Anda di halaman 1dari 36

PENGARUH EKSTRAK DAUN TEH HIJAU (Camelia sinensis L)

TERHADAP PERTUMBUHAN Porphyromonas gingivalis


(Penelitian Eksperimental Laboratoris)

PROPOSAL

Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember

Oleh
DIAN RETNO UTARI
NIM 081610101057

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2011

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah malpraktek tidak dijumpai dalam KUHP, karena memang bukan
istilah yuridis. Istilah malpraktek hanya digunakan untuk menyatakan adanya
tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi, baik dibidang
kedokteran maupun dibidang hokum.
Tindakan yang salah secara yuridis diartikan melalui putusan pengadilan.
Tindakan yang salah dimaksud sebagai tindakan yang dapat menumbuhkan
kerugian baik nyawa, maupun harta benda. Malpraktek menyangkut pelaksanaan
profesi yang memiliki ciri sebagai berikut:
1. Ilmu pengetahuan yang diperoleh secara sistematika dan dalam waktu
relatif lama
2. Orientasi utama lebih pada kepentingan umum
3. Ada mekanisme kontrol terhadap perilaku pemegang profesi, melalui kode
etik oleh organisasi profesi
4. Ada reward sistem yang tidak didasarkan pada tujuan komersial.

Transaksi terapeutok dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk perjanjian


antara pasien dengan penyedia layanan dimana dasar dari perjanjkian itu adalah
usaha maksimal untuk penyembuhan pasien yang dilakukan dengan cermat dan
hati-hati sehingga hubungan hukumnya disebut sebagai perikatan usaha/ikhtiar.
Agar dapat berlaku dengan sah, transksi tersebut harus memenuhi empat syarat,
pertama ada kata sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri, kedua kecakapan
untuk membuat sesuatu, ketiga mengenai suatu hal atau obyek, dan yang keempat
karena suatu kausa yang sah. Transaksi atau perjanjian menurut hokum dengan
transaksi yang berkaitan dengan terapeutik tidaklah sama. Pada hakekatnya
transaksi terapeutik terkait dengan norma atau etika yang mengatur perilaku
dokter dan oleh karena itu bersifat menjelaskan, merinci, ataupun menegaskan
berlakunya suatu kode etik yang bertujuan agar dapat memberikan perlindungan
bagi dokter atau pasien. Hubungan antara transaksi terapeutik dengan

perlindungan hak pasien dapat dilihat pada undang-undang 29 tahun 2004 tentang
praktek kedokteran diantaranya adalah hak mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis yang akan dilakukan, hak meminta penjelasan
pendapat dokter, hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis, hak
menolak tindakan medis dan hak untuk mendapatkan rekam medis. Kewajiban
pasien dalam menerima pelayanan kedokteran antara lain memberikan informasi
yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasehat atau
petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan
dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.
Dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran harus
memberikan pelayanan medik secara professional, serta memiliki etik dan moral
yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk menjamin kepastian hukum bagi dokter dan
dokter gigi dalam menjalankan tugasnya. Dalam beberapa dekade terakhir ini
istilah malpraktik banyak dibicarakan masyarakat umum khususnya malpraktik
bidang kedokteran dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Jika kita
flashback beberapa dekade ke belakang, khususnya di Indonesia anggapan banyak
orang, dokter adalah professional yang kurang bisa disentuh dengan hukum atas
profesi yang dia lakukan. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat saat
sekarang banyak tuntutan hukum baik perdata, pidana maupun administrative
yang diajukan pasien atau keluarga pasien kepada dokter karena kurang puas atau
hasil perawatan atau pengobatan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam laporan tutorial ini adalah:
1. Bagaimanakah

Standar

Operating

Phlegmon?
2. Apakah yang dimaksud dengan:
a. Malpraktek
b. Kelalaian medik
c. Resiko medik

Procedure

(SOP)

penanganan

d. Visum et Repertum
3. Apa saja dasar-dasar yang mengatur pelanggaran dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran gigi?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan laporan tutorial ini adalah agar mahasiswa
mampu mengetahui dan memahami:
1. Standar Operating Procedure (SOP) penanganan Phlegmon.
2. Pengertian dan penjelasan:
a. Malpraktek
b. Kelalaian medik
c. Resiko medik
d. Visum et Repertum
3. Dasar-dasar yang mengatur pelanggaran dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran gigi.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Malpraktek
Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak
rumah sakit dan atau dokternya dari waktu ke waktu semakin meningkat
kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun
perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam
bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang
merupakan sebutan "genus" dari kelompok perilaku profesional medis yang
"menyimpang" dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi
pasiennya.
Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai "professional
misconduct or unreasonable lack of skill" atau "failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly
applied under all the circumstances in the community by the average prudent
reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the
recipient of those services or to those entitled to rely upon them".
Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis,
melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan,
perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis
menurut World Medical Association (1992) adalah: "medical malpractice involves
the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of the
patient's condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient,
which is the direct cause of an injury to the patient."
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurangmahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam
bentuk

pelanggaran

ketentuan

etik,

ketentuan

disiplin

profesi,

hukum

administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan

yang merugikan pasien, fraud, "penahanan" pasien, pelanggaran wajib simpan


rahasia

kedokteran,

aborsi

ilegal,

euthanasia,

penyerangan

seksual,

misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum


teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll.
Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi
pasien, namun yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan
motivasi) ketimbang hanya berupa error (berkaitan dengan informasi).
2.2 Kelalaian Medik
Di dalam berbagai tulisan bahwa penggunaan istilah malpraktek
(malpractice) dan kelalaian medik (medical negligence) di dalam pelayanan
kesehatan sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama, padahal
istilah malpraktek tidak sama dengan kelalaian medik.
Kelalaian medik dapat digolongkan sebagai malpraktek, tetapi di dalam
malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian medik, dengan perkataan lain
malpraktek mempunyai cakupan yang lebih luas daripada kelalaian medik.
Perbedaan yang lebih jelas dapat terlihat dari istilah malpraktek yang selain
mencakup unsur kelalaian, juga mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan
dengan sengaja (dolus), dilakukan dengan sadar dan akibat yang terjadi
merupakan tujuan dari tindakan tersebut walaupun ia mengetahui atau seharusnya
mengetahui bahwa tindakannya tersebut bertentangan dengan hukum yang
berlaku.
Misalnya dengan sengaja melakukan pengguguran kandungan tanpa alasan
(indikasi) medis yang jelas, melakukan operasi pada pasien yang sebenarnya tak
perlu dioperasi, memberikan surat keterangan dokter yang isinya tidak benar.
Sebaliknya, istilah kelalaian medik biasanya digunakan untuk tindakan-tindakan
yang dilakukan secara tidak sengaja (culpa), kurang hati-hati, tak peduli/tak acuh,
dan akibat yang ditimbulkannya bukanlah merupakan tujuannya, tetapi karena
adanya kelalian yang terjadi di luar kehendaknya. Misalnya menelantarkan pasien
dan tidak mengobatinya sebagaimana mestinya sehingga pasien meninggal.

Kelalaian bukanlah suatu kejahatan. Seorang dokter dikatakan lalai jika ia


bertindak tak acuh, tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana
lazimnya. Sepanjang akibat dari kelalaian medik tersebut tidak sampai
menimbulkan kerugian kepada orang lain dan orang lain menerimanya maka hal
ini tidak menimbulkan akibat hukum. Akan tetapi, jika kelalaian itu telah
mencapai suatu tingkat tertentu sehingga tidak memperdulikan jiwa orang lain
maka hal ini akan membawa akibat hukum, apalagi jika sampai merengut nyawa
maka hal ini dapat digolongkan sebagai kelalaian berat (culpa lata).
Adapun yang menjadi tolak ukur dari timbulnya kelalaian dapat ditinjau dari
beberapa hal:
a.Tidak melakukan kewajiban dokter yaitu tidak melakukan kewajiban profesinya
untuk mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya bagi penyembuhan
pasien berdasarkan standar profesinya. Menurut penjelasan pasal 7 ayat 2 UU
no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa standar profesi medik
adalah pendidikan profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional. Seorang dokter
atau dokter gigi tentunya tidak dapat dipersalahkan lagi jika akibat tindakannya
tidak seperti yang diharapkan atau merugikan pasien, sepanjang tindakan yang
dilakukannya telah memenuhi standar profesi medik yang ada.
b.Menyimpang dari kewajiban yaitu menyimpang dari apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar
profesinya. Perlu dipahami bahwa jika seorang dokter atau dokter gigi
mempunyai pendapat yang berlainan dengan dokter atau dokter gigi lain
mengenai penyakit pasien belumlah berarti bahwa ia telah menyimpang, karena
untuk menentukan apakah terdapat penyimpangan atau tidak harus berdasarkan
fakta-fakta yang ada dalam kasus tersebut dengan bantuan pendapat ahli atau
saksi ahli.
c.Adanya hubungan sebab akibat yaitu adanya hubungan langsung antara
penyebab dengan kerugian yang dialami pasien sebagai akibatnya. Seringkali
pasien maupun keluarganya menganggap bahwa akibat yang merugikan yang
dialami pasien adalah akibat dari kesalahan ataupun kelalaian dokternya.

Anggapan ini tidak selamanya benar karena harus dibuktikan dahulu adanya
kelalaian dan adanya hubungan sebab akibat antara akibat yang dialami pasien
dengan unsur kelalaian dokter.
2.3 Resiko Medik
Saya berpendapat bahwa tempat praktik seorang dokter bukan saja untuk
memperbaiki kesehatan tetapi juga untuk menghilangkan nyeri dan kesakitan.
(Francis Bacon, 1561-1626).
Pengertian resiko medic dalam beberapa pernyataan :
1. Informed Consent.
Pasien telah sepakat untuk mendapatkan perlakuan medic dari dokter
sepenuhnya atas resikonya, menyadari sepenuhnya atas segala resiko, atas
segala tindakan dokter. Dengan kesepakatan ini pasien tidak akan mengadakan
tuntutan hukum di suatu hari nanti, apapun yang terjadi. Dokter harus harus
menandatangani formulir Persetujuan Tindakan Medik.
2. Pernyataan IDI.
Setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar mengharuskan
adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah
sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya
tindakan medis yang bersangkutan serta resiko yang berkaitan dengannya.
3. Pasal 2 ayat (3), pasal 3 ayat (1), dan pasal 7 ayat (2), peraturan menteri
kesehatan Republik Indonesia nomor : 585/Men.Kes/Per/IX/1989, tentang
Persetujuan Tindakan Medis, menyebutkan istilah resiko secara eksplisit dan
tersirat, antara lain :
a. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medic yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.
b. Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medic yang mengandung resiko tinggi
harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak
memberikan persetujuan.

c. Pasal 7 ayat (2) : Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya
dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
2.4 Visum et Repertum
Visum et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter
berdasarkan pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan
permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat
sumpah jabatan dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan
pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab
kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi
kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran
forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran
Forensik. Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah
pada hari itu adalah yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut.
Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan.
Selesai pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik
keluarga kembali.
Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat
serendah-rendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi berpangkat sedemikian
tidak ada di tempat, maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi
berpangkat lebih rendah namun dengan catatan "atas nama".
Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk
memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang
memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam
bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya).
Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang
berwenang mengemukakan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan
bukan dokter yang melakukan pemeriksaan. Adalah hak polisi untuk memberikan
keterangan atau menolak memberikan keterangan yang diminta kepada khalayak
ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak

diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga (misalnya
pers)- apalagi sampai pada detail-detailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak
tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang diotopsi).
Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada
majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan
sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga
dengan sumpah dokter yang diucapkannya sewaktu dilantik sebagai dokter untuk
menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun korban yang sudah meninggal
sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.
Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa
berkewajiban membuka rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban
melaporkan dengan sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan
melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah yang
diperiksanya.
Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah
diangkat dan telah diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli
Ilmu Kedokteran Forensik ia tidak mengucapkan sumpah lain. Pendapat yang
menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran Forensik ialah Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru. KUHAP adalah peraturan
hukum, bukan sumpah.
Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada
pihak lain (misalnya media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap
saja dokter forensik adalah seorang dokter yang pernah mengucapkan sumpah
dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan rahasia kedokteran (dalam
hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam pemeriksaan forensik).
Yang berwenang adalah polisi yang meminta VER.
Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan
bahwa demi kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan
keterangan apabila diperlukan kepada media massa.
Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya
sepotong kayu yang telah dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah

seorang manusia hidup yang bernyawa, yang mempunyai riwayat kehidupan


tertentu, dan dengan demikian juga terdapat ikatan-ikatan tertentu, seperti
hubungan dengan anggota keluarganya yang masih hidup maupun dengan kaum
kerabat lainnya. Oleh karena itu, hal-hal tertentu yang ditemukan dalam
pemeriksaan yang dapat mencemarkan nama baik orang yang sudah meninggaljuga keluarga serta kawan-kawannya yang masih hidup-itu tidak dapat dibeberkan
kepada pihak lain, apalagi untuk dikemukakan kepada publik. Sesuatu yang
memburukkan nama baik orang yang sudah meninggal (jenazah) itu pasti akan
berakibat aib bagi pihak keluarga yang ditinggalkan.

MAPING
UU Praktek
Kedokteran No.

Penyelenggaraan
Praktik Kedokteran

STR
KKI

Korban

&

SIP
Profesi

Sesuai SOP

Tidak sesuai SOP

Resiko Medik

Malpraktek
Non hukum (organisasi)

Pelanggaran etika

Pelanggaran disiplin

Hukum
Pelanggaran hukum
Pidana:

Internal
melalui
Majelis
Kehormatan
Etika

Majelis
Kehormatan
Disiplin
Kedokteran
Indonesia

1. Neglicence
2. Recklessness
3. Intensional
Perdata
(wanprestasi)

Korektif
dan
Edukatif

denda

Administratif

Tuntutan hukum
Visum et Repertum
Keputusan tetap
Penjara/kurungan

denda

BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Standar Operating Procedure (SOP) penanganan Phlegmon

Ludwigs angina ditandai dengan infeksi/selulitis bilateral yang parah,


yang mengenai region servikal, sublingual, submandibular, disertai pergeseran
posisi lidah dan kemungkinan tersumbatnya saluran pernafasan. Ludwigs angina
merupakan kondisi yang sangat berbahayabdan pasien harus dirawat-inap untuk
mendapatkan terapi antibiotik intravena, prosedur bedah yang ekstensif untuk
drainase dan pmantauan yang teratur. Kenutungan lain dari rawat inap adalah
lebih mudah melakukan pengambilan radiograf, pemeriksaan laboratorium, dan
berbagai tindakan konsultatif yang lain. Misalnya pemeriksaan CT bisa
menyebabkan adanya gas (emfisema pada jaringan lunak) dalam jaringan atau
kantung-kantung nanah yang tidak terdeteksi sebelumnya. Karena dekatnya letak
sarana laboratorium, maka dapat dilakukan pengiriman bahan untuk kultur
(khususnya untuk pemeriksaan bakteri anaerob) dengan cepat, misalnya sampel
darah dan jaringan. Perhitungan sel-sel darah lengkap (CBC), hemoglobin dan
hematokrit, ESR, dan penentuan elektrolit serum (ini sangat kritis apabila pasien
menerima terapi cairan intravena) yang sering atau dilakukan setiap hari,
semuanya bisa dilakukan dengan mudah. Baragkali keuntungan utama dari rawat
inap adalahtersediya pelayanan rujukan, erutama untuk penyakit menular, terapi
respiratorik dan diabetik. Tempat yang paling baik yntyk melakukan perawatan
adalah rumah sakit.
Phlegmon dasar mulut (submandibular atau sublingual space) atau
Ludwigs Angina. Ludwigs Angina dikemukakan pertama kali oleh Von Ludwig
pada 1836 sebagai selulitis dan infeksi jaringan lunak disekeliling kelenjar
mandibula. Kata Angina pada Ludwigs Angina dihubungkan dengan sensasi
tercekik akibat obstruksi saluran nafas secara mendadak. Ludwigs Angina
merupakan infeksi yang berasala dari gigi kibat penjalaran pus dari abses
periapikal tergantung jenis gigi (sepei pada fasial spaces). Kriteria yan mendasari
suatu keadaan disebut dengan Ludwigs Angina yaitu :
1. Proses selulitis pada submanibular space baik unilteral atau bilateral
2. Keterlibatan mandibular space baik uniletral atau bilateral

3. Adanya

gangrene

dengan

keluarnya

cairan

serosangiinous

yang

meragukan ketika dilakukan insisi dan tidak jelas apakan itu pus
4. Mengenai fasia, otot, jaringan ikat dan sedikit jaringan kelenjar
5. Penyebara secara langsung dan tidaka ada penyebarab secara limfatik
Gejala Ludwigs Angina yaitu : sakit dan bengkak pada leher, leher
menjadi merah, demam, le,ah , lesu, mudah capek, bingung dan perubahan
mental, dan kesulitan bernafas gejala ini menunjukkan suatu keadaan darurat)
yaitu obstruksi jalan nafas. Pasien Ludwigs Angina akan mengeluh bengkak yang
jelas dan jaringan lunak pada anterior leher, jika dipelpasi tidak terdapat fluktuasi.
Komplikasi paling serius dari Ludwigs Angina adalah adanya penekanan jalan
nafas akibat pembengkakan yang berlangsung hebat. Diperlukan tindakan bedah
segera dengan trakeostomisebagai jaln nafas buatan. Kemudian jika saluran nafas
telah ditanganidapat diberikan antibiotic dan dilakukan incise ada pus untuk
mengurangi tekanan. Perlu dilakukan perawatan gigi pada penyebab infeksi
(sumber infeksi)baik perawatan endodontic maupun periodontik.

3.2 Malpraktek
3.2.1 Pengertian Malpraktek
Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian
malpraktek. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktek berasal dari malpractice
yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang
timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh
dokter.
b. Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad practice,
atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan
teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri
khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan how to practice the medical
science and technology, yang sangat erat hubungannya dengan sarana
kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan

praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah


maltreatment.
c. Danny Wiradharma memandang malpraktek dari sudut tanggung jawab dokter
yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut
melakukan praktek buruk
d. Ngesti Lestari mengartikan malpraktek secara harfiah sebagai pelaksanaan
atau tindakan yang salah.
e. Amri Amir menjelaskan malpraktek medis adalah tindakan yang salah oleh
dokter pada waktu menjalankan praktek, yang menyebabkan kerusakan atau
kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta menggunakan keahliannya
untuk kepentingan pribadi.
f. Sedangkan menurut Ninik Mariyanti, malpraktek sebenarnya mempunyai
pengertian yang luas, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1)Dalam arti umum : suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar
yang telah ditentukan oleh profesi.
2)Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) malpraktek dapat terjadi di dalam
menentukan diagnosis, menjalankan operasi, selama menjalankan perawatan,
dan sesudah perawatan.
g. Menurut Jusuf Hanafiah, malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter
untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.
Beberapa sarjana sepakat untuk merumuskan penggunaan istilah medical
malpractice (malpaktek medik) sebagaimana disebutkan dibawah ini :
a. John D. Blum memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai a
form of professional negligence in which measerable injury occurs to a plaintiff
patient as the direct result of an act or ommission by the defendant practitioner
(malpraktek medik merupakan bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau
cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan
sebagai akibat langsung dari tindakan dokter).

b. Black Law Dictionary merumuskan malpraktek sebagai any professional


misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry
duties, evil practice, or illegal or immoral conduct (perbuatan jahat dari
seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang dibawah standar, atau tidak
cermatnya seorag ahli dalam menjalankan kewajibannya secara hukum, praktek
yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral).
Dari beberapa pengertian tentang malpraktek medik diatas semua sarjana
sepakat untuk mengartikan malpraktek medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan
yang karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan
sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka
atau cacat atau bahkan meninggal dunia.
Dari berbagai pengertian mengenai malpraktek yang dikemukakan oleh
beberapa sarjana diatas, terlihat bahwa sebagian orang mengaitkan malpraktek
medik sebagai malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Hal ini mungkin
disebabkan karena kasus-kasus yang muncul ke permukaan atau yang diajukan ke
pengadilan adalah kasus-kasus yang dilakukan oleh dokter. Selain itu dalam
berbagai literatur, permasalahan malpraktek ataupun permasalahan yang
berhubungan dengan kesehatan, yang dijadikan sebagai patokan adalah profesi
dokter.
Akan tetapi menurut penulis, malpraktek medik tidak hanya dilakukan
oleh orang-orang dari kalangan profesi dokter saja. Tetapi juga dapat dilakukan
oleh orang-orang yang berprofesi di bidang pelayanan kesehatan atau biasa
disebut tenaga kesehatan.
Didalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan, yaitu dalam pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa tenaga kesehatan terdiri
dari :
a. Tenaga medis
b. Tenaga keperawatan
c. Tenaga kefarmasian
d. Tenaga kesehatan masyarakat
e. Tenaga gizi

f. Tenaga keterapian fisik


g.Tenaga keteknisan medis.
Orang-orang yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan mungkin saja
melakukan tindakan malpraktek medis. Jadi tidak hanya profesi dokter saja.
Misalnya tenaga keperawatan yang terdiri dari perawat dan bidan. Mereka juga
mungkin melakukan tindakan malpraktek medis karena perawat maupun bidan
juga sama seperti dokter yang profesinya memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat.
3.2.2 Jenis-jenis malpraktek
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi
dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis
(yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.
a. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan.
Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan
etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku
untuk seluruh bidan.
b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu
malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal
malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).
1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan
tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik
oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi


terlambat melaksanakannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi
tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah
memenuhi beberapa syarat seperti:
a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).
b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).
c. Ada kerugian
d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar
hukum dengan kerugian yang diderita.
e. Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena
kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat
unsur berikut:
a. Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien.
b. Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipergunakan.
c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya.
d. Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan
adanya kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang
berbunyi res

ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal

demikian tenaga kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian
pada dirinya.
Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang
disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis).
Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya
perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek

perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan


sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang
tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang
tertinggal tersebut.
Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan
tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.
2) Malpraktek Pidana
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami
cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam
melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat
tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya pada kasus
aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus
gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong,
serta memberikan surat keterangan yang tidak benar. Contoh kasus
intensional:

Melakukan aborsi tanpa indikasi medik

Melakukan euthanasia

Membocorkan rahasia kedokteran

Tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang sedang


dalam keadaan emergensi meskipun tahu tidak ada dokter lain
yang akan menolongnya (negative act).

Menerbitkan surat keterangan yang tidak benar.

Membuat visum et repertum yang tidak benar.

Memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan


dalam kapasitasnya sebagai ahli.

b. Malpraktek

pidana

karena

kecerobohan

(recklessness),

misalnya

melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan
standar

profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan

tindakan medis. Contoh kasus recklessness:

Melakukan tindakan medis yang tidak sesuai prosedur (legeartis).

Melakukan tindakan medis tanpa informed consent.

c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat


atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang
kurang hati-hati. Contoh kasus negligence:

Alpa atau kurang hari-hati sehingga meninggalkan gunting dalam


perut pasien.

Alpa atau kurang hati-hati sehingga pasien menderita luka-luka


(termasuk cacat) atau meninggal dunia.

3) Malpraktek Administratif
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan
pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya
menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan
yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin
yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
3.2.3 Teori-teori malpraktek
Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek
yaitu:
a. Teori Pelanggaran Kontrak
Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek
adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum
seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang
bilamana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga
kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru
terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut.Apabila
terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan
pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang bertindak
atas nama dan mewakili kepentingan penderita. Apabila hal ini juga tidak
mungkin, misalnya dikarenakan sehubungan dengan adanya hubungan kontrak

pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga
kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama.
Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat
misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya.penderita
gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain
yang kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut
perundang-undangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan
memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum
telah dianggap sebagai perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.
b Teori Perbuatan Yang Disengaja
Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk
menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang
dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara
fisik mengalami cedera (asssult and battery).
c. Teori Kelalaian
Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah
kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang
dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu
kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat
(culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan
merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum. Selain dikenal adanya
beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktek, yang apabila ditinjau dari
kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak pasien dan para
aparat penegak hukum, karena dengan teori-teori tersebut pasien dapat
mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat hukum dapat
dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan.
Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan
pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek. Teori-teori itu adalah:
a. Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung
dari tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk

melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko
dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori ini
mempunyai arti yang sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama tindakan
tenaga kesehatan itu bertujuan untuk indikasi medis.
b. Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh
pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c. Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan
malpraktek adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus
dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah
sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek.Teori pembelaan ini bersifat
spekulasi karena berhasil tidaknya tenaga kesehatan menggunakan pembelaannya,
yang dalam hal ini berupa perjanjian khusus dengan pasien, hasinya sangat
tergantung pada penilaian pengadilan.
d. Peraturan Good Samaritan
Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan
gawat darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat
dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi
suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e. Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari
seluruh tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan
penyelesaian bersama.
Teori pembelaan yang berupa pembebasan ini, hanya dapat dilaksanakan
sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut menyangkut tanggungjawab
perdata (masuk kategori hukum perdata), misalnya wanprestasi, sebab dalam
kasus ini hanya melibatkan kedua belah pihak yang saling mengadakan kontrak
atau janji saja. Dalam hal ini apabila mereka ternyata dapat bersepakat untuk
menyelesaikan bersama dengan damai, itu lebih baik, karena sesuai dengan tujuan

yang hendak dicapai dalam penyelesaian kasus perdata, yaitu adanya suatu
perdamaian antara kedua belah pihak.
Tetapi apabila kesalahan tenaga kesehatan itu termasuk dalam kategori
hukum pidana (tanggung jawab pidana) misalnya terjadi kelalaian berat sehingga
mengakibatkan meninggalnya pasien, maka teori ini tidak dapat diterapkan, sebab
bicara hukum pidana berarti bicara tentang hukum publik, yang menyangkut
kepentingan umum bersama. Oleh karena itu apabila telah terbukti tenaga
kesehatan telah melakukan malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan
padanya, karena kalau tidak, berarti kita tidak mendidik kepada masyarakat pada
umumnya untuk sadar terhadap hukum yang berlaku, sehingga selanjutnya akan
sangat sulit untuk menegakkan hukum itu sendiri. Disamping itu, kalau teori ini
diterima dalam kasus pidana dikhawatirkan tiap perbuatan malpraktek seorang
tenaga kesehatan tidak akan ada sanksi hukumnya, sehingga dapat mengurangi
tanggung jawab dan sikap hati-hatinya seorang tenaga kesehatan di dalam
menjalankan tugasnya.
f. Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam jangka
waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan
hukum yang lain.
g. Workmens Compensation
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus
malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama,
maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus malpraktek
yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan menurut peraturan
workmens compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi
setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa
dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka. Akan tetapi walaupun dengan
adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak berarti seorang tenaga kesehatan
boleh bertindak semaunya kepada pasien. Walaupun terdapat teori-teori
pembelaan tersebut, juga harus dilihat apakah tindakan tenaga kesehatan telah
sesuai dengan standar profesi. Apabila tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak

sesuai dengan standar profesi, maka teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat
dijadikan alasan pembelaan baginya.
Misalnya pada peraturan good Samaritan yang menyebutkan bahwa
seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat pada
peristiwa darurat dapat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek. Walaupun
terdapat peraturan good samaritan ini, seorang tenaga kesehatan dalam
memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat tetap harus
memberikan pertolongannya dengan sepenuh hati berdasarkan pengetahuan dan
keahlian yang dimilikinya. Apabila dalam memberikan pertolongan gawat darurat,
seorang tenaga kesehatan hanya memberikan pertolongan yang sekedarnya dan
tidak sungguh-sungguh dalam menggunakan pengetahuan dan keahliannya, jika
terjadi sesuatu hal yang membahayakan kesehatan atau nyawa orang yang
ditolongnya itu, maka tenaga kesehatan tersebut tetap dapat dituntut secara
hukum.
3.3 Kelalaian medik
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu
(komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi)
yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama
pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya
kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang
dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya
(berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan
kerugian atau cedera bagi orang lain.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance
dan nonfeasance.
a. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis
tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper).

b. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi


dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya
melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
c. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya.
Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error
(mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada
kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum - khususnya
adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian
pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk.
3.4 Resiko medik
Istilah risiko medik mempunyai makna yang sangat luas. Risiko medik
terbangun dari kata Risiko dan Medik. Risiko sendiri berasal dari kata risk
yang dalam bahasa Inggris berarti: The possibility of something bad happening
at some time in the future; a situation that could be dangerous or have a bad
result(Wehmeir, 2005), atau kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak baik
dikemudian hari; situasi yang dapat membahayakan atau mempunyai hasil yang
tidak baik.
Kata medik disini dimaksudkan untuk tindakan medik yang dilakukan
dokter. Arti tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap
pasien berupa diagnostik atau terapeutik. Dari perspektif risk dan tindakan
medik dapat kita artikan yang dimaksud dengan risiko medik adalah keadaan
atau situasi yang tidak diinginkan yang mungkin timbul setelah dilakukannya
tindakan medik oleh dokter.
Pengertian tindakan medik sendiri Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
(PERMENKES) Nomor 585/MEN.KES/PER/IX/1989 dan sebagaimana telah
dicabut dengan (PERMENKES) Nomor 290/MEN.KES/PER/III/2008, dengan
pengertian tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif,
diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien. Dalam PERMENKES juga disebut bahwa Tindakan Invasif

adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan


tubuh. Jadi, tindakan medis dapat dilakukan antara lain dengan tiga cara, yaitu:
(1). Penegakan diagnosa,
(2). Melakukan terapi (pengobatan),
(3). Melakukan tindakan invasif.
Tindakan invasif sebenarnya merupakan bagian dari terapi. Namun, karena
tindakan ini sangat sarat dengan aspek etik, hukum dan medis (misalnya dengan
melukai tubuh pasien saat melakukan tindakan operasi), maka dalam penulisan ini
dikelompokkan menjadi bagian yang berdiri sendiri.
Risiko tindakan medis dapat terjadi dalam setiap rangkaian proses
pengobatan, seperti pada penegakan diagnosa, saat dilakukan operasi, penentuan
obat dan dosisnya, pasca operasi dan lain sebagainya. Risiko medik juga dapat
terjadi di semua tempat dilakukannya pengobatan: di rumah sakit, klinik, praktik
dokter, apotik, di rumah pasien, di tempat umum (pada kegiatan immunisasi,
misalnya), dan lain-lain.
Bentuk risiko medik bermacam-macam, seperti: kesalahan medic (medical
error, preventable medical error); kecelakaan medik (medical accident; medical
misadventure atau medical mishap); kelalain medik (medical negligence); adverse
event; adverse incident dan lain sebagainya.
Daldiyono menggunakan istilah Risiko dari aspek upaya pengobatan
yang artinya: hasil yang tidak memuaskan, tidak diharapkan, yang sebagian tidak
dapat diprediksi dalam proses pertolongan kepada orang sakit (Daldiyono, 2007).
Selanjutnya Daldiyono mengaitkan risiko medik ini dengan musibah
medik, yang dapat terjadi pada berbagai fase atau tingkatan:
a. Saat memilih dokter,
b. Kesimpulan atau diagnosis dokter yang kurang tepat,
c. Obat yang tidak tepat,
d. Risiko efek samping obat,
e. Risiko pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan untuk diagnosis,
f. Risiko operasi:
g. Risiko bius/ anastesi,

h. Risiko proses pembedahan,


i. Risiko proses pemulihan pasca operasi, termasuk proses penyembuhan
yang tidak lancar dan infeksi pasca operasi.
Dari beberapa literatur berkenaan dengan medical risk diketahui ada
perbedaan antara risiko relatif (relative risk) dan risiko mutlak (absolute risk).
Risiko relatif tindakan medik artinya risiko itu bersifat individual dan tidak
diperkirakan sebelumnya, sedangkan risiko mutlak bersifat umum, artinya semua
orang yang mendapatkan tindakan medik itu akan mendapatkan risiko yang sama
dan sudah diperkirakan sebelumnya.
Risiko relatif dapat dicontohkan dengan orang yang tidak tahan dengan
suntikan penicillin sehingga menyebabkan reaksi anafilaktik. Risiko mutlak
misalnya rontoknya rambut setelah seseorang menjalani kemoterapi pengobatan
kanker.
Risiko medik ini harus diantisipasi oleh dokter agar tidak muncul gugatan
atau tuntutan malpraktik medik. Untuk itulah dibutuhkan Persetujuan Tindakan
Kedokteran (informed consent) seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan

(PERMENKES)

Nomor

290/MEN.KES/PER/III/2008

tentang

Persetujuan Tindakan Kedokteran.


3.5 Visum et Repertum
3.5.1

Definisi dan dasar hukum Visum et Repertum


Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas

permintaan tertulis (resmi) penyidik


seseorang manusia baik hidup maupun

tentang pemeriksaan medis


mati

ataupun

bagian

terhadap

dari

tubuh

manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk


kepentingan peradilan.
Menurut Budiyanto et al, dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai
berikut:
Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka,

keracunan

ataupun

mati

yang

diduga

karena

peristiwa

yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan

permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter


dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.
Yang

berwenang meminta

keterangan

ahli

adalah

penyidik

dan

penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP.
Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1)
butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah
penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan
kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena visum et repertum adalah keterangan
ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka
penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum,
karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP).
Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan
sanki pidana :
Pasal 216 KUHP :
Barangsiapa

dengan

sengaja

tidak

menuruti

perintah

permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat

atau
yang

tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya,


demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak
pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalanghalangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda
paling banyak sembilan ribu rupiah.
3.5.2

Peranan dan fungsi Visum et Repertum


Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana

tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses

pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia,


dimana VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang
tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai
pengganti barang bukti.
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter
mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian
kesimpulan. Dengan

demikian visum

et

repertum

secara

utuh

telah

menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca


visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada
seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada
perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.
Apabila

visum

et

repertum

belum

dapat

menjernihkan

duduk

persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau
diajukannya bahan baru, seperti yang

tercantum

dalam

KUHAP,

yang

memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang


bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat
hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180
KUHAP.
Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk
mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu
berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi
Hakim

sebagai alat bukti

formal untuk

menjatuhkan

pidana

atau

membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu
Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit
tentang tata laksana pengadaan visum et repertum.
3.5.2

Struktur dan isi Visum et Repertum


Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai

berikut:
a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa
b. Bernomor dan bertanggal

c. Mencantumkan kata Pro Justitia di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan
temuan pemeriksaan
f. Tidak menggunakan istilah asing
g. Ditandatangani dan diberi nama jelas
h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut
i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada
lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik
POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut
dapat diberi visum et repertum masing-masing asli
k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya,
dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun
3.6 Dasar-dasar yang mengatur pelanggaran dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran gigi
3.6.1

Menurut UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29


TAHUN

2004

TENTANG

PRAKTIK

KEDOKTERAN,

Bab

Ketentuan Pidana:
Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar
atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki
surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau
surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara
lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan
kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter
atau dokter gigi yang:
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1); atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Pasal 80
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara
paling

lama

10

(sepuluh)

tahun

atau

denda

paling

banyak

Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi
hukuman tambahan berupa pencabutan izin.
3.6.2

Menurut

PERATURAN

KONSIL

KEDOKTERAN

INDONESIA

NOMOR 15/KKI/PER/VIII/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA


KERJA

MAJELIS

INDONESIA

DAN

KEHORMATAN
MAJELIS

DISIPLIN

KEDOKTERAN

KEHORMATAN

DISIPLIN

KEDOKTERAN INDONESIA DI TINGKAT PROVINSI, BAB IV


SANKSI DISIPLIN
Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MKDKI berdasarkan UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 69 ayat (3)
adalah :

1. pemberian peringatan tertulis;


2. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik;
dan/atau
3. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
yang dimaksud dapat berupa:
a. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau
b. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap
atau selamanya;
Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi yang dimaksud dapat berupa :
a. pendidikan formal; atau
b. pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang
pendidikan atau

di institusi

sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana

pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan


paling lama 1 (satu) tahun.
3.6.3

Menurut

KEPUTUSAN

NOMOR:

SKEP/035/PB

PDGI/V/2008

TENTANG PEDOMAN KERJA MAJELIS KEHORMATAN ETIK


KEDOKTERAN GIGI INDONESIA PENGURUS BESAR PERSATUAN
DOKTER GIGI INDONESIA, Pasal 32S a n k s i :
Sanksi dilaksanakan oleh pengurus PDGI

sesuai keputusan sidang

MKEKG
1. Sanksi tersebut berupa:
a. Peringatan lisan berlaku paling lama 6 bulan
b. Peringatan tertulis berlaku paling lama 6 bulan
c. Penarikan rekomendasi PDGI untuk mendapatkan SIP paling lama 12 bulan.

2. Sanksi peringatan lisan disampaikan langsung kepada teradu dalam sidang


MKEKG.
3. Sanksi peringatan tertulis disampaikan secara langsung kepada teradu dalam
sidang MKEKG, diikuti dengan peringatan tertulisnya.
4. Dalam hal

peringatan lisan

telah disampaikan

tetapi tetap tidak ada

perbaikan paling lama 6 bulan, dilanjutkan dengan peringatan tertulis.


5. Peringatan tertulis dapat diberikan sebanyak 3 kali .
6. Dalam hal peringatan tertulis telah diberikan sebanyak 3 kali tetap belum
ada perbaikan, diusulkan pencabutan rekomendasi untuk memperoleh SIP.
7. Keputusan MKEKG yang telah diterima oleh teradu ditindaklanjuti oleh PDGI.

BAB 4. KESIMPULAN

Pada skenario, dokter bisa dikategorikan dalam resiko medik karena dokter
sudah melaksanakan perawatan/tindakan sesuai dengan SOP dibidangnya
yaitu seorang dokter gigi puskesmas untuk memberikan antibiotik. Tetapi bisa
juga dikatakan sebagai malpraktek karena dokter tidak segera merujuk ke
rumah sakit karena penanganan Phlegmon harus ditangani oleh ahli bedah
mulut dan tidak tersedianya sarana dan prasaran yang memadai di Puskesmas
untuk menangani pasien.

Untuk pelanggarannya, dokter gigi tersebut bisa diberikan hukuman pidana


dan atau hukuman perdata.

DAFTAR BACAAN
Gordon, W. Pedersen, D.D.S. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC
J Guwandi, 2007, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Isfandyarie,
A.
Malpraktek
dan
Resiko
Medik.
http://id.shvoong.com/books/1933978-malpraktek-dan-resiko-medik/
Pane, A.H. Analisa Teoritis Kemungkinan Penerapan Daubert Standard
Sebagai Syarat Admisibilitas (Admissibility) Keterangan Ahli Dalam
Perkara
Dugaan
Malpraktik
Medik
di
Indonesia.
http://amirhamzahpane.wordpress.com/2011/04/15/analisa-teoritiskemungkinan-penerapan-daubert-standard-sebagai-syarat-admisibilitasadmissibility-keterangan-ahli-dalam-perkara-dugaan-malpraktik-medik-diindonesia/ April 15, 2011
Sampurna, B. Malpraktik Kedokteran. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. Jakarta Pusat.
http://malprate.webs.com/malpraktikkedokteran.htm
Siswoyo. Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan
Kesehatan. http://waspadamedan.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=2085:masalah-malpraktek-dankelalaian-medik-dalam-pelayanankesehatan&catid=69:kesehatan&Itemid=241 Monday, 14 June 2010 06:21
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. http://hukumkes.wordpress.com/2009/05/26/uu-no-292004tentang-praktik-kedokteran/
http://www.freewebs.com/malprate/malpraktikkedokteran.htm
http://www.dr-thia.com/2009/12/visum-et-repertum-pendahuluan-visum-et.html
http://yusufalamromadhon.blogspot.com/2007/11/malpraktik-ataumalpraktek_17.html

Anda mungkin juga menyukai