Anda di halaman 1dari 19

Adiksi dan Permasalahannya

I.

Pendahuluan
Fenomena penyalahgunaan zat banyak berdampak pada penelitian otak

dan psikiatri klinis. Beberapa zat dapat mempengaruhi baik keadaan mental yang
dirasakan secara internal, seperti mood, maupun aktivitas yang dapat diamati
secara eksternal, seperti perilaku. Zat dapat menyebabkan gejala neuropsikiatri
yang tidak dapat dibedakan dengan gejala gangguan psikiatri umum tanpa kausa
yang diketahui (contohnya skizofrenia dan gangguan mood), dan oleh karena itu,
gangguan psikiatri primer dan gangguan yang melibatkan penggunaan zat
mungkin berkaitan. Bila gejala depresi yang tampak pada beberapa orang yang
tidak mengonsumsi zat yang dapat mengubah otak tidak dapat dibedakan dengan
gejala depresi pada orang yang pernah mengonsumsi zat yang dapat mengubah
otak, mungkin terdapat kesamaan berbasis otak antara perilaku mengonsumsi zat
dengan depresi. Adanya zat yang dapat mengubah otak merupakan petunjuk
mendasar untuk mengetahui cara otak berkerja baik pada keadaan normal maupun
abnormal.1
Zat psikoaktif, kini sering disebut dengan NAPZA, yaitu singkatan dari
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain. Sebutan yang mirip di masyarakat
adalah narkoba, yang merupakan akronim dari narkotika, psikotropika, dan
bahan-bahan (atau obat-obatan, zat adiktif lain) berbahaya.2
Who (world Health Organization) technical Report series, no. 516 sejak tahun
1973 telah menggolongkan zat-zat tersebut dengan istilah dependenceproducing drugs sebagai berikut:2
1. Alcohol-barbiturate type-e.g., ethanol, barbiturates, and certain others
drugs with sedative effects, such as chloral hydrate, chlordiazepoxide,
diazepam, meprobamate, and metaqualone.
2. Amphetamine type-e.g., amptehtamine, dexamphetamine, methamphetamine, methylphenidate, and phenmetrazine;
3. Canabis type-e.g., preparation of Cannabis sativa L, such as marihuana
(bhang, dagga, kif, maconha), ganja, and hashish (charas);
4. Cocaine type-e.g., cocaine and coca leaves;
1

5. Khat type-e.g., preparations of Catha edulis Forssk;


6. Opiate (morphine) type-e.g., opiates such as morphine, heroin, and
codeine, and synthetics with morphine-like effects, such as methadone and
pethidine; and
7. Volatile solvent (inhalant) type-e.g., toluene, acetone, and carbon
tetrachloride.
Dewasa ini beberapa ahli juga mencantumkan nikotin, kafein dan analgetik
sebagai zat yang mendatangkan ketergantungan. Synder (1983) menyebutkan,
setiap zat yang berpengaruh terhadap susunan saraf pusat tersebut sebagai:
psychoactive drugs (zat psikoaktif) yang membaginya atas golongan:2

II.

Opiat atau opioid, misalnya morfin dan heroin


Neuroleptik (antipsikotik), misalnya khlorpromazin, haloperidol
Stimulans, seperti amfetamin dan kokain
Anti-ansietas, seperti diazepam, khlordiazepoksid
Anti-depresan, seperti amitripilin, imipramin
Psikedeliks, seperti LSD, meskalin
Sedatif-hipnotik, seperti fenobarbitol, kloralhidrat.

Epidemiologi
Dewasa ini diperkirakan di Indonesia terdapat lebih dari 3,5 juta pengguna

zat psikoaktif (Badan Narkotika Nasional, 2006). Dalam jumlah tersebut, hanya
kurang dari 10 ribu orang yang tersentuh layanan terapi: 1000 orang dalam
terapi substitusi metadon, 500 orang terapi substitusi buprenorfin, kurang dari
1000 orang dalam rehabilitasi (pesantren, theraupetic communities, kelompok
bantu diri/self-help group), 2000 orang dalam layanan medis lain dan sekitar 4000
orang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan dan tahanan polisi. Sedangkan
hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia (puslitkes-UI) pada tahun 2008 menunjukkan angka prevalensi pecandu
narkoba di Indonesia sebesar 1,9% atau sekitar 3,1-3,5 juta jiwa. Di tahun 2011
angka prevalensi itu naik menjadi 2,2% atau sekitar 3,7-4,7 juta orang.2,3
III.

Defenisi

Adiksi berasal dari bahasa Inggris addiction yang berarti ketagihan atau
kecanduan (Echols & Shadily, 1975). Istilah adiksi banyak dicantumkan sebagai
salah satu diagnosis. Adiksi membuat seseorang, baik secara fisik maupun
psikologis

mengurangi

kapasitasnya

sebagai

manusia

untuk

berfungsi

sebagaimana mestinya, sehingga membuatnya mengalami perubahan perilaku,


menjadi obsesif kompulsif (dalam menggunakan zat), sehingga mengganggu
hubungannya dengan orang lain. Salah satu cabang ilmu psikiatri

yang

memfokuskan studi dalam bidang adiksi disebut Psikiatri Adiksi.2


Secara prinsip, Santrock (1999), menyebutkan jenis ketergantungan secara
psikologis (psychological dependent) dan ketergantungan fisiologis (physiological
dependent.4
1. Ketergantungan psikologis adalah kondisi ketergantungan yang
ditandai dengan stimulasi kognitif dan efektif yang mendorong kognitif
(perilaku) seseorang untuk selalu mengonsumsi narkoba. Stimulasi
kognitif

tampak

pada

individu

yang

selalu

membayangkan,

memikirkan, dan merencanakan untuk dapat menikmati narkoba.


Sementara itu, stimulasi afektif adalah rangsangan emosi yang
mengarahkan individu untuk merasakan kepuasan yang pernah dialami
sebelumnya. Orang yang memiliki stimulasi afektif cenderung akan
mengulang-ulang

kenikmatan

dari

pengonsumsian

narkoba

sebelumnya. Sementara itu, kondisi konatif merupakan hasil kombinasi


dari stimulasi kognitif ataupun stimulasi afektif, berupa perilaku nyata
(real behavior) dalam bentuk penggunaan narkoba yang sesunguhnya.
Dengan

demikian,

ketergantungan

psikologis

ditandai

dengan

ketergantungan pada aspek-aspek pemikiran (kognitif), emosi-perasaan


(afektif) untuk selalu tertuju pada narkoba, dan berusaha sungguhsungguh untuk mengonsumsinya.
2. Ketergantungan fisiologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai
dengan kecenderungan sakaw (lapar/haus akan narkoba). Sensasi rasa
lapar atau haus mendorong individu untuk segera mengonsumsi
narkoba. Kondisi sakaw sering kali tak mampu dihambat atau
3

dihalangi pecandu. Karena itu, mau tak mau ia harus memenuhinya.


Tidak terpenuhinya rasa sakaw akan menyebabkan suatu penderitaan
(kelaparan/kehausan). Dengan demikian, orang yang mengalami
ketergantungan secara fisiologis terhadap narkoba, akan sulit
dihentikan atau dilarang untuk mengonsumsi. Semakin keras dilarang,
semakin keras pula ia berupaya bagaimana memperoleh dan dapat
mengonsumsi narkoba tersebut. Apakah dengan cara halal atau tidak,
seseorang tidak memedulikan lagi norma-norma etika yang ada dalam
lingkungan sosial.
Sehubungan dengan beragamnya golongan NAPZA, maka sesuai
sebutannya dikenal: adiksi tembakau, adiksi ganja, adiksi heroin (heroin
addiction), adiksi alkohol (alcohol addiction), adiksi kokain (cocaine addiction),
adiksi shabu (methamphetamine addiction), adiksi ecstasy (Methylemedioxy
Methamphetamine-addiction), benzodiazepine addiction, steroid addiction dan
lain-lain. Sebetulnya perilaku adiksi tidak hanya berkait dengan penggunaan
NAPZA, namun dikenal pula beberapa bentuk adiksi lain seperti: adiksi seksual
(sexual addiction), adiksi judi (gambling), adiksi makanan (food addiction), adiksi
berbelanja (shopping addiction), adiksi internet (cybernet addiction), adiksi
telepon seluler (mobile phone addiction) dan lain-lain.2
Ketergantungan dan penyalahgunaan NAPZA adalah istilah kedokteran.
Seseorang disebut ketergantungan dan mengalami penyalahgunaan NAPZA, bila
memenuhi

kriteria

diagnostik

tertentu.

Menurut

PPDGJ-III,

Gangguan

Penggunaan NAPZA terdiri atas 2 bentuk:2


1. Penyalahgunaan, yaitu yang mempunyai harmful effects terhadap
kehidupan orang, menimbulkan problem kerja, mengganggu hubungan
dengan orang lain (relationship) serta mempunyai aspek legal
2. Adiksi atau ketergantungan, yaitu yang mengalami toleransi, putus zat,
tidak mampu menghentikan kebiasaan menggunakan, menggunakan dosis
NAPZA lebih dari yang diinginkan.
Kriteria DSM-IV-TR untuk penyalahgunaan Zat yaitu:1

A. Suatu pola maladaptif penggunaan zat yang menimbulkan hendaya atau


penderitaan yang secara klinis signifikan, seperti dimanifestasikan oleh
satu (atau lebih) hal berikut yang terjadi dalam periode 12 bulan:
1. Penggunaan zat berulang mengakibatkan kegagalan memenuhi
kewajiban peran utama dalam pekerjaan, sekolah, atau rumah (cth.,
absen berulang atau kinerja buruk dalam pekerjaan yang berhubungan
dengan penggunaan zat; absen, skors, atau dikeluarkan dari sekolah
terkait zat; penelantaran anak atau rumah tangga)
2. Penggunaan zat berulang pada situasi yang secara fisik berbahaya
(cth., mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin saat sedang
mengalami hendaya akibat penggunaan zat)
3. Masalah hukum berulang terkait zat (cth., penahanan karena perilaku
kacau terkait zat)
4. Penggunaan zat berlanjut meski memiliki masalah sosial atau
interpersonal yang persisten atau rekuren yang disebabkan atau
dieksaserbasi oleh efek zat (cth., berselisih dengan pasangan tentang
konsekuensi intoksikasi, perkelahian fisik)
B. Gejala tidak memenuhi kriteria ketergantungan Zat untuk kelas zat ini
Kriteria DSM-IV-TR untuk ketergantungan zat1
Suatu pola maladaptif penggunaan zat, yang menimbulkan hendaya atau
penderitaan yang secara klinis signifikan, yang dimanifestasikan oleh tiga (atau
lebih) hal berikut, terjadi dalam periode 12 bulan yang sama:
1. Toleransi, seperti didefenisikan salah satu di bawah ini:
a. Kebutuhan untuk terus meningkatkan jumlah zat untuk mencapai
intoksikasi atau efek yang diinginkan
b. Penurunan efek yang sangat nyata

dengan

berlanjutnya

penggunaan zat dalam jumlah yang sama


2. Putus zat, seperti didefenisikan salah satu di bawah ini:
a. Karakteristik sindrom putus zat untuk zat tersebut (mengacu
kriteria A dan B untuk keadaan purus zat dari suatu zat spesifik)
b. Zat yang sama (atau berkaitan erat) dikonsumsi untuk meredakan
atau menghindari gejala putus zat
3. Zat sering dikonsumsi dalam jumlah lebih besar atau dalam periode
yang lebih lama dari seharusnya

4. Terdapat keinginan persisten atau ketidakberhasilan upaya untuk


mengurangi atau mengendalikan aktivitas penggunaan zat
5. Menghabiskan banyak waktu melakukan aktivitas yang diperlukan
untuk memperoleh zat (cth., mengunjungi banyak dokter atau
berkendara jarak jauh), menggunakan zat (cth., merokok seperti kereta
api), atau untuk pulih dari efeknya
6. Mengorbankan atau mengurangi aktivitas reaksional, pekerjaan, atau
sosial yang penting karena penggunaan zat
7. Penggunaan zat berlanjut meski menyadari masalah fisik atau
psikologis

rekuren

yang

dialami

mungkin

disebabkan

atau

dieksaserbasi zat tersebut (cth., saat ini menggunakan kokain walau


menyadari adanya depresi terinduksi kokain atau minum berkelanjutan
meski mengetahui bahwa ulkus akan menjadi lebih parah dengan
mengonsumsi alkohol)
Kriteria PPDGJ-III untuk Sindrom ketegantungan:5
a. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi)
untuk menggunakan zat psikoaktif
b. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk
sejak mulainya, usaha penghentian, atau pada tingkat sedang
menggunakan
c. Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
zat atau pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang
khas atau orang tersebut menggunakan zat atau golongan zat yang
sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari
terjadinya gejala putus zat
d. Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif
yang diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya
diperoleh dengan dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat
ditemukan pada individu yang ketergantungan alkohol dan opiad yang
dosis hariannya dapat mencapai taraf yang dapat membuat tak berdaya
atau mematikan bagi pengguna pemula)
e. Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minta lain
disebabkan penggunaan zat psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu
6

yang diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk


pulih dari akibatnya
f. Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang
merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum
alkohol yang berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat dari suatu
periode penggunaan zat yang berta, atau hendaya fungsi kognitif
berkaitan dengan penggunaan zat; upaya perlu diadakan untuk
memastikan bahwa pengguna zat sungguh-sungguh, atau dapat
diandalkan, sadar akan hakekat dan besarnya bahaya.
Dalam konsep kedokteran, ketergantungan NAPZA merupakan gangguan
yang menunjukkan adanya perubahan dalam proses kimiawi otak sehingga
memberikan efek ketergantunagn (craving, withdrawal, tolerance). Sedang
penyalahgunaan dikaitkan dengan tingkah laku bereksperimentasi, mengalamsi
rasa kecewa, perilaku membangkang, masalah keuangan dan self medication.
Dalam masyarakat, kedua istilah tersebut sering disalahtafsirkan. Pada umumnya
seseorang

mengalami

penyalahgunaan

NAPZA,

belum

tentu

menderita

ketergantungan.2
IV.

Jenis-jenis NAPZA dan Efeknya


Karena potensi ketergantungan yang sangat besar, opioid selalu dianggap

sebagai tolok ukur dalam pembicaraan masalah NAPZA menyangkut terapi,


prevalensi dan lain-lainnya.2
1. Alkohol
Umumnya digunakan dalam bentuk minuman beralkohol. Di
indonesia, terutama di daerah Indoneisa Timur dan beberapa tempat di
daerah Sumatera, terdapat antara 2-3 juta orang yang menggunakan
minuman alkohol dari ringan sampai berat. Di Amerika Serikat terdapat
12-18 juta orang mengalami adiksi alkohol dan problem drinkers.
Penyalahgunaan alkohol di kalangan remaja sukar dicegah karena kurang
sempurnanya pengawasan. Di banyak negara berkembang, pemerintah
umumnya dirasakan bersifat ambivalen, sebab sebagian besar anggaran
7

belanjanya diambil dari pajak industri minuman beralkohol. Sebagian


remaja

sampai

usia

dewasa

cukup

bebas dan

berkesempatan

menggunakan minuman beralkohol, laki-laki lebih banyak dari perempuan


tetapi populasi peminum perempuan meningkat dan menggunakan alkohol
usia dewasa lebih stabil menggunakannya secara berkelanjutan.
Jenis-jenis minuman beralkohol di Indonesia sangat bervariasi
(dari tradisional sampai fermentasi buatan, dari berkadar tinggi hingga
rendah). Minuman beralkohol memberikan berbagai gambaran klinis,
antara lain:

Intoksikasi: euforia, cadel, nistagmus, bradikardia, hipotensi,


kejang, koma. Pada keadaan intoksikasi berat, reflek menjadi

negatif.
Keadaan Putus Alkohol: halusinasi, ilusi (bad dream), kejang,
Delirium Tremens, gemetar, keluhan gastrointestinal, muka merah,

mata merah dan hipertensi.


Gangguan fisik: mulai dari radang hati sampai kanker hati,
gastritis, ulkus peptikum, pneumonia, gangguan vaskuler dan

jantung, defeisiensi vitamin, fetal alcohol syndrom.


Gangguan mental: depresi hingga skizofrenia
Gangguan lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem
domestik dan tindak kekerasan.

2. Opioid
Merupakan salah satu golongan NAPZA yang sangat kuat potensi
ketergantungannya, sehingga disebut dengan julukan horror drug.
Termasuk golongan opioid adalah: morfin, petidin, heroin, metadon,
kodein. Golongan opioid yang paling sering disalahgunakan adalah:
heroin. Heroin di Indonesia disebut: putaw (atau pete, hero atau
petewe). Heroin merupakan opioid semisintetik yang yang berasal dari
morfin. Bentuk heroin: kristal putih yang larut dalam air. Bila heroin
berwarna berarti berasal dari kontaminannya.
Di Indonesia, sekurangnya terdapat 300-500 ribu orang dengan
adiksi heroin (di AS, sekurangnya 810.000 orang menjadi adiksi heroin ).
Studi menunjukkan bahwa jumlah pengguna lama agak menurun selama

setahun terakhir, tetapi pengguna pemula terutama remaja terus bertambah


meski tidak bermakna, purity makin rendah (paket murah)dengan sasaran
populasi sosial ekonomi rendah, komplikasi makin marah (HIV/AIDS,
hepatits, TB). Kenapa heroin populer? Awitan cepat, euforia kuat, dengan
penggunaan dragon dapat terjadi rush (atau abadi) atau penggunaan
secara intra-venous merupakan pilihan utama adiksi.
Akibat penyalahgunaan opioid adalah:
1. Problem fisik
Abses pada kulit sampai septickemia
Infeksi karena emboli, dapat sampai stroke
Endokarditis
Hepatitis (B dan C)
HIV/AIDS
Injeksi menyebabkan trauma pada jaringan saraf lokal
Opiate neonatal abstinence syndrome
2. Problem psikiatri
Gejala withdrawal menyebabkan perilaku agresif
Suicide
Depresi berat sampai skozofrenia
3. Problem sosial
Gangguan interaksi di rumah tangga sampai lingkungan

masyarakat
Traffic accidents
Perilaku kriminal sampai tindak kekerasan
Gangguan perilaku sampai antisosial (mencuri, mengancam,

menodong, membohong, menipu sampai membunuh)


4. Sebab-sebab kematian:
Reaksi heroin akut menyebabkan kolaps-nya kardiovaskular

dan akhirnya meninggal


Overdose, karena heroin menekan susunan saraf pusat, sukar

bernafas dan menyebabkan kematian.


Tindak kekerasan
Bronkhopneumonia
Endokarditis.

3. Ganja
Daun ganja (juga kembangnya) berasal dari tanaman perdu
Cannabis sativa. Bahan aktifnya berasal dari tanaman ganja yang bersifat
adiktif, disebut delta tetra hidrokannabinol (THK) yang hanya larut dalam

lemak. Karena tidak dapat larut dalam air, THK tinggal lama didalam
lemak jaringan (termasuk jaringan lemak otak, sehingga menyebabkan
brain damage). Gambaran klinis disebakan ganja tergolongan kombinasi
antara CNS-depresant, stimulansia dan halusinogenik. Di Indonesia, ganja
disebut dengan cimek, gelek, maribuana, hashish. Bentuk umumnya:
serpihan daun atau kembang ganja yang diperjual belikan-belikan bentuk
lintingan, gram-graman, kilo-kiloan hingga berton-ton. Dikenal juga
bentuk lain yaitu : budha stick dan minyak ganja.
4. Kokain
Kokain adalah sejenis stimulansia yang di Indonesia saat ini belum
begitu populer. Namun bertambahnya sitaan kokain secara ilegal dan
meningkatnya kasus-kasus penggunaan kokain akhir-akhir ini, bukan tidak
mungkin epidemi akan merajai pasaran peredaran NAPZA dalam masamasa mendatang.
Kokain dihasilkan dari daun tumbuhan yang disebut Erythroxylon
coca. Tanaman tersebut tumbuh subur di sebelah timur pegunungan Andes
di Amerika Selatan.
Bentuk kokain yang diperjualbelikan di Indonesia dalam bentuk
bubuk putih. Harga 1 gram sekitar sejuta dua ratus ribu rupiah (lebih
mahal dari heroin).
Umumnya pengguna kokain memulai kebiasaannya dengan cara
snorting dan berakhir dengan menyuntik intravenous atau dengan cara
merokok.
Akibat penyalahgunaan kokain adalah:
1. Problem fisik:
Dengan penggunaan snorting dapat terjadi komplikasi: pilek
terus menerus, sinusitis, epistaksis, luka-luka pada rongga

hidung, perforasi septum nasi.


Dengan suntikan dapat menyebabkan: infeksi lokal pada kulit
sampai sistemik (virus, bakteri, parasit atau jamur), abses
daerah kulit, endokarditis bakteri, hepatitis (B dan C),
HIV/AIDS

10

Inhalasi

melalui

merokok

dapat

menyebabkan

radang

tenggorokan, melanoptysis atau sputum bercak-bercak darah,

bronkhitis kronik sampai pneumonia


Cocain baby (retardasi pertumbuhan intra-uterine, bayi lahir
lebih kecil sampai prematur yang diikuti kelainan mental:

irritable, gangguan tidur, kesukaran makan)


2. Problem psikiatri
Toleransi dan ketergantungan: sifat toleransi tubuh terhadap
kokain sangat cepat, kendati pengguna tidak menyadari dosis
yang digunakan kian meningkat. Akibatnya, ia tidak mampu
mengendalikan diri, dan untuk mencukupi kebutuhannya ia
mengonsumsi kokain dengan mencampurinya dengan zat
adiktif lain (speedball) untuk mendapatkan efek yang

diinginkan.
Gejala fisik putus zat kurang dikenal. Namun secara mental
sangat merugikan, berupa: agitasi, depresi, fatigue, high
craving, cemas, marah meledak-ledak, gangguan tidur, mimpi
aneh, makan berlebihan, mudah tersinggung, mual, otot-otot

pegal hingga lethargy


3. Proble sosial:
Problem interpersonal: separasi perkawinan sampai perceraian,

pertengkaran dalam rumah tangga


Problem finansial: toleransi karena penggunaan kokain
menyebabkan besarnya biaya penyediaan kokain, terbatasnya

penghasilan menyebabkan hutang yang menumpuk.


Problem pekerjaan: kehilangan pekerjaan karena hilangnya
produktivitas diri, angka absen yang meningkat, kehilangan

proffesional licence atau certificate


Problem legal: ditahan, dihukum hingga pidana
4. Sebab-sebab kematian
Umumnya karena overdosis (lebih dari 1,2 sampai 1,5 gram

bubuk kokain asli)


Penyebab kematian karena: kelumpuhan alat pernapasan,
aritmia kordis, kejang berulang kali, mati lemas karena merasa

11

seperti dicekik, reaksi alergi, stroke (karena naiknya tekanan


darah secara mendadak), kehamilan (pendarahan antepartum,
aborsi)
Pada bayi dapat terjadi Sudden Infant Death Syndrome.
5. Amfetamin dan turunannya
Adalah senyawa kimia yang bersifat stimulansia (lebih sering
dikena dengan Amphetamine Type Stimulants atau ATS). Dewasa ini oleh
sindikat psikotropik ilegal, derivat amfetamin dipasarkan di Indonesia
dalam bentuk: ecstasy dan shabu.
Akibat penyalahgunaan amfetamin (termasuk ecstasy dan shabu) adalah:
1. Problem Fisik
Malnutrisi akibat defisiensi vitamin, kehilangan nafsu makan
Denyut jantung meninggi sehingga menbahayakan bagi mereka

yang pernah mempunyai riwayat penyakit jantung


Gangguan ginjal, emboli paru dan stroke
Hepatitis
HIV/AIDS bagi mereka yang menggunakan

suntikan

amfetamin
2. Problem psikiatri
Perilaku agresif
Confusional state, psikosis paranoid sampai skizofrenia
Kondisi putus zat menyebabkan: lethargy, fatigue, exausted,
serangan panik, gangguan tidur.
Depresi berat sampai suicide
Halusinasi (terutama ecstacy dan shabu)
3. Problem sosial
Tindak kekerasan (berkelahi)
Kecelakaan lalu lintas
Aktivitas kriminal
4. Sebab kematian
Suicide
Serangan jantung
Tindak kekerasan, kecelakaan lalu lintas
Dehidrasi, sindrom keracunan air
6. Benzodiazepin
Derivat benzodiazepin dikenal dalam bentuk tablet dan suntikan.
Dalam bentuk suntikan umumnya menggunakan injeksi diazepam.

12

Sedang

dalam

bentuk

tablet

cukup

bervariasi:

nitrazepam,

flunitrazepam, flurazepam, bromazepam, dan diazepam.


Akibat penyalahgunaan benzodiazepin menimbulkan:
1. Problem fisik
Penggunaan suntikan dapat menyebabkan abses, infeksi sitemik
dan hepatitis, HIV/AIDS
Gangguan gastrointestinal
Gangguan neurologik
malnutrisi
2. Problem psikiatri
Perilaku agresif terutama dalam keadaan intoksikasi
Ansietas, panik, confusional state
Withdrawal state menimbulkan perilaku agresif dan violance
3. Problem sosial
Mengganggu interaksi dalam rumah tangga dan lingkungan

V.

masyarakat
Prombem marital
Tinggal kelas, dikeluarkan dari sekolah karena tingkah laku

mengganggu teman siswa sekelas


Berkelahi
Tindak pidana dan terlibat hukum
Penggunaan finansial terganggu (boros dan tidak menentu)
4. Kematian disebabkan:
Kecelakaan lalu lintas
Infeksi sistemik membawa kematian
Depresi berat sampai suicide
Dehidrasi, malnutrisi
Etiologi
Terdapat berbagai alasan seseorang terjerumus dalam dunia narkoba.

Alasan-alasan tersebut merupakan faktor penyebab seseorang terjerumus dalam


hitamnya dunia narkoba. Badan Narkotika Nasional memberikan penjelasan
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terjerumus dunia narkoba
terbagi dalam tiga bagian utama yakni:6
1. Faktor diri/pribadi seseorang
Penyalahgunaan obat dipengaruhi oleh keadaan mental, kondisi fisik dan
psikologis seseorang. Kondisi mental seperti gangguan kepribadian, depresi,

13

dapat memperbesar kecenderungan seseorang untuk menyalahgunakan


narkoba. Faktor individu pada umumnya ditentukan oleh dua aspek:
a. Aspek biologis:
Secara biologis, seseorang dapat masuk ke dalam penyalahgunaan
narkoba disebabkan antara lain karena ingin menghilangkan rasa sakit
atau keletihan.
b. Faktor psikologis
Sebagian besar penyalahgunaan obat dimulai pada masa remaja.
Seseorang dapat terjerumus dalam pemakaian narkoba karena beberapa
alasan antara lain:
- Ingin meningkatkan semangat dan gairah kerja atau juga ingin
-

meningkatkan keperkasaan atau percaya diri.


Ingin melepaskan diri dari berbagai beban hidup yang menimpanya
Ingin melepaskan diri dari kesunyian, kehampaan, atau ingin

mencari hiburan
Ingin diterima sebagai anggota suatu kelompok karena menganggap
bahwakelompok yang ingin dimasukinya mempunyai tren yang patut

diikuti
Ingin coba-coba atau ingin mencari pengalaman baru
Merasa dijauhkan atau diasingkan atau tidak dicintai atau merasa
tidak dihargai.

Pribadi yang lemah atau mudah goyah akan mudah terjerumus dalam
lingkaran peredaran narkoba, karena itu pengenalan dan pengetahuan
tentang bahaya narkoba akan menjadi sangat penting untuk menjauhkan
seseorang dari penyalahgunaan narkoba.
2. Faktor Lingkungan
Dari sudut pandang lingkungan, seseorang dapat terjerumus dalam
pemakaian dan pengedaran narkoba karena keadaan sebagai berikut:
-

Keluarga yang kurang komunikatif, kurang perhatian, kurang membagi


kasih sayang dan kurangnya penghargaan terhadap sesama anggota

keluarga
Keluarga yang kurang pengawasannya terhadap sesama anggota keluarga
Lingkungan sosial yang tidak harmonis dan tidak terikat dengan berbagai
norma seperti norma hukum, agama, susila, dan lain-lain

14

Lingkungan yang kurang disiplin, tidak mempunyai tata tertib, tidak


mempunyai sistem pengawasan yang memadai, dan kurangnya sistem
pengamanan lingkungan baik lingkungan pendidikan, lilngkungan kerja,

atau tempat tinggal.


Pergaulan sebaya yang tidak sehat
Peraturan atau undang-undang yang tidak tegas sehingga tidakmembuat

jera para pelaku peredaran narkoba


Lemahnya penegakan hukum oleh para penegak hukum seperti polisi,

hakim, jaksa, bea cukai, dan lain-lain


Pandangan yang keliru tentang masalah penanggulangan narkoba bahwa

masalah narkoba adalah urusan pemerintah saja


Fasilitas pelayanan dan rehabilitasi yang mahal bagi korban narkoba

3. Faktor Keberadaan Narkoba


Keberadaan dan ketersediaan narkoba menjadi sangat strategis dalam
menjeruskan seseorang ke dalam dunia narkoba. Seseorang dapat saja
memakai narkoba karena ketersediaan narkoba itu sendiri:
-

Narkoba semakin mudah atau dapat dibeli


Harga narkoba yang semakin murah dan semakin dijangkau oleh
masyarakat. Hal ini terjadi juga karena adanya paket hemat dari

kemasan narkoba itu sendiri


Narkoba semakin banyak baik jenis, cara pemakaian, atau pun bentuk

kemasannya.
Modus operansu para pelaku tindak pidana narkoba semakin jeli dan

licik sehingga sulit diungkap oleh aparat penegak hukum


Semakin mudahnya akses internet yang menginformasikan tentang

keberadaan, pembuatan atau peredaran narkoba.


Perdagangan narkoba dikendalikan oleh sindikat yang kuat dan
profesional

VI.

Memahami Adiksi sebagai gangguan otak


Zat psikoaktif, khususnya NAPZA, memiliki sifat-sifat khusus terhadap

jaringan otak: bersifat menekan aktifitas fungsi otak (depresan), merangsang


aktifitas fungsi otak (stimulansia) dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik).
Karena otak merupakan sentra perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA
(yang masuk ke dalam tubuh manusia) dengan sel-sel saraf otak dapat
15

menyebabkan terjadinya perubahan perilaku manusia. Perubahan-perubahan


perilaku tersebut tergantung sifat-sifat dan jenis zat yang masuk ke dalam tubuh.
Otak sendiri dibagi atas daerah-daerah yang memiliki fungsi khusus.2
Otak terdiri atas bermilyar-milyar sel saraf yang disebut neuron. Neuron
tidak hanya berpusat pada jaringan otak, tetapi juga menyebar pada sistem
jaringan saraf tepi atau perifer di seluruh tubuh kita. Neuron memiliki banyak
cabang. Cabang-cabang neuron yang bertugas menerima pesan disebut dendrit
dan yang bertugas mengirim pesan disebut axon. Bila pesan mencapai ujung
akson, maka akan menyebabkan lepasnya sejenis zat kimiawi yang disebut
neurotransmiter. Neurotransmiter berjalan melalui sebuah celah kecil (disebut
celah sinaptik) menuju ke reseptor di ujung saraf dendrit.2
Otak memiliki puluhan neurotransmiter yang masing-masing bertugas
menghantarkan pesan sensasi khusus. Misalnya neurotransmiter Dopamin (DA)
menghantarkan pesan sensasi rasa nikmat (senang, enak, euforia, dan gembira).
DA setelah lepas dalam celah sinaptik akan mengikat diri (binding) pada reseptor
khusus yang disebut reseptor Dopamin sehingga orang tersebut merasakan sensasi
rasa nikmat. Di dalam otak terdapat puluhan reseptor-reseptor khusus yang baru
ditemukan dalam bidang kedokteran. Salah satu diantaranya adalah reseptor
opioid. Tubuh manusia sendiri dapat menghasilakn sejenis protein neurotransmiter
yang disebut endorphin. Endorfin mengikat diri pada reseptor opioid yang
kemudian mengirinkan sinyal kepada terminal untuk melepaskan DA. DA yang
lepas akan mengikat diri pada reseptor dopamin sehingga membawa pesan
kenikmatan. Reseptor-reseptor yang berkait pada kenikmatan terdapat pada area
otak yang disebut sentra kenikmatan yang terdapat pada daerah otak yang
bernama nucleus accumbens (NA)-ventral tegmental area (VTA) dan NA-frontal
cortex cerebri. Area tersebut sering dikaitkan dengan sebutan reward pathway.2
Beberapa jenis NAPZA menyusup ke dalam otak karena mereka memiliki
ukuran dan bentuk yang sama dengan natural neurotransmitter. Di dalam otak,
dengan jumlah atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut dapat mengunci dari dalam
reseptor dan memulai membangkitkan suatu reaksi berantai pengisian pesan listrik
yang tidak alami yang menyebabkan neuron melepaskan sejumlah besar

16

neurotransmitter miliknya. Beberapa jenis NAPZA lain mengunci melalui neuron


dengan bekerja mirip pompa sehingga neuro melepaskan lebih banyak
neurotransniter. Ada jenis NAPZA yang menghadang reabsorbsi atau reuptake
sehingga menyebabkan kebanjiran yang tidak alami dari neurotransmiter.2
NAPZA memiliki neurotransmiter yang memiliki sifat khusus sehingga
penggunaan sekaligus berbagai jenis NAPZA dapat mendatangkan kekacauan di
dalam celah sinaptik. Beberapa jenis neurotransmiter tersebut adalah: dopamin
(amfet, kokain, alkohol), serotonin (LSD, alkohol), endorfin (opiat, alkohol),
glutamate (alkohol) dan asetilkholin (nikotin, alkohol).2
Seperti telah disebutkan, riset menunjukkan penggunaan NAPZA yang
lama dan berulang-ulang menyebabkan terjadinya gangguan mekanisme kimiawi
dan fungsi otak (brain chemistry and function) yang bermakna bertanggung
jawab terhadap fungsi generasi, modulasi dan pengendalian perilaku kognitif,
emosional, dan sosial. Penyalahgunaan NAPZA dapat mengintervensi fungsi otak
sehingga terjadi gangguan mental-emosional dan perilaku.2
VII.

Penanganan dan Rehabilitasi


Pendekatan penanganan untuk zat yang tercakup dalam bagian ini

bervariasi menurut zatnya, pola penyalahgunaan, ketersediaan sistem pendukung


psikososial, dan gambaran individu pasien. Dua tujuan utama penanganan
penyalahgunaan zat telah ditentukan: yang pertama adalah abstinensi zat dan yang
kedua adalah kesejahteraan fisik, psikiatri, serta psikososial pasien. Pada beberapa
kasus, mungkin perlu memulai terapi di unit rawat inap. Meski situasi rawat jalan
lebih disukai dibanding situasi rawat inap, godaan yang tersedia bagi pasien rawat
jalan untuk menggunakan secara berulang mungkin menjadi rintangan yang
terlalu berat untuk memulai terapi. Penanganan rawat inap juga diindikasikan
pada kasus gejala medis atau psikiatri berat, riwayat gagalnya penanganan rawat
jalan, kurangnya dukungan psikososial, atau riwayat penyalahgunaan zat jangka
panjang atau sangat berat. Setelah periode awal detoksifikasi, pasien memerlukan
periode rehabilitas terus-menerus. Sepanjang penanganan, terapi individu,

17

kelompok, atau keluarga bisa jadi efektif. Edukasi tentang penyalahgunaan zat
serta dukungan terhadap upaya pasien adalah faktor eksternal dalam penanganan.1

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA, Gangguan Terkait Zat edited by Muttaqin H,
Sihombing Retna NE. in Kaplan&Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis, 2 nd
ed. ECG: Jakarta. 2012, p. 86-146
2. Husain AB, Gangguan Penggunaan Zat. in Buku Ajar Psikiatrik edited by
Elvira SD, Hadisukanto G. Badan Penerbit FKUI: Jakarta. 2010, p. 138-69
3. Humas bnn. Rehabilitasi Adiksi Berbasis Masyarakat Dalam Rangka
Dukungan

Penguatan

Masyarakat[online]

2013.

Lembaha
Cited.

2013

Rehabilitasi
Augs.26.

Komponen

Available

from

URL:www.bnn.go.id/
4. Dariyo A, Penyalagunaan narkoba. in Psikologi Perkembangan Dewasa
Muda. Gramedia widiasarana Indonesia: Jakarta. 2004, p. 23-34.
5. Maslim R, ed. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat. in
PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajawa: Jakarta.
2001, p. 36-43
6. Darman F ,ed. Sekilas tentang Narkoba. in Mengenal Jenis dan Efek
Buruk Narkoba. Visimedia: Jakarta. 2006, p. 13-24

19

Anda mungkin juga menyukai