yang tidak berbatas
tegas dengan diikuti hilangnya arsitektur tulang. Lesi sekunder pada vertebrae
dapat berupa pedikel yang sklerotik. Dengan adanya lesi multiple, diangnosa
metastase hampir dapat dipastikan.
Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi

berbeda

dengan

spondilitis

tuberkulosa

karena

ruang

diskusnya

tetap

dipertahankan.Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang


lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
2.8 Terapi6
Terapi spondilitis tuberkulosa terdiri dari terapi konservatif dan operatif.
Terapi Konservatif

Drugs

34

Kebanyakan individu mengalami resolus penuh dengan obat-obatan antituberkulosis yang memadai dan benar selama kurang lebih 6-9 bulan (Wheeless,
2001). Isoniazid dan Rifampin diberikan pada seluruh jangka waktu terapi. Obat
tambahan biasanya diberikan pada 2 bulan pertama yang biasanya dari golongan
lini

pertama

anti-tuberculosis

seperti

pyrazinamide,

ethambutol,

and

streptomycin. Penggunaan lini kedua di terapkan jika ada ditemukannya resistensi


obat
Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang
kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan
dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan
timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi

sekunder
Bed rest
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning
frame/plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi.
Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak
tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal
spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan.
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang
belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase
aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi
kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung
3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda
klinis, radiologis dan laboratorium
Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah
vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast
jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan
immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi
salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan,
dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan. Terapi untuk Potts
35

paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster shell dan
pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah baring untuk
mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah
penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam
posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia
akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya
resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan dekompresi (Martin, 2010).
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus
menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan
laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal
seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan
sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang
Terapi Operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research Council
1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi
kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah
tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu.Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi
obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak
memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan
operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi pus tuberkulosa, mengambil
sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang
belakang yang terlibat. Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan
dekompresi juga diindikasikan bila:
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase

36

4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan
mengancam atau kifosis berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren

37

Foto Thoracolumbal9,10
Pemeriksaan radiologis merupakan suatu pencitraan yang ideal harus dapat
memberikan keterangan mengenai:
Jumlah vertebra yang terlibat, sudut kifosis yang terjadi
Seberapa jauh destruksi tulang telah terjadi, apakah hanya terbatas pada kolumna
anterior atau sudah mencapai kolumna posterior
Ada tidaknya keterlibatan jaringan lunak, termasuk pembentukan abses dan
sekuesterisasi diskus interverbralis
Ada tidaknya kompresi medula spinalis dan tingkat keseriusannya
Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat
diperlukan untuk menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain
Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra,
disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut
dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP,
abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (birds net), di
daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk
fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul
kifosis.

Gambar 2.2 Destruksi vertebra disertai kiphosis


Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin
terdapat suatu kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali

38

pada tempat tersebut suatu fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur
kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra itu adalah menjadi lebih tipis
daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah
suatu Gibbus pada tulang belakang itu.

Gambar 2.3 Gambaran Gibbus pada tulang belakang (Craig, 2009)


Dekplate korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur.
Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.
Abses dingin.
Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang
berbentuk kumparan (Spindle). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada
vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2

Gambar 2.4 Seorang laki-laki dengan spondylitis tuberkulosa mengalami low back
pain (LBP) selama 5 bulan. Gambaran radiografi nteroposterior (A) dan lateral (B)
menunjukkan adanya destrukdi corpus vertebra lumbal ! dan II dengan hilangnya
39

discus intervertebralis. Destruksi corpus vertebra terletak pada bagian anterior corpus,
yang menyebabkan deformitas khas berupa gibbus. Terdapat sklerosis reaktif yang
merupakan ciri khas dari infeksi tuberkulosa

Gambar 2.5 Anak laki-laki berusia 5 tahun dengan infeksi tuberculosis pada vertebra
thoracalis. Gambaran radiografi lateral pada corpus vertebra thoracalis menunjukkan
destruksi total dari corpus vertebra thoracalis VI yang menyebabkan deformitas plana
pada vertebra. Diskus intervertebralis yang berdekatan tidak tervisualisasi dengan
baik. Terdapat pula destruksi dari corpus vertebra thoracalis VII bagian anterior dan
posterior sehingga menyebabkan deformitas gibbus

Gambar 2.6 Seorang laki-laki berusia 43 tahun dengan tuberculosis spinal. A.


gambaran radiografi lateral dari vertebra lumbal menunjukkan erosi fokal (tanda
panah) pada aspek antero-superior dari corpus vertebra lumbal IV. Subtle erosion juga
40

terdapat pada endplate vertebra lumbal III antero-inferior. B. gambaran radiografi


didapat 3 bulan sebelumnya menunjukkan perubahan erosi pada corpus vertebra,
sklerosis pada end plate vertebra, hilangnya discus intervertebralis yang berdekatan,
tampak suatu massa jaringan lunak pada bagian anterior (tanda panah), dan ada
pembentukan gibbus awal \

Gambar 2.7 Pria berusia 18 tahun dengan abses paraspinal tuberkulosa. Gambaran
radiografi thorax menunjukkan fusiform soft-tissue swelling (tanda panah) pada regio
thorax bawah yang menunjukkan adanya abses tuberkulosa paraspinal
Pemeriksaaan CT-scan
CT scan menggambarkan luasnya infeksi secara lebih akurat dan mendeteksi
lesi lebih dini dibandingkan foto polos. Pada suatu penelitian, didapatkan 25%
penderita memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT scan dan MRI. CT scan
secara efektif dapat melihat kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Selain itu CT scan
dapat digunakan untuk memandu prosedur biopsi (Newanda, 2009).
Lesi terlihat osteolitik iregular, bermula pada korpus dan kemudian menyebar
sehingga vertebra kolaps dan terjadi herniasi diskus ke dalam vertebra yang hancur.
CT scan dapat menggambarkan keterlibatan elemen posterior bilateral akan berakibat
instabilitas tulang belakang sehingga tindakan operatif merupakan indikasi dan

41

prosedur anterior strut grafting mungkin tidak adekuat sehingga dibutuhkan


instrumentasi posterior.
o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler,
skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah
hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih)

Gambar 2.8 Pria berusia 42 tahun dengan infeksi tuberkulosa pada sacrum.
Unenhanced CT scan dari pelvis menunjukkan destruksi dari bagian anterior sacrum
dan abses tuberkulosa luas pada presacral (tanda panah putih). Terdapat pula
sequestrum (tanda panah hitam

42

Gambar 2.9 Pria berusia 45 tahun dengan tuberculosis yang melibatkan vertebra
thoracalis. A. Gambaran posterior dari whole-body CT scan menunjukkan
peningkatan uptake radionuclide pada vertebra thoracalis bagian tengah dan bawah.
B. Axial single-photon emission CT scan menunjukkan keterlibatan corpus vertebra
dan meluas sampai bagian posterior (tanda panah) yang tidak tampak pada foto polos

Gambar 2.10 Laki-laki berusia 43 tahun dengan tuberculosis spinal. Pada CT scan
dengan kontras abdomen menunjuuka destruksi litik pada bagian anterior dari corpus
vertebra lumal I (tanda panah hitam) dan pembentukan abses pada paraspinal terdekat
dan psoas kanan (tanda panah putih)

43

Gambar 2.11 Laki-laki berusia 42 tahun dengan spondylitis tuberculosis.


Unenhanced CT scan dari spine menunjukkan destruksi dan fragmentasi dari corpus
vertebra lumbal I. Abses interosseosa meluas sampai ke bagian posterior (tanda
panah), menyebabkan perluasan minimal pada saccus thecal

Gambar 2.12 Laki-laki 33 tahun dengan spinal tuberculosis. Gambar A, Terdapat


penyengatan kontras pada CT-scan abdomen dengan teknik bone window
menunjukkan cloaca (panah) di bagian anterolateral dari corpus vertebrae thorax XII.
Gambar B, Gambaran CT-scan beberapa sentimeter di bagian caudal dari gambar A
menunjukkan abses besar pada muskulus psoas kiri yang disebabkan oleh dekompresi
spontan abses T12 intraosseous. Gambar C, CT-scan yang melalui bagian bawah dada
menunjukkan efusi pleura kiri yang besar dan atelektasis lobus bawah kiri. Efusi ini
disebabkan oleh perluasan cephalic dari rupture dan abses paraspinal ke dalam rongga
pleura

44

.
Gambar 2.13 Gambar 6, laki-laki usia 43 tahun dengan spinal tuberculosis.
Penyengatan kontras CT-scan abdomen menunjukkan destruksi litik dari bagian
anterior corpus vertebrae lumbal I (panah hitam) dan pembentukan abses di psoas
kanan dan paraspinal. Gambar 7, laki-laki 42 tahun dengan spondilitis tuberkulosa.
CT-scan tanpa penyengatan spina menunjukkan destruksi dan fragmentasi dari corpus
vertebrae lumbal I. Terdapat perluasan posterior dari abses intraosseus (panah) yang
menghasilkan gangguan ringan pada saccus thecal

45

DAFTAR PUSTAKA

1.

Anonim. 2011. Tuberkulosis dan Gambaran Radiologisnya. Available from


http://www.scribd.com/doc/47073593/TUBERKULOSIS-DAN-GAMBARANRADIOLOGIS-NYA. Accessed on October 13rd, 2015.

2. Alsagaff, Hood, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Departmen Ilmu Penyakit Paru
Surabaya: FK UNAIR.
3. Burrill, Joshua et al. 2007. Tuberkulosis: A Radiologic Review. Available from http://intlradiographics.rsna.org/content/27/5/1255.full. Accessed on October 13rd, 2015..
4. Curry International Tuberkulosis Center. 2011. Basic Chest Radiology for The TB
Clinician.
Available
from
http://www.curryTBcenter.ucsf.edu/TBradiology/docs/TB_radiology_basic_presentati
on_slides.ppt. Accessed on October 13rd, 2015..
5. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan
Pertama. Jakarta: Depkes RI.
6. Alfarisi. 2011. Patogenesis ,Patofisiologi , Stadium , dan Derajat Klasifikasi Spondilitis
Tuberkulosa. (Online), (http://doc- alfarisi.blogspot.com/2011/04/patogenesispatofisiologi-stadium-dan.html. Accessed October 13rd, 2015.
7.

Craig,

Michael. 2009. Potts Disease: Tuberculous Spondylitis.


(www.med.unc.edu/.../3.30.09%20Craig.%20Pott's%20Dz.pdf.
October 13rd, 2015.

(Online),
Accessed

8. Danchaivijitr, N et all. 2007. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous


Spondylitis.
(Online),
(www.si.mahidol.ac.th/th/publication/2007/Vol90_No.8_1581_3140.pdf.
Accessed October 13rd, 2015.
9.
10.

Heftiet

all.
2007.
Pediatric
Orthopedic
in
Practice.
(Online),
(http://books.google.co.id/books?id. Accessed October 13rd, 2015

Hidalgo.
2006.
Pott
Disease
(Tuberculous
Spondylitis).
(Online),
(http://www.emedicine.com/med/infecMEDICAL_TOPICS.htm Accessed October
13rd, 2015.

46

Anda mungkin juga menyukai