Anda di halaman 1dari 19

Pengaruh Transkultural dan

Pendekatan Psikososial Terhadap


Penderita Alzheimer
Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Feni Mayasari 8. Romiko
2. Anita 9. Siti Chairunnisah
3. Rury Widyastuti 10. Meta Ariensandi
4. Edo Putra Zulkarnain 11. Nurhasanan
5. Yuyun Purwanti 12. Deci Yusmar
6. Aprisia Seni 13. M. Al Huda
7. Joko Tri Wahyudi 14. Fadilah Astriyani

Dosen Pembimbing
Ns. Puji Setya Rini, S.Kep.
2010
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami kepada Allah SWT karena atas ridhonya kami

bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya, dan semoga makalah ini

bermanfaat bagi kita semua, yang notabene nya calon perawat-perawat profesioanal.

Sebelumnya, pada makalah kami ini akan kami jelaskan tentang pengaruh aspek

transkultural dan pendekatan psikososial terhadap penderita alzheimer, semua akan

kami jelaskan dengan terperinci.

Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, dan kita tahu semua walaupun manusia

adalah makhluk Allah yang paling mulia dibanding makhluk-makhluk Allah yang lain,

tetapi tak ada satupun manusia yang sempurna, jadi apabila ada kesalahan dalam

pembuatan makalah ini, saya manusia biasa yang penuh dengan kesalahan memohon

maaf yang sebesar-besarnya dan kritik saran yang mendukung untuk kebaikan makalah

ini sangat kami harapkan, dan akhirnya semoga makalah ini dapat berguna bagi kita

semua.

Penulis

Kelompok I

2
DAFTAR ISI
1. Kata Pengantar................................................................................1

2. Daftar Isi.........................................................................................2

3. Bab I Pendahuluan..........................................................................3

1.1. Latar Belakang ....................................................................3

1.2. Rumusan Masalah................................................................4

1.2. Tujuan..................................................................................4

4. Bab II Pembahasan.........................................................................5

2.1. Alzhiemer...........................................................................5

2.2. Transkultural.......................................................................7

2.3. Psikososial..........................................................................9

2.4. Pengaruh transkultural pada penderita alzheimer.............14

2.5. Pengaruh pendekatan psikososial pada klien alzheimer...15

5. BAB III Penutup...........................................................................17

3.1. Kesimpulan.......................................................................17

3.2. Saran.................................................................................17

6. Daftar Pustaka..............................................................................18

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli

Psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang

wanita berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak

mengetahui kembali ketempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami

gangguan anggota gerak, koordinasi dan reflek. Pada autopsi tampak bagian otak

mengalami atropi yang difus dan simetri, dan secara nikroskopik tampak bagian kortikal

otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary.

Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada

berbagai populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Dilain

pihak akan menimbulkan masalah serius dalam bidang social ekonomi dan kesehatan,

sehingga aka semakin banyak yang berkonsultasi dengan seorang neurolog karena

orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan mulai kehilangan kemampuannya secara

efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota keluarga. Hal ini menunjukkan munculnya

penyakit degeneratif otak, tumor, multiple stroke, subdural hematoma atau penyakit

depresi, yang merupakan penyebab utama demensia.

Istilah demensia digunakan untuk menggambarkan sindroma klinis dengan

gejala menurunnya daya ingat dan hilangnya fungsi intelek lainnya. Defenisi demensia

menurut Unit Neurobehavior pada Boston Veterans Administration Medical Center

(BVAMC) adalah kelainan fungsi intelek yang didapat dan bersifat menetap, dengan

4
adanya gangguan paling sedikit 3 dari 5 komponen fungsi luhur yaitu gangguan bahasa,

memori, visuospasial, emosi dan kognisi.

Dalam perkembangannya, penderita Alzheimer dipengaruhi oleh banyak aspek

dan pendekatan-pendekatan, diantaranya adalah aspek transkultural dan pendekatan

psikososial. Kedua pendekatan ini berpengaruh besar dalam perkembangan penderita

Alzheimer.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam makalah kami ini akan kami bahas tentang ;

a. Bagaimana definisi alzheimer ?

b. Bagaimana definisi transkultural ?

c. Bagaimana definisi psikososial ?

d. Bagaimana pengaruh aspek traskultural pada penderita alzheimer ?

e. Bagaimana pengaruh pendekatan psikososial pada penderita alzheimer ?

Semua akan saya bahas secara terperinci dalam makalah kami.

1.3. Tujuan

Dengan kami tulisnya makalah ini, kami berharap pada kami sendiri khususnya

dan semua orang pada umumnya, bisa mengetahui bagaimana sebenarnya pengarus

aspek transkultural dan pendekatan psikososial pada penderita alzheimer.

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Alzheimer

2.1.1. Defenisi

Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan

kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi :

konsep klinis proses- proses penyakit, Juga merupakan penyakit dengan gangguan

degenarif yang mengenai sel-sel otak dan menyebabkan gangguan fungsi intelektual,

penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut dokumen terjadi pada orang

tertentu pada usia 40 tahun (Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal 1003). Hal tersebut

berkaitan dengan lebih tingginya harapan hidup pada masyarakat di Negara maju,

sehingga populasi penduduk lanjut usia juga bertambah.

2.1.2. Etiologi

Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah

dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi

udara/industri, trauma, neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament, presdiposisi

heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal,

kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif

dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan

atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel

tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calsium

6
intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau

terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.

Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah

membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah

membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana

faktor lingkungan hanya sebagai pencetus factor genetika.

2.1.3. Gejala Klnik

Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahanlahan,

sehingga pasien dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai

muncul. Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit alzheimer yaitu:

o Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)

o Memory : new learning defective, remote recall mildly impaired

o Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex contructions

o Language : poor woordlist generation, anomia

o Personality : indifference,occasional irritability

o Psychiatry feature : sadness, or delution in some

o Motor system : normal

o EEG : normal

o CT/MRI : normal

o PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion

o Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)

o Memory : recent and remote recall more severely impaired

o Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions

7
o Language : fluent aphasia

o Calculation : acalculation

o Personality : indifference, irritability

o Psychiatry feature : delution in some

o Motor system : restlessness, pacing

o EEG : slow background rhythm

o CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent

o PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion

o Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)

o Intelectual function : severely deteriorated

o Motor system : limb rigidity and flexion poeture

o Sphincter control : urinary and fecal

o EEG : diffusely slow

o CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent

o PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion

2.2. Trankultural

2.2.1. Konsep Etnik dan Budaya

Etnik adalah seperangkat kondisi spesifik yang dimiliki oleh kelompok tertentu

(kelompok etnik). Sekelompok etnik adalah sekumpulan individu yang mempunyai

budaya dan sosial yang unik serta menurunkannya ke generasi berikutnya (Handerson,

1981). Etik berbeda dengan ras. Ras merupakan sistem pengklasifikasian manusia

berdasarkan karakteristik fisik pigmentasi, bentuk tubuh, bentuk wajah, bulu pada tubuh

8
dan bentuk kepala. Ada tiga jenis ras yang umumnya dikenal, yaitu Kaukasoid,

Negroid, Mongoloid.

Budaya adalah keyakinan dan perilaku yang diturunkan atau diajarkan manusia

kepada generasi berikutnya (Taylor, 1989). Budaya adalah sesuatu yang kompleks yang

mengandung pengetahuan,keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kecakapan

lain yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota kemunitas setempat.

Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan

dengan belajar, beserta keselurahan hasil budi dan karyanya dan sebuah rencana untuk

melakukan kegiatan tertentu (Leininger, 1991). Menurut konsep budaya Leininger

(1978, 1984), karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut : (1) Budaya

adalah pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak ada dua budaya yang sama

persis, (2) budaya yang bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya tersebut

diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan, (3) budaya diisi

dan ditentukan oleh kehidupan manusianya sendiri tanpa disadari.

2.2.2. Pengertian Transkultural

Transkultural adalah suatu pelayanan keperawatan yang berfokus pada analisis

dan studi perbandingan tentang perbedaan budaya (Leininger, 1978). Keperawatan

transkultural adalah ilmu dan kiat yang humanis, yang difokuskan pada perilaku

individu atau kelompok, serta proses untuk mempertahankan atau meningkatkan

perilaku sehat atau perilaku sakit secara fisik dan psikokultural sesuai latar belakang

budaya. Pelayanan keperawatan transkultural diberikan kepada klien sesuai dengan latar

belakang budayanya.

2.2.3. Tujuan keperawatan Transkultural

9
Tujuan penggunaan keperawatan transkultural adalah untuk mengembangkan

sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada

kultur yang spesifik dan universal. Kultur yang spesifik adalah kultur dengan nilai-nilai

norma spesifik yang tidak dimiliki oleh kelompok lain, seperti bahasa. Sedangkan kultur

yang universal adalah nilai atau norma yang diyakini dan dilakukan hampir oleh semua

kultur seperti budaya berolahraga membuat badan sehat, bugar; budaya minum teh

dapat membuat tubuh sehat (Leininger, 1978). Dalam melaksanakan praktik

keperawatan yang bersifat humanis, perawat perlu memahami landasan teori dan praktik

keperawatan yang berdasarkan budaya. Budaya yang telah menjadi kebiasaan tersebut

diterapkan dalam asuhan keperawatan transkultural, melalui 3 strategi utama intervensi,

yaitu mempertahankan, bernegosiasi dan merestrukturisasi budaya.

2.3. Psikososial

2.3.1. Pengertian

Secara sederhana psikososial merupakan singkatan dari dua kata yaitu psiko dan

sosial, dimana arti dari psiko merupakan psikis yaitu adalah keadaan kondisi kejiwaan

seseorang, dan sosial merupakan tempat dimana individu hidup dan beraktivitas dengan

individu lainnya atau dengan kata lain tatanan kehidupan dalam masyrakat, kedua hal

ini saling mempengaruhi individu dalam kehidupannya, yaitu jika individu dalam sisi

kejiwaan tidak baik atau tertanggu maka akan mempengaruhi dirinya maupun

lingkungan sosialnya demikian juga sebaliknya jika lingkungan sosialnya tertanggu

maka akan mempengaruhi kondisi pribadi individu tersebut.

2.3.2. Teori Erik Erikson Tentang Perkembangan Psikosisial

10
Melalui teori yang dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory

of Psychosocial Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat

agar teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori

perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara mengenai

aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu diketahui pula bahwa

teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud dan teori Piaget berhenti

hanya sampai pada masa dewasa.

Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja

yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah

bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai

semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh

karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin

mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi

keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak berhasil

dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh

maladaption/maladaptif dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu

berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi

serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut

Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang

teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang

mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya

dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.

Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri

utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat

11
sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam

delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah

sebagai berikut :

Developmental Stage Basic Components


Infancy (0-1 thn) Trust vs Mistrust

Early childhood (1-3 thn) Autonomy vs Shame, Doubt

Preschool age (4-5 thn) Initiative vs Guilt

School age (6-11 thn) Industry vs Inferiority

Adolescence (12-10 thn) Identity vs Identity Confusion

Young adulthood ( 21-40 thn) Intimacy vs Isolation

Adulthood (41-65 thn) Generativity vs Stagnation

Senescence (+65 thn) Ego Integrity vs Despair

Karena pada umumnya penderita Alzheimer adalah di mulai dari umur 40 tahun

keatas, maka pada makalah ini hanya akan dijelaskan teori perkembangan adulthood

dan senescence.

- Generativitas vs Stagnasi

Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh

orang-orang yang berusia sekitar 41 sampai 65 tahun. Masa Dewasa (Adulthood)

ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa

12
dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala

kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga

perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu

sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan

kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan

atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.

Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk

dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat

mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas)

dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa

depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui

generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini

sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan

sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap

siapapun.

Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka

tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah

penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan

kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya

kurang mendapat sambutan yang baik.

Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara

generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu

kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme.

13
Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan

menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para

penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki

kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan

segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan

diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan

menyenangkan.

- Integritas vs Keputusasaan

Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki

oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence)

ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu telah

memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah

menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh

usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau

tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali

kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa.

Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia

seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali

menghantuinya

Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup

berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini

adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini

merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan

14
mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia

senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut

dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori

Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh

karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan

bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap

terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih

kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang biasa

disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan

kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat

dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap

menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali

kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan

itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap

kebijaksanaan.

2.4. Pengaruh Transkultural pada Penderita Alzheimer


Seperti yang sudah dijelaskan diatas, traskultural adalah suatu pelayanan

keperawatan yang berfokus pada analisis dan studi perbandingan tentang perbedaan

budaya, dengan demikian dalam pemberian pelayanan keperawatan pada penderita

Alzheimer, sangat penting bagi kita untuk menganalisis dan memperlajari perbandingan

tentang perberdaan budaya penderita Alzheimer, tujuannya adalah agar kita dalam

pemberian pelayanan keperawatan tidak berbenturan dengan budaya penderita dan kita

15
juga bisa memberikan pelayanan yang lebih humanis dengan latar belakang kultur

budaya yang berbeda.

Penderita Alzheimer tidak ingat sama sekali apa yang ada dalam memori

otaknya karena mengecil dan rusaknya korteks serebri penderita, sehingga penderita

sudah tidak mampu sama sekali dalam melakukan hal-hal yang dahulunya sering

penderita lakukan dan tidak ingat bagaimana budaya dan kebiasaan kehidupan sehari-

hari, dan bila kita bisa memahami seluk beluk kultur dan budaya penderita, kita dapat

dengan mudah untuk memberikan pelayanan keperawatan dengan sebaik-baiknya dan

mengharapkan hasil yang semaksimal mungkin.

Dalam penerapannya kita memberikan pelayanan keperawatan pada penderita

Alzheimer dengan melayani secara keseluruhan dan tanpa memandang latar belakang

kultur budaya penderita dengan system pelayanan yang kompherensif baik bio, psiko,

social spiritual sebagaimana sesuai dengan pelayanan keperawatan professional.

2.5. Pengaruh Pendekatan Psikososial Pada Penderita Alzheimer

Sesuai dengan pengertian diatas, pendekatan psikososial dalam pelayanan

keperawatan adalah dimana kita dalam memberikan pelayanan keperawatan, kita

dituntut untuk terlebih dahulu memahami bagaimana psikis atau kejiwaan penderita dan

bagaimana keseharian penderita di lingkungan socialnya, sehingga kita dapat

memahami bagaimana sebenarnya keadaan psikososial klien dengan teori erikson diatas

sebagai tolak ukurnya.

Dalam pengertian pelayanan keperawatan professional terdapat kalimat

“memberikan pelayanan baik bio, psiko, social, spiritual”, dari kalimat itu kita sudah

seharusnya memahami bahwa dalam pemberian pelayanan keperawatan seharusnya kita

16
melakukan pendekatan-pendekatan seperti pendekatan psikososial, sehingga kita dapat

memberikan pelayanan keperawatan yang professional dan mendapatkan hasil yang

maksimal, begitu pun kita dalam memberikan pelaynan keperawatan pada penderita

Alzheimer.

Bila ditanya bagaimana pengaruh pendekatan psikososial pada penderita

Alzheimer, jawabannya adalah pengaruhnya sangat besar, sebenarnya bukan hanya pada

penderita Alzheimer, pada penderita-penderita lainnya bila kita melakukan pendekatan

psikososial maka akan berpengaruh besar dalam kita memberikan pelayanan

keperawatan. Dengan memahami psikososial penderita Alzheimer, kita dapat dengan

mudah memberikan pelayanan keperawatan yang kompherensif dan menyeluruh, karena

kita memahami bagaimana kondisi kejiwaan penderita dan bagaimana keseharian

penderita dalam menjalani hidup di lingkungan sosialnya.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwasannya aspek

transkultural dan pendekatan psikososial sangatlah berpengaruh pada proses pelayanan

keperawatan pada penderita alzheimer. Dari segi aspek transkulutural, kita bisa

memberikan pelayanan keperawatan yang humanis dengan memperhatikan latar

belakang kultur budaya penderita sehingga kita bisa memberikan pelayanan yang

kompherensif dan menyeluruh. Kemudian dari segi pendekatan psikososial kita dapat

memberikan pelayanan yang memperhatikan bagaimana kondisi psiksis dan sosial

penderita alzheimer, sehingga kita bisa memeberikan pelayanan yang semaksimal

mungkin.

3.2. Saran

Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini banyaklah kekeliruan baik

dalam segi isi dan tata cara penulisannya, maka dari itu, kami sebagai penulis makalah

ini yang tentunya hanyalah manusia biasa sangatlah berterima kasih bila pembaca

sekalian dapat memberikan kritik dan saran yang mendukung guna kesempurnaannya

makalah ini.

18
Daftar Pustaka

Blass J et al. Thiamin and alzheimer disease. Arch. Neurol. 1988(45): 833-835

BR Reed. Alzheimer disease: age antibodi onset and SPECT pattern of reginal cerebral
blood flow, Archieves of Neurology, 1990(47):628-633

Cummings, MD Jeffrey L. Dementia a clinical approach.2nd ed. Butter worth: 43-93

DL Spark. Aging and alzheimer disease: alteredd cortical serotogenic binding. Arch.
Neurology, 1989(46): 138-145.

E.Mohr. Clonidine treatment of alzheimer disease. Archive of Neurology, 1989(46):


376-378

Fratiglioni L. Clinical diagnosis of alzheimer disease and other dementia in population


survey. Arc.Neurol. 1992(49):927-932

J.C. Morries. The consortium to establish a registry for alzheimer disease (CERALD)
part I: clinical and neuropsycologycal assessment of ADALAH.

Neurology, 1989 (39):1159-1105

http://mahida01.blogspot.com/2009/02/aplikasi-askep-keluarga-dengan.html. diakses
pada 28 Agustus 2010

http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi38.pdf diakses pada 27


Agustus 2010

www.deviarimariani.files.wordpress.com/2008/11/erik-eriksoi.doc diakses pada 28


Agustus 2010.

19

Anda mungkin juga menyukai