Anda di halaman 1dari 37

KONSEP DASAR GANGGUAN JIWA BERAT

A. PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI


1. Proses Terjadinya Masalah

a. Pengertian
Menurut Cook dan fontaine (1987), halusinasi adalah salah satu
gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi
sensori seperti merasakan sensasi palsu pada indra
peraba,penglihatan, pengecapan, penghiduan, dan pendengaran
yang sebenarnya tidak ada.
Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari
lingkungan (Depkes RI, 2000)
b. Teori yang menjelaskan halusinasi (stuart dan sundeen, 1995)
Teori Biokimia
Terjadi sebagai respons metabolisme terhadap stres yang
mengakibatkan terlepasnya zat halusinogenik neuroik (buffofenon
dan dimethytransferase)
Teori Psikoanalisis
Merupakan respons pertahanan ego untuk melawan rangsangan
dari luar yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam
sadar.
c. Jenis Halusinasi dan data penunjangnya
Jenis
halusinas
i
Halusinas
i dengar

Data objektif

Halusinas
i
Penglihat
an
Halusinas
i
penghidu

Bicara atau tertawa


sendiri
Marah-marah tanpa
sebab
Menyedengkan
telinga
kearahtertentu
Menutup telinga
Menunjuk-nunjuk
kearah tertentu
Ketakutan pada
sesuatu yang tidak
jelas
Menghidu seperti
sedang membaui
bau-bauan tertentu
Menutup hidung

Data subjektif

Mendengar suara atau


kegaduhan
Mendengar suara yang
bercakap-cakap
Mendengar suara menyuruh
melakukan sesuatu yang
berbahaya

Melihat bayangan, sinar,


bentuk geometris, bentuk
kartoon, melihat hantu atau
monster

Membaui bau-bauan sperti


bau darah, urin, feces,
kadang-kadang bau itu
menyenangkan

Halusinas
i
pengeca
pan
Halusinas
i
Perabaan

Sering meludah
Muntah

Merasakan rasa seprti


darah, urin atau feces

Menggaruk-garuk
permukaan kulit

Halusinas
i
kinestetik
Halusinas
i Viseral

Mengatakan ada serangga


dipermukaan kulit
Merasa seperti tersengat
listrik
Mengatakan badannya
melayang diudara

Memegang kainya
yang diangganya
bergerak sendiri
- Memegang
badannya yang
dianggapnya
berubah bentuk dan
tidak normal seperti
biasanya
Sumber : (Stuart dan Sundeen,

Mengatakan perutnya
menjadi mengecil setelah
minum softdrink

1998)

d. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah factor resiko yang mempengaruhi jenis
dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk
mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya. Factor
predisposisi dapat meliputi factor perkembangan, sosiokultural,
biokimia, psikologis, dan genetic. (Fitria, 2009)
1. Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan.
2. Faktor sosiokultural
Berbagai factor dimasyarakat dapat menyebabkan seseorang
merasa disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian
dilingkungan yang membesarkannya.
3. Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Jika seseorang mengalami stress yang berlebihan, maka didalam
tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia seperti buffofenon dan dimethytrenferase
4. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Berpengaruh pada
ketidakmampuanklien dalam mengambil keputusan demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam
nyata menuju alam hayal.
5. Faktor genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi
hasil studi menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
e. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu


sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi
ekstra untuk menghadapinya, adanya rangsangan dari lingkungan
seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak
berkomunikasi, objek yang adadi lingkungan, dan juga suasana sepi
atau terisolasi bisa menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal
tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang
tubh mengeluarkan zat halusinogeik
f.

perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
penasaran, tidak aman, gelisah, bingung, dan lainnya.
Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 halusinasi dapat dilihat dari 5
dimensi yaitu :
1. Dimensi fisik
Halusinasi dapat timbul oleh kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, penyalahgunaan obat, demam, kesulitan tidur.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas masalah yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi berupa perintah memaksa dan
menakutkan.
3. Dimensi intelektual
Halusinasi merupakan usaha dari ego untuk melawan implus yang
menekan merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian klien.
4. Dimensi sosial
Klien mengalami interaksi sosial menganggap hidup bersosialisasi
di alam nyata sangat membahyakan. Klien asyik dengan halusinasinya
seolah merupakan temapat memenuhi kebutuhan dan interaksi sosial,
kontrol diri dan harga diri yang tidak di dapatkan di dunia nyata.
5. Dimensi spiritual
Secara spiritual halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri.

g. Sumber Koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping
dan strategi seseorang.sumber koping individu bisa didapatkan dari
lingkungan sekitarnya dan dijadikan modal untuk membantu
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Dukungan sosial dan
keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang menimbulkan stres dan mengadopsi strategi kopng
yang efektif dan positif.
h. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada
pengendalian stress, termasuk upaya penyelesaian masalah secara
langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan melindungi

diri. Mekanisme koping menurut Yosep, 2009 meliputi cerita dengan


orang lain (asertif), diam (represi/supresi), menyalahkan orang lain
(sublimasi), mengamuk (displacement), mengalihkan kegiatan yang
bermanfaat (konversi), memberikan alasan yang logis (rasionalisme),
mundur ke tahap perkembangan sebelumnya (regresi), dialihkan ke
objek lain, memarahi tanaman atau binatang (proyeksi).
i.

Tahapan Halusinasi
Tahap 1 (non psikotik)
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada
klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum, pada tahap ini,
halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien.
Karakteristik:
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
kecemasan
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih dalam kontrol kesadaran
Perilaku yang muncul:
a.
b.
c.
d.

Tersenyum dan tertawa sendiri,


Menggerakkan bibir tanpa suara
Pergerakan ata yang cepat
Respons verbal lambat, diam, konsentrasi

Tahap 2 (non- pikotik)


Pada tahap ini, biasanya klien bersikap menyalahkan dan
mengalami tingkat kecemasan berat. Secara umum, halusinasi yang
ada dapat menyebabkan antipati.
Karakteristik:
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan
b. Mulai merasa kehilangan kontrol
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul:

a. Peningkatan tanda- tanda vital


b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
d. Sulit membedakan halusinasi dan realita
Tahap 3 (psikotik)
Pada tahap ini, klien biasanya tidak dapat mengontrol diri sendiri,
kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak.
Karakteristik:
a. Klien menyerah dan meerima pengalaman sensorinya
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul:
a. Klien menuruti keinginan halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan orang lain

c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit


d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
Tahap 4 (psikotik)
Pada tahap ini, klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan
biasanya klien terlihat panik
Perilaku yang muncul:
a. Risiko tinggi mencederai
b. Agitasi/ kataton
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada

2. Pohon Masalah
Effect

Core Problem

Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

Causa

Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronis


3. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul

Risiko tinggi perilaku kekerasan


Perubahan persepsi sensori : halusinasi
Isolasi sosial
Harga diri rendah kronis

4. Data Yang Perlu Dikaji


Masalah Keperawatan
Perubahan Persepsi senori : Halusinasi

Data yang Perlu Dikaji


a. Data Subjektif
- Klien mengatakan mendengar
sesuatu
- Klien mengatakan melihat
bayangan putih
- Klien mengatakan merasakan
dirinya seperti tersengat listrik
- Klien mengatakan mencium bau
tidak sedap
- Klien mengatakan kepalanya
melayang di udara
- Klien mengatakan merasakan
sesuatu yang berbeda pada
dirinya

b. Data Objektif
- Klien terlihat berbicara atau
tertawa sendiri saat diuji
- Bersikap seperti mendengarkan
sesuatu
- Berhenti tiba- tiba ditengah
kalimat seolah- olah
mendengarkan sesuatu
- Disorientasi
- Konsentrasi rendah
- Pikiran cepat berubah
- Kacau dalam alur pikiran
5. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Rencana tindakan untuk klien
- Tujuan Tindakan pada klien
Klien bisa mengenali halusinasinya
Klien bisa mengontrol halusinasinya
Klien mengikuti proses pengobatan secara optimal
- Tindakan Keperawatan
Membantu klien mengenali halusinasi
Perawat dapat berdiskusi dengan klien tentang isi
halusinasinya, frekuensi, situasi yang menyebabkan
halusinasi , dan perasaan klien saat halusinasi muncul
Membantu Klien mengontrol halusinasi
Perawat bisa mengajarkan klien 4 cara mengontrol halusinasi
yaitu menghardik halusinasi, berbicara dengan orang lain,
melakukan akivitas yang terjadwal dan konsumsi obat secara
teratur.
b. Rencana Tindakan Untuk keluarga
- Tujuan tindakan pada keluarga
Keluarga dapat merawat klien dirumah dan menjadi sistem
pendukung yang efektif bagi klien
- Tindakan Keperawatan
Pendidikan kesehatan pada keluarga yang dilakukan dalam
tiga tahap yaitu tahap pertama menjelaskan tentang masalah yang
dialami klien dan pentingnya peran keluarga dalam perawatan
klien, tahap kedua dengan melatih keluarga untuk mendukung klien
dan tahap ketiga yaitu melatih keluarga merawat klien secara
langsung.
Informasi yang perlu disampaikan pada keluarga yaitu
pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami klien tanda dan
gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, dan cara merawat
klien (cara komunikasi, pemberian obat, pemberian aktivitas kepada
klien), serta akses pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau.

B. PERILAKU KEKERASAN

1. Proses Terjadinya Masalah


a. Pengertian
Perilaku Kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan (Stuart dan Sudeen, 1995).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,
dalam Harnawati, 1993).
Setiap aktivitas bila tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Stuart dan
Sundeen, 1998).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami
perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau orang
lain (Towsend, 1998).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami
perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan, termasuk orang
lain, dan barang-barang (Maramis, 1998).
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal
dan fisik (Ketner et al., 1995).
b. Tanda dan Gejala
Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
Verbal : Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan
nada keras, dan ketus.
Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak
jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat.
Sosial : menarik diri, pegasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sandaran.
Perhatian : bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.
2. Rentang Respon
Respon adaptif

Asertif

Respon maladaptif

Frustasi

Pasif

Agresif

Kekerasan

Keterangan:
Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan ketenangan.

Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak
realistis.
Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
sedang dialami.
Agresif : memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang
lain dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai.
Umumnya klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang
lain.
Kekerasan : sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan
ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata
ancaman-ancaman, melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang
paling berat adalah melukai/ merusak secara serius. Klien tidak mampu
mengendalikan diri.

3. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan
tentang faktor predisposisi perilaku kekerasan, diantaranya adalah sebagai berikut:
Teori Biologik. Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorag melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut:
a Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbic
sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons
agresif.
b Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townstein (1996) menyatakan
bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin,
dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Peningkatan hormone androgen dan norefineprin serta penurunan
serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor
predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
c Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki
oleh penghuni penjara pelaku tindak kriminal (narapidana).
d Gangguan otak sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai gangguan
serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma otak,
penyakit ensefalitis, epilepsy (epilepsy lobus temporal) terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
Teori Psikologik
a Teori psikoanalitik, menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa
aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise
yang dapat meningkatkan citra diri serta memberi arti dalam kehidupannya.
Teori
lainnya
berasumsi
bahwa
perilaku
agresifdan
tindakan
kekeasanmerupakan
pengungkapan
secara
terbuka
terhadap
rasa
ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan,
b Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap perlaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anakanak tanpa faktor predisposisi biologik

Teori Sosiokultural, kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan


menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam
masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.

4. Faktor Presipitasi
Faktor Internal: Semua faktor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunnya
percaya diri, rasa taku sakit, hilang kontrol, dll.
Eksternal: Penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis, dll.
Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau
penganiayaan antara lain sbb:
Kesulitan kondisi sosial ekonomi
Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu
Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.
Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosialm seperti penyalahgunaan
obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat
menghadapi rasa frustasi.
Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
5. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat
membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam
mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah
mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial,
dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari
seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam
hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang
rendah diri (harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
hal ini tidak tidak diatasi, maka memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau
bayangan yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat
berdampak terhadap keselamatan dirinya dan orang lain (resikko tinggi mencederai
diri, orang lain, dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang
kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan
klien (koping klg tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar
masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal
(regimen terapeutik inefektif).

6. PENGKAJIAN
Data yang perlu dikaji :
Diagnosa keperawatan
Perilaku kekerasan

Data yang perlu dikaji


Subjektif
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Objektif
1. Mata melotot/pandangan tajam
2. Tangan mengepal
3. Rahang mengatup
4. Wajah memerah dan tegang
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras

7. Rencana Tindakan
No Diagnosis
Tujuan
.
1.
Perilaku
Pasien mampu:
kekerasan
mengidentifikas
i penyebab dan
tanda perilaku
kekerasan
menyebutkan
jenis perilaku
kekerasan yang
pernah
dilakukan
menyebutkan
akibat dari
perilaku
kekerasan yang
dilakukan
menyebutkan
cara
mengontrol
perilaku
kekerasan
mengontrol
perilaku
kekerasannya
secara fisik,

Perencanaan
Kriteria Evaluasi
Setelah...pertemuan
pasien mampu:
menyebutkan
penyebab, tanda,
gejala, dan akibat
perilaku kekerasan
memperagakan cara
fisik 1 untuk
mengontrol perilaku
kekerasan

Intervensi
SP 1:
identifikasi penyebab,
tanda, dan gejala serta
akiat perilaku
kekerasan
Latih cara fisik 1: tarik
napas dalam
Masukkan dalam
jadwal harian pasien

sosial/verbal,
spiritual, dan
terapi
psikofarmaka
Setelah...pertemuan
pasien mampu:
menyebutkan
kegiatan yang sudah
dilakukan
memperagakan cara
fisik untuk
mengontrol perilaku
kekerasan
Setelah...pertemuan
pasien mampu:
menyebutkan
kegiatan yang sudah
dilakukan
mempergakan cara
sosial/verbal untuk
mengontrol perilaku
kekerasan
Setelah...pertemuan
pasien mampu:
menyebutkan
kegiatan yang sudah

dilakukan
memperagakan cara
spiritual
Setelah...pertemuan
pasien mampu:
menyebutkan
kegiatan yang sudah

dilakukan
mempergakan cara

patuh obat

Keluarga
mampu:
merawat pasien

Setelah...pertemuan
keluarga mampu:
menjelaskan

SP 2:
evaluasi kegiatan yang
lalu (SP1)
Latih Cara fisik 2 :
pukul kasur/bantal
Masukkan dalam
jadwal harian pasien

SP 3:
evaluasi kegiatan yang
lalu (SP 1 dan SP 2)
Latih secara
sosial/verbal:
menolak dengan baik
meminta dengan baik
mengungkapkan
dengan baik
Masukkan dalam
jadwal harian pasien
SP 4:
evaluasi kegiatan yang
lalu (SP 1, 2, 3)
Latih secara spiritual:
Berdoa
Shalat
Masukkan dalam
jadwal harian pasien
SP 5:
evaluasi kegiatan yang
lalu (SP 1, 2, 3,4)
Latih patuh obat:
minum obat secara
teratur
susun jadwal minum
obat secara teratur
Masukkan dalam
jadwal harian pasien
SP 1:
Identifikasi masalah
yang dirasakan klg

di rumah

penyebab, tanda dan


gejala, akibat, serta
mampu
memperagakan cara

merawat

Setelah...pertemuan
keluarga mampu
menyebutkan
kegiatan yang sudah
dilakukan dan
mampu merawat
serta dapat membuat
RTL
Setelah...pertemuan
keluarga mampu
menyebutkan
kegiatan yang sudah
dilakukan dan
mampu merawat
serta dapat membuat
RTL
Setelah...pertemuan
keluarga mampu
melaksanakan
follow up dan
rujukan serta

mampu
menyebutkan
kegiata yang sudah
dilakukan

dalam merawat pasien


jelaskan tentang PK:
penyebab, , akibat,
cara merawat
latih 2 cara merawat
susun RTL
keluarga/jadwal untuk
merawat pasien
SP 2:
Evaluasi SP 1
Latih (simulasi) 2 cara
lain intuk merawat
pasien
latih langsung ke
pasien
susun RTL
keluarga/jadwal klg
untuk merawat pasien
SP 3:
Evaluasi SP 1 dan 2
latih langsung ke
pasien
susun RTL
keluarga/jadwal klg
untuk merawat pasien

SP 4:
Evaluasi SP 1,2, 3
latih langsung ke
pasien
susun RTL keluarga
follow up dan rujukan

C. Perubahan Pola Pikir : Waham

1. Proses Terjadinya Masalah


a. Pengertian
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Depkes RI, 2000). Waham
adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah,
keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya,

ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi


atau informasi secara akurat (Keliat, 1999).
b. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala pada klien yang mengalami perubahan proses pikir : waham adalah
sebagai berikut :
Menolak makan
Tidak ada perhatian pada perawatan diri
Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan
Gerakan tidak terkontrol
Mudah tersinggung
Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
Tidak bisa membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan
Menghindar dari orang lain
Mendominasi pembicaraan
Berbicara kasar
Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan
2. Rentang Respons
Respon Adaptif

Respons Maladaptif

Pikiran logis
Persepsi kuat
Emosi konsisten
dengan pengalaman
Perilaku sesuai

Hubungan sosial
harmonis

Kadang proses pikir


terganggu
Ilusi
Emosi berlebihan
Berperilaku yang
tidak biasa
Menarik diri

Gangguan isi pikir


halusinasi
Perubahan proses
emosi
Perilaku tidak
terorganisasi
Isolasi sosial

Rentang respons perubahan proses pikir waham.


Sumber: Keliat (1999, dalam Fitria 2012)
3. Faktor Predisposisi
a Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal
ini dapat meningkatkan stres dan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi,
klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak
efektif.
b

Faktor Sosial dan Budaya


Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya
waham. Waham juga bisa muncul karena adanya perpisahan dengan orang yang
berarti/dicintai.

Faktor Psikologis

Hubungan tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan ansietas


dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan. Kecemasan yang
memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah sehingga klien
mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan.
d

4.

Faktor Biologis
Waham diyakinii terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak,
atau perubahan pada sel kortikal dan limbik. Dopamin, norepineprin, dan zat
halusinogen lainnya juga diduga menjadi penyebab waham pada seseorang.

Macam-Macam Waham
a Waham Agama
Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh :
Klien mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan yang dapat mengendalikan alam
semesta.
b Waham Kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus atau
kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
Saya ini pemilik tambang batu bara di Kalimantan!
Saya ini artis papan atas loh
c Waham curiga
Keyakinan bahwa seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan atau
mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
Kalian pasti ingin menjahati saya karena saya kaya.
d Waham Somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau terserang
penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
Klien mengatakan bahwa hidungnya tersumbat tetapi saat diperiksa tidak ada apaapa dan saluran pernapasannya lancar.
5. Pohon Masalah
Resiko tinggi perilaku kekerasan
Perubahan sensori waham
Isolasi sosial; Menarik diri

Harga diri rendah kronis


6. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
a Resiko tinggi perilaku kekerasan
b Perubahan proses pikir: waham
c Isolasi sosial
d Harga diri rendah

7. Data yang Perlu Dikaji


Masalah Keperawatan
Perubahan proses pikir :
waham kebesaran

Data yang Perlu Dikaji


Subjektif:
1. Klien mengatakan bahwa klien adalah orang
yang paling hebat.
2. Klien mengatakan bahwa ia memiliki
kebesaran atau kekuasaan khusus.
Objektif:
1. Klien terus berbicara tentang kemampuan
yang dimilikinya.
2. Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang.
3. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan
kenyataan.

8. Diagnosis Keperawatan
Perubahan Proses Pikir : Waham Kebesaran
9. Rencana Tindakan Keperawatan
a Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.
Membantu orientasi realitas.
Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Membantu klien memenuhi kebutuhannya.
Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
b Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
Berdiskusi tentang kemampuan yang dimiliki.
Melatih kemampuan yang dimiliki.
c Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur.
Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
D. Isolasi Sosial
1. Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Isolasi sosial adalah suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi
dengan orang lain. Individu merasa bahwaia kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia
mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup
membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007).
b. Tanda dan Gejala
Berikut ini adalah tanda dan gejala klien sering ditemukan pada isolasi sosial:
- Kurang spontan,
- Apatis (acuh terhadap lingkungan),
- Ekspresi wajah tidak berseri,
- Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri,
- Tidak ada atau kurang komunikasi verbal,

Mengisolasi diri,
Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya,
Asupan makanan dan minuman terganggu,
Retensi urine dan feses,
Aktivitas menurun,
Kurang energi (tenaga),
Rendah diri
Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khusus pada posisi tubuh).
2. Rentang Respon
Bagan rentang respon pada pasien dengan isolasi sosial dapat dilihat pada skema
dibawah ini:
Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Menyendiri
Otonomi
Bekerjasama
Interdepende
n

Merasa
sendiri
Dependensi
Curiga

Menarik diri
Ketergantungan
Manipulasi
Curiga

Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Menurut Fitria (2009, hlm. 32) yang
termasuk respon adaptif adalah sebagai berikut:
- Menyendiri, merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa
yang telah terjadi dilingkungan sosialnya.
- Otonomi, merupakan kemampuan individu untuk menentukan dab menyampaikan
ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan social
- Bekerja sama, merupakan kemampuan individu yang saling membutuhkan orang
lain.
- Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal.
b Respon Maladaptif
Respon yang diberikan individu menyimpang dari norma sosial. Yang termasuk
kedalam rentang respon maladaptif adalah sebagai berikut:
- Menarik Diri : Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka dengan orang lain.
- Ketergantungan : Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga
tergantung dengan orang lain.
- Manipulasi : Seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu
sehingga tidak dapat menerima hubungan sosial secara mendalam.
- Curiga : Seseorang gagal dalam mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.
3. Faktor Predisposisi
Menurut Fitria (2009, hlm. 33-35) ada empat faktor predisposisi yang
menyebabkan Isolasi Sosial, diantaranya:
- Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tuga perkembangan yang
harus terpenuhi agar tidka terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas-tugas

dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan
sosial yang nantinyaa akan dapat menimbulkan masalah.
Dibawah ini akan dijelaskan tahap perkembangan serta tugas perkembangan :
Tahap
Tugas
Perkembangan
Masa Bayi
Menetapkan rasa percaya.
Masa Bermain
Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri
Masa Prasekolah
Belajar menunjukan inisiatif, rasa tanggung jawab,
dan hati nurani
Masa Sekolah
Belajar
berkompetisi,
bekerja
sama,
dan
berkompromi
Masa Praremaja
Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis
kelamin
Masa Dewasa
Menjadi saling bergantung antara orang tua dan
Muda
teman, mencari pasangan, menikah, dan mempunyai
anak
Masa Tengah Baya Belajar menerima hasilkehidupan yang sudah dilalui
Masa Dewasa Tua
Berduka karena kehilangan dan mengembangkan
perasaan keterkaitan dengan budaya
Tabel Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal (Erik
Erikson dalam Stuart, 2007, hlm. 346).
-

Faktor Sosial Budaya


Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu
faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan
oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga di mana setiap anggota
keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia, penyakit kronis, dan penyandang
cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia
yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur yang abnormal
pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel sel dalam
limbik dan daerah kortikal.
Faktor Komunikasi dan Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk dalam
masalah berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu
keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersama atau ekspresi emosi yang tinggi dalam
keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar
keluarga.

4. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Stuart (2007, hlm. 280) faktor presipitasi atau stresor pencetus pada
umumnya mencakup peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres seperti kehilangan,
yang memenuhi kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan

menyebabkan ansietas. Faktor pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu
sebagai berikut:
- Stresor Sosiokultural. Stress dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit
keluarga dan berpisah dari orang yang berarti.
- Stresor Psikologi. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan
orang lain untuk memenuhi kebutuhan.
Faktor presipitasi terjadinya Isolasi Sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor internal
dan eksternal seseorang. Faktor ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Faktor Eksternal : Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stres yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya yang antara lain adalah keluarga.
- Faktor Internal : Contohnya adalah stresor psikologik yaitu stres terjadi akibat
ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan
untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan
ketergantungan individu.
5. PENATALAKSANAAN MEDIS
a Metode Biologik
Metode biologik yang digunakan pada pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai
berikut:
Terapi Psikofarmaka
Terapi psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan pada gangguan fungsi
neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan atau dengan kata lain
skizofrenia dapat diobati (Hawari,2006, hlm. 96). Obat antipsikotik terpilih untuk
skizofrenia terbagi dalam dua golongan (Hawari, 2006, hlm. 97-99) yaitu antipsikotik
tipikal (Klorpromazim, Trifluferazin, Haloperidol) dan antipsikotik atipikal (Klozapin,
Risperidon). Antipsikotik golongan tipikal tersebut bekerja dengan memblokir reseptor
dopamin terpilih, baik diarea striatal maupun limbik di otak dan antipsikoti atipikal
menghasilkan reseptor dopamin dan serotonin selektif yang menghambat sistem
limbik. Memberikan efek antipsikotik (gejala positif) dan mengurangi gejala negatif.
Menurut Doenges (2007, hlm.253) prosedur diagnostik yang digunakan untuk
mendeteksi fungsi otak pada penderita gangguan jiwa adalah sebagai berikut:
- Coputerized Tomografi (CT Scan) : Induvidu dengan gejala negatif seringkali
menunjukkan abnormalitas struktur otak dalam sebuah hasil CT scan. (Townsend,
2003, hlm. 318)
- Magnetik Resonance Imaging (MRI) : Mengukur anatomi dan status biokimia dari
berbagai segmen otak.
- Positron Emission Tomography : Mengukur fungsi otak secara spesifik seperti
metabolisme glukosa, aliran darah terutama yang terkait dengan psikiatri.
- Elektroconvulsif Therapy (ECT) : Digunakan untuk pasien yang mengalami depresi.
Pengobatan dengan ECT dilakukan 2 sampai 3 kali per minggu dengan total 6
sampai 12 kali pengobatan. (Townsend, 2003, hlm.316).
b Metode Psikososial
Menurut Hawari (2006, hlm. 105-111) ada beberapa terapi untuk pasien
skizofrenia, diantaranya adalah sebagai berikut:
Psikoterapi
Psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita
dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai

realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. (Hawari, 2006, hlm.
105)
Terapi Psikososial
Dengan terapi psikososial ini dimaksudkan agar penderita mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu
mandiri tidak bergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi
keluarga dan masyarakat. (Hawari, 2006, hlm. 108-109)
c Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat.
Diantaranya yaitu gejala-gejala klinis gangguan jiwa lebih cepat hilang, lamanya
perawatan lebih pendek, hendaya lebih cepat teratasi, dan lebih cepat dalam
beradaptasi dengan lingkungan. Terapi keagamaan yang dimaksud adalah berupa
kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, shalat, ceramah keagamaan,
kajian kitab suci dan lain sebagainya. (Hawari, 2006, hlm. 110-111)

6. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari dasar utama dari proses keperawatan, tahap
pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien.
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
(Nurjannah, 2004, hlm. 30)
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor
predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan
koping yang dimiliki klien. (Stuart dan Sundeen dalam Nurjannah, 2004, hlm. 30)
Menurut Keliat (2010, hlm.93) untuk melakukan pengkajian pada pasien dengan
isolasi sosial dapat menggunakan teknik wawancara dan observasi.
a Pengkajian yang ditemukan pada teknik wawancara adalah sebagai berikut:
Pasien mengatakan malas bergaul dengan orang lain.
Pasien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani perawat dan meminta untuk
sendirian.
Pasien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain.
Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
Pasien merasa tidak aman dengan orang lain.
Pasien mengatakan tidak bisa melangsungkan hidup.
Pasien mengatakan merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
b Pengkajian yang ditemukan dari hasil observasi adalah sebagai berikut:
Ekspresi wajah kurang berseri
Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
Mengisolasi diri
Tidak ada/kurang kontak mata
Aktivitas menurun
Asupan makanan dan minuman terganggu
Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan.
Tampak sedih, afek tumpul
7. Diagnosa keperawatan
a Diagnosa utama : Isolasi sosial

b Diagnosa lain yang menyertai diagnosa isolasi sosial menurut Keliat, 2006, hlm. 20
adalah sebagi berikut:
Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran
Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
Gangguan konsep diri: harga diri rendah
Ketidakefektifan penatalaksanaan program teraupetik
Defisit perawatan diri
Ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat pasien
dirumah.
Gangguan pemeliharaan kesehatan
c Tujuan Keperawatan
Tujuan
Pasien mampu :
1 Pasien dapat membina hubungan saling percaya
2 Pasien dapat menyadari penyebab interaksi sosial
3 Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain.
4 Pasien menunjukkan keterlibatan sosial
Keluarga mampu :
Merawat pasien di rumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien
E. Risiko Bunuh DIri

1.

Proses Terjadinya Masalah

a.

Pengertian

Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk
mengakhiri kehidupannya. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000),
bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:
Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
Bunuh diri dilakukan dengan intensi
Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung
(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan
kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.
b. Tanda dan gejala :
Sedih
Marah
Putus asa
Tidak berdaya
Memeberikan isyarat verbal maupun non verbal
c.

Penyebab

Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan


masalah. Terbagi menjadi:

Faktor genetik (berdasarkan penelitian):


1,5 3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada
individu yang menjadi kerabat tingkat pertama dari orang
yang mengalami gangguan mood/depresi/ yang pernah
melakukan upaya bunuh diri.
Lebih sering terjadi pada kembar monozigot dari pada kembar
dizigot.

Faktor Biologis lain:


Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya:
Stroke
Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)
DiabetesPenyakit arteri koronaria
Kanker
HIV / AIDS

Faktor Psikososial & Lingkungan:


Teori Psikoanalitik / Psikodinamika: Teori Freud, yaitu bahwa
kehilangan objek berkaitan dengan agresi & kemarahan,
perasaan negatif thd diri, dan terakhir depresi.
Teori Perilaku Kognitif: Teori Beck, yaitu Pola kognitif negatif
yang berkembang, memandang rendah diri sendiri
Stressor Lingkungan: kehilangan anggota keluarga, penipuan,
kurangnya sistem pendukung sosial

d.

Akibat
Resiko bunuh diri dapat megakibatkan sebagai berikut :
Keputusasaan
Menyalahkan diri sendiri
Perasaan gagal dan tidak berharga
Perasaan tertekan
Insomnia yang menetap
Penurunan berat badan

Berbicara lamban, keletihan


Menarik diri dari lingkungan social
Pikiran dan rencana bunuh diri
Percobaan atau ancaman verbal

2.

POHON MASALAH
Resiko mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan

Resiko bunuh diri

Harga diri rendah

3.

MASALAH KEPERAWATAN

DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


a.

Pengkajian Faktor Resiko Perilaku bunuh Diri


Jenis kelamin: resiko meningkat pada pria
Usia: lebih tua, masalah semakin banyak
Status perkawinan: menikah dapat menurunkan resiko, hidup
sendiri merupakan masalah.
Riwayat keluarga: meningkat apabila ada keluarga dengan
percobaan bunuh diri / penyalahgunaan zat.
Pencetus ( peristiwa hidup yang baru terjadi): Kehilangan orang
yang dicintai, pengangguran, mendapat malu di lingkungan social.
Faktor kepribadian: lebih sering pada kepribadian introvert/menutup
diri.
Lain lain: Penelitian membuktikan bahwa ras kulit putih lebih
beresiko mengalami perilaku bunuh diri.

a Masalah keperawatan
Resiko Perilaku bunuh diri
DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya
hidup.

DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba
bunuhdiri.
Koping maladaptive
DS : menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada
harapan.
DO : nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol
impuls.

4.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

a.

Diagnosa 1

: Resiko bunuh diri

b.

Tujuan umum

: Klien tidak melakukan percobaan

Tujuan khusus

bunuh diri
c.

Klien dapat membina hubungan saling percaya


Tindakan:

Perkenalkan diri dengan klien

Tanggapi pembicaraan klien dengan sabar dan tidak


menyangkal.

Bicara dengan tegas, jelas, dan jujur.

Bersifat hangat dan bersahabat.

Temani klien saat keinginan mencederai diri meningkat.

Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri


Tindakan :

Jauhkan klien dari benda benda yang dapat membahayakan (pisau,


silet, gunting, tali, kaca, dan lain lain).

Tempatkan klien di ruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh


perawat.

Awasi klien secara ketat setiap saat.

Klien dapat mengekspresikan perasaannya


Tindakan:

Dengarkan keluhan yang dirasakan.

Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan keraguan, ketakutan


dan keputusasaan.

Beri dorongan untuk mengungkapkan mengapa dan bagaimana


harapannya.

Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan arti penderitaan,


kematian, dan lain lain.

Beri dukungan pada tindakan atau ucapan klien yang menunjukkan


keinginan untuk hidup.

Klien dapat meningkatkan harga diri


Tindakan:

Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi keputusasaannya.

Kaji dan kerahkan sumber sumber internal individu.

Bantu mengidentifikasi sumber sumber harapan (misal: hubungan antar


sesama,

keyakinan, hal hal untuk diselesaikan).

Klien dapat menggunakan koping yang adaptif


Tindakan:

Ajarkan untuk mengidentifikasi pengalaman pengalaman yang


menyenangkan setiap hari (misal : berjalan-jalan, membaca buku
favorit, menulis surat dll.)

Bantu untuk mengenali hal hal yang ia cintai dan yang ia sayang, dan
pentingnya terhadap kehidupan orang lain, mengesampingkan tentang
kegagalan dalam kesehatan.

Beri dorongan untuk berbagi keprihatinan pada orang lain yang


mempunyai suatu masalah dan atau penyakit yang sama dan telah
mempunyai pengalaman positif dalam mengatasi masalah tersebut
dengan koping yang efektif

a.

Diagnosa 2

: Gangguan konsep diri: harga

diri rendah
b.

Tujuan umum

: Klien tidak melakukan

Tujuan khusus

kekerasan
c.

1.

Klien dapat membina hubungan saling


percaya.

Tindakan:
1.1.

Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama


perawat dan jelaskan tujuan interaksi.

1.2.

Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.

1.3.

Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

2.

Klien dapat mengidentifikasi kemampuan


dan aspek positif yang dimiliki.
Tindakan:
2.1Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2.2Hindari penilaian negatif detiap pertemuan klien
2.3Utamakan pemberian pujian yang realitas

3.

Klien mampu menilai kemampuan yang


dapat digunakan untuk diri sendiri dan keluarga
Tindakan:
3.1Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3.2Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah
pulang ke rumah

4.

Klien dapat merencanakan kegiatan yang


bermanfaat sesuai kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
4.1.

Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari


sesuai kemampuan.

4.2.

Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang klien lakukan.

4.3.

Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien

5.

Klien dapat melakukan kegiatan sesuai


kondisi dan kemampuan
Tindakan :
5.1.

Beri klien kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan

5.2.

Beri pujian atas keberhasilan klien

5.3.

Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

6.

Klien
pendukung yang ada
Tindakan :

dapat

memanfaatkan

sistem

6.1

Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat


klien

6.2

Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat

6.3

Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah

6.4

Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

1.

Diagnosa 3

: Resiko mencederai diri

sendiri, orang lain dan lingkungan


2.

Tujuan umum
-

Pasien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

3.

Tujuan khusus

Pasien mendapatkan perlindungan dari lingkungannya

Pasien mampu mengungkapkan perasaannya

Pasien mampu meningkatkan harga dirinya

Pasien mampu menggunakan cara penyelesaiaan masalah yang


baik

4.

Tindakan :
-

Mendikusikan cara mengatasi keinginan mencederai diri sendiri,


orang lain dan lingkungan

Meningkatkan harga diri pasien dengan cara :


o

Memberikan kesempatan pasien mengungkapkan


perasaannya

Memberikan pujian jika pasien dapat mengatakan perasaan


yang positif

Meyakinkan pasien bahawa dirinya penting

Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri


oleh pasien

o
-

Merencanakan yang dapat pasien lakukan

Tingkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara :


o

Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan


masalahnya

Mendiskusikan dengan pasien efektfitas masing-masing cara


penyelesian masalah

Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah


yang lebih baik

5.

RENCANA TINDAKAN

KPERAWATAN
a. Ancaman atau percobaan bunuh diri
1. Intervensi pada pasien
a) Tujuan keperawatan
Pasien tetap aman dan selamat.
b) Tindakan keperawatan
Melindubgi pasien dengan cara:

Temani pasien terus-menerus sampai pasein dapat dipindahkan


ke tempat yang aman

Jauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya: pisau, silet,


gelas, dan tali pinggang)

Periksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya jika


pasien mendapatkan obatnya.

Dengan lembut, jelaskan pada pasien bahwa anda akan


melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

F. Harga Diri Rendah Kronis


1.
Proses Terjadinya Masalah
a.
Pengertian
Evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
engatif dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan
(Towsend, 1998)
Penialian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang
diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Schult dan
Videbeck, 1998)
Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan
harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998)
b. Tanda dan Gejala
- Mengkritik diri sendiri
- Perasaan tidak mampu
- Pandangan hidup yang pesimistis
- Tidak menerima pujian
- Penurunan produktivitas
- Penolakan terhadap kemampuan diri
- Kurang memperhatikan perawatan diri
- Berpakaian tidak rapi
- Selera makan berkurang
- Tidak berani menatap lawan bicara

- Lebih banyak menunduk


- Bicara lambat dengan nada suara lemah
2. Faktor Predisposisi
Penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berualng kali, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideaql
diri yang tidak realistis.
3.

Faktor Presipitasi

Hilangnya anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk


tubuh,mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas.
4. HDR Situasional
Trauma yang muncul secara tiba2 seperti operasi, mengalami kecelakaan,
korban pemerkosaan, menjadi narapidana, dirawat di rumah sakit, pemasangan
alat bantu, harapan yang tidak sesuai dengan struktur, fungsi, dan bentuk tubuh,
serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dajn keluarga.
5. HDR Kronik
Biasanya berlangsung sejak lama, sebelum sakit atau dirawat di rumah sakit.
Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan meningkat saat
dirawat.
6.

Pohon Masalah
Koping individu tidak efektif

( Causa)

Harga diri rendah kronik ( Care Problem)

Isolasi sosial

Perubahan persepsi sensori . Halusinasi (Effect)

Risiko Tinggi Perilaku kekerasan


7.

Data yang perlu dikaji

Masalah Keperawatan
Harga diri Rendah Kronis

Data yang perlu dikaji


Subjektif
- Mengungkapkan dirinya merasa
tidak berguna

Mengungkapkan dirinya merasa


tidak mampu
- Mengungkapkan dirinya tidak
semangat untuk beraktivitas
atau bekerja
- Mengungkapkan dirinya malas
melakukan perawatan diri
(mandi, berhias, makan, atau
toileting).
Objektif
- Mengkritik diri sendiri
- Perasaan tidak mampu
- Pandangangan hidup yang
pesimistis
- Tidak menerima pujian
- Penurunan produktivitas
- Penolakan terhadap kemampuan
diri
- Kurang memperhatikan
perawatan diri
- Berpakaian tidak rapi
- Berkurang selera makan
- Tidak berani menatap lawan
bicara
- Lebih banyak menunduk
- Bicara lambat dengn nada bicara
lemah

8.
Rencana tindakan keperawatan
1. Tindakan keperawatan pada klien
a. Klien mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
b. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan
c. Klien mampu menetapkan atau memilih kegiatan yang sesuai
kemampuan
d. Klien mampu melatih kegiatan yang sudah dipilih sesuai
kemampuannya
e. Klien mampu merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya
2. Tindakan keperawatan pada keluarga
a. Keluarga dapat membantu klien mengidentifikasi kemampuan yang
dimiliki klien
b. Keluarga memfasilitasi aktivitas klien yang sesuai kemampuan
c. Keluarga memotivasi klien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan
latihan yang dilakukan
d. Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan klien
G. Defisit Perawatan Diri

1. Proses Terjadinya Masalah


a. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu
keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri ( Depkes 2000).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan Wartonah 2000).
b. Tanda dan Gejala :
Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor,

kulit berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor


Ketidakmampuan berhias/berpakaian, ditandai dengan rambut acakacakan, pakain kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien

laki-laki bercukur, pada pasien perempuan tidak berdandan.


Ketidakmampuan
makan
secara
mandiri,
ditandai

oleh

ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan

makana tidak pada tempatnya


Ketidakmampuan eliminasi sevara mandiri, ditandai dengan buang air
besar atau buang air kecil tidak pada tempatnya, dan tidak
membersihakan diri dengan baik setelah BAB/BAK

Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan
diri adalah:
a) Fisik
Badan bau, pakaian kotor.
Rambut dan kulit kotor.
Kuku panjang dan kotor
Gigi kotor disertai mulut bau
Penampilan tidak rapi
b) Psikologis
Malas, tidak ada inisiatif.
Menarik diri, isolasi diri.
Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.

c) Sosial
Interaksi kurang
Kegiatan kurang
Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
Cara makan tidak teratur
BAK dan BAB di sembarang tempat
2. Penyebab
Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2000) Penyebab kurang perawatan diri adalah
sebagai berikut : kelelahan fisik dan penurunan kesadaran.
3. Pohon masalah
Kebersihan diri tidak adekuat (BAB/BAK, Makan
Defisit perawatan
Penurunan kemampuan dan motivasi
Isolasi sosial

a)

4. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Data subyektif
a. Klien mengatakan saya tidak mampu mandi, tidak bisa melakukan apa-apa,
Data obyektif
a. Klien terlihat lebih kurang memperhatikan kebersihan, halitosis, badan bau,
kulit kotor
b) Isolasi Sosial
Data subyektif
a. Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
Data obyektif
b. Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup, Apatis, Ekspresi
sedih, Komunikasi verbal kurang, Aktivitas menurun, Posisi janin pada saat
tidur, Menolak berhubungan, Kurang memperhatikan kebersihan

c)

Defisit Perawatan Diri


Data subyektif
a. Pasien merasa lemah
b. Malas untuk beraktivitas
c. Merasa tidak berdaya.

Data obyektif
a. Rambut kotor, acak acakan
b. Badan dan pakaian kotor dan bau
c. Mulut dan gigi bau.
d. Kulit kusam dan kotor
e. Kuku panjang dan tidak terawat
a.
b.
c.

5. Diagnosa Keperawatan
Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Isolasi Sosial
Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan, BAB/BAK
6. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1
: Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Tujuan Umum : Klien dapat meningkatkan minat dan motivasinya untuk
memperhatikan kebersihan diri
Tujuan Khusus :
TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
Intervensi
a. Berikan salam setiap berinteraksi.
b. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan.
c. Tanyakan nama dan panggilan kesukaan klien.
d. Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi.
e. Tanyakan perasaan dan masalah yang dihadapi klien.
f. Buat kontrak interaksi yang jelas.
g. Dengarkan ungkapan perasaan klien dengan empati.
h. Penuhi kebutuhan dasar klien.
TUK II : klien dapat mengenal tentang pentingnya kebersihan diri.
Intervensi
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik.
b. Diskusikan bersama klien pentingnya kebersihan diri dengan cara menjelaskan
pengertian tentang arti bersih dan tanda- tanda bersih.
c. Dorong klien untuk menyebutkan 3 dari 5 tanda kebersihan diri.
d. Diskusikan fungsi kebersihan diri dengan menggali pengetahuan klien
terhadap hal yang berhubungan dengan kebersihan diri.
e. Bantu klien mengungkapkan arti kebersihan diri dan tujuan memelihara
kebersihan diri.
f. Beri reinforcement positif setelah klien mampu mengungkapkan arti
kebersihan diri.
g. Ingatkan klien untuk memelihara kebersihan diri seperti: mandi 2 kali pagi dan
sore, sikat gigi minimal 2 kali sehari (sesudah makan dan sebelum tidur),
keramas dan menyisir rambut, gunting kuku jika panjang.
TUK III : Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat.

Intervensi
a. Motivasi klien untuk mandi.
b. Beri kesempatan untuk

mandi,

beri

kesempatan

klien

untuk

mendemonstrasikan cara memelihara kebersihan diri yang benar.


c. Anjurkan klien untuk mengganti baju setiap hari.
d. Kaji keinginan klien untuk memotong kuku dan merapikan rambut.
e. Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk pengelolaan fasilitas perawatan
kebersihan diri, seperti mandi dan kebersihan kamar mandi.
f. Bekerjasama dengan keluarga untuk mengadakan fasilitas kebersihan diri
seperti odol, sikat gigi, shampoo, pakaian ganti, handuk dan sandal.
TUK IV : Klien dapat melakukan kebersihan perawatan diri secara mandiri.
Intervensi
a. Monitor klien dalam melakukan kebersihan diri secara teratur, ingatkan untuk
mencuci rambut, menyisir, gosok gigi, ganti baju dan pakai sandal.
TUK V : Klien dapat mempertahankan kebersihan diri secara mandiri.
Intervensi
a. Beri reinforcement positif jika berhasil melakukan kebersihan diri.
TUK VI : Klien dapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan diri.
Intervensi
a. Jelaskan pada keluarga tentang penyebab kurang minatnya klien menjaga
kebersihan diri.
b. Diskusikan bersama keluarga tentang tindakanyang telah dilakukan klien
selama di RS dalam menjaga kebersihan dan kemajuan yang telah dialami di
RS.
c. Anjurkan keluarga untuk memutuskan memberi stimulasi terhadap kemajuan
yang telah dialami di RS.
d. Jelaskan pada keluarga tentang manfaat sarana yang lengkap dalam menjaga
kebersihan diri klien.
e. Anjurkan keluarga untuk menyiapkan sarana dalam menjaga kebersihan diri.
f. Diskusikan bersama keluarga cara membantu klien dalam menjaga kebersihan
diri.
g. Diskusikan dengan keluarga mengenai hal yang dilakukan misalnya:
mengingatkan pada waktu mandi, sikat gigi, mandi, keramas, dan lain-lain.
Diagnosa 2
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
TUK I
Intervensi

: Isolasi sosial
: klien tidak terjadi perubahan sensori persepsi
:
: Klien dapat membina hubungan saling percaya

a.

Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, memperkenalkan diri,


jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kesepakatan
dengan jelas tentang topik, tempat dan waktu.

b.

Beri perhatian dan penghaargaan: temani klien walau tidak menjawab.

c.

Dengarkan dengan empati: beri kesempatan bicara, jangan terburu-buru,


tunjukkan bahwa perawat mengikuti pembicaraan klien.
TUK II

: Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri

Intervensi
a. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
b. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau mau bergaul
b. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul
c. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
TUK III : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain
dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Intervensi
A. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
orang lain
a. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan prang lain
b. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
B. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang
lain
a. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan
orang lain
b. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain

TUK IV : Klien dapat melaksanakan hubungan sosial


Intervensi
a. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
b. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai
d. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
e. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
f. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
g. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
TUK

IV

: Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan

dengan orang lain


Intervensi
a.

Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan


orang lain

b.

Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan


orang lain

c.

Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan


manfaat berhubungan dengan oranglain
Diagnosa 3

: Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan,

BAB/BAK
Tujuan Umum :
Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri
Tujuan Khusus :

Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri

Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik

Pasien mampu melakukan makan dengan baik

Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri


Intervensi
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri

2) Melatih pasien berdandan/berhias


Untuk pasien laki-laki latihan meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Berhias
3) Melatih pasien makan secara mandiri
a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
4) Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
Referensi

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta :
EGC.
Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa.Kaplan Sadoch. 1998. Sinopsis
Psikiatri. Edisi 7. Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI . Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.
Yogyakarta : Momedia
Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah
Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto
Stuart, Sudden, 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta : EGC

Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, 2005 2006. Jakarta :
Prima Medika.
Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Tarwoto

dan

Wartonah.

2000.

Kebutuhan

Dasar

Manusia.

Jakarta.

Townsend, Marry C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Perawatan


Psikiatri. Edisi 3. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai