Anda di halaman 1dari 15

Peran Wanita dalam Politik Indonesia

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian


kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara.
Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa
Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari
bahasa Yunani politika - yang berhubungan dengan
Negara dengan akar katanya polites ( warga Negara ) dan
polis ( negara kota ).
Secara etimologi kata "politik" masih berhubungan dengan
polisi ( kebijakan ). Kata "politis" berarti hal-hal yang
berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orangorang
yang
menekuni
hal
politik.
(
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik ).
Secara praktisnya, kita seringkali memahami politik
sebagai kekuasaan, bagaimana kita mendapatkan suatu
kekusaan ( melalui cara konstitusional ataupun
inkonstitusional ), dan bagaimana cara mempertahankan
kekuasaan yang telah didapatkan.
Politik juga bisa kita pahami sebagai cara untuk
menjalankan suatu kekuasaan di dalam sebuah organisasi,
baik dalam bentuk Negara maupun organisasi kecil yang
hanya berbasis dalam suatu masyarakat. Kaitannya
dengan menjalankan kekuasaan itu maka akan juga
bersinggungan dengan bagaimana cara membagi
kekuasaan yang ada sehingga tidak terjadi sebuah
tindakan yang sewenang-wenang atau kekuasaan yang

bersifat
absolut
yang
cenderung
akan
selalu
disalahgunakan ( power tends to corrupt but absolute
power corrupts absolutely Lord Acton ).
Sehingga rumusan politik yang paling mudah untuk
dipahami adalah berkenaan urusan menjalankan
kekuasaan dalam suatu Negara dalam kaitannya untuk
membentuk kebijakan yang diharapkan akan mampu
untuk mewujudkan suatu keamanan, ketertiban, dan
kesejahteraan bagi masayarakat.
Politik yang kita pahami sebagai usaha untuk menjalankan
suatu kekuasaan maka diperlukan suatu sistem untuk
menjalankannya, karena bagaimanapun juga politik itu
tidak akan pernah mampu untuk berdiri sendiri dan akan
selalu bersentuhan dengan unsur lainnya dalam
kehidupan ini.
Sistem politik menurut Drs. Sukarno adalah
sekumpulan pendapat, prinsip yang membentuk satu
kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk
mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan
mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur
individu atau kelompok individu satu sama lain atau
dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara.
Definisi lain yang dikemukakan oleh Rusadi
Kartaprawira adalah sistem politik yaitu mekanisme
seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik
dalam hubungan satu sama lain yang menunjukan suatu
proses yang langsung memandang dimensi waktu
( melampaui masa kini dan masa yang akan datang ).

Berdasarkan kedua pengertian itu, sistem politik


merupakan seperangkat unsur atau komponen dalam
Negara yang menjalankan suatu kekuasaan untuk
menjalankan Negara serta roda pemerintahan yang ada di
Negara tersebut dalam kaitannya untuk membuat sebuah
kebijakan atau ketentuan demi terwujudnya kesejahteraan
bagi masyarakat.
Sistem politik di Indonesia atau sistem politik Indonesia
dapat kita artikan sebagai kumpulan atau keseluruhan
berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan
dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan
tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan
keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya (
http://saiyanadia.wordpress.com/2010/11/20/pengertian
-sistem-politik-indonesia/ ).
Politik yang telah kita pahami sebagai sebuah kekuasaan
maka yang menjalankan kegiatan dalam Negara
Indonesia, berkaitan dengan kepentingan umum, spesifik
lagi, dalam proses penentuan tujuan serta pengambilan
keputusan maka tidak akan lepas dari lembaga-lembaga
yang ada dan dibentuk di Negara ini.
Sebelum kita membahas apa saja lembaga yang dimaksud
di dalamnya, kita harus terlebih dahulu memahami bahwa
dalam politik secara sangat sederhanya ada yang disebut
dengan suprastruktur dan infrastruktur politik
( ada beberapa ahli yang membedakannya ke dalam tiga
unsur ).

Suprastruktur politik berarti pranata atau lembaga politik


yang ada di tingkat supra atau atas atau yang dibentuk
sesuai dengan konstitusi yang berlaku di Negara tersebut.
Sedangkan infrastruktur politik adalah pranata politik
yang ada di tingkat masyarakat atau di luar lembagalembaga yang telah dibentuk oleh amanat konstitusi
seperti kelompok kepentingan, kelompok penekan, media
massa, dsb.
Kembali pada pembahasan awal kita yaitu apa lembaga
politik yang telah dibentuk oleh konstitusi, yang dalam hal
ini adalah UUD 1945, adalah MPR, Presiden,
Kementerian Negara, Pemerintah Daerah, DPR, DPD,
BPK, MA, dan MK.
Di dalam UUD 1945, tentunya yang telah diamandemen
sebanyak 4 (empat) kali, konstitusi secara tersirat
menganut trias-politica yang masyur dikemukakan oleh
Montesquieu. Walaupun memang tidak menganutnya
secara utuh.
Karena di dalam UUD 1945 telah sangat jelas diatur
kekuasaan itu dibagi menjadi kekuasaan eksekutif
( menjalankan UU ) yang dijalankan oleh Presiden beserta
jajarannya ( Menteri ), kekuasaan legislatif ( membuat
UU ) dijalankan oleh DPR, DPD, dan juga Presiden, serta
kekuasaan yudikatif ( mengawasi ) dijalankan oleh MA
dan MK. Sehingga sekali lagi, secara tersirat dan walaupun
tidak mengadopsi secara utuh, Indonesia memang
menganut sistem politik trias-politica.

Atas dasar ini, maka pembicaraan politik dalam lingkup


Negara Kesatuan Republik Indonesia berarti hanya
berkisar pada Presiden beserta jajarannya, DPR, DPD,
MA, dan MK dalam konteks suprastruktur politik atau
yang berkaitan langsung dengan pembuatan kebijakan.
Hal ini menjadi penting untuk terlebih dahulu penulis
kemukakan karena penulis tertarik membahas berkenaan
dengan peran wanita dalam dunia politik yang
ada di Indonesia.
Penulis tertarik membahas ini karena penulis melihat
sebuah fenomena yang ada dalam kehidupan sehari-hari,
yang sepertinya wanita itu berada dalam posisi teraniaya
atau terdiskriminasi atau setidaknya itu adalah klaim
dari beberapa wanita, terutama yang terlibat aktif dalam
sebuah kelompok kepentingan.
Itu semua kemudian akan semakin hangat untuk
diperbicangkan, khususnya dalam momen diperingatinya
Hari Kelahiran R.A. Kartini, pahlawan nasional yang
khusus mendedikasikan perjuangan dalam hidupnya
untuk melawan penindasan terhadap kaum wanita atau
bahasa
yang
lebih
jauh
populernya
adalah
memperjuangkan apa yang kita sebut dengan emansipasi
wanita.
Apa itu wanita? Wanita ( wa.ni.ta [n] ) adalah
perempuan dewasa : kaum -- , kaum putri (dewasa) (
http://kamusbahasaindonesia.org/wanita ).
Sebelum penulis melanjutkan kepada pokok permasalahan
utama yaitu mengkaji peran wanita dalam dunia politik

Indonesia, penulis akan terlebih dahulu mengemukakan


latar belakang dari pemilihan tema atau pokok masalah
yang kini sedang penulis bahas. Seperti yang juga telah
penulis sebutkan di awal, wanita akan mendadak menjadi
sebuah tema yang menarik untuk diperbincangkan ketika
kita memasuki bulan April setiap tahunnya. Hal itu terjadi
karena pada bulan April, bangsa Indonesia memperingati
Hari Kartini, pejuang atau pahlawan nasional yang
dianggap sebagai wanita yang gigih memperjuangkan
emansipasi wanita.
Akan tetapi ada satu catatan menarik akan hal ini. Di
dalam
referensi
lain
yang
penulis
baca
(
http://www.eramuslim.com/konsultasi/konspirasi/emans
ipasi-wanita.htm#.UVf2WjeTPLY ), ada sebuah sejarah
yang sepertinya terlupa atau bahkan sengaja untuk
dilupakan, yaitu bahwa delapan abad sebelum Kartini
lahir, di Kerajaan Aceh Darussalam sudah ada 4 (empat)
perempuan yang menjadi Sultan (Sultanah) dari 31 Sultan
yang ada.
Mereka adalah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin
(memerintah tahun 1050-1086 H), Sri Ratu Nurul
Alam Naqiatuddin (1086-1088 H), Sri Ratu
Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H), dan Sri
Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H).
Fakta sejarah yang ada menyebutkan bahwa di zaman
kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh, sudah banyak kaum
wanita yang ikut berjuang bersama-sama dengan
suaminya untuk melawan penjajah dan juga sekaligus

memperjuangkan segala bentuk penindasan terhadap


kaumnya.
Mereka adalah Laksamana Malahayati yang gagah
berani dalam memimpin armada laut Kerajaan Aceh
Darussalam melawan Portugis; Cut Nyak Din yang
memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya,
Teuku Umar, syahid; Teungku Fakinah, seorang
ustadzah yang memimpin resimen laskar perempuan
dalam perang melawan Belanda, usai perang Fakinah
mendirikan pusat pendidikan Islam bernama Dayah Lam
Diran; Lalu kita kenal ada Cut Meutia, yang selama 20
tahun memimpin perang gerilya dalam belukar hutan Pase
yang akhirnya syahid karena Meutia bersumpah tidak
akan menyerah hidup-hidup kepada kapel Belanda; Pocut
Baren, seorang pemimpin gerilya yang sangat berani
dalam perang melawan Belanda di tahun 1898-1906;
Pocut Meurah Intan, yang juga sering disebut dengan
nama Pocut Biheu, bersama anak-anaknyaTuanku
Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin
berperang melawan Belanda di hutan belukar hingga
tertawan setelah terluka parah di tahun 1904; Cutpo
Fatimah, teman seperjuangan Cut Meutia, puteri ulama
besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya
bernama Teungku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut
Meutia syahid, hingga dalam pertempuran tanggal 22
Februari 1912, Cutpo Fatimah dan suaminya syahid
bertindih badan diterjang peluru Belanda.
Fakta-fakta sejarah itu jelas merupakan sebuah bukti
bahwa sebenarnya wanita telah jauh-jauh hari
memperjuangkan nasibnya bahkan lebih dari itu mereka

berjuang melawan penindasan melawan penjajahan,


penindasan yang tidak hanya terjadi pada kaum wanita
tapi juga menyeluruh kepada seluruh rakyat yang ada
pada saat itu.
Fakta yang penulis kemukakan bukan lantas bermaksud
untuk menimbulkan sebuah polemik atau kontroversi tapi
penulis hanya ingin menunjukan bahwa masih ada
perlakukan yang kurang adil dalam menanggapi segala
peristiwa sejarah yang sebenarnya masih dalam kerangka
atau satu rangkaian dari terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tapi entah kenapa, entah ada faktor
apa, segala sesuatu itu atau beberapa fakta sejarah itu
terkesan untuk ditutupi atau diceritakan/disajikan dalam
bentuk dan redaksi yang telah sedemikian rupa dirubah
sehingga akhirnya substansi peristiwa sejarah pun
berubah dan menimbulkan sebuah penafsiran yang
berbeda.
Kaitannya dengan tema yang sedang penulis bahas di sini
adalah dengan hanya berpatokan emansipasi itu dimulai
ketika perjuangan seorang Kartini maka kesan yang
timbul kemudian adalah wanita itu memang terjajah dan
juga teraniaya, tak bisa untuk berbuat apa-apa.
Padahal seperti fakta searah yang telah penulis sebutkan
di atas, hal itu tidak terjadi sepenuhnya karena jauh
sebelum ada seorang Kartini, wanita telah juga
mempunyai hak yang sama untuk berjuang dan bisa
berbuat dengan leluasa. Besar kemungkinan hal yang
dialami oleh Kartini hanya terjadi pada daerah tertentu
( Jawa ), lalu karena terus dibesarkan maka dianggap

wanita itu memang secara keseluruhan mengalami


diskriminasi
sehingga
harus
mempunyai
atau
mendapatkan perlakuan yang sama selayaknya pria.
Hal ini tidak jauh berbeda juga dengan fakta sejarah yang
menyebutkan Gajah Mada sebagai pahlawan pemersatu
Nusantara, padahal bagi orang-orang Swarnadwipa,
Borneo, Celebes, Bali, dan lainnya, Gajah Mada tidak lebih
sebagai
seorang
agresor
dan
penjajah
(
http://www.eramuslim.com/konsultasi/konspirasi/emans
ipasi-wanita.htm#.UVf2WjeTPLY ).
Sekarang mari kita lihat kondisi dewasa ini, dalam dunia
politik serta posisi wanita dalam politik, gencar kita
dengar pernyataan bahwa harus ada persamaan gender
antara wanita dan pria.
Hal ini di dasari dengan argumen yang menyatakan bahwa
masih terdapat banyak diskriminasi terhadap wanita
sehingga wanita tidak mempunyai kesempatan untuk
menunjukan kapasitasnya atau berpartisipasi secara lebih
leluasa dalam mengambil suatu kebijakan sehingga
banyak kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada wanita
bahkan cenderung untuk melemahkan posisi wanita.
Di dalam UUD 1945 telah diatur secara jelas bahwa
Negara kita mengakui HAM bahkan dalam Pasal 28C
ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa
dan negaranya.

Lalu pada pasal 28D ayat (3) setiap wargaa Negara


berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
Di sini terlihat jelas bahwa tidak ada diskriminasi bagi
wanita maupun pria, semua sama dalam konstitusi Negara
kita. Bahkan lebih jauh lagi, sejauh yang penulis tau
( koreksi jika penulis salah ) tak ada satu pun aturan
perundang-undangan dalam kaitannya hak politik warga
Negara Indonesia yang menyatakan bahwa harus
mendahulukan/memprioritaskan kaum pria daripada
kaum wanita.
Sehingga kemudian penulis menyangsikan klaim
diskriminasi itu sendiri. Diskriminasi itu apa?
Diskriminasi ( dis.kri.mi.na.si [n] ) adalah pembedaan
perlakuan thd sesama warga negara (berdasarkan
warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb)
(http://kamusbahasaindonesia.org/diskriminasi).
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa diskriminasi itu
terjadi ketika wanita tidak mempunyai akses yang sama
terhadap suatu sumber daya sehingga mereka menjadi
tidak berdaya tapi sejauh yang penulis tau tak ada aturan
positif di Indonesia yang menyatakan hal itu. Sehingga
kesimpulan yang penulis bisa sampaikan adalah wanita
dan pria itu sama-sama memiliki akses yang sama
terhadap segala sumber daya yang ada di Negara ini.
Pertanyaan selanjutnya yang pasti akan muncul adalah,
lantas kenapa apabila tidak ada diskriminasi kemudian

jumlah wanita yang ada di lembaga politik itu sedikit dan


tak signifikan? Padahal jumlah wanita itu banyak.
Maka hal itu tak lepas dari masih banyaknya orang yang
mempercayakan suatu profesi, jabatan serta pekerjaan
pada suatu kaum sesuai dengan kodrat yang dimiliki kaum
tersebut.
Apa itu kodrat? Kodrat ( kod.rat [n] ) adalah (1)
kekuasaan (Tuhan): manusia tidak akan mampu
menentang -- atas dirinya sbg makhluk hidup; (2)
hukum (alam): benih itu tumbuh menurut -- nya; (3)
sifat asli; sifat bawaan: kita harus bersikap dan
bertindak
sesuai
dng
-kita
masing-masing
(http://kamusbahasaindonesia.org/kodrat).
Lalu apakah kita melakukan diskriminasi bila kita berbuat
sesuai kodrat? Penulis berpendapat justru merupakan
sebuah diskriminasi ketika bertindak menyalahi kodrat
yang kita miliki.
Wanita setidak-tidaknya memiliki dua peran seperti yang
disebutkan oleh Suwondo ( 1981 : 266 ). Dua peran itu
yaitu :
1.

Sebagai warga Negara dalam hubungannya dengan


hak-hak dalam bidang sipil dan politik, termasuk
perlakuan terhadap wanita dalam partisipasi tenaga
kerja; yang dapat disebut fungsi ekstern;

2.

Sebagai ibu dalam keluarga dan istri dalam


hubungan rumah tangga; yang dapat disebut fungsi
intern.

Akan tetapi dari kedua fungsi ini jelas wanita harus


mengutamakan fungssi intern mereka daripada fungsi
ekstern. Hal ini juga diebutkan oleh Gurniawan K.
Pasya dalam jurnal yang berjudul Peranan Wanita
dalam
kepemimpinan
dan
Politik,
beliau
menyebutkan : Karena itu tugas wanita yang utama
dari banyaknya tugas-tugas lain adalah membina
keluarga bahagia sejahtera.
Sebenarnya semua itu juga telah sedari dulu disebutkan,
seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw. :
Dan wanita adalah penanggung jawab di dalam rumah
suaminya ia akan di minta pertanggung jawabannya
atas tugasnya.
Mencari nafkah bukan merupakan tugas utama bagi
seorang wanita, "Dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang maruf
(baik)". (QS. Al-Baqarah: 233).
Dengan segala kodrat yang dimilikinya, yaitu mengalami
haidh, hamil, melahirkan, nifas, menyusui, mengasuh
anak,sepertinya memang tugas dalam dunia politik lebih
pantas untuk disematkan pada kaum pria.
Apabila lantas kemudian wanita tetap memilih untuk
terjun dalam dunia politik ataupun menjadi wanita karier
hal itu sebenarnya tidak menjadi suatu permasalahan

walaupun pada praktiknya nanti akan menghadapi banyak


masalah.
Noerhadi ( dalam Tan, 1991 :6 -7 ) mengemukakan
bahwa : bila semua wanita menjadi ibu rumah tangga,
keberanian untuk berkarir tentu harus ditopang oleh
kemampuan
yang
memadai,
tetapi
berkarier
memerlukan pula tekad dan konsentrasi yang tadinya
tidak dituntut pada wanita, jadi tidak dengan sendirinya
menjadi modalnya. Pengembangan ambisi, keyakinan
memimpin, upaya dan keberhasilan ambisi dilaksanakan
dalam ilkim kehidupan dengan suatu etika atau
moralitas tertentu yang sebenannya tidak dimiliki
wanita.
Peran wanita dalam dunia politik Indonesia memang akan
menjadi sebuah warna tersendiri bahkan dengan segala
sifat kewanitaannya hal itu akan semakin melengkapi
perpolitikan Indonesia.
Wanita pun di-klaim akan lebih peka terhadap isu-isu
yang seringkali dianggap kurang begitu diperhatikan oleh
kaum pria, seperti isu-isu masalah KDRT, kekerasan
terhadap anak, dsb. Hal itu sungguh tak dapat penulis
pungkiri apalagi di alam demokrasi seperti ini, seperti juga
yang dianut dan digunakan dalam sistem politik
Indonesia.
Dari segi kualitas pun, kita tak bisa lagi untuk meragukan
kemampuan seorang wanita, baik dalam dunia
pendidikan, seni, teknologi, dan segala segi penunjang
kehidupan lainnya. Terlebih dengan kuantitas wanita yang

juga banyak, maka jelas itu merupakan sebuah kekuatan


bagi Negara Indonesia.
Akan tetapi yang perlu untuk sama-sama kita pahami di
sini adalah, secara konstitusi, tak ada perbedaan antara
wanita dan pria, semua dipandang sama, bahkan dalam
agama sekalipun tak ada sama sekali pembeda, karena
satu hal yang membedakan antara wanita dan pria di mata
Tuhan adalah tingkat ketaqwaan mereka. Hal itu pul yang
berlaku dalam Negara ini.
Wanita dan pria dalam ranah politik memiliki posisi yang
sama untuk memilih dan juga dipilih, apalagi dengan
sistem demokrasi yang ada, maka rakyat yang menjadi
penentu apakah wanita atau pria yang layak duduk di
suatu lembaga politik.
Pada akhirnya kemampuan dan kepatutan yang akan
menjadi penilaian utama. Maka apabila kemudian
memang suatu jabatan, profesi, atau pekerjaan, banyak
masyarakat, banyak orang, yang menilai jabatan, profesi,
serta pekerjaan itu jauh lebih pantas dikerjakan oleh suatu
kaum daripada kaum yang lainnya, apakah memang hal
itu suatu yang diskriminatif?
Karena sekali lagi, kodrat itu tak akan pernah mampu
untuk kita rubah. Itu hukum alam, karena bukankah
memang segala sesuatu itu tercipta dengan tugas dan
fungsinya masing-masing? Ada dan tercipta untuk saling
melengkapi sehingga menghasilkan suatu keharmonisan?
Bila lantas harus semuanya sama, bagaimana mungkin
segalanya bisa bergerak seimbang?

Pada akhirnya, penulis ingin menyampaikan kepada


seluruh kaum wanita untuk berhenti memposisikan diri
dalam posisi yang lemah atau teraniaya, karena secara
hukum positif tak ada yang berbeda antara wanita dan
pria.
Tapi, mulailah untuk menempatkan diri sesuai dengan
kodrat yang dimilikinya. Yakin, bahwa segala sesuatunya
itu mempunyai manfaatnya tersendiri.
Gimana, wanita? bisa? :)
Selamat Hari Kartini,
semestinya!

selamat

kembali

ke

http://noorzandhislife.blogspot.com/2013/04/peran-wanita-dalam-politikindonesia.html
di unduh 27-04-2015,jam 20.05

kodrat

Anda mungkin juga menyukai