Nama
Stambuk
: J111 11 149
Pembimbing
Tanggal Baca
Tempat
Sumber Journal
PENDAHULUAN
Anastesi lokal untuk bedah mulut biasanya dilakukan dengan obat dengan masa kerja
pendek dan aman, seperti mepivacaine atau articaine. Ide untuk menggunakan
anastesi lokal dengan masa aksi panjang, seperti bupivacaine atau derivatnya yang
lebih aman seperti ropivacaine dan levobupivacaine, akan meningkatkan kualitas
pelayanan setelah pengangkatan molar tiga mandibula berdasarkan fakta bahwa
sebagian rasa yang dialami paska operasi akan dibebankan dari sisa efek anastetsi
yang bekerja, seperti menurunkan rasa sakit
gigi molar yang akan diekstraksi pertama dengan jenis anastetik (mepivacaine atau
ropivacaine) yang akan diberikan untuk ekstraksi pertama. Ekstraksi kedua
dilaksanakan sebulan kemudian menggunakan anastetik lain. Periode wash out
dengan memisahkan kedua pembedahan bertujuan untuk mengeliminasi efek dari
obat pertama, dan mengkondisikan pasien dalam kondisi awal. Setiap pasien tidak
mengetahui tipe anastetik yang digunakan. Semua ekstraksi dilakukan oleh seorang
praktisi yang berpengalaman dengan teknik standar : disinfeksi pada daerah
pembedahan dengan iodine, blok nervus alveolar, infiltrasi dari jaringan lunak bukal,
insisi flap mukoperiosteal triangular, kortikotomi dengan bur yang didinginkan oleh
air pada bur bedah, odontotomi dengan bur yang didinginkan menggunakan air/
water-cooled, ekstraksi gigi dengan bein lurus atauBarry lever, kuretase bedah
denganVolkmann spoon, irigasi dari daerah post ekstraksi dengan larutan saline dan
interupted suture dengan 3/0 polyglactin (Vicryl). Untuk ekstraksi molar dengan
ropivacaine, blok nervus alveolar dilaksanakan dengan larutan 2 mL (7.5 mg/ml
Naropin TMAstraZeneca, Sweden), dan jaringan bukal diinfiltrasi dengan 1.0 mL
dari larutan yang sama, yang diambil dari 10 ml vial ropivacaine. Pada kelompok
mepivacaine (Carbosen), blok nervus alveolar dilaksanakan dengan 1.8 ml larutan (30
mg/ml) tanpa epinefrin. Jaringan lunak bukal dianastesi dengan 1.8 ml larutan (20
mg/ml) dengan larutan anastetsik lokal yang sama dengan 1:80.000 epinephrine.
Konsentrasi
yang
berbeda
didapatkan
dari
ropivacaine
dan
mepivacaine
untuk mendeteksi semua perbedaan yang signifikan antar kelompok. Pada semua
perbandingan, nilai p <0.05 dianggap signifikan secara statistika.
HASIL
Tabel 1 menunjukkan data mengenai onset anastesia, durasi bedah, durasi kebas pada
bibir bawah, onset rasa sakit post operatif dan waktu yang dibutuhkan untuk intake
analgesik pertama kali.
Tabel 1. Onset anastesia, durasi pembedahan, durasi kebas pada bibir, penudaan
terhadap onset rasa sakit, penudaan intake analgesik bantuan
Anastesia mepivacaine Anastesia
nilai p
(N=45)
ropivacaine
(N=45)
Onset anastesia (detik)
120 (62-173)
140 (60-152)
Ns
median (kuartil)
Durasi
pembedahan 19.8 7
21.9 8.4
Ns
(menit)
rerata SD
Durasi kebas pada bibir 169 (157-182)
409 (266-496)
< 0.0001
(menit)
Median (kuartil)
Waktu yang dibutuhkan 154 (75-194)
173 (123-330)
0.0048
untuk onset rasa sakit
(menit)*
median (kuartil)
Waktu yang dibutuhkan 333 (110-569)
357 (127-498)
Ns
untuk intake analgesik
bantuan (menit)
median kuartil
*42 pasien
Data mengenai onset tidak memberikan perbedaan yang signifikan secara statistik.
Dilain pihak, data mengenai sensasi kebas pada bibir bawah lebih panjang setelah
penggunaan roppivacaine (nilai p < 0.0001). Pada tiga kasus, onset rasa sakit post
operatif tidak dicatat. Oleh karena itu hanya dilakukan analisis pada 42 pasien. Onset
rasa sakit post operatif lebih lambat setelah anastesi dengan ropivacaine (nilai p =
0.0048). tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik mengenai waktu dari
intake analgesik pertama antara dua sesi pembedahan. Skor rasa sakit pada 1 dan 2 jam
setelah pembedahan didapatkan sebesar 3.5 2.0 dan 4.1 1.3 setelah injeksi dengan
mepivacaine , dan 2.7 2.2 dan 2.9 2.4 setelah injeksi ropivacaine (nilai p =0.006
untuk kedua titik waktu). Tidak ada perbedaan yang signifikan tercatat pada skor rasa
sakit pada 12 dan 24 jam post pembedahan (gambar 2). Tidak ada efek samping yang
dilaporkan baik dengan penggunaan mepivacaine atau ropivacaine.
Gambar 2. Rerata ( SD) skor VAS pada 1,2,12, dan 24 jam setelah pembedahan pada kelompok
mepivacaine (batang hitam) dan ropivacaine (batang berwarna putih) *= p< 0.05 antar kelompok
DISKUSI
Agen anastetik lokal dengan aksi panjang disarankan pada perawatan gigi dengan
durasi panjang untuk kontrol terhadap rasa sakit post pembedahan. Walau anastetik
yang tersedia untuk bidang kedokteran gigi memiliki efek samping yang minimal
untuk dosis yang biasa digunakan, namun agen ini berpotensial untuk menyebabkan
masalah. Sebagai contoh, bupivacaine, menunjukkan efek toksik pada sistem saraf
pusat dan sistem kardiovaskular, sedangkan etidocaine dapat mempengaruhi
perdarahan intraoperatif. Ropivacaine menunjukkan kesempatan lain dibanding agen
dengan aksi panjang yang telah digunakan. Pada uji ini, perbandingan antara
ropivacaine dan mepivacaine mengenai onset waktu menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan. El-Sharrawy dkk mengemukakan bahwa terdapat
peningkatan konsentrasi dari ropivacaine menurunkan onset waktu dari blok nervus
periferal yang disebabkan adanya jumlah molekul yang lebih besar yang mampu
untuk berpenetrasi ke saraf per unit waktu. Sebaliknya, larutan ropivacaine tidak
memberikan efek anastetik dengan aksi panjang seperti yang ditunjukkan dengan
durasi kebas pada bibir bawah yang lebih panjang ketika dibandingkan dengan
mepivacaine. Observasi ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan
sensasi kebas yang dirasakan lebih dari 4 jam dan pemulihan mati rasa total dan
sensasi kebas setelah 6 jam dengan ropivacaine pada bedah mulut. Hasil ini sejalan
dengan karakteristik intrinsik ropivacaine. Liposolubilitas rendah menghambat
serabut saraf yang terlibat dalam transmisi rasa sakit (serabut A tipis dan C) hingga
ke derajat yang lebih besar yang memberikan kontrol fungsi motorik (serabut A
tebal). Tidak seperti kebanyakan anastetik lokal, yang bersifat vasodilator,
ropivacaine memproduksi vasokontriksi in vitro dan in vivo pada model hewan.
Kemampuan vasokonstriktif dan ikatan yang kuat terhadap protein plasma
memperpanjang durasi anastesia. Terutama, durasi yang lebih panjang dari kebas
pada bibir merupakan ciri khusus yang paling signifikan dari ropivacaine. Namun,
efek ini dapat menyebabkan kesulitan untuk makan, minum atau berbicara dan
ketidaksengajaan untuk mengigit bibir. Kennedy dkk mengamati bahwa durasi dari
anastesia pulpa lebih pendek untuk penggunaan ropivacaine tanpa epinefrin, yang
menyatakan bahwa penggunaan adrenalin untuk memperpanjang durasi dari anastesi
jaringan lunak diinduksi oleh ropivacaine. Namun, dalam penelitian ini, ropivacaine
walau tanpa penambahan epinefrin, ketika diperbandingkan dengan mepivacaine
dengan epinefrin, dapat mencapai kontrol rasa sakit yang baik pada dua jam pertama
setelah ekstraksi gigi. Tidak adanya perbedaan yang signifikan pada intensitas rasa
sakit pada evaluasi VAS berikut (12 dan 24 jam) berkaitan dengan penggunaan
analgesik sistemik. Berdasarkan fakta, selang waktu untuk analgesik pembantu
didapatkan serupa antara mepivacaine dan ropivacaine. Hasil ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya, dimana penggunaan levobupivacaine berkaitan dengan baik
durasi analgesia yang lebih panjang dan waktu yang dibutuhkan untuk intake
analgesik
pembantu
yang
signifikan
dibanding
mepivacaine.
Enberg
dkk
dan bawah, cystectomy, apikoektomi dan ekstraksi gigi lain dan menyimpulkan
bahwa konsentrasi ini memberikan keberhasilan dan anastesi dengan aksi kerja
panjang. Brkovic dkk menilai efisiensi klinis dan efek hemodinamik dari ropivacaine.
Kebutuhan post operatif untuk analgesik diamati pada 67-100% pasien. Meechan
memperbandingkan efisiensi dari 0.75% dan 1% ropivacaine dengan 2% lidocaine
dengan 1:80,000 epinefrin untuk anastesi intraligamen pada insisivus lateral atas.
Peneliti menyimpulkan bahwa lidocaine dengan epinefrin lebih berhasil dibanding
ropivacaine pada konsentrasi uji untuk mendapatkan anastesia pulpa. Dengan
mempertimbangkan beberapa penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini juga
digunakan ropivacaine dengan konsentrasi 0.75%, yang terlihat merupakan
konsentrasi yang paling efektif. Desain penelitian split mouth dipilih untuk
menghilangkan semua bias yang dapat terjadi. Ukuran sampel merupakan masalah
utama dengan penggunaan protokol ini, yang disebabkan adanya kesulitan untuk
menemukan karakteristik yang serupa pada pasien. Namun, semua faktor yang dapat
mengaburkan hasil terkait dengan karakteristik subjek dihilangkan, memastikan
bahwa uji akurat dan hasil yang didapatkan layak dan konklusif
Hasil dari uji ini menunjukkan bahwa walau ropivacaine memiliki efek residual pada
waktu awal post operatif, efek ini bersifat lemah dari kualitas keseluruhan analgesia,
dimana tidak ada perbedaan yang signifikan pada skor rasa sakit yang dicatat antara
dua kelompok pada 12 dan 24 jam post pembedahan.
SIMPULAN
Dengan penggunaan ropivacaine, rasa tidak nyaman yang disebabkan oleh kebas di
bibir yang berkepanjangan dapat diimbangi dengan kurangnya rasa tidak nyaman post
operatif setelah ekstraksi dari molar tiga bawah. Sebagai tambahan, ketika
diperbandingkan dengan anastestik dengan aksi panjang lain, ropivacaine
memberikan profil anastetik yang aman untuk pasien dengan kondisi medis yang
kompleks.