a. Pengertian
Menurut Cook dan fontaine (1987), halusinasi adalah salah satu
gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi
sensori seperti merasakan sensasi palsu pada indra
peraba,penglihatan, pengecapan, penghiduan, dan pendengaran
yang sebenarnya tidak ada.
Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari
lingkungan (Depkes RI, 2000)
b. Teori yang menjelaskan halusinasi (stuart dan sundeen, 1995)
Teori Biokimia
Terjadi sebagai respons metabolisme terhadap stres yang
mengakibatkan terlepasnya zat halusinogenik neuroik (buffofenon
dan dimethytransferase)
Teori Psikoanalisis
Merupakan respons pertahanan ego untuk melawan rangsangan
dari luar yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam
sadar.
c. Jenis Halusinasi dan data penunjangnya
Jenis
halusinas
i
Halusinas
i dengar
Data objektif
Halusinas
i
Penglihat
an
Halusinas
i
penghidu
Data subjektif
Halusinas
i
pengeca
pan
Halusinas
i
Perabaan
Sering meludah
Muntah
Menggaruk-garuk
permukaan kulit
Halusinas
i
kinestetik
Halusinas
i Viseral
Memegang kainya
yang diangganya
bergerak sendiri
- Memegang
badannya yang
dianggapnya
berubah bentuk dan
tidak normal seperti
biasanya
Sumber : (Stuart dan Sundeen,
Mengatakan perutnya
menjadi mengecil setelah
minum softdrink
1998)
d. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah factor resiko yang mempengaruhi jenis
dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk
mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya. Factor
predisposisi dapat meliputi factor perkembangan, sosiokultural,
biokimia, psikologis, dan genetic. (Fitria, 2009)
1. Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan.
2. Faktor sosiokultural
Berbagai factor dimasyarakat dapat menyebabkan seseorang
merasa disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian
dilingkungan yang membesarkannya.
3. Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Jika seseorang mengalami stress yang berlebihan, maka didalam
tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia seperti buffofenon dan dimethytrenferase
4. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Berpengaruh pada
ketidakmampuanklien dalam mengambil keputusan demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam
nyata menuju alam hayal.
5. Faktor genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi
hasil studi menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
e. Faktor Presipitasi
perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
penasaran, tidak aman, gelisah, bingung, dan lainnya.
Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 halusinasi dapat dilihat dari 5
dimensi yaitu :
1. Dimensi fisik
Halusinasi dapat timbul oleh kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, penyalahgunaan obat, demam, kesulitan tidur.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas masalah yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi berupa perintah memaksa dan
menakutkan.
3. Dimensi intelektual
Halusinasi merupakan usaha dari ego untuk melawan implus yang
menekan merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian klien.
4. Dimensi sosial
Klien mengalami interaksi sosial menganggap hidup bersosialisasi
di alam nyata sangat membahyakan. Klien asyik dengan halusinasinya
seolah merupakan temapat memenuhi kebutuhan dan interaksi sosial,
kontrol diri dan harga diri yang tidak di dapatkan di dunia nyata.
5. Dimensi spiritual
Secara spiritual halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri.
g. Sumber Koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping
dan strategi seseorang.sumber koping individu bisa didapatkan dari
lingkungan sekitarnya dan dijadikan modal untuk membantu
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Dukungan sosial dan
keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang menimbulkan stres dan mengadopsi strategi kopng
yang efektif dan positif.
h. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada
pengendalian stress, termasuk upaya penyelesaian masalah secara
langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan melindungi
Tahapan Halusinasi
Tahap 1 (non psikotik)
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada
klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum, pada tahap ini,
halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien.
Karakteristik:
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
kecemasan
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih dalam kontrol kesadaran
Perilaku yang muncul:
a.
b.
c.
d.
2. Pohon Masalah
Effect
Core Problem
Causa
Isolasi Sosial
b. Data Objektif
- Klien terlihat berbicara atau
tertawa sendiri saat diuji
- Bersikap seperti mendengarkan
sesuatu
- Berhenti tiba- tiba ditengah
kalimat seolah- olah
mendengarkan sesuatu
- Disorientasi
- Konsentrasi rendah
- Pikiran cepat berubah
- Kacau dalam alur pikiran
5. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Rencana tindakan untuk klien
- Tujuan Tindakan pada klien
Klien bisa mengenali halusinasinya
Klien bisa mengontrol halusinasinya
Klien mengikuti proses pengobatan secara optimal
- Tindakan Keperawatan
Membantu klien mengenali halusinasi
Perawat dapat berdiskusi dengan klien tentang isi
halusinasinya, frekuensi, situasi yang menyebabkan
halusinasi , dan perasaan klien saat halusinasi muncul
Membantu Klien mengontrol halusinasi
Perawat bisa mengajarkan klien 4 cara mengontrol halusinasi
yaitu menghardik halusinasi, berbicara dengan orang lain,
melakukan akivitas yang terjadwal dan konsumsi obat secara
teratur.
b. Rencana Tindakan Untuk keluarga
- Tujuan tindakan pada keluarga
Keluarga dapat merawat klien dirumah dan menjadi sistem
pendukung yang efektif bagi klien
- Tindakan Keperawatan
Pendidikan kesehatan pada keluarga yang dilakukan dalam
tiga tahap yaitu tahap pertama menjelaskan tentang masalah yang
dialami klien dan pentingnya peran keluarga dalam perawatan
klien, tahap kedua dengan melatih keluarga untuk mendukung klien
dan tahap ketiga yaitu melatih keluarga merawat klien secara
langsung.
Informasi yang perlu disampaikan pada keluarga yaitu
pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami klien tanda dan
gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, dan cara merawat
klien (cara komunikasi, pemberian obat, pemberian aktivitas kepada
klien), serta akses pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau.
B. PERILAKU KEKERASAN
Asertif
Respon maladaptif
Frustasi
Pasif
Agresif
Kekerasan
Keterangan:
Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan ketenangan.
Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak
realistis.
Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
sedang dialami.
Agresif : memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang
lain dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai.
Umumnya klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang
lain.
Kekerasan : sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan
ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata
ancaman-ancaman, melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang
paling berat adalah melukai/ merusak secara serius. Klien tidak mampu
mengendalikan diri.
3. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan
tentang faktor predisposisi perilaku kekerasan, diantaranya adalah sebagai berikut:
Teori Biologik. Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorag melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut:
a Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbic
sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons
agresif.
b Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townstein (1996) menyatakan
bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin,
dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Peningkatan hormone androgen dan norefineprin serta penurunan
serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor
predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
c Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki
oleh penghuni penjara pelaku tindak kriminal (narapidana).
d Gangguan otak sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai gangguan
serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma otak,
penyakit ensefalitis, epilepsy (epilepsy lobus temporal) terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
Teori Psikologik
a Teori psikoanalitik, menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa
aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise
yang dapat meningkatkan citra diri serta memberi arti dalam kehidupannya.
Teori
lainnya
berasumsi
bahwa
perilaku
agresifdan
tindakan
kekeasanmerupakan
pengungkapan
secara
terbuka
terhadap
rasa
ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan,
b Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap perlaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anakanak tanpa faktor predisposisi biologik
4. Faktor Presipitasi
Faktor Internal: Semua faktor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunnya
percaya diri, rasa taku sakit, hilang kontrol, dll.
Eksternal: Penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis, dll.
Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau
penganiayaan antara lain sbb:
Kesulitan kondisi sosial ekonomi
Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu
Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.
Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosialm seperti penyalahgunaan
obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat
menghadapi rasa frustasi.
Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
5. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat
membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam
mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah
mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial,
dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari
seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam
hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang
rendah diri (harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
hal ini tidak tidak diatasi, maka memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau
bayangan yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat
berdampak terhadap keselamatan dirinya dan orang lain (resikko tinggi mencederai
diri, orang lain, dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang
kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan
klien (koping klg tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar
masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal
(regimen terapeutik inefektif).
6. PENGKAJIAN
Data yang perlu dikaji :
Diagnosa keperawatan
Perilaku kekerasan
7. Rencana Tindakan
No Diagnosis
Tujuan
.
1.
Perilaku
Pasien mampu:
kekerasan
mengidentifikas
i penyebab dan
tanda perilaku
kekerasan
menyebutkan
jenis perilaku
kekerasan yang
pernah
dilakukan
menyebutkan
akibat dari
perilaku
kekerasan yang
dilakukan
menyebutkan
cara
mengontrol
perilaku
kekerasan
mengontrol
perilaku
kekerasannya
secara fisik,
Perencanaan
Kriteria Evaluasi
Setelah...pertemuan
pasien mampu:
menyebutkan
penyebab, tanda,
gejala, dan akibat
perilaku kekerasan
memperagakan cara
fisik 1 untuk
mengontrol perilaku
kekerasan
Intervensi
SP 1:
identifikasi penyebab,
tanda, dan gejala serta
akiat perilaku
kekerasan
Latih cara fisik 1: tarik
napas dalam
Masukkan dalam
jadwal harian pasien
sosial/verbal,
spiritual, dan
terapi
psikofarmaka
Setelah...pertemuan
pasien mampu:
menyebutkan
kegiatan yang sudah
dilakukan
memperagakan cara
fisik untuk
mengontrol perilaku
kekerasan
Setelah...pertemuan
pasien mampu:
menyebutkan
kegiatan yang sudah
dilakukan
mempergakan cara
sosial/verbal untuk
mengontrol perilaku
kekerasan
Setelah...pertemuan
pasien mampu:
menyebutkan
kegiatan yang sudah
dilakukan
memperagakan cara
spiritual
Setelah...pertemuan
pasien mampu:
menyebutkan
kegiatan yang sudah
dilakukan
mempergakan cara
patuh obat
Keluarga
mampu:
merawat pasien
Setelah...pertemuan
keluarga mampu:
menjelaskan
SP 2:
evaluasi kegiatan yang
lalu (SP1)
Latih Cara fisik 2 :
pukul kasur/bantal
Masukkan dalam
jadwal harian pasien
SP 3:
evaluasi kegiatan yang
lalu (SP 1 dan SP 2)
Latih secara
sosial/verbal:
menolak dengan baik
meminta dengan baik
mengungkapkan
dengan baik
Masukkan dalam
jadwal harian pasien
SP 4:
evaluasi kegiatan yang
lalu (SP 1, 2, 3)
Latih secara spiritual:
Berdoa
Shalat
Masukkan dalam
jadwal harian pasien
SP 5:
evaluasi kegiatan yang
lalu (SP 1, 2, 3,4)
Latih patuh obat:
minum obat secara
teratur
susun jadwal minum
obat secara teratur
Masukkan dalam
jadwal harian pasien
SP 1:
Identifikasi masalah
yang dirasakan klg
di rumah
merawat
Setelah...pertemuan
keluarga mampu
menyebutkan
kegiatan yang sudah
dilakukan dan
mampu merawat
serta dapat membuat
RTL
Setelah...pertemuan
keluarga mampu
menyebutkan
kegiatan yang sudah
dilakukan dan
mampu merawat
serta dapat membuat
RTL
Setelah...pertemuan
keluarga mampu
melaksanakan
follow up dan
rujukan serta
mampu
menyebutkan
kegiata yang sudah
dilakukan
SP 4:
Evaluasi SP 1,2, 3
latih langsung ke
pasien
susun RTL keluarga
follow up dan rujukan
Respons Maladaptif
Pikiran logis
Persepsi kuat
Emosi konsisten
dengan pengalaman
Perilaku sesuai
Hubungan sosial
harmonis
Faktor Psikologis
4.
Faktor Biologis
Waham diyakinii terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak,
atau perubahan pada sel kortikal dan limbik. Dopamin, norepineprin, dan zat
halusinogen lainnya juga diduga menjadi penyebab waham pada seseorang.
Macam-Macam Waham
a Waham Agama
Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh :
Klien mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan yang dapat mengendalikan alam
semesta.
b Waham Kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus atau
kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
Saya ini pemilik tambang batu bara di Kalimantan!
Saya ini artis papan atas loh
c Waham curiga
Keyakinan bahwa seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan atau
mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
Kalian pasti ingin menjahati saya karena saya kaya.
d Waham Somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau terserang
penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
Klien mengatakan bahwa hidungnya tersumbat tetapi saat diperiksa tidak ada apaapa dan saluran pernapasannya lancar.
5. Pohon Masalah
Resiko tinggi perilaku kekerasan
Perubahan sensori waham
Isolasi sosial; Menarik diri
8. Diagnosis Keperawatan
Perubahan Proses Pikir : Waham Kebesaran
9. Rencana Tindakan Keperawatan
a Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.
Membantu orientasi realitas.
Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Membantu klien memenuhi kebutuhannya.
Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
b Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
Berdiskusi tentang kemampuan yang dimiliki.
Melatih kemampuan yang dimiliki.
c Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur.
Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
D. Isolasi Sosial
1. Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Isolasi sosial adalah suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi
dengan orang lain. Individu merasa bahwaia kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia
mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup
membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007).
b. Tanda dan Gejala
Berikut ini adalah tanda dan gejala klien sering ditemukan pada isolasi sosial:
- Kurang spontan,
- Apatis (acuh terhadap lingkungan),
- Ekspresi wajah tidak berseri,
- Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri,
- Tidak ada atau kurang komunikasi verbal,
Mengisolasi diri,
Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya,
Asupan makanan dan minuman terganggu,
Retensi urine dan feses,
Aktivitas menurun,
Kurang energi (tenaga),
Rendah diri
Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khusus pada posisi tubuh).
2. Rentang Respon
Bagan rentang respon pada pasien dengan isolasi sosial dapat dilihat pada skema
dibawah ini:
Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Menyendiri
Otonomi
Bekerjasama
Interdepende
n
Merasa
sendiri
Dependensi
Curiga
Menarik diri
Ketergantungan
Manipulasi
Curiga
Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Menurut Fitria (2009, hlm. 32) yang
termasuk respon adaptif adalah sebagai berikut:
- Menyendiri, merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa
yang telah terjadi dilingkungan sosialnya.
- Otonomi, merupakan kemampuan individu untuk menentukan dab menyampaikan
ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan social
- Bekerja sama, merupakan kemampuan individu yang saling membutuhkan orang
lain.
- Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal.
b Respon Maladaptif
Respon yang diberikan individu menyimpang dari norma sosial. Yang termasuk
kedalam rentang respon maladaptif adalah sebagai berikut:
- Menarik Diri : Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka dengan orang lain.
- Ketergantungan : Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga
tergantung dengan orang lain.
- Manipulasi : Seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu
sehingga tidak dapat menerima hubungan sosial secara mendalam.
- Curiga : Seseorang gagal dalam mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.
3. Faktor Predisposisi
Menurut Fitria (2009, hlm. 33-35) ada empat faktor predisposisi yang
menyebabkan Isolasi Sosial, diantaranya:
- Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tuga perkembangan yang
harus terpenuhi agar tidka terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas-tugas
dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan
sosial yang nantinyaa akan dapat menimbulkan masalah.
Dibawah ini akan dijelaskan tahap perkembangan serta tugas perkembangan :
Tahap
Tugas
Perkembangan
Masa Bayi
Menetapkan rasa percaya.
Masa Bermain
Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri
Masa Prasekolah
Belajar menunjukan inisiatif, rasa tanggung jawab,
dan hati nurani
Masa Sekolah
Belajar
berkompetisi,
bekerja
sama,
dan
berkompromi
Masa Praremaja
Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis
kelamin
Masa Dewasa
Menjadi saling bergantung antara orang tua dan
Muda
teman, mencari pasangan, menikah, dan mempunyai
anak
Masa Tengah Baya Belajar menerima hasilkehidupan yang sudah dilalui
Masa Dewasa Tua
Berduka karena kehilangan dan mengembangkan
perasaan keterkaitan dengan budaya
Tabel Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal (Erik
Erikson dalam Stuart, 2007, hlm. 346).
-
4. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Stuart (2007, hlm. 280) faktor presipitasi atau stresor pencetus pada
umumnya mencakup peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres seperti kehilangan,
yang memenuhi kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan
menyebabkan ansietas. Faktor pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu
sebagai berikut:
- Stresor Sosiokultural. Stress dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit
keluarga dan berpisah dari orang yang berarti.
- Stresor Psikologi. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan
orang lain untuk memenuhi kebutuhan.
Faktor presipitasi terjadinya Isolasi Sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor internal
dan eksternal seseorang. Faktor ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Faktor Eksternal : Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stres yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya yang antara lain adalah keluarga.
- Faktor Internal : Contohnya adalah stresor psikologik yaitu stres terjadi akibat
ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan
untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan
ketergantungan individu.
5. PENATALAKSANAAN MEDIS
a Metode Biologik
Metode biologik yang digunakan pada pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai
berikut:
Terapi Psikofarmaka
Terapi psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan pada gangguan fungsi
neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan atau dengan kata lain
skizofrenia dapat diobati (Hawari,2006, hlm. 96). Obat antipsikotik terpilih untuk
skizofrenia terbagi dalam dua golongan (Hawari, 2006, hlm. 97-99) yaitu antipsikotik
tipikal (Klorpromazim, Trifluferazin, Haloperidol) dan antipsikotik atipikal (Klozapin,
Risperidon). Antipsikotik golongan tipikal tersebut bekerja dengan memblokir reseptor
dopamin terpilih, baik diarea striatal maupun limbik di otak dan antipsikoti atipikal
menghasilkan reseptor dopamin dan serotonin selektif yang menghambat sistem
limbik. Memberikan efek antipsikotik (gejala positif) dan mengurangi gejala negatif.
Menurut Doenges (2007, hlm.253) prosedur diagnostik yang digunakan untuk
mendeteksi fungsi otak pada penderita gangguan jiwa adalah sebagai berikut:
- Coputerized Tomografi (CT Scan) : Induvidu dengan gejala negatif seringkali
menunjukkan abnormalitas struktur otak dalam sebuah hasil CT scan. (Townsend,
2003, hlm. 318)
- Magnetik Resonance Imaging (MRI) : Mengukur anatomi dan status biokimia dari
berbagai segmen otak.
- Positron Emission Tomography : Mengukur fungsi otak secara spesifik seperti
metabolisme glukosa, aliran darah terutama yang terkait dengan psikiatri.
- Elektroconvulsif Therapy (ECT) : Digunakan untuk pasien yang mengalami depresi.
Pengobatan dengan ECT dilakukan 2 sampai 3 kali per minggu dengan total 6
sampai 12 kali pengobatan. (Townsend, 2003, hlm.316).
b Metode Psikososial
Menurut Hawari (2006, hlm. 105-111) ada beberapa terapi untuk pasien
skizofrenia, diantaranya adalah sebagai berikut:
Psikoterapi
Psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita
dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai
realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. (Hawari, 2006, hlm.
105)
Terapi Psikososial
Dengan terapi psikososial ini dimaksudkan agar penderita mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu
mandiri tidak bergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi
keluarga dan masyarakat. (Hawari, 2006, hlm. 108-109)
c Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat.
Diantaranya yaitu gejala-gejala klinis gangguan jiwa lebih cepat hilang, lamanya
perawatan lebih pendek, hendaya lebih cepat teratasi, dan lebih cepat dalam
beradaptasi dengan lingkungan. Terapi keagamaan yang dimaksud adalah berupa
kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, shalat, ceramah keagamaan,
kajian kitab suci dan lain sebagainya. (Hawari, 2006, hlm. 110-111)
6. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari dasar utama dari proses keperawatan, tahap
pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien.
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
(Nurjannah, 2004, hlm. 30)
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor
predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan
koping yang dimiliki klien. (Stuart dan Sundeen dalam Nurjannah, 2004, hlm. 30)
Menurut Keliat (2010, hlm.93) untuk melakukan pengkajian pada pasien dengan
isolasi sosial dapat menggunakan teknik wawancara dan observasi.
a Pengkajian yang ditemukan pada teknik wawancara adalah sebagai berikut:
Pasien mengatakan malas bergaul dengan orang lain.
Pasien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani perawat dan meminta untuk
sendirian.
Pasien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain.
Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
Pasien merasa tidak aman dengan orang lain.
Pasien mengatakan tidak bisa melangsungkan hidup.
Pasien mengatakan merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
b Pengkajian yang ditemukan dari hasil observasi adalah sebagai berikut:
Ekspresi wajah kurang berseri
Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
Mengisolasi diri
Tidak ada/kurang kontak mata
Aktivitas menurun
Asupan makanan dan minuman terganggu
Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan.
Tampak sedih, afek tumpul
7. Diagnosa keperawatan
a Diagnosa utama : Isolasi sosial
b Diagnosa lain yang menyertai diagnosa isolasi sosial menurut Keliat, 2006, hlm. 20
adalah sebagi berikut:
Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran
Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
Gangguan konsep diri: harga diri rendah
Ketidakefektifan penatalaksanaan program teraupetik
Defisit perawatan diri
Ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat pasien
dirumah.
Gangguan pemeliharaan kesehatan
c Tujuan Keperawatan
Tujuan
Pasien mampu :
1 Pasien dapat membina hubungan saling percaya
2 Pasien dapat menyadari penyebab interaksi sosial
3 Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain.
4 Pasien menunjukkan keterlibatan sosial
Keluarga mampu :
Merawat pasien di rumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien
E. Risiko Bunuh DIri
1.
a.
Pengertian
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk
mengakhiri kehidupannya. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000),
bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:
Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
Bunuh diri dilakukan dengan intensi
Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung
(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan
kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.
b. Tanda dan gejala :
Sedih
Marah
Putus asa
Tidak berdaya
Memeberikan isyarat verbal maupun non verbal
c.
Penyebab
d.
Akibat
Resiko bunuh diri dapat megakibatkan sebagai berikut :
Keputusasaan
Menyalahkan diri sendiri
Perasaan gagal dan tidak berharga
Perasaan tertekan
Insomnia yang menetap
Penurunan berat badan
2.
POHON MASALAH
Resiko mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
3.
MASALAH KEPERAWATAN
a Masalah keperawatan
Resiko Perilaku bunuh diri
DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya
hidup.
DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba
bunuhdiri.
Koping maladaptive
DS : menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada
harapan.
DO : nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol
impuls.
4.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.
Diagnosa 1
b.
Tujuan umum
Tujuan khusus
bunuh diri
c.
Bantu untuk mengenali hal hal yang ia cintai dan yang ia sayang, dan
pentingnya terhadap kehidupan orang lain, mengesampingkan tentang
kegagalan dalam kesehatan.
a.
Diagnosa 2
diri rendah
b.
Tujuan umum
Tujuan khusus
kekerasan
c.
1.
Tindakan:
1.1.
1.2.
1.3.
2.
3.
4.
4.2.
4.3.
5.
5.2.
5.3.
6.
Klien
pendukung yang ada
Tindakan :
dapat
memanfaatkan
sistem
6.1
6.2
6.3
6.4
1.
Diagnosa 3
Tujuan umum
-
3.
Tujuan khusus
4.
Tindakan :
-
o
-
5.
RENCANA TINDAKAN
KPERAWATAN
a. Ancaman atau percobaan bunuh diri
1. Intervensi pada pasien
a) Tujuan keperawatan
Pasien tetap aman dan selamat.
b) Tindakan keperawatan
Melindubgi pasien dengan cara:
Faktor Presipitasi
Pohon Masalah
Koping individu tidak efektif
( Causa)
Isolasi sosial
Masalah Keperawatan
Harga diri Rendah Kronis
8.
Rencana tindakan keperawatan
1. Tindakan keperawatan pada klien
a. Klien mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
b. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan
c. Klien mampu menetapkan atau memilih kegiatan yang sesuai
kemampuan
d. Klien mampu melatih kegiatan yang sudah dipilih sesuai
kemampuannya
e. Klien mampu merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya
2. Tindakan keperawatan pada keluarga
a. Keluarga dapat membantu klien mengidentifikasi kemampuan yang
dimiliki klien
b. Keluarga memfasilitasi aktivitas klien yang sesuai kemampuan
c. Keluarga memotivasi klien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan
latihan yang dilakukan
d. Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan klien
G. Defisit Perawatan Diri
oleh
Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan
diri adalah:
a) Fisik
Badan bau, pakaian kotor.
Rambut dan kulit kotor.
Kuku panjang dan kotor
Gigi kotor disertai mulut bau
Penampilan tidak rapi
b) Psikologis
Malas, tidak ada inisiatif.
Menarik diri, isolasi diri.
Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c) Sosial
Interaksi kurang
Kegiatan kurang
Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
Cara makan tidak teratur
BAK dan BAB di sembarang tempat
2. Penyebab
Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2000) Penyebab kurang perawatan diri adalah
sebagai berikut : kelelahan fisik dan penurunan kesadaran.
3. Pohon masalah
Kebersihan diri tidak adekuat (BAB/BAK, Makan
Defisit perawatan
Penurunan kemampuan dan motivasi
Isolasi sosial
a)
c)
Data obyektif
a. Rambut kotor, acak acakan
b. Badan dan pakaian kotor dan bau
c. Mulut dan gigi bau.
d. Kulit kusam dan kotor
e. Kuku panjang dan tidak terawat
a.
b.
c.
5. Diagnosa Keperawatan
Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Isolasi Sosial
Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan, BAB/BAK
6. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1
: Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Tujuan Umum : Klien dapat meningkatkan minat dan motivasinya untuk
memperhatikan kebersihan diri
Tujuan Khusus :
TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
Intervensi
a. Berikan salam setiap berinteraksi.
b. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan.
c. Tanyakan nama dan panggilan kesukaan klien.
d. Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi.
e. Tanyakan perasaan dan masalah yang dihadapi klien.
f. Buat kontrak interaksi yang jelas.
g. Dengarkan ungkapan perasaan klien dengan empati.
h. Penuhi kebutuhan dasar klien.
TUK II : klien dapat mengenal tentang pentingnya kebersihan diri.
Intervensi
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik.
b. Diskusikan bersama klien pentingnya kebersihan diri dengan cara menjelaskan
pengertian tentang arti bersih dan tanda- tanda bersih.
c. Dorong klien untuk menyebutkan 3 dari 5 tanda kebersihan diri.
d. Diskusikan fungsi kebersihan diri dengan menggali pengetahuan klien
terhadap hal yang berhubungan dengan kebersihan diri.
e. Bantu klien mengungkapkan arti kebersihan diri dan tujuan memelihara
kebersihan diri.
f. Beri reinforcement positif setelah klien mampu mengungkapkan arti
kebersihan diri.
g. Ingatkan klien untuk memelihara kebersihan diri seperti: mandi 2 kali pagi dan
sore, sikat gigi minimal 2 kali sehari (sesudah makan dan sebelum tidur),
keramas dan menyisir rambut, gunting kuku jika panjang.
TUK III : Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat.
Intervensi
a. Motivasi klien untuk mandi.
b. Beri kesempatan untuk
mandi,
beri
kesempatan
klien
untuk
: Isolasi sosial
: klien tidak terjadi perubahan sensori persepsi
:
: Klien dapat membina hubungan saling percaya
a.
b.
c.
Intervensi
a. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
b. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau mau bergaul
b. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul
c. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
TUK III : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain
dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Intervensi
A. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
orang lain
a. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan prang lain
b. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
B. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang
lain
a. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan
orang lain
b. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
IV
b.
c.
BAB/BAK
Tujuan Umum :
Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri
Tujuan Khusus :
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta :
EGC.
Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa.Kaplan Sadoch. 1998. Sinopsis
Psikiatri. Edisi 7. Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI . Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.
Yogyakarta : Momedia
Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah
Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto
Stuart, Sudden, 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta : EGC
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, 2005 2006. Jakarta :
Prima Medika.
Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Tarwoto
dan
Wartonah.
2000.
Kebutuhan
Dasar
Manusia.
Jakarta.