Anda di halaman 1dari 77

http://hpeq.dikti.go.id/v2/images/Produk/Draf-Final-Lampiran-3.-DaftarKetrampilan-Klinis-rev16mei.

pdf
OSCE
STASE SARAF

SARAF KRANIAL DAN SARAF SPINAL


A.

Pengertian
Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadar dan sistem saraf tak
sadar (sistem saraf otonom).
Saraf perifer ( saraf sadar ) di bagi menjadi 2 yaitu :
1.
Saraf cranial :
Sistem ini terdiri dari jaringan saraf yang berada dibagian luar otak
dan medulla spinalis. Sistem ini juga mencakup saraf kranial yang
berasal dari otak, saraf spinal, yang berasal dari medulla spinalis dan
ganglia serta reseptor sensorik yang berhubungan.
merupakan bagian dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf, 3
pasang memiliki jenis sensori (saraf I, II, VIII); 5 pasang jenis motorik
(saraf III, IV, VI, XI, XII) dan 4 pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX,
X). Pasangan saraf-saraf ini diberi nomor sesuai urutan dari depan
hingga belakang, Saraf-saraf ini terhubung utamanya dengan struktur
yang
ada
di kepala danleher manusia
seperti mata, hidung, telinga, mulut dan lidah. Pasangan I dan II
mencuat dari otak besar, sementara yang lainnya mencuat
dari batang otak.
Terdapat 12 pasang syaraf cranial yaitu:
a.
SK I (olfactorius) Adalah saraf sensorik
Fungsi : penciuman , Sensori Menerima rangsang dari hidung dan
menghantarkannya ke otak untuk diproses sebagai sensasi bau II
Mekanisme : Sistem olfaktorius dimulai dengan sisi yang menerima
rangsangan olfaktorius Saraf ini merupakan saraf sensorik murni yang
serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan
menembus area kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di
bulbus olfaktorius, dari sini, traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus
frontal dan berakhir di lobus temporal bagian medial sisi yang sama.
b.

SK II (Opticus) Adalah saraf sensorik


Fungsi : Penglihatan, input refleks fokusing dan konstriksi pupil di
limbic,Sensori Menerima rangsang dari mata dan menghantarkannya
ke otak untuk diproses sebagai persepsi visual III
Mekanisme : Saraf Optikus merupakan saraf sensorik murni yang
dimulai di retina. Serabut-serabut saraf ini, ini melewati foramen
optikum di dekat arteri optalmika dan bergabung dengan saraf dari sisi
lainnya pada dasar otak untuk membentuk kiasma optikum, Serabut-

serabut dari lapangan visual temporal (separuh bagian nasal retina)


menyilang kiasma, sedangkan yang berasal dari lapangan visual nasal
tidak menyilang. Serabut-serabut untuk indeks cahaya yang berasal
dari kiasma optikum berakhir di kolikulus superior, dimana terjadi
hubungan dengan kedua nuklei saraf okulomotorius. Sisa serabut yang
meninggalkan kiasma berhubungan dengan penglihatan dan berjalan
di dalam traktus optikus menuju korpus genikulatum lateralis. Dari sini
serabut-serabut yang berasal dari radiasio optika melewati bagian
posterior kapsula interna dan berakhir di korteks visual lobus oksipital.
Dalam perjalanannya serabut-serabut tersebut memisahkan diri
sehingga serabut-serabut untuk kuadran bawah melalui lobus parietal
sedangkan untuk kuadaran atas melalui lobus temporal. Akibat dari
dekusasio serabut-serabut tersebut pada kiasma optikum serabutserabut yang berasal dari lapangan penglihatan kiri berakhir di lobus
oksipital kanan dan sebaliknya.
c.

d.

SK III (Okulomotorius) Adalah saraf motorik


Fungsi : Pergerakan bola mata elevasi alis, konstriksi pupil dan
memfokuskan lensa, Saraf ini mengontrol sebagian besar gerakan
mata, konstriksi pupil, dan mempertahankan terbukanya kelopak mata
(saraf kranialIV dan VI juga membantu pengontrolan gerakan mata.)

SK IV (Trochlearis) Adalah saraf motorik


Fungsi: Pergerakan bola mata ke bawah
e.
SK V (Trigeminus) Adalah saraf motorik dan saraf sensorik
Fungsi :
1)
oV1(Syaraf optalmik) adalah saraf sensorik
fungsi : input dari kornea, rongga hidung bagian atas, kulit
kepala bagian frontal, dahi, bagian atas alis, konjungtiva kelenjar
air mata
2)
oV2 (Syaraf maksilari) adalah saraf sensorik
fungsi : input dari dagu, bibir atas, gigi atas, mukosa rongga
hidung, palatum, faring
3)
oV3 (Syaraf Mandibular)adalah saraf motorik dan sensorik
fungsi :
a)
sensorik : input dari lidah (bukan pengecapan), gigi
bawah, kulit di bawah dagu
b)
motorik : mengunyah
f.
SK VI (Abdusen) Adalah saraf motorik
Fungsi : Pergerakan mata ke lateral
g.
SK VII (Fasialis) Adalah saraf motorik dan sensorik
1)
Fungsi :
a)
Sensorik: Menerima rangsang dari bagian anterior lidah
untuk diproses di otak sebagai sensasi rasa
b)
Motorik: Mengendalikan otot wajah untuk menciptakan
ekspresi wajah
2)
Mekanisme :

Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik dan fungsi sensorik fungsi


motorik berasal dari Nukleus motorik yang terletak pada bagian
ventrolateral dari tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata.
Fungsi sensorik berasal dari Nukleus sensorik yang muncul bersama
nukleus motorik dan saraf vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral
ke dalam kanalis akustikus interna.Serabut motorik saraf fasialis
mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari otot orbikularis
okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot stapedius, otot
stilohioideus, otot digastriktus posterior serta otot platisma. Serabut
sensorik menghantar persepsi pengecapan bagian anterior lidah.
h.

SK VIII(Vestibulocochlearis): Adalah saraf sensorik


1)
Fungsi : Vestibular untuk keseimbangan, cochlearis untuk
pendengaran
2)
Mekanisme :
Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabutserabut aferen yang mengurusi pendengaran dan vestibuler yang
mengandung
serabut-serabut
aferen
yang
mengurusi
keseimbangan. Serabut-serabutuntuk pendengaran berasal dari
organ corti dan berjalan menuju inti koklea di pons, dari sini
terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan
kemudian menuju girus superior lobus temporalis. Serabutserabut untuk keseimbangan mulai dari utrikulus dan kanalis
semisirkularis dan bergabung dengan serabut-serabut auditorik di
dalam kanalis fasialis. Serabut-serabut ini kemudian memasuki
pons, serabut vestibutor berjalan menyebar melewati batang dan
serebelum.

i.

SK IX(Glossofaringeus) Adalah saraf motorik dan sensorik,


1)
Fungsi :
a)
Motoris : membantu menelan
b)
Sensoris : Menerima rangsang dari bagian posterior lidah untuk
diproses di otak sebagai sensasi rasa
2)
Mekanisme :
Saraf Glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan
asesorius pada waktu meninggalkan kranium melalui foramen
tersebut, saraf glosofaringeus mempunyai dua ganglion, yaitu
ganglion intrakranialis superior dan ekstrakranialis inferior.
Setelah melewati foramen, saraf berlanjut antara arteri karotis
interna dan vena jugularis interna ke otot stilofaringeus. Di antara
otot ini dan otot stiloglosal, saraf berlanjut ke basis lidah dan
mempersarafi mukosa faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah.

j.
1)

SK X (vagus) Adalah saraf motorik dan sensorik


Fungsi :
Sensori:
Menerima
rangsang
dari
Motorik: Mengendalikan organ-organ dalam XI
2)
Mekanisme :

organ

dalam

Nervus vagus meninggalkan anterolateral bagian atas medula


oblongata sebagai rangkaian dalam jalur oliva dan pedunculus
serebelaris inferior. Serabut saraf meninggalkan tengkorak melalui
foramen jugulare. Nervus vagus memiliki dua ganglia sensorik, yaitu
ganglia superior dan ganglio inferior. Nervus vagus kanan dan kiri
akan masuk rongaa toraks dan berjalan di posterior radix paru kanan
untuk ikut membentuk plexus pulmonalis. Selanjutnya, nervus fagus
berjalan ke permukaan posterior esofagus dan ikut membentuk plexus
esogafus. Nervus fagus kanan kemudian akan didistrubusikan ke
permukaan posterior gaster melalui cabang celiaca yang besar ke
duodenum, hepar, ginjal, dan usus halus serta usus besar sampai
sepertiga kolon transversum.
k.
1)

SK XI(Aksesorius) Adalah saraf motorik


Fungsi
:
Motorik: Mengendalikan pergerakan kepal
2)
Saraf aksesoris adalah saraf motorik yang mempersarafi otot
sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius, otot
sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke samping dan
otot trapezius memutar skapula bila lengan diangkat ke atas.
3)
Mekanisme :
Nervus asesoris merupakan saraf motorik yang dibentuk oleh
gabungan radix cranialis dan radix spinalis. Radix spinalis berasal dari
C1-C5 dan masuk ke dalam tengkorak melalui foramen magnum,
bersatu dengan saraf kranial membentuk nervus asesoris. Nervus
asesoris ini kemudian keluar dari tengkorak melalui foramen jugulare
dan kembali terpisah, saraf spinalnya akan menuju otot
sternocleidomastoid dan trapezius di leher yang berfungsi untuk
menggerakkan leher dan kepala, sedangkan saraf kranialnya akan
bersatu dengan vagus melakukan fungsi motorik brakial di faring,
laring, dan palate.
l.
SK XII(Hipoglosus) Adalah saraf motorik
Fungsi : Pergerakan lidah saat bicara, mengunyah.
2.

a)

b)
c)
d)
e)

Saraf spinal :
Sistem saraf spinal (tulang belakang) berasal dari arah dorsal,
sehingga sifatnya sensorik. Berdasarkan asalnya, saraf sumsum tulang
belakang yang berjumlah 31 dibedakan menjadi:
8 pasang saraf leher (saraf cervical)
Meliputi : C menunjukkan sekmen T,L,S,Co
(1)
Pleksus servikal berasal dari ramus anterior saraf spinal C1 C4
(2)
Leksus brakial C5 T1 / T2 mempersarafi anggota bagian atas,
saraf yang mempersarafi anggota bawah L2 S3.
12 pasang saraf punggung (saraf thorax)
5 pasang saraf pinggang (saraf lumbar)
5 pasang saraf pinggul (saraf sacral)
1 pasang saraf ekor (saraf coccyigeal).

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Otot otot representative dan segmen segmen spinal yang


bersangkutan serta persarafannya:
Otot bisep lengan C5 C6
Otot trisep C6 C8
Ototbrakial C6 C7
Otot intrinsic tangan C8 T1
Susunan otot dada T1 T8
Otot abdomen T6 T12
Otot quadrisep paha L2 L4
Otot gastrok nemius reflek untuk ektensi kaki L5 S2

Kemudian diantara beberapa saraf, ada yang menjadi satu ikatan


atau gabungan(pleksus)membentuk jaringan urat saraf.Pleksusterbagi
menjadi 3 macam,yaitu:
1)
Plexus cervicalis (gabungan urat saraf leher )
2)
Plexus branchialis (gabungan urat saraf lengan)
3)
Plexus lumbo sakralis (gabungan urat saraf punggung dan
pinggang)
Setiap saraf spinal keluar dari sumsum tulang belakang dengan dua
buah akar, yaitu akar depan (anterior) dan akar belakang (posterior).
Setiap akar anterior dibentuk oleh beberapa benang akar yang
meninggalkan sumsum tulang belakang pada satu alur membujur dan
teratur dalam satu baris. Tempat alaur tersebut sesuai dengan tempat
tanduk depan terletak paling dekat di bawah permukaan sumsum
tulang belakang. Benang-benang akar dari satu segmen berhimpun
untuk membentuk satu akar depan. Akar posterior pun terdiri atas
benang-benang akar serupa, yang mencapai sumsum tulang belakang
pada satu alur di permukaan belakang sumsum tulang belakang.
Setiap akar belakang mempunyai sebuah kumpulan sel saraf yang
dinamakan simpulsaraf spinal. Akar anterior dan posterior bertaut satu
sama lain membentuk saraf spinal yang meninggalkan terusan tulang
belakang melalui sebuah lubang antar ruas tulang belakang dan
kemudian segera bercabang menjadi sebuah cabang belakang, cabang
depan, dan cabang penghubung.
Cabang-cabang belakang sraf spinal mempersarafi otot-otot
punggung sejati dan sebagian kecil kulit punggung. Cabang-cabang
depan mempersarafi semua otot kerangka batang badan dan anggotaanggota gerak serta kulit tubuh kecuali kulit punggung. Cabangcabang depan untuk persarafan lengan membentuk suatu anyaman
(plexus), yaitu anyaman lengan (plexus brachialis). Dari anyaman
inilah dilepaskan beberapa cabang pendek ke arah bahu dan ketiak,
dan beberapa cabang panjang untuk lengan dan tangan. Demikian
pula dibentuk oleh cabang-cabang depan untuk anggota-anggota
gerak bawah dan untuk panggul sebuah anyaman yang disebut plexus
lumbosakralis, yang juga mengirimkan beberapa cabang pendek ke
arah pangkal paha dan bokong, serta beberapa cabang panjang untuk

tungkai atas dan tungkai bawah. Yang terbesar adalah saraf tulang
duduk. Saraf ini terletak di bidang posterior tulang paha.

BAB II
MATERI
2.1.
Konsep Teori
Pemeriksaan fisik merupakan peninjauan dari ujung rambut sampai ujung
kaki pada setiap system tubuh yang memberikan informasi objektif
tentang klien dan memungkinkan perawat untuk mebuat penilaian klinis.
Keakuratan pemeriksaan fisik mempengaruhi pemilihan terapi yang
diterima klien dan penetuan respon terhadap terapi tersebut.(Potter dan
Perry, 2005)
Pemeriksaan fisik dalah pemeriksaan tubuh klien secara keseluruhan atau
hanya bagian tertentu yang dianggap perlu, untuk memperoleh data yang
sistematif dan komprehensif, memastikan/membuktikan hasil anamnesa,
menentukan masalah dan merencanakan tindakan keperawatan yang
tepat bagi klien. ( Dewi Sartika, 2010)
Adapun teknik-teknik pemeriksaan fisik yang digunakan adalah:
1. 1.

Inspeksi

Inspeksi adalah pemeriksaan dengan menggunakan indera penglihatan,


pendengaran dan penciuman. Inspeksi umum dilakukan saat pertama kali
bertemu pasien. Suatu gambaran atau kesan umum mengenai keadaan
kesehatan yang di bentuk. Pemeriksaan kemudian maju ke suatu inspeksi
local yang berfokus pada suatu system tunggal atau bagian dan biasanya
mengguankan alat khusus seperto optalomoskop, otoskop, speculum dan
lain-lain. (Laura A.Talbot dan Mary Meyers, 1997)

Inspeksi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat bagian


tubuh yang diperiksa melalui pengamatan (mata atau kaca pembesar).
(Dewi Sartika, 2010)
Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh meliputi : ukuran tubuh, warna,
bentuk, posisi, kesimetrisan, lesi, dan penonjolan/pembengkakan.
setelah inspeksi perlu dibandingkan hasil normal dan abnormal bagian
tubuh satu dengan bagian tubuh lainnya.
2. Palpasi
Palpasi adalah pemeriksaan dengan menggunakan indera peraba dengan
meletakkan tangan pada bagian tubuh yang dapat di jangkau tangan.
Laura A.Talbot dan Mary Meyers, 1997)
Palpasi adalah teknik pemeriksaan yang menggunakan indera peraba ;
tangan dan jari-jari, untuk mendeterminasi ciri2 jaringan atau organ
seperti: temperatur, keelastisan, bentuk, ukuran, kelembaban dan
penonjolan.(Dewi Sartika,2010)
Hal yang di deteksi adalah suhu, kelembaban, tekstur, gerakan, vibrasi,
pertumbuhan atau massa, edema, krepitasi dan sensasi.
3. Perkusi
Perkusi adalah pemeriksaan yang meliputi pengetukan permukaan tubuh
unutk menghasilkan bunyi yang akan membantu dalam membantu
penentuan densitas, lokasi, dan posisi struktur di bawahnya.(Laura
A.Talbot dan Mary Meyers, 1997)
Perkusi adalah pemeriksaan dengan jalan mengetuk bagian permukaan
tubuh tertentu untuk membandingkan dengan bagian tubuh lainnya
(kiri/kanan) dengan menghasilkan suara, yang bertujuan untuk
mengidentifikasi batas/ lokasi dan konsistensi jaringan. Dewi Sartika,
2010)
4. Auskultasi
Auskultasi adalah tindakan mendengarkan bunyi yang ditimbulkan oleh
bermacam-macam organ dan jaringan tubuh.(Laura A.Talbot dan Mary
Meyers, 1997)
Auskultasi Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara
mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan
alat yang disebut dengan stetoskop. Hal-hal yang didengarkan adalah :
bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus.(Dewi Sartika, 2010)
Dalam melakukan pemeriksaan fisik, ada prinsip-prinsip yang harus di
perhatikan, yaitu sebagai berikut:
1. Kontrol infeksi
Meliputi mencuci tangan, memasang sarung tangan steril, memasang
masker, dan membantu klien mengenakan baju periksa jika ada.
1. Kontrol lingkungan
Yaitu memastikan ruangan dalam keadaan nyaman, hangat, dan cukup
penerangan untuk melakukan pemeriksaan fisik baik bagi klien maupun
bagi pemeriksa itu sendiri. Misalnya menutup pintu/jendala atau skerem
untuk menjaga privacy klien

1. Komunikasi (penjelasan prosedur)


2. Privacy dan kenyamanan klien
3. Sistematis dan konsisten ( head to toe, dr eksternal ke internal, dr
normal ke abN)
4. Berada di sisi kanan klien
5. Efisiensi
6. Dokumentasi
2.2.
Tujuan Pemeriksaan Fisik
Secara umum, pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan:
1. Untuk mengumpulkan data dasar tentang kesehatan klien.
2. Untuk menambah, mengkonfirmasi, atau menyangkal data yang
diperoleh dalam riwayat keperawatan.
3. Untuk mengkonfirmasi dan mengidentifikasi diagnosa keperawatan.
4. Untuk membuat penilaian klinis tentang
kesehatan klien dan penatalaksanaan.

perubahan

status

5. Untuk mengevaluasi hasil fisiologis dari asuhan.


Namun demikian, masing-masing pemeriksaan juga memiliki tujuan
tertentu yang akan di jelaskan nanti di setiap bagian tibug yang akan di
lakukan pemeriksaan fisik.
2.3.
Manfaat Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik memiliki banyak manfaat, baik bagi perawat sendiri,
maupun bagi profesi kesehatan lain, diantaranya:
1. Sebagai data untuk membantu
diagnose keperawatan.

perawat

dalam

menegakkan

2. Mengetahui masalah kesehatan yang di alami klien.


3. Sebagai dasar untuk memilih intervensi keperawatan yang tepat
4. Sebagai data untuk mengevaluasi hasil dari asuhan keperawatan
2.4.
Indikasi
Mutlak dilakukan pada setiap klien, tertama pada:

1. klien yang baru masuk ke tempat pelayanan kesehatan untuk di


rawat.
2. Secara rutin pada klien yang sedang di rawat.
3. Sewaktu-waktu sesuai kebutuhan klien
2.5.
Prosedur pemeriksaan fisik
Persiapan
1. Alat
Meteran,
Timbangan
BB,
Penlight,
Steteskop,
Tensimeter/spighnomanometer, Thermometer, Arloji/stopwatch, Refleks
Hammer, Otoskop, Handschoon bersih ( jika perlu), tissue, buku catatan
perawat.
Alat diletakkan di dekat tempat tidur klien yang akan di periksa.

1. Lingkungan
Pastikan ruangan dalam keadaan nyaman, hangat, dan cukup
penerangan. Misalnya menutup pintu/jendala atau skerem untuk menjaga
privacy klien
1. Klien (fisik dan fisiologis)
Bantu klien mengenakan baju periksa jika ada dan anjurkan klien untuk
rileks.
Prosedur Pemeriksaan
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur
3. Lakukan pemeriksaan dengan berdiri di sebelah kanan klien
dan pasang handschoen bila di perlukan
4. Pemeriksaan umum meliputi : penampilan umum, status
mental dan nutrisi.
Posisi klien : duduk/berbaring
Cara : inspeksi
1. Kesadaran, tingkah laku, ekspresi wajah, mood. (Normal : Kesadaran
penuh, Ekspresi sesuai, tidak ada menahan nyeri/ sulit bernafas)

2. Tanda-tanda stress/ kecemasan (Normal :)Relaks, tidak ada tandatanda cemas/takut)


3. Jenis kelamin
4. Usia dan Gender
5. Tahapan perkembangan
6. TB, BB ( Normal : BMI dalam batas normal)
7. Kebersihan Personal (Normal : Bersih dan tidak bau)
8. Cara berpakaian (Normal : Benar/ tidak terbalik)
9. Postur dan cara berjalan
10.
11.
12.
13.

Bentuk dan ukuran tubuh


Cara bicara. (Relaks, lancer, tidak gugup)
Evaluasi dengan membandingkan dengan keadaan normal.
Dokumentasikan hasil pemeriksaan.

1. Pengukuran tanda vital (Dibahas kelompok 2 lebih dalam)


Posisi klien : duduk/ berbaring
1. Suhu tubuh (Normal : 36,5-37,50c)
2. Tekanan darah (Normal : 120/80 mmHg)
3. Nadi
a)
Frekuensi = Normal : 60-100x/menit ; Takikardia: >100 ; Bradikardia:
<6
b)
Keteraturan= Normal : teratur
c)
Kekuatan= 0: Tidak ada denyutan; 1+:denyutan kurang teraba; 2+:
Denyutan mudah teraba, tak mudah lenyap; 3+: denyutan kuat dan
mudah teraba
1. Pernafasan
a)
b)
c)
d)

Frekuensi: Normal= 15-20x /menit; >20: Takipnea; <15 Bradipnea


Keteraturan= Normal : teratur
Kedalaman: dalam/dangkal
Penggunaan otot bantu pernafasan: Normal : tidak ada

setelah diadakan pemeriksaan tanda-tanda vital evaluasi hasil yang di


dapat
dengan
membandikan
dengan
keadaan
normal,
dan
dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat.
1. Pemeriksaan kulit dan kuku
Tujuan
a)
Mengetahui kondisi kulit dan kuku
b)
Mengetahui perubahan oksigenasi, sirkulasi, kerusakan jaringan
setempat, dan hidrasi.
Persiapan
a)
Posisi klien: duduk/ berbaring
b)
Pencahayaan yang cukup/lampu
c)
Sarung tangan (utuk lesi basah dan berair)
Prosedur Pelaksanaan
1. a.

Pemeriksaan kulit
1. 1.
Inspeksi : kebersihan, warna, pigmentasi,lesi/perlukaan,
pucat, sianosis, dan ikterik.

Normal: kulit tidak ada ikterik/pucat/sianosis.


1. 2.
Palpasi : kelembapan, suhu permukaan kulit, tekstur,
ketebalan, turgor kulit, dan edema.
Normal: lembab, turgor baik/elastic, tidak ada edema.
setelah diadakan pemeriksaan kulit dan kuku evaluasi hasil yang di dapat
dengan membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.
1. b.

Pemeriksaan kuku

2. Inspeksi : kebersihan, bentuk, dan warna kuku


Normal: bersih, bentuk normaltidak ada tanda-tanda jari tabuh (clubbing
finger), tidak ikterik/sianosis.
1. Palpasi : ketebalan kuku dan capillary refile ( pengisian kapiler ).
Normal: aliran darah kuku akan kembali < 3 detik.
setelah diadakan pemeriksaan kuku evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.
1. Pemeriksaan kepala, wajah, mata, telinga, hidung, mulut
dan leher

Posisi klien : duduk , untuk pemeriksaan wajah sampai dengan leher


perawat berhadapan dengan klien
1. a.

Pemeriksaan kepala

Tujuan
a)
Mengetahui bentuk dan fungsi kepala
b)
Mengetahui kelainan yang terdapat di kepala
Persiapan alat
a)
Lampu
b)
Sarung tangan (jika di duga terdapat lesi atau luka)
Prosedur Pelaksanaan
1. 1.
Inspeksi : ukuran lingkar kepala, bentuk, kesimetrisan,
adanya lesi atau tidak, kebersihan rambut dan kulit kepala, warna,
rambut, jumlah dan distribusi rambut.
Normal: simetris, bersih, tidak ada lesi, tidak menunjukkan tanda-tanda
kekurangan gizi(rambut jagung dan kering)
1. 2.
Palpasi : adanya pembengkakan/penonjolan, dan tekstur
rambut.
Normal: tidak ada penonjolan /pembengkakan, rambut lebat dan
kuat/tidak rapuh.
setelah diadakan pemeriksaan kepala evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat.
1. b.

Pemeriksaan wajah

2. Inspeksi : warna kulit, pigmentasi, bentuk, dan kesimetrisan.


Normal: warna sama dengan bagian tubuh lain,
simetris.

tidak pucat/ikterik,

1. Palpasi : nyeri tekan dahi, dan edema, pipi, dan rahang


Normal: tidak ada nyeri tekan dan edema.
setelah diadakan pemeriksaan wajah evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.
1. c.

Pemeriksaan mata

Tujuan
a)
Mengetahui bentuk dan fungsi mata
b)
Mengetahui adanya kelainan pada mata.

Persiapan alat
a)
Senter Kecil
b)
Surat kabar atau majalah
c)
Kartu Snellen
d)
Penutup Mata
e)
Sarung tangan
Prosedur Pelaksanaan
1. Inspeksi: bentuk, kesimestrisan, alis mata, bulu mata, kelopak
mata, kesimestrisan, bola mata, warna konjunctiva dan sclera
(anemis/ikterik), penggunaan kacamata / lensa kontak, dan respon
terhadap cahaya.
Normal: simetris mata kika, simetris bola mata kika, warna konjungtiva
pink, dan sclera berwarna putih.
Tes Ketajaman Penglihatan
Ketajaman penglihatan seseorang mungkin berbeda dengan orang
lain. Tajam penglihatan tersebut merupakan derajad persepsi deteil dan
kontour beda. Visus tersebut dibagi dua yaitu:
1). Visus sentralis.
Visus sentralis ini dibagi dua yaitu visus sentralis jauh dan visus sentralis
dekat.
1. visus centralis jauh merupakan ketajaman penglihatan untuk
melihat benda benda yang letaknya jauh. Pada keadaan ini mata
tidak melakukan akomodasi. (EM. Sutrisna, dkk, hal 21).
1. virus centralis dekat yang merupakan ketajaman penglihatan
untuk melihat benda benda dekat misalnya membaca,
menulis dan lain lain. Pada keadaan ini mata harus akomodasi
supaya bayangan benda tepat jatuh di retina. (EM. Sutrisna,
dkk, hal 21).
2). Visus perifer
Pada visus ini menggambarkan luasnya medan penglihatan dan diperiksa
dengan perimeter. Fungsi dari visus perifer adalah untuk mengenal
tempat suatu benda terhadap sekitarnya dan pertahanan tubuh dengan
reaksi menghindar jika ada bahaya dari samping. Dalam klinis visus
sentralis jauh tersebut diukur dengan menggunakan grafik huruf Snellen
yang dilihat pada jarak 20 feet atau sekitar 6 meter. Jika hasil
pemeriksaan tersebut visusnya e20/20 maka tajam penglihatannya
dikatakan normal dan jika Visus <20/20 maka tajam penglihatanya
dikatakan kurang Penyebab penurunan tajam peglihatan seseorang
bermacam macam, salah satunya adalah refraksi anomaly/kelainan
pembiasan.
prosedur pemeriksaan visus dengan menggunakan peta snellen
yaitu:

Memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud tujuan pemeriksaan.

Meminta pasien duduk menghadap kartu Snellen dengan jarak 6


meter.

Memberikan penjelasan apa yang harus dilakukan (pasien diminta


mengucapkan apa yang akan ditunjuk di kartu Snellen) dengan
menutup salah satu mata dengan tangannya tanpa ditekan (mata
kiri ditutup dulu).

Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien menyebutkan


simbol di kartu Snellen dari kiri ke kanan, atas ke bawah.

Jika pasien tidak bisa melihat satu simbol maka diulangi lagi dari
barisan atas. Jika tetap maka nilai visus oculi dextra = barisan
atas/6.

Jika pasien dari awal tidak dapat membaca simbol di Snellen chart
maka pasien diminta untuk membaca hitungan jari dimulai jarak 1
meter kemudian mundur. Nilai visus oculi dextra = jarak pasien
masih bisa membaca hitungan/60.

Jika pasien juga tidak bisa membaca hitungan jari maka pasien
diminta untuk melihat adanya gerakan tangan pemeriksa pada jarak
1 meter (Nilai visus oculi dextranya 1/300).

Jika pasien juga tetap tidak bisa melihat adanya gerakan tangan,
maka pasien diminta untuk menunjukkan ada atau tidaknya sinar
dan arah sinar (Nilai visus oculi dextra 1/tidak hingga). Pada
keadaan tidak mengetahui cahaya nilai visus oculi dextranya nol.

Pemeriksaan dilanjutkan dengan menilai visus oculi sinistra dengan


cara yang sama.

Melaporkan hasil visus oculi sinistra dan dextra. (Pada pasien


vos/vodnya x/y artinya mata kanan pasien dapat melihat sejauh x
meter, sedangkan orang normal dapat melihat sejauh y meter.

Pemeriksaan Pergerakan Bola Mata


Pemeriksaan pergeraka bola mata dilakukan dengan cara CoverUncover Test / Tes Tutup-Buka Mata
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi adanya Heterophoria.
Heterophoria berhubungan dengan kelainan posisi bola mata, dimana
terdapat penyimpangan posisi bolamata yang disebabkan adanya
gangguan keseimbangan otot-otot bolamata yang sifatnya tersembunyi
atau latent. Ini berarti mata itu cenderung untuk menyimpang atau juling,
namun tidak nyata terlihat.

Pada phoria, otot-otot ekstrinsik atau otot luar bola mata berusaha lebih
tegang atau kuat untuk menjaga posisi kedua mata tetap sejajar.
Sehingga rangsangan untuk berfusi atau menyatu inilah menjadi faktor
utama yang membuat otot -otot tersebut berusaha extra atau lebih, yang
pada akhirnya menjadi beban bagi otot-otot tersebut, wal hasil akan
timbul rasa kurang nyaman atau Asthenopia.
Dasar pemeriksaan Cover-Uncover Test / Tes Tutup-Buka Mata :

Pada orang yang Heterophoria maka apabila fusi kedua mata


diganggu (menutup salah satu matanya dengan penutup/occluder,
atau dipasangkan suatu filter), maka deviasi atau peyimpangan
laten atau tersembunyi akan terlihat.

Pemeriksa memberi perhatian kepada mata yang berada dibelakang


penutup.

Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari luar


(temporal) kearah dalam (nasal) pada mata yang baru saja di tutup,
berarti terdapat kelainan EXOPHORIA.

Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari dalam


(nasal) luar kearah (temporal)pada mata yang baru saja di tutup,
berarti terdapat kelainan ESOPHORIA.

Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari atas


(superior) kearah bawah (inferior) pada mata yang baru saja di
tutup, berarti terdapat kelainan HYPERPHORIA.

Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari bawah


(inferior) kearah atas (superior) pada mata yang baru saja di tutup,
berarti terdapat kelainan HYPORPHORIA.

Alat/sarana yang dipakai:

Titik/lampu untuk fiksasi

Jarak pemeriksaan :
o Jauh : 20 feet (6 Meter)
o Dekat : 14 Inch (35 Cm)

Penutup/Occluder

Prosedur Pemeriksaan :

1. Minta pasien untuk selalu melihat dan memperhatikan titik fiksasi,


jika objek jauh kurang jelas, maka gunakan kacamata koreksinya.
2. Pemeriksa menempatkan dirinya di depan pasien sedemikian rupa,
sehingga apabila terjadi gerakan dari mata yang barusa saja ditutup
dapat di lihat dengan jelas atau di deteksi dengan jelas.
3. Perhatian dan konsentrasi pemeriksa selalu pada mata yang ditutup.
4. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari luar
(temporal) kearah dalam (nasal) pada mata yang baru saja di tutup,
berarti
terdapat
kelainan EXOPHORIA. Exophoria
dinyatakan
dengan inisial = X (gambar D)
5. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari dalam
(nasal) luar kearah (temporal)pada mata yang baru saja di tutup,
berarti
terdapat
kelainan ESOPHORIA.Esophoria
dinyatakan
dengan inisial = E (gambar C)
6. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari atas
(superior) kearah bawah (inferior)) pada mata yang baru saja di
tutup,
berarti
terdapat
kelainan HYPERPHORIA.Hyperphoria
dinyatakan dengan inisial = X (gambar E)
7. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari bawah
(inferior) kearah atas (superior) pada mata yang baru saja di tutup,
berarti terdapat kelainan HYPOPHORIA.Hypophoria dinyatakan
dengan inisial = X (gambar F)
8. Untuk mendeteksi Heterophoria yang kecil, seringkali kita tidak
dapat mengenali adanya suatu gerakan, seolah kondisi mata tetap
di tempat. Untuk itu metode ini sering kita ikuti dengan metode
tutup mata bergantian (Alternating Cover Test).
Setelah diadakan pemeriksaan mata evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.
1. d.

Pemeriksaan telinga

Tujuan
Mengetahui keadaan telinga luar, saluran telinga, gendang telinga, dan
fungsi pendengaran.
Persiapan Alat
a)
Arloji berjarum detik
b)
Garpu tala
c)
Speculum telinga
d)
Lampu kepala
Prosedur Pelaksanaan

1. Inspeksi : bentuk dan ukuran telinga, kesimetrisan, integritas,


posisi telinga, warna, liang telinga (cerumen/tanda-tanda infeksi),
alat bantu dengar..
Normal: bentuk dan posisi simetris kika, integritas kulit bagus, warna
sama dengan kulit lain, tidak ada tanda-tanda infeksi, dan alat bantu
dengar.
1. Palpasi : nyeri tekan aurikuler, mastoid, dan tragus
Normal: tidak ada nyeri tekan.
setelah diadakan pemeriksaan telinga evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.
Pemeriksaaan Telinga Dengan Menggunakan Garpu Tala
1. Pemeriksaan Rinne
1. Pegang agrpu tala pada tangkainya dan pukulkan ke telapak
atau buku jari tangan yang berlawanan.
2. Letakkan tangkai garpu tala pada prosesus mastoideus klien.
3. Anjurkan klien untuk memberi tahu pemeriksa jika ia tidak
merasakan getaran lagi.
4. Angkat garpu tala dan dengan cepat tempatkan di depan
lubang telinga klien 1-2 cm dengan posisi garpu tala parallel
terhadap lubang telinga luar klien.
5. Instruksikan klien untuk member tahu apakah ia masih
mendengarkan suara atau tidak.
6. Catat hasil pemeriksaan pendengaran tersebut.

1. Pemeriksaan Webber
1. Pegang garpu tala pada tangkainya dan pukulkan ke telapak
atau buku jari yang berlawanan.
2. Letakkan tangkai garpu tala di tengah puncak kepala klien .
3. Tanyakan pada klien apakah bunyi terdengar sama jelas pada
kedua telinga atau lebih jelas pada salah satu telinga.
4. Catat hasil pemeriksaan dengan pendengaran tersebut.

5. e.

Pemeriksan hidung dan sinus

Tujuan
a)
Mengetahui bentuk dan fungsi hidung
b)
Menentukan kesimetrisan struktur dan adanya inflamasi atau infeksi
Persiapan Alat
a)
Spekulum hidung
b)
Senter kecil
c)
Lampu penerang
d)
Sarung tangan (jika perlu)
Prosedur Pelaksanaan
1. 1.
Inspeksi : hidung eksternal (bentuk, ukuran, warna,
kesimetrisan), rongga, hidung ( lesi, sekret, sumbatan, pendarahan),
hidung internal (kemerahan, lesi, tanda2 infeksi)
Normal: simetris kika, warna sama dengan warna kulit lain, tidak ada lesi,
tidak ada sumbatan, perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
1. 2.
Palpasi dan Perkusi frontalis dan, maksilaris
nyeri, dan septum deviasi)

(bengkak,

Normal: tidak ada bengkak dan nyeri tekan.


setelah diadakan pemeriksaan hidung dan sinus evaluasi hasil yang di
dapat
dengan
membandikan
dengan
keadaan
normal,
dan
dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
1. f.

Pemeriksaan mulut dan bibir

Tujuan
Mengetahui bentuk kelainan mulut
Persiapan Alat
a)
Senter kecil
b)
Sudip lidah
c)
Sarung tangan bersih
d)
Kasa
Prosedur Pelaksanaan
1. 1.
Inspeksi dan palpasi struktur luar : warna mukosa mulut
dan bibir, tekstur , lesi, dan stomatitis.
Normal: warna mukosa mulut dan bibir pink, lembab, tidak ada lesi dan
stomatitis.
1. 2.
Inspeksi
dan
palpasi
strukur
dalam :
lengkap/penggunaan gigi palsu, perdarahan/ radang
kesimetrisan, warna, posisi lidah, dan keadaan langit2.

gigi
gusi,

Normal: gigi lengkap, tidak ada tanda-tanda gigi berlobang atau


kerusakan gigi, tidak ada perdarahan atau radang gusi, lidah simetris,
warna pink, langit2 utuh dan tidak ada tanda infeksi.
Gigi lengkap pada orang dewasa berjumlah 36 buah, yang terdiri dari
16 buah di rahang atas dan 16 buah di rahang bawah. Pada anak-anak
gigi sudah mulai tumbuh pada usia enam bulan. Gigi pertama tumbuh
dinamakan gigi susu di ikuti tumbuhnya gigi lain yang disebut gigi sulung.
Akhirnya pada usia enam tahun hingga empat belas tahun, gigi tersebut
mulai tanggal dan dig anti gigi tetap.
Pada usia 6 bulan gigi berjumlah 2 buah (dirahang bawah), usia 7-8
bulan berjumlah 7 buah(2 dirahang atas dan 4 dirahang bawah) , usia 911 bulan berjumlah 8 buah(4 dirahang atas dan 4 dirahang bawah), usia
12-15 bulan gigi berjumlah 12 buah (6 dirahang atas dan 6 dirahang
bawah), usia 16-19 bulan berjumlah 16 buah (8 dirahang atas dan 8
dirahang bawah), dan pada usia 20-30 bulan berjumlah 20 buah (10
dirahang atas dan 10 dirahang bawah)
setelah diadakan pemeriksaan mulut dan bibir evaluasi hasil yang di
dapat
dengan
membandikan
dengan
keadaan
normal,
dan
dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
1. g.

Pemeriksaan leher

Tujuan
a)
Menentukan struktur integritas leher
b)
Mengetahui bentuk leher serta organ yang berkaitan
c)
Memeriksa system limfatik
Persiapan Alat
Stetoskop
Prosedur Pelaksanaan
1. 1.

Inspeksi leher: warna integritas, bentuk simetris.

Normal: warna sama dengan kulit lain, integritas kulit baik, bentuk
simetris, tidak ada pembesaran kelenjer gondok.
1. 2.

Inspeksi dan auskultasi arteri karotis: lokasi pulsasi

Normal: arteri karotis terdengar.


1. 3.
Inspeksi dan palpasi kelenjer tiroid (nodus/difus,
pembesaran,batas, konsistensi, nyeri, gerakan/perlengketan pada
kulit), kelenjer limfe (letak, konsistensi, nyeri, pembesaran), kelenjer
parotis (letak, terlihat/ teraba)
Normal: tidak teraba pembesaran kel.gondok, tidak ada nyeri, tidak ada
pembesaran kel.limfe, tidak ada nyeri.
1. 4.

Auskultasi : bising pembuluh darah.

Setelah diadakan pemeriksaan leher evaluasi hasil yang di dapat dengan


membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.
1. Pemeriksaan dada( dada dan punggung)
Posisi klien: berdiri, duduk dan berbaring
Cara/prosedur:
1. System pernafasan
Tujuan :
a)
Mengetahui bentuk, kesimetrisas, ekspansi, keadaan kulit, dan
dinding dada
b)
Mengetahui frekuensi, sifat, irama pernafasan,
c)
Mengetahui adanya nyeri tekan, masa, peradangan, traktil premitus
Persiapan alat
a)
Stetoskop
b)
Penggaris centimeter
c)
Pensil penada
Prosedur pelaksanaan
1. 1.
Inspeksi : kesimetrisan, bentuk/postur dada, gerakan nafas
(frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya pernafasan/penggunaan
otot-otot
bantu
pernafasan),
warna
kulit,
lesi,
edema,
pembengkakan/ penonjolan.
Normal: simetris, bentuk dan postur normal, tidak ada tanda-tanda
distress pernapasan, warna kulit sama dengan warna kulit lain, tidak
ikterik/sianosis, tidak ada pembengkakan/penonjolan/edema
1. 2.
Palpasi: Simetris, pergerakan dada, massa dan lesi, nyeri,
tractile fremitus.
(perawat berdiri dibelakang pasien, instruksikan pasien untuk
mengucapkan angka tujuh-tujuh atau enam-enam sambil melakukan
perabaan dengan kedua telapak tangan pada punggung pasien.)
Normal: integritas kulit baik, tidak ada nyeri tekan/massa/tanda-tanda
peradangan, ekspansi simetris, taktil vremitus cendrung sebelah kanan
lebih teraba jelas.
1. 3.
Perkusi: paru, eksrusi diafragma (konsistensi dan bandingkan
satu sisi dengan satu sisi lain pada tinggi yang sama dengan pola
berjenjang sisi ke sisi)
Normal: resonan (dug dug dug), jika bagian padat lebih daripada bagian
udara=pekak (bleg bleg bleg), jika bagian udara lebih besar dari bagian
padat=hiperesonan
(deng
deng
deng),
batas
jantung=bunyi
rensonan----hilang>>redup.

1. 4.
Auskultasi: suara nafas, trachea, bronchus, paru. (dengarkan
dengan menggunakan stetoskop di lapang paru kika, di RIC 1 dan 2,
di atas manubrium dan di atas trachea)
Normal: bunyi napas vesikuler, bronchovesikuler, brochial, tracheal.
Setelah diadakan pemeriksaan dada evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.
1. b.

System kardiovaskuler

Tujuan
a)
Mengetahui ketifdak normalan denyut jantung
b)
Mengetahui ukuran dan bentuk jantug secara kasar
c)
Mengetahui bunyi jantung normal dan abnormal
d)
Mendeteksi gangguan kardiovaskuler
Persiapan alat
a)
Stetoskop
b)
Senter kecil
Prosedur pelaksanaan
1. 1.
Inspeksi : Muka bibir, konjungtiva, vena jugularis, arteri
karotis
2. 2.

Palpasi: denyutan

Normal untuk inspeksi dan palpasi: denyutan aorta teraba.


1. 3.
Perkusi: ukuran, bentuk, dan batas jantung (lakukan dari arah
samping ke tengah dada, dan dari atas ke bawah sampai bunyi
redup)
Normal: batas jantung: tidak lebih dari 4,7,10 cm ke arah kiri dari garis
mid sterna, pada RIC 4,5,dan 8.
1. 4.
Auskultasi: bunyi jantung, arteri karotis. (gunakan bagian
diafragma dan bell dari stetoskop untuk mendengarkan bunyi
jantung. )
Normal: terdengar bunyi jantung I/S1 (lub) dan bunyi jantung II/S2 (dub),
tidak ada bunyi jantung tambahan (S3 atau S4).
Setelah diadakan pemeriksaan system kardiovaskuler evaluasi hasil yang
di dapat dengan membandikan dengan keadaan normal, dan
dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
1. c.
Tujuan

Dada dan aksila

a)
Mengetahui adanya masa atau ketidak teraturan dalam jaringan
payudara
b)
Mendeteksi awal adanya kanker payudara
Persiapan alat
a)
Sarung tangan sekali pakai (jika diperlukan)
Prosedur pelaksanaan
1. 1.

Inspeksi payudara: Integritas kulit

2. 2.
Palpasi payudara: Bentuk, simetris, ukuran, aerola, putting,
dan penyebaran vena
3. 3.
Inspeksi dan palpasi aksila: nyeri, perbesaran nodus limfe,
konsistensi.
Setelah diadakan pemeriksaan dadadan aksila evaluasi hasil yang di
dapat
dengan
membandikan
dengan
keadaan
normal,
dan
dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
1. Pemeriksaan Abdomen (Perut)
Posisi klien: Berbaring
Tujuan
a)
Mengetahui betuk dan gerakan-gerakan perut
b)
Mendengarkan suara peristaltic usus
c)
Meneliti tempat nyeri tekan, organ-organ dalam rongga perut
benjolan dalam perut.
Persiapan
a)
Posisi klien: Berbaring
b)
Stetoskop
c)
Penggaris kecil
d)
Pensil gambar
e)
Bntal kecil
f)
Pita pengukur
Prosedur pelaksanaan
1. 1.
Inspeksi : kuadran dan simetris, contour, warna kulit, lesi,
scar, ostomy, distensi, tonjolan, pelebaran vena, kelainan
umbilicus, dan gerakan dinding perut.
Normal: simetris kika, warna dengan warna kulit lain, tidak ikterik tidak
terdapat ostomy, distensi, tonjolan, pelebaran vena, kelainan umbilicus.
1. 2.
Auskultasi : suara peristaltik (bising usus) di semua kuadran
(bagian diafragma dari stetoskop) dan suara pembuluh darah dan
friction rub :aorta, a.renalis, a. illiaka (bagian bell).
Normal: suara peristaltic terdengar setiap 5-20x/dtk, terdengar denyutan
arteri renalis, arteri iliaka dan aorta.

1. 3.
Perkusi semua kuadran : mulai dari kuadran kanan atas
bergerak searah jarum jam, perhatikan jika klien merasa nyeri dan
bagaiman kualitas bunyinya.
2. 4.

Perkusi hepar: Batas

3. 5.

Perkusi Limfa: ukuran dan batas

4. 6.

Perkusi ginjal: nyeri

Normal: timpani, bila hepar dan limfa membesar=redup dan apabila


banyak cairan =hipertimpani
1. 7.
Palpasi semua kuadran (hepar, limfa, ginjal kiri dan kanan):
massa, karakteristik organ, adanya asistes, nyeri irregular, lokasi,
dan nyeri.dengan cara perawat menghangatkan tangan terlebih
dahulu
Normal: tidak teraba penonjolan tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa
dan penumpukan cairan
Setelah diadakan pemeriksaan abdomen evaluasi hasil yang di dapat
dengan membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.
10. Pemeriksaan ekstermitas atas (bahu, siku, tangan)
Tujuan :
1. Memperoleh data dasar tetang otot, tulang dan persendian
2. Mengetahui adanya mobilitas, kekuatan atau adanya gangguan
pada bagian-bagian tertentu.
Alat :
1. Meteran
Posisi klien: Berdiri. duduk
1. 1.
Inspeksi
struktur
muskuloskletal
: simetris
pergerakan, Integritas ROM, kekuatan dan tonus otot.

dan

Normal: simetris kika, integritas kulit baik, ROM aktif, kekuatan otot
penuh.
1. 2.

Palapasi: denyutan a.brachialis dan a. radialis .

Normal: teraba jelas


1. 3.

Tes reflex :tendon trisep, bisep, dan brachioradialis.

Normal: reflek bisep dan trisep positif


Setelah diadakan pemeriksaan ekstermitas atas evaluasi hasil yang di
dapat
dengan
membandikan
dengan
keadaan
normal,
dan
dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
11. Pemeriksaan ekstermitas bawah (panggul, lutut, pergelangan
kaki dan telapak kaki)
1. 1.
Inspeksi
struktur
muskuloskletal
: simetris
dan
pergerakan, integritas kulit, posisi dan letak, ROM, kekuatan dan
tonus otot
Normal: simetris kika, integritas kulit baik, ROM aktif, kekuatan otot
penuh
1. 2.

Palpasi : a. femoralis, a. poplitea, a. dorsalis pedis: denyutan

Normal: teraba jelas


1. 3.

Tes reflex :tendon patella dan archilles.

Normal: reflex patella dan archiles positif


Setelah diadakan pemeriksaan ekstermitas bawah evaluasi hasil yang di
dapat dengan membandingkan dengan keadaan normal, dan
dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
12. Pemeriksaan genitalia (alat genital, anus, rectum)
Posisi Klien : Pria berdiri dan wanita litotomy
Tujuan:
1. Melihat dan
genetalia.

mengetahui

organ-organ

yang

termasuk

dalam

2. Mengetahui adanya abnormalitas pada genetalia, misalnya varises,


edema, tumor/ benjolan, infeksi, luka atau iritasi, pengeluaran
cairan atau darah.
3. Melakukan perawatan genetalia
4. Mengetahui kemajuan proses persalinan pada ibu hamil atau
persalinan.
Alat :
1. Lampu yang dapat diatur pencahayaannya
2. Sarung tangan
Pemeriksaan rectum
Tujuan :

1. Mengetahui kondisi anus dan rectum


2. Menentukan adanya masa atau bentuk tidak teratur dari dinding
rektal
3. Mengetahui intregritas spingter anal eksternal
4. Memeriksa kangker rectal dll
Alat :
1. Sarung tangan sekali pakai
2. Zat pelumas
3. Penetangan untuk pemeriksaan
Prosedur Pelaksanaan
1. Wanita:
2. 1.
Inspeksi genitalia eksternal: mukosa kulit, integritas kulit,
contour simetris, edema, pengeluaran.
Normal: bersih, mukosa lembab, integritas kulit baik, semetris tidak ada
edema dan tanda-tanda infeksi (pengeluaran pus /bau)
1. 2.
Inspeksi vagina dan servik : integritas kulit, massa,
pengeluaran
2. 3.
Palpasi vagina,
konsistensi dan, massa

uterus dan ovarium: letak ukuran,

3. 4.
Pemeriksaan anus dan rectum: feses, nyeri, massa edema,
haemoroid, fistula ani pengeluaran dan perdarahan.
Normal: tidak ada nyeri, tidak terdapat edema / hemoroid/ polip/ tandatanda infeksi dan pendarahan.
Setelah diadakan pemeriksaan di adakan pemeriksaan genitalia evaluasi
hasil yang di dapat dengan membandikan dengan keadaan normal, dan
dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
1. Pria:
2. 1.
Inspeksi dan palpasi penis: Integritas kulit, massa dan
pengeluaran
Normal: integritas kulit baik, tidak ada masa atau pembengkakan, tidak
ada pengeluaran pus atau darah

1. 2.
Inspeksi dan palpassi skrotum: integritas kulit, ukuran dan
bentuk, turunan testes dan mobilitas, massa, nyeri dan tonjolan
Normal : integritas kulit baik, sistematika tidak ada penonjolan, tidak ada
nyeri teken
1. 3.
Pemeriksaan anus dan rectum : feses, nyeri, massa,
edema, hemoroid, fistula ani, pengeluaran dan perdarahan.
Normal: tidak ada nyeri , tidak terdapat edema / hemoroid/ polip/ tandatanda infeksi dan pendarahan.
Setelah diadakan pemeriksaan dadadan genitalia wanita evaluasi hasil
yang di dapat dengan membandikan dengan keadaan normal, dan
dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
2.6.
Evaluasi
Perawat bertanggung jawab untuk asuhan keperawatan yang mereka
berikan dengan mengevaluasi hasil intervensi keperawatan. Keterampilan
pengkajian fisik meningkatkan evaluasi tindakan keperawatan melalui
pemantauan hasil asuhan fisiologis dan perilaku. Keterampilan pengkajian
fisik yang sama di gunakan untuk mengkaji kondisi dapat di gunakan
sebagai tindakan evaluasi setelah asuhan diberikan.
Perawat membuat pengukuran yang akurat, terperinci, dan
objektif melalui pengkajian fisik. Pengukuran tersebut menentukan
tercapainya atau tidak hasil asuhan yang di harapkan. Perawat tidak
bergantung sepenuhnya pada intuisi ketika pengkajian fisik dapat
digunakan untuk mengevaluasi keefektifan asuhan.
2.7.
Dokumentasi
Perawat dapat memilih untuk mencatat hasil dari pengkajian fisik pada
pemeriksaan atau pada akhir pemeriksaan. Sebagian besar institusi
memiliki format khusus
yang mempermudah pencatatan data
pemeriksaan. Perawat meninjau semua hasil sebelum membantu klien
berpakaian, untuk berjaga-jaga seandainya perlu memeriksa kembali
informasi atau mendapatkan data tambahan. Temuan dari pengkajian fisik
dimasukkan ke dalam rencana asuhan.
Data di dokumentasikan berdasarkan format SOAPIE, yang hamper sama
dengan langkah-langkah proses keperawatan.
Format SOAPIE, terdiri dari:
1. Data (riwayat) Subjektif, yaitu apa yang dilaporkan klien
2. Data (fisik) Objektif, yaitu apa yang di observasi, inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi oleh perawat.
3. Assessment (pengkajian) , yaitu diagnose keperawatan
pernyataan tentang kemajuan atau kemunduran klien
4. Plan (Perencanaan), yaitu rencana perawatan klien

dan

5. Implementation (pelaksanaan),
dilakukan berdasarkan rencana

yaitu

intervensi

keperawatan

6. Evaluation (evaluasi), yaitu tinjauan hasil rencana yang sudah di


implementasikan.

2.1 TINGKAT KESADARAN


Kesadaran mempunyai arti yang luas,kesadaran dapat didefinisikan
sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen dan
aferen. Keseluruhan dari impuls aferen dapat disebut input susunan saraf
pusat dan keseluruhan dari impuls eferen dapat disebut output susunan
saraf pusat.
Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai kewaspadaan,
yaitu aksi dan reaksi terhadap apa yang diserap (dilihat, didengar, dihidu,

dikecap. Dan sterusnya ) bersifat sesuai dan tepat. Keadaan ketika aksi
sama sekali tidak dibalas dengan reaksi dikenal sebagai koma. Kesadaran
yang terganggu dapat menonjolkan kedua seginya, yaitu unsure tingkat
dan unsure kualitasnya.Suatu ilustrasi perbedaan tingkat dan kualitas
kesadaran ketika seorang klien yang sakit tidak dapat mengenal lagi
orang-orang yang biasanya bergaul akrab dengan dia. Orang awam
menamakan keadaan itu tidak sadar atau pikiran kacau. Apa yang
dimaksud dengan istilah itu adalah kualitas kesaradarannya terganggu.
Dalam hal ini, klien tidak menunjukkan gangguan tingkat kesaradan, oleh
karena apabila perawat memberi stimuli klien akan memberikan respons
dengan perubahan ekspresi nyeri atau klien akan menarik bagian yang
diberikan stimuli untuk menghindarinya.
Kualitas kesadaran yang menurun tidak senantiasa menurunkan
juga tingkat kesadaran. Tetapi tingkat kesadaran yang menurun
senantiasa menggangu kualitas kesadaran. Oleh karena itu fungsi mental
yang ditandai oleh berbagai macam kualitas kesadaran sangat ditentukan
oleh tingkat kesadaran.
Pengertian kualitas dan tingkat kesadaran dapat diartikan bahwa jumlah
(kuantitas) input susunan saraf pusat menentukan tingkat kesadaran.
Cara pengolahan input itu yang melahirkan pola-pola output susunan
saraf pusat menentukan kualitas kesadaran. Input susunan saraf pusat
dapat dibedakan menjadi input yang bersifat spesifik dan yang bersifat
nonspesifik.Pengertian spesifik itu merujuk kepada perjalanan impuls
aferen yang khas dan kesadaran yang dilahirkan oleh impuls aferen itu
yang khas itu juga. Hal ini berlaku bagi semua lintasan yang
menghubungkan suatu titik pada tubuh dengan suatu titik di daerah
korteks perseptif primer. Oleh karena itu penghantaran impuls spesifik itu
dikenal sebagai penghantaran impuls aferen dari titik ke titik. Setibanya
impuls aferens spesifik ditingkat korteks terciptalah suatu kesadaran akan
suatu modalitas perasaan, yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau
suatu penglihatan penciuman atau pendengaran tertentu.
Pengertian input yang bersifat nonspesifik itu adalah sebagian dari impuls
aferen spesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen nonspesifik.
Lintasan ini terdiri atas serangkaian neuron-neuron di substansia medulla
spinalis dan batang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus
yaitu ke inti intralaminaris.Impuls aferen spesifik sebagian disalurkan
melalui kolateralnya ke rangkaian neuron-neuron substansia metikularis
dan impuls aferen itu selanjutnya bersifat nonspesifik oleh karena cara
penyalurannya ke thalamus berlangsung secara multisinaptik, unilateral,
dan bilateral dan setibanya di nucleus intralaminaris akan membangkitkan
inti tersebut untuk memancar impuls yang menggiatkan seluruh korteks
secara divus dan bilateral. Lintasan aferen yang nonspesifik itu lebih
dikenal sebagai diffuse ascending reticular system.
Dengan adanya dua lintasan aferen itu, maka terbentuk
penghantaran aferen yang pada prinsipnya berbeda. Lintasan spesifik
(jaras spino-talamik, lemniskus medialis, jaras genikolo-kalkarina dsb)
menghantarkan impuls dari satu alat reseptor ke satu titik pada korteks
perseptif primer. Sebaliknya, lintasan aferen nonspesifik menghantarkan

setiap impuls dari titik manapun dari tubuh ke titik-titik dibagian seluruh
korteks serebri.
Neuron-neuron diseluruh korteks serebri yang dibangkitkan oleh impuls
aferen nonspesifik disebut Neuron Pengemban Kewaspadaan, oleh
karena bergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif, maka
derajat kesadaran bisa tinggi atau rendah. Aktivasi neuron-neuron
tersebut dilakukan oleh neuron-neuron yang menyusun inti talamik yang
disebut Nukleus Intralaminaris. Apabila terjadi gangguan sehingga
kesadaran menurun sampai tingkat yang terendah, maka koma yang
dihadapi dapat terjadi karena neuron pengemban kewaspadaan sama
sekali tidak berfungsi disebut Koma Kortikal Bihemisferik atau oleh
karena neuron pembangkit kewaspadaan tidak berdaya untuk
mengaktifkan
neuron
pengemban
kewaspadaan
disebut Koma
Diensefalik yang dapat bersifat Supratentorial atau Infratentorial.
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling
mendasar dan penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indicator paling
sensitive untuk disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan
untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan. Istilah-istilah seperti letargi, stupor, dan semikomatosa
adalah istilah yang umum digunakan dalam berbagai area.

2.1.1 PENGUJIAN TINGKAT KESADARAN


a. Secara kualitatif
1. ComposMentis (conscious),
yaitu
kesadaran
normal,
sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat,
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.

waktu),

4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon


psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
b. Secara Kuantitatif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale )

(5)
(4)
(3)
(2)
(1)
(6)
(5)
(4)
(3)
(2)
(1)

1. Menilai respon membuka mata (E)


(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon
2. Menilai respon Verbal/respon Bicara (V)
: orientasi baik
: bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang )
disorientasi tempat dan waktu.
: kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun
tidak dalam satu kalimat. Misalnya aduh, bapak)
: suara tanpa arti (mengerang)
: tidak ada respon
3. Menilai respon motorik (M)
: mengikuti perintah
: melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
: withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi
stimulus saat diberi rangsang nyeri)
: flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada &
kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
: extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh,
dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
: tidak ada respon
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam
simbol EVM Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang
tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1
Setelah dilakukan scoring maka dapat diambil kesimpulan :
(Compos Mentis(GCS: 15-14) / Apatis (GCS: 13-12) / Somnolen(11-10) /
Delirium (GCS: 9-7)/ Sporo coma (GCS: 6-4) / Coma (GCS: 3)).
2.1.2 PENYEBAB PENURUNAN TINGKAT KESADARAN
Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak.
Tingkat kesadaran dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan
oksigen (hipoksia), kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok),
penyakit metabolic seperti diabetes mellitus (koma ketoasidosis), pada
keadaan hipo atau hipernatremia, dehidrasi, asidosis, alkalosis, pengaruh
obat-obatan, alkohol, keracunan, hipertermia, hipotermia, peningkatan
tekanan intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak), infeksi
(encephalitis) & epilepsi.

2.2 STATUS MENTAL


Status mental merupakan keadaan kejiwaan yang dimiliki seseorang.
Secara ringkas prosedur pengkajian status mental klien dapat dilakukan
meliputi:
1. Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya dengan melihat cara
berpakaian klien, kerapihan, dan kebersihan diri.
2. Observasi postur, sikap, gerakan-gerakan tubuh, ekspresi wajah dan
aktifitas motorik semua ini sering memberikan informasi penting tentang
klien.
3. Penilaian gaya bicara klien dan tingkat kesadaran juga diobservasi.
4. Apakah gaya bicara klien jelas atau masuk akal ?
5. Apakah klien sadar dan berespons atau mengantuk dan stupor ?
Untuk melihat lebih jauh penilaian status mental bagi perawat terdapat
pada table berikut :
PENILAIAN
Perhatian
Daya ingat

Perasaan
(efektif)

Bahasa

Pikiran

Persepsi

RESPONS
Rentang perhatian ke depan dan ke belakang
- Jangka pendek: mengingat kembali tiga item setelah 5
menit
- Jangka panjang : mengingat nama depan ibunya, mengingat
kembali menu makanan pagi, kejadian pada hari sebelumnya.
- Amati suasana hati yang tercermin pada tubuh, ekspresi
tubuh
- Deskripsi verbal efektif
- Verbal kongruen, indicator tubuh tentang suasana hati.
- Isi dan kualitas ucapan spontan
- Menyebutkan benda-benda yang umum, bagian-bagian dari
suatu benda
- Pengulangan kalimat
- Kemampuan untuk membaca dan menjelaskan pesan-pesan
singkat pada surat kabar, majalah.
- Kemampuan menulis secara spontan, di-dikte.
- Informasi dasar (misalnya presiden terbaru, 3 presiden
terdahulu)
- Pengetahuan tentang kejadian-kejadian baru.
- Orientasi terhadap orang tempat dan waktu.
- Menghitung : menambahkan dua angka, mengurangi 100
dengan 7.
- Menyalin gambar : persegi, tanda silang, kubus, tiga
dimensi.
- Menggambar bentuk jam membuat peta ruangan.
- Menunjuk ke sisi kanan dan kiri tubuh.

- Memperagakan : mengenakan
menggunakan sikat gigi.

jaket,

meniup

peluit,

2.2.1 Pemeriksaan status mental


Pemeriksaan status mental terdiri dari hal-hal berikut ini :
Bicara
Orientasi
Pengetahuan kejadian mutakhir
Pertimbangan
Abstraksi
Kosakata
Respon emosional
Daya ingat
Berhitung
Pengenalan benda
Praktis (integrasi aktivitas motorik)
2.2.2 Pemeriksaan kemampuan berbicara
Jika pasien bangun dan waspada, anda sudah dapat mengamati
cara berbicaranya. Pasien sekarang diminta untuk mengulangi ungkapan
singkat. Apakah ada disatria disfoni,disfasia, atau afasia? Disatria adalah
kesukaran artikulasi. Biasanya disatria disebabkan oleh lesi pada lidah dan
palatum. Disfoni adalah kesulitan dalam fonasi. Akibatnya perubahan
volume dan nada suara. Lesi palatum dan pita suara seringkali menjadi
penyebabnya. Disfasia adalah kesukaran memahami atau berbicara
sebagai akibat gangguan fungis serebral. Pasien yang kehilangan
kemampuan berbicaranya sama sekali menderita afasia. Berbagai daerah
di otak menyebabkan afasia yang berbeda-beda. Afasia tidak lancar,
motorik, ekspresif ada jika pasien mengetahui apa yang ingin
dikatakannya, tetapi menderita gangguan motorik dan tidak dapat
mengucapkannya dengan tepat. Ia memahami tulisan dan perintah verbal
tetapi tidak dapat mengulanginya. Suatu lesi di lobus frontal sering
menjadi penyebabnya. Afasia sensorik, reseptif, lancar, ada jika pasien
mengucapkan kata-kata secara spontan tetapi memakai kata-kata secara
tidak tepat. Pasien mengalami kesukaran dalam memahami perintah
tertulis dan verbal serta tidak dapat mengulanginya. Keadaan sering
disebabkan oleh lesi temporoparietal.
2.2.3 Pengenalan status mental secara formal
Selama wawancara, pemeriksa telah memperoleh banyak informasi
mengenai status mental pasien. Pewawancara mungkin sudah dapat
menilai daya ingat jangka panjang pasien, afek dan pertimbangannya.

Pemeriksaan status mental secara formal, sebagai bagian pemeriksaan


neurologik, diperkenalkan oleh pemeriksa.
2.2.4 Pemeriksaan Orientasi
Orientasi pasien terhadap orang, tempat dan waktu harus
ditentukan. Orientasi menunjukkan kesadaran orang bersangkutan dalam
hubungannya dengan orang lain, tempat dan waktu. Disorientasi terjadi
dalam kaitannya dengan gangguan daya ingat dan rentang perhatian.
2.2.5 Pemeriksaan pengetahuan mengenai kejadian mutakhir
Pemeriksaan pengetahuaan mengenai kejadian mutakhir dapat
diperiksa dengan menanyakan kepada pasien, nama empat presiden
terakhir amerika serikat. Menanyakan kepada pasien nama walikota atau
gubernur. Kemampuan menyebutkan peristiwa mutakhir memerlukan
orientasi yang utuh, daya ingat mutakhir yang utuh, dan kemampuan
berpikir secara abstrak.
2.2.6 Pemeriksaan daya pertimbangan
Pemeriksaan daya pertimbangan dilakukan dengan meminta pasien
untuk menafsirkan suatu masalah sederhana.
2.2.7 Penilaian daya abstraksi
Abstraksi adalah suatu fungsi luhur serebral yang memerlukan
pemahaman dan pertimbangan. Peribahasa lazim dipakai untuk menguji
penalaran abstraksi. Pasien dengan kelainan penalaran abstrak mungkin
menafsirkan peribahasa dengan memakai tafsiran konkrit. Respon konkrit
lazim dijumpai pada pasien dengan retardasi mental atau dengan
kegagalan otak. Pasien skizofrenia sering menjawab dengan penafsiran
konkrit, tetapi penilaian yang aneh juga lazim dijumpai. Cara lain untuk
memeriksa penalaran abstrak adalah dengan menanyakan kepada pasien
bagaimana sepasang benda serupa atau tidak serupa.
2.2.8 Pemeriksaan kosakata
Kosakata seringkali sangat sulit untuk diperiksa. Kesulitan ini
berdasarkan atas banyak faktor, yang mencakup pendidikan pasien, latar
belakang, pekerjaan, lingkungan dan fungsi serebral. Tetapi kosakata
merupakan parameter penting dalam menilai kemampuan intelektual.
Pasien retardasi mental mempunyai kosakata yang terbatas, sedangkan
pasien dengan kegagalan otak mental mempunyai kosakata yang
terpelihara dengan baik. Pasien harus diminta untuk mendefinisikan katakata atau memakainya dalam kalimat. Kata apa saja dapat dipakai, tetapi
harus dipakai dengan tingkat kesukaran yang makin bertambah.
2.2.9 Pemeriksaan respon emosional
Meskipun respon emosional sudah diamati secara tidak formal,
penting untuk ditanyakan secara spesifik apakah pasien memperhatikan
adanya perubahan suasana hati secara tiba-tiba. Afek didefinisikan
sebagai respon emosional terhadap suatu peristiwa. Responnya mungkin
tepat, abnormal, atau mendatar. Respon yag tepat terhadap kematian
orang yang dicintai mungkin menangis. Respon yang tidak tepat mungkin
tertawa. Respon mendatar memperlihatkan sedikit respon emosional.
Pasien dengan kerusakan serebral bilateral kehilangan kendali akan
emosinya.

2.2.10 Pemeriksaan daya ingat


Untuk memeriksa daya ingat, pasien harus diminta untuk
mengingat kejadian yang baru saja terjadi dan dominan. Autotopagnosia
adalah istilah yang dipakai untuk melukiskan ketidak mampuan untuk
mengenali tubuh pasien sendiri, seperti tangan atau tungkainya.
2.2.11 Pemeriksaan integritas aktifitas motorik
Praksis adalah kemampuan untuk melakukan suatu aktifitas motorik
apraksia adalah ketidakmampuan pasien untuk melakukan suatu gerakan
volunter tanpa adanya gangguan dalam kekuatan, sensasi, atau
koordinasi motorik. Dispraksia adalah berkurangnya kemampuan untuk
melakukan aktifitas. Pasien mendengar dan memahami perintah, tetapi ia
tidak dapat mengintegrasikan aktifitas motorik yang akan melakukan
gerakan itu. Mintalah kepada pasien untuk menuangkan air dari tempat
air minum kedalam gelas minumannya. Gangguan ini sering disebabakan
oleh lesi jauh di dalam lobus frontal.jenis apraksia lainnya disebut
apraksia konstruksi pada penyakit ini, pasien tidak mampu menyusun
atau menggambar desain sederhana. Pasien dengan apraksia konstruksi
sering menderita lesi dipars posterior lobus pariental.
2.2.12 Pemeriksaan Olfaksi
Pasien diminta untuk menutup matanya dan satu lubang hidung
ketika pemeriksa mendekat zat penguji kelubang hidung lainnya.pasien
diminta untuk menghirup zat penguji itu. Zat penguji itu harus mudah
mengguap dan tidak mengiritasi,seperti cenggkeh,vanila bean,kopi yang
baru digiling,atau lavender.
2.2.13 Pemeriksaan kemampuan berhitung.
Kemampuan berhitung tergantung kepada integritas bemisfer
serebral yang dominan dan juga intelegensia pasien.
2.2.14 Pemeriksaan kemampuan mengenal benda
Pengenalan benda disebut genosia. Agnosia adalah kegagalan
mengenali suatu rangsangan sensorik meskipun ada sensasi primer yang
normal,contohnya:memperlihtakan benda yang sudah dikenal secara luas
seperti uang logam,pena,kacamata dll. Dan mintalah kepadanya untuk
mnyebutkan nama-nama benda itu. Jika pasien mempunyai daya visus
normal dan tidak dapat mengenal benda itu dikatakan bahwa ia
mangalami agnosia visual.
Agnosia taktil adalah ketidakmampuan seorang pasien mengenal sebuah
benda dengan palpasi tanpa ada gangguan sensorik. Semua terjadi pada
lesi lubus pariental yang tidak.

1.2 Jenis Pemeriksaan Fisik Sensori


Pemeriksaan sistem sensori dilakukan dengan memeriksa kondisi kelima
sistem indra yaitu penglihatan, pendengaran, pembau, pengecap, dan
peraba.
1.2.1
Pemeriksaan Fisik Indra Penglihatan
Pemeriksaan fisik mata dapat dilakukan dengan beberapa cara. Berikut ini
akan dijelaskan cara melakukan pemeriksaan mata yaitu:
1.
Pemeriksaan ketajaman penglihatan (pemeriksaaan visus)
Mata merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai indera penglihatan
sehingga pemeriksaan ketajaman mata sangat penting untuk bisa
mengetahui fungsi mata. Pemeriksaan ketajaman mata dilakukan paling
awal sebelum melakukan pemeriksaan mata lebih lanjut.
Ketajaman penglihatan dituliskan dalam rasio perbandingan jarak
penglihatan normal seseorang dengan jarak penglihatan yang dapat
dilihat oleh orang seseorang. Misalnya ketajaman penglihatan 20/30 yang
berarti seseorang dapat melihat dengan jarak 20 kaki sedangkan pada
penglihatan normal dapat dilihat dengan jarak 30 kaki. Orang dengan
mata normal memiliki nilai ketajaman mata 20/20.
1.
Alat:
1)
2)
3)
1.

Kartu Snellen
Lampu senter
Karton untuk menutup mata
Indikasi: pada pasien yang diduga mengalami gangguan sensori.

2.

Kontraindikasi: -

3.

Cara:

1)
Pemeriksaan menggunakan kartu snellen standar
Cara melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan menggunakan kartu
snellen ini yaitu:
1.
Pasien berdiri sejauh 6 meter (20 kaki) dari kartu snellen.
2.

Minta pasien untuk menutup salah satu mata dengan karton.

3.

Minta pasien untuk membaca huruf yang ada pada kartu sampai
pasien tidak dapat membaca lagi huruf tersebut.

2)
Menilai pasien dengan penglihatan buruk
Jika pasien tidak dapat membaca huruf yang ada pada kartu snellen,
maka pasien harus diperiksa menggunakan kemampuan membaca jari

tangan. Cara pemeriksaan menggunakan kemampuan membaca jari


tangan yaitu:
1.
Tutup salah satu mata pasien.
2.

Perawat berdiri di depan pasien dengan menunjukkan angka pada


jari perawat.

3.

Jika pasien tidak dapat melihat jari perawat maka dilakukan


pemeriksaan menggunakan cahaya.

Namun seringkali pemeriksaan sistem penglihatan menghadapi kendala


pada pasien anak-anak, orang dengan gangguan mental, dan orang yang
berpura-pura tidak melihat karena pemeriksaan ini berfokus pada
subyektif,yaitu interpretasi dari respon yang dirasakan pasien. Untuk
mengatasi hal tersebut diperlukan suatu teknik pemeriksaan yang
berfokus pada objektif dan memiliki korelasi dengan daya penglihatannya
melalui alat yang disebut nystagmometer.
Gambar: Kartu Snellen
Nystagmometer merupakan alat pemeriksaan visus secara objektif
yang disasarkan pada gejala faal yang dikenal dengan nama pursuit eye
movement, yaitu bahwa mata seseorang akan bergerak mengikuti suatu
benda yang menjadi perhatiannya, apabila benda tersebut bergerak
(Sarwono: 1982). Peristiwa tersebut disebut sebagai optokinetik
nystagmus. Intinya, seseorang akan mengikuyi objek penyebab
nystagmug-nya tersebut. Semakin kecil objek yang dapat menimbulkan
gerakan bola mata akibat mata yang mengikuti gerakan objek tersebut,
semakin baik daya penglihatan orang tersebut.
Kelainan pada mata:
1.
Astigmatis
Astigmatis atau yang sering dikenal dengan mata silindris merupakan
suatu kelainan mata yang menyebabkan mata penderitanya menjadi
kabur. Gangguan ini terjadi akibat penderita tidak dapat melihat garis
horizontal dan vertical secara bersamaan. Kornea pada penderita
astigmatis berbentuk abnormal. Kornea normal berbentuk bulat seperti
bola, tetapi pada gangguan ini kornea mata memiliki lengkungan yang
terlalu besar pada salah satu sisinya. Cara menangani astigmatis ini
adalah dengan menggunakan kacamata silinder atau lensa kontak.

1.

Miopi

Miopi atau rabun jauh merupakan kelainan mata yang menyebabkan


penderitanya tidak dapat melihat dalam jarak jauh. Penyebab dari miopi
adalah bola mata yang terlalu panjang dan bayangan benda yang jatuh di

depan bintik kuning. Cara menangani miopi yaitu dengan menggunakan


kacamata cekung (negative).
1.
Hipermetropi
Hipermetropi atau rabun dekat merupakan gangguan pada mata yang
ditandai dengan penderita tidak dapat melihat dengan jelas dalam jarak
dekat. Penyebab dari hipermetropi ini yaitu adanya kelainan bola mata
yang terlalu pendek dan bayangan jatuh di belakang bintik kuning. Cara
menangani gangguan ini adalah dengan memakai kacamata lensa
cembung (positif).
1.
Presbiopi
Presbiopi atau rabun dekat dan jauh merupakan gangguan mata yang
ditandai dengan penderita tidak dapat melihat dalam jarak dekat dan
jauh. Penyebab dari gangguan ini adalah semakin berkurangnya daya
akomodasi dari mata. Cara mengatasi gangguan ini adalah dengan
memakai kacamata berlensa rangkap (atas negative, bawah positif).
1.
Rabun senja
Gangguan ini ditandai dengan penderitanya tidak dapat melihat dengan
baik saat malam hari atau kurang cahaya. Penyebab dari gangguan ini
adalah kurangnya vitamin A. cara mencegah dan mengatasi masalah ini
adalah dengan mengkonsumsi makanan kaya vitamin A.
1.
Keratomalasi
Gangguan ini ditandai dengan kornea mata yang keruh yang
penyebabnya kekurangan vitamin A yang sangat parah sehingga penyakit
ini merupakan tingkat lanjut dari rabun senja. Apabila hal ini tidak segera
diatasi akan menyebabkan kebutaan.

1.

Katarak

Kelainan pada lensa mata karena lensa mata menjadi kabur dan keruh
yang menyebabkan cahaya yang masuk tidak dapat mencapai retina.
Katarak dapat diatasi dengan cara operasi.
1.
Juling
Kelainan ini sebagai akibat ketidakserasian kerja otot penggerak bola
mata kanan dan kiri. Penyakit ini bisa diatasi dengan cara operasi pada
otot mata.
1.
Glaukoma
Gangguan ini ditandai dengan peningkatan tekanan di dalam bola mata
karena danya sumbatan pada saluran di dalam bola mata dan

pembentukan cairan berlebih dalam bola mata. Gangguan ini bisa diatasi
dengan cara pembedahan atau obat-obatan yang diminum seumur hidup.
1.
Buta Warna
Penderita umumnya tidak dapat membedakan warna tertentu misal hijau
dan biru. Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang tidak dapat
disembuhkan akan tetapi ada juga penyebab lainnya misalkan saja karena
kecelakaan atau trauma pada mata.
1.

Pemeriksaan lapangan pandangan

Cara yang paling mudah dalam melakukan pemeriksaan lapangan


pandangan adalah menggunakan metode uji telunjuk.
1.
Indikasi: pasien yang diduga mengalami gangguan sensori.
2.

Kontraindikasi: -

3.

Cara:

1)
Pasien dan perawat duduk berhadapan.
2)
Minta pasien untuk menutup salah satu matanya.
3)
Perawat juga ikut menutup salah satu matanya. Misalnya jika
pasien menutup mata kirinya, maka perawat menutu mata kanannya.
4)
Minta pasien memandang hidung perawat.
5)
Minta pasien menghitung jumlah jari yang ada pada bagian
superior dan inferior lirikan temporal dan nasal.
1.
Pemeriksaan buta warna (tes isihara)
Salah satu gangguan mata yang bersifat herediter, yaitu buta warna. Buta
warna merupakan penglihatan warna-warna yang tidak sempurna,
seringkali disebut sebagai cacat penglihatan warna. Cacat penglihatan
warna bersifat didapat, terkadang merupakan gejala dini kerusakan mata.
Untuk mengetahui adanya cacat penglihatan mata perlu dilakukan tes
isihara.
Tes isihara merupakan gambar-gambar pseudoisokromatik yang disusun
oleh titik dan kepadatan warna yang berbeda, berasal dari warna primer
yang didasarkan warna yang hamper sama. Titik-titik warna tersebut
disusun dengan bentuk dan pola tertentu tanpa adanya kelainan persepsi
warna.
1.
Alat dan bahan:
Gambar pseudoisokromatik
b. Teknik:
1.
Kartu isihara diletakkan di tempat dengan penerangan baik
2.

Pasien diminta menyebutkan gambar atau angka pada kartu


tersebut dalam 10 detik

c. Penilaian
Bila lebih dari 10 detik berarti terdapat kelainan penglihatan warna buta
warna merah hijau terdapat atrofi saraf optik, buta warna biru kuning
terdapat pada retinopati hipertensif, retinopati diabetic dan degenerasi
macula senile dini. Degenerasi pada macula stargardts dan fundus
lamikulatus memberikan gangguan penglihatan warna merah-hijau.
d.Petunjuk Pengisian Gambar
No 1 : semua orang baik normal atau buta warna dapat membaca dengan
benar angka 12. Bagian ini biasanya digunakan pada awal test.
No 2 : pada orang normal terbaca 8 dengan defisiensi merah-hijau 3.
No 3 : pada orang normal terbaca 5 dengan defisiensi merah-hijau 2.
No 4 : pada orang normal terbaca 29 dengan defisiensi merah-hijau
70.
No 5 : pada orang normal terbaca 74 dengan defisiensi merah-hijau
21.
No 6-7 : pada orang normal dapat membaca dengan benar tetapi pada
orang dengan defisiensi merah hijau, susah atau tidak dapat
membacanya.
No 8 : pada orang normal dengan jelas 2 tetapi bagi defisiensi merahhijau tidak jelas.
No 9 : pada orang normal susah atau tidak terbaca tetapi kebanyakan
pada orang dengan defisiensi merah hijau melihat 2.
No 10 : pada orang normal angka terbaca 16 tetapi bagi defisiensi
merah hijau tidak dapat membaca.
No 11 : gambar garis yang melilit diantara 2 xs. Pada orang normal, dapat
mengikuti garis ungu-hijau. Tetapi pada orang buta warna tidak dapat
mengikuti atau dapat mengikuti tapi berbeda dengan orang normal.
No 12 : pada orang normal dan defesiensi merah hijau melihat angka 35
tetapi pada protanopia dan protanomali berat hanya dapat membaca
angka 5 dan pada deuteranopia dan deuteranopia berat terbaca angka
3.
No 13 : pada orang normal dan defesiensi merah hijau ringan melihat
angka 96 tetapi pada protonopia dan protonopia berat hanya terbaca
6.
No 14 : pada orang normal dapat mengikuti garis yang melilit 2 xs, ungu
dan merah; pada protanopia dan protanomali berat hanya mengikuti garis
ungu dan pada protanomali ringan kedua garis diikuti tetapi garis ungu
kurang terlihat untuk diikuti; pada deuteranopia dan deuteranomalia berat
hanya garis merah yang diikuti; pada deuteranomalia ringan kedua garis
dapat diikuti tetapi garis merah kurang terlihat untuk diikuti.

Gambar: ishihara test


3.2.2
Pemeriksaan Fisik Indra Pendengaran
Sama halnya dengan pemeriksaan mata, dalam melakukan pemeriksaan
telinga juga dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1.
Tes ketajaman auditorius
Tes ini akan dapat mengetahui kemampuan pasien dalam mendengarkan
bisikan kata(voice test) atau detakan jam tangan.
1.
Alat: bel kecil
2.

Indikasi: dapat dilakukan pada semua usia yang diduga mengalami


gangguan sensori.

3.

Kontraindikasi: -

4.

Cara:

1)Bayi:
a)
Perawat berdiri di belakang anak.
b)
Bunyikan sebuah bel kecil, bunyikan jari-jari atau tepuk tangan.
c)
Hasilnya: pada bayi yang kurang dari 4 bulan menunjukkan reflek
terkejut. Bayi yang berusia 6 bulan/lebih mencoba mencari suara dengan
menggerakkan mata atau kepala mereka.
2)Anak usia prasekolah:
a)
Perawat berdiri 0,6 sampai 0,9 meter di depan anak.
b)
Berikan instruksi tertentu pada anak.
c)
Hasil: anak dengan pendengaran normal akan melakukan instruksi.
3)Anak usia sekolah
a)
Berdiri kira-kira 0,3 m di belakang anak.
b)
Perintahkan anak untuk menutup telinganya.
c)
Bisikkan angka pada anak.
d)
Perintahkan anak untuk menirukan angka yang dibisikkan.
e)
Lakukan pada telinga lainnya.
1.

Uji garputala

2.1 Uji weber


1.
Alat: garputala.
2.

Tujuan: untuk membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural.

3.

Indikasi: bisa digunakan pada anak-anak dan dewasa.

4.

Kontraindikasi: -

5.

Cara:

1)Pukulkan garputala pada telapak tangan.


2)Letakkan garputalapada garis tengah kepala pasien.

3)Tanyakan pada pasien letak suara yang terdengar paling keras.


1.
Hasil: pada pasien sensorineural, suara terdengar pada telinga yang
tidak terganggu. Ssedangkan pada tuli konduktif, suara terdengar lebih
jelas pada telinga yang terganggu.
Gambar: tes weber
2.2 Uji rinne
1.
Alat: garputala.
2.

Tujuan: untuk membandingkan hantaran udara dan tulang.

3.

Indikasi: dapat dilakukan pada anak dan dewasa.

4.

Kontraindikasi:

5.

Cara:

1)Pukulkan garputala pada telapak tangan.


2)Letakkan batang garputala ke tulang mastoideus pasien.
3)Ketika pasien menunjukkan bahwa suara tidak terdengar lagi, dekatkan
gigi garputala ke meatus eksternus salah satu telinga.
4)Lakukan cara yang sama pada telinga lainnya.
Gambar: rinne test
2.3 uji Scwabach
1.
Alat: garputala.
2.

Tujuan: untuk membandingkan hantaran bunyi dari 2 subyek.

3.

Indikasi: dapat dilakukan pada anak dan dewasa.

4.

Kontraindikasi: -

5.

Cara:
1.

Getarkan garputala yang dipegang

2.

Letakkan ujung garputalapada lubang telinga pasien

3.

Ketika pasien menunjukkan bahwa suara tidak terdengar lagi,

4.

Lakukan cara yang sama pada telinga subyek kedua atau


pemeriksa

5.

Bandingkan hasilnya dari kedua subyek tersebut

6.

Hasil:

1)Normal: anak akan mendengar suara garputala di meatus eksternus


setelah tidak terdengar di prosesus mastoideus dan suara dapat
terdengar sama baiknya.
2)Abnormal: pada kehilangan pendengaran sensorineural memungkinkan
suara yang dihantarkan lewat udara lebih baik dari pada lewat tulang dan
segala suara diterima seperti sangat jauh dan lemah.

3.2.3
Pemeriksaan Fisik Pengecap.
Pada hakekatnya, lidah mempunyai hubungan erat dengan indera khusus
pengecap. Zat yang memberikan impuls pengecap mencapai sel reseptor
lewat pori pengecapan. Ada empat kelompok pengecap atau rasa yaitu
manis, asin, asam, dan pahit.
Gangguan indera pengecap biasanya disebabkan oleh keadaan yang
mengganggu tastants atau zat yang memberikan impuls pengecap pada
sel reseptor dalam taste bud (gangguan transportasi) yang menimbulkan
cedera sel reseptor (gangguan sensorik) atau yang merusak serabut saraf
aferen gustatorius serta lintasan saraf sentral gustatorius (gangguan
neuron).
Manifestasi klinis dari indera pengecap apabila dilihat dari sudut pandang
psikofisis, gangguan pada indera pengecap dapat digolongkan menurut
keluhan pasien atau menurut hasil pemeriksaan sensorik yang objektif
missal sebagai berikut.
1.
Ageusia total adalah ketidakmampuan untuk mengenali rasa manis,
asin, pahit, dan asam.
2.

Ageusia parsial adalah kemampuan mengenali sebagian rasa saja.

3.

Ageusia spesifik adalah ketidakmampuan untuk mengenali kualitas


rasa pada zat tertentu.

4.

Hipogeusia total adalah penurunan sensitivitas terhadap semua zat


pencetus rasa.

5.

Hipogeusia parsial adalah penurunan sensitivitas terhadap sebagian


pencetus rasa.

6.

Disgeusia adalah kelainan yang menyebabkan persepsi yang salah


ketika merasakan zat pencetus rasa.

Pasien dengan keluhan hilangnya rasa bisa dievaluasi secara psikofisis


untuk fungsi gustatorik selain menilai fungsi olfaktorius. Langkah pertama
melakukan tes rasa seluruh mulut untuk kualitas, intensitas, dan persepsi
kenyamanan dengan sukrosa, asam sitrat, kafein, dan natrium klorida. Tes
rasa listrik (elektrogustometri) digunakan secara klinis untuk
mengidentifikasi defisit rasa pada kuadran spesifik dari lidah. Biopsi
papilla foliate atau fungiformis untuk pemeriksaan histopatologik dari
kuncup rasa masih eksperimental akan tetapi cukup menjanjikan
mengetahui adanya gangguan rasa.
3.2.4
Pemeriksaan Fisik Peraba.
Pemeriksaan fisik indra perabaan didasarkan pada sensibilitas.
Pemeriksaan fisik sensori indra perabaan (taktil) terbagi atas 2 jenis,
yaitu basic sensory modalitiesdan testing higher integrative

functions. Basic sensory modalities (pemeriksaan sensori primer) berupa


uji sensasi nyeri dan sentuhan, uji sensasi suhu, uji sensasi taktil, uji
propiosepsi (sensasi letak), uji sensasi getar (pallestesia), dan uji sensasi
tekanan. Sedangkan testing higher integrative functions (uji fungsi
integratif tertinggi) berupa stereognosis, diskriminasi 2 titik, persepsi
figure kulit (grafitesia), ekstinksi, dan lokalisasi titik.
Sensasi raba dihantarkan oleh traktus spinotalamikus ventralis.
Sedangkan sensasi nyeri dan suhu dihantarkan oleh serabut saraf menuju
ganglia radiks dorsalis dan kemudian serabut saraf akan menyilang garis
tengah dan akan masuk menuju traktus spinotalamikus lateralis
kontralateral yang akan berakhir di talamus sebelum dihantarkan ke
korteks sensorik dan diinterpretasi. Adanya lesi pada traktus-traktus
tersebutlah yang dapat menyebabkan gangguan sensorik tubuh.
1.
1.

Basic sensory modalities(pemeriksaan sensori primer)


Uji sensasi nyeri dan sentuhan

Uji sensasi nyeri dan sentuhan terbagi menjadi 2 macam, yaitu nyeri
superficial (tajam-tumpul) dan nyeri tekan.
1)
Nyeri superficial
Merupakan metode uji sensasi dengan menggunakan benda yang
memiliki 2 ujung, yaitu tajam dan tumpul. Benda tersebut dapat berupa
peniti terbuka maupun jarum pada reflek hammer. Pasien dalam keadaan
mata terpejam saat dilakukan uji ini dan dilakukan pengkajian respon
melalui pertanyaan apa yang anda rasakan? dan membandingkan
sensasi 2 stimulus yang diberikan. Apabila terjadi keraguan respon
maupun kesulitandan ketidakmampuan dalam membedakan sensasi,
maka hal ini mengindikasikan adanya deficit hemisensori berupa
analgesia, hipalgesia, maupun hiperalgesia pada sensasi nyeri.
Sedangkan gangguan pada sensasi sentuhan berupa anestesia dan
hiperestesia.
2)
Nyeri tekan
Merupakan metode uji sensori dengan mengkaji nyeri melalui penekanan
pada tendon dan titik saraf. Metode ini sering digunakan dalam uji sensori
protopatik (nyeri superficial, suhu, dan raba) dan uji propioseptik
(tekanan, getar, posisi, nyeri tekan). Misalnya, berdasarkan Abadie
sign pada daerah dorsalis, tekanan ringan yang diberikan pada tendon
Achilles normalnya adalah hilang. Dengan kata lain tidak dapat dirasakan
sensasi nyeri bila diberikan tekanan ringan pada tendon Achilles.
1.
Uji sensasi suhu

Uji sensasi suhu pada dasarnya lebih direkomendasikan apabila pasien


terindikasi gangguan sensasi nyeri. Hal ini dikarenakan pathways dari
indra nyeri dan suhu saling berbuhungan. Metode ini menggunakan gelas
tabung yang berisi air panas dan dingin. Pasien diminta untuk
membedakan sensasi suhu yang dirasakan tersebut. Apabila pasien tidak
dapat membedakan sensasi,maka pasien dapat diindikasikan mengalami
kehilangan slove and stocking (termasuk dalam gangguan neuropati
perifer).
1.
Uji sensasi taktil
Uji sensasi taktil dilakukan dengan menggunakan sehelai dawai (senar)
steril atau dapat juga dengan menggunakan bola kapas. Pasien yang
dalam keadaan mata terpejam akan diminta menentukan area tubuh yang
diberi rangsangan dengan memberikan hapusan bola kapas pada
permukaan tubuh bagian proksimal dan distal. Perbandingan sensitivitas
dari tubuh proksimal dan distal akan menjadi tolak ukur dalam
menentukan adanya gangguan sensori. Indikasi dari gangguan sensori
pada uji sensasi taktil ini berupa hyperestetis, anastetis, dan hipestetik.
1.
Uji propiosepsi (sensasi letak)
Uji ini dilakukan dengan menggenggam sisi jari pada kedua tungkai yang
disejajarkan dan menggerakkannya ke arah gerakan jari. Namun yang
perlu diperhatikan adalah menghindari menggenggam ujung dan pangkal
jari atau menyentuh jari yang berdekatan karena lokasi sensasinya mudah
ditebak (memberikan isyarat sentuh). Pasien yang dalam keadaan mata
terpejam diminta untuk menentukan lokasi jari yang digerakkan.
Selain itu, uji ini juga dapat dilakukan dengan menguji posisi sensasi di
sendi metakarpalia palangeal untuk telapak kaki besar. Orang muda
normal memiliki derajat diskriminasi sebesar 1 sampai 2 derajat untuk
gerakan sendi distal jari dan 3 sampai 5 derajat untuk kaki besar.
1.
Uji sensasi vibrasi (pallestesia)
Uji sensasi vibrasi dilakukan menggunakan garpu tala frekuensi rendah
(128 atau 256 Hertz) yang diletakkan pada bagian tulang yang menonjol
pada tubuh pasien. Kemudian pasien diminta untuk merasakan sensasi
yang ada dengan memberikan tanda bahwa ia dapat merasakan sensasi
getaran. Apabila pasien masih tidak bisa merasakan sensasi getaran,
maka perawat menaikkan frekuensi garputala sampai pasien dapat
merasakan sensasi getaran tersebut. Pasien muda dapat merasakan
getaran selama 15 detik di ibu jari kaki dan 25 deti di sendi distal jari.
Sedangkan pasien usia 70 tahun-an merasakan sensasi getaran masingmasing selama 10 detik dan 15 detik.
1.
Uji sensasi tekanan

Uji sensasi tekanan menerapkan kemampuan pasien dalam membedakan


tekanan dar sebuah objek pada ujung jari. Uji ini dilakukan dengan cara
menekan aspek tulang sendi dan subkutan untuk mempersepsikan
tekanan. Rekomendasi untuk uji tekanan ini diutamakan pada penderita
diabetes dan dilakukan minimal sekali setahun.
1.
Testing higher integrative functions(uji fungsi integratif tertinggi)
1.
Stereognosis
Stereognosis merupakan kemampuan untuk mengenali objek dengan
perasaan. Uji ini merupakan identifikasi benda yang dikenal dan
diletakkan di atas tangan pasien sehingga pasien dapat mengidentifikasi
benda yang berada di tangannya. Adanya kesulitan identifikasi benda
(gangguan stereognosis) mengindikasikan adanya lesi pada kolumna
posterior atau korteks sensori.
1.
Diskriminasi 2 titik
Diskriminasi 2 titik merupakan metode identifikasi sensasi 2 titk dari
penekanan 2 titik pin yang berada pada permukaan kulit. Uji ini terus
dilakukan berulang hingga pasien tidak dapat mengidentifikasi sensasi 2
titik yang terpisah. Lokasi yang sering digunakan untuk uji ini adalah
ujung jari, lengan atas, paha, dan punggung. Adanya gangguan
identifikasi 2 titik mengindikasikan adanya lesi pada kolumna posterior
atau korteks sensori.
1.
Identifikasi angka (grafitesia)
Grafitesia merupakan metode penggambaran angka di mana nantinya
pasien diminta untuk mengidentifikasi angka yang tergambar pada
telapak tangan. Metode grafitesia dapat menggunakan ujung tumpul
pulpen sebagai media stimuli. Kesulitan pada identifikasi angka
menunjukkan adanya glesi pada kolumna posterior atau korteks sensori.
1.
Ekstinksi
Ekstinksi merupakan salah satu uji sensori yang menggunakan metode
sentuhan pada kedua sisi tubuh. Uji ini dilakukan pada saat yang sama
dan lokasi yang sama pada kedua sisi tubuh, misalnya lengan bawah pada
kanan dan kiri lengan. Apabila pasien tidak bisa menggambarkan jumlah
titik lokasi sentuhan (biasanya psien hanya merasakan satu sensasi),
maka dapat dipastikan pasien teridentifikasi adanya lesi sensoris.
1.
Lokalisasi titik
Lokalisasi titik merupakan metode didentifikasi letak lokasi sensasi
stimulus. Metode ini dilakukan dengan cara memberikan sensasi sentuhan
ringan pada permukaan kulit dan meminta pasien untuk menyebutkan
atau menunjukkan letak sensasi yang dirasakan. Adanya penurunan

sensasi sensori dibuktikan dengan adanya ketidak-akuratan identifikasi


lokalisasi. Hal ini disebabkan adanya lesi pada korteks sensori sehingga
terjadi penurunan maupun hilangnya sensasi sentuhan pada sisi tersebut.
2.2.5 pemeriksaan Fisik Indra Penciuman
Indra penciuman merupakan penentu dalam identifikasi aroma dan cita
rasa makanan-minuman yang dihubungkan oleh saraf trigeminus sebagai
pemantau zat kimia yang terhirup. Indra penciuman dianggap salah satu
sistem kemosensorik karena sebagian besar zat kimia menghasilkan
persepsi olfaktorius, trigeminus, dan pengecapan. Hal ini dikarenakan
sensasi kualitatif penciuman ditangkap neuroepitelium olfaktorius
sehingga menimbulkan sensibilitas somatic berupa rasa dingin, hangat,
dan iritasi melalui serabut saraf aferen trigeminus, glosofaringeus, dan
vagus dalam hidung, kavum oris, lidah, faring, dan laring.
Adanya gangguan penciuman (osmia) dapat diakibatkan oleh proses
patologis sepanjang olfaktorius yang hampir serupa dengan gangguan
pendengaran berupa defek konduktif maupun defek sensorineural. Defek
konduktif (transport) terjadi akibat adanya gangguan transisi stimulus
bau menuju neuroepitel, sedangkan defek sensorineural cenderung
melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Namun penyebab utama dari
gangguan penciuman, yaitu penyakit rongga hidung maupun sinus,
sebelum terjadi infeksi saluran nafas atas, dan trauma kepala (Kris, 2006).
Gangguan penciuman (osmia) memiliki sifat total (seluruh bau), parsial
(sejumlah bau), atau spesifik (satu atau sejumlah kecil bau). Jenis-jenis
gangguan penciuman, yaitu:
1.
Anosmia merupakan ketidak-mampuan mendeteksi bau
2.

Hiposmia merupakan penurunan kemampuan mendeteksi bau

3.

Disosmia merupakan distorsi identifikasi bau (tidak bisa


membedakan bau)

4.

Parosmia merupakan perubahan persepsi pembauan

5.

Phantosmia merupakan persepsi bau tanpa adanya sumber bau

6.

Agnosia merupakan ketidakmampuan menyebutkan maupun


membedakan bau, meski pasien dapat mendeteksi bau.

Etiologi dari gangguan penciuman adalah sebagai berikut.


1.
Defek konduktif
1.

Proses inflamasi

Proses inflamasi dapat menyebabkan gangguan pembauan akibat rintitis


dan sinus kronik. Rintitis dan sinus kronik mengakibatkan inflamasi

mukosa nasal sehingga terjadi abnormalitas sekresi mucus. Sekreai


mucus yang berlebihan mengakibatkan silia olfaktorius tertutup mucus
sehingga sensitivitas olfaktorius menurun/menghilang.
1.
Massa/tumor
Adanya massa pada rongga hidung mengakibatkan perubahan structural
dalam kavum nasi berupa polip, neoplasma, maupun deviasi septum nasi
sehingga dapat menghalangi aliran odoran (zat yang menimbulkan bau)
ke epitel olfaktorius.
1.
Abnormalitas developmental
Amnormalitas developmental dapat berupa ensefalokel maupun kista
dermoid yang mengakibatkan obstruksi pada roingga hidung sehingga
menghalangi aliran odoran ke epitel olfaktori.
1.

Defek sensorineural
1.

Proses inflamasi

Proses inflamasi dapat diakibatkan infeksi virus yang merusak neuroepitel,


sarkoidosis yang mempengaruhi struktur saraf, maupun sklerosis multiple.
Inflamasi ini berakibat pada destruksi neuroepitelium olfaktorius yang
dapat mengganggu transmisi sinyal (stimulus odoran) ke epitel
olfaktorius.
1.
Penyebab congenital
Congenital dapat menjadi faktor penentu gangguan penciuman. Hal ini
dikarenakan kelainan yang bersifat congenital berakibat pada hilangnya
struktur saraf. Misalnya, Kallman syndrome mengakibatkan anosmia
akibat gagalnya ontogenesis struktur olfaktorius dan hipogonadisme
hipogonadotropik.
1.
Gangguan endokrin
Gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, hipotiroidisme, maupun
hipoadrenalisme dapat mempengaruhi fungsi pembauan berupa
gangguan persepsi bau.
1.
Trauma kepala
Trauma kepala pada basis fossa kranii anterior atau lamina kribiformis
maupun akibat proses pembedahan kepala atau saraf dapat
menyebabkan regangan, kerusakan, maupun terputusnya fila olfaktori
halus sehingga menyebabkan anosmia.

1.

Toksisitas obat sistemik

Obat-obatan yang dapat mengubah sensitivitas bau yaitu obat


neurotoksik (etanol, amfetamin, kokain tropical, aminoglikosida,
tetrasiklin, asap rokok).
1.
Defisiensi gizi
Defisiensi gizi berupa vitamin A, thiamin, maupun zink terbukti dapat
mempengaruhi fungsi pembauan.
1.
Penurunan jumlah serabut bulbus olfaktorius
Penurunan serabut bulbus olfaktorius sebesar 1% per tahun akibat
penurunan sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi
kognitif di susunan saraf pusat.
1.
Proses degenerative.
Proses degenerative pada sistem saraf pusat berupa penyakit Parkinson,
Alzheimer, dan proses penuaan normal dapat mengakibatkan hiposmia.
Pada Alzheimer, hilangnya fungsi pembauan merupakan gejala pertama
proses penyakitnya. Sedangkan proses penuaan, terjadi penurunan
penciuman yang lebih pesat daripada pengecapan dan penurunan paling
pesat terjadi pada usia 70an.
Untuk mengidentifikasi adanya gangguan penciuman diperlukan
pemeriksaan fisik untuk menentukan sensasi kualitatif dan ambang batas
deteksi.
1.
Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif
Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif yang paling
sederhana dapat menggunakan bahan-bahan odoran berbeda. Contohnya
kopi, vanilla, selai kacang, jeruk, limun, coklat, dan lemon. Pasien diminta
untuk mengidentifikasi bau dengan mata tertutup dan kemudian mencium
aroma dari bahan-bahan odoran tersebut.

Sedangkan saat ini terdapat beberapa metode yang tersedia untuk


pemeriksaan penciuman, yaitu:
1.
Tes odor stix
Uji ini menggunakan pena penghasil bau-bauan. Penba ini dipegang dalam
jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk mengkaji persepsi bau
pasien secara kasar.
1.
Tes alkhohol 12 inci
Merupakan metode pemeriksaan persepsi bau secara kasar dengan
menggunakan paket alkhohol isopropil yang dipegang pada jarak 12 inci.

1.

Scratch and sniff card

Metode ini menggunakan kartu yang memiliki 3 bau untuk menguji


penciuman secara kasar
1.
The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)
Merupakan metode paling baik untuk menguji penciuman dan paling
direkomendasikan. Uji ini menggunakan 40 item pilihan ganda berisi baubauan berbentuk kapsul mikro. Orang yang kehilangan seluruh fungsi
penciumannya memiliki skor kisaran 1-7 dari skor maksimal 40. Untuk
anosmia total, skor yang dihasilkan lebih tinggi karena terdapat adanya
sejumlah bau-bauan yang bereaksi terhadap rangsangan terminal.
1.
Pemeriksaan fisik untuk emenentukan ambang batas
Penentuan ambang deteksi bau menggunakan alkhohol feniletil yang
ditetapkan dengan menggunakan rangsangan bertingkat. Masing-masing
lubang hidung harus diuji sensitivitasnya melalui ambang deteksi untuk
fenil-etil metil etil karbinol.
http://leliha.blogspot.com/2012/11/pemeriksaan-fisik.html

Pemeriksaan fisik

Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dan


memahami materi mengenai pemeriksaan fisik secara umum dengan tepat.

1.

Augustinus, Andy Santosa. 2000. Pemeriksaan Fisik Cetakan Kelima. Jakarta: Sekolah
Tinggi Ilmu Keperawatan (STIK) St. Carolus.
2.
Musrifatul Uliyah, A. Aziz Alimul Hidayat . Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk
Kebidanan (Edisi 2). Jakarta: Salemba Medika.2008.

Pemeriksaan fisik berasal dari kata physical examination berarti memeriksa tubuh
dengan atau tanpa alat untuk mendapatkan informasi yang menggambarkan kondisi
klien. Pemeriksaan fisik merupakan salah satu bagian dari rangkaian pengkajian, dalam
asuhan kebidanan pengkajian merupakan tahapan yang pertama dilakukan oleh
seorang perawat atau bidan sebelum menentukan masalah kebidanan atau
keperawatan.
Kemampuan bidan atau perawat melakukan pemeriksaan fisik secara
komprehensip sangat diperlukan karena data yang diperolah dari pemeriksaan fisik ini
akan menjadi dasar dalam penentuan masalah. Untuk dapat memahami pemeriksaan
fisik yang baik dan benar dibutuhkan pemahaman terhadap konsep anatomi, fisiologi
tubuh manusia dan pathofisiologi serta didukung oleh ketrampilan melalui latihan-latihan
sehingga menjadi terbiasa. Dalam pemeriksaan fisik juga diperlukan integrasi aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor dari pemeriksa sampai pada menginterprestasikan dan
mengintegrasikan data temuan satu dengan data temuan yang lainnya.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik merupakan salah satu cara untuk mengetahui gejala atau
masalah kesehatan yang dialami oleh pasien (Azis dan Musrifatul, 2008). Pemeriksaan
fisik bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kesehatan pasien, menambah
informasi, menyangkal data yang diperoleh dari riwayat pasien, mengidentifikasi
masalah pasien, menilai perubahan status pasien, mengidentifikasi masalah pasien,
menilai perubahan status pasien, dan mengevaluasi pelaksanaan tindakan yang telah
diberikan. Dalam melakukan pemeriksaan fisik, terdapat teknik dasar yang perlu
dipahami, diantaranya:
1. Inspeksi

Inspeksi merupakan proses pengamatan atau observasi untuk mendeteksi masalah


kesehatan pasien. Cara efektif melakukan inspeksi yaitu:
Atur posisi pasien sehingga bagian tubuhnya dapat diamati secara detail.
Berikan pencahayaan yang cukup
Lakukan inspeksi pada area tubuh tertentu
untuk ukuran, bentuk, warna,kesimetrisan, posisi, dan abnormalitas.
Bandingkan suatu area sisi tubuh dengan bagian tubuh lainnya.
Jangan melakukan inspeksi secara terburu-buru.
2. Palpasi
Palpasi merupakan pemeriksaan dengan indera peraba, yaitu tangan, untuk
menentukan ketahanan, kekenyalan, kekerasan, tekstur, dan mobilitas. Palpasi
membutuhkan kelembutan dan sensitivitas. Untuk itu, hendaknya menggunakan
permukaan palmar jari, yang dapat digunakan untuk mengkaji posisi, tekstur,
konsistensi, bentuk massa, dan pulsasi. Pada telapak tangan dan permukaan ulnar
tangan lebih sensitif pada getaran. Sedangkan untuk mengkaji temperature hendaknya
menggunakan bagian belakang tangan dan jari.
3. Perkusi
Perkusi merupakan pemeriksaan dengan melakukan pengetukan yang menggunakan
ujung-ujung jari pada bagian tubuh untuk mengetahui ukuran, batasan, konsistensi
organ-organ tubuh, dan menentukan adanya cairan dalam rongga tubuh. Ada dua cara
dalam perkusi yaitu cara langsung dan cara tidak langsung. Cara langsung dilakukan
dengan mengetuk secara langsung menggunakan satu atau dua jari. Sedangkan cara
tidak langsung dilakukan dengan menempatkan jari tengah di atas permukaan tubuh
dan jari tangan lain, telapak tidak pada permukaan kulit. Setelah mengetuk, jari tangan
ditarik ke belakang.
4. Auskultasi
Auskultasi merupakan pemeriksaan dengan mendengarkan bunyi yang dihasilkan oleh
tubuh melalui stetoskop. Dalam melakukan auskultasi, beberapa hal yang perlu
didengarkan diantaranya:
a.
b.
c.

Frekuensi atau siklus gelombang bunyi.


Kekerasan atau amplitude bunyi.
Kualitas dan lamanya bunyi.

Dalam melakukan pemeriksaan fisik yang perlu dipahami diantaranya:


A. Penyusunan Data Subjektif
Data subjektif didapat dari klien atau keluarganya maupun orang yang menghantar
(tetangga, polisi, dan lain-lain). Data ini disebut juga anamnesa atau riwayat sakit/
kesehatan.
Penyusunan pertanyaan sebaiknya disusun secara padat, singkat dan relevan
dengan patofisiologi penyakitnya. Buatlah kolom judul keluhan, sejak kapan terjadi dan
uraian tentang judul keluhan dari awal kejadian sampai saat hari pengkajian termasuk
perubahan-perubahan yang terjadi selama waktu itu yang bisa merupakan perubahan
perbaikan maupun memburuknya keadaan. Kemudian tanyakan dan catatlah: Apa
respon klien terhadap setiap perubahan tersebut dan apa hasil sesudah respon
tersebut dilakukan klien.

B. Pemeriksaan Keadaan Umum


Penilaian keadaan umum meliputi:
1. Keadaan sakit pasien
Menilai keadaan sakit pasien dari hasil inspeksi umum terhadap penderita dapat
dilaporkan sebagai berikut:
Pasien tampak sakit berat
Pasien tampak sakit sedang
Pasien tampak sakit ringan
Pasien tampak tidak sakit
Penilaian ini dilengkapi dengan data objektif dari hasil pengamatan (inspeksi) umum
seperti:
Pasien menggunakan oksigen
Pasien menggunakan NGT
Pasien menggunakan respirator
Pasien terpasang cairan infus
Pasien sangat sesak
Pasien harus pada posisi orthopnea
Pasien bisa makan sendiri
Pasien bisa jalan-jalan
Pasien tampak gembira dan sebagainya.
Data apapun yang didapat, akan menjadi bahan pertimbangan untuk memberi penilaian
apakah ia sakit berat, sedang, ringan atau tampak tidak sakit. Kepentingan penilaian ini
dikaitkan dengan urutan prioritas sikap apalagi bila menangani cukup banyak pasien
pada situasi tertentu seperti pada ruang gawat darurat, kerusuhan-kerusuhan, ataupun
di bangsal dengan banyak pasien. Pasien gawat kita atasi kegawatannya dengan
tindakan menurut azas kedaruratan sebelum menyelesaikan pemeriksaan secara
lengkap.
2.
a.

Menilai tanda-tanda vital


Tingkat kesadaran
Kesadaran adalah derajat hubungan antara Hemispherium Cerebridengan Reticular
Activating System (di bagian atas batang otak).
Kesadaran mempunyai dua komponen:
Fungsi mental keseluruhan. Komponen ini berhubungan denganHemispherium Cerebri.
Derajat awas-waspada. Komponen ini berhubungan denganReticular Activating
System (=Ascending Reticular System).
Penilaian kualitatif tingkat kesadaran, secara klinis dan umum digunakan adalah:
Compos mentis
: sadar penuh
Apatis
: perhatian berkurang
Somnolens
: mudah tertidur walaupun sedang diajak bicara
Soporus
: dengan rangsangan kuat masih memberikan
respon gerakan
Soporo-comatous : hanya tinggal reflek cornea (sentuhan ujung
kapas pada cornea, akan menutup kelopak mata).
Coma
: tidak memberi respon sama sekali.

b.
1.

Ada tiga hal yang dinilai dalam penilaian kuantitatif kesadaran yang menggunakan
Skala Coma Glasgow, yakni:
Respon motorik
Respon bicara
Pembukaan mata
Ketiga hal di atas masing-masing diberi angka. Keadaan coma, tidak ada respon sama
sekali dan tidak membuka mata.
Bila dijumlahkan, menjadi:
Score yang kurang atau sama dengan 7 disebut coma.
Score yang lebih atau sama dengan 9 disebut tidak coma.
Pemeriksaan/ pengukuran dan pencatatan
Mengukur tekanan darah
Secara baku (bunyi Korothkoff dan metoda A.H.A) : lebar manset 2/3 lebar lengan,
posisi pasien duduk/berbaring, pada lengan kanan atau kedua lengan, memompa
secepat mungkin sampai 20-30 mm di atas hilangnya nadi A. Radialis.
Menempatkan stetoskop dengan benar, menurunkan permukaan air raksa dengan
kecepatan 3 mm/ detik, mendengar bunyi Korothkoff dengan seksama sambil
menempatkan ketinggian kedua mata mengikuti turunnya permukaan air raksa.
Bunyi-bunyi Korothkoff
Akan terdengar bersamaan dengan nadi/ fase pemompaan ventrikel.
KI
: adalah bunyi pertama yang terdengar, sifatnya lemah,
nadanya agak tinggi terdengar (tek, tek)
KII
: adalah bunyi seperti K Iyang disertai bising (teksst,
teksst) atau (tekrrd, tekrrd)
KIII
: adalah bunyi berubah menjadi keras, nada rendah, tanpa
bising (De:g, De:g).
KIV
: saat pertama kali bunyi jelas melemah (De:g, De:g
deg, deg )
KV
: saat bunyi hilang
Nilai sistolik diambil dari Korothkoff I.
Nilai diastolik diambil dari Korothkoff V.
Kecuali :
Pada anak kecil (Balita).
Pada keadaan terus terdengarnya bunyi walaupun permukaan air raksa sudah nol (hal
ini cukup sering kita temui).
Catatan: pada dua keadaan di atas digunakan K IV untuk pencatatan nilai diastolik.
Setelah mendapatkan nilai sistolik dan diatolik maka segera hitung M.A.P (Mean
Arterial Pressure) yaitu tekanan arteri rata-rata:
M.A.P
= sist +
diast

Makna dari M.A.P adalah penilaian Perfusi Ginjal. Ginjal perlu minimal M.A.P 70 mmHg
untuk mencapai fungsi ginjal yang memadai.
Kurang dari ini fungsi ekskresi berbagai zat akan menurun sampai anuria dan potensial
akan memperburuk keadaan pasien.
Kriteria hipertensi menurut JNCVI, 1997 untuk usia 18 tahun ke atas:
Seorang dikatakan mempunyai Tekanan Darah Tinggi bila diukur dalam keadaan
istirahat cukup dan kondisi tenang, sedikitnya dalam dua kali kunjungan didapatkan nilai
rata-rata dalam kriterianya sebagai berikut:
Kategori
Sistolik
Diastolik
mmHg
mmHg
Optimal
< 120
dan
<80
Normal
<130
dan
<85
Normal tinggi
130-139 atau
85-89
Hipertensi
Tingkat I
140-159 atau
90-99
Tingkat II
160-179 atau
100-109
Tingkat III
>= 180
atau
>= 110
2.

Menghitung nadi. Nadi dihitung selama satu menit penuh. Tempat-tempat palpasi
denyut nadi:
A. Radialis
A. Brachialis
A. Femoralis
A. Poplitea
A. Dorsalis pedis
A. Carotis
A. Temporalis

Tiga komponen yang harus dilaporkan pada pemeriksaan nadi adalah:


Frekuensi
Teratur-tidaknya
Isinya
Frekuensi nadi palpasi perlu dibandingkan dengan frekuensi jantung pada saat
bersamaan. Perbedaan nilai nadi dengan frekuensi jantung disebut pulsus deficit, ini
menunjukkan adanya fibrilasi-atrium. Isi nadi melemah/ berkurang saat inspirasi lalu
penuh/ kuat saat ekspirasi ini menunjukkan adanya gangguan pada kantung
pericardium, seperti:
Pericardial effusion
Pericarditis constrictiva
Hemopericardium
Isi nadi seperti itu disebut Palsus paradoxus.
3. Mengukur suhu tubuh (oral, axillar, rectal) lamanya pengukuran sesuai dengan yang
tertera pada thermometer, jangan lupa mengeringkan axilla sebelumnya..
4. Menghitung pernapasan. Frekuensi nappas dihitung 1 menit penuhdan diamati
jenisnya. Bila didapat hal yang mencolok sepertidyspnea, orthopnea, dyspnea deffort)

sebaiknya dituliskan di sini. Bila tidak ada, maka uraian lengkap dituliskan pada kolom
pemeriksaan thorax.
5. Catatan tentang hal umum yang mencolok. Bila ada sesuatu hal penting/mencolok yang
ada hubungannya dengan kelangsungan hidup/ vital pasien, baik dilaporkan di kolom ini,
misalnya:
Perdarahan banyak dan masih berlangsung.
Robekan dinding perut dan viscus keluar.
Fraktura iga menembus kulit.
Pasien sianosis (respiratory failure)
Tercium bau-bauan tertentu seperti:
o Bau darah (walau tidak tampak)
o Bau aseton (DM), amoniak (renal failure), mousyodor (bau kandang tikus putih-liver
failure)
o Bau faeces (obstruksi usus)
C. Pemeriksaan Sistematik
1) Keadaan rambut dan hygiene kepala
Rambut hitam, coklat, pirang, warna perak, berbau atau warna-warni bendera yang khas
untuk defisiensi vitamin A. Mudah rontok, kulit kepala kotor, berbau secara umum
menunjukkan tingkat hygiene seseorang. Pada kulit kepala bisa ditemui lesi
seperti Vesicula, Pustula, Crusta karena varicella, dermatitis.
2)

Hidrasi kulit daerah dahi


Dapat diketahui dengan palpasi, penekanan ibu jari pada kulit dahi, karena mempunyai
dasar tulang. Pada dehidrasi bisa ditemukan finger print pada kulit dahi.

3)

Palpebrae
Edema palpebrae mudah tampak, cairan edema mudah terkumpul di palpebrae karena
jaringan palpebrae sangat longgar, dan lebih tampak bila pasien bangun tidur atau
pasien berbaring lama. Sesuai dengan hukum gravitasi, bila edema tidak menyeluruh,
bisa terjadi edema palpebraehilang/berkurang setelah pasien beraktivitas dengan posisi
tegak karena kemudian cairan lebih banyak terkumpuldi ekstremitas bawah.
Tempat pemeriksaan edema selain di kelopak mata adalah daerah sacrum dan pretibia
dorsum pedis. Peradangan (Blepharitis, hordeolum/ bintitan) bisa juga ditemui. Kelopak
mata yang selalu tertutup/ tidak mampu membuka disebut ptosis dan kelopak mata yang
tidak bisa menutup rapat disebutlagophtalmus.

4)

Sclera dan konjungtiva


Ikterus tampak lebih jelas di sclera dibanding pada kulit. Teknik memeriksa sclera
dengan 2 jari menarik palpebrae, pasien melihat ke bawah.
Radang pada conjungtiva bisa terjadi, baik pada conjunctiva bulbi maupunconjungtiva
palpebrae. Keadaan anaemik bisa diperiksa pada warna yang pucat pada
konjungtiva palpebrae inferior. Perdarahan sub-conjunctival bisa juga terjadi baik
pada conjungtiva bulbi maupun palpebrae. Rembesan darah di conjungtiva

palpebrae akan menimbulkan warna kebiruan di seluruh kelopak mata, disebut Black
eye atau Brill hematom bila mengenai kedua mata.
5)

Tekanan bola mata/ Tekanan Intra Okular


Pemeriksa menggunakan dua jari telunjuk memeriksa membandingkan antara TIO bola
mata kiri dan kanan dengan cara menekan bergantian pada bola mata atas dengan
kelopak mata tertutup, merasakan tekanan intra okular, yang normal kiri sama dengan
kanan. Kewaspadaan terhadap pasien glaucoma umumnya terhadap pasien berumur
lebih dari 40 tahun.

6)

Pupil dan Refleks Cahaya


Pupil normal berbentuk bulat, sama besar (isokor) diameternya kira-kira 3mm. bila
disinari diameternya akan mengecil kiri dan kanan yang disebut refleks cahaya langsung
dan tak langsung.
Pupil akan membesar apabila cahaya yang di dapat kurang (sedikit)
untuk beradaptasi (penglihatan menjadi jelas). Pupil yang tadi membesar
akan mengecil (normal) ketika mata yang di tutup dibuka apabila cahaya
yang di dapat cukup untuk beradaptasi (dapat memandang dengan jelas).
Memandang dengan satu pupil (mata satunya ditutup) akan membuat
pupil membesar dan membuat otot mata menegang karena peran kedua
mata di bebankan kepada satu mata saja, jadi membutuhkan cahaya yang
lebih besar. Ketika mata yang di tutup tadi di buka maka pupil yang
satunya akan mengecil (normal) karena cahaya yang datang di bagi
menjadi dua bagian (peran mata kembali di bagi menjadi dua tidak hanya
satu lagi) jadi otot mata lebih santai, tidak tegang dan tidak cepat lelah

Pupil mata tergantung dari iris atau semacam otot kecil. Iris mendekati
jika cahaya yang masuk terlalu terang dan iris menjauhi jika cahaya yang
masuk terlalu redup. Jika mata tidak siap saat terkena cahaya maka pupil
mengecil atau meredup secara langsung, kalau siap maka pupil akan
mengecil atau meredup secara perlahan.
Bisa saja terjadi refleks apabila mata kiri yang di senter maka yang
meredup mata kanan. Hal itu disebabkan karena ada kiasma optikus yaitu
persilangan bawah otak.
Pupil dapat melebar pada tempat yang gelap dan mengecil pada
tempat yang terang.

Deteksi penyakit melalui kelainan mata Penyakit lain juga dapat dideteksi melalui mata dengan tandatanda sebagai berikut [2]

Mata menonjol dapat berarti kelainan kelenjar gondok, somare, tumor yang berasal
dari organ lain seperti paru-paru, payudara,kelenjar getah bening. Kadang-kadang disertai
dengan gangguan pergerakan bola mata sehingga penderita mengeluh berpenglihatan ganda.

Kelainan kelopak mata:

Kelopak mata menurun (kelainan saraf, usia tua, atau kencing manis).

Kelopak mata tidak bisa menutup rapat (kelainan kelenjar gondok, kelainan saraf
atau tumor).

Kelopak mata bengkak (ginjal, jantung, alergi, dan sinusitis).

Kelopak mata tidak dapat berkedip (lepra).

Kelopak mata berkedip secara berlebihan (kelainan saraf/ otak).

Mata juling (gangguan saraf/otak, stroke, kencing manis, tumor, dan gondok)

Mata merah

tanpa nyeri (cacingan, TBC, alergi ringan karena debu atau makanan, alergi berat
karena obat, tiroid, HIV/AIDS, tumor)

dengan nyeri hebat (rematik, sifilis, sarkoidosis, lupus (penyakit), kencing


manis (kadang kadang mata nyeri saat dibuka di waktu bangun)

disertai dengan kornea yang kering dan penebalan selaput lendir (kekurangan
vitamin A).

Lingkaran putih di sekeliling kornea pada usia muda (tingginya kolesterol).

Katarak pada usia dini (di bawah usia 61 tahun) menandakan kencing manis. Ibu hamil yang
selama masa kehamilan terinfeksicampak juga dapat menyebabkan anaknya lahir
dengan katarak.

7)

Visus/ Ketajaman penglihatan


Visus/ ketajaman penglihatan diperiksa pada mata, kiri dan kanan satu per satu.
Digunakan optotype Snellen yang dipasang pada jarak 6 meter dari penderita. Teknik
pemeriksaan: pasien diminta menyebut huruf atau angka yang ditunjuk oleh pemeriksa.
Kemampuan menyebut sampai deretan huruf yang mana, tercantum di tepi Ooptotype
Snellen:
Visus mata Emetrop diberi angka 6/6.
Visus 6/60 hanya bisa menghitung jari-jari dari jarak 6 meter.
Visus 6/300 hanya bisa melihat gerak jari-jari dari jarak 6 meter.

Visus 6/tak terhingga hanya bisa melihat terang-gelap.


Mata buta/anopsia tidak bisa melihat terang sama sekali.

8)

Rongga hidung dari depan/ Rhinoscopia Anterior


Diperiksa septum hidung, di tengah atau tidak, ada benda asing, sekret hidung, jernih,
purulen, perdarahan, peradangan mucosa, polip. Digunakan spekulum hidung atau
pasien diminta membesarkan rongga hidungnya. Agak ke dalam diperiksa juga Concha
nasalis media dan inferior (tampak dari luar).

9)

Daun telinga, lubang telinga dan membran tympani


Canalis bersih, bercerumen atau bernanah. Sesudah bersih atau dibersihkan, barulah
membrane tympani dapa diperiksa. Membran tympani yang utuh dengan posisi baik
akan memantulkan refleks cahaya politzer pada penyinaran lampu senter. Lubang
perforasi kecil bisa tampak, atau tidak tampak membran tympani sama sekali karena
sudah jebol total. Membran tympani utuh dengan refleks negatif (tidak ada)
menunjukkan keadaan kedudukan berubah: cembung (ada nanah di telinga tengah)
atau cekung karena retraksi (tekanan telinga tengah lebih rendah dari atmosfir).

10) Fungsi pendengaran: Test Rinne, Webber dan Schwabach


Hasil Test Rinne : positif/negatif.
Hasil Test Weber : lateralisasi ke kiri/kanan atau tidak ada lateralisasi.
Hasil Schwabach : memendek atau sama dengan pemeriksa.
Garpupenala yang digunakan:
Test Rinne freq.
: 256 Hz
Test Weber freq.
: 512 Hz
Test Schwabach freq.
: 512 Hz
11) Higiene rongga mulut, gigi-geligi, lidah, tonsil dan pharynx
Rongga mulut : diperiksa bau mulut, radang mucosa (stomatitis), dan
adanyaAphtae (sariawan). Stomatitis harus dibedakan dengan
Aphtae.Labio/palate/genato schizis juga dilaporkan dalam kolom ini.
Gigi-geligi : diperiksa adanya makanan, karang gigi, carries, sisa akar, gigi yang tanggal,
perdarahan, abses, benda asing (gigi palsu), keadaan gusi, meradang/gingivitis dan ada
tidaknya radang jaringan penyangga gigi (periodontitis).
Lidah : kotor/coated akan ditemui pada keadaan: Hygiene mulut yang kurang, Demam
typoid, Tidak suka makan, Pasien coma, perhatikan pula tepi lidah yang hiperemik yang
dapat ditemui pada pasien Typhoid fever.
Tonsil : tonsilla pallatina berada di antara kedua pilar Plica tonsilaris. Ukuran besarnya
tonsil dinyatakan dengan:
T0 bila sudah dioperasi
T1 ukuran normal yang ada
T2 pembesaran tonsil tidak sampai garis tengah
T3 pembesaran mencapai garis tengah
T4 pembesaran melewati garis tengah

Tonsil diperiksa apakah meradang atau tidak. Kadang-kadang didapati nanah melekat
(GO) atau membran putih perak melekat pada infeksi Difteria. Infeksi/ caries pada gigi
seringkali menjadi fokus infeksi terhadap tonsil sehingga peradangan menjadi kronik.
Pharynx : dinding belakang oro-pharinx diperiksa apakah ada peradangan, pembesaran
adenoid dan lendir/ secret yang ada.

12) Kelenjar getah bening leher, sub mandibulla, dan sekitar telinga
Kelenjar getah bening dapat terjadi karena infeksi di fokus lain, seperti: dari pharynx,
tonsil, gigi, larynx, dan telinga. Infeksi toxoplasmosis memberi gejala pembesaran
kelenjar getah bening leher juga.
13) Kelenjar tiroid
Kelenjar tiroid diperiksa mula-mula dengan inspeksi atas, bentuk, dan besarnya bila ada
pembesarannya telah nyata. Dengan cara palpasi satu tangan dari samping atau dua
tangan dari arah belakang, jari-jari meraba permukaan kelenjar dan pasien diminta
menelan. Dalam keadaan normal, kelenjar tiroid tidak dapat dirasakan perbedaannya
dengan jaringan sekitarnya.
Apabila dirasakan ada sesuatu yang dapat diraba, saat menelan kelenjar tiroid akan ikut
naik turun. Hal ini memastikan bahwa yang diraba tadi adalah benar kelenjar tiroid.
Palpasi tiroid dilaporkan mengenai bentuknya, simetris atau tidak, diraba keras atau
kistik, ataukah noduler (berbenjol).
Auskultasi tiroid: bila ditemukan adanya Bruit tiroid mungkin ini suatu keganasan karena
aliran darah dan pembuluh darah bertambah banyak (neovaskularisasi).
14) Tekanan vena jugularis
Tekanan vena jugularis merupakan gambaran/cermin secara tidak langsung atas fungsi
pemompaan ventrikel. Karena setiap kegagalan pemompaan ventrikel menyebabkan
terkumpulnya darah lebih banyak pada sistem vena. Analog dengan keadaan ini
adalah over load cairan infuse yang diberikan juga meningkatkan tekanan vena
jugularis. Jadi, dengan inspeksi dapat tampak apakah vena jugularis mengembang
dengan nyata atau tidak.
Pengukuran tekanan vena jugularis:
Pasien dibaringkan dengan bantal pada kepala. Bendunglah daerah supra
clavicula agar vena jugularis tampak jelas. Kemudian tekan ujung proximal vena
jugularis (di dekat Angulus mandibulae) sambil melepas bendungansupra clavicula.
Amati tingginya kolom darah yang ada.
Ukurlah jarak vertikal permukaan atas kolom yang ditemukan terhadap bidang
horizontal yang melalui Angulus Ludovici. Katakanlah jaraknya a cm di bawah/ di atas
bidan horizontal tadi.
Maka nilai tekanan vena jugularisnya:
JVP
= 5 a cm air (bila di bawah bidang horizontal)
= 5 + a cm air (bila di atas bidang horizontal)
Bila permukaan kolom darah tepat pada bidang horizontal tersebut, maka: JVP = 5 + 0
cm air.
Angka 5 berasal dari jarak Atrium Kanan ke titik Angulus Ludovici kira-kira 5 cm.

15) Ada tidaknya kaku kuduk/tengkuk


Setiap rangsang meningeal, baik karena peradangan maupun perdarahan SubArachnoid menimbulkan kekakuan otot-otot leher/spasme otot. Spasme otot ini disebut
kaku kuduk/tengkuk yang merupakan ciri atas adanya iritasi/rangsangan meningeal.
16) Thorax dan fungsi pernapasan
Untuk memeriksa daerah thorax, diperlukan ingatan kembali tentang garisgaris imaginer.
Linea mid-sternalis
Linea sternalis
Linea mid-clavicularis
Linea axillaris anterior, media, posterior
Linea scapularis
Linea vertebralis
Angulus Ludovisi, Angulus Costae, dan Arcus Costae
Secara berurutan pemeriksaan thorax harus meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.
Inspeksi :
a. Amati bentuk, apakah biasa/normal atau ada kelainan bentuk seperti:
Kiposis, lordosis, scoliosis, gibbus (kiposis yang ekstrim).
Bentuk dada burung (Pigeon chest) = sternum menonjol.
Bentuk dada tukang sepatu/cekung (Funnel chest).
Barrel chest (besar-menggembung muka belakang).
b. Amati pernapasan pasien seperti:
Terdengar stridor inspirasi/ekspirasi
Menghitung frekuensi pernapasan, yang normalnya 16-24 x per menit. Dan juga ada
perbandingan frekuensi napas dengan frekuensi jantung kira-kira 1:4. Napas yang lebih
dari 24 kali per menit disebuttachypnea dan bila kurang dari 16 x per menit
disebut bradipnea.
Catat pula pola/irama pernapasannya. Teratur, periodik Cheynnes stokes, periodik Biot,
Kussmaul (cepat-dalam), Hiperventilasi (hanya dalam), atau irama satu-satu pada psien
sebelum meninggal.
Amati ada tidaknya dyspnea (setiap ketidaknyamanan bernapas dalam bentuk apapun):
o Tanda-tanda retraksi intercostals,
o Tanda-tanda retraksi supra sternal,
o Pernapasan cuping hidung,
o Deffort inspirasi, seperti pada difteria,
o Deffort ekspirasi, seperti pada asma bronkiale dan
o Orthopnoe, lebih nyaman bernapas pada posisi duduk.
c. Ada dua hal lain yang dihubungkan dengan fungsi pernapasan:
Pengamatan sianosis di sekitar bibir, mulut, dan dasar kuku.
Clubbing of the finger (seperti ujung pemukul gendering).
d. Amati suara batuk yang terdengar (produktif, kering, whooping, pendek-pendek/
dehem-dehem).
Palpasi:

Palpasi pada dinding thorax menggunakan seluruh telapak tangan dan jari, kiri dan
kanan dengan maksud meraba dan merasakan getaran dinding dada sewaktu pasien
mengucapkan kata tujuh puluh tujuh berulang-ulang.
Getaran yang dirasakan disebut Vocal fremitus, perabaan dilakukan di seluruh
permukaan dada (kiri, kanan, depan, belakang). Umumnya, pemeriksaan ini bersifat
membandingkan bagian mana yang lebih bergetar atau kurang bergetar. Pemadatan
jaringan paru (pneumonia, keganasan) akan terasa lebih bergetar. Pleural effusion dan
Pneumo thorax akan terasa kurang bergetar.
Perkusi:
Perkusi dinding thorax, dengan cara mengetuk dengan jari tengah-tangan kanan pada
jari tengah-tangan kiri yang ditempelkan dengan erat di dinding dada di celah
intercostals (kecuali pemeriksa kidal tentu sebaliknya).
Penilaian suara yang ditimbulkan oleh perkusi:
Sonor adalah suara perkusi jaringan paru normal.
Redup adalah suara perkusi jaringan yang lebih padat/konsolidasi paru-paru seperti,
pneumonia.
Pekak adalah suara perkusi jaringan yang padat seperti pada:
o Adanya cairan di rongga pleura
o Perkusi daerah jantung, dan
o Perkusi daerah hepar.
Hypersonor/tympany adalah suara perkusi pada daerah yang lebih berongga kosong
seperti: daerah Caverne-caverne paru, penderita asma kronik terutama dengan bentuk
dada Barrel chest akan terdengar seperti ketukan benda-benda kosong, bergema.
Perkusi dilakukan dengan cara membandingkan kiri-kanan pada setiap daerah
permukaan thorax.
(1) Dengan perkusi juga dapat diperiksa rentang turunnya diafragma, sejak akhir ekspirasi
sampai inspirasi maksimal yang normalnya berkisar 3-5 cm. Rentang turunnyadiafragma
diperiksa di:
Thorax bagian belakang
Atas di batas paru-hepar/ ICS-4 kanan.
Bila paru-paru collaps, maka diafragma sisi yang bersangkutan tidak turun pada
inspirasi maksimal.
(2) Dengan perkusi thorax-depan, sekaligus menilai batas-batas jantung (perkusi di atas
jantung terdengar pekak). Pada keadaan normal:
Batas atas jantung ICS 2-3
Batas kanan jantung linea sternalis kanan
Batas kiri jantung linea medio-clavicularis kiri (pada pasien dengan dada lebar batas kiri
jantung: 1 jari medial dari linea mid-clavicula kiri).
Auskultasi:
Auskultasi paru adalah mendengarkan suara pada dinding thorax dengan menggunakan
stetoskop, caranya: pasien diminta bernapas cukup dalam dengan mulut terbuka dan
letakkan stetoskop secara sistematik dari atas ke bawah dengan membandingkan kirikanan.
Ada tiga suara yang didengar pada pemeriksaan auskultasi:
1. Suara napas

Vesicular, suara napas vesicular terdengar di semua lapangan paru yang normal.
Bersifat halus, nada rendah, inspirasi lebih panjang dari ekspirasi.
Broncho-vesicular, suara napas Broncho-vesicular terdengar di daerah percabangan
bronchus dan trache. Jadi, sekitar sternum dan region interscapular, nadanya sedang
lebih kasar dibandingkan vesicular, inspirasi sama panjang dengan ekspirasi.
Bronchial, suara napas bronchial terdengar di daerah trakea (leher) dan supra sterna
notch. Bersifat kasar, nada tinggi, inspirasi lebih pendek dibandingkan dengan ekspirasi.
Bila didapat suara broncho-vesikular atau bronchial di lapangan paru (yang semestinya
vesicular), tentu merupakan suatu kelainan.
Bila tidak terdengar suara sama sekali, hal ini bisa karena paruparunyacollaps/atelektasis atau pleural effusion yang banyak jumlahnya. Jumlah cairan
pleura yang tidak banyak bisa menimbulkan suara Vesicular yang melemah.
Bila terdengar suara seperti tiupan pada mulut botol, disebut suara Amforik merupakan
suara resonansi dari rongga-rongga Caverne yang ada dalam paru-paru.
2. Suara ucapan (tujuh puluh tujuh) = vocal resonans
Penderita diminta mengucapkan tujuh puluh tujuh berulang-ulang setiap sesudah
inspirasi secara berbisik dengan intonasi yang sama kuat. Pemeriksa mendengarkan
dengan stetoskop secara sistematik di semua lapangan paru serta membandingkannya
kiri dan kanan.
Suara normal : perlu mengenal/membiasakan mendengar pada orang sehat. Intensitas
dan kualitas di kiri sama dengan di kanan.
Bronchophoni : suara terdengar jelas ucapannya dan lebih keras dibandingkan daerah
sisi yang lain. Umumnya, ini akibat dari adanya proses pemadatan/konsolidasi paru.
Pectoriloquy : suara terdengar jauh dan tidak jelas (=nggrenyem). Bisa terdapat pada
effusion atau atelektasis.
Egophony : suara bergema seperti seorang yang hidungnya tersumbat (=bindeng) dan
terasa dekat. Suara semacam ini bisa didapat pada pemadatan paru yang disertai
caverne/berongga-rongga besar. Tidak jarang ditemui pada sebuah paru sekaligus ada
daerah effusion, ada daerah konsolidasi, mempunyai caverne, ada daerah yang masih
normal maka vocal resonansnya bercampur sesuai distribusi kelainan parunya.
3.

o
o
o

Suara tambahan
Pada pernapasan normal tidak didapati suara tambahan. Suara tambahan menunjukkan
ada kelainan.
Macam-macam suara tambahan:
Rales, bunyi yang dihasilkan oleh eksudat lengket saat saluran-saluran halus
pernapasan mengembang pada inspirasi:
Rales halus, terdengar meritik halus pada akhir inspirasi jadi pendek saja.
Rales sedang, terdengar lebih kasar dan di tengah fase akhir inspirasi.
Rales kasar, terdengar lebih lama, yaitu pada seluruh fase inspirasi.
Ronchi, ciri khas ronchi adalah nada rendah dan sangat kasar terdengar baik pada saat
inspirasi maupun ekspirasi. Ciri lain ronchi adalah akan hilang bila pasien disuruh batuk.
Ronchi terjadi akibat terkumpulnya cairan mucus dalam trakea atau bronkus-bronkus
besar (misalnya pada edema paru).
Wheezing adalah bunyi musikal terdengar ngiiiik atau pendek ngiik. Yang bisa
didapat pada fase inspirasi maupun ekspirasi, bahkan biasanya lebih jelas pada

17)

ekspirasi. Wheezing terjadi karena ada eksudat lengket tertiup aliran udara dan bergetar
nyaring. Biasanya, didapat pada bronchis acuta. Bila hanya terdengar pada fase
ekspirasi, ini akibat udara melewati celah sempit bronchial. Pada keadaan ini,
terdengarnya wheezingdisertai ekspirasi yang memanjang.
Pleural Friction-Rub, suatu bunyi yang terdengar kering persis seperti suara gosokan
Amplas pada kayu. Rales dan ronchi terdengar basah karena seperti gemercik cairan,
Pleural friction-rub terjadi karena peradangan pleura, terdengar sepanjang fase
pernapasan (inspirasi sepenuhnya). Paling jelas suara ini terdengar di daerah posterilateral bawah dinding thorax.
Jantung
Pemeriksaan jantung meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Inspeksi
Pengamatan pertama mencari ictus cordis, yaitu denyutan dinding thorax karena
pukulan ventrikel kiri pada dinding thorax. Bila normal, akan berada di ICS-5 pada medio
clavicularis kiri selebar 1 cm saja. Inspeksi ictus cordis sulit didapat pada pasien-pasien
yang gemuk, berotot besar atau kelenjar mammae yang besar. Dengan mengetahui
letak ictus, secara tidak langsung bisa diperoleh gambaran tentang ada tidaknya
pembesaran jantung (pembesaran jantung ictus cordis bisa sampai berada di linea
axillaris anterior). Ictus cordis yang sangat nyata/ kuat sesuai juga dengan
meningkatnya kerja ventrikel kiri seperti pada seorang yang sangat berdebar ketakutan
atau hipertensi sistolik.
Bulging precordial (daerah precordial yang lebih menonjol dari dinding thorax yang lain)
menunjukkan kemungkinan pembesaran ventrikel kanan atau aneurysma pangkal aorta.
Palpasi
Pada Ictus cordis, meraba Ictus cordis dengan telapak jari II-III-IV (seringkali juga ictus
tidak nampak namun bisa teraba). Dirasakan kekuatan pukul dan ditentukan lebarnya
ictus cordis yang normal tidak lebih dari 1 cm persegi.
Kalau teraba lebih lebar dan pukulannya kuat serta letaknya bergeser ke kiri hal ini
sesuai dengan hipertrofi ventrikel kiri (misalnya karena hipertensi yang lama).
Sedangkan hipertrofi ventrikel kanan akan menimbulkan gerakan naik turun di daerah
linea sternalis kiri. Keadaan ini disebut Right Ventricular Lift/Heaving.
Memeriksa ada tidaknya Thrill, yaitu getaran ictus cordis, tidak lain ini adalah murmur
(pada auskultasi) derajat 5-6 yang keras/kasarnya dapat kita raba.
Perkusi
Pada pemeriksaan perkusi ditentukan batas-batas jantung, karena daerah jantung
terdengar pekak. Dengan demikian, dapat ditentukan ukuran jantung apakah lebih besar
daripada batas-batas normal ataukah tidak membesar. Pembesaran jantung yang dapat
diperiksa dengan perkusi adalah pembesaran ventrikel kiri, yaitu akan membesar ke kiri
agak ke bawah.
Pembesaran ventrikel kanan kurang dapat ditentukan dengan perkusi karena
pembesarannya lebih ke arah antero posterior. Perkusi pada pasien gemuk atau sangat
berotot akan menyulitkan penentuan batas-batas janntung dengan baik.
Auskultasi
Auskultasi jantung yaitu mendengar bunyi jantung dengan alat stetoskop. Untuk itu,
diperlukan suasana yang tenang agar bunyi jantung terdengar baik. Kesalahan

a.

b.

c.

1.
2.
3.
4.
5.

terbanyak pada auskultasi adalah ingin mendengar sekaligus/seketika semua bunyibunyi jantung yang semestinya satu demi satu sesuai dengan tempatnya, bunyi jantung
mana yang kita perhatikan. Mula-mula gunakanlah sisi membrane dengan tekanan kuat
untuk mendengar nada-nada yang lebih tinggi, kemudian sisi bell dengan tekanan
ringan untuk mendengar nada-nada yang lebih rendah.
Bunyi jantung (BJ)
BJ I adalah bunyi menutupnya katup Mitral dan Tricuspidalis.
BJ II adalah bunyi menutupnya katup Aorta dan Pulmonalis.
Ada lima tempat mendengar BJ untuk empat buah katup:
Katup aorta/A di ICS-2 Linea Sternalis Kanan di sini terutama disimak BJ II-A.
Katup Pulmonalis/P di ICS-2 Linea Sternalis Kiri dan ICS-3 Linea Sternalis Kiri, di sini
terutama disimak BJ II-P.
Katup trikuspida/T di ICS-4 Linea Sternalis Kiri, di sini terutama disimak BJ I-T.
Katup Mitral/Mdi ICS-5 Linea Medio-Clavicularis Kiri (atau di apeks (ictus) cordis), di sini
terutama disimak BJ I-M.
Pada keadaan normal BJ II (A dan P) dan BJ I (T dan M) adalah bunyi tunggal karena
menutupnya katup A bersamaan dengan P, dan T bersamaan dengan M.
BJ III didengar di daerah M. BJ III terdengar sesudah BJ II dengan jarak cukup jauh.
Namun, tidak melewati separuh fase diastolic, nadanya rendah (sehingga lebih jelas
dengan sisi bell).
Irama pacu kuda/ Gallop rhythm.
BJ III timbul akibat getaran derasnya pengisian diastolic dari atrium kiri ke ventrikel kiri
yang sudah membesar, darah jatuh ke ruang lebar kemudian timbul getaran.
Fase sistolik dan fase diastolik
Fase sistolik
: yaitu fase antara BJ I dan BJ II.
Fase diastolik
: yaitu fase antara BJ II dan BJ I berikutnya.
Fase diastolik lebih lebar/lama daripada fase sistolik. Jika pada fase ini diantaranya
terdapat suara-suara tambahan baik suara tambahan pada fase sistolik atau suara
tambahan pada fase diatolik atau pada kedua-duanya. Suara tambahan ini disebut
bising jantung atau murmur (m).
Bising jantung/ murmur (m)
Murmur adalah fibrasi/getaran yang terjadi di dalam jantung atau pembuluh darah besar
yang diakibatkan oleh bertambahnya arus Turbulensi darah. Arus darah yang normal
adalah stream line.
Hal inilah yang menimbulkan bising.
Bila didengar murmur harus dideskripsi:
Tempatnya (M, T, P) dan penjarannya/tidak menjalar.
Terjadinya pada fase sistolik atau diastolik.
Derajatnya.
Tinggi rendahnya nada.
Kualitasnya.
Beberapa interpretasi
BJ I
TM
Sangat keras
Pasien cemas
Hipertiroid
Hipertensi

Lemah

Split
A II

Keras

P II

Lemah
Keras

Anemia
Mitral stenosis/MS
Decomp cordis
Pericardial effusion
Infark miokard
AV blok derajat I
BBB (Bundle Branch
Block)
Hipertensi sistemik
Aneurisma
Aorta insufisiensi
Co artatio Aortae
Aorta stenosis
Mitral stenosis
Decomp kiri
Hipertensi pulmonal
Truncus arteriosus
Pulmonary Stenosis

Lemah
BJ II split pada inspirasi : RBBB, ASD, PS, MI
BJ II split pada ekspirasi : LBBB, AS
BJ III pada anak kecil, remaja, wanita hamil : bukan kelainan
BJ III dengan disertai keluhan gejala Decomp cordis lain disebut irama Gallop. Hal ini
bisa ditemukan pada penyakit gagal jantung atau pemberian cairan infus yang overload.
18) Abdomen
Pada pemeriksaan abdomen kita harus kembali mengingat pembagian daerah abdomen
menurut :
Regio
- Epigastrica
Hipochondrica kiri-kanan
Umbilicalis
Lumbalis kiri-kanan
Hipogastrica
Illiaca (=inguinal) kiri-kanan
4 kuadran
- Kuadran kanan atas
Kuadran kiri atas
Kuadran kanan bawah
Kuadran kiri bawah
Khusus untuk pemeriksaan abdomen, urutannnya adalah inspeksi, auskultasi,
barulah palpasi dan perkusi, karena palpasi/perkusi bisa meningkatkan frekuensi dan
intensitas peristaltik usus sebelum diperiksa.
Inspeksi
Pada inspeksi perlu disimak apakah abdomen membusung/membuncit atau datar saja,
tapi perut (flank) menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak.
2. Amati bayangan/gambaran bendungan pembuluh darah vena di kulit abdomen. Bila
ada, maka perhatikanlah arah alirannnya.
Kalau didapat pelebaran vena yang berasal :
1.

o Dari bagian atas abdomen mengalir ke atas lagi ini berarti selesai dengan obstruksi vena
porta hepatica / tekanan V.porta meningkat.
o Dari bagian bawah abdomen aliran menuju ke atas abdomen, hal ini sesuai dengan
obstruksi vena cava inferior.
Aliran normal pembuluh darah di kulit abdomen berasal dari pertengahan abdomen; ada
yang menuju atas, ada yang menuju bawah dan tidak terlalu menonjol.
3. Inspeksi juga mengamati apakah daerah abdomen tampak benjolan-benjolan/massa.
Laporkan bentuk dan letaknya.
Auskultasi
Segera dilakukan sesudah inspeksi, stetoskop diletakkan pada daerah
epigastrium dan 4 kuadran abdomen.
Mendengar suara peristaltik usus
Normal berkisar 5-35 kali per menit
Bunyi peristaltik yang keras dan panjang disebut borborygmi, ditemui pada
gastroenteritis atau obstruksi usus pada tahap awal (sampai bisa metalic sound).
Peristaltik yang berkurang ditemui pada ileus paralitik. Apabila setelah 5 menit tidak
terdengar bunyi peristaltik sama sekali barulah kita katakan peristaltik negatif/tidak ada,
(pada pasien post operasi). Daerah epigastrium di auskultasi untuk mencari Bruit
Aorta,Bruit Arteri Renalis dicari di regio lumbalis kiri-kanan. Bruit Arteri Femoralis dicari
di lipat paha kiri-kanan.
Palpasi
Sebelum anda lakukan palpasi, bertanyalah apakah ada bagian perut pasien yang
terasa nyeri (spontan) tanpa palpasi, sebab bila pasien mengatakan ada, daerah
tersebut harus di palpasi terakhir.Palpasi abdomen dimulai dengan palpasi umum
terhadap keseluruhan dinding abdomen untuk mencari tanda nyeri umum (peritonitis,
pancreatic). Kemudian mencari dengan perabaan ada/tidaknya masa/benjolan (Tumor,
feces). Periksa juga turgor kulit perut untuk menilai hidrasi pasien. Sesudah itu,
periksakanlah dengan tekanan pada regio supra pubica (cystitis), titik Mc Burney
(Appendicitis) Regio epigastrica (gastritis) dan regio iliaca (adnexitis, K.E.T). Barulah kita
secara khusus melakuakan palpasi hepar dan lien.
Palpasi Hepar
Teknik palpasi hepar dengan telapak tangan dan jari tangan dimulai dari kuadran
kanan bawah berangsur-angsur naik mengikuti irama nafas dan gelembung perut dan
berupayalah merasakan sentuhan tepi hepar pada tepi jari telunjuk. Pembesaran hepar
menuju arah inferior. Pada keadaan normal hepar berada dibelakang arcus costa
sehingga tidak teraba.

1.
2.
3.
4.
5.

Apabila hepar dapat di raba, dibuat deskripsi sebagai berikut :


Ukuran hepar di tepi bawah arcus costae (dalam cm atau lebar jari)
Perabaan keras, lunak atau biasa.
Tepi hepar : tajam atau tumpul
Permukaan rata atau berbenjol-benjol
Nyeri tekan atau tidak
Hepar membesar pada keadaan-keadaan :

Bendungan karena Decomp cordis


Malnutrisi
Gangguan fungsi hati/radang hati (Hepatitis, Thypoid fever, Malaria, dengue, Tumor
hepar dan sebagainya)
Hepar yang didapat teraba 1 jari pada bayi dan anak-anak merupakan keadaan yang
sering ditemui. Hal ini bukan berarti suatu pembesaran hepar.
Palpasi Lien
Teknik palpasi lien dengan cara bimanual (= 2 tangan), jari-jari tangan kiri
mengangkat dengan cara mengait dinding perut kiri atas dari arah belakang, sedangkan
jari-jari tangan berupaya meraba lien dari arah depan abdomen kiri atas mencari/meraba
lien yang ditandai dengan adanya Incissura lienalis. Pembesaran lien mengikuti arah
garis yang melewati umbilicus menuju kuadran kanan bawah abdomen.
Besarnya lien diukur menurut ukuran Schuffner dari arcus costae kiri sampai
umbilicus mempunyai skala Schuffner -4S-1-2-3-4 dibagi menurut 4 bagian jarak dari
arcus costae sampai umbilicus. Lien yang membesar didapat pada Thypoid fever,
Dengue H. Fever, hipersplenisme, Leukemia dan sebagainya. Harus hati-hati
melakuakan palpasi pada lien yang sudah sangat membesar karena bisa
mengakibatkan ruptura lien, palpasilah dengan lembut/hati-hati.
Palpasi Titik Mc Burney
Titik Mc Burney berada pada batas sepertiga luar dan dua pertiga dalam dari garis
imaginer yang menghubungkan umbilicus dengan SIAS kanan.
Pada radang akut appendix akan didapat nyeri tekan dan nyaeri lepas yaitu rasa
nyeri timbul saat daerah ini ditekan maupun dengan mendadak dilepaskan. Perhatikan
ekspresi wajah pasien saat menekan maupun saat mendadak dilepaskan.
Nyeri tekan kontra lateral dalah nyeri pada titik Mc burney saat pemeriksa menekan
daerah kuadran kiri bawah abdomen. Hal ini terjadi karena dengan tekanan kuadran kiri
abdomen, udara/massa di dalam colon (Descendens, Transversum, Ascendens maupun
coecum) teregang dan timbul nyeri pula bila appendix vermiformisnya meradang akut.
Bisa terjadi ditemukan masa sebesar telur dan nyeri tekan pada palpasi daerah ini. Hal
ini menunjukan adanya peradangan kronik dan sudah terjadi infiltrat di sebut
appendicullar infiltrat.
Perkusi
Perkusi dilakukan dengan teknik yang sama seperti perkusi thorax. Suara perkusi
abdomen yang normal adalah timpani. Masa padat atau cairan akan menimbulkan suara
pekak (hepar, ascites, vesica urinaria, masa tumor). Perkusi dilakukan pada semua
kuadran.
Pemeriksaan adanya asites : cairan dalam rongga perut mengikuti hukum
gravitasi, selalu berada dibagian bawah. Perkusi dimulai dari tengah abdomen dengan
pasien posisi terlentang, menyusuri dinding abdomen; perkusi terus dilakukan menuju
lateral. Perubahan suara dari timpani menjadi pekak merupakan batas cairan ascites
yang ada, kemudian pasien di pindah posisi menjadi berbaring miring/lateral. Apabila
memang ada cairan dalam rongga abdomen tentu akan berpindah ke bagian bawah
mengikuti gaya gravitasi. Maka daerah lateral abdomen yang semula pekak setelah

berada diatas menjadi timpani karena cairan berpindah, sebaiknya daerah umbilicus
sekarang menjadi pekak. Dalam bahasa inggris disebut Shifting dullness.
Perkusi Ginjal
Perkusi ginjal dilakukan di dinding abdomen belakang pada sudut costo-vertebral
(Costo vertebral angle), dengan dialasi telapak tangan kiri, kita lakukan perkusi dengan
sisi ulnar kepalan tangan kanan (pada pemeriksa kidal tentu sebaliknya).
Pada peradangan/infeksi saluran kemih (U.T.I/Pyelonefritis) akan didapatkan tanda nyeri
pada perkusi ini.
19) Kelenjar Limfe Inguinal, Genitalia dan Anus
a. Kelenjar limfe inguinal diperiksa dengan palpasi, teraba membesar, nyeri tekan atau
tidak, pembesaran dan nyeri merupakan petunjuk adanya infeksi dari daerah tungkai,
kelamin atau metastase tumor testis/prostat.
b. Pemeriksaan genitalia eksterna
Pria :

Diperiksa apakah kulit sekitar kelamin mengalami infeksi/jamur/kutu (pediculosis pubis)

Testis kiri-kanan, ada/tidak, hidrocele, radang (orchitis);

Mulut uretra : discharge nanah (G.O)

Atau phymosis, preputium tidak bisa ditarik;

Lesi herpers, condyloma-acuminata

Keganasan dan sebagainya.


Wanita :
Bila tersedia, pemeriksaan sebaiknya dilakukan diatas meja gynaekologik. Amati vulva
secara keseluruhan adakah prolapsus uteri, benjolan kelenjar bartholin.
Amati secret vaginal :

Normal-jernih-tidak gatal

Lochea rubra-sampai 3 hari post partum

Lochea alba 9 hari kemudian

Coklat : mungkin CA, endometriosis

Keju air : mungkin monilla/candida

Putih mucoid : infeksi stafilokokus

Streptokokus

Putih berbusa : tricomonas vaginalis

Kuning kehijauan, lengket : GO


c. Anus
Anus diperiksa bersamaan dengan genitalia pada wanita. Pada pasien laki-laki, posisi
pasien berbaring miring dengan lutut terlipat menempel di perut/dada.
Periksa adanya - Hemoroid externa
- Fissura
- Fistula
- Tanda keganasan
20) Lengan dan tungkai
a. Pemeriksaan Edema
Edema bisa terjadi didaerah pretibia, sekitar malleolus, Dorsum pedis, jari-jari. Selain itu
edema bisa terjadi di palpebrae atau didaerah tulang sacrum terlebih pada pasien-

pasien berbaring lama (jangan lupa di periksa). Edema di periksa dengan menekankan
jari dipermukan kulit dan kecekungan yang terjadi akan tidak segera hilang (pitting
edema). Hal ini terjadi karena terkumpulnya cairan dijaringan extra selular (= interstitial)
lebih banyak dari biasanya (Decomp corsis, nefrotik dan sebagainya). Non pitting edema
seperi pada hypothyroidisme (myedema) adalah edema intra selular, tidak cekung pada
penekanan.
b. Menilai rentang gerak (Range of motion), diperiksa simetrisitas lengan dan tungkai,
panjang dan besarnya dibandingkan antara sisi kiri dengan kanan. Keadaan ini patologik
seperti : polio, fraktura tulang, kelumpuhan akan memberikan gambaran tidak simetris.
Gerakan pasif ke berbagai arah dinilai apakah mengalami hambatan/keterbatasan gerak
yang mungkin akibat dari kelainan sendi atau jaringan di sekitar sendi.
c. Uji kekuatan otot
Diawali dengan memeriksa tonus otot, trofi otot (tonus dihubungkan dengan
ketegangannya, trofi dihubungkan dengan ukuran otot) dengan cara inspeksi palpasi.
Bandingkan kiri dan kanan demikian pula dengan kekuatan otot.
Kekuatan otot dinilai dengan angka nol sampai lima :
0
Otot sama sekali tidak mampu bergerak tampak berkontraksi pun tidak, bila
lengan/tungkai dilepaskan, akan jatuh 100% pasif.
1
Tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh
2
Mampu menahan tegak yang berarti mampu menahan gaya gravitasi (saja), tapi
dengan sentuhan akan jatuh
3
Mampu menahan tegak walaupun sedikit didorong tetapi tidak mampu melawan
tekanan/ dorongan dari pemeriksa
4
Kekuatan kurang dibandingkan sisi lain
5
Kekuatan utuh
Uji kekuatan otot sekali-kali bukan membandingkan kekuatan pasien dengan si
pemeriksa.
d. Menilai reflek-reflek fisiologik
Reflex fisiologik diperiksa pada ketukan tendon yang akan dijawab dengan kontraksi
otot. Diperiksa refleks tendon : biceps, triceps, lutut, achiles.
e. Mencari reflex patologik babinski
Reflex patologik babinski normal tidak ditemui.
Caranya : lakukanlah goresan dengan benda berujung tumpul pada telapak kaki seperti pada
gambar dibawah ini.
Normal :
Kelima jari-jari kaki akan melakukan gerak plantar flexi. Hasil seperti di atas disebut tanda
babinski negatif
Pada kerusakan/lesi upper motor neuron (= U.M.N) akan didapat jawaban :
Ibu jari akan bergerak dorso flexi
4 jari lainnya bergerak plantar flexi
Hasil seperti ini disebut tanda babinski positif (= abnormal).
f. Mencari tanda-tanda khusus, seperti :
Clubbing of the finger , ujung-ujung jari seperti ujung tongkat genderang.
(Pada penyakit jantung bawaan, kronik, kelainan darah, TBC/COPD kronik). Terjadi
pada semua keadaan dimana jaringan kekurangan oksigen secara menahun/lama.

Spider naevi, pelebaran, arteriola berbentuk laba-laba pada pasien Cirrhosis hepatis
yang sudah lanjut, bahkan bertambah banyak pada keadaan coma hepaticum.
Gambaran khasnya, apabila ditekan kemudian dilepaskan, darah akan mengisi
kembali arteriola ini dari arah sentral ke seluruh jari-jarinya seperti letupan kembang api
di udara malam.
Uremic Frost- salju ureum
Didapat pada pasien uremia. Setelah keringat yang mengandung ureum menguap,
tertinggal bedak ureum. Pemeriksaan dengan perabaan dan bukan saat pasien baru
saja dimandikan.
21) Payudara pada pasien perempuan
Lakukanlah pemeriksaan secara legeartis. Pasien berbaring dengan sedikit ganjal di
punggungnya, posisi baring berada di tepi meja pemeriksaan yang sesuai dengan sisi
payudara mana yang akan diperiksa (bergantian kiri-kanan). Dengan demikian ada
ruang gerak yang cukup untuk sendi bahu sewaktu pemeriksaan dilakukan.
Inspeksi
Periksalah apakah tampak retraksi kulit daerah mamae akibat tarikan ligamentum
cowperi seperti kulit jeruk . adakah discharge berbau dari puting susu, ulcus, bayangan
benjolan yang tampak sehingga tidak simetris bentuknya.
Palpasi
Lengan kanan pasien ditopang dengan lengan kiri, pemeriksa, sewaktu tangan
kanan pemeriksa melakukan palpasi pada setiap kuadran mamae pasien dan fossa
axillarisnya. Diperiksa elastisitasnya, adakah kekakuan/lekatan dengan dasar, diperiksa
ada tidaknya benjolan tumor, bila ditemukan buatlah deskripsi tentang : bentuk, ukuran,
konsistensi dan keadaan permukaaannya. Palpasi selalu dilanjutkan ke kelenjar limfe
axillar untuk memeriksa adanya metastase tumor ke daerah tersebut.
22) Collumna vertebralis
Pasien pada posisi duduk, membelakangi pemeriksa.
Inspeksi
Amati bentuk dari susunan Collumna Vertebralis akan adanya kelainan-kelainan
seperti Scoliosis, Kyposis, Gibbus, Meningocele, Spina bivida (spina bivida oculta di
tutupi rambut).
Palpasi
Tekanlah processus spinosus dari cervical sampai lumbo-sacral mencari tanda nyeri
yang mungkin di dapat, seperti pada pasien HNP.
23) Uji Syaraf Cranial
Uji syaraf kranial sudah merupakan pemeriksaan khusus neurologis yang rutin bagi
pasien penyakit syaraf. Tetapi sebagian dari padanya merupakan bagian dari
pemeriksaan umum,yaitu :
Fungsi
N II
Ketajaman penglihatan (Visus)
N VIII
Pendengaran dan keseimbangan
Juga catatan tentang cara berjalan yang khas sewaktu pasien masuk ruang
pemeriksaan adalah catatan dari aspek neurologik.

Cara pemeriksaan saraf cranialis :


NI
Olfactorius penghiduan
Fungsi penghiduan diperiksa dengan bau-bauan seperti tembakau, wangi-wangian yang
di minta agar pasien menyebutkannya dengan mata tertutup.

N II

NV

N VII

N VIII

Opticus
Diperiksa dengan pemeriksaan visus terhadap setiap mata. Digunakan optotype
snellen yang dipasang pada jarak 6 meter dari pasien. Visus ditentukan dengan
kemampuan membaca jelas deretan huruf-huruf yang ada.
N III
Oculomotorius
N IV
Trochlearis
N VI
Abduscens
Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan bola mata ke
segala arah, diameter pupil dan reflex akomodasi.
Paling sensitif terhadap kenaikan tekanan intra kranial, ia akan mengalami gangguan
paling awal, bola mata tak dapat melirik ke lateral (perhatikan pasien-pasien dengan
nyeri kepala hebat yang tidak hilang-hilang)
Trigeminus
N V berfungsi sensorik dan motorik : sensorik diperiksa pada permukaan kulit wajah
bagian dahi, pipi dan rahang bawah dengan goresan kapas dan mata tertutup. Motorik
diperiksa dengan kemampuan menggigitnya; rabalah kedua tonus musculus massester
saat diperintahkan untuk gerak menggigit.
Fascialis
Fungsi motorik N VII : Diperiksa kemampuan mengangkat alis, mengerutkan dahi,
mencucurkan bibir, tersenyum, meringgis, (memperlihatkan gigi-gigi depan) bersiul,
menggembungkan pipi.
Fungsi sensorik N VII : Diperiksa rasa pengecapan pada permukaan lidah yang
dijulurkan (gula, garam, asam)
Vestibulo-acusticus
Fungsi keseimbangan diperiksa dengan test romberg. Penderita berdiri tegak dengan
mata tertutup. Bila pasien terhuyung-huyung dan jatuh berarti alat keseimbangan juga
diperiksa dengan berdiri satu tumit atau berjalan pada garis lurus.
Pemeriksaan pendengaran, dengan menggunakan garpu penala.
Test Rinne (garpu penala 256 Hz)
Penala digetarkan, tangkainya ditempelkan pada proc.mastoideus, tepat saat tidak
terdengar pasien memberi tanda, kemudian pindahkan ujung getar ke muka liang telinga
pasien. Normal masih terdengar suara, hal ini disebut Rinne positif.
Rinne positif bisa berarti normal, bisa berarti tuli perseptif tidak total, tuli konduktif
memberi hasil rinne negatif.
Test Weber (garpu penala 512 Hz)

Penala digetarkan tangkainya ditempelkan pada garis tengah kepala pasien pada
vertex atau glabella. Pasien diminta menyebutkan sisi telinga mana yang lebih keras
mendengar. Jawaban bisa salah satu terdengar lebih keras atau sama keras. Satu sisi
lebih keras disebut lateralisasi ke sisi kiri atau kanan. Sama keras disebut sebagai tidak
ada lateralisasi. Lebih keras terdengar di kiri bisa berarti 2 hal :
a.
Telinga kiri tuli konduktif
b.
Telinga kanan tuli perseptif
Sama keras bisa pula berarti 3 hal :
a.
Kedua telinga normal
b.
Kedua telinga tuli konduktif
c.
Kedua telinga tuli perseptif

Test Schwabach (garpu penala 512 Hz)


Maksud pemeriksaan ini adalah membandingkan hantaran suara melalui tulang
tengkorak ke cochlea antara pemeriksa dengan pasien. Syarat pemeriksa
pendengarannya normal. Setelah garpu penala digetarkan, ditempelkan pada proc.
Mastoideus paisen, segera saat tidak terdengar suara, pasien memberi tanda. Lalu
dengan segera pula dipindahkan ke proc. Mastoideus pemeriksa. Bila ternyata masih
terdengar, diktakan Schwabach pasien memendek (lebih pendek dari pendengaran
pemeriksa). Bila urutan pemeriksaan dibalik, hasilnya tetap memendek, berarti ada
gangguan pada sistem cochlea pasien (= tuli perseptif). Normal
test Schwabach memberi hasil : sama dengan pemeriksa.
Ketiga test :
Rinne, Weber dan Schwabach disusun, dicantumkan kesimpulan-kesimpulannya lalu
ditarik kesimpulan akhir dengan mengumpulkan hal-hal yang cocok dan menyingkirkan
hal-hal yang cocok dan menyingkirkan hal-hal yang tidak cocok, maka didapat diagnosa
keadaan pendengaran pasien :
Normal
Tuli konduktif kiri/kanan
Tuli perseptif kiri/kanan atau kombinasinya
Latihan menarik kesimpulan perlu dilakukan pada praktek laboratorium. Pendengaran
pada bayi diperiksa dengan adanya respons berkedip bila diberikan suara tepuk tangan
dari jarak kira-kira 30 cm.
N IX
Glossopharyngeus dan N X/Vagus
Diperiksa letak Uvula, ditengah atau deviasi serta kemampuan menelan pasien.
N XI
Accessorius
Diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu kiri dan kanan (KontraksiM. Trapezius)
dan gerakan kepala.
N XII
Hypoglossus
Diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada posisi lurus, gerakan lidah
mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam.

Penulisan dokumentasi hasil pemeriksaan fisik


Kasus:
Ny. D berusia 25 tahun, baru menikah 3 bulan yang lalu datang ke rumah sakit untuk
memeriksakan kondisinya. Ibu mengeluhkan bahwa dirinya merasa pusing yang hebat
sejak 2 hari yang lalu sampai sekarang, sejak 5 bulan yang lalu dirinya sering
mengalami lemas, letih, lesu serta sering pusing dan mual saat berdiri dari posisi semula
jongkok, saat ini ibu tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan dan tidak menggunakan
pil KB, beberapa minggu ke belakang, ibu sering merasakan telinganya sering
mendenging. Sebelum pemeriksaan ini, ibu tidak pernah memeriksakan dirinya ke
tenaga kesehatan. Menstruasi ibu teratur, tetapi ibu pernah beberapa kali mengalami
pingsan saat menstruasi.
Saat itu bidan langsung melakukan pemeriksaan fisik terhadap ibu dan didapati bahwa
ibu mengalami anemia.
Berikut ini contoh pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik pada kasus anemia
Dokumentasi Pemeriksaan Fisik
A. Biodata
Pasien/klien
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Agama
Alamat

:
:
:
:
:
:

Ny. D
25 tahun
S1
Pegawai swasta
Islam
Jl. Ahmad Yani No.11
Rt 05/08 Bandung

Suami/ Istri
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Agama
Alamat

:
:
:
:
:
:

Tn. B
27 tahun
S1
Pegawai swasta
Islam
Jl. Ahmad Yani No. 11
Rt 05/08 Bandung

B. Keluhan utama
: ibu mengatakan merasa pusing yang hebat sejak 2
hari yang lalu sampai sekarang. Sejak 5 bulan yang lalu sampai sekarang ibu sering
merasa lemas, letih dan lesu serta sering pusing dan mual saat berdiri dari posisi
semula jongkok. Beberapa minggu kebelakang ibu sering merasakan telinganya
mendenging.
C. Riwayat penyakit sekarang
: tidak ada penyakit berat
D. Riwayat penyakit masa lalu
: ibu belum pernah melakukan pemeriksaan
sebelumnya
E. Riwayat penyakit keluarga
: ibu mempunyai penyakit jantung, diketahui sejak
tahun 2007
F. Riwayat psiko-sosial
: hubungan ibu dengan suami dan keluarga baik.
G. Aktivitas sehari-hari
a. Pola makan dan minum
: makan 3x sehari (menu: nasi, lauk pauk, sayuran,
telur, buah-buahan, daging jarang karena tidak terlalu suka)
Minum 8 gelas sehari, jarang minum susu.
b. Pola BAB dan BAK
: BAB 1x sehari, konsistensi : lunak
BAK 5-6x sehari, warna kuning muda
c. Istirahat dan tidur
: Tidur siang : tidak pernah,
Tidur malam: 6-7 jam

d.

Aktivitas sehari-hari

e.

Pola seksual

A.
B.
C.
D.
E.
F.

G.
a.

b.

c.

: Bekerja sebagai pegawai swasta,


aktivitas di balik meja kerja
: berhubungan seksual seminggu 3x

DATA OBJEKTIF
Keadaan umum
: baik
Bentuk tubuh
: proporsional
Status emosional
: stabil
Kesadaran
: compos mentis
Tanda-tanda vital
: TD: 90/60 mmHg N: 88x/menit S: 36,80C (axilla)
P: 20 x/menit
Antropometri
: TB: 154 cm BB: 49 Kg
Lila: 24 cm
Lingkar perut
: 77cm
Panjang ekstremitas atas
: kanan: 58 cm
kiri: 58 cm
Panjang ekstremitas bawah : kanan: 98cm
kiri: 98 cm
Kepala
Rambut
Inspeksi : warna hitam, agak tipis halus, distribusi merata, tidak rontok
Palpasi
: kepala tidak ada benjolan/ massa, tidak ada deformitas
Wajah
Inspeksi : pucat
Palpasi
: hidrasi kulit baik, tidak ada finger print
N.VII fasialis
Motorik : ibu dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi, tersenyum, meringgis,
menggembungkan pipi.
Mata
:
Inspeksi
: bentuk simetris,
Konjungtiva
: pucat
sklera: putih
N.III (Oculamotorius) gerakan bola mata : sesuai
Reflek pupil
Reflek pupil
Mata kiri
Mata kanan
Langsung
Mengecil
Mengecil
Tidak langsung
Mengecil
Mengecil
Reflek akomodasi
NII (optikus): Visus: mata emetrop
NIV (Trochlearis) : lapang pandang:
NVI (Abduscens) : T.I.O bola mata kiri = T.I.O bola mata kanan
Sinus
: tidak ada

d.

Hidung
Inspeksi

: septum hidung di tengah, tidak ada sekret ataupun benda asing


Sudut
Telinga kiri
Telinga kanan
Nasal

Inferior
Superior
Lateral

e.

N I (olfaktorius) : dapat mencium bau dengan benar


Telinga
Inspeksi
: canalis bersih
NVIII (Vestibulo-acusticus) Pendengaran
:
Teknik
Telinga kanan
Riene (256 Hz)
Positif
Weber (512 Hz)
Tidak ada lateralisasi
Schwabach (512 Hz) Sama dengan
pemeriksa

Telinga kiri
Positif
Tidak ada lateralisasi
Sama dengan
pemeriksa

f.

Mulut
Inspeksi
: warna bibir pucat
NIX (Glossopharyngeus) : letak uvula di tengah, kemampuan menelan baik.
NXII (Hypoglossus)
: kemampuan menjulurkan lidah pada posisi lurus
Motorik
: bisa menggerakkan lidah
NVIII Facialis : sensorik : pengecapan rasa manis, pahit, asin terasa jelas.
g. Leher
Inspeksi
: bentuk simetris
JVP
: 5 + 0 cm air
Pemompaan ventrikel: normal
Kaku kuduk
: tidak kekakuan otot-otot leher
h. Dada
Inspeksi
: bentuk simetris
Palpasi
: vokal fremitus
: normal
Perkusi
: suara paru-paru
: vesicular kanan= vesicular kiri
ekspansi paru: tidak ada
Batas atas jantung : ICS 2-3
batas kanan jantung: linea sternalis kanan
Batas kiri jantung : linea medio-clavicularis kiri Batas bawah jantung
Auskultasi
: bunyi nafas sterna :
bunyi paru-paru:
Suara tambahan : tidak ada rales, ronchi, wheezing dan pleural friction rub

Bunyi jantung

Bunyi jantung
BJ II (aorta)
BJ II (pulmonalis)
BJ II (pulmonalis)
BJ I (trikuspidalis)
BJ I (mitralis)
Heart Rate (HR)
: 88 x/menit

Hasil
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal

Nadi
: 88 x/menit
Abdomen
Inspeksi : bentuk datar, tepi perut tidak menonjol, umbilicus tidak menonjol.
Auskultasi : bising usus 20x/ menit
Palpasi
: tidak ada hepatomegali
Perkusi
: suara tympani, tidak ada asites
j. Punggung
Inspeksi : bentuk simetris
Auskultasi : suara napas dan bunyi jantung normal
Palpasi
: tidak ada pembengkakan
Perkusi
: tidak ada cairan
NXI Accesorius : bisa mengangkat bahu kiri dan kanan dan bisa menggerakkan kepala
k. Genitalia (tidak dilakukan pemeriksaan genitalia)
Inspeksi : tidak dilakukan pemeriksaan genitalia
Palpasi
: tidak dilakukan pemeriksaan genitalia
l. Ekstremitas
Inspeksi : kuku tangan kanan : pucat
kuku tangan kiri
: pucat
inspeksi : kuku kaki kanan
: pucat
kuku kaki kiri
: pucat
i.

kekuatan otot

:
Tangan kanan
5
Kaki kanan
5

Reflek

Tangan kiri
5
Kaki kiri
5

:
Otot

Tangan
Kiri
Positif
Positif

Bisep
Trisep
Archiles
Patella
Reflek Babinzki
NVIII (Vestibulo-acusticus) Keseimbangan

Pemeriksaan penunjang
Hb
: 9,4 gr/dL
Leukosit
: 7500 /mm3
Trombosit
: 350.000 /mm3

Kaki
Kanan
Positif
Positif

Kiri

Positif
Positif
Positif
: Pasien dapat berjalan pada
garis lurus

Kanan

Positif
Positif
Positif

Pemeriksaan fisik merupakan salah satu cara untuk mengetahui gejala atau
masalah kesehatan yang dialami oleh pasien. Pemeriksaan fisik bertujuan untuk
mengumpulkan data tentang kesehatan pasien, menambah informasi, menyangkal data
yang diperoleh dari riwayat pasien, mengidentifikasi masalah pasien, menilai perubahan
status pasien, mengidentifikasi masalah pasien, menilai perubahan status pasien, dan
mengevaluasi pelaksanaan tindakan yang telah diberikan. Dalam melakukan
pemeriksaan fisik, terdapat teknik dasar yang perlu dipahami, diantaranya
Inspeksi,Palpasi, Perkusi dan Auskultasi.

Anda mungkin juga menyukai