Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

I.

LATAR BELAKANG MASALAH


Keselamatan dan kesehatan kerja ( k3 ) merupakan faktor
yang sangat penting bagi setiap Tenaga kerja, K3 merupakan
bentuk perlindungan kerja dari resiko kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja. K3 merupakan serangkaian instrumen
yang berdaya guna untuk melindungi tenaga kerja, perusahaan,
lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya yang
ditimbulkan dari bahaya akibat kecelakaan kerja.
Setiap perusahaan diwajibkan untuk menerapkan Sistem
Manajemen

K3

yang

terintegrasi

dengan

manajemen

perusahaan. Akan tetapi dalam kenyataannya, pelaksanaannya


masih belum optimal.
K3

berfungsi

merupakan

untuk

melindungi

tenaga

kerja,

juga

hak bagi tenaga kerja atas keselamatan dan

kesehatan kerja, disamping itu juga menjamin keselamatan


setiap orang lain yang sedang berada ditempat kerja, serta
memelihara sumber produksi agar dapat digunakan secara aman
dan efisien dalam meminimalkan resiko kecelakaan kerja ( zero
accident ).

Dengan mengurangi resiko kecelakaan kerja, maka dapat


menghemat banyak biaya ( cost ) pengeluaran perusahaan.
Program K3 dapat dianggap sebagai bentuk investasi jangka
panjang

yang

memberikan

keuntungan

berlimpah

pada

perusahaan dimasa yang akan datang.


Eksistensi K3 mulai muncul bersamaan dengan revolusi
industri di benua eropa, terutama inggris, dengan ditandai
pergeseran penggunaan tenaga manusia dengan mesin-mesin
produksi, penggunaan mesin produksi menjadi lebih efisien
dibandingkan dengan tenaga kerja manusia, karena dapat
menghasilkan jumlah yang berlipat ganda dalam waktu yang
relatif lebih singkat.
Pada awal revolusi industri, K3 belum dianggap sebagai
bagian yang penting dalam perusahaan, karena kecelakaan kerja
merupakan hal biasa sebagai sebuah resiko kerja ( personal
risk ) dan bukan menjadi tanggungjawab perusahaan. Pendapat
ini diperkuat dengan konsep common law defence (CLD) yang
terdiri atas contributing negligence
fellow

servan

assumption

rule

asumsi

ketentuan
resiko

).

( kontribusi kelalaian ),
kepegawaian

Kemudian

),

dan

pendapat

risk
ini

berkembang menjadi employers liability yaitu K3 yang menjadi


tanggung jawab bersama.

Tono, Muhammad : 2002

Keberadaan K3 di Indonesia belum menjadi bagian dari


masalah

kemanusiaan

kemerdekaan,

hal

dan

tersebut

keadilan
dapat

pada

awal

dimaklumi

masa

mengingat

Pemerintah Indonesia masih berada dalam proses transisi


penataan kembali kehidupan politik dan keamanan nasionalnya.
Baru diawal tahun 70-an dengan semakin ramainya investasi
modal

dan

pengadopsian

teknologi

industri

nasional

( manufaktur ), K3 menjadi perhatian utama dan mendorong


Pemerintah

dalam

ketenagakerjaan.

melakukan

regulasi

dibidang

Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja ( k3 ) pada perusahaan


di Indonesia umumnya masih dinggap rendah dibandingkan
dengan negara asia tenggara lainnya, seperti Singapore dan
malaysia. Keadan tersebut mengambarkan bahwa daya saing
perusahaan Indonesia di dunia internasional masih terbilang
rendah. Hal ini akan menyulitkan Indonesia dalam menghadapi
persaingan

pasar

global,

karena

banyak

perusahaan

multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara yang


memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap lingkungan kerja
didalam meningkatkan produktivitas perusahaan yang optimal.
Sistem pelaksanaan K3 di Indonesia pada mulanya ditandai
dengan terbitnya Veiligheids Reglement Staatsblad No. 406
Tahun 1910 yang terwujud ditahun 1908 atas desakan parlemen
2

Danggur Konradus, Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Belanda terhadap Pemerintah Belanda untuk memberlakukan K3


di

Hindia

Belanda.

Kemudian

Pemerintah

Indonesia

menerbitankan UU. Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuanketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja. Pengaturan mengenai
K3 tertuang dalam pasal 9 yang berbunyi Setiap Tenaga Kerja
berhak mendapat perlindungan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja .
Kemudian ditahun 1970, diterbitkanlah UU No. 1 Tahun 1970
yang mengatur tentang Keselamatan kerja, pada pasal 2 ayat (1)
dijelaskan bahwa Yang diatur oleh Undang-Undang ini ialah
keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di
dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara,
yang berada di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia .
Disusul kemudian dengan terbitnya Keputusan Mentri dan
Peraturan Mentri yang berkaitan dengan Undang-Undang diatas ,
yaitu seperti ; Kepmen No.2 Tahun 1970 ( P2k3), Permen No.2
Tahun 1980 tentang Pemeriksaan kesehatan Tenaga Kerja,
Permen No.1 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor penyakit kerja,
Permen No.3 Tahun 1982 tentang pelayanan kesehatan, Permen
No. 5 Tahun 1996 tentang sistem Manajemen K3.
Pengaturan mengenai K3 juga diatur dalam UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 86 dan 87.
Beberapa ketentuan mengenai perlindungan terhadap

pekerja tercantum pada pasal 86 ayat (1), yang berbunyi


bahwa ;
Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas :
a. Keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Moral dan kesusilaan, dan
c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama
Pasal

86

pekerja/buruh

(
guna

untuk

mewujudkan

melindungi
produktivitas

keselamatan
kerja

yang

optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan


kerja.
Pasal 86 (3 ) ; perlindungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undang yang berlaku
Dalam pasal ini jelaslah bahwa setiap buruh mempunyai
hak yang sama dalam segala perlindungan yang berkaitan
dengan Kesehatan, dan keselamatan kerja. Mereka juga dapat
menuntut keadilan jika tidak sesuai dengan ketentuan sebagai
mana yang diatur didalam Undang-Undang.
Pada kenyataannya hal tersebut malah bertolak belakang
dengan fakta yang ada, Karena banyak dari tenaga kerja yang
tidak menyadari betapa pentingnya Keselamatan dan kesehatan

kerja untuk diri mereka sendiri, jika ditanyakan tentang berbagai


masalah mengenai K3, jawaban umum yang seringkali diberikan
oleh mereka adalah tidak begitu memahami masalah tersebut
meskipun pernah sesekali mendengarnya, berarti persoalan K3
bagi

buruh

dianggap

tidak

penting

dibandingkan

dengan

masalah upah minimun dan hak-hak buruh lainnya.


Pelaksanaan

K3

bukan

merupakan

tanggungjawab

pemerintah dan pengusaha saja, tetapi juga merupakan suatu


kewajiban bersama antara pemerintah, pengusaha, perkerja dan
masyarakat.
International labour Organization ( ILO ) memperkirakan di
seluruh dunia ada 6000 pekerja kehilangan nyawa setiap harinya
yang diakibatkan karena kecelakaan dan penyakit akibat resiko
kerja. Selain itu setiap tahun, 270 juta pekerja menderita luka
parah dan 160 juta lainnya mengalami penyakit jangka panjang
ataupun pendek yang sangat terkait dengan resiko pekerjaan
mereka.

Banyak perusahaan tidak menyediakan alat keselamatan


dan pengaman untuk para pekerjanya. dan banyak pengusaha
juga mengabaikan K3 karena enggan untuk mengeluarkan biaya
tambahan. Padahal Hukum sudah sangat ketat mengaturnya

Danggur Konradus, Keselamatan dan Kesehatan Kerja

hanya saja implementasi di lapangan tidak dilakukan secara


maksimal.
Ada

banyak

masalah

yang

menyangkut

dengan

penegakkan K3 ini. Buruh sebagai subyek dari persoalan


seharusnya juga menyadari sepenuhnya persoalan ini dan tidak
hanya sekedar menunggu saja.
Karena bagaimanapun juga perlindungan terhadap tenaga
kerja/buruh menjadi suatu prioritas yang harus didahulukan,
karena buruh adalah faktor penting yang menjadi barometer
maju atau mundurnya suatu perusahaan.

II.

Perumusan Masalah

1.

Mengapa K3 dianggap tidak penting bagi Perusahaan dan


tenaga kerja?

2.

Bagaimana

pihak

perusahaan

dapat

meminimalisasi

kecelakaan dalam melakukan pekerjaan?


3.

Apakah kecelakaan kerja dapat diprediksikan sebelumnya?

4.

Bagaimana K3 dimata hukum?

5.

Bagaimana Sistem Pelaksanaan K3 dalam Jamsostek ?

BAB II
PEMBAHASAN
I.

Mengapa

K3

dianggap

tidak

penting

bagi

Perusahaan, dan tenaga kerja?


Keselamatan dan Kesehatan kerja ( k3 ) menjadi perhatian
penting

bagi

keselamatan

pemerintah
kerja

dan

menjadi

pengusaha,

urgent

karena

karena
terkait

factor
dengan

produktivitas maju atau mundurnya suatu perusahaan, dengan


semakin tersedianya fasilitas K3 maka akan mampu untuk
meminimalisasikan terjadinya kecelakaan kerja.

Namun pada

saat ini kondisi perusahaan di Indonesia lebih mengedepankan


factor keuntungan ( benefit ) yang masih menganggap bahwa
yang paling utama adalah bagaimana caranya mengambil
keuntungan

yang

sebesar-besarnya

sesuai

dengan

prinsip

ekonomi yaitu Dengan modal sekecil-kecilnya namun dapat


menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya , akibatnya
maka factor penyedia sarana dan prasarana dianggap tidak
terlalu penting.
Padahal didalam terjadinya kecelakaan kerja, perusahaan
bertanggungjawab
terjadinya

untuk

kecelakaan

mengcover
kerja

segala

tersebut,

biaya

namun

atas
dalam

pelaksanaannya hal ini tidak dapat tercapai secara maksimal.

Dikarenakan perusahaan masih enggan untuk mengeluarkan


biaya tambahan dalam memfasilitasi progam K3 tersebut.
Padahal berdasarkan pasal 87 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi
(1)

Setiap

perusahaan

manajemen

wajib

menerapkan

sistem

keselamatan dan kesehatan kerja yang

terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.


(2) Ketentuan

Ketentuan

manajemen

mengenai

keselamaatan

dan

penerapan
kesehatan

sistem
kerja

sebagaimana dimaksaud dalam ayat (1) diatur dengan


Peraturan Pemerintah.
Meskipun Sistem Manajemen Kesehatan dan Kecelakaan kerja
sudah terintegrasi didalam manajemen perusahaan, namun
tetap saja pelaksanaannya tidak terlaksana secara maxsimal,
sehingga kecelakaan yang diakibatkan dari resiko pekerjaan,
tetap saja dapat terjadi.
Untuk

itu

diperlukan

peran

serta

berbagai

pihak

untuk

meminimalisasi terjadinya kecelakaan, dukungan dari pihakpihak terkait akan sangat menunjang terlaksananya progam K3
tersebut.
Pada dasarnya sasaran dari K3 adalah untuk mencegah/
mengurangi agar tidak terjadi kecelakaan.

Maka dari itu perusahaan sebagai pihak penanggungjawab atas


terjadinya kecelakaan kerja wajib mensosialisasikan sistem K3 ini
secara optimal, sehingga dapat berjalan secara lancar.
Untuk terlaksananya SMK3 tidak hanya perusahaan saja yang
berperan, namun buruh sebagai obyek dari permasalahan juga
harus tanggap dan peduli terhadap keselamatan untuk dirinya
sendiri dan mau berkerjasama agar tujuan dari pelaksanaan
SMK3 dapat terwujud secara maxsimal. Peran serta buruh
tersebut juga ditunjang dengan adanya hak atas keselamatan
dan kesehatan kerja yang berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan kerja, yang berbunyi ;

Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau


hak tenaga kerja untuk:
a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai
pengawas dan atau keselamatan kerja;
b. Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan;
c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan
dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
d. Meminta pada Pengurus agar dilaksanakan semua syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat
kesehatan dan keselamatan kerja serta alat-alat perlindungan
10

diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal


khususditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batasbatas yang masih dapat dipertanggung jawabkan.
Dengan adanya kerjasama yang baik dan juga buruh mau
peduli terhadap progaram SMK3 tersebut dengan cara menjaga
kesehatan jasmani dan rohani sebagai faktor dalam menunjang
peningkatan produktivitas kinerja mereka.

Kesegaran jasmani

dan rohani tidak saja sebagai pencerminan dari kesehatan fisik


dan mental, tetapi juga sebagai gambaran adanya keserasian
antara seseorang dengan pekerjaanya. Buruh, beban kerja serta
faktor-faktor dalam lingkungan kerja merupakan sebagai satu
kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan satu sama lainnya.
Kesatuan seperti ini dinamakan sebagai roda keseimbangan
dinamis,

apabila

keseimbangan

tersebut

tidak

berjalan

beriringan maka akan terjadi satu ketimpangan, yang akan


dapat menyebabkan ganguan kesehatan, dan keadaan yang labil
pada kondisi psikis buruh, bahkan dapat juga menyebabkan
penyakit, Cacat fisik dan kematian.
Dengan adanya program sosialisasi dan penyuluhan sebelum
bekerja serta menaati peraturan dan lebih berhati-hati dalam
bekerja, maka diharapkan dapat meminimalisasi kecelakaan
akibat kerja dan membuat lingkungan kerja menjadi lebih safety
dan menjadi zero accident.

11

II.

Bagaimana

Pihak

meminimalisasi

perusahaan

kecelakaan

dalam

dapat
melakukan

pekerjaan?
Perusahaan

sebagai

pihak

penanggungjawab

atas

terjadinya kecelakaan kerja mempunyai peranan penting untuk


mengurangi terjadinya kecelakaan, walaupun K3 bukan menjadi
tanggungjawab

perusahaan

saja,

namun

juga

menjadi

tanggungjawab bersama.
Saat ini di Indonesia K3 baru sekedar iklim belum menjadi
suatu budaya, sehingga K3 hanya sebatas aturan tapi belum
menyentuh setiap pekerja agar menjadikan K3 sebagai sebuah
kebutuhan. Agar program Sistem Manajemen Kesehatan dan
Kecelakaan Kerja ( SMK3 ) dapat berjalan secara optimal, maka
seharusnya K3 merupakan bagian dari budaya perusahaan,
dimana K3 merupakan suatu wujud menghargai nyawa manusia,
kenyamanan tempat kerja, produktivitas kerja, minimalisasi
resiko kecelakaan. Untuk mewujudkan terbentuknya budaya ini
harus dimulai dari keseriusan manajemen perusahaan, yang
dilihat

pada

sejauh

mana

mereka

mampu

untuk

bertanggungjawab atas keselamatan kerja karyawannya. Untuk


itu perlu diketahui tentang syarat-syarat keselamatan kerja yang

12

seperti apa yang harus dipahami oleh perusahaan, sehingga


dapat dijadikan sebagai patokan dalam menentukan langkah
selanjutnya. ketentuan mengenai syarat-syarat keselamatan
kerja,

13

Diatur didalam Pasal 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 1970,


mengenai syarat-syarat keselamatan kerja, yang berbunyi ;
1. Dengan peraturan perundangan ditetapkan syaratsayart keselamatan kerja untuk :
a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;
b. mencegah, mengurangi dan memadamkan
c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan
diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian
lain yang berbahaya;
e. memberi pertolongan pada kecelakaan;
f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para
pekerja
g. mencegah dan mengendalikan timbul atau
menyebar

luasnya

suhu

kelembaban,

debu,

kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca,


sinar radiasi, suara dan getaran;
h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit
akibat

kerja

baik

physik

maupun

psychis,

peracunan, infeksi dan penularan.


i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang
baik;

14

k.

menyelenggarakan

penyegaran

udara

yang

cukup;
l.

memelihara

kebersihan,

kesehatan

dan

ketertiban;
m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat
kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya;
n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan
orang, binatang, tanaman atau barang;
o. mengamankan

dan

memelihara

segala

jenis

bangunan;
p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan
bongkar muat, perlakuan dan penyipanan barang;
q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
r. menyesuaikan dan menyempurnakan
pengamanan

pada pekerjaan yang bahaya

kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.


2. Dengan peraturan perundangan dapat dirubah perincian
seperti

tersebut

dalam

ayat

(1)

sesuai

dengan

perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi


serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari.
Dengan

adanya

syarat-syarat

tersebut

perusahaan

diharapkan dapat mengurangi resiko kecelakaan kerja dan

15

menentukan

batas-batas

dalam

rangka

memproteksi

keselamatan bersama.

Walaupun

syarat-syarat

keselamatan

kerja

sudah

terpenuhi, namun akan munculah sebuah pertanyaan. Mengapa


masih saja kecelakaan itu dapat terjadi dan faktor apakah yang
menyebabkan kecelakaan itu terjadi?
Kecelakaan kerja merupakan kejadian yang tidak terduga
dan tidak diharapkan, dikatakan tidak terduga karena dibelakang
peristiwa tersebut tidak ada unsur kesengajaan dan selalu diikuti
oleh kerugian material serta tidak diharapkan.
akibat kerja

Kecelakaan

terjadi dalam hubungan kerja yang mencangkup,

yaitu ;
1. Kecelakaan akibat langsung dari pekerjaan, sering disebut
sebagai penyakit akibat kerja.
2. Kecelakaan yang terjadi pada saat pekerjaan sedang
berlangsung, ( kecelakaan dalam arti fisik )
3. Kecelakaan yang terjadi dari rumah ke tempat kerja/
sebaliknya melalui jalan yang wajar.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan
kerja adalah karena ;
1. Perbuatan manusia yang tidak aman ( unsafe human act )
2. Kondisi yang tidak aman ( unsafe conditon )

16

Penyebab kecelakaan terbesar adalah karena perbuatan


manusia yang terjadi karena kelalaian/ kesalahan. Maka oleh
sebab itu fokus dari kaidah K3 diarahkan kepada manusia
sebagai Human eror .
Manusia sebagai subjek dari K3 menjadi faktor penting
yang harus diperhatikan dengan baik, untuk diperlukan upaya
yang terus-menerus dalam menjalankan SMK3 ini, salah satu
caranya adalah dengan pemeriksaan tenaga kerja pada tingkat
awal atau pada saat baru pertama kali masuk kerja dan
pemeriksaan tenaga kerja secara berkala, ketentuan diatas
berdasarkan padaa Peraturan Mentri Tenaga Kerja No.2 Tahun
1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, yang intinya
memuat ketentuan bahwa pada dasarnya perusahaan tidak mau
menerima

orang

yang

tidak

sehat

karena

mereka

akan

kehilangan jam kerja dan juga harus membayar biaya kesehatan.


Pemeriksaan secara berkala diperlukan untuk memonitor
derajat kesehatan rutin tenaga kerja, dan mendeteksi tentang
kemungkinan

timbulnya

penyakit

baru

yang

berasal

dari

pekerjaan/ penyakit-penyakit lainnya, seperti penyakit umum,


khusus ( muncul ditengah pekerjaan ), dan penyakit akibat kerja.
Pemeriksaan

khusus

juga

golongan tingkat tertentu :

17

dilakukan

kepada

pekerja

1. Tenaga kerja yang telah mengalami kecelakaan atau


penyakit yang memerlukan perawatan lebih dari dua
( 2 ) minggu.
2. Tenaga kerja yang berusia lebih dari 40 tahun atau
tenaga kerja wanita.
3.

Tenaga kerja yang melakukan keluhan-keluhan atas


penyakitnya.

Selain melakukan pemeriksaan kesehatan, pengusaha juga


mempunyai kewajiban dalam hal pembinaan tentang K3

yang

berdasarkan pada pasal 9 Undang-Undang No. 1 Tahun 1970


tentang Keselamatan kerja, yang berbunyi ;
1. Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan
pada tiap tenaga kerja baru
tentang :
a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat
timbul dalam tempat kerja;
b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang
diharuskan dalam tempat kerja;
c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang
bersangkutan;
d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan
pekerjaannya.

18

2. Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja


yang

bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga

kerja

tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut

di atas.
3. Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan
bagi

semua tenaga kerja yang berada di bawah

pimpinannya,

dalam

pemberantasan
keselamatan

pencegahan

kebakaran

dan

kecelakaan

serta

kesehatan

kerja,

dan

peningkatan
pula

dalam

pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.


Dengan adanya pembinaan tersebut maka diperlukanlah
adanya seorang panitia pembinaan keselamatan dan kesehatan
kerja, yang didasarkan pada pasal 10 Undang-Undang No. 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan kerja, yang berbunyi :
1. Menteri Tenaga Kerja berwenang membertuk Panitia
Pembina Keselamatan Kerja guna memperkembangkan
kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari
pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam
tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban

bersama

di

bidang

keselamatan

dan

kesehatan kerja, dalam rangka melancarkan usaha


berproduksi.

19

2. Susunan Panitia Pembina dan Keselamatan dan


Kesehatan Kerja, tugas dan lain-lainnya ditetapkan oleh
Menteri Tenaga Kerja.
Sehingga pelaksanaan pembinaan dapat berjalan secara
optimal, pengurus pembinaan juga memiliki kewajiban yang
tertuang pada pasal 14 Undang-Undang No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan kerja, yaitu :
Pengurus diwajibkan :
a. secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang
dipimpinnya, semua syarat keselamatan kerja yang
diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan semua
peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat
kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang
mudah dilihat dan menurut petunjuk pegawai pengawas
atau ahli keselamatan kerja;
b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya,
semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan
semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat
yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk
pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
c.

Menyediakan

secara

cuma-cuma,

semua

alat

perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja


berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi

20

setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,


disertai

dengan

petunjuk-petunjuk

yang diperlukan

menurut petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut


petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan
kerja.
Disamping dengan adanya pengurus pembinaan, Program SMK3
juga didukung oleh adanya Organisasi K3 yang mana berfungsi
sebagai

wadah/tempat

dalam

melaksanakan

pembinaan,

pengawasan dan penyempurnaan norma-norma keselamatan


kerja disemua bidang. Selain itu untuk membuktikan benar atau
tidaknya

penerapan

dilakukan

proses

SMK3

ini,

pengauditan

maka
yang

disetiap
mana

perusahaan

dilakukan

oleh

lembaga Audit yang ditunjuk oleh Mentri Tenaga Kerja. Proses


pengauditan SMK3 dilaksanakan satu kali dalam tiga ( tiga )
tahun, Setelah proses pengauditan tersebut selesai, perusahaan
yang pelaksanaan SMK3-nya telah memenuhi standar yang
disyaratkan oleh SMk3 maka akan diberikan sebuah sertifikat,
namun sebaliknya jika tidak memenuhi standar yang telah
ditentukan

maka

akan

diambil

tindakan

oleh

pengawas.

Berdasarkan pasal 1 ayat ( 5 ) Undang-Undang No. 1 Tahun 1970


tentang Keselamatan kerja yang dimaksud dengan pegawai
pengawas ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari

21

Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Mentri Tenaga


Kerja .
Agar semua elemen dalam k3 dapat berjalan sebagaimana
yang diamanatkan oleh Undang-Undang maka diperlukan sebuah
pengawasan yang ketentuannya diatur dalam Pasal 5 UndangUndang yang sama, yang berbunyi ;
1. Direktur

melakukan

pelaksanaan

umum

terhadap

Undang-undang ini sedangkan para pegawai pengawas


dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan
pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undangundang ini dan membantu pelaksanaannya.
2. Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas
dan

ahli

keselamatan

Undang-undang

ini

kerja
diatur

dalam

melaksanakan

dengan

peraturan

perundangan.
Setelah kesemua bagian tersebut dapat menjalankan
perannya masing-masing secara optimal, maka diharapkan
kecelakaan kerja dapat dikurangi bahkan bukan tidak mungkin
bila akan menjadi zero accident.

Walaupun sudah banyak

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang K3 ini,


namun tetap saja pelaksanaannya masih memiliki banyak
kekurangan

dan

kelemahan,

karena

faktor

terbatasnya

pengawas, serta fasilitas K3 itu sendiri, maka untuk itu masih

22

diperlukan

adanya

sebuah

upaya

untuk

memberdayakan

lembaga-lembaga K3 yang ada di masyarakat, meningkatkan


sosialisasi dan kerjasama dengan mitra sosial guna membantu
pelaksanaan pengawasan norma K3 agar terjalan dengan baik.

23

III.

Apakah kecelakaan kerja dapat diprekdisikan


sebelumnya?
Kecelakaan kerja merupakan hal yang tidak terduga dan tidak
dapat diprekdisikan sebelumnya, namun ada pendapat yang
mengatakan, kecelakaan kerja itu sebenarnya dapat diduga
sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
mengantisipasinya, yaitu ;
1. Perlu adanya kewajiban untuk berbuat selamat
2. Perlu mengatur agar kondisi peralatan kerja sesuai
dengan standar Undang-Undang
Faktor terbesar atas terjadinya kecelakaan kerja bersumber dari
manusia sebagai human eror, manusia seringkali melakukan
kesalahan

yang dapat membahayakan keselamatan dirinya

sendiri. lalu bagaimana perbuatan tidak selamat tersebut dapat


menimpa manusia? hal tersebut terjadi karena kurangnya
pengetahuan, kurang terampil, dan tidak serius, adanya faktor
keletihan dan kebosanan, kerja manusia yang tidak sepadan
dengan ergonomic
( ilmu yang mengatur tentang kenyamanan peralatan kerja )
serta ganguan kejiwaan/ psikologis.

24

IV.

Bagaimana K3 dimata hukum ?


Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma keselamatan,
kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja
merupakan sarana/alat dalam mencegah terjadinya kecelakaan
kerja yang tidak diduga dan disebabkan oleh kelalaian kerja
serta

lingkungan

diharapkan

kerja

mampu

yang

menihilkan

tidak

kondusif.

kecelakaan

Konsep

kerja

ini

sehingga

mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap pekerja, dan


juga mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja
serta mampu mencegah pencemaran lingkungan hidup dan
masyarakat sekitar- nya. Norma kesehatan kerja diharapkan
menjadi instrumen yang mampu menciptakan dan memelihara
derajat kesehatan kerja. K3 dapat melakukan pencegahan dan
pemberantasan

penyakit

akibat

kerja,

seperti

kebisingan,

pencahayaan (sinar yang dapat menyebabkan kerusakan pada


alat pendengaran, kebutaan, dan lain-lain. Norma kerja berkaitan
dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan
dengan masalah shift, kerja wanita, pengaturan jam lembur,
analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal
tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa
kecelakaan kerja.

Sinar Harapan 2004

25

V.

Bagaimana

sistem

pelaksanaan

K3

dalam

Jamsostek ?
Sebagai upaya dalam mewujudkan program K3 yang diharapkan
dapat menjadi perlindungan yang khusus bagi tenaga kerja,
maka dibuatlah Sistem Jaminan Sosial ( Jamsostek ), menurut
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang dimaksud dengan Jamsostek
adalah Suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santunan

berupa

uang

sebagai

pengganti

sebagian

dari

penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai


akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja
berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan
meninggal dunia.
Namun jauh sebelum Undang-Undang tersebut dibuat, Pemerintah
terlebih dahulu mengeluarkan

Peraturan Pemerintah No. 33

Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Programprogram yang menjadi ruang lingkup
aturan ini meliputi :
a. Jaminan Kecelakaan Kerja ( JKK );
b. Tabungan Hari Tua; dan
c. Jaminan Kematian ( JK).

26

program tersebut dilaksanakan dengan mekanisme asuransi


yang dikelola oleh sebuah badan penyelenggara, yaitu PT
Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Undang-Undang No. 33
Tahun 1947, yang juga merupakan salah satu dasar hukum
pembentukan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 tentang
Asuransi Sosial Tenaga Kerja, menyebutkan dalam Pasal 36
bahwa

perusahaan

yang

diwajibkan

diwajibkan pula membayar iuran guna

membayar

tunjangan

mendirikan suatu dana.

Artinya, undang-undang tersebut menentukan bahwa kewajiban


membayar ganti kerugian bagi buruh yang tertimpa kecelakaan
kerja harus dilaksanakan sendiri oleh pihak majikan yang
bersangkutan. Munculnya Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun
1977

tentang

Asuransi

Sosial

Tenaga

Kerja

mengalihkan

kewajiban pembayaran ganti rugi tersebut dari pihak pengusaha


atau pemberi majikan kepada badan penyelenggara, yaitu PT
Astek. Iuran untuk pembayaran jaminan kecelakaan kerja ini
seluruhnya ditanggung oleh perusahaan yang mengikutsertakan
diri dalam program tersebut. Namun pelaksanaan Astek tidak
tercapai secara maxsimal, karena tidak ada daya paksa/ sanksi
jika tidak ikut, sehingga pelaksanaan Astek tidak berjalan secara
optimal. Latar belakang dikeluarkan Undang-Undang No. 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah karena pasal
15 Undang-Undang No.14 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok

27

Tenaga Kerja, Aspek dikeluarkan Undang-Undang ini adalah


karena ;
1.

merupakan perlindungan dasar untuk memenuhi


kebutuhan hidup, minimal tenaga kerja dan keluargnya.

2.

Merupakan penghargaan/reward bagi Tenaga


kerja yang telah berprestasi didalam perusahaan.

Setelah dikeluarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang


Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka kedua peraturan perundangundangan di atas kemudian dicabut dan dinyatakan

tidak

berlaku lagi. Pengaturan tentang Jaminan kecelakaan kerja


diatur didalam Pasal 9 Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang berbunyi ;
Kecelakaan

kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

ayat (1) meliputi:


a. biaya pengangkutan;
b. biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan;
c. biaya rehabilitasi;
d. santunan berupa uang yang meliputi:
1. santunan sementara tidak mampu bekerja;
2. santunan cacad sebagian untuk selama-lamanya;
3. santunan cacad total untuk selama-lamanya baik
fisik maupun mental.
4. santunan kematian.

28

Selain mendapat Jaminan kecelakaan kerja, buruh juga


berhak untuk mendapat Jaminan pemeliharaan kesehatan yang
ditentukan berdasarkan pasal 16 Undang-Undang yang sama,
yang berbunyi ;
1. Tenaga kerja, suami atau isteri, dan anak berhak
memperoleh Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
2.

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan meliputi:


a. rawat jalan tingkat pertama;
b. rawat jalan tingkat lanjutan;
c. rawat inap;
d. pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;
e. penunjang diagnostik;
f. pelayanan khusus;
g. pelayanan gawat darurat.

Semua pengelolaan tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja


dilaksanakan dengan mekanisme sebuah badan penyelanggara
yaitu PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang didirikan
berdasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995.5

Indonesia Bussines ( Ibid )

29

BAB III
PENUTUP
I.

Kesimpulan
Sebagai

suatu

system

yang

dibuat

dalam

upaya

untuk

mengurangi resiko kecelakaan kerja, maka diharapkan K3 dapat


menjadi upaya preventif terhadap timbulnya kecelakaan kerja
dan penyakit akibat hubungan kerja didalam lingkungan kerja. K3
bertujuan melindungi Tenaga Kerja atas hak keselamatan dan
kesehatan

kerja

didalam

melakukan

pekerjaan,

dan

juga

menjamin keselamatan setiap orang lainnya yang sedang berada


dilingkungan kerja. Pelaksanaan K3 diawali dengan sosialisasi
pentinganya K3 bagi tenaga kerja serta mengenali hal-hal yang
berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat
hubungan kerja lebih dini , serta segera mengambil tindakan
antisipatif bila terjadi hal yang dapat menjadi factor yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. SMK3 yang dapat
berjalan secara optimal dapat mengurangi biaya perusahaan
apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan
kerja. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) merupakan
program yang ditujukan untuk mendukung pelaksanaan sistem
K3 dalam setiap perusahaan. Program-program yang meliputi
ruang lingkup aturan ini adalah:
30

a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK);


b. Tabungan Hari Tua; dan
c. Jaminan Kematian (JK).
Namun pada pelaksanaannya, program Jamsostek belum dapat
berjalan secara optimal, hal ini dapat dilihat dari banyaknya
tuntutan dan protes yang datang dari berbagai kalangan
masyarakat umumnya, dan para buruh pada khususnya, apalagi
ditengah permasalahan krisis ekonomi global dunia pada saat
ini.

II.

Saran
Untuk

mewujudkan

pelaksanaan

K3

yang

optimal

maka

diperlukan kerjasama dari berbagai pihak dalam mendukung


kinerja K3 tersebut, kerjasama yang baik akan menghasilkan
SMK3 yang sesuai dengan yang diamanatkan oleh UndangUndang.

SMK3

yang

diterapkan

pada

system

manajemen

disetiap perusahaan serta dengan adanya penyediaan fasilitas


K3 yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, maka
diharapkan resiko kecelakaan kerja dapat dikurangi, dan jika
mungkin malah menjadi zero accident. Dengan pemberian
perlindungan yang maxsimal kepada para tenaga kerja, maka

31

akan dapat meningkatkan tingkat produktivitas perusahaan


menjadi lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Catatan Kaki:
1. Tono Muhammad, 2002
2. Danggur Konradus, Keselamatan dan Kesehatan Kerja
3. Sinar Harapan 2004
4. Ibid
5. UU. No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
6. UU. No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
7. UU. No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek
8. Permen, Kepmen Undang-Undang terkait
9. Catatan mata Kuliah Perlindungan kerja oleh, Djokopitojo, S.H.

32

Anda mungkin juga menyukai