Anda di halaman 1dari 11

NEURALGIA PASCA HERPETIKA

PENDAHULUAN
Neuralgia pasca herpes didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan di
tempat penyembuhan ruam, terjadi sekitar 9-15% pasien herpes zoster yang tidak
diobati. Dan pada pasien yang berumur tua memiliki resiko yang lebih tinggi.1
Herpes Zoster dikenal pula sebagai shingles dapat menginfeksi sistem
saraf dengan reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit
sepanjang distribusi dermatomal yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul
dikenal sebagai neuralgia paska herpetika. Biasanya gangguan sensorik
dikarakteristikan sebagai nyeri radikular dengan rasa terbakar, gatal, dan dapat
sangat mengganggu kehidupan penderitanya.2
Reaktivasi virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita dengan
imunitas menurun seperti pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi untuk
kanker dan penderita HIV.2
EPIDEMIOLOGI
Sebagian besar insidens herpes zoster dan neuralgia paska herpetika
didapatkan data dari Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan belum didapatkan
angka insiden di Asia, Australia dan Amerika Selatan.2
Pada penderita herpes zoster hampir 100 persen pasien mengalami nyeri,
dan 10-70 persennya mengalami neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1
tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Anak
antara usia 5 dan 9 tahun mengambil 50% dari semua kasus, kebanyakan kasus
lain timbul antara usia 1 dan 4 tahun serta 10 dan 14 tahun. Sekitar 10% diatas
usia 15 tahun. Pada penderita HIV atau dengan leukemia dilaprkan 50-100 kali
lebih banyak dibandingkan dengan kelompok sehat usia sama.1,2
DEFINISI NEURALGIA PASCA HERPETIKA
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau
nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai
tahunan. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri

neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan
herpes zoster).2
ETIOLOGI
Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang
menginfeksi manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur
virus terdiri dari sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung
lipid. Di tengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varicella zoster memiliki
diameter sekitar 180-200 nm.1,3
Analisis endonuklease terbatas atas DNA virus pasien varicella yang
kemudian menderita herpes zoster membenarkan identitas molekul dua virus yang
bertanggung jawab untuk presentasi klinis yang berbeda ini.3

Gambar 1. Virus Varisella zoster, virus ini menyebabkan penyakit varicella dan untuk reaktivasi
selanjutnya akan menyebabkan pnyakit zoster.

Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap berada di dalam akar saraf
sensorik untuk hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf sensoris pada
kulit, menyebabkan ruam karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah
resolusi, banyak individu terus mengalami nyeri pada distribusi dari ruam
(postherpetic neuralgia).2

PATOGENESIS

Gambar 2. Infeksi yang dilakukan oleh virus Varissela zooster

1. Herpes Zoster
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus
varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion setelah paparan pertama
melalui system pernafasan. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan
pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak
diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia
atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi
reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi
proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel
epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan
lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan
nama Lipschutz inclusion body.1,2
Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis
hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat
berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan
demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses perjalanan virus
ini menyebabkan kerusakan pada saraf.2
2. Nyeri
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis :2
1. Proses stimulasi singkat

Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan
menyebabkan timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak
menyebabkan terjadinya lesi, maka rasa nyeri yang terjadi hanya dalam
waktu singkat.
2. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atau

inflamasi jaringan.
Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya inflamasi jaringan
atau dikenal sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah
terjadinya kalor, rubor, dolor dan fungsiolaesa.
3. Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf.
Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral
akan mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem
saraf tersebut. Lesi saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik
yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan
antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa
gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekuler,
sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal yang selanjutnya
menyebabkan gangguan nosiseptif sentral (sensitisasi sentral).
Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara
normal semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan A yang
biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan dengan rasa normal,
tetapi pada allodinia diraakan nyeri.2
Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan nyeri neuropatik yang
diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses
pengolahan sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak
memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga

menunjukkan respon

berlebihan terhadap stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan


percabangan saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf
perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas
kornu dorsalis sehingga pada akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat
yang berlebihan terhadap semua rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini

berjalan dalam berbagai macam proses sehingga dapat dimengerti bila pendekatan
terapeutik neuralgia paska herpetika memerlukan beberapa macam pendekatan
pula.2
MANIFESTASI KLINIS
Herpes zoster secara tipikal mengenai 1 atau 2 dermatom yang berlebihan,
biasanya mengenai region T3 sampai dengan L3. Lesi berkembang dari bercak
lesi eritem yang terrpisah menjadi vesikel berkelompok yang dapat mngalami
pustulasi dan krusta dalam 7 hingga 10 hari dan penyembuhannya makan
waktu hingga 1 bulan yang dapat meninggalkan bekas berupa jaringan perut,
perubahan pigmentasi, kulit, dan nyeri.(nyeri neuropatik). Nyeri merupakan
symptom herpes zoster yang paling sering dan dirasakan beberapa hari atau
beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit, atau dapat pula nyeri
dialami sebagai gejala tunggal (zoster sine herpete). Sensasi ini dapat
menyembuh atau tetap dirasakan secara tidak terduga, sehingga menimbulkan
kesulitan dalam membedakan nyeri herpes zoster dengan neuralgia pascaherpes.1,3
Sindroma neuralgia pasca-herpes dikenali secara tunggal dengan adanya
nyeri setelah seorang menderita herpes zoster, baik dengan maupun tanpa
interval bebas nyeri. Definisi yang paling sering digunakan adalah nyeri yang
dirasakan lebih dari 1 bulan setelah onset ruam zoster. Keluhan yang sering
dilaporkan adalah nyeri seperti terbakar, parestesi yang bisa disertai rasa sakit
(disestesi), respon nyeri berlebihan terhadap stimulus (hiperestesi), atau nyeri
seperti tersengat listrik. Nyeri dapat diprovokasi antara lain oleh stimulus
trivial (alodinia), gatal-gatal yang tak tertahankan dan nyeri yang terus
bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang (wind-up pain).1,3
TERAPI
a. Analgesik

Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek


analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri
neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih

baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja
sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan
serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis dititrasi hingga maksimum 400
mg/hari dibagi dalam 4 dosis, tramadol terbukti lebih efektif dibanding plasebo
dalam pengobatan NPH. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan
terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian
opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh
karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Oxycodone berdasarkan penelitian
menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri,
allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan. Dosis yang digunakan maksimal 60
mg/hari pada NPH.2,4
b. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan memodulasi voltagegated sodium channel dan kanal kalsium, meningkatkan efek inhibisi GABA, dan
menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik.4
Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya
kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara
sentral, gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen.
Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade
kanal sodium, sehingga terjadi hambatan.2,4
Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat.
Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun
berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel , sehingga
mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance
P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals.
Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada
kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri
CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam
hal tidur dan ansietas.4
c. Anti depressan

Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia


paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake
(pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi
nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada
beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67%
oasien mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik.
Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. TCA
telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI
(selective serotonine reuptake inhibitor ) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline,
dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA menghambat reuptake baik
serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake
serotonin.1,2 Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek
kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini
juga dapat meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan
hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia
pot herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan
lainnya.2,3,4
d. Terapi topikal

Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim


capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk
neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (Cfiber). Telah diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik
seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin
mendesensitisasi neuron ini. Pada suatu uji klinik acak terkendali melibatkan 143
pasien neuralgia paska herpetika, dilaporkan setelah pengobatan selama 4
minggu, 21% nyeri berkurang pada kelompok yang mendapat terapi capsaicin ,
sedangkan 6% nyeri berkurang pada kelompok kontrol (p<0.05). Tetapi
sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa
ditoleransi pemakainya.2,3
PROGNOSIS

Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak


menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya
mengganggu fungsi sensorik.1,2
Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi
didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.1,2
Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko berulangnya HZ
masih mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik
kemungkinan timbul kembali kecil.1,2
KESIMPULAN
Neuralgia pasca herpetika merupakan komplikasi dari penyakit herpes
zoster yang disebabkan oleh virus varicella zoster. Virus ini menyebabkan 3 klinis
yang berbeda, yaitu menyebabkan cacar air pada masa anak-anak, pada dewasa
menimbulkan herpes zoster dan pada keadaan berikutnya dapat timbul neuralgia
pasca herpes, yang biasanya menyerang pada usia tua.
Pada neuralgia pasca herpes, fungsi sensoris normal mengalami
perubahan. Perubahan yang terjadi yaitu berupa sensasi abnormal terhadap rabaan
halus, tiupan atau suhu yang dirasakan sangat nyeri. Hal ini diakibatkan karena
perlukaan dari saraf perifer dan berubahnya proses pengolahan sinyal ke system
saraf pusat.
Secara umum penatalaksanaan neuralgia pasca herpes meliputi 2 jalur,
yaitu farmakologik dan nonfarmakologik. Obat anastetik misalnya lidokain,
prokain dilaporkan memberikan efek teerapi sementara bila diberikan injeksi local
atau intravena. Penggunaan krim topical untuk mengobati neuralgia pasca herpes
cukup

banyak

dilaporkan

diantaranya

dengan

menggunakan

capsaicin.

Antidepresan trisiklik juga menunjukkan peran penting pada neuralgia pasca


herpes, karena mekanisme memblok reuptake noreepinefrin dan serotonin. Obat
ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi
persepsi nyeri.

saraf yang terlibat dalam

DAFTAR PUSTAKA
1. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik
penatalaksanaan. Kelompok studi nyeri Perdossi 2001.

patofisiologi

dan

2. Martin. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008 available from:


http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&id
3. Mazzoni, P. Pearson, T. Rowland, L. Merritts Neurology Handbook. 2nd Edition.
Lippincott Williams & Wilkins : 2006.
4. Gilhus. E, Barnes. M, brainin, M. European Handbook of Neurogical Management.
Vol.1, willey Blackwell : 2010.
5. Anderson. E, Varicella-Zoster virus.available from :
http://emedicine.medscape.com/article/231927-overview

LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini atas nama :
Nama

: 1. Wahyuddin (110 206 099)


2. Muhammad Rizal (110 207 047)
3. Nelvyana Umrah (110 207 137)

Telah menyelesaikan refarat dengan judul NYERI POST HERPETIKA dalam rangka tugas
kepanitraan klik di bagian Neurologi Fakultas Kedokteran UNHAS.

Anda mungkin juga menyukai