Referat Insomnia
Referat Insomnia
PENDAHULUAN
Gangguan tidur ataupun kesulitan dalam tidur dewasa ini cukup banyak
diderita oleh banyak orang. Gangguan ini paling tidak, pernah diderita oleh seseorang
paling tidak sekali dalam hidupnya ataupun ada yang menderita hampir sepanjang
hidupnya dan hal yang inilah yang dapat mempengaruhi kwalitas hidup seseorang.
Seseorang yang terganggu dalam tidurnya akan dapat terjadi bermacam-macam
gangguan seperti hilang semangat, kesulitan dalam berkonsentrasi, selalu merasa
mengantuk dan gelisah, mudah marah atau temperamental menjadi tinggi, tekanan
darah menjadi tinggi dari biasanya/normal sampai berujung pada terjadinya penyakitpenyakit tertentu yang bersifat kronis.1
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk
tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. 2 Gejala
tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang
hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau
mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan
gangguan kualitas hidup.3 Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah
episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup mereka.4 Di Indonesia, pada
tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia.
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam
beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai
gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional
stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang
ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun,
insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam
kehidupan pasien.4
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya
berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti
kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah
setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan
berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang
mendasari untuk insomnia.4
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah
gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi
sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol,
ketergantungan obat, dan bunuh diri. Insomnia sering menetap meskipun telah
dilakukan pengobatan kondisi medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia
dapat meningkatkan resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter
perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan
pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas
hidup bagi pasien mereka.4,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fisiologi Tidur
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan
beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia
disebut sebagai irama sirkadian. Tidur tidak dapat diartikan sebagai meanifestasi
proses deaktivasi sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja
dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan
sinkronisasi. 2,5
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak
pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur
(sleep
center).
Bagian
susunan
saraf
pusat
yang
menghilangkan
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi
secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam
empat stadium, antara lain:
dengan mudah.
Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5
siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak,
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagibagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM.2,5
Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia
pada beberapa waktu selama hidup mereka. Jajak Pendapat Tidur di Amerika yang
dilakukan oleh National Sleep Foundations pada tahun 2002, menunjukkan 58% dari
orang dewasa di AS mengalami gejala insomnia pada beberapa malam dalam
seminggu atau lebih. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai
tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya
mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat
11,7% penduduk mengalami insomnia.3,4
Antara wanita dan pria ternyata insomnia banyak terjadi pada wanita daripada
pria. Satu alasan yang mempengaruhi hal ini adalah adanya perubahan hormone pada
siklus haid yang mempengaruhi siklus tidur. Selama perimenopause seorang wanita
dapat mengalami gangguan dalam tidur dan kesulitan dalam tidur. Seorang wanita
tersebut dapat mengalami rasa panas pada wajah dan dapat mengalami keringat
malam yang dapat mengganggu tidur seorang wanita. Selama kehamilan seorang
wanita dapat mengalami perubahan hormone, fisik dan emosional yang dapat
mengganggu tidur seorang wanita. Wanita hamil terutama pada trimester ketiga dapat
menyebabkan rasa tidak enak, keram pada kaki dan sering pergi ke kamar mandi
yang semuanya itu dapat menyebabkan gangguan tidur.3, 4
2.4 Klasifikasi Insomnia
a. Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau
susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia.
Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi
penyebab dari jenis insomnia primer ini.
b. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi
medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu
masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10
orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat
disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit
tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol.
Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu
International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).
Organik
Non organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti
mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini
adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah
menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain
2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu
Acute insomnia
Psychophysiologic insomnia
Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
Idiopathic insomnia
Insomnia due to mental disorder
Inadequate sleep hygiene
Behavioral insomnia of childhood
Insomnia due to drug or substance
Insomnia due to medical condition
Insomnia not due to substance or known physiologic condition,
unspecified (nonorganic)
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)
10
c. Obat-obatan.
Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa
antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin)
dan kortikosteroid.
d. Kafein, nikotin dan alkohol.
Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah stimulan yang
terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol
adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah
tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.
e. Kondisi Medis.
Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering
buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar
dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan
insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal
reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka
menonton TV atau membaca.
2.9 Tatalaksana
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini
umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita
insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi
Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran
yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka
Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton
2. Farmakologi 2,4,7
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Prolong latent phase AntiInsomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep Maintining Anti-Insomnia,
yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long
acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.
Pengaturan Dosis
Lama Pemberian
Efek Samping
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat antiinsomnia (waktu paruh) :
lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan
Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala hang
over pada pagi harinya dan juga intensifying daytime sleepiness
respiratory failure
Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau produce protein binding displacement sehingga jarang
Perhatian Khusus
Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan
teratogenic
effect
(e.g.cleft-palate
abnormalities)
2.10
Komplikasi
a. Efek Fisiologis
Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stress, terdapat peningkatan
noradrenalin serum, peningkatan ACTH dan kortisol, juga penurunan
produksi melatnin.
b. Efek psikologis
Dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi, irritable,
kehilangan motivasi, depresi dan sebagainya.
c. Efek fisik/somatic
Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, kelebihan berat badan atau kegemukan,
daya tahan tubuh yang rendah, meningkatkan resiko dan keparahan
penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit
jantung, dan diabetes.
d. Efek social
Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, gangguan pekerjaan atau
sekolah.
2.11 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan
lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.
BAB III
KESIMPULAN
Adapun bebrapa etiologi insomnia bisa karena stress, kecemasan dan depresi,
obat-obatan, kafein, nikotin dan alcohol, kondisi medis, perubahan lingkungan atau
jadwal kerja. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur
penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis,
riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi,
bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan
untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan benzodiazepin (Nitrazepam,
Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital).
Tatalaksana insomnia secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan
pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti mengatur jadwal tidur.
Ada beberapa komplikasi dari insomnia, diantaranya , efek psikologis dapat
berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi, irritable, kehilangan motivasi,
depresi dan sebagainya, efek fisik/somatic berupa kelelahan, nyeri otot, kelebihan
berat badan atau kegemukan, daya tahan tubuh yang rendah, meningkatkan resiko dan
keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit
jantung, dan diabetes.
DAFTAR PUSTAKA
2. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
3. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification
of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and
Coding Manual . Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill:
American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32.
4. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.
(http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses tanggal 8
juni 2014
5. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
8. Insomnia.
(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alternati
ve-medicine Diakses tanggal 8 Juni 2014)
9. Hazzard. 2009. Hazzards Geriatric Medicine and Gerontology 6th ed. New
York: McGraw-Hill.