Laporan Tutorial 1
Laporan Tutorial 1
PROPOSAL
Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember
Oleh
DIAN RETNO UTARI
NIM 081610101057
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah malpraktek tidak dijumpai dalam KUHP, karena memang bukan
istilah yuridis. Istilah malpraktek hanya digunakan untuk menyatakan adanya
tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi, baik dibidang
kedokteran maupun dibidang hokum.
Tindakan yang salah secara yuridis diartikan melalui putusan pengadilan.
Tindakan yang salah dimaksud sebagai tindakan yang dapat menumbuhkan
kerugian baik nyawa, maupun harta benda. Malpraktek menyangkut pelaksanaan
profesi yang memiliki ciri sebagai berikut:
1. Ilmu pengetahuan yang diperoleh secara sistematika dan dalam waktu
relatif lama
2. Orientasi utama lebih pada kepentingan umum
3. Ada mekanisme kontrol terhadap perilaku pemegang profesi, melalui kode
etik oleh organisasi profesi
4. Ada reward sistem yang tidak didasarkan pada tujuan komersial.
perlindungan hak pasien dapat dilihat pada undang-undang 29 tahun 2004 tentang
praktek kedokteran diantaranya adalah hak mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis yang akan dilakukan, hak meminta penjelasan
pendapat dokter, hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis, hak
menolak tindakan medis dan hak untuk mendapatkan rekam medis. Kewajiban
pasien dalam menerima pelayanan kedokteran antara lain memberikan informasi
yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasehat atau
petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan
dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.
Dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran harus
memberikan pelayanan medik secara professional, serta memiliki etik dan moral
yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk menjamin kepastian hukum bagi dokter dan
dokter gigi dalam menjalankan tugasnya. Dalam beberapa dekade terakhir ini
istilah malpraktik banyak dibicarakan masyarakat umum khususnya malpraktik
bidang kedokteran dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Jika kita
flashback beberapa dekade ke belakang, khususnya di Indonesia anggapan banyak
orang, dokter adalah professional yang kurang bisa disentuh dengan hukum atas
profesi yang dia lakukan. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat saat
sekarang banyak tuntutan hukum baik perdata, pidana maupun administrative
yang diajukan pasien atau keluarga pasien kepada dokter karena kurang puas atau
hasil perawatan atau pengobatan.
Standar
Operating
Phlegmon?
2. Apakah yang dimaksud dengan:
a. Malpraktek
b. Kelalaian medik
c. Resiko medik
Procedure
(SOP)
penanganan
d. Visum et Repertum
3. Apa saja dasar-dasar yang mengatur pelanggaran dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran gigi?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan laporan tutorial ini adalah agar mahasiswa
mampu mengetahui dan memahami:
1. Standar Operating Procedure (SOP) penanganan Phlegmon.
2. Pengertian dan penjelasan:
a. Malpraktek
b. Kelalaian medik
c. Resiko medik
d. Visum et Repertum
3. Dasar-dasar yang mengatur pelanggaran dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran gigi.
2.1 Malpraktek
Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak
rumah sakit dan atau dokternya dari waktu ke waktu semakin meningkat
kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun
perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam
bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang
merupakan sebutan "genus" dari kelompok perilaku profesional medis yang
"menyimpang" dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi
pasiennya.
Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai "professional
misconduct or unreasonable lack of skill" atau "failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly
applied under all the circumstances in the community by the average prudent
reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the
recipient of those services or to those entitled to rely upon them".
Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis,
melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan,
perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis
menurut World Medical Association (1992) adalah: "medical malpractice involves
the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of the
patient's condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient,
which is the direct cause of an injury to the patient."
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurangmahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam
bentuk
pelanggaran
ketentuan
etik,
ketentuan
disiplin
profesi,
hukum
kedokteran,
aborsi
ilegal,
euthanasia,
penyerangan
seksual,
Anggapan ini tidak selamanya benar karena harus dibuktikan dahulu adanya
kelalaian dan adanya hubungan sebab akibat antara akibat yang dialami pasien
dengan unsur kelalaian dokter.
2.3 Resiko Medik
Saya berpendapat bahwa tempat praktik seorang dokter bukan saja untuk
memperbaiki kesehatan tetapi juga untuk menghilangkan nyeri dan kesakitan.
(Francis Bacon, 1561-1626).
Pengertian resiko medic dalam beberapa pernyataan :
1. Informed Consent.
Pasien telah sepakat untuk mendapatkan perlakuan medic dari dokter
sepenuhnya atas resikonya, menyadari sepenuhnya atas segala resiko, atas
segala tindakan dokter. Dengan kesepakatan ini pasien tidak akan mengadakan
tuntutan hukum di suatu hari nanti, apapun yang terjadi. Dokter harus harus
menandatangani formulir Persetujuan Tindakan Medik.
2. Pernyataan IDI.
Setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar mengharuskan
adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah
sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya
tindakan medis yang bersangkutan serta resiko yang berkaitan dengannya.
3. Pasal 2 ayat (3), pasal 3 ayat (1), dan pasal 7 ayat (2), peraturan menteri
kesehatan Republik Indonesia nomor : 585/Men.Kes/Per/IX/1989, tentang
Persetujuan Tindakan Medis, menyebutkan istilah resiko secara eksplisit dan
tersirat, antara lain :
a. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medic yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.
b. Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medic yang mengandung resiko tinggi
harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak
memberikan persetujuan.
c. Pasal 7 ayat (2) : Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya
dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
2.4 Visum et Repertum
Visum et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter
berdasarkan pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan
permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat
sumpah jabatan dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan
pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab
kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi
kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran
forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran
Forensik. Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah
pada hari itu adalah yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut.
Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan.
Selesai pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik
keluarga kembali.
Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat
serendah-rendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi berpangkat sedemikian
tidak ada di tempat, maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi
berpangkat lebih rendah namun dengan catatan "atas nama".
Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk
memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang
memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam
bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya).
Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang
berwenang mengemukakan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan
bukan dokter yang melakukan pemeriksaan. Adalah hak polisi untuk memberikan
keterangan atau menolak memberikan keterangan yang diminta kepada khalayak
ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak
diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga (misalnya
pers)- apalagi sampai pada detail-detailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak
tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang diotopsi).
Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada
majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan
sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga
dengan sumpah dokter yang diucapkannya sewaktu dilantik sebagai dokter untuk
menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun korban yang sudah meninggal
sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.
Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa
berkewajiban membuka rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban
melaporkan dengan sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan
melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah yang
diperiksanya.
Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah
diangkat dan telah diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli
Ilmu Kedokteran Forensik ia tidak mengucapkan sumpah lain. Pendapat yang
menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran Forensik ialah Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru. KUHAP adalah peraturan
hukum, bukan sumpah.
Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada
pihak lain (misalnya media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap
saja dokter forensik adalah seorang dokter yang pernah mengucapkan sumpah
dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan rahasia kedokteran (dalam
hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam pemeriksaan forensik).
Yang berwenang adalah polisi yang meminta VER.
Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan
bahwa demi kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan
keterangan apabila diperlukan kepada media massa.
Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya
sepotong kayu yang telah dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah
MAPING
UU Praktek
Kedokteran No.
Penyelenggaraan
Praktik Kedokteran
STR
KKI
Korban
&
SIP
Profesi
Sesuai SOP
Resiko Medik
Malpraktek
Non hukum (organisasi)
Pelanggaran etika
Pelanggaran disiplin
Hukum
Pelanggaran hukum
Pidana:
Internal
melalui
Majelis
Kehormatan
Etika
Majelis
Kehormatan
Disiplin
Kedokteran
Indonesia
1. Neglicence
2. Recklessness
3. Intensional
Perdata
(wanprestasi)
Korektif
dan
Edukatif
denda
Administratif
Tuntutan hukum
Visum et Repertum
Keputusan tetap
Penjara/kurungan
denda
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Standar Operating Procedure (SOP) penanganan Phlegmon
3. Adanya
gangrene
dengan
keluarnya
cairan
serosangiinous
yang
meragukan ketika dilakukan insisi dan tidak jelas apakan itu pus
4. Mengenai fasia, otot, jaringan ikat dan sedikit jaringan kelenjar
5. Penyebara secara langsung dan tidaka ada penyebarab secara limfatik
Gejala Ludwigs Angina yaitu : sakit dan bengkak pada leher, leher
menjadi merah, demam, le,ah , lesu, mudah capek, bingung dan perubahan
mental, dan kesulitan bernafas gejala ini menunjukkan suatu keadaan darurat)
yaitu obstruksi jalan nafas. Pasien Ludwigs Angina akan mengeluh bengkak yang
jelas dan jaringan lunak pada anterior leher, jika dipelpasi tidak terdapat fluktuasi.
Komplikasi paling serius dari Ludwigs Angina adalah adanya penekanan jalan
nafas akibat pembengkakan yang berlangsung hebat. Diperlukan tindakan bedah
segera dengan trakeostomisebagai jaln nafas buatan. Kemudian jika saluran nafas
telah ditanganidapat diberikan antibiotic dan dilakukan incise ada pus untuk
mengurangi tekanan. Perlu dilakukan perawatan gigi pada penyebab infeksi
(sumber infeksi)baik perawatan endodontic maupun periodontik.
3.2 Malpraktek
3.2.1 Pengertian Malpraktek
Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian
malpraktek. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktek berasal dari malpractice
yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang
timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh
dokter.
b. Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad practice,
atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan
teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri
khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan how to practice the medical
science and technology, yang sangat erat hubungannya dengan sarana
kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan
demikian tenaga kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian
pada dirinya.
Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang
disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis).
Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya
perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek
Melakukan euthanasia
b. Malpraktek
pidana
karena
kecerobohan
(recklessness),
misalnya
melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan
standar
3) Malpraktek Administratif
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan
pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya
menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan
yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin
yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
3.2.3 Teori-teori malpraktek
Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek
yaitu:
a. Teori Pelanggaran Kontrak
Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek
adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum
seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang
bilamana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga
kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru
terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut.Apabila
terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan
pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang bertindak
atas nama dan mewakili kepentingan penderita. Apabila hal ini juga tidak
mungkin, misalnya dikarenakan sehubungan dengan adanya hubungan kontrak
pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga
kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama.
Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat
misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya.penderita
gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain
yang kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut
perundang-undangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan
memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum
telah dianggap sebagai perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.
b Teori Perbuatan Yang Disengaja
Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk
menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang
dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara
fisik mengalami cedera (asssult and battery).
c. Teori Kelalaian
Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah
kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang
dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu
kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat
(culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan
merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum. Selain dikenal adanya
beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktek, yang apabila ditinjau dari
kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak pasien dan para
aparat penegak hukum, karena dengan teori-teori tersebut pasien dapat
mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat hukum dapat
dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan.
Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan
pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek. Teori-teori itu adalah:
a. Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung
dari tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk
melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko
dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori ini
mempunyai arti yang sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama tindakan
tenaga kesehatan itu bertujuan untuk indikasi medis.
b. Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh
pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c. Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan
malpraktek adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus
dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah
sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek.Teori pembelaan ini bersifat
spekulasi karena berhasil tidaknya tenaga kesehatan menggunakan pembelaannya,
yang dalam hal ini berupa perjanjian khusus dengan pasien, hasinya sangat
tergantung pada penilaian pengadilan.
d. Peraturan Good Samaritan
Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan
gawat darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat
dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi
suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e. Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari
seluruh tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan
penyelesaian bersama.
Teori pembelaan yang berupa pembebasan ini, hanya dapat dilaksanakan
sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut menyangkut tanggungjawab
perdata (masuk kategori hukum perdata), misalnya wanprestasi, sebab dalam
kasus ini hanya melibatkan kedua belah pihak yang saling mengadakan kontrak
atau janji saja. Dalam hal ini apabila mereka ternyata dapat bersepakat untuk
menyelesaikan bersama dengan damai, itu lebih baik, karena sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai dalam penyelesaian kasus perdata, yaitu adanya suatu
perdamaian antara kedua belah pihak.
Tetapi apabila kesalahan tenaga kesehatan itu termasuk dalam kategori
hukum pidana (tanggung jawab pidana) misalnya terjadi kelalaian berat sehingga
mengakibatkan meninggalnya pasien, maka teori ini tidak dapat diterapkan, sebab
bicara hukum pidana berarti bicara tentang hukum publik, yang menyangkut
kepentingan umum bersama. Oleh karena itu apabila telah terbukti tenaga
kesehatan telah melakukan malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan
padanya, karena kalau tidak, berarti kita tidak mendidik kepada masyarakat pada
umumnya untuk sadar terhadap hukum yang berlaku, sehingga selanjutnya akan
sangat sulit untuk menegakkan hukum itu sendiri. Disamping itu, kalau teori ini
diterima dalam kasus pidana dikhawatirkan tiap perbuatan malpraktek seorang
tenaga kesehatan tidak akan ada sanksi hukumnya, sehingga dapat mengurangi
tanggung jawab dan sikap hati-hatinya seorang tenaga kesehatan di dalam
menjalankan tugasnya.
f. Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam jangka
waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan
hukum yang lain.
g. Workmens Compensation
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus
malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama,
maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus malpraktek
yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan menurut peraturan
workmens compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi
setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa
dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka. Akan tetapi walaupun dengan
adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak berarti seorang tenaga kesehatan
boleh bertindak semaunya kepada pasien. Walaupun terdapat teori-teori
pembelaan tersebut, juga harus dilihat apakah tindakan tenaga kesehatan telah
sesuai dengan standar profesi. Apabila tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak
sesuai dengan standar profesi, maka teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat
dijadikan alasan pembelaan baginya.
Misalnya pada peraturan good Samaritan yang menyebutkan bahwa
seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat pada
peristiwa darurat dapat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek. Walaupun
terdapat peraturan good samaritan ini, seorang tenaga kesehatan dalam
memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat tetap harus
memberikan pertolongannya dengan sepenuh hati berdasarkan pengetahuan dan
keahlian yang dimilikinya. Apabila dalam memberikan pertolongan gawat darurat,
seorang tenaga kesehatan hanya memberikan pertolongan yang sekedarnya dan
tidak sungguh-sungguh dalam menggunakan pengetahuan dan keahliannya, jika
terjadi sesuatu hal yang membahayakan kesehatan atau nyawa orang yang
ditolongnya itu, maka tenaga kesehatan tersebut tetap dapat dituntut secara
hukum.
3.3 Kelalaian medik
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu
(komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi)
yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama
pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya
kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang
dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya
(berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan
kerugian atau cedera bagi orang lain.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance
dan nonfeasance.
a. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis
tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper).
(PERMENKES)
Nomor
290/MEN.KES/PER/III/2008
tentang
ataupun
bagian
terhadap
dari
tubuh
keracunan
ataupun
mati
yang
diduga
karena
peristiwa
berwenang meminta
keterangan
ahli
adalah
penyidik
dan
penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP.
Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1)
butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah
penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan
kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena visum et repertum adalah keterangan
ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka
penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum,
karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP).
Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan
sanki pidana :
Pasal 216 KUHP :
Barangsiapa
dengan
sengaja
tidak
menuruti
perintah
atau
yang
tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses
demikian visum
et
repertum
secara
utuh
telah
visum
et
repertum
belum
dapat
menjernihkan
duduk
persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau
diajukannya bahan baru, seperti yang
tercantum
dalam
KUHAP,
yang
formal untuk
menjatuhkan
pidana
atau
membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu
Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit
tentang tata laksana pengadaan visum et repertum.
3.5.2
berikut:
a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa
b. Bernomor dan bertanggal
c. Mencantumkan kata Pro Justitia di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan
temuan pemeriksaan
f. Tidak menggunakan istilah asing
g. Ditandatangani dan diberi nama jelas
h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut
i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada
lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik
POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut
dapat diberi visum et repertum masing-masing asli
k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya,
dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun
3.6 Dasar-dasar yang mengatur pelanggaran dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran gigi
3.6.1
2004
TENTANG
PRAKTIK
KEDOKTERAN,
Bab
Ketentuan Pidana:
Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar
atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki
surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau
surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara
lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan
kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter
atau dokter gigi yang:
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1); atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Pasal 80
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara
paling
lama
10
(sepuluh)
tahun
atau
denda
paling
banyak
Menurut
PERATURAN
KONSIL
KEDOKTERAN
INDONESIA
MAJELIS
INDONESIA
DAN
KEHORMATAN
MAJELIS
DISIPLIN
KEDOKTERAN
KEHORMATAN
DISIPLIN
di institusi
Menurut
KEPUTUSAN
NOMOR:
SKEP/035/PB
PDGI/V/2008
MKEKG
1. Sanksi tersebut berupa:
a. Peringatan lisan berlaku paling lama 6 bulan
b. Peringatan tertulis berlaku paling lama 6 bulan
c. Penarikan rekomendasi PDGI untuk mendapatkan SIP paling lama 12 bulan.
peringatan lisan
telah disampaikan
BAB 4. KESIMPULAN
Pada skenario, dokter bisa dikategorikan dalam resiko medik karena dokter
sudah melaksanakan perawatan/tindakan sesuai dengan SOP dibidangnya
yaitu seorang dokter gigi puskesmas untuk memberikan antibiotik. Tetapi bisa
juga dikatakan sebagai malpraktek karena dokter tidak segera merujuk ke
rumah sakit karena penanganan Phlegmon harus ditangani oleh ahli bedah
mulut dan tidak tersedianya sarana dan prasaran yang memadai di Puskesmas
untuk menangani pasien.
DAFTAR BACAAN
Gordon, W. Pedersen, D.D.S. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC
J Guwandi, 2007, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Isfandyarie,
A.
Malpraktek
dan
Resiko
Medik.
http://id.shvoong.com/books/1933978-malpraktek-dan-resiko-medik/
Pane, A.H. Analisa Teoritis Kemungkinan Penerapan Daubert Standard
Sebagai Syarat Admisibilitas (Admissibility) Keterangan Ahli Dalam
Perkara
Dugaan
Malpraktik
Medik
di
Indonesia.
http://amirhamzahpane.wordpress.com/2011/04/15/analisa-teoritiskemungkinan-penerapan-daubert-standard-sebagai-syarat-admisibilitasadmissibility-keterangan-ahli-dalam-perkara-dugaan-malpraktik-medik-diindonesia/ April 15, 2011
Sampurna, B. Malpraktik Kedokteran. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. Jakarta Pusat.
http://malprate.webs.com/malpraktikkedokteran.htm
Siswoyo. Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan
Kesehatan. http://waspadamedan.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=2085:masalah-malpraktek-dankelalaian-medik-dalam-pelayanankesehatan&catid=69:kesehatan&Itemid=241 Monday, 14 June 2010 06:21
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. http://hukumkes.wordpress.com/2009/05/26/uu-no-292004tentang-praktik-kedokteran/
http://www.freewebs.com/malprate/malpraktikkedokteran.htm
http://www.dr-thia.com/2009/12/visum-et-repertum-pendahuluan-visum-et.html
http://yusufalamromadhon.blogspot.com/2007/11/malpraktik-ataumalpraktek_17.html