Anda di halaman 1dari 9

Koreksi Ptosis Menggunakan Fascia Lata yang diawetkan dengan Teknik

Modified Direct Tarsal Fixation


Tujuan: Untuk mengevaluasi keluaran klinis operasi frontalis sling menggunakan
fascia lata yang diawetkan dengan direct tarsal fixation yang dimodifikasi pada
pasien dengan ptosis kongenital
Metode: empat puluh tujuh pasien ptosis kongenital (60 mata) yang telah
menjalani operasi frontalis sling menggunakan fascia lata yang diawetkan dengan
metode direct tarsal fixation yang dimodifikasi antara bulan Maret 2001 dan
December 2008 dengan rata-rata waktu follow-up 52 bulan (26 hingga 122 bulan)
diikutsertakan dalam penelitian ini. Rekam medis ditinjau secara retrospektif.
Hasil: Ulasan rekam medis secara retrospektif dilakukan terhadap pasien yang
didiagnosis ptosis kongenital dan telah menjalani operasi frontalis suspension
menggunakan fascia lata yang diawetkan dengan metode direct tarsal fixation dari
tahun 2001 hingga 2008 di Rumah Sakit Dong-A. Pasien terdiri dari 34 pria dan
14 wanita. Usia pasien berkisar antara 1 hingga 18 tahun dengan rata-rata 4.51
tahun. Pada rata-rata follow up 60 bulan, hasil yang baik berhasil dicapai pada 46
mata (76.6%), cukup pada 8 mata (13.3%), dan buruk pada 6 mata (10%). Hasil
yang buruk berupa undercorrection pada satu mata dan kekambuhan pada 5 mata.
Survival rate akumulatif sebesar 87.2% dan semua kekambuhan timbul dalam
waktu 12 bulan setelah operasi.
Kesimpulan: Operasi frontalis sling menggunakan fascia lata yang diawetkan
dengan direct tarsal fixation yang dimodifikasi tampaknya merupakan pengobatan

yang efektif untuk ptosis kongenital parah dan menunjukkan hasil jangka panjang
yang baik.
Kata kunci: Blefaroptosis, Ptosis kongenital, Operasi frontalis sling, Fascia lata
yang diawetkan, Fiksasi tarsal.
Operasi frontalis sling merupakan pengobatan pilihan pada ptosis
kongenital dengan fungsi levator yang buruk [1-3]. Fascia lata autogenus adalah
bahan yang menjadi baku emas untuk operasi ini, tetapi membutuhkan insisi
kedua dan tidak dapat digunakan pada anak yang sangat muda [4-5]. Pada kasus
tersebut, fascia lata allograft dapat menjadi pengganti yang ideal. Teknik
pembedahan untuk operasi frontalis sling termasuk pola pentagonal, pola
rhomboid dobel, pola triangular, dan pola triangular dobel dimodifikasi [6-10].
Pada tahun 1990, Spoor dan Kwitko [11] menciptakan teknik pembedahan direct
tarsal dan fiksasi frontalis. Fiksasi langsung memudahkan pembentukan lipatan
kelopak mata dan penyesuaian kontur mata.
Jurnal ini mendeskripsikan mengenai keluaran klinis operasi frontalis sling
menggunakan fascia lata yang diawetkan dengan tehnik direct tarsal fixation yang
dimodifikasi.

Bahan dan Metode


Kami melakukan studi retrospektif terhadap semua pasien yang menjalani
operasi frontalis suspension menggunakan fascia lata yang diawetkan dengan
teknik direct tarsal fixation yang dimodifikasi pada ptosis kongenital antara Maret

2001 dan Desember 2008. Pasien dengan sindrom blefarofimosis dan Marcus
Gunn jaw winking synkiynesis tidak diikutsertakan. Data yang dikumpulkan
meliputi usia, jenis kelamin, riwayat operasi sebelumnya, riwayat komorbid, foto
digital atau Polaroid preoperatif dan postoperatif, penilaian ptosis sebelum
pembedahan, hasil setelah pembedahan, dan komplikasi yang berhubungan.
Semua pembedahan dilakukan oleh satu orang dokter bedah (HBA)
dibantu oleh seorang residen atau anggota lainnya. Semua pasien dievaluasi
setelah pembedahan oleh dokter bedah yang sama. Semua pembedahan dilakukan
dalam pembiusan umum. Garis kelopak mata dirancang dan digambar dengan
pena marker diatas garis bulu mata. Dua daerah insisi lainnya ditandai di atas alis.
Kelopak mata atas dan jaringan diatas alis diinfiltrasi dengan lidokain 2% dan
epinefrin 1:100,000. Kulit kelopak mata diinsisi pada lipatan kelopak mata dan
dilakukan diseksi melalui otot orbikularis agar piringan tarsal terekspos.
Disiapkan dua buah Tutoplast (Biodynamics International, Erlangen, Germany)
yang merupakan allograft fascia lata yang telah diproses dan tersedia secara
komersil. Ujung kedua fascia lata dimasukkan kedalam tarsus bagian atas
menggunakan benang nilon 6-0 (Ethicon Inc., Somerville, NJ, USA). Kedua
ujung benang dibiarkan tidak terpotong. Sebuah Kelly dimasukkan kedalam insisi
diatas alis, menembus jaringan dan keluar melalui lipatan kelopak mata bawah.
Kemudian, ujung fascia lata yang dijahit dipegang menggunakan Kelly yang
kemudian ditarik ke daerah insisi diatas alis. Hal yang sama juga dilakukan pada
fascia lata yang tersisa. Septum orbita dipenetrasi pada arkus marginalis,
menghasilkan bagian yang langsung terhubung dengan kelopak mata. Setelah

menyesuaikan tinggi kelopak mata, ujung fascia lata yang tersisa dipotong.
Kemudian ujung-ujungnya dirapikan dan dimasukkan kedalam insisi diatas alis
dengan benang nilon 6-0 (Ethicon Inc). Benang tidak dipotong dan lipatan
kelopak mata dibentuk dengan melekatkan insisi kulit ke tarsus. Lipatan kelopak
mata dijahit dengan teknik continous, dan insisi diatas alis ditutup dengan teknik
matras vertical menggunakan 6-0 plain gut (Gambar 1).
Pasien dikelompokkan berdasarkan derajat ptosis. Dikatakan ringan jika
kelopak mata jatuh 2mm (atau kurang) dari posisi normal, sedang jatuh 3mm, dan
berat 4mm (atau lebih). Dua belas mata dengan ptosis sedang dan 35 mata dengan
ptosis berat diikutsertakan dalam penelitian. Hasil pembedahan dinilai
menggunakan skala tiga angka. Hasil baik jika margin reflex distance 1 (MRD1)
3mm, cukup jika MRD1 1.5 hingga 2.5 mm, dan jelek jika MRD1 1mm.
Hasil
Total 47 pasien (60 mata) diikutsertakan dalam penelitian. Usia rata-rata
pasien 4.5 3.6 tahun (kisaran, 1 sampai 18 tahun). Tiga puluh empat dari mereka
(70.2%) merupakan pria. Tiga puluh dua pasien menjalani pembedahan unilateral,
dan 14 pasien pembedahan bilateral. Sebelas pasien memiliki epiblefaron dan
mendapatkan koreksi epiblefaron bersama dengan operasi koreksi ptosis. Tiga
pasien menjalani frontalis suspension sebelumnya dengan Supramid Extra II (S.
Jackson Inc, Alexandra, VA, USA). Data demografis populasi penelitian diringkas
dalam tabel 1. Rata-rata periode follow-up adalah 6021 bulan (range, 22 hingga
122 bulan).

Empat puluh enam (76.6%) kelopak mata yang telah dioperasi dinilai
mempunyai hasil yang bagus, 8 mata (13.3%) hasil yang cukup, dan 6 mata (10%)
hasil yang buruk, dalam hal ini termasuk undercorrection (1 mata, 1.7%) dan
kekambuhan (5 mata, 8.3%). Satu kasus dengan undercorrection dan kambuhan
menjalani pembedahan lebih lanjut. Kekambuhan timbul setelah rata-rata 3.7
4.6 bulan, semua dalam 12 bulan setelah operasi (1 minggu hingga 11 bulan).
Survival rate kumulatif adalah 87.2%, dan kurva kumulatif survival disajikan
pada gambar 2. Gambar 3 menunjukkan pasien sebelum dan setelah operasi.
Korelasi antara derajat keparahan ptosis dan hasil pembedahan secara
statistic tidak signifikan (p = 0.384, Mantel-Haenszel chi-square). Korelasi antara
ptosis bilateral dan hasil pembedahan juga tidak signifikan secara statistik (p =
0.64,uji

Pearson chi-square). Tiga pasien menderita amblyopia, dan mereka

menjalani operasi unilateral. Satu dari mereka berada dalam kelompok yang
mengalami kekambuhan. Korelasi antara amblyopia dan kekambuhan secara
statistic tidak signifikan (p = 0.19, uji Pearson chi-square)
Sebelas

mata

(18.3%)

mengalami

keratitis

pungtata

superfisial

postoperatif, 12 mata (20%) memiliki kontur kelopak mata yang buruk (peaking
pada 2 mata dan temporal drooping pada 10 mata), tetapi tidak ada kasus jahitan
yang terekspos, infeksi pada jahitan atau granuloma piogenik.
Diskusi
Pengobatan pilihan untuk ptosis kongenital sedang hingga berat dengan
fungsi levator yang minimal atau tidak ada adalah operasi frontalis sling [1-3].
Bahan suspensi untuk operasi frontalis sling dapat dibagi menjadi tiga kategori:

sintetik, autograft fascia lata, dan allograft fascia lata. Autograft fascia lata secara
umum dianggap sebagai bahan yang paling bagus [7,12-15] karena tidak
mengalami degradasi dan diyakini dapat memicu pertumbuhan jaringan
fibrovaskular yang berujung pada biointegrasi tanpa inflamasi yang signifikan.
Selain itu, kemungkinan timbulnya infeksi lebih kecil. Autograft fascia lata
memiliki hasil jangka panjang dan pemeliharaan tinggi kelopak mata yang baik
[16,17]. Meskipun begitu, Crawford [7] dan Crawford [12] menganjurkan
penggunannya hanya pada anak berusia lebih dari 3 tahun karena terdapat
kesulitan dalam mengumpulkan bahan ini jika tungkai terlalu pendek sehingga
didapatkan jumlah fascia lata yang tidak memadai. Selain itu, proses tersebut
membutuhkan waktu operasi yang panjang, dan menimbulkan masalah kosmetik
berupa jaringan parut pada tungkai yang dioperasi [7,18]. Untuk alasan ini telah
diperkenalkan penggunaan allograft fascia lata sebagai bahan alternatif . Sebagai
bahan sintetik, bahan tersebut memiliki risiko menimbulkan infeksi, tetapi
menghindari kebutuhan akan daerah operasi kedua.
Terdapat beberapa laporan mengenai hasil operasi frontalis sling
menggunakan allograft, yaitu fascia lata yang diawetkan. Banyak dari mereka
melaporkan angka kekambuhan ptosis yang lebih tinggi [14,15,19-21]. Hasil kami
mengenai penggunaan fascia lata yang diawetkan sangat meyakinkan. Angka
kesuksesan sebesar 86.6%, dan semua kekambuhan timbul dalam 12 bulan.
Teknik operasi yang umum digunakan pada operasi frontalis sling adalah
pola persegi panjang atau pola genjang. Namun pada

penelitian ini kami

menggunakan teknik direct tarsal fixation. Teknik ini diciptakan oleh Spoor dan

Kwitko [11] pada 1990 dan lebih superior dalam penyesuaian tinggi kelopak mata
dan menjamin pelekatan bahan sling yang kuat. Blefroplasti mudah dilakukan
pada waktu penyelesaian prosedur fascia lata slinging [11]. Pada teknik original,
dua potongan fascia lata dilipat menjadi setengah, dan simpul yang tertutup pada
masing fascia lata dijahit ke tarsus. Insisi diatas alis berukuran besar (3 hingga 4
cm) dan akan diperbesar lagi kemudian hingga terlihat otot frontalis. Penelitian
kami menggunakan metode yang berbeda. Kami juga menggunakan dua buah
fascia lata yang panjang tetapi tidak melipatnya menjadi setengah. Insisi diatas
alis berukuran kecil (3 hingga 4 mm) dan tidak diperbesar lagi. Terlebih, kami
memasukkan fascia lata melalui daerah retrospetal secara terpisah, menghasilkan
ruang dengan dua terowongan didalamnya. Kami yakin metode yang dimodifikasi
ini lebih baik dari metode yang asli karena membutuhkan insisi yang lebih kecil,
sehingga meninggalkan bekas luka yang lebih kecil. Selain itu, karena diseksi
retroseptal lebih kecil dan dua potongan dimasukkan kedalam ruang terowongan
yang sempit secara terpisah, trauma ringan terhadap jaringan yang berdekatan dan
inkorporasi serta biointergrasi juga lebih baik. Hal ini mungkin dapat mengurangi
komplikasi dan kekambuhan pasca operasi.
Penggunaan fascia lata yang diawetkan dari segi keamanan baik dan tidak
menimbulkan infeksi atau paparan selama periode follow-up. Penelitian kami
mempunyai periode follow-up yang cukup lama, dengan sedikit komplikasi dan
kekambuhan. Hasilnya cukup meyakinkan.
Kami percaya laporan kami menunjang stabilitas prosedur ini dalam
jangka waktu panjang. Karena itu, kami menyimpulkan bahwa operasi frontalis

sling menggunakan fascia lata yang diawetkan dengan

teknik direct tarsal

fixation yang dimodifikasi merupakan prosedur sederhana dengan hasil jangka


panjang yang baik dan harus dipertimbangkan sebagai solusi pembedahan yang
baik untuk ptosis kongenital yang berat.
Konflik kepentingan
Tidak ada laporan mengenai konflik kepentingan yang relevan terhadap
artikel ini.
Penghargaan/ Acknoeledgements
Penelitian ini didukung oleh Dong-A University Research Fund, Busan, Korea.
Tabel dan gambar
Tabel 1. Data demografis populasi penelitian
Variabel
Jenis Kelamin
Usia (tahun)

Bilateral/unilateral
Komorbiditas
Amblyopia

Pria
Wanita
5
6-10
11-20
Rata-rata
Unilateral
Bilateral
Epiblefaron
Strabismus

Mata
33
14
36 (45 mata)
8 (11 mata)
3 (4 mata)
4.51
32
14
11
12
3

Gambar 1. (A) kedua ujung fascia lata dimasukkan kedalam tarsus bagian atas
dengan dan dijahit menggunakan benang nylon 6-0. (B). sebuah Kelly
dimasukkan kedalam insisi diatas alis sambil menarik ujung fascia lata yang
bebas. (C). ujung fascia lata ditarik melalui insisi diatas alis.

Gambar 2. Kurva survival kumulatif. Angka survival kumulatif adalah 87.2%.


kekambuhan muncul setelah rata-rata 3.7 4.6 bulan.
Gambar 3. Gambar seorang pasien sebelum (A) dan sesudah (B) operasi. Derajat
ptosis adalah sedang dan hasil operasi baik.

Anda mungkin juga menyukai