Anda di halaman 1dari 13

BAGIAN ILMU BEDAH MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HASANUDDIN
Laporan Lengkap

EFEKTIVITAS DARI ROPIVACAINE DAN MEPIVACAINE


TERHADAP RASA SAKIT POST OPERATIF SETELAH
PEMBEDAHAN MOLAR TIGA
(The Effectiveness of Ropivacaine and Mepivacaine in the Postoperative Pain after
Third Lower Molar Surgery)
Vito Crincoli, Gianfranco Favia, Luisa LImongelli, Angela Tempesta, Nicola Brienza

Nama

: Ince Tien Ayu Nilam Kusuma Maulana

Stambuk

: J111 11 149

Pembimbing

: drg. Abul Fauzi, Sp. BM

Tanggal Baca

: Selasa, 9 Februari 2016

Tempat

: RS. Gigi dan Mulut drg. Hj. Halimah Daeng Sikati

Sumber Journal

: International Journal of Medical Sciences,


p.862-866/Vol12/issue 11/2015

DIBACAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
MAKASSAR
2016

EFEKTIVITAS DARI ROPIVACAINE DAN MEPIVACAINE TERHADAP


RASA SAKIT POST OPERATIF SETELAH PEMBEDAHAN MOLAR TIGA
(The Effectiveness of Ropivacaine and Mepivacaine in the Postoperative Pain after
Third Lower Molar Surgery)
Vito Crincoli, Gianfranco Favia, Luisa LImongelli, Angela Tempesta, Nicola
Brienza
ABSTRAK
Tujuan : Untuk membandingkan efisiensi dari 0.75% ropivacaine dengan 3%
mepivacaine untuk kontrol rasa sakit pada 24 jam pertama setelah pembedahan molar
tiga bawah, menggunakan pengukuran kuantitatif seperti VAS. Tujuan sekunder
adalah mengenai analgesia bantuan.
Metode : Empat puluh lima pasien, 21 wanita dan 24 pria, dengan usia rata-rata 23.2
3 tahun, menjalani pengangkatan molar tiga pada dua sesi yang terpisah. Desain
split mouth dipilih, sehingga setiap pasien menjalani baik pembedahan pertama dan
kedua, dengan anastesi untuk tiap ekstraksi dengan anastesi yang berbeda. Ekstraksi
yang kedua dilaksanakan satu bulan selanjutnya. Parameter yang dievaluasi adalah :
onset anastesia, durasi pembedahan, kebas pada bibir, waktu untuk timbul rasa sakit
dan pertama kali dilaksanakan intake analgesik pertama.
Hasil : Tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai onset anastesia, durasi dari
prosedur pembedahan, dan waktu untuk intake analgesik pertama yang didapatkan.
Di lain pihak, kebas pada bibir lebih lama setelah penggunaan ropivacaine (p <
0.0001) dan onset untuk rasa sakit post operatif lebih lama setelah anastesi dengan
ropivacaine (p=0.0048). Skor rasa sakit pada 1 dan 2 jam setelah pembedahan
didapatkan sebesar 3.5 2.0 dan 4.1 1.3 setelah injeksi dengan mepivacaine, dan
2.7 2.2 dan 2.9 2.4 setelah pemberian ropivacaine (nilai p =0.006 untuk kedua titik
waktu). Tidak ada perbedaan yang signifikan yang tercatat antara dua anastetik pada
12 dan 24 jam post pembedahan.
Simpulan : Dengan penggunaan ropivacaine, rasa tidak nyaman yang disebabkan
oleh sensasi kebas yang berkepanjangan diimbangi dengan ketidaknyamanan yang
kurang dirasakan setelah pembedahan. Sebagai tambahan, ketika diperbandingkan
dengan anastetik dengan aksi panjang, ropivacaine memastikan profil anastetik yang
lebih aman untuk pasien dengan kondisi medik yang kompleks.
Kata kunci : anastetik lokal, bedah molar tiga, rasa sakit post operatif.

PENDAHULUAN
Anastesi lokal untuk bedah mulut biasanya dilakukan dengan obat dengan masa kerja
pendek dan aman, seperti mepivacaine atau articaine. Ide untuk menggunakan
anastesi lokal dengan masa aksi panjang, seperti bupivacaine atau derivatnya yang
lebih aman seperti ropivacaine dan levobupivacaine, akan meningkatkan kualitas
pelayanan setelah pengangkatan molar tiga mandibula berdasarkan fakta bahwa
sebagian rasa yang dialami paska operasi akan dibebankan dari sisa efek anastetsi
yang bekerja, seperti menurunkan rasa sakit

atau konsumsi analgesik. Namun,

keuntungan tertentu diimbangi dengan adanya resiko besar untuk toksisitas.


Ropivacaine merupakan anastesi lokal amida enansiomer murni (S-enantiomer)
dengan aksi panjang, yang secara struktural berhubungan dengan bupivacaine, tetapi
dengan toksisitas kardiak dan neurotoksisitas yang rendah. Data yang tersedia
menunjukkan ropivacaine sangat sesuai untuk anastesi regional. Dan telah dilakukan
uji dalam bidang kedokteran gigi dengan hasil yang memuaskan mengenai durasi dan
aksinya. Pada uji acak terbaru, ropivacaine diperbandingkan dengan ligocaine
hydrochloride untuk ekstraksi molar tiga bawah. Tujuan utama untuk penelitian ini
adalah untuk membandingkan efisiensi dari 0.75% ropivacaine dengan 3%
mepivacaine, yang merupakan anastetik yang paling sering digunakan dalam
kedokteran gigi, untuk kontrol rasa sakit pada 24 jam pertama setelah pembedahan,
menggunakan pengukuran kuantitatif seperti VAS; dan tujuan sekunder adalah
melibatkan analgesia bantuan.

BAHAN DAN METODE


Penelitian prospektif, acak, terkontrol dilaksanakan dari Januari 2014 hingga
November 2014 di sekolah Kedokteran gigi, Universitas Bari, Itali, sejalan dengan
ketentuan dari Deklarasi Helsinki. Persetujuan panel lembaga eksperimen pada
manusia dan informed consent dari setiap pasien diperoleh. Pasien yang
membutuhkan pengangkatan dengan pembedahan dari molar tiga impaksi direkrut.
Usia > 18 tahun atau < 40 tahun, dan memiliki kesehatan umum baik yang dinilai
melalui riwayat pasien, pemeriksaan klinis, tekanan darah dan denyut nadi,
merupakan kriteria inklusi. Selanjutnya, kedalaman impaksi, angulasi dan hubungan
molar tiga dengan cabang mandibular harus saling tumpang tindih pada kedua sisi.
Kriteria eksklusi adalah : usia < 18 tahun atau >40 tahun, molar tiga rahang bawah
dengan karakteristik dan indikasi untuk ekstraksi yang berbeda, penyakit sistemik
seperti imunosupression, diabetes mellitus, kardiovaskular atau penyakit ginjal,
merokok, mengandung, alergi terhadap antibiotik beta-laktam dan anastetik lokal,
konsumsi obat antibiotik atau obat anti inflamasi yang dapat memberikan pengaruh
terhadap persepsi rasa sakit pada, tanda klinis infeksi dan inflamasi disekitar molar
tiga pada waktu pembedahan, adanya kecemasan yang membutuhkan penggunaan
sedatif atau obat anxiolitik, pada dua minggu sebelum waktu pembedahan. Semua
ekstraksi dilakukan tanpa pemberian premedikasi.
Empat puluh lima pasien, 21 wanita dan 24 pria (usia rata-rata 23,2 3 tahun)
berhasil dikumpulkan untuk penelitian. Pasien ini menjalani dua prosedur
pembedahan, untuk total 90 molar tiga bawah dengan impaksi parsial. Random
sampling dengan pemberian amplop tertutup digunakan untuk menentukan dari kedua

gigi molar yang akan diekstraksi pertama dengan jenis anastetik (mepivacaine atau
ropivacaine) yang akan diberikan untuk ekstraksi pertama. Ekstraksi kedua
dilaksanakan sebulan kemudian menggunakan anastetik lain. Periode wash out
dengan memisahkan kedua pembedahan bertujuan untuk mengeliminasi efek dari
obat pertama, dan mengkondisikan pasien dalam kondisi awal. Setiap pasien tidak
mengetahui tipe anastetik yang digunakan. Semua ekstraksi dilakukan oleh seorang
praktisi yang berpengalaman dengan teknik standar : disinfeksi pada daerah
pembedahan dengan iodine, blok nervus alveolar, infiltrasi dari jaringan lunak bukal,
insisi flap mukoperiosteal triangular, kortikotomi dengan bur yang didinginkan oleh
air pada bur bedah, odontotomi dengan bur yang didinginkan menggunakan air/
water-cooled, ekstraksi gigi dengan bein lurus atauBarry lever, kuretase bedah
denganVolkmann spoon, irigasi dari daerah post ekstraksi dengan larutan saline dan
interupted suture dengan 3/0 polyglactin (Vicryl). Untuk ekstraksi molar dengan
ropivacaine, blok nervus alveolar dilaksanakan dengan larutan 2 mL (7.5 mg/ml
Naropin TMAstraZeneca, Sweden), dan jaringan bukal diinfiltrasi dengan 1.0 mL
dari larutan yang sama, yang diambil dari 10 ml vial ropivacaine. Pada kelompok
mepivacaine (Carbosen), blok nervus alveolar dilaksanakan dengan 1.8 ml larutan (30
mg/ml) tanpa epinefrin. Jaringan lunak bukal dianastesi dengan 1.8 ml larutan (20
mg/ml) dengan larutan anastetsik lokal yang sama dengan 1:80.000 epinephrine.
Konsentrasi

yang

berbeda

didapatkan

dari

ropivacaine

dan

mepivacaine

dikalkulasikan dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan yang serupa. Disamping


itu, epinefrin ditambahkan pada kelompok mepivacaine untuk anastesi jaringan lunak

untuk alasan etika, dengan mempertimbangkan bahwa ropivacaine memiliki sifat


vasokonstriktif intrinsik.
Setiap pasien diresepkan terapi antibiotik post beda oral (Amoxicillin + clavulanic
acid 1 g tablet dua kali sehari untuk 6 hari). Untuk mengatasi rasa sakit, disarankan
untuk pemberian ibuprofen 600 mg.
Pada periode intrraoperatif, dilaksanakan evaluasi untuk parameter berikut : 1) onset
anastesi (periode antara akhir pemberian anastesi lokal dan onset anastesia pada bibir
bawah); 2) durasi pembedahan (dari waktu insisi hingga penutupan luka).
Ketika selesai, pasien ditanyakan oleh satu evaluator yang tidak mengetahui tipe
anastetik yang digunakan untuk melengkapi formulir laporan : 1) intesitas rasa sakit
postoperatif pada skala visual analog (VAS) pada 1, 2, 12 dan 24 jam setelah
pembedahan, 2) durasi dari kebas pada bibir dengan mengetuk ringan bibir bawah
dengan jari tengah atau jari telunjuk, 3) selang waktu untuk intake analgesik pertama
kali, 5) efek merugikan lain (gambar 1).

Gambar 1. Formulir pasien post operatif

Untuk memperbandingkan efektifitas dari dua anastetik yang berbeda terhadap


kontrol rasa sakit, dipilih desain split mouth, dimana tiap dua perawatan secara
acak dilaksanakan pada baik bagian kanan atau kiri dari geligi pasien. Dengan
melaksanakan perbandingan perawatan pada pasien yang sama, dibandingkan untuk
melakukan perbandingan pada pasien yang berbeda, varians kesalahan (noise) dari
eksperimen dapat diturunkan, yang oleh karena itu lebih mendapatkan uji statisika
yang lebih kuat. Keuntungan dari desain ini adalah menghilangkan banyak dari
variabilitas inter individual dari perkiraan efek perawatan.
ANALISIS STATISTIKA
Penelitian pendahuluan dengan mepivacaine mengindikasikan bahwa 45 pasien
dibutuhkan dengan tujuan uji untuk mendapatkan kekuatan deteksi sebesar 80% pada
penurunan 1 poin VAS dengan ropivacaine, pada =0.05.
Data mengenai sensasi kebas pada bibir, waktu untuk timbulnya rasa sakit dan
konsumsi analgesik dikonversi ke dalam menit; onset waktu ditunjukkan dalam
bentuk detik.
Data yang terdistribusi normal kontinyu dinyatakan dalam bentuk rerarta standar
deviasi (SD) dan dibandingkan dengan uji t student berpasangan. Data yang tidak
berdistribusi normal ditunjukkan dalam median dan rentang interkuartil dan
diperbandingkan dengan uji Wilcoxon untuk sampel yang berpasangan. Data
kategorial ditunjukkan dalam bentuk angka dan persentase dan diperbandingkan
menggunakan uji chi squared (2) atau uji Fishers exact. Efek pada sepanjang waktu
dievaluasi dengan analisis varians (ANOVA). Dilakukan Uji Newman-Keuls post-hoc

untuk mendeteksi semua perbedaan yang signifikan antar kelompok. Pada semua
perbandingan, nilai p <0.05 dianggap signifikan secara statistika.
HASIL
Tabel 1 menunjukkan data mengenai onset anastesia, durasi bedah, durasi kebas pada
bibir bawah, onset rasa sakit post operatif dan waktu yang dibutuhkan untuk intake
analgesik pertama kali.
Tabel 1. Onset anastesia, durasi pembedahan, durasi kebas pada bibir, penudaan
terhadap onset rasa sakit, penudaan intake analgesik bantuan
Anastesia mepivacaine Anastesia
nilai p
(N=45)
ropivacaine
(N=45)
Onset anastesia (detik)
120 (62-173)
140 (60-152)
Ns
median (kuartil)
Durasi
pembedahan 19.8 7
21.9 8.4
Ns
(menit)
rerata SD
Durasi kebas pada bibir 169 (157-182)
409 (266-496)
< 0.0001
(menit)
Median (kuartil)
Waktu yang dibutuhkan 154 (75-194)
173 (123-330)
0.0048
untuk onset rasa sakit
(menit)*
median (kuartil)
Waktu yang dibutuhkan 333 (110-569)
357 (127-498)
Ns
untuk intake analgesik
bantuan (menit)
median kuartil
*42 pasien

Data mengenai onset tidak memberikan perbedaan yang signifikan secara statistik.
Dilain pihak, data mengenai sensasi kebas pada bibir bawah lebih panjang setelah
penggunaan roppivacaine (nilai p < 0.0001). Pada tiga kasus, onset rasa sakit post
operatif tidak dicatat. Oleh karena itu hanya dilakukan analisis pada 42 pasien. Onset

rasa sakit post operatif lebih lambat setelah anastesi dengan ropivacaine (nilai p =
0.0048). tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik mengenai waktu dari
intake analgesik pertama antara dua sesi pembedahan. Skor rasa sakit pada 1 dan 2 jam
setelah pembedahan didapatkan sebesar 3.5 2.0 dan 4.1 1.3 setelah injeksi dengan
mepivacaine , dan 2.7 2.2 dan 2.9 2.4 setelah injeksi ropivacaine (nilai p =0.006
untuk kedua titik waktu). Tidak ada perbedaan yang signifikan tercatat pada skor rasa
sakit pada 12 dan 24 jam post pembedahan (gambar 2). Tidak ada efek samping yang
dilaporkan baik dengan penggunaan mepivacaine atau ropivacaine.

Gambar 2. Rerata ( SD) skor VAS pada 1,2,12, dan 24 jam setelah pembedahan pada kelompok
mepivacaine (batang hitam) dan ropivacaine (batang berwarna putih) *= p< 0.05 antar kelompok

DISKUSI
Agen anastetik lokal dengan aksi panjang disarankan pada perawatan gigi dengan
durasi panjang untuk kontrol terhadap rasa sakit post pembedahan. Walau anastetik
yang tersedia untuk bidang kedokteran gigi memiliki efek samping yang minimal
untuk dosis yang biasa digunakan, namun agen ini berpotensial untuk menyebabkan

masalah. Sebagai contoh, bupivacaine, menunjukkan efek toksik pada sistem saraf
pusat dan sistem kardiovaskular, sedangkan etidocaine dapat mempengaruhi
perdarahan intraoperatif. Ropivacaine menunjukkan kesempatan lain dibanding agen
dengan aksi panjang yang telah digunakan. Pada uji ini, perbandingan antara
ropivacaine dan mepivacaine mengenai onset waktu menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan. El-Sharrawy dkk mengemukakan bahwa terdapat
peningkatan konsentrasi dari ropivacaine menurunkan onset waktu dari blok nervus
periferal yang disebabkan adanya jumlah molekul yang lebih besar yang mampu
untuk berpenetrasi ke saraf per unit waktu. Sebaliknya, larutan ropivacaine tidak
memberikan efek anastetik dengan aksi panjang seperti yang ditunjukkan dengan
durasi kebas pada bibir bawah yang lebih panjang ketika dibandingkan dengan
mepivacaine. Observasi ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan
sensasi kebas yang dirasakan lebih dari 4 jam dan pemulihan mati rasa total dan
sensasi kebas setelah 6 jam dengan ropivacaine pada bedah mulut. Hasil ini sejalan
dengan karakteristik intrinsik ropivacaine. Liposolubilitas rendah menghambat
serabut saraf yang terlibat dalam transmisi rasa sakit (serabut A tipis dan C) hingga
ke derajat yang lebih besar yang memberikan kontrol fungsi motorik (serabut A
tebal). Tidak seperti kebanyakan anastetik lokal, yang bersifat vasodilator,
ropivacaine memproduksi vasokontriksi in vitro dan in vivo pada model hewan.
Kemampuan vasokonstriktif dan ikatan yang kuat terhadap protein plasma
memperpanjang durasi anastesia. Terutama, durasi yang lebih panjang dari kebas
pada bibir merupakan ciri khusus yang paling signifikan dari ropivacaine. Namun,
efek ini dapat menyebabkan kesulitan untuk makan, minum atau berbicara dan

ketidaksengajaan untuk mengigit bibir. Kennedy dkk mengamati bahwa durasi dari
anastesia pulpa lebih pendek untuk penggunaan ropivacaine tanpa epinefrin, yang
menyatakan bahwa penggunaan adrenalin untuk memperpanjang durasi dari anastesi
jaringan lunak diinduksi oleh ropivacaine. Namun, dalam penelitian ini, ropivacaine
walau tanpa penambahan epinefrin, ketika diperbandingkan dengan mepivacaine
dengan epinefrin, dapat mencapai kontrol rasa sakit yang baik pada dua jam pertama
setelah ekstraksi gigi. Tidak adanya perbedaan yang signifikan pada intensitas rasa
sakit pada evaluasi VAS berikut (12 dan 24 jam) berkaitan dengan penggunaan
analgesik sistemik. Berdasarkan fakta, selang waktu untuk analgesik pembantu
didapatkan serupa antara mepivacaine dan ropivacaine. Hasil ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya, dimana penggunaan levobupivacaine berkaitan dengan baik
durasi analgesia yang lebih panjang dan waktu yang dibutuhkan untuk intake
analgesik

pembantu

yang

signifikan

dibanding

mepivacaine.

Enberg

dkk

mengikutkan 30 individual sehat yang menerima injeksi ropivacaine pada tiga


konsentrasi acak (2.0, 5.0 or 7.5 mg/ml) untuk anastesi infiltrasi dan blok nervus
mandibular. Peneliti ini menunjukkan bahwa hanya ropivacaine dengan konsentrasi
7.5 mg/ml yang menghasilkan durasi yang panjang baik untuk anastesia pulpa dan
jaringan lunak. El-Sharrawy dkk menguji efisiensi anastetik dari konsentrasi
ropivacaine yang berbeda (0.75%, 0.5%, 0.375% atau 0.25%) untuk blok nervus
alveolaris. Data El-Sharrawy menunjukkan bahwa konsentrasi ropivacaine sebesar
0.5% dan 0.75% efektif untuk blok nervus alveolar dan memproduksi onset yang
cepat dan kontrol rasa sakit yang panjang. Buris menggunakan 0.75% ropivacaine
untuk anastesi infiltrasi pada delapan pasien yang menjalani ekstraksi molar tiga atas

dan bawah, cystectomy, apikoektomi dan ekstraksi gigi lain dan menyimpulkan
bahwa konsentrasi ini memberikan keberhasilan dan anastesi dengan aksi kerja
panjang. Brkovic dkk menilai efisiensi klinis dan efek hemodinamik dari ropivacaine.
Kebutuhan post operatif untuk analgesik diamati pada 67-100% pasien. Meechan
memperbandingkan efisiensi dari 0.75% dan 1% ropivacaine dengan 2% lidocaine
dengan 1:80,000 epinefrin untuk anastesi intraligamen pada insisivus lateral atas.
Peneliti menyimpulkan bahwa lidocaine dengan epinefrin lebih berhasil dibanding
ropivacaine pada konsentrasi uji untuk mendapatkan anastesia pulpa. Dengan
mempertimbangkan beberapa penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini juga
digunakan ropivacaine dengan konsentrasi 0.75%, yang terlihat merupakan
konsentrasi yang paling efektif. Desain penelitian split mouth dipilih untuk
menghilangkan semua bias yang dapat terjadi. Ukuran sampel merupakan masalah
utama dengan penggunaan protokol ini, yang disebabkan adanya kesulitan untuk
menemukan karakteristik yang serupa pada pasien. Namun, semua faktor yang dapat
mengaburkan hasil terkait dengan karakteristik subjek dihilangkan, memastikan
bahwa uji akurat dan hasil yang didapatkan layak dan konklusif
Hasil dari uji ini menunjukkan bahwa walau ropivacaine memiliki efek residual pada
waktu awal post operatif, efek ini bersifat lemah dari kualitas keseluruhan analgesia,
dimana tidak ada perbedaan yang signifikan pada skor rasa sakit yang dicatat antara
dua kelompok pada 12 dan 24 jam post pembedahan.
SIMPULAN
Dengan penggunaan ropivacaine, rasa tidak nyaman yang disebabkan oleh kebas di
bibir yang berkepanjangan dapat diimbangi dengan kurangnya rasa tidak nyaman post

operatif setelah ekstraksi dari molar tiga bawah. Sebagai tambahan, ketika
diperbandingkan dengan anastestik dengan aksi panjang lain, ropivacaine
memberikan profil anastetik yang aman untuk pasien dengan kondisi medis yang
kompleks.

Anda mungkin juga menyukai