Anda di halaman 1dari 4

Outcome dari Komplit Stabilasai versus Parsial Stabilisasi pada

Flail Chest
Terry P. Nickerson1 Cornelius A. Thiels1 Cornelius A. Thiels1 Martin D. Zielinski Donald H.
Jenkins Henry J. Schiller

Abstrak
Latar Belakang Fraktur iga sering dialami setelah terjadi trauma dinding dada. Pada pasien
dengan flail chest, stabilisasi secara pembedahan merupakan teknik yang diharapkan dapat
mengurangi morbiditas. Kesulitan dalam hal anatomis menyebabkan kesulitan dalam
memperbaiki flail chest; sehingga timbullah teknik Partial Flail Chest Stabilization (PFS).
Penelitian ini menduga pasien dengan PFS memiliki outcome yang sama dengan teknik
Complete Flail Chest Stabilization.
Methode Database dikumpulkan dengan metode prospective dari semua pasien fraktur iga
dengan teknik stabilisasi dari Agustus 2009 sampai Februari 2013. Data abstrak memasukkan
prosedur dan komplikasi, luasnya stabilisasi, dan hasil pemeriksaan fungsi paru.
Hasil dari 43 pasien yang menjalani operasi stabilisasi flail chest, 23 (53%) menjalani CFS dan
20 (47%) menjalani PFS. Lokasi anterior dari fraktur merupakan alasan paling sering untuk
dilakukannya PFS (45%). Usia, jenis kelamin, durasi operasi, pneumonia, durasi rawatan di ICU
dan rumah sakit, penggunaan narkotika adalah sama dikedua grup. Kapasitas paru total secara
signifikan membaik pada grup CFS di bulan ketiga. Tidak ada deformitas yang tercatat selama
follow up dan tidak ada pasien yang menjalani penambahan stabilisasi termasuk PFS.
Kesimpulan meskipun dengan teknik pembedahan yang canggih, tidak semua fraktur dapat
diperbaiki. Tidak terdapat perbedaan pada deformitas dinding dada, penggunaan narkotika,
gangguan klinis yang signifikan pada hasil fungsi paru pada pasien yang menjalani PFS maupun
CFS. Data penelitian ini menduga PFS merupakan strategi yang dapat diterima dan memperluas
atau menciptakan insisi tambahan pada CFS tidak diperlukan.
Pendahuluan
Fraktur iga sering dan menimbulkan sekuele pada trauma dinding dada. Flail chest terjadi ketika
minimal dua iga yang sama mengalami fraktur minimal pada dua tempat. Keadaan anatomi ini
dapat menghasilkan gerakan paradoks terhadap respirasi pada segmen yang mengalami flail
chest. Flail chest merupakan komplikasi dari trauma tumpul di dada dengan angka mortalitas
33%. Pasien dengan flail chest sering membutuhkan ventilasi mekanik dalam jangka waktu
panjang untuk membantu disfungsi respirasi, dan berakibat pada tingginya angka infeksi paru.
Pada era critical care modern, manajemen pada pasien ini lebih berkembang. Sebelumnya teknik
dari internal pneumatic stabilization dengan ventilasi mekanik telah digantikan oleh operasi

stabilisasi trauma flail chest. Meskipun data terbatas, penelitian terbaru menduga bahwa teknik
tersebut mengurangi durasi penggunaan ventilator mengurangi terjadinya pneumonia,
mengurangi nyeri, dan menurunkan disabilitas jangka panjang pada pasien flail chest dengan
stabilisasi operatif. Karena penemuan ini ketertarikan meningkat dalam penggunaan stabilisasi
sebagai terapi primer dalam penanganan trauma flail chest. Revisi terbaru dari eastern
association for the surgery of trauma guideline memasukkan stabilisasi operatif pada flail chest
sebagai terapi pilihan.
Usaha dini dalam melakukan fiksasi pada fraktur iga memiliki keterbatasan karena tidak
adekuatnya peralatan stabilisasi. Klem untuk reduksi secara eksternal atau pemasangan kawat
internal dan fiksasi structural sering digunakan untuk menangani fraktur, tapi dihubungkan
dengan morbiditas dan kegagalan diyakini bahwa fiksasi fraktur iga tidak adekuat. Teknik lama
ini sudah digantikan oleh fiksasi intramedular atau plate stabilization. Yang paling terbaru dari
plate fixation ialah penggunaan over the ribseperti Ribloc rib fracture plating system (acute
innovation) atau on top of the rib plate dan screw fixation, seperti matriksRIB fixation system
(Synthes).
Meskipun terdapat perbaikan yang signifikan dan tersedianya teknik dan material dari
stabilisasi fraktur iga, tidak semua fraktur iga dapat dilakukan fiksasi operatif. Banyak teknik
yang menggambarkan cara mengakses fraktur yang sulit untuk dicapai, termasuk insisi step
ladder, hanging scapula retractors, percutaneous trocar access, dan penggunaan drill 90 dan
screwdriver. Meskipun maneuver ini mampu mencapai stabilisasi fraktur iga, sering melalui
insisi tunggal, bagian anterior, posterior, dan fraktur iga bagian atas tidak dapat dicapai dengan
instrument yang ada.
Fraktur pada lokasi anterior sering membutuhkan counter insisi untuk mengakses dan
repair. Fraktur lokasi posterior sering tidakm dapat diperbaiki karena tidak terdapat landasan
medial yang adekuat untuk teknik fiksasi plat. Fraktur bagian atas membutuhkan manuver
tambahan untuk mengelevasi skapula, dan hal itu menimbulkan nyeri, namun sedikit
berkontribusi untuk respirasi mekanik. Saat ini, ahli bedah mempertimbangkan penentuan
apakah plate dilakuakan pada semua iga atau hanya pada iga yang mudah untuk dilakuakan
stabilisasi. Keputusan ini diambil berdasarkan kasus-kasus. Sebagai contoh, seorang 84 tahun
korban trauma tumpul dengan segmen flail pada iga kanan mulai iga 6 sampai 10 sukses
dilakukan tindakan stabilisai iga pada dinding dan anterolateral dan posterolateral. Selanjutnya,
wanita usia 68 tahun dengan segmen flail pada iga kanan 6 sampai 11sukses dilakukan fiksasi
plat dan menghubungksn segmrn latral, Namun garis fraktur bagian posterior, tidak memiliki
landasan yang kuat untuk dilakukan olat, juga tidak stabil. Hasilnya, kedua pasien terlihat
membaik dari jenis stabilisasi tersebut. Artikel terbaru menyatakan bahwa fiksasi 1 fraktur per
iga pada segmen flail cukup untuk mrncegsh deformitas.
Jadi, penelitian ini mencari jawaban ata pertanyan berikut: Apakah stabilisasi parsial fllail
chest (PFS) dibandingkan dengan Komplit stabilisasi flail chest (CFS) memberi hasil yang

memuaskan pada pasien? Hipotetsis nya ialah manuver agresif untuk menilai frtaktur iga yang
sulit dijangkau dan pasien dengan PFS memberikian hasil yang sama.

Metode
Institusi studi ini mengadopsi tindakan stabilisasi pada fraktur iga terhadap pasien terpilih
tahun 2009. Pasien memenuhi kriteria jika memenuhi definisi flail chest secara anatomi maupun
fisiologi. Pembedahan trauma multipel dilakuakn sesuai prosedur stabilisasi pembedahan namun
terlebih dulu dilatih tekniknya oleh ahli bedah yang berpengalaman di fiksasi fraktur iga.
Institusi kami mempertimbangkan tindakan stabilisasi jika pasien memenuhi 1 dari kriteria
berikut : (1) fraktur iga dengan gagal nafas yang membutuhkan ventilasi mekanik; (2) pasien
nonintubasi dengan perburukan fungsi paru ( dengan atau tanpa kontusio pulmonal yang
berhubungan dengan fraktur iga); (3) non flail fraktur iga dengan atau tanpa pergeseran yang
signifikan ( 1 iga). (4) Penekanan dari iga ke parenkim paru, dan organ padat lainnya( seperti
hepar dan limpa), ata diafragma; (5) pasien dengan nyeri menetap dan berat yang berhubungan
dengan fraktur iga dan (6) dikhawatikan terjadi nonunion maupun malunion dari fraktur iga.
Namun, kami memiliki berbagai ahli bedah untuk melakukan tindakan, sehingga ahli bedah
memiliki pengalaman untuk mempertimbangkan pasien diluar protokol. Saat ini kami melakukan
prosedur stabilisai fraktur iga melalui insisi thoracotomy pada kebanykan fraktur iga berat. Kami
memperbaiki semua fraktur yang mudah diakses dan menghindarkan insisi tambahan.Tidak ada
fraktur yang mudah diakses yang tidak dilakukan fiksasi, dan kami merencanakan insisi pada
segmen dengan fraktur berat. Follow up dilakukan pada pasien setelah operasi termasuk visit
pada bulan ke 1,3, 6, dan 12 dengan fo thorax posteroanterior dan lateral dan uji fungsi paru.
Database dikumpulkan dengan metode prospective dari semua pasien fraktur iga dengan
teknik stabilisasi dari Agustus 2009 sampai Februari 2013. Data termasuk demografi pasien,
mekanisme injury, Injury Severity Score, komplikasi, durasi rawatan ICU dan RS. Durasi
ventilator. Lamanya follow up, uji fungsi paru, penggunaan narkotika pada bulan pertama visit,
dan keluhan dformitas dari pasien telah dicatat. Laporan operasi dinilai untuk menenntukan
apakan sehmen flail dilakukan komplit repair atau partial repair; 79% pasien menjalani CT Scan
dada 3 dimensi sebelum operasi, foto thorax dada. Data uji fungsi paru termasuk kapasitas paru
total (TLC), kapasitas vital, kapasitas vital paksa (FVC), Volume ekspirasi paksa pada detik
pertama (FEV1), dan kapasitas difusi paru untuk karbon monoksida (Dlco) dicatat pada bulan 1,
3, dan 6 post operasi menggunakan Jaeger testing system. PFS memasukkan pasien dimana
tidak semua dapat di repair karena tidak dapat diakses. Hasil antara grup CFS dan PFS
dibandingkan dengan uji X2 untuk data kategorik dan perbandingan nonparametric dengan
Wilcoxo nes untuk variabel kontinyu yang ditampiulkan dalam persentasi dan median. P value
<0,05 dipertimbangkan sebagai signifikan.

Hasil
43 pasien menjalani operasi stabilisasi flail chest. CFS dilakukan pada 23 pasien (53%)
dan sisa 20 pasien (47%) menjalani PFS. PFS berkisar dari 20-80% fraktur pada segmen flail
berhasil di repair. Alasan untuk parsial repair ysitu lokasi anterior pada 9 pasien (45%), lokasi
posterior pada 6 pasien (30%), lokasi bagian atas 3 pasien (15%) dan lokasi bawah pada 2 pasien
(10%). Tidak ada perbedaan yang signifikan pada usia (63 vs. 58 tahun), jenis kelamin (laki-laki
52 vs. 65 %), pneumonia (5 patients vs. 4 patients), durasi rawatan di ICU [1 day (039 days) vs.
2 days (026 days)], dan rumah sakit [10 days (239 days) vs. 10 days (436 days)]. Tidak ada
perbedaan durasi operasi pada kedua grup [186 min (110293 min) vs. 183 min (110440 min)].
Terdapat satu kematian pada hari 30 pada grup CSF dengan penyebab sekunder stroke dan tidak
ada kematian pada grup PFS. Rata-rata follow up 190 hari (9-472 hari) dengan 84% pasien di
follow up selama minimal 6 bulan. Tidak ada perbedaa n yang signifikan dalam penggunaan
narkotik dalam 1 bulan pertama (10 pasien vs 9 pasien). 24 pasien (56%) menjalani uji fungsi
paru pada bulan ke 1, 3, dan 6, dan hasil dibandingkan antar grup. Tidak ada perbedaan fungsi
paru (TLC, vital capacity, FVC, FEV1, FEV1/FVC, and DLCO) pada bulan pertama (p>0,05).
TLC membaik secara signifikan pada grup CSF pada bulan ke 3 (90% prediksi vs 72% prediksi;
p = 0,02) dan bulan ke 6 (94% prediksi vs 75% prediksi; p = 0,04), namun tidak ada perbedaan
pada hasil uji fungsi paru lainnya pada bulan ke 3 dan 6. Tidak ada pasien yang mengeluhkan
deformitas dinding dada dan tidak ditemukan adanya deformitas selama follow up.
Diskusi
Flail chest merupakan konsekuensi dari trauma dinding dada; operasi stabilisasi
merupakan pilihan utama untuk perbaikan cepat. Beberapa konfigurasi anatomi pada flail chest
tidak daoat di akses oleh CFS, sehingga tindakan PFS dibutuhkan.

Anda mungkin juga menyukai