17kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Das Terpadu - 20081123185136 - 1261 - 16
17kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Das Terpadu - 20081123185136 - 1261 - 16
Oleh :
Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air
E-mail : edieffendi@yahoo.com atau kehutanan@bappenas.go.id
ABSTRAK
Kajian ini bermaksud menganalisis sistem pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
dengan menggunakan pendekatan yang menyeluruh dengan memperhatikan seluruh pihak dan
sektor yang ada di dalam DAS. Ada tiga sektor utama yang dianalisis peranannya yaitu sektor
kehutanan, sektor sumber daya air, dan sektor pertanian. Metodologi yang dipakai adalah
analisa ekonometrik untuk mengetahui dampak dari kebijakan pembangunan dari ketiga sektor
yang ada terhadap kinerja DAS. Studi ini juga memasukkan variabel-variabel tambahan seperti
permukiman untuk mewakili sektor-sektor lain yang ada di dalam DAS.
Terdapat tiga sistem DAS yaitu, DAS Ciliwung di Jawa Barat, DAS Jratunseluna di
Jawa Tengah, dan DAS Batanghari di Jambi. Ketiga sistem DAS tersebut mewakili 3 kondisi
pengelolaan. Walaupun ketiga DAS ini mempunyai karakteristik yang berbeda, tetapi kinerja
mereka hamper sama. Mereka mewakili gambaran umum kondisi DAS di Indonesia yang
menunjukkan degradasi pengelolaan hutan dan lingkungan hidup.
Berdasarkan analisis, dapat disimpulkan bahwa kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi
oleh satu atau dua sektor tertentu, tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisis
memberikan pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana
pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai pengaruh
yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di sektor sumber daya air. Di
sisi lain, investasi di sektor pertanian cenderung memperburuk kondisi DAS. Sebab, kegiatankegiatan pertanian menambah pembukaan lahan. Berdasarkan hasil-hasil analisis tersebut,
kajian ini merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya mengembangkan
satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor lainnya. Pengelolaan DAS
seharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di dalam sistem DAS. Bila tidak, maka
kinerja DAS akan memperburuk yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektorsektor tergantung pada kinerja DAS.
1. PENDAHULUAN
Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada
lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain
seperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah
Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan
tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan
DAS.
Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen
terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan
terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS,
mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat.
Awalnya perencanaan pengelolaan DAS lebih banyak dengan pendekatan pada faktor
fisik dan bersifat sektoral. Namun sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai dengan
pendekatan holistik, yaitu dengan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, antara lain dimulai di
--1--
area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to
conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for crop
production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and
farmers whose actions may affect each others interests.
Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana
unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di
dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu
pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang
menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara
umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum
dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar
distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.
Dalam pendefinisian DAS pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat diperlukan
terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui
beberapa cara seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Konsep daur hidrologi DAS menjelaskan
bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air
larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran.
Gambar 1. Daur Hidrologi DAS
Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah
dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan
daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan
fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak
di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material
terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu
mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari
segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus
perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik
melalui daur hidrologi.
--3--
Dana
Reboisasi
APBN
Kehutanan
Reboisasi
Konservasi
Dana
Sumber Daya Air
APBN
Pertanian
Pengelolaan
Sumber Daya
Air
Sarana
Pengairan/
Irigasi
Penebangan
Hutan
Industri
Perkayuan/
M asyarakat
Sarana
Sumber Daya
Air
Banjir
Kekeringan
Pengelolaan
Pertanian
Produksi
Pertanian
Peningkatan
Pendapatan
Produksi Kayu
Tata Ruang
Permukiman
Tingkat Fluktuasi
Air Permukaan
wilayah kajian terpilih adalah Jawa Barat, mengingat data yang tersedia dalam kurun waktu
tersebut hanya Jawa Barat.
Data yang tersedia dan dipilih sebagai variabel tak bebas dalam analisis adalah data
nisbah. Nilai nisbah menggambarkan kondisi sungai sekaligus mengisyaratkan kemampuan
lahan untuk menyimpan air. Semakin tinggi nilai nisbah, kondisi sungai semakin buruk. Nilai
nisbah yang tinggi menunjukkan bahwa nilai debit maksimum besar dan debit minimum kecil.
Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada
musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan ini sangat bergantung pada
kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dan lain-lain. Kondisi DAS dikatakan
baik jika memenuhi beberapa kriteria :
a. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun
b. Kualitas air baik dari tahun ke tahun
c. Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil. Hal ini digambarkan dengan
nisbah.
d. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun
Nilai nisbah yang digunakan adalah nilai nisbah Sungai Ciliwung berdasarkan debit
bulanan terukur setiap tahunnya di Bendung Katulampa.
Sebagai variabel bebas dipilih data APBN. Pemilihan data APBN dilakukan untuk
menilai sejauh apa pengaruh kebijakan alokasi APBN sektor terkait yang bersifat makro dapat
mempengaruhi nilai nisbah Sungai Ciliwung yang sifatnya mikro atau spesifik.
Berdasarkan pengertian mengenai DAS, dimana DAS dapat dibagi menjadi sub-DAS
Hulu, sub-DAS Tengah dan sub-DAS Hilir. Sektor kehutanan dipilih mewakili sub-DAS Hulu.
Alokasi APBN pada sektor ini berkaitan dengan seluruh alokasi dana sektor/program/proyek
yang ada pada Departemen Kehutanan. Selanjutnya dana reboisasi (DR) sebagai variable
tambahan karena dana DR merupakan sumber pembiayaan pembangunan kehutanan yang
jumlahnya cukup dominan. Dana DR ini berasal dari setoran perusahaan HPH untuk reboisasi.
Variabel ini diharapkan mampu mendukung variabel dana APBN pada sektor kehutanan.
Mewakili sub-DAS Tengah dan sub-DAS Hilir adalah sektor pertanian dan sumberdaya
Air. APBN sektor pertanian mencakup sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura, litbang
pertanian, diklat pertanian dan bimas, dimana alokasi APBN untuk sub-sektor ini diarahkan
untuk peningkatan produksi tanaman pangan. Sedangkan APBN di bidang sumberdaya Air
meliputi sektor/program/proyek berkaitan dengan pengairan dan irigasi, dan penyelamatan
hutan, tanah dan air. Variabel bebas lainnya adalah produksi kayu dan jumlah penduduk.
Produksi kayu dipakai sebagai proxy dari kondisi tutupan lahan.
3.2.2.3 Hipotesa
Berdasarkan pemilihan variabel tak bebas (nisbah) dengan variabel bebas (APBN
Kehutanan, DR, APBN Pertanian, APBN Sumberdaya Air, Produksi Kayu dan Jumlah
Penduduk), dilakukan hipotesa awal terhadap hubungan variabel bebas dan variabel tak bebas.
Berdasarkan metode regresi yang dipilih, maka hubungan fungsional variabel tak bebas
terhadap variabel bebas dirumuskan sebagai berikut :
Nisbah = A1.Hutan(-1) + A2.DR(-1) + A3.SP(-1) + A4.SDAIR(-1) + A5.Prodkayu
+ A6.Pnddk + C
dimana,
Hutan (-1)
DR (-1)
SP (-1)
SDAIR (-1)
--7--
4. HASIL KAJIAN
4.1 Hasil Studi Literatur Model Pengelolaan DAS
Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari
sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan
berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan DAS dipahami sebagai
suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi
sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan
jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, yang dalam hal ini
termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antara
daerah hulu dan hilir suatu DAS (Chay Asdak, 2002), seperti yang tertera pada Gambar 3.
Gambar 3. Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir
Dalam menjabarkan model pengelolaan DAS maka setiap unit DAS, secara substansi
dan strateginya, serta bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu
dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari
proses alamiah yang ada. Implikasi dari hal tersebut adalah memperlihatkan bahwa pengelolaan
DAS merupakan suatu sistem hidrologi dan sistem produksi, dan hal ini membuka terjadinya
konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen sistem DAS.
DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air
untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS seringkali mengalami
konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata,
pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan
kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya.
Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspekaspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan
ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur
hidrologi.
--8--
Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponenkomponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga
tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan
sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan,
serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah
adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati
beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerahdaerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi
tanggung jawab bersama.
Menurut Asdak (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu
adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut :
(1) Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan
biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas
pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan
biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya
desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu
kesatuan perencanaan dan pengelolaan.
(2) Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan atau kebijakan
yang dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan dilaksanakan. Dampak
tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan
bahwa negative externalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan
DAS bagi : (a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakat
yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal
externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi
kegiatan (sectoral externalities).
(3) Dalam kerangka konsep externalities, maka pengelolaan sumberdaya alam dapat
dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya
kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor
(organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan
kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan para aktor yang akan mendapatkan
keuntungan dari adanya kegiatan tersebut.
Pada penanganan DAS bagian hulu diarahkan pada kawasan budidaya (pertanian)
karena secara potensial proses degradasi lebih banyak terjadi pada kawasan ini. Untuk itu agar
proses terpeliharanya sumberdaya tanah (lahan) akan terjamin, maka setiap kawasan pertanian
atau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya
kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya
dan tidak sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari.
Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS, pengelolaan DAS hulu-hilir yang
dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk
ekologis maupun adminstratif, yang menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan
mengefisienkan pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta
penyediaan pendanaan, yang dapat dijabarkan oleh Gambar 4 berikut.
--9--
Hulu Hilir
DAS
Ekonomi, Sosial,
Budaya
Batas Ekologi/
Administrasi
Lahan/Air
Kelembagaan
Teknologi
Pendanaan
Selama ini metodologi perencanaan DAS secara terpadu kurang memperhatikan aspekaspek yang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan pembangunan, misalnya antara
kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri, kepentingan daya dukung
lingkungan (ecological demands). Perkembangan pembangunan di bidang permukiman,
pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi SDA berupa penambangan, dan eksploitasi hutan
menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu DAS yang menyebabkan kemampuan DAS
untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas
air pada musim kemarau. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung
mengalir menjadi aliran permukaan yang seringkali menyebabkan banjir dan sebaliknya pada
musim kemarau aliran air menjadi sangat kecil bahkan pada beberapa kasus sungai tidak
terdapat aliran air.
Pentingnya posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh merupakan konsekuensi
logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang
tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan lahan
menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya
proses degradasi tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai
menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi
berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya
percepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas
air.
Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu
merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan
sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini oleh karenanya
merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang didasarkan pada data akademis
maupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan
ekonomi dan sosial sebagai sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Dengan
beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus
diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk memastikan bahwa
perlindungan dan penggunaan DAS secara berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka
kerja (framework).
- - 10 - -
- - 11 - -
a.
Uji koefisien
Dari persamaan tersebut di atas diperoleh koefisien untuk A1,A2,A3,A4,A5,A6 masingmasing adalah 0.007802; -0.003075; 0.001013; -5.5x10-5; 2.33x10-5; 2.2x10-5. Uji koefisien
dengan tingkat = 0,1 menunjukkan bahwa koefisien A1,A2,A3,A4 signifikan terhadap
variabel tak bebas. Koefiesien A5 dan A6 tidak signifikan meskipun menunjukkan korelasi
positif sesuai dengan hipotesa awal.
Berdasarkan hubungan fungsional regresi linier di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
a. Setiap investasi APBN di bidang kehutanan sebesar 1 unit (juta rupiah) meningkatkan nilai
nisbah sebesar 0.007802. Beberapa faktor penyebab korelasi positif ini diantaranya adalah
belum tepatnya alokasi APBN di bidang kehutanan, belum tepatnya perencanaan
program/proyek sehingga alokasi dana yang ada belum tepat sasaran dalam pembangunan
kehutanan. Analisa trend menunjukkan bahwa pada kurun waktu 5 tahun terakhir (19941998) alokasi APBN menurun jika dibandingkan dengan alokasi pada kurun waktu 5 tahun
sebelumnya (1989-1993). Hingga saat ini investasi di bidang kehutanan khususnya untuk
rehabilitasi hutan dipandang sebagai investasi yang beresiko dan hasilnya tidak diperoleh
dalam jangka pendek sebagaimana bidang lainnya. Paradigma lama pembangunan yang
mengedepankan indikator ekonomi menempatkan hutan sebagai tempat eksploitasi kayu
dalam rangka mengejar target produksi yang menjadi tuntutan industri kayu dalam negeri
dan luar negeri. Pada sisi lain kegiatan konversi lahan bervegetasi hutan juga meningkat
yang akan mengurangi kemampuannya dalam menyerap air hujan. Padahal hutan
memberikan kemungkinan terbaik bagi pemulihan dan perbaikan sifat lahan.
b. Kenaikan Dana Reboisasi Propinsi Jawa Barat sebesar 1 unit (juta rupiah) akan
menurunkan nisbah sebesar 0.003075. Sesuai dengan hipotesa awal, keberadaan dana DR
diharapkan dapat menjadi alternatif pembiayaan pembangunan kehutanan khususnya untuk
kegiatan reboisasi hutan. Kegiatan reboisasi diharapkan dapat memperbaiki kondisi tutupan
hutan yang telah gundul atau dalam keadaan kritis sebagai akibat penebangan kayu hutan.
Perbaikan terhadap kondisi tutupan hutan akan mengurangi limpasan langsung
dipermukaan yang akhirnya akan mengurangi nilai nisbah.
c. Kenaikan alokasi APBN sektor pertanian Propinsi Jawa Barat setiap 1 unit (juta rupiah)
akan menaikkan nilai nisbah sebesar 0.001013. Hal ini dapat dipahami karena investasi
- - 12 - -
untuk kegiatan peningkatan produksi tanaman pangan akan meningkatkan kebutuhan akan
debit air irigasi sebagai pendukung. Analisa trend menunjukkan alokasi APBN untuk sektor
pertanian untuk peningkatan produksi mengalami kenaikan terus-menerus dari tahun 1989
hingga 1998, meskipun alokasi dana sektor kehutanan juga mengalami kenaikan, namun
nilainya masih dibawah alokasi dana sektor pertanian dan sumber daya air. Padahal hutan
mempunyai peranan yang penting sebagai penyangga sistim DAS karena keberadaannya
sebagai pengatur tata guna air, sementara sektor sumberdaya air berperan dalam
pendistribusian air melalui pembuatan sistim irigasi. Kegiatan investasi di sektor pertanian
berkaitan dengan peningkatan produksi tanaman pangan seharusnya diiringi dengan
pemilihan tipe irigasi dan drainase yang tepat, hal ini akan mempengaruhi karakteristik
aliran langsung di permukaan. Irigasi yang baik akan memungkinkan air terdistribusi
dengan baik dan memperbesar kapasitas infiltrasi. Drainase yang baik akan menghambat
terbawanya partikel-partikel tanah ke dalam sungai yang akan menyebabkan pendangkalan
sungai. Pemilihan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman akan mempengaruhi keadaan
tutupan lahan yang selanjutnya berpengaruh pada aliran langsung di permukaan. Budidaya
di lahan pertanian secara intensif harus memberikan ruang untuk konservasi air. Selain
daripada itu diperlukan pula perubahan pola pikir dan persepsi tentang perlunya reorientasi
sistem produksi pertanian nasional dari paddy field oriented menjadi upland agriculture
development oriented melalui penggunaan lahan kering. Lahan kering sangat menjanjikan
dalam menopang produksi pertanian nasional. Selain karena hemat air, produksi pangan
lahan kering juga dapat mendekati lahan sawah apabila irigasi suplementer dapat
dikembangkan.
d. Kenaikan alokasi APBN bidang sumberdaya air sektor pengairan dan irigasi, penyelamatan
hutan, tanah dan air setiap 1 unit (juta rupiah) akan menurunkan nilai nisbah sebesar 5.5x10-5. Hasil uji koefisien dengan tingkat = 0,1 menunjukkan bahwa alokasi APBN
pada bidang sumberdaya air sesuai sektor tersebut di atas mempunyai nilai yang signifikan
terhadap penurunan nisbah. Ketepatan pengalokasian dana, perencanaan program/proyek
secara tepat merupakan faktor yang akan berpengaruh pada nilai korelasi ini.
e. Setiap tebangan kayu di Jawa Barat sebesar 1 m3 akan meningkatkan nilai nisbah di Sungai
Ciliwung sebesar 2.33x10-5, namun kenaikan ini tidak signifikan. Sedangkan kenaikan
setiap 1000 jiwa penduduk di Jawa Barat akan menaikkan nisbah Sungai Ciliwung sebesar
2.2x10-2, kenaikan ini juga tidak signifikan. Koefisien A5 berkorelasi positif, hal ini
menujukkan bahwa kegiatan penebangan hutan dapat menyebabkan menurunnya luasan
tutupan hutan yang berakibat pada meningkatnya nisbah. Demikian pula dengan berbagai
aktifitas yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk seperti kegiatan permukiman,
penanaman tanaman bukan tegakan, industri, perkantoran, pembuangan sampah, aktifitas di
bantaran sungai dan pembangunan sarana dan prasarana fisik dapat menyebabkan
peningkatan nilai nisbah.
Persamaan regresi diatas menunjukkan bahwa alokasi APBN setiap 1 unit (juta rupiah)
untuk masing-masing sektor di atas masih memungkinkan kenaikan nilai nisbah sebesar 0.005.
Analisa trend juga menunjukkan bahwa nilai nisbah mempunyai kecenderungan meningkat.
Berdasarkan analisa di atas dapat pula disimpulkan bahwa perencanaan DAS tidak
dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral saja, keterkaitan antar sektor yang mewakili
masing-masing sub-DAS, dari sub-DAS hulu hingga ke hilir perlu menjadi fokus perhatian
dengan berpegang pada prinsip one river one management. Keterkaitan antar sektor meliputi
perencanaan APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga pada tingkat koordinasi semua
instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan DAS. Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS
- - 13 - -
merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing resources), dimana pemanfaatan di daerah hulu
akan mengurangi manfaat di hilirnya. Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan
diterima di hilirnya. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam
pengelolaan DAS dengan melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang
ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.
Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan input-prosesoutput. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut menjadi output.
Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan melalui proses yang ada
menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya output ini menjadi input bagi sub-DAS hilir.
Proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output terakhir dari DAS. Pada masa ke
depan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input bagi
sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan
penerapan user pays principle maupun polluter pays principle.
4.4 Hasil Analisis Trend
Analisa trend alokasi dana Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa alokasi dana untuk
sektor kehutanan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor pertanian dan sumberdaya
Air dengan rata-rata per tahunnya 8.726 juta rupiah, dimana dana ini terdiri dari dana APBN
dan Dana Reboisasi (DR). Hasil analisa trend alokasi dana Propinsi Jawa Tengah dan Jambi
juga menunjukkan hal serupa sebagaimana di Propinsi Jawa Barat. Di Propinsi Jawa Tengah
alokasi dana APBN untuk sektor sumberdaya Air meningkat tajam dari tahun ke tahun seiring
meningkatnya alokasi dana di sektor pertanian dalam rangka peningkatan produksi tanaman
pangan. Demikian pula di Propinsi Jambi. Namun trend hasil produksi tanaman pangan (padi)
baik di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Propinsi Jambi mengalami fluktuasi setiap
tahunnya, hal ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan produksi tanaman pangan (padi)
belum berhasil sepenuhnya, sementara jumlah penduduk terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sedangkan untuk sektor kehutanan meskipun alokasi dana setiap tahunnya mengalami kenaikan
namun nilainya masih jauh dibawah sektor pertanian dan sumberdaya Air, meskipun telah
mendapat kontribusi dari dana reboisasi. Secara lebih lengkap hasil analisa trend tersebut
disajikan pada tabel berikut ini :
Tabel 4.1 : Alokasi Dana Sektor Kehutanan, Pertanian dan Sumberdaya Air, 1989-1998 (Rp.
Juta)
Propinsi Jawa Barat
Nilai
Rata2
Maks
Min
Kehutanan
Pertanian
8.726
13.865
2.356
14.450
25.007
3.051
Sumber
Daya Air
70.342
145.400
17.113
Pertanian
3.309
6.816
870
10.221
19.487
2.750
Sumber
Daya Air
90.632
121.429
16.363
Catatan : Dana sektor kehutanan terdiri dari APBN dan Dana Reboisasi (DR)
- - 14 - -
Propinsi Jambi
Kehutanan
2.966
5.955
85
Pertanian
6.598
9.980
1.011
Sumbe
Daya Air
10.639
21.500
1.001
160000
130000
120000
120000
Pertanian
110000
Alokasi Dana (Juta Rupiah)
Kimprasw il
100000
80000
60000
40000
Pertanian
Kehutanan
Kimpraswil
100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
20000
20000
Pertanian
Kimpraswil
15000
10000
5000
10000
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1989
1997
1996
1995
1994
1998
400000
300000
200000
100000
Tahun
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1998
1997
1996
7000000
1995
7200000
9200000
1994
9400000
1993
7400000
1992
1993
7600000
9600000
1991
1992
7800000
1992
9800000
8000000
1991
10000000
1990
10200000
500000
1992
8200000
1991
10400000
600000
1990
8400000
700000
1989
10600000
Pro d u ksi (T o n )
8600000
Pro d u ksi (T o n )
8800000
10800000
1990
1991
11000000
1989
Tahun
Tahun
Tahun
1990
1989
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
Tahun
1991
1990
Pro d u ksi (T o n )
25000
Kehutanan
1989
140000
Kehutanan
Tahun
Hal ini menunjukkan bahwa sektor permukiman dan prasarana wilayah masih menjadi
prioritas dalam pembangunan dibandingkan dengan sektor kehutanan. Indikator pembangunan
barangkali lebih mudah dilihat dengan berhasil dibangunnya berbagai sarana fisik, sementara
pembangunan di bidang kehutanan masih dipandang sebagai investasi yang beresiko dan
hasilnya diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Pada satu sisi sarana irigasi dibangun
sebagai penunjang upaya peningkatan produksi tanaman pangan di sektor pertanian, namun
pada sisi lain kemampuan hutan sebagai penyangga sistem DAS semakin menurun dengan
meningkatnya nilai nisbah sungai. Penebangan hutan terus berlanjut sebagai upaya memenuhi
produksi kayu hutan. Akibatnya pada musim hujan air berlimpah sehingga menjadi bencana
banjir, dan pada musim kemarau air surut sehingga timbul bencana kekeringan. Pada musim
kering banyak sarana irigasi yang kering sehingga produksi tanaman pangan terganggu. Trend
produksi padi di ketiga propinsi menunjukkan bahwa produksi padi berfluktuasi dari tahun ke
tahun, artinya upaya peningkatan produksi belum berhasil. Sementara itu pendekatan yang
dipakai dalam penyelesaiaan masalah bencana banjir dan kekeringan selama ini tampaknya
lebih banyak berorientasi pada penyelesaian yang bersifat fisik yaitu dengan membangun
prasarana pengendali banjir yang sekaligus dapat berfungsi sebagai penampung air bagi
penyediaan air irigasi di musim kemarau. Padahal hal ini seringkali bersifat symtomatik hanya
sekedar menangani gejala yang timbul tetapi kurang memperhatikan akar permasalahannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, tampaknya alokasi dana APBN yang ada untuk sektor
kehutanan ditambah dengan dana reboisasi (DR) belum mampu memperbaiki kondisi hutan.
Hutan terus terdegradasi sehingga kemampuannya sebagai penyangga sistem DAS terus
menurun, dan dampaknya dirasakan oleh seluruh sub-sistem DAS dari hulu hingga ke hilir
- - 15 - -
khususnya sektor permukiman wilayah dan sektor pertanian dalam bentuk bencana banjir dan
kekeringan.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu bentuk pengembangan wilayah
yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan, dengan daerah bagian hulu dan
hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan
penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk
fluktuasi debit air, kualitas air dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di
dalamnya. Dengan demikian pengelolaan DAS merupakan aktifitas yang berdimensi
biofisik (seperti, pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis,
dan pengelolaan pertanian konservatif); berdimensi kelembagaan (seperti, insentif dan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi); dan berdimensi sosial yang
lebih diarahkan pada kondisi sosial budaya setempat, sehingga dalam perencanaan model
pengembangan DAS terpadu harus mempertimbangkan aktifitas/teknologi pengelolaan
DAS sebagai satuan unit perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.
2. Operasionalisasi konsep DAS terpadu sebagai satuan unit perencanaan dalam
pembangunan selama ini masih terbatas pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan
air, sedangkan organisasi masih bersifat ad.hoc, dan kelembagaan yang utuh tentang
pengelolaan DAS belum terpola. Agar pengelolaan DAS dapat dilakukan secara optimal,
maka perlu dilibatkan seluruh pemangku kepentingan dan direncanakan secara terpadu,
menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan DAS sebagai suatu unit
pengelolaan.
3. Berdasarkan hasil analisa data diatas, perencanaan DAS tidak dapat dilakukan melalui
pendekatan sektoral saja, melainkan perlu adanya keterkaitan antar sektor yang mewakili
masing-masing sub DAS, dari sub-DAS hulu hingga ke hilir yang menjadi fokus
perhatian dengan berpegang pada prinsip one river one management. Keterkaitan antar
sektor meliputi perencanaan APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga pada
tingkat koordinasi semua instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan DAS. Sungai
sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing
resources), dimana pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi manfaat di hilirnya.
Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan diterima di hilirnya. Berdasarkan
hal tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam pengelolaan DAS dengan
melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang ada dalam lingkup
wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.
4. Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan inputproses-output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut
menjadi output. Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan
melalui proses yang ada menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya output ini menjadi
input bagi sub-DAS hilir. Proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output
terakhir dari DAS. Pada masa ke depan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output
dari sub-DAS hilir menjadi input bagi sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud
melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan penerapan user pays principle maupun
polluter pays principle.
- - 16 - -
- - 17 - -
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1999. DAS sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air sebagai Indikator Sentral,
Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21
Desember 1999. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Indonesia 2002. Jakarta.
Bappeda Kabupaten Batanghari dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Batanghari. 2003. Batanghari dalam
Angka 2002. Batanghari.
Bappeda Kabupaten Batanghari dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Batanghari. 2003. Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten Batanghari menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2002. Batanghari.
Bappeda Kabupaten Bogor dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2001. Kabupaten Bogor dalam
Angka 2000. Bogor.
Bappeda Kabupaten Bogor dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2003. Kabupaten Bogor dalam
Angka 2002. Bogor.
Bappeda Kota Bogor dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2001. Kota Bogor dalam Angka 2000. Bogor.
Bappeda Kota Bogor dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2002. Kota Bogor dalam Angka 2002. Bogor.
Bappeda Kota Depok dan Badan Pusat Kota Depok 2000. Depok dalam Angka 1999. Jakarta.
Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2000. Jakarta dalam Angka
1999. Jakarta.
Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2003. Jakarta dalam Angka
2002. Jakarta.
Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2002. Jakarta dalam
Angka2001. Jakarta.
Bappeda Provinsi Jambi dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 1999. Jambi dalam Angka 1998. Jambi.
Bappeda Provinsi Jambi dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2001. Jambi dalam Angka 2001. Jambi.
Bappeda Provinsi Jambi dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2000. Jambi dalam Angka 1999. Jambi.
Bappeda Provinsi Jambi. 2004. Data Pokok Provinsi Jambi Tahun 2003. Jambi.
Bappeda Provinsi Jawa Tengah dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2003. Jawa Tengah dalam
Angka 2002. Semarang.
BP-DAS Batanghari. 2002. Data Base dan Informasi Kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial di
Wilayah Balai Pengelolaan DAS Batanghari. Jambi.
BP-DAS Pemali Jratun. 2002. Data Inalkatif Lahan Kritis Kabupaten/Kota dalam DAS se-Wilayah Balai
Pengelolaan DAS Batanghari. Jambi.
Departemen Kehutanan. 1985. Prosiding Lokakarya Pengelaolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Jakarta
Departemen Kehutanan. 1993. Rencana Pengelolaan DAS Terpadu Batanghari. Jakarta.
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2000. Studi Pendahuluan Penanganan Konservasi dan
Pengembangan Sumberdaya Air di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane. Jakarta.
Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Tengah. 2000. Laporan Akhir Rencana Pengembangan
Sumber Daya Air Wilayah Sungai Jratunseluna. Semarang.
Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Tengah. 2001. Pengembangan dan Pengelolaan Sumber
Daya Air di Provinsi Jawa Tengah. Semarang.
Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah. 2003. Potensi Ketersediaan Air dalam Rangka
Mendukung Antisipasi Kekeringan Provinsi Jawa Tengah. Semarang.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah, Departemen Kimpraswil. 2002. Basin
Water Resources Management Unit Component of Java Irigation Improvement and Water Resources
Management Project, Basin Water Resources Management- Final Report (Central Java and DIY). Jakarta.
Haridjaja, O. 1990. Pengembangan Pola Usaha Tani Campuran pada Lahan Kering yang Berwawasan
Lingkungan di Kabupaten Sukabumi. Bogor: Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, IPB.
- - 18 - -
- - 19 - -